Anda di halaman 1dari 75

MAKALAH

KEPERAWATAN MATERNITAS

“KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PRE-EKLAMSIA, MIOMA


UTERI, DAN GANGGUAN HAID “

Dosen Pembimbing :
TIM Keperawatan Maternitas

Disusun Oleh :
ENDAH MELATI SUCI
(201701015)

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
PRODI DIPLOMA III KEPERAWATAN
KAMPUS VI PONOROGO

i
DAFTAR ISI
Cover ...................................................................... i
Daftar Isi ...................................................................... ii
PENDAHULUAN PRE EKLAMSI
1.1 PRE EKLAMSI
A. Latar Belakang ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................1
C. Tujuan ...................................................................... 2
KONSEP PENYAKIT PRE EKLAMSI
A. Definisi ...................................................................... 3
B. Etiologi ...................................................................... 5
C. Patofisiologi ...................................................................... 7
D. Faktor Penyebab ...................................................................... 13
E. Penatalaksanaan ...................................................................... 15
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PRE EKLAMSI............................ 19
PENDAHULUAN MIOMA UTERI
1.2 MIOMA UTERI
A. Latar Belakang ...................................................................... 24
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 26
C. Tujuan ...................................................................... 27
KONSEP PENYAKIT MIOMA UTERI
A. Definisi ...................................................................... 28
B. Etiologi ...................................................................... 28
C. Patofisiologi ...................................................................... 30
D. Klasifikasi ...................................................................... 30
E. Tanda dan Gejala ...................................................................... 32
F. Pemeriksaan Penunjang...................................................................... 34
G. Penatalaksanaan ...................................................................... 35
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN MIOMA UTERI........................... 41
PENDAHULUAN GANGGUAN HAID
1.3 GANGGUAN HAID ...................................................................... 54
A. Latar Belakang ...................................................................... 54
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 56
C. Tujuan ...................................................................... 57
KONSEP PENYAKIT GANGGUAN HAID
A. Definisi Menstruasi ...................................................................... 58
B. Perubahan Siklus Haid..................................................................... 59
C. Siklus Menstruasi ...................................................................... 59
D. Gangguan Haid ...................................................................... 64

ii
E. Penyebab Terganggunya siklus haid................................................ 66
F. Gangguan yang berhubungan dengan haid......................................... 68
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN HAID.................... 70
PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................... 78
B. Saran ...................................................................... 78

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 79

iii
KONSEP PENYAKIT

1.1 PRE EKLAMSIA


A. Latar Belakang
Istilah “pre-eklamsi” telah menggantikan istilah “toksemia”.
Terdapat 5 % pada semua kehamilan sebagai komplikasi, 20% pada
kehamilan nullipara, 40% pada wanita dengan penyakit ginjal kronik.
Keterlambatan diagnosis dan ketidakpastian pengobatan bisa berakhir
dengan morbiditas dan mortalitas ibu dan janin yang signifikan.
Preeklampsi merupakan penyulit dalam proses kehamilan yang
kejadiannya senantiasa tetap tinggi. Dimana faktor ketidaktahuan
tentang gejala awal oleh masyarakat merupakan penyebab
keterlambatan mengambil tindakan yang dapat berakibat buruk bagi ibu
maupun janin.
Dari kasus kehamilan yang dirawat di rumah sakit 3-5 %
merupakan kasus preeklampsi atau eklampsi (Manuba,1998). Dari
kasus tersebut 6 % terjadi pada semua kehamilan, 12 % terjadi pada
primigravida (Muthar,1997). Masih tingginya angka kejadian dapat
dijadikan sebagai gambaran umum tingkat kesehatan ibu hamil dan
tingkat kesehatan masyarakat pada umumnya.
Dengan besarnya pengaruh atau komplikasi dari preeklampsi
terhadap tingginya tingkat kematian bumil dan janin, sudah selayaknya
dilakukan suatu upaya untuk mencegah dan menangani kasus
preeklampsi. Keperawatan bumil dengan preeklampsi merupakan salah
satu usaha nyata yang dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya
komplikasi sebagai akibat lanjut dari preeklampsi tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi dari pre eklamsia?
2. Bagimana etiologi dari pre eklamsia?
3. Bagaimana patofisiologi dari pre eklamsia?
4. Apa saja faktor penyebab dari pre eklamsia?
5. Bagaimana penatalaksanaan pre eklamsia?
6. Bagiamana konsep asuhan keperawatan pada pre eklamsia?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi dari Pre-eklamsia
2. Untuk mengetahui etiologi dari Pre-eklamsia
3. Untuk mengetahui patofisiologi dari Pre-eklamsia
4. Untuk mengetahui faktor penyebab dari Pre-eklamsia

1
5. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan Pre-eklamsia

PENDAHULUAN
PRE EKLAMSI

A. Definisi
Pre-eklampsia ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi,
edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan.Penyakit ini
umumnya terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat terjadi
sebelumnya, misalnya pada mola hidatosa. Preeclampsia adalah
timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan
setelah persalinan (Manjoer Arif,2000:270).

2
Pra-eklampsia adalah suatu kondisi yang spesifik pada kehamilan,
terjadi setelah minggu ke-20 gestasi, ditandai dengan hipertensi dan
proteinuria.Edema juga dapat terjadi (Safe Motherhood:2000).
Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu daripada tanda-tanda
lain. Untuk menegakkan diagnosis pre-eklampsia, kenaikan tekanan
sistolik harus 30mmHg atau lebih di atas tekanan yang biasanya
ditemukan, atau mencapai 140 mmHg atau lebih. Kenaikan diastolik
sebenarnya lebih dapat dipercaya. Apabila tekanan diastolik naik
dengan 15 mmHg atau lebih, atau menjadi 90 mmHg atau lebih, maka
diagnosis hipertensi dapat dibuat. Penentuan tekanan darah dilakukan
minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan istirahat.
Edema ialah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan
dalam jaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat
badan serta pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka. Edema pretibial
yang ringan sering ditemukan pada kehamilan biasa, sehingga tidak
seberapa berarti untuk penentuan diagnose pre-eklampsia. Kenaikan
berat badan ½ kg setiap minggu dalam kehamilan masih dapat dianggap
normal, tetapi bila kenaikan 1 kg seminggu beberapa kali, hal ini perlu
menimbulkan kewaspadaan terhadap timbulnya pre-eklampsia.
Edema dapat terjadi di bagian berikut:
1) Bagian depan kaki (pra-tibia)
2) Tangan, jari-jari tangan
3) Wajah, kelopak mata
4) Dinding abdomen
5) Daerah sakrum
6) Vulva (Safe Motherhood:2000)
Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam urin yang melebihi
0.3 g/l dalam urin 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1
atau 2+ atau 1 g/l atau lebih dalam urin yang dikeluarkan dengan
kateter atau midstream yang diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu
6 jam. Biasanya proteinuria timbul lebih lambat daripada hipertensi dan
kenaikan berat badan; karena itu harus dianggap sebagai tanda yang
cukup serius.
Pre-eklampsia dibagi dalam golongan ringan dan berat. Penyakit
digolongkan berat bila satu atau lebih tanda/gejala di bawah ini
ditemukan”

3
a. Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolic 110
mmHg atau lebih
b. Proteinuria 5 g atau lebih dalam 24 jam; 3 atau 4 + pada
pemeriksaan kualitatif;
c. Oliguria, urin 400 ml atau kurang dalam 24 jam’
d. Keluhan serebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah
epigastrium;
e. Edema paru-paru atau sianosis (Prawirohardjo, Sarwono, 1991)

Temuan Pra-eklampsia Pra-eklampsia Berat


Ringan
Tekanan darah Meningkat sebesar Meningkat >20
diastolik 15-20mmHg atau mmHg atau nilai
nilai absolut >90 absolut >100
tetapi <100
Proteinuria Renik atau 1+ 2+ atau semakin
besar secara
persisten
Edema generalisata Tidak ada Ada
(termasuk wajah &
tangan)
Sakit kepala Tidak ada Ada
Gangguan Tidak ada Ada
penglihatan
Nyeri abdomen atas Tidak ada Ada
Oliguria Tidak ada Ada
Menurunnya gerakan Tidak ada Ada
janin
Tabel Klasifikasi Pra-eklampsia menurut Safe Motherhood tahun 2000.

B. Etiologi
Apa yang menjadi penyebab pre-eklampsia dan sampai sekarang
belum diketahui. Telah terdapat banyak teori yang mencoba
menerangkan sebab-sebab penyakit terebut, akan tetapi tidak ada yang
dapat memberi jawaban yang memuaskan. Teori yang dapat diterima
harus dapat menerangkan hal-hal berikut:

4
1) Sebab bertambahnya frekuensi pada primigravidaritas, kehamilan
ganda, hidramnion, dan mola hidatidosa.
2) Sebab bertambahnya frekuensi dengan makin tuanya kehamilan.
3) Sebab dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan
kematian janin dalam uterus.
4) Sebab jarang terjadinya eklampsia pada kehamilan-kehamilan
berikutnya.
5) Sebab timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang, dan koma.

Etiologi pre-eklampsia sampai saat ini belum diketahui dengan


pasti.Banyak teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli yang
mencoba menerangkan penyebabnya, oleh karena itu disebut “penyakit
teori”; namun belum ada yang memberikan jawaban yang
memuaskan.Teori sekarang yang dipakai sebagai penyebab pre-
eklampsia adalah teori “iskemia plasenta”.Namun teori belum dapat
menerangkan semuahal yang berkaitan dengan penyakit ini (Rustam,
1998). Adapun teori-teori tersebut adalah :
a) Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada pre-eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel
vaskuler, sehingga sekresi vasodilator prostasiklin oleh sel-sel
sendotelial plasenta berkurang, sedangkan pada kehamilan normal,
prostasiklin meningkat.Sekresi tromboksan oleh trombosit
bertambah sehingga timbul vasokonstriksi generalisata dan sekresi
aldosterone menurun.Akibat perubahan ini menyebabkan
pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi dan
penurunan volumeplasma (Y, Joko, 2002).
b) Peran Faktor Imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena
pada kehamilan pertama terjadi pembentukan blocking antibodies
terhadap antigen plasenta tidak sempurna.Pada pre-eklampsia
terjadi kompleks imun humoral dan aktivasi komplemen.Hal ini
dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan proteinuria.
c) Peran Faktor Genetik
Pre-eklampsia hanya terjadi pada manusia.pre-eklampsia
meningkat pada anak dari ibu yang menderita pre-eklampsia.
d) Iskemik dari Uterus

5
Terjadi karena penurunan aliran darah di uterus
e) Defisiensi Kalsium
Diketahui bahwa kalsium berfungsi membantu
mempertahankan vasodilatasi dari pembuluh darah (Joane, 2006).
f) Disfungsi dan aktivasi dari endothelial
Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan
penting dalam pathogenesis terjadinya pre-eklampsia.Fibronektin
dilepaskan oleh sel endotel yang mengalami kerusakan dan
meningkat secara signifikan dalam darah wanita hamil dengan pre-
eklampsia. Kenaikan kadar fibronektin sudah dimulai pada
trimester pertama kehamilan dan kadar fibronektin akan meningkat
sesuai dengan kemajuan kehamilan (Drajat Koerniawan).

C. Patofisiologi
Pre-eklampsia ringan jarang sekali menyebabkan kematian ibu.
Oleh karena itu, sebagian besar pemeriksaan anatomi patologik berasal
dari penderita eklampsia yang meninggal. Pada penyelidikan akhir-
akhir ini dengan biopsi hati dan ginjal ternyata bahwa perubahan
anatomi-patologik pada alat-alat itu pada pre-eklampsia tidak banyak
berbeda daripada yang ditemukan pada eklampsia. Perlu dikemukakan
di sini bahwa tidak ada perubahan histopatologik yang khas pada pre-
eklampsia dan eklampsia. Perdarahan, infark, nekrosis, dan trombosis
pembuluh darah kecil pada penyakit ini dapat ditemukan dalam
berbagai alat tubuh. Perubahan tersebut mungkin sekali disebabkan oleh
vasospasmus arteriola. Penimbunan fibrin dalam pembuluh darah
merupakan faktor penting juga dalam patogenesis kelainan-kelainan
tersebut. (Prawirohardjo, Sarwono, 1991)
1) Pathologi dan patogenesis
Tiga lesi patologis utama yang terutama berkaitan dengan pre-
eklampsia dan eklampsia :
1. Perdarahan dan neklosis di banyak organ, sekunder terhadap
kontriksi kapiler
2. Endoteliosis kapiler glomeruler.
3. Tidak adanya dilatasi arteri spilar. (Kemenkes, 2008)
2) Perubahan anatomi-patologik
a. Plasenta

6
Pada pre-eklampsia terdapat spasmus arteriola spiralis
desidua dengan akibat menurunnya aliran darah ke plasenta.
Perubahan plasenta normal seba akibat tuanya kehamilan,
seperti menipisnya sinsitium, menebalnya dinding pembuluh
darah dalam villi karena fibrosis, dan konversi mesoderm
menjadi jaringan fibrotic, dipercepat prosesnya pada pre-
eklampsia dan hipertensi. Pada pre-eklampsia yang jelas ialah
atrofi sinsitium, sedangkan pada hipertensi menahun terdapat
terutama perubahan pada pembuluh darah dan stroma. Arteria
spiralis mengalami konstriksi dan penyempitan, akibat aterosis
akut disertai necrotizing teriopathy.
b. Ginjal
Alat ini besarnya normal atau dapat membengkak. Pada
simpai ginjal dan pada pemotongan mungkin ditemukan
perdarahan-perdarahan kecil.Penyelidikan biopsi pada ginjal
oleh Altchek dan kawan-kawan (1968) menunjukkan pada pre-
eklampsia bahwa kelainan berupa : 1) kelainan glomerulus; 2)
hyperplasia sel-sel jukstaglomeruler; 3) kelainan pada tubulus-
tubulus Henle; 4) spasmus pembuluh darah ke glomerulus.
Glomerulus tampak sedikit membengkak dengan perubahan-
perubahan sebagai berikut: a) sel-sel diantara kapiler bertambah;
b) tampak dengan mikroskop biasa bahwa membran basalis
dinding kapiler glomerulus seolah-olah terbelah, tetapi ternyata
keadaan tersebut dengan mikroskop electron disebabkan oleh
bertambahnya maktriks mesangial; c) sel-sel kapiler
membengkak dan lumen menyempit atau tidak ada; d)
penimbunan zat protein berupa serabut ditemukan dalam kapsul
Bowman.Sel-sel jukstaglomeruler tampak membesar dan
bertambah dengan pembengkakan sitoplasma sel dan
bervakuolisasi.Epitel tubulus-tubulus Henle berdeskuamasi
hebat; tampak jelas fragmen inti sel terpecah-
pecah.Pembengkakan sitoplasma dan vakuolisasi nyata sekali.
Pada tempat lain tampak regenerasi.Perubahan-perubahan

7
tersebutlah tampaknya yang menyebabkan proteinuria dan
mungkin sekali ada hubungannya dengan retensi garam dan
air.Sesudah persalinan berakhir, sebagian besar perubahan yang
digambarkan menghilang, hanya kadang-kadang ditemukan
sisa-sisa penambahan matriks mesangial.
c. Hati
Alat ini besarnya normal, pada permukaan dan
pembelahan tampak tempat-tempat perdarahan yang tidak
teratur.Pada pemeriksaan mikrosopik dapat ditemukan
perdarahan dan nekrosis pada tepi lobules, disertai thrombosis
pada pembuluh darah kecil, terutama di sekitar vena porta.
Walaupun umumnya lokasi ialah periportal, namun perubahan
tersebut dapat ditemukan di tempat-tempat lain. Dalam pada itu,
rupanya tidak ada hubungan langsung antara berat penyakit dan
luas perubahan pada hati
d. Otak
Pada penyakit yang belum lanjut hanya ditemukan edema
dan anemia pada korteks serebri; pada keadaan lanjut dapat
ditemukan perdarahan.
e. Retina
Kelainan yang sering ditemukan pada retina ialah spasmus
pada arteriola-arteriola, terutama yang dekat pada diskus
optikus. Vena tampak lekuk pada persimpangan dengan
arteriola. Dapat terlihat edema pada diskus optikus dan
retina.Ablasio retina juga dapat terjadi, tetapi komplikasi ini
prognosisnya baik, karena retina akan melekat lagi beberapa
minggu postpartum. Perdarahan dan eksudat jarang ditemukan
pada pre-eklampsia; biasanya kelainan tersebut menunjukkan
adanya hipertensi menahun.
f. Paru-paru
Paru-paru menunjukkan berbagai tingkat edema dan
perubahan karena bronkopneumonia sebagai akibat aspirasi.
Kadang-kadang ditemukan abses paru-paru.
g. Jantung
Pada sebagian besar penderita yang mati karena eklampsia
jantung biasanya mengalami perubahan degeneratif pada

8
miokardium. Sering ditemukan degenasi lemak dan cloudy
swelling serta nekrosis dan perdarahan.Sheehan (1958)
menggambarkan perdarahan subendokardial di sebelah kiri
septum inteventrikulare pada kira-kira dua pertiga eklampsia
yang meninggal dalam 2 hari pertama setelah timbulnya
penyakit.
h. Kelenjar adrenal
Kelenjar adrenal dapat menunjukkan kelainan berupa
perdarahan dan nekrosis dalam berbagai tingkat.
3) Perubahan fisiologi patologik
Perubahan patologik yang didapatkan pada pre-eklamsia
adalah spasmus pembuluh darah disertai dengan retensi garam
dan air.Dengan biopsy ginjal, Altchek dkk.(1968) menemukan
spasmus yang hebat pada arteriola glomelurus.Pada beberapa
kasus lumen arteriola demikian kecilnya, sehingga hanya dapat
dilalui oleh satu sel darah merah.Bila dianggap spasmus arteriola
juga ditemukan diseluruh tubuh, maka mudah dimengerti bahwa
tekanan darah yang meningkat tampaknya merupakan usaha
mengatasi kenaikan tahanan perifer, agar oksigenisasi jaringan
dapat dicukupi.Kenaikan berat badan dan edema disebabkan
penimbunan cairan yang berlebihan dalam ruang interstitialbelum
diketahui sebabnya. Telah diketahui bahwa pada preeklamsia
dijumpai kadar aldosterone yang rendah dan konsentrasi proklatin
yang tinggi daripada kehamilan normal. Aldosterone penting utuk
mempertahankan volume plasma dan mengatur retensi air dan
natrium.Pada preeklamsia permeabilitas pembuluh darah terhadap
protein meningkat.
Perubahan pada plasenta dan uterus. Menurunnya aliran
darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Pada
hipertensi yang agak lama pertumbuhan janin terganggu pada
hipertensi yanglebih pendek bisa terjadi gawat-janin sampai
kematiannya karena kekurangan oksigenisasi.

9
Kenaikan tonus uterus dan kepekaan terhadap perangsangan
sering didapatkan pada pre-eklamsia dan eklamsia, sehingga
mudah terjadi partus prematurus.
Perubahan pada ginjal.Perubahan pada ginjal disebabkan
oleh aliran darah ke dalam ginjal menurun, sehingga menyebabkan
filtrasi glomelurus mengurang. Kelainan pada ginjal yang penting
ialah dalam hubungan dengan proteinuria dan mungkin sekali juga
dengan retensi garam dan air.Mekanisme retensi garam dan air
belum diketahui benar, tetapi disangka akibat perubahan dalam
perbandingan antara tingkat filtrasi glomelurus menurun, yang
menyebabkan retensi garam dan dengan demikian juga retensi
air.Peranan kelenjar adrenal dalam retensi garam dan air belum
diketahui benar.
Fungsi ginjal pada pre-eklampsia tampaknya agak menurun
bila dilihat dari clearance asam urik. Filtrasi glomelurus dapat
turun sampai 50% dari normal, sehingga menyebabkan diuresis
turun, pada keadaan lanjut dapat terjadi oliguria atau anuria.
Perubahan pada retina. Pada pre-eklampsia tampak edema
retina, spasma setempat atau menyeluruh pada satu atau beberapa
arteri, jarang terlihat perdarahan atau eksudat.Retinopatia
arteriosklerotika menunjukkan penyakit vascular yang menahun.
Keadaan tersebut tak tampak pada pre-eklampsia, kecuali bila
terjadi atas dasar hipertensi menahun atau penyakit ginjal.
Spasmus arteri retina yang nyatamenunjkan adanya pre-
eklampsia berat, walaupun demikian, vasospasmus ringan tidak
selalu menunjukkan pre-eklampsia ringan.Pada pre-eklampsia
jarang terjadi ablasio retina. Keadaan ini disertai dengan buta
sekonyong-konyong.Pelepasan retina disebabkan oleh edema
intraokuler dan merupakan indikasi untuk pengakhiran kehamilan
segera.Biasanya setelah persalinan berakhir, retina melekat lagi
dalam 2 hari sampai 2 bulan. Gangguab penglihatan secara tetap
jarang ditemukan.

10
Skotoma, diplopia, dan amblyopia pada penderita pre-
eklampsia merupakan gejala yang menunjukan akan terjadinya
eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan aliran darah
dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina.
Perubahan pada paru-paru.Edema paru-paru merupakan
sebab utama kematian penderita pre-eklampsia dan eklampsia.
Komplikasi ini biasanya disebabkan oleh dekompensasio kordis
kiri.
Perubahan pada otak. McCall melaporkan bahwa resistensi
pembuluh darah dalam otak pada hipertensi dalam kehamilan lebih
meninggi lagi pada eklampsia. Walaupun demikian, aliran darah ke
otak dan pemakaian oksigen oleh otak hanya menurun pada
eklampsia.
Metabolisme air dan elektrolit. Hemokonsentrasi yang
menyertai pre-eklampsia dan eklampsia tidak diketahui
sebabnya.Terjadi disini pergeseran cairan dan ruang intravascular
ke ruang intertisial.Kejadian ini yang diikuti oleh kenaikan
hematocrit, peningkatan protein serum, dan sering bertambahnya
edema, menyebabkan volume darah mengurang, viskositet darah
meningkat, waktu peredaran darah tapi lebih lama.Karena itu,
aliran darah ke jaringan di berbagai bagian tubuh mengurang,
dengan akibat hipoksia.Engan perbaikan keadaan, hemokonsentrasi
berkurang, sehingga turunnya hematocrit dapat dipakai sebagai
ukuran tentang perbaikan keadaan penyakit dan tentang
berhasilnya pengobatan.
Jumlah air dan natrium dalam badan lebih banyak pada
penderita pre-eklampsia daripada wanita hamil biasa atau penderita
dengan hipertensi menahun. Penderita pre-eklampsia tidak dapat
mengeluarkan dengan sempurna air dan garam yang diberikan.Hal
ini disebabkan oleh filtrasi glomerulus menurun, sedangkan
penyerapan kembali tubulus tidak berubah.

11
Elektrolit, kristaloid, dan protein dalam serum tidak
menunjukan perubahan yang nyata pada pre-elampsia.Konsentrasi
kalium, natrium, kalsium, dan klorida dala serum biasanya dalam
batas-batas normal. Gula darah, bikarbonas, dan Ph pun normal.
D. Faktor Penyebab
Hingga saat ini penyebab pre-eklampsia dan eklampsia belum
diketahui dengan pasti, penyakit ini masih disebut disease of theory
(Sudhaberata, 2001). Namun demikian, perhatian harus ditujukan
terutama pada penderita yang mempunyai faktor predisposisi terhadap
pre-eklampsia. Menurut Wiknjosastro (2008) faktor predisposisi/risiko
tersebut antara lain:
a. Usia
Primigravida dengan usia dibawah 20 tahun dan semua ibu
dengan usia diatas 35 tahun dianggap lebih rentan. Pre-eklampsia
yang meningkat di usia muda dihubungkan belum sempurna organ-
organ yang ada di tubuh wanita untuk bereproduksi, selain itu
faktor psikologis yang cenderung kurang stabil juga meningkatkan
kejadian pre-eklampsia di usia muda. Bertambahnya umur wanita
berkaitan dengan perubahan pada system kardiovskular dan secara
teoritis preeclampsia dihubungkan dengan adanya patologi pada
endotel yang merupakan bagian dari pembuluh darah.
Preeclampsia-eklampsia hampir secara eksklusif merupakan
penyakit pada nullipara. Biasanya terdapat pada wanita yang
berumur lebih dari 35 tahun mempunyai resiko 3-4 kali lipat
mendapatkan preeclampsia dibandingkan usia lebih muda
(Karkata,2006).
b. Paritas
Primigravida memiliki insidensi hipertensi hampir dua kali
lipat. Menurut penelitian, telah diketahui bahwa umur reproduksi
sehat pada seorang wanita berkisar antara 20-30 tahun. Artinya
melahirkan setelah umur 20 tahun, jarak persalinan sebaiknya 2-3
tahun dan berhenti melahirkan setelah umur 20 thun. Berarti jumlah
anak cukup 2-3 orang. Telah dibuktikan bahwa kelahiran ke empat

12
dan seterusnya akan meningkatkan kematian ibu dan janin
(Roeshadi,2004). Menurut Prawirohardjo (2005) paritas 2
merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian
maternal. Paritas satu dan paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai
angka maternal lebih tinggi primigravida dn gravid pada usia diatas
35 tahun merupakan kelompok resiko tinggi untuk preeclampsia-
eklampsia.
c. Faktor keturunan (genetic)
Bukti adanya pewarisan secara genetic paling mugkin
disebabkan oleh turunan resesif. Menurut (Chapman, 2006) ada
hubungan genetic yang telah diteggakkan, riwayat keluarga ibu
atau saudara perempuan meingkatkan resiko empat sampai delapan
kali. Faktor risiko terjadinya komplikasi hipertensi pada kehmilan
dapat diturunkan pada anak perempuannya (Manuaba, 2007).
Menurut Angsar (2008), ada faktor keturunan dan familial dengan
model gen tunggal. Genotype ibu lebih menentukan terjadinya
hipertensi dalam kehamilan secara familial dibandingkan dengan
genotype janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami
preeclampsia, 26% anak perempuannya akan mengalami
preeclampsia pula, sedangkan hanya 8% nak menantu mengalami
preeclampsia.
d. Status sosial ekonomi
Preeclampsia dan eklampsia lebih umum ditemui pada
kelompok sosial ekonomi rendah. Menurut Benson (1994), status
ekonomi yang rendah juga merupakan salah satu faktor predisposisi
kejadian preeclampsia. Beberpa peneliti menyimpulkan bahwa
sosial ekonomi yang baik mengurangi terjadinya preekalampsia.
e. Komplikasi obstetric
Kehamilan kembar, kehamilan mola atau hidrops fetalis.
Preeclampsia lebih besar kemungkinan terjadinya kehamilan
kembar. Selin itu, hipertensi yang diperberat karena kehamilan
banyak terjadi pada kehamilan kembar. Dilihat dari segi teori
hiperplasentosis, kehamilan kembar mempunyai risiko untuk
berkembangnya preeclampsia. Kejadian preeclampsia pada

13
kehamilan kembar meningkat menjadi 4-5 kali dibandingkan
kehamilan tunggal. Selain itu, dilaporkan bahwa preeclampsia akan
meningkat pada kehamilan kembar tiga dan seterusnya. (Karkata,
2006)
f. Riwayat penyakit yang sudah ada sebelumnya: hipertensi, diabetes
mellitus, penyakit ginjal, system lupus erytematosus (SLE),
sindrom antifosfolipid antibody. Dasar penyebab preeclampsia
diduga adalah gangguan fungsi endotel pembuluh darah (sel pelapis
dalam pembuluh darah) yang menimbulkan vasospasme lumen
pembuluh darah mengecil/menciut.
E. Penatalaksanaan
a. Penanganan pre-eklampsia ringan
Istirahat di tempat tidur masih merupakan terapi utama untuk
penanganan pre- eklampsia. Istirahat dengan berbaring pada sisi
tubuh menyebabkan pengaliran darah ke plasenta meningkat, aliran
darah ke ginjal juga lebih banyak, tekanan vena pada ekstrimitas
bawah turun dan resorbsi cairan dari daerah tersebut bertambah.
Selain itu, juga mengurangi kebutuhan volume darah yang beredar.
Oleh sebab itu, dengan istirahat biasanya tekanan darah turun dan
edema berkurang. Pemberian fenobarbital 3 x 30 mg sehari akan
menenangkan penderita dan dapat juga menurunkan tekanan darah.
Apakah restriksi garam berpengaruh nyata terhadap pre-eklampsia,
masih belum ada persesuaian faham. Ada yang menyatakan bahwa
jumlah garam pada makanan sehari-hari tidak berpengaruh banyak
terhadap keadaan pre-eklampsia, penulis lain sebaliknya
menganjurkan garam dalam diet penderita.
Pada umumnya pemberian diuretika dan antihipertensiva pada
pre-eklampsia ringan tidak dianjurkan karena obat-obat tersebut
tidak menghentikan proses penyakit dan juga tidak memperbaiki
prognosis janin. Selain itu, pemakaian obat obat tersebut dapat
menutupi tanda dan gejala pre-eklampsia berat. Biasanya dengan
tindakan yang sederhana ini tekanan darah turun, berat badan dan
edema turun, proteinuria tidak atau mengurang. Setelah keadaan
menjadi normal kembali penderita dibolehkan pulang, akan tetapi

14
harus diperiksa lebih sering daripada biasa. Karena biasanya hamil
sudah tua, persalinan tidak lama lagi berlangsung. Bila hipertensi
menetap biarpun tidak tinggi, penderita tetap tinggal di rumah sakit.
Dalam hal ini perlu diamati keadaan janin dengan pemeriksaan kadar
dalam air kencing berulang kali, pemeriksaan ultrasonik,
amnioskopi, dan lain-lain. Perlu diperhatikan bahwa induksi
persalinan yang dilakukan terlalu dini akan merugikan karena
bahaya prematuritas, sebaliknya induksi yang terlambat dengan
adanya insufisiensi plasenta akan menyebabkan kematian intrauterin
janin. Bila keadaan janin mengizinkan, ditunggu dengan melakukan
induksi persalinan, sampai kehamilan cukup atau lebih dari 37
minggu.
Beberapa pre-eklampsia ringan tidak membaik dengan
penanganan konservatif. Tekanan darah meningkat, retensi cairan
dan proteinuria bertambah, walaupun penderita istirahat dengan
pengobatan medik. Dalam hal ini pengakhiran kehamilan dilakukan
walaupun janin masih prematur.
b. Penanganan pre-eklampsia berat
Pada penderita yang masuk rumah sakit sudah dengan tanda-
tanda dan gejala-gejala pre-eklampsia berat segera harus diberi
sedativa yang kuat untuk mencegah rimbulnya kejang-kejang.
Apabila sesudah 12-24 jam bahaya akut dapat diatasi, dapat
difikirkan cara yang terbaik untuk menghentikan kehamilan.
Tindakan ini perlu untuk mencegah seterusnya bahaya eklampsia.
Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang-kejang dapat
diberikan: (1) larutan sulfas magnesikus 40% sebanyak 10ml (4
gram) disuntikkan intramuskulus bokong kiri dan kanan sebagai
dosis permulaan, dan dapat diulang 4 gram tiap 6 jam menurut
keadaan. Tambahan sulfas magnesikus hanya diberikan bila diuresis
baik refleks patella positif, dan kecepatan pernapasan lebih dari 16
per menit. Obat tersebut, selain menenangkan, juga menurunkan
tekanan darah dan meningkatkan diuresis; (2) Klorpromazin 50mg
intramuskulus; (3) Diazepam 20mg intrmuskulus.
c. Penanggulangan pre-eklampsia dalam persalinan

15
Rangsangan untuk menimbulkan kejangan dapat berasal dari
luar atau dari penderita sendiri, dan his persalinan merupakan
rangsangan yang kuat. Maka dari itu, pre-eklampsia berat lebih
mudah menjadi eklampsia pada waktu persalinan.
Tidak boleh dilupakan bahwa kadang – kadang hipertensi
timbul untuk pertama kali dalam persalinan dan dapat menjadi
eklampsia, walaupun pada pemeriksaan antenatal tidak ditemukan
tanda – tanda pre-eklampsia. Dengan demikian, pada persalinan
normal pun tekanan darah perlu diperiksa berulang – ulang dan air
kencing perlu diperiksa terhadap protein.
Untuk penderita pre-eklampsia diperlukan analgetika dan
sedativa lebih banyak dalam persalinan. Pada kala II, pada penderita
dengan hipertensi, bahaya perdarahan dalam otak lebih besar,
sehingga apabila syarat – syarat telah dipenuhi, hendaknya
persalinan diakhiri dengan cunam atau ekstraktor vakum dengan
memberikan narkosis umum untuk menghindari rangsangan pada
susunan saraf pusat. Anastesia lokal dapat diberikan bila tekanan
darah tidak terlalu tinggi dan penderita masih somnolen karena
pengaruh obat.
Ergometrin menyebabkan konstriksi pembuluh darah dan dapat
meningkatkan tekanan darah. Oleh karena itu, pemberian ergometrin
secara rutin pada kala III tidak dianjurkan, kecuali jika ada
perdarahan postpartum karena atonia uteri. Pemberian obat penenang
diteruskan sampai 48 jam postpartum, karena ada kemungkinan
setelah persalinan berakhir, tekanan darah naik dan eklampsia
timbul. Selanjutan obat tersebut obat tersebut dikurangi secara
tertahap dalam 3 – 4 hari.
Telah diketahui bahwa pada pre-eklampsia janin diancam
bahaya hipoksia, dan pada persalinan bahaya ini makin besar. Pada
gawat-janin, dalam kala I, dilakukan sebera seksio-sesarea; pada kala
II dilakukan ekstaksi dengan cunam atau ekstraktor vakum.
Postpartum bayi sering menunjukkan tanda asfiksia neonatorum
karena hipoksia intrauterin, pengaruh obat penenang, atau narkosis
umum, sehingga diperlukan resusitasi. Maka dari itu, semua

16
peralatan untuk keperluan tersebut perlu disediakan. (Prawirohardjo,
Sarwono, 1991).

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PRE EKLAMSI

A. Asuhan Keperawatan Pada Ibu Hamil Dengan Pre-eklamsi


1. Pengkajian
a. Biodata: Nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, status
perkwinan, berapa kali nikah, dan berapa lama.
b. Riwayat kehamilan sekarang : kehamilan yang ke berapa, sudah
pernah melakukan ANC, terjadi peningkatan tensi, oedema, pusing,
nyeri epigastrium, mual muntah, dan penglihatan kabur.
c. Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit jantung, ginjal, HT,
paru.
d. Riwayat kehamilan, persalinan, nifas yang lalu : adakah hipertensi
atau pr-eeklampsi.
e. Riwayat kesehatan keluarga : adakah keluarga yang menderita
penyakit jantung, ginjal, HT, dan gemmeli.
f. Pola Aktivias Sehari-hari
1) Sirkulasi:
a) Peningkatan TD menetap melebihi nilai dasar setelah 20 mgg
kehamilan.
b) Riwayat hipertensi kronis.
c) Nadi mungkin menurun.
d) Dapat mengalami memar spontan, perdarahan lama, atau
epistaksis (trombositopenia).

17
2) Pola eliminasi: Fungsi ginjal mungkin menurun (kurang dari
400 ml/24 jam ) atau tidak ada.
3) Pola makan dan cairan:
a) Mual / muntah.
b) Penambahan berat badan 2+ lb (0,9072 kg) atau lebih dalam
1 minggu, 6 lb (2,72) atau lebih per bulan (tergantung pada
lamanya gestasi).
c) Malnutrisi (kelebihan atau kurang berat badan 20% atau lebih
besar); masukan protein/ kalori kurang.
d) Edema mungkin ada, dari ringan sampai berat/ umum dan
dapat meliputi wajah, ekstermitas, dan sistem organ (mis:
hepar, otak).
e) Diabetes mellitus.
f) Neurosensori:
1. Pusing, sakit kepala frontal.
2. Diplopia, penglihatan kabur.
3. Hiperrefleksia
4. Kacau mental-tonik, kemudian fase tonik, diikuti dengan
periode kehilangan kesadaran.
5. Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukkan edema atau
spasme vaskular.
g) Nyeri / Ketidaknyamanan:Nyeri epigastrik (region kuadran
atas kanan )
h) Pernafasan :
a) Pernafasan mungkin kurang dari 14/menit
b) Krekels mungkin ada.
i) Keamanan :Ketidak sesuaian Rh mungkin ada.
j) Pola seksual :
a) Primigravida, gestasi multipel, hidramnion, mola
hidatidosa, hidrops fetalis.
b) Gerakan bayi mungkin berkurang.
c) Tanda-tanda abrupsi plasenta mungkin ada.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi : oedema, yang tidak hilang dalam kurun waktu 24
jam.
b. Palpasi : untuk mengetahui TFU, letak janin, lokasi oedema
dengan menekan bagian tertentu dari tubuh.
c. Auskultasi : mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya
fetal distress, kelainan jantung, dan paru pada ibu.
d. Perkusi : untuk mengetahui reflek patela sebagai syarat
pemberian Mg SO4.

18
3. Pemeriksaan penunjang :
a. Tanda vital yang diukur 2 kali dengan interval 6 jam.
b. Laboratorium : proteinuri dengan kateter atau midstream
(biasanya meningkat hingga 0,3 gr/lt atau + 1 sampai + 2
pada skala kualitatif), kadar hematokrit menurun, berat jenis
urine meningkat, serum kreatinin meningkat, uric acid > 7
mg/100 ml.
c. USG : untuk medeteksi keadaan kehamilan, dan plasenta.
d. NST : untuk menilai kesejahteraan janin
4. Diagnosa Keperawatan
a. Kelebihan volume cairan b.d peningkatan reabsorbsi
natrium
b. Resiko tinggi terhadap cedera ibu b.d edema / hipoksia
jaringan.
c. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d masukan tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik dan
menggantikan kehilangan.
5. Rencana Asuhan Keperawatan
1) Kelebihan volume cairan b.d peningkatan reabsorpsi Na
a. Tujuan dan kriteria hasil :
1) Menyebutkan cara-cara untuk meminimalkan masalah
2) Mengidentifikasi tanda/gejala yang memerlukan
evaluasi/intervensi medis
3) Bebas dari hipertensi, albuminuria, retensi cairan
berlebihan, dan edema wajah
b. Tindakan Keperawatan
1) Tindakan Mandiri
 Pantau berat badan secara teratur
 Kaji adanya tanda-tanda HAK, perhatikan tekanan
darah. Pantau lokasi/luasnya edema, masukan atau
haluran cairan. Perhatikan laporan-laporan gangguan
penglihatan, sakit kepala, nyeri epigastrik atau
adanya hiperrefleksia.
 Tes urin terhadap albumin
 Berikan informasi tentang diet (mis., peningkatan
protein, tidak menambahkan garam meja,
menghindari makan dan minuman tinggi natrium).
 Anjurkan meningkatkan ekstremitas secara periodik
selama sehari.

19
 Jadwalkan kunjungan pranatal lebih sering dan
lakukan pengobatan bila ada HAK.
2) Resiko tinggi terhadap cedera ibu b.d edema / hipoksia
jaringan.
a. Tujuan dan kriteria hasil :
1) Berpartisipasi dalam tindakan atau modifikasi
lingkungan untuk melindungi diri dan meningkatkan
keamanan.
2) Bebas dari tanda-tanda iskemia serebral( gangguan
penglihatan, sakit kepala, perubahan pada mental)
3) Menunjukan kadar faktorpembekuan dan kadar enzim
hepar normal.
b. Tindakan Keperawatan
 Kaji adanya masalah SSP ( mis; sakit kepala, peka
rangsang ,gangguan penglihatan atau perubahan
pada pemeriksaan funduskopi )
 Tekankan pentingnya klient melaporkan tanda2 dan
gejala yang berhubungan dengan SSP.
 Perhatikan purubahan pada tingkat kesadaran.
 Kaji tanda-tanda eklamsia yang akan datang;
hiperaktivitas (3+sampai 4+) dari reflek tendon
dalam, klonus pergelangan kaki, penurunan nadi dan
oernafasan , nyeri epegastrik, dan oliguria (kurang
dari 50ml/jam )
 Implementasi tindakan pencegahan kejang
perprotokol.
 Pada kejadian kejang , miringkan klient; pasng jalan
nafas/blok gigitan bila mulut rileks; berikan oksigen
lepaskan pakaian yang ketat ; jangan membatasi
gerakan ; dan dokumentasikan masalah motorik ,
durasi kejang , dan pereilaku pascakejang.
3) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d masukan tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan metabolik dan menggantikan
kehilangan.
a. Tujuan dan kriteria hasil
1) Mengungkapkan pemahaman tentang kebutuhan diet
Individu.

20
2) Mendemonstrasikan pengetahuan diet yag tepat seperti
dibuktikan oleh pengembangan terencana diet dengan
sumber keuangan seendiri.
3) Menunjukkan penam bahan berat badan yang tepat.
b. Tindakan keperawatan
 Kaji status nutrisi klient , kondisi rambut dan kuku ,dan
tinggi serta berat badan sebelum hamil.
 Berikan informasi tentang penambahan berat badan
normal pada kehamilan , modifikasi supaya memenuhi
kebutuhan klient.
 Berikan informasi verbal tentang tindakan dan
penggunaan proteindan peranya dalam pengembangan
HKK.
 Berikan informasi mengenai efek tirah baring dan
penurunan aktivitas pada kebutuhan protein.

PENDAHULUAN
MIOMA UTERI

1.2 MIOMA UTERI


A. Latar Belakang
Mioma uteri merupakan salah satu penyakit yang tumbuh di
bagian organ reproduksi pada wanita. Mioma uteri ialah neoplasma
jinak yang berasal dari otot uterus dan jaringan ikat sehingga dalam
kepustakaan disebut juga leiomioma, fibriomioma, atau fibroid
(Mansjoer, dkk., 2009). Neoplasma ialah pertumbuhan jaringan baru
yang tidak normal pada tubuh, dan dikenal juga dengan istilah tumor .
(Rudiyanti & Imron, 2016).
Diperkiraan insiden mioma uteri sekitar 20-30% dari seluruh
wanita. Di negara maju angka kejadian mioma uteri adalah 2 - 12,8
orang per 1000 wanita tiap tahunnya. Di Indonesia, mioma uteri
ditemukan 2.39%–11.7% pada semua penderita ginekologi yang
dirawat. Bila mioma uteri bertambah besar pada masa post menopause

21
harus dipikirkan kemungkinan terjadinya degenerasi maligna (sarcoma)
dengan pertumbuhan mioma dapat mencapai berat lebih dari 5 kg
(Indra, 2012). Data RSUD Dr. Hi. Abdoel Moeloek sebagai rumah sakit
rujukan di Propinsi Lampung menunjukan kejadian mioma uteri tahun
2013 sebesar 10,4% dan tahun 2014 naik menjadi 11,8% (Cahyasari &
Sakti, 2014).
Pertumbuhan mioma diperkirakan memerlukan waktu 3 tahun
agar dapat mencapai ukuran sebesar tinja, akan tetapi beberapa kasus
ternyata tumbuh cepat (Saifuddin, 2010). Mioma uteri dapat
menimbulkan berbagai dampak diantaranya yaitu torsi (putaran
tangkai), nekrosis dan infeksi yang menimbulkan terjadinya sindrome
abdomen akut, perdarahan, leukore, disminore, degenerasi ganas,
poliuria, retensio urine, obstipasi, dan infertilitas (Wiknjosastro, 2010).
Dampak mioma uetri dalam kehamilan yaitu abortus, kelainan letak,
plasenta previa, plasenta akreta, inersia uteri dan jika letaknya didekat
serviks dapat menimbulkan perdarahan post partum (Sulaiman, 2010).
Penelitian World Health Organisation (WHO) menyebutkan penyebab
angka kematian ibu karena mioma uteri tahun 2010 sebanyak 1,95%,
dan tahun 2011 sebanyak 2,04%.
Perihal penyebab pasti terjadinya tumor mioma belum diketahui.
Mioma uteri mulai tumbuh dibagian atas (fundus) rahim dan sangat
jarang dimulut rahim. Bentuk tumor biasnya tunggal maupun multipel
dan umumnya tumbuh dalam otot yang dikenal dengan intramanual
mioma. Tumor mioma ini akan cepat memberikan keluhan, bila mioma
tumbuh dalam mukosa rahim, keluhan yang biasa dikeluhkan berupa
perdarahan saat siklus dan diluar siklus haid. Sedangkan pada tipe
tumor yang tumbuh dikulit rahim yang dikenal dengan tipe subserosa
tidak memberikan keluhan perdarahan, seseorang baru mengeluh bila
tumor membesar yang dengan perabaan didaerah perut dijumpai
benjolan keras, benjolan tersebut kadang sulit digerakkan bila tumor
sudah sangat besar (Mansjoer, 2007).
Ada beberapa faktor resiko yang menyebabkan terjadinya mioma
uteri diantaranya umur, usia menarche, riwayat keluarga, ras, paritas,

22
berat badan (obesitas) dan makanan (Parker, 2077). Statistik
menunjukan bahwa usia menarche dipengaruhi oleh faktor keturunan,
keadaan gizi, kesehatan umum yang membaik dan berkurangnya
penyakit menahun (Winkjosastro, 2017). Beberapa penelitian
mengemukakan bahwa peningkatan pertumbuhan mioma uteri
merupakan respon dari stimulus estrogen (Victory, 2016). Marshall dan
Faerstein mengemukakan insidensi mioma uteri meningkat signifikan
pada wanita yang mengalami menarche sebelum umur 11 tahun.
Paparan estrogen yang semakin lama akan meningkatkan insidensi
mioma uteri. Menarche dini (<10 tahun) ditemukan meningkatkan
resiko relatif mioma uteri, dan menarche lambat (>16 tahun)
menurunkan resiko relatif mioma uteri (Parker, 2017).
Paritas lebih sering terjadi pada multipara atau pada wanita yang
relatif infertil,tetapi sampai saat ini belum diketahui apakah infertilitas
menyebabkan miom atau sebaliknya mioma yang menyebabkan
infertilitas. Mioma uteri banyak terjadi pada wanita dengan multipara
dibandingkan dengan wanita yang mempunyai riwayat frekuensi
melahirkan satu kali, mioma uteri terjadi 74% pasien dengan paritas
multipara, dan 135 pasien dengan paritas nulipara, dengan kata lain
sebagian besar mioma uteri terjadi pada paritas multipara. Fungsi
ovarium diperkirakan ada kolerasi antara hormon estrogen dengan
pertumbuhan mioma, dimana mioma uteri muncul setelah menarche,
berkembang setelah kehamilan dan mengalami regresi setelah
menopause.
Pada penderita mioma uteri, optimisme kesembuhan dapat
membantu individu untuk meningkatkan kesehatan psikologis
sehingga lebih bersemangat dalam menjalani hidup. World Health
Organization (dalam Ogden, 2017) mendefinisikan kesehatan sebagai
keadaan sehat utuh secara fisik, mental dan sosial. Kesembuhan
merupakan perihal menjadi sehat kembali (Sugiono, 2018).
Optimisme membuat individu memiliki kesehatan yang lebih
baik, jarang mengalami depresi, serta memiliki produktivitas kerja yang
tinggi, apabila dibandingkan dengan individu yang cenderung

23
pesimisme (Seligman, 2016). Optimisme menjadikan individu memiliki
energi tinggi, serta bekerja keras untuk melakukan hal yang penting
demi mencapai kesembuhan yang individu inginkan.
Optimisme kesembuhan pada penderita mioma uteri merupakan
sikap positif bahwa individu dapat mencapai harapan untuk kembali
pada kondisi kesehatan normal setelah menderita mioma uteri. Ketika
individu memiliki optimisme untuk sembuh, maka individu akan
memiliki kesehatan psikologis, sehingga tetap berusaha untuk
melakukan hal-hal untuk mencapai kesembuhan, tidak putus asa, serta
memiliki kepastian untuk memandang masa depan.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi dari mioma uteri?
2. Bagimana etiologi dari mioma uteri?
3. Bagaimana patofisiologi dari mioma uteri?
4. Apa saja klasifikasi mioma uteri?
5. Bagaimana tanda dan gejala mioma uteri?
6. Bagiamana pemeriksaan penunjang mioma uteri?
7. Bagaimana penatalaksanaan mioma uteri?
8. Bagiamana konsep asuhan keperawatan mioma uteri?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Definisi dari Mioma Uteri.
2. Untuk Mengetahui Etiologi dari Mioma Uteri.
3. Untuk Mengetahui Patofisiologi dari Mioma Uteri
4. Untuk Mengetahui klasifikasi Mioma Uteri.
5. Untuk Mengetahui Tanda dan Gejala Mioma Uteri.
6. Untuk Mengetahui Pemeriksaan Penunjang Mioma Uteri.
7. Untuk Mengetahui Penatalaksanan Mioma Uteri.
8. Untuk Mengetahui Konsep Asuhan Keperawatan Mioma Uteri.

24
KONSEP PENYAKIT MIOMA UTERI

A. Definisi
Mioma uteri adalah tumor jinak otot rahim dengan berbagai
komposisi jaringan ikat (Bagus, 2002). Mioma uteri adalah tumor
jinak berasal dari miometrium. Mioma uteri belum pernah tumbuh
pada wanita yang belum mengalami menstruasi. Setelah menopause
hanya kira-kira 10% mioma yang masih bertumbuh. Mioma uteri
belum pernah ditemukan sebelum terjadinya mentruasi. Sebagian besar
mioma uteri ditemukan pada masa reproduksi oleh karena adanya
rangsangan estrogen. Pada masa menopause mioma uteri akan
mengalami pengecilan. Mioma uteri atau juga dikenal dengan
leiomioma uteri atau fibroid adalah tumor jinak rahim yang paling
sering didapatkan pada wanita. Leiomioma berasal dari sel otot polos
rahim dan pada beberapa kasus berasal dari otot polos pembuluh darah
rahim. (Yonika, 2015)
B. Etiologi
Penyebab mioma uteri tidak diketahui secara pasti. Mioma
jarang sekali ditemukan sebelum usia pubertas, sangat dipengaruhi oleh
hormon reproduksi, dan hanya bermanifestasi selama usia reproduktif.
Umumnya mioma terjadi dibeberapa tempat, pertumbuhan
mikroskopoik menjadi masalah utama dalam penaganan mioma karena
hanya tumor soliter dan tampak secara makroskopik yang
memungkinkan untuk ditangani dengan cara enukleasi. Ukuran rata-
rata tumor ini adalah 15 cm, tetapi cukup banyak yang melaporkan
kasus mioma uteri dengan berat mencapai 45 kg (Sarwono, 2011: 274).
Penyebab terjadinya mioma uteri belum diketahui secara
pasti, namun beberapa ahli memaparkan karena adanya pengaruh

25
hormone estrogen (Stoppler, 2014). Hormone estrogen dapat diperoleh
melalui penggunaan alat kontrasepsi yang bersifat hormonal (Pil KB,
suntikan KB, dan susuk KB) (Manuaba, 2012). Jadi, mioma uteri ini
merupakan akibat pengaruh estrogen.
Oleh karena itu, mioma ini sangat jarang ditemukan pada
anakanak usia pubertas, bahkan nyaris tidak pernah. Anak usia pebertas
belum memiliki rangasangan estrogen. Sementara itu, pada perempuan
menopause, mioma biasanya mengecil kerena estrogen sudah
berkurang (Eni, 2009: 85-86).
Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tumor
mioma, disamping faktor predisposisi genetik :
1. Estrogen
Mioma uteri dijumpai setelah menarke. Sering kali,
pertumbuhan tumor yang cepat selama kehamilan terjadi dan
dilakukan terapi estrogen eksogen. Mioma uteri akan mengecil
pada saat menopause dan oleh pengangkatan ovarium. Mioma uteri
banyak ditemukan bersamaan dengan anovulasi ovarium dan
perempuan dengan sterilitas. Enzim hodroxydesidrogenase
mengubah estradiol (sebuah estrogen kuat) menjadi estron
(estrogen lemah). Aktivitas enzim ini berkurang pada jaringan
miomatous, yang juga mempunyai jumlah reseptor estrogen yang
lebih banyak dari pada miometrium normal (Setiati, 2009: 87).
2. Progesteron
Progesteron merupakan antagonis natural dari estrogen.
Progesteron menghambat pertumbuhan tumor dengan dua cara,
yaitu mengaktifkan hidroxydesisrogenase dan menurunkan jumlah
reseptor estrogen pada tumor (Setiati, 2009: 87).
3. Hormon Pertumbuhan (growth hormone)
Level hormon pertumbuhan menurun selama kehamilan,
tetapi hormon yang mempunyai struktur dan aktivitas biologik
serupa, yaitu HPL, terlihat pada periode ini dan memberi kesan
bahwa pertumbuhan yang cepat dari leiomioma selama kehamilan
mungkin merupakan hasil dari aksi sinergistik antara HPL dan
estrogen. (Octaviani, 2016).
C. Patofisiologi

26
Mioma uteri mulai tumbuh sebagai bibit yang kecil didalam
miometrium dan lambat laun membesar karena pertumbuhan itu
miometrium mendesak menyusun semacam pseudokapsula atau sampai
semua mengelilingi tumor didalam uterus mungkin terdapat satu mioma
akan tetapi mioma biasanya banyak. Bila ada satu mioma yang tumbuh
intramural dalam korpus uteri maka korpus ini tampak bundar dan
konstipasi padat. Bila terletak pada dinding depan uterus mioma dapat
menonjol kedepan sehingga menekan dan mendorong kandung kemih
keatas sehingga sering menimbulkan keluhan miksi (Aspiani, 2017).
Secara makroskopis, tumor ini biasanya berupa massa abu-abu
putih, padat, berbatas tegas dengan permukaan potongan
memperlihatkan gambaran kumparan yang khas. Tumor mungkin hanya
satu, tetapi umumnya jamak dan tersebar di dalam uterus, dengan
ukuran berkisar dari benih kecil hingga neoplasma masif yang jauh
lebih besar dari pada ukuran uterusnya. Sebagian terbenam didalam
miometrium, sementara yang lain terletak tepat di bawah endometrium
(submukosa) atau tepat dibawah serosa (subserosa). Terakhir
membentuk tangkai, bahkan kemudian melekat ke organ disekitarnya,
dari mana tumor tersebut mendapat pasokan darah dan kemudian
membebaskan diri dari uterus untuk menjadi leimioma “parasitik”.
Neoplasma yang berukuran besar memperlihatkan fokus nekrosis
iskemik disertai daerah perdarahan dan perlunakan kistik, dan setelah
menopause tumor menjadi padat kolagenosa, bahkan mengalami
kalsifikasi (Armantius, 2017).
D. Klasifikasi

Berdasarkan letaknya mioma uteri dibagi atas:


1. Mioma Uteri Intramural

27
Mioma uteri merupakan yang paling banyak ditemukan.
Sebagian besar tumbuh diantara lapisan uterus yang paling tebal
dan paling tengah (miometrium). Pertumbuhan tumor dapat
menekan otot disekitarnya dan terbentuk sampai mengelilingi
tumor sehingga akan membentuk tonjolan dengan konsistensi
padat. Mioma yaang terletak pada dinding depan uterus dalam
pertumbuhannya akan menekan dan mendorong kandung kemih
ke atas, sehingga dapat menimbulkan keluhan miksi.
2. Mioma Uteri Subserosa
Mioma uteri ini tumbuh keluar dari lapisan uterus yang
paling luar yaitu serosa dan tumbuh ke arah peritonium. Jenis
mioma ini bertangkai atau memiliki dasar lebar. Apa bila mioma
tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol kepermukaan
uterus diliputi oleh serosa. Mioma serosa dapat tumbuh di antara
kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma
intraligamenter. Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada
jaringan lain, misalnya ke ligamentum atau omentum kemudian
membebaskan diri dari uterus sehingga disebut wandering
parasitis fibroid.
3. Mioma Uteri Submukosa
Mioma ini terletak di dinding uterus yang paling dalam
sehingga menonjol ke dalam uterus. Jenis ini juga dapat
bertangkai atau berdasarkan lebar. Dapat tumbuh bertangkai
menjadi polip, kemudian di keluarkan melalui saluran seviks
yang disebut mioma geburt. Mioma jenis lain meskipun besar
mungkin belum memberikan keluhan perdarahan, tetapi mioma
submukosa walaupun kecil sering memberikan keluhan
gangguan perdarahan. Tumor jenis ini sering mengalami infeksi,
terutama pada mioma submukosa pedinkulata. Mioma
submukosa pedinkulata adalah jenis mioma submukosa yang
mempunyai tangkai. Tumor ini dapat keluar dari rongga rahim
ke vagina, dikenal dengan nama mioma geburt atau mioma yang
dilahirkan (Armantius, 2017).

28
E. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala dari mioma uteri hanya terjadi pada 35 – 50%
pasien. Gejala yang disebabkan oleh mioma uteri tergantung pada
lokasi, ukuran dan jumlah mioma. Tanda dan gejala paling sering
adalah :
1. Perdarahan uterus yang abnormal.
Perdarahan uterus yang abnormal merupakan gejala klinis
yang paling sering terjadi dan paling penting. Gejala ini terjadi
pada 30% pasien dengan mioma uteri. Wanita dengan mioma uteri
mungkin akan mengalami siklus perdarahan haid yang teratur dan
tidak teratur. Menorrhagia dan atau metrorrhagia sering terjadi
pada penderita mioma uteri. Perdarahan abnormal ini dapat
menyebabkan anemia defisiensi besi.
Pada suatu penelitian yang mengevaluasi wanita dengan
mioma uteri dengan atau tanpa perdarahan abnormal, didapat data
bahwa wanita dengan perdarahan abnormal secara bermakna
menderita mioma intramural (58% banding 13%) dan mioma
submukosum (21% banding 1%) dibanding dengan wanita
penderita mioma uteri yang asimptomatik. Patofisiologi perdarahan
uterus yang abnormal yang berhubungan dengan mioma uteri
masih belum diketahui dengan pasti. Beberapa penelitian
menerangkan bahwa adanya disregulasi dari beberapa faktor
pertumbuhan dan reseptorreseptor yang mempunyai efek langsung
pada fungsi vaskuler dan angiogenesis. Perubahan-perubahan ini
menyebabkan kelainan vaskularisasi akibat disregulasi struktur
vaskuler didalam uterus.
2. Nyeri panggul
Mioma uteri dapat menimbulkan nyeri panggul yang
disebabkan oleh karena degenerasi akibat oklusi vaskuler, infeksi,
torsi dari mioma yang bertangkai maupun akibat kontraksi
miometrium yang disebabkan mioma subserosum. Tumor yang
besar dapat mengisi rongga pelvik dan menekan bagian tulang
pelvik yang dapat menekan saraf sehingga menyebabkan rasa nyeri
yang menyebar ke bagian punggung dan ekstremitas posterior.
3. Penekanan

29
Pada mioma uteri yang besar dapat menimbulkan penekanan
terhadap organ sekitar. Penekanan mioma uteri dapat
menyebabkan gangguan berkemih, defekasi maupun dispareunia.
Tumor yang besar juga dapat menekan pembuluh darah vena pada
pelvik sehingga menyebabkan kongesti dan menimbulkan edema
pada ekstremitas posterior.
4. Disfungsi reproduksi
Hubungan antara mioma uteri sebagai penyebab infertilitas
masih belum jelas. Dilaporkan sebesar 27 – 40% wanita dengan
mioma uteri mengalami infertilitas. Mioma yang terletak didaerah
kornu dapat menyebabkan sumbatan dan gangguan transportasi
gamet dan embrio akibat terjadinya oklusi tuba bilateral. Mioma
uteri dapat menyebabkan gangguan kontraksi ritmik uterus yang
sebenarnya diperlukan untuk motilitas sperma didalam uterus.
Perubahan bentuk kavum uteri karena adanya mioma dapat
menyebabkan disfungsi reproduksi. Gangguan implantasi embrio
dapat terjadi pada keberadaan mioma akibat perubahan histologi
endometrium dimana terjadi atrofi karena kompresi massa tumor
mioma yang besar. Diagnosa semakin jelas bila pada pemeriksaan
bimanual diraba permukaan uterus yang berbenjol akibat
penonjolan massa maupun adanya pembesaran uterus. Pemeriksaan
sonografi pelvik dan magnetic resonance imaging (MRI) dapat
mendeteksi mioma uteri (Hadibroto, 2015).

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dilakukan pada kasus Mioma Uteri adalah :
1) Pemeriksaan Darah Lengkap : Hb turun, Albumin turun, Lekosit
turun/meningkat, Eritrosit turun.
2) USG (Ultrasonografi) : terlihat massa pada daerah uterus.
3) Vaginal Toucher : didapatkan perdarahan pervaginam, teraba
massa, konsistensi dan ukurannya.

30
4) Sitologi : menentukan tingkat keganasan dari sel-sel neoplasma
tersebut.
5) Rontgen : untuk mengetahui kelainan yang mungkin ada yang
dapat menghambat tindakan operasi.
6) ECG : Mendeteksi kelainan yang mungkin terjadi, yang dapat
mempengaruhi tindakan operasi.
7) Ultrasonografi
Ultrasonografi transabdominal dan transvaginal bermanfaat dalam
menetapkan adanya Mioma Uteri. Ultrasonografi transvaginal
terutama bermanfaat pada uterus yng kecil. Uterus atau massa yang
paling besar paling baik diobservasi melalui ultrasonografi
transabdominal. Mioma Uteri secara khas menghasilkan gambaran
ultrasonografi yang mendemonstrasikan irregularitas kontur
maupun pembesaran uterus. Adanya klasifikasi ditandai oleh fokus-
fokus hiperekoik dengan bayangan akustik. Degenerasi kistik
ditandai adanya daerah yang hipoekoik.
8) Histeroskopi
Dengan pemeriksaan ini dapat dilihat adanya Mioma Uteri
submukosa, jika tumornya kecil serta bertangkai. Tumor tersebut
sekaligus dapat diangkat.
9) MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI sangat akurat dalam menggambarkan jumlah,ukuran dan
lokasi mioma, tetapi jarang diperlukan. Pada MRI, mioma tampak
sebagai massa gelap terbatas tegas dan dapat dibedakan dari
miometrium yang normal. MRI dapat mendeteksi lesi sekecil 3 mm
yang dapat dilokalisasi dengan jelas, termasuk mioma submukosa.
MRI dapat menjadi alternatif ultrasonografi pada kasus -kasus yang
tidak dapat disimpulkan (Octaviani, 2016).

G. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan mioma uteri dibagi atas 2 metode :
1. Terapi medisinal (hormonal)
Saat ini pemakaian Gonadotropin-releasing hormon (GnRH)
agonis memberikan hasil untuk memperbaiki gejala-gejala klinis
yang ditimbulkan oleh mioma uteri. Pemberian GnRH agonis
bertujuan untuk mengurangi ukuran mioma dengan jalan

31
mengurangi produksi estrogen dari ovarium. Dari suatu penelitian
multisenter didapati data pada pemberian GnRH agonis selama 6
bulan pada pasien dengan mioma uteri didapati adanya pengurangan
volume mioma sebesar 44%. Efek maksimal pemberian GnRH
agonis baru terlihat setelah 3 bulan. Pada 3 bulan berikutnya tidak
terjadi pengurangan volume mioma secara bermakna.
Pemberian GnRH agonis sebelum dilakukan tindakan
pembedahan akan mengurangi vaskularisasi pada tumor sehingga
akan memudahkan tindakan pembedahan. Terapi hormonal lainnya
seperti kontrasepsi oral dan preparat progesteron akan mengurangi
gejala perdarahan uterus yang abnormal namun tidak dapat
mengurangi ukuran dari mioma.
2. Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan pada mioma uteri dilakukan terhadap
mioma yang menimbulkan gejala. Menurut American College of
Obstetricians and Gynecologist(ACOG) dan American Society for
Reproductive Medicine (ASRM) indikasi pembedahan pada pasien
dengan mioma uteri adalah :
a) Perdarahan uterus yang tidak respon terhadap terapi konservatif.
b) Sangkaan adanya keganasan.
c) Pertumbuhan mioma pada masa menopause.
d) Infertilitas karena gangguan pada cavum uteri maupun karena
oklusi tuba.
e) Nyeri dan penekanan yang sangat menganggu.
f) Gangguan berkemih maupun obstruksi traktus urinarius.
g) Anemia akibat perdarahan.

Tindakan pembedahan yang dilakukan adalah miomektomi


maupun histerektomi.
1) Miomektomi
Miomektomi sering dilakukan pada wanita yang ingin
mempertahankan fungsi reproduksinya dan tidak ingin
dilakukan histerektomi. Dewasa ini ada beberapa pilihan
tindakan untuk melakukan miomektomi, berdasarkan ukuran

32
dan lokasi dari mioma. Tindakan miomektomi dapat dilakukan
dengan laparotomi, histeroskopi maupun dengan laparoskopi.
Pada laparotomi, dilakukan insisi pada dinding abdomen
untuk mengangkat mioma dari uterus. Keunggulan melakukan
miomektomi adalah lapangan pandang operasi yang lebih luas
sehingga penanganan terhadap perdarahan yang mungkin timbul
pada pembedahan miomektomi dapat ditangani dengan segera.
Namun pada miomektomi secara laparotomi resiko terjadi
perlengketan lebih besar, sehingga akan mempengaruhi faktor
fertilitas pada pasien. Disamping itu masa penyembuhan paska
operasi juga lebih lama, sekitar 4 – 6 minggu.
Pada miomektomi secara histeroskopi dilakukan terhadap
mioma submukosum yang terletak pada kavum uteri. Pada
prosedur pembedahan ini ahli beda memasukkan alat
histeroskop melalui serviks dan mengisi kavum uteri dengan
cairan untuk memperluas dinding uterus. Alat bedah
dimasukkan melalui lubang yang terdapat pada histeroskop
untuk mengangkat mioma submukosum yang terdapat pada
kavum uteri. Keunggulan tehnik ini adalah masa penyembuhan
paska operasi (2 hari). Komplikasi operasi yang serius jarang
terjadi namun dapat timbul perlukaan pada dinding uterus,
ketidakseimbangan elektrolit dan perdarahan.
Miomektomi juga dapat dilakukan dengan menggunakan
laparoskopi. Mioma yang bertangkai diluar kavum uteri dapat
diangkat dengan mudah secara laparoskopi. Mioma subserosum
yang terletak didaerah permukaan uterus juga dapat diangkat
secara laparoskopi. Tindakan laparoskopi dilakukan dengan ahli
bedah memasukkan alat laparoskop kedalam abdomen melalui
insisi yang kecil pada dinding abdomen. Keunggulan
laparoskopi adalah masa penyembuhan paska operasi yang lebih
cepat antara 2 – 7 hari. Resiko yang terjadi pada pembedahan
laparoskopi termasuk perlengketan, trauma terhadap organ
sekitar seperti usus, ovarium, rektum serta perdarahan. Sampai

33
saat ini miomektomi dengan laparoskopi merupakan prosedur
standar bagi wanita dengan mioma uteri yang masih ingin
mempertahankan fungsi reproduksinya.
2) Histerektomi
Tindakan pembedahan untuk mengangkat uterus dapat
dilakukan dengan 3 cara yaitu dengan pendekatan abdominal
(laparotomi), vaginal, dan pada beberapa kasus secara
laparoskopi. Tindakan histerektomi pada mioma uteri sebesar
30% dari seluruh kasus. Tindakan histerektomi pada pasien
dengan mioma uteri merupakan indikasi bila didapati keluhan
menorrhagia, metrorrhagia, keluhan obstruksi pada traktus
urinarius dan ukuran uterus sebesar usia kehamilan 12 – 14
minggu.
Histerektomi perabdominal dapat dilakukan dengan 2 cara
yaitu total abdominal histerektomi (TAH) dan subtotal
abdominal histerektomi (STAH). Pemilihan jenis pembedahan
ini memerlukan keahlian seorang ahli bedah yang bertujuan
untuk kepentingan pasien. Masing-masing prosedur
histerektomi ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Subtotal
abdominal histerektomi dilakukan untuk menghindari resiko
operasi yang lebih besar seperti perdarahan yang banyak, trauma
operasi pada ureter, kandung kemih, rektum. Namun dengan
melakukan STAH, kita meninggalkan serviks, dimana
kemungkinan timbulnya karsinoma serviks dapat terjadi.
Dengan meninggalkan serviks, menurut penelitian Kilkku, 1983
didapat data bahwa terjadinya dyspareunia akan lebih rendah
dibanding yang menjalani TAH, sehingga tetap
mempertahankan fungsi seksual. Pada TAH, jaringan granulasi
yang timbul pada tungkul vagina dapat menjadi sumber
timbulnya sekret vagina dan perdarahan paska operasi dimana
keadaan ini tidak terjadi pada pasien yang menjalani STAH.
Histerektomi juga dapat dilakukan melalui pendekatan
dari vagina, dimana tindakan operasi tidak melalui insisi pada
abdomen. Secara umum histerektomi vaginal hampir seluruhnya

34
merupakan prosedur operasi ekstraperitoneal, dimana
peritoneum yang dibuka sangat minimal sehingga trauma yang
mungkin timbul pada usus dapat diminimalisasi. Oleh karena
pendekatan operasi tidak melalui dinding abdomen, maka pada
histerektomi vaginal tidak terlihat parut bekas operasi sehingga
memuaskan pasien dari segi kosmetik.
Selain itu kemungkinan terjadinya perlengketan paska
operasi juga lebih minimal. Masa penyembuhan pada pasien
yang menjalani histerektomi vaginal lebih cepat dibanding yang
menjalani histerektomi abdominal. Dengan berkembangnya
tehnik dan alat-alat kedokteran, maka tindakan histerektomi kini
dapat dilakukan dengan menggunakan laparoskopi. Prosedur
operasi dengan laparoskopi dapat berupa miolisis. Miolisis
adalah prosedur operasi invasif yang minimal dengan jalan
menghantarkan sumber energi yang berasal dari laser The
neodynium:yttrium aluminium garnet (Nd:YAG) ke jaringan
mioma, dimana akan menyebabkan denaturasi protein sehingga
menimbulkan proses koagulasi dan nekrosis didalam jaringan
yang diterapi. Miolisis perlaparoskopi efektif untuk mengurangi
ukuran mioma dan menimbulkan devaskularisasi mioma akan
mengurangi gejala yang terjadi. Miolisis merupakan alternatif
terapi prosedur miomektomi.
Pengangkatan seluruh uterus dengan mioma juga dapat
dilakukan dengan laparoskopi. Salah satu tujuan melakukan
histerektomi laparoskopi adalah untuk mengalihkan prosedur
histerektomi abdominal kepada histerektomi vaginal atau
histerektomi laparoskopi secara keseluruhan. Ada beberapa
tehnik histerektomi laparoskopi. Pertama adalah histerektomi
vaginal dengan bantuan laparoskopiN (Laparoscopically
assisted vaginal histerectomy/ LAVH). Pada prosedur ini
tindakan laparoskopi dilakukan untuk memisahkan adneksa dari
dinding pelvik dan memotong mesosalfing kearah ligamentum
kardinale dibagian bawah. Pemisahan pembuluh darah uterina

35
dilakukan dari vagina. Kedua, pada tahun 1991 Semm
memperkenalkan tehnik classic intrafascial serrated edged
macromorcellated hysterectomy (CISH)tanpa colpotomy.
Prosedur ini merupakan modifikasi dari STAH, dimana lapisan
dalam dari serviks dan uterus direseksi menggunakan
morselator. Dengan prosedur ini diharapkan dapat
mempertahankan integritas lantai pelvik dan mempertahankan
aliran darah pada pelvik untuk mencegah terjadinya prolapsus.
Keunggulan dari CISH adalah mengurangi resiko trauma pada
ureter dan kandung kemih, perdarahan yang lebih minimal,
waktu operasi yang lebih cepat, resiko infeksi yang lebih
minimal dan masa penyembuhan yang cepat.
Dari tulisan ini dapat disimpulkan bahwa terapi yang
terbaik untuk mioma uteri adalah melakukan histerektomi. Dari
berbagai pendekatan, prosedur histerektomi laparoskopi
memiliki kelebihan dimana resiko perdarahan yang lebih
minimal, masa penyembuhan yang lebih cepat dan angka
morbiditas yang lebih rendah dibanding prosedur histerektomi
abdominal. (Hadibroto, 2015).

36
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN MIOMA UTERI

A. Konsep Asuhan Keperawatan Mioma Uteri


1. Pengkajian
a. Anamnesa
1) Identitas klien: Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa, status pernikahan, pendidikan, pekerjaan, alamat.
2) Identitas penanggung jawab: Nama, umur, jenis kelamin,
hubungan dengan keluarga, pekerjaan, alamat.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Keluhan yang paling utama dirasakan oleh pasien mioma
uteri, misalnya timbul benjolan diperut bagian bawah yang
relatif lama. Kadang-kadang disertai gangguan haid
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan yang di rasakan oleh ibu penderita mioma saat
dilakukan pengkajian, seperti rasa nyeri karena terjadi tarikan,
manipulasi jaringan organ. Rasa nyeri setelah bedah dan
adapun yang yang perlu dikaji pada rasa nyeri adalah lokasih
nyeri, intensitas nyeri, waktu dan durasi serta kualitas nyeri.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Tanyakan tentang riwayat penyakit yang pernah diderita dan
jenis pengobatan yang dilakukan oleh pasien mioma uteri,
tanyakan penggunaan obat-obatan, tanyakan tentang riwayat
alergi, tanyakan riwayat kehamilan dan riwayat persalinan
dahulu, penggunaan alat kontrasepsi, pernah dirawat/dioperasi
sebelumnya.
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Tanyakan kepada keluarga apakah ada anggota keluarga
mempunyai penyakit keturunan seperti diabetes melitus,

37
hipertensi, jantung, penyakit kelainan darah dan riwayat
kelahiran kembar dan riwayat penyakit mental.
5) Riwayat Obstetri
Untuk mengetahui riwayat obstetri pada pasien mioma uteri
yang perlu diketahui adalah
a) Keadaan haid
Tanyakan tentang riwayat menarhe dan haid terakhir,
sebab mioma uteri tidak pernah ditemukan sebelum
menarhe dan mengalami atrofi pada masa menopause.
b) Riwayat kehamilan dan persalinan
Kehamilan mempengaruhi pertumbuhan mioma uteri,
dimana mioma uteri tumbuh cepat pada masa hamil ini
dihubungkan dengan hormon estrogen, pada masa ini
dihasilkan dalam jumlah yang besar.
c. Faktor Psikososial
1) Tanyakan tentang persepsi pasien mengenai penyakitnya,
faktorfaktor budaya yang mempengaruhi, tingkat pengetahuan
yang dimiliki pasien mioma uteri, dan tanyakan mengenai
seksualitas dan perawatan yang pernah dilakukan oleh pasien
mioma uteri.
2) Tanyakan tentang konsep diri : Body image, ideal diri, harga
diri, peran diri, personal identity, keadaan emosi, perhatian dan
hubungan terhadap orang lain atau tetangga, kegemaran atau
jenis kegiatan yang di sukai pasien mioma uteri, mekanisme
pertahanan diri, dan interaksi sosial pasien mioma uteri
dengan orang lain.
d. Pola Kebiasaan Sehari-hari
Pola nutrisi sebelum dan sesudah mengalami mioma uteri yang
harus dikaji adalah frekuensi, jumlah, tanyakan perubahan nafsu
makan yang terjadi.
e. Pola Eliminasi
Tanyakan tentang frekuensi, waktu, konsitensi, warna, BAB
terakhir. Sedangkan pada BAK yang harus di kaji adalah
frekuensi, warna, dan bau.
f. Pola Aktivitas, Latihan, dan bermain

38
Tanyakan jenis kegiatan dalam pekerjaannya, jenis olahraga dan
frekwensinya, tanyakan kegiatan perawatan seperti mandi,
berpakaian, eliminasi, makan minum, mobilisasi
g. Pola Istirahat dan Tidur
Tanyakan waktu dan lamanya tidur pasien mioma uteri saat siang
dan malam hari, masalah yang ada waktu tidur.
h. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Kaji tingkat kesadaran pasien mioma uteri
2) Tanda-tanda vital : Tekanan darah, nadi,suhu, pernapasan.
3) Pemeriksaan Fisik Head to toe
a) Kepala dan rambut : lihat kebersihan kepala dan keadaan
rambut.
b) Mata : lihat konjungtiva anemis, pergerakan bola mata
simetris
c) Hidung : lihat kesimetrisan dan kebersihan, lihat adanya
pembengkakan konka nasal/tidak.
d) Telinga : lihat kebersihan telinga.
e) Mulut : lihat mukosa mulut kering atau lembab, lihat
kebersihan rongga mulut, lidah dan gigi, lihat adanya
penbesaran tonsil.
f) Leher dan tenggorokan : raba leher dan rasakan adanya
pembengkakan kelenjar getah bening/tidak.
g) Dada atau thorax : paru-paru/respirasi,
jantung/kardiovaskuler dan sirkulasi, ketiak dan
abdomen.
h) Abdomen
Infeksi : bentuk dan ukuran, adanya lesi, terlihat
menonjol.
Palpasi: terdapat nyeri tekan pada abdomenPerkusi:
timpani, pekak.
Auskultasi: bagaimana bising usus.
i) Ekstremitas/ muskoluskletal terjadi pembengkakan pada
ekstremitas atas dan bawah pasien mioma uteri.
j) Genetalia dan anus perhatikan kebersihan,adanya lesi,
perdarahan diluar siklus menstruasi.
2. Kemungkinan Diagnosis Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan nekrosis atau trauma
jaringan dan refleks spasme otot sekunder akibat tumor
b. Resiko syok berhubungan dengan perdarahan

39
c. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan imun tubuh
sekunder akibat gangguan hematologis (perdarahan)
d. Retensi urine berhubungan dengan penekanan oleh massa
jaringan neoplasma pada organ sekitarnya, gangguan
sensorik motorik.
e. Resiko Konstipasi berhubungan dengan penekanan pada
rectum (prolaps rectum).
f. Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status peran,
ancaman pada status kesehatan, konsep diri (kurangnya
sumber informasi terkait penyakit)

3. Rencana Keperawatan
No Diagnosis Keperawatan Intervensi
NOC NIC
1 Nyeri akut berhubungan NOC: Setelah Manajemen Nyeri
1) Lakukan
dengan nekrosis atau dilakukan tindakan
pengkajian nyeri
trauma jaringan dan keperawatan selama 1
komprehensip
refleks spasme otot x 24 jam, pasien
yang meliputi
sekunder akibat tumor mioma uteri mampu
lokasi,
Definisi: mengontrol nyeri
karakteristik,
Pengalaman sensori dan dibuktikan dengan
onset/durasi,
emosional tidak kriteria hasil:
frekuensi, kualitas,
menyenangkan yang
Mengontrol Nyeri
intensitas atau
muncul akibat kerusakan 1) Mengenali kapan
beratnya nyeri dan
jaringan aktual atau nyeri terjadi
2) Menggambarkan faktor pencetus
potensial atau yang
2) Observasi adanya
faktor penyebab
digambarkan sebagai
pentunjuk
nyeri
kerusakan (International
3) Menggunakan nonverbal
Association for the Study
tindakan mengenai ketidak
of pain) awitan yang tiba
pencegahan nyeri nyamanan
tiba atau lambat dari 4) Menggunakan
terutama
intensitas ringan hingga tindakan
pada mereka yang
berat dengan akhir yang pengurangan nyeri
tidak dapat
dapat diantisipasi atau (nyeri) tanpa
berkomunikasi
diprediksi. analgesik

40
5) Menggunakan secara efektif
3) Pastikan perawatan
Batasan karakteristik: analgesik yang
a) Bukti nyeri dengan analgesik bagi
direkomendasikan
menggunakan standar 6) Melaporkan pasien dilakukan
daftar periksa nyeri perubahan dengan
untuk pasien yang terhadap gejalah pemantauan
nyeri pada
tidak dapat yang ketat
profesional 4) Gunakan strategi
mengungkapannya
b) Ekspresi wajah nyeri kesehatan komunikasi
7) Melaporkan
(misal: mata kurang terapeutik untuk
gejalah yang tidak
bercahaya, tampak mengetahui
terkontrol
kacau, gerakan mata pengalaman nyeri
pada profesional
berpencar atau tetap dan sampaikan
kesehatan
pada satu fokus, penerimaan pasien
8) Menggunakan
meringis) terhadap nyeri
sumber daya yang
c) Fokus menyempit 5) Gali pengetahuan
tersedia untuk
(misal: persepsi dan kepercayaan
menangani nyeri
waktu, proses pasien mengenai
9) Mengenali apa
berpikir, interaksi
nyeri
yang terkait
dengan orang dan 6) Pertimbangkan
dengan gejala
lingkungan) pengaruh budaya
d) Fokus pada diri nyeri
terhadap respon
10) Melaporkan nyeri
sendiri
nyeri
e) Keluhan tentang yang terkontrol
7) Tentukan akibat
intensitas
dari pengalaman
menggunakan
nyeri terhadap
standars kala nyeri
kualitas hidup
f) Keluhan tentang
pasien (misalnya,
karakteristik nyeri
tidur, nafsu makan,
dengan menggunakan
pengertian,
standar instrumen
perasaan, performa
nyeri
g) Laporan tentang kerja dan tanggung
perilaku nyeri/ jawab peran)
8) Gali bersama
perubahan aktivitas

41
h) Perubahan posisi pasien faktor-
untuk menghindari faktor yang dapat
nyeri menurunkan atau
i) Putus asa
memperberat nyeri
j) Sikap melindungi
9) Evaluasi
area nyeri
pengalaman nyeri
Faktor yang dimasa lalu
berhubungan: yang meliputi
a) Agens cidera biologis
riwayat nyeri
b) Agens cidera fisik
kronik individu
Agens cidera kimiawi
atau keluarga atau
nyeri yang
menyebabkan
disability/ ketidak
mampuan/kecatat
n, dengan tepat
10) Evaluasi
bersama pasien
dan tim
kesehatan lainnya,
mengenai
efektifitas,
pengontrolan nyeri
yang pernah
digunakan
sebelumnya
2 Resiko syok NOC: Setelah Pencegahan Syok
1) Monitor adanya
berhubungan dilakukan perawatan
respon konpensasi
dengan perdarahan selama 1x 24 jam
terhadap syok
diharapkan tidak
Definisi: beresiko
(misalnya, tekanan
terjadi syok
terhadap ketidak
darah normal,
hipovolemik dengan
cukupan aliran darah
tekanan nadi
kriteria:
kejaringan tubuh, yang
1) Tanda vital dalam melemah,

42
dapat mengakibatkan batas normal. perlambatan
2) Tugor kulit baik.
disfungsi seluler yang pengisian kapiler,
3) Tidak ada sianosis.
mengancam jiwa. 4) Suhu kulit hangat. pucat/ dingin pada
5) Tidak ada
kulit atau kulit
Faktor resiko
diaporesis.
1) Hipotensi. kemerahan,
6) Membran mukosa
2) Hipovolemi
takipnea ringan,
3) Hipoksemia kemerahan.
4) Hipoksia mual dan munta,
5) Infeksi
peningkatan rasa
6) Sepsis
7) Sindrom respon haus, dan
inflamasi kelemahan)
2) Monitor adanya
sestemik
tanda-tanda respon
sindroma inflamasi
sistemik (misalnya,
peningkatan suhu,
takikardi, takipnea,
hipokarbia,leukosit
osis, leukopenia)
3) Monitor terhadap
adanya tanda awal
reaksi alergi
(misalnya, rinitis,
mengi, stridor,
dipnea, gatal-gatal
disertai
kemerahan,
gangguan saluran
pencernaan, nyeri
abdomen, cemas
dan gelisa)
4) Monitor terhadap
adanya tanda
ketidak adekuatan

43
perfusi oksigen ke
jaringan
(misalnya,peningk
atan stimulus,
peningkatan
kecemasan,peruba
han status mental,
egitasi, oliguriadan
akral teraba dingin
dan warna kulit
tidak merata)
5) Monitor suhu dan
status respirasi
6) Periksa urin
terhadap adanya
darah dan protein
sesuai kebutuhan
7) Monitor terhadap
tanda/gejalah
asites
dan nyeri abdomen
atau punggung.
8) Lakukan skin-test
untuk mengetahui
agen yang
menyebabkan
anaphiylaxis atau
reaksi alergi sesuai
kebutuhan
3 Resiko Infeksi NOC: Setelah Manajemen Alat
berhubungan dilakukan tindakan terapi per vaginam
1) Kaji ulang riwayat
dengan penurunan imun keperawatan selama 1
kontraindikasih
tubuh sekunder akibat x 24 jam, pasien
pemasangan alat
gangguan hematologis mioma uteri

44
(perdarahan) menunjukkan pasien pervaginam pada
mampu melakukan pasien (misalnya,
Definisi:
pencegahan infeksi infeksi pelvis,
Mengalami peningkatan
secara mandiri, laserasi, atau
resiko terserang
ditandai dengan adanya massa
organisme patogenik
kriteria hasil: sekitar vagina)
1) Kemerahan tidak 2) Diskusikan
Faktor yang
ditemukan pada mengenai
berhubungan:
tubuh aktivitasaktivitas
1) Penyakit kronis
2) Vesikel yang tidak
a. Diabetes melitus seksual yang
b. Obesitas mengeras
sesuai sebelum
2) Pengetahuan yang
permukaannya
memilih alat yang
tidak cukup untuk 3) Cairan tidak
dimasukan
menghindari berbauk busuk
3) Lakukan
4) Piuria/nanah tidak
pemanjanan patogen
pemeriksaan pelvis
3) Pertahanan tubuh ada dalam urin
4) Intruksikan pasien
5) Demam berkurang
primer yang tidak
6) Nyeri berkurang untuk melaporkan
adekuat 7) Nafsu makan
ketidaknyamanan,
a. Gangguan
meningkat
disuria, perubahan
peritalsis
b. Kerusakan warna, konsistensi,
integritas dan frekuensi
kulit (pemasangan cairan vagina
5) Berikan obat-obat
kateter intravena,
berdasarkan resep
prosedur invasif
c. Perubahan sekresi dokter untuk
PH mengurangi iritasi
d. Penurunan kerja 6) Kaji kemampuan
siliaris pasien untuk
e. Pecah ketuban
melakukan
dini
perawatan secara
f. Pecah ketuban
mandiri
lama
7) Observasi ada
g. Merokok
h. Stasis cairan tidaknya cairan
tubuh vagina
i. Trauma jaringan

45
(misalnya, trauma yang tidak normal
destruksi dan berbau
8) Infeksi adanya
jaringan)
4) Ketidak adekuatan lubang, laserasi,
jaringan sekunder ulserasi
a. Penurunan
pada vagina
hemoglobin
b. Supresi respon Kontrol Infeksi
1) Bersihkan
inflamasi
5) Vaksinasi tidak lingkungan
adekuat dengan baik
6) pemajanan terhadap
setelah digunakan
patogen
untuk setiap
lingkungan
pasien
meningkat 2) Isolasi orang yang
7) prosedur invasif
terkena penyakit
8) malnutrisi
menular
3) Batasi jumlah
pengunjung
4) Anjurkan pasien
untuk mencuci
tangan yang benar
5) Anjurkan
pengunjung untuk
mencuci
tangan pada saat
memasuki dan
meninggalkan
ruangan pasien
6) Gunakan sabun
antimikroba untuk
cuci tangan yang
sesuai
7) Cuci tangan
sebelum dan
sesudah kegiatan

46
perawatan pasien
8) Pakai sarung
tangan
sebagaimana
dianjurkan oleh
kebijakan
pencegahan
universal
4 Retensi urine NOC: setelah Manajemen
berhubungan dilakukan tindakan eliminasi urin:
1) Monitor eliminasi
dengan penekanan oleh keperawatan
urin termasuk
massa jaringan 1x 24 jam diharapkan
frekuensi,
neoplasma pada organ eliminasi urin kembali
konsistensi, bau,
sekitarnya, gangguan normal dengan
volume dan
sensorik motorik. kriteria hasil:
1) Pola eliminasi warna urin sesuai
Definisi: pengosongan kembali normal kebutuhan.
2) Bau urin tidak ada 2) Monitor tanda dan
kantung kemih tidak
3) Jumlah urin dalam
gejala retensio
komplit
batas normal
urin.
4) Warna urin normal
3) Ajarkan pasien
Batasan karakteristik: 5) Intake cairan
1) Tidak ada keluaran tanda dan gejala
dalam batas
urin infeksi saluran
normal
2) Distensi kandung
6) Nyeri saat kencing kemih.
kemih 4) Anjurkan pasien
tidak ditemukan
3) Menetes
atau keluarga
4) Disuria
5) Sering berkemih untuk melaporkan
6) Inkontinensia aliran
urin uotput sesuai
berlebih
kebutuhan.
7) Residu urin
5) Anjurkan pasien
8) Sensasi kandung
untuk banyak
kemih penuh
9) Berkemih sedikit minum
Faktor yang saat makan dan
berhubungan waktu pagi hari.
1) Sumbatan 6) Bantu pasien

47
2) Tekanan ureter tinggi dalam
3) Inhibishi arkus reflex
mengembangkan
rutinitas toileting
sesuai kebutuhan.
7) Anjurkan pasien
untuk memonitor
tanda dan gejalah
infeksi saluran
kemih.

PENDAHULUAN GANGGUAN HAID

1.3 GANGGUAN HAID


A. Latar Belakang
Remaja merupakan suatu transisi periode kehidupan dari masa
anak ke dewasa. Perubahan akan diikuti dengan perubahan fisik,
perilaku, kognitif, biologis dan emosi. Menurut WHO, batasan usia
remaja terjadi pada umur 12-24 tahun. Jumlah penduduk remaja dunia

48
mencapai 1,2 milyar atau 18% dari jumlah penduduk dunia. Di
Indonesia, menurut Sensus Penduduk tahun 2010 jumlah penduduk
kelompok usia 10-19 tahun mencapai 43,5 juta atau sekitar 18% dari
jumlah penduduk.
Pada masa pubertas akan terjadi kematangan kerangka dan
seksual secara pesat. Menurut Mons dan Knoer (2012) pada remaja
putri tanda-tanda kelamin primer muncul dengan adanya perkembangan
rahim dan saluran telur, vagina, bibir kemaluan dan klitoris.
Kematangan sel telur dan produksi hormon esterogen akan
menyebabkan munculnya menstruasi pada periode pertama yang
disebut menarche. Menurut Hurlock (2017), hal tersebut menandakan
bahwa mekanisme reproduksi pada anak perempuan telah berfungsi
matang. Masa ini merupakan masa yang sangat penting sebagai proses
persiapan untuk menjadi calon ibu.
Menstruasi merupakan perdarahan dari rahim yang berlangsung
secara periodik dan siklik. Hal tersebut akibat dari pelepasan
(deskuamasi) endometrium akibat hormon ovarium (estrogen dan
progesteron) yang mengalami perubahan kadar pada akhir siklus
ovarium, biasanya dimulai pada hari ke-14 setelah ovulasi. Menstruasi
merupakan suatu proses alamiah yang biasa dialami perempuan tetapi
hal ini akan menjadi masalah jika terjadi gangguan menstruasi.
Gangguan menstruasi dapat berupa gangguan lama dan jumlah
darah haid, gangguan siklus haid, gangguan perdarahan di luar siklus
haid dan gangguan lain yang berhubungan dengan haid. Lama
menstruasi normalnya terjadi antara 4-8 hari. Apabila menstruasi terjadi
kurang dari 4 hari maka dikatakan hipomenorea dan jika lebih dari 8
hari dikatakan hipermenorea. Perempuan biasanya mempunyai siklus
haid antara 21-35 hari. Disebut polimenorea jika siklus haid kurang dari
21 hari dan oligomenorea jika siklus haid lebih dari 35 hari. Perdarahan
bukan haid adalah perdarahan yang terjadi dalam masa antara 2 haid.
Pada perempuan yang mengalami siklus menstruasi lebih dari 90 hari
maka dikatakan mengalami amenorea. Pada gangguan lain yang
berhubungan dengan menstruasi dapat berupa dismenorea dan

49
premenstrual syndrome (PMS). Dismenorea adalah rasa sakit atau tidak
enak pada perut bagian bawah yang terjadi pada saat menstruasi sampai
dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Premenstrual syndrome (PMS)
muncul pada sebelum menstruasi dan menghilang ketika menstruasi
dengan gejala dapat berupa fisik, psikologis dan emosional.
Adanya gangguan menstruasi akan dapat menjadi hal yang serius.
Menstruasi yang tidak teratur dapat menjadi pertanda tidak adanya
ovulasi (anoluvatoir) pada siklus menstruasi. Hal tersebut berarti
seorang wanita dalam keadaan infertile (cenderung sulit memiliki
anak). Pada menstruasi dengan jumlah perdarahan yang banyak dan
terjadi dalam kurun waktu yang lama akan dapat menyebabkan anemia
pada remaja. Gangguan lain seperti PMS dan dismenorea dapat
mengganggu produktivitas. Keluhan yang berhubungan dengan kondisi
fisik seperti rasa sakit di sekitar kepala dan nyeri pada perut bagian
bawah sehingga dapat mengganggu . Dampak emosional dapat berupa
emosi yang tidak terkontrol, gelisah, lekas marah, mudah panik dan
pada akhirnya akan mudah menangis.
Menurut Rakhmawati (2013) faktor yang dapat mempengaruhi
terjadinya gangguan menstruasi diantaranya gangguan hormonal,
pertumbuhan organ reproduksi, status gizi, stress, usia dan penyakit
metabolic.7 Penelitian yang dilakukan pada mahasiswa kebidanan
STIKes Yarsi Sumbar Bukittinggi tahun 2014, dari 100 responden
diketahui bahwa sebesar 92% mengalami gangguan menstruasi. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Shita tahun 2014 di SMA Negeri 1
Melaya Kabupaten Jembrana pada 70 responden didapat 90%
mengalami satu atau lebih tipe gangguan menstruasi. Gangguan volume
dan lamanya menstruasi sebesar 32,9%, gangguan siklus menstruasi
68,9% dan gangguan lain yang berhubungan dengan menstruasi
mencapai 85,7%. (Novita, 2018).
Dampak jika gangguan siklus menstruasi tidak ditangani akan
mengakibatkan tubuh kehilangan terlalu banyak darah sehingga terjadi
anemia. Perbedaan siklus menstruasi disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain status gizi, asupan makanan, umur, aktivitas fisik, penyakit

50
reproduksi, pengaruh rokok, dan stres. Penelitian yang dilakukan pada
remaja putri Turki ditemukan 31,2% mengalami ketidakteraturan pola
menstruasi. Penelitian lain yang dilakukan pada remaja di India
melaporkan sebanyak 22,1% remaja mengalami ketidakteraturan pola
menstruasi.
Kebutuhan gizi berhubungan erat dengan masa pertumbuhan, jika
asupan gizi terpenuhi maka pertumbuhan akan optimal. Kebutuhan gizi
yang harus terpenuhi berasal dari karbohidrat, lemak, dan protein.
Asupan gizi yang tidak adekuat dapat menyebabkan kecukupan asupan
zat gizi tidak baik sehingga dapat mempengaruhi ketidakteraturan
menstruasi pada kebanyakan remaja. Asupan karbohidrat berhubungan
dengan kalori selama fase luteal, asupan protein berhubungan dengan
panjang fase folikular sedangkan asupan lemak berhubungan dengan
hormon reproduksi. (Sitoayu, Pertiwi, & Mulyani, 2017)
B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi dari menstruasi?
2. Bagaimana perubahan siklus menstruasi?
3. Bagaimana siklus menstruasi?
4. Apa saja yang mempengaruhi gangguan haid?
5. Bagaimana penyebab terganggunya siklus haid?
6. Apa saja gangguan yang berhubungan dengan haid?
7. Bagiamana konsep asuhan keperawatan gangguan haid?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari menstruasi.
2. Untuk mengetahui perubahan siklus menstruasi.
3. Untuk mengetahui siklus Mmnstruasi.
4. Untuk mengetahui gangguan haid.
5. Untuk mengetahui penyebab terganggunya siklus haid.
6. Untuk mengetahui gangguan yang berhubungan dengan haid
7. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan gangguan haid

51
KONSEP PENYAKIT GANGGUAN HAID

A. Definisi Mentruasi
Menstruasi merupakan perdarahan dari rahim yang berlangsung
secara periodik dan siklik. Hal tersebut akibat dari pelepasan
(deskuamasi) endometrium akibat hormon ovarium (estrogen dan
progesteron) yang mengalami perubahan kadar pada akhir siklus
ovarium. (Novita, 2018)
Pola haid merupakan suatu siklus menstruasi normal, dengan
menarche sebagai titik awal. Pada umumnya menstruasi akan
berlangsung setiap 28 hari selama lebih kurang 7 hari. Lama
perdarahannya sekitar 3-5 hari, ada yang 1-2 hari diikuti darah yang
sedikit-sedikit dan tidak terasa nyeri. Jumlah darah yang hilang sekitar
30-40 cc. Puncaknya hari ke-2 atau ke-3 dengan jumlah pemakaian
pembalut sekitar 2-3 buah. (Manuaba, 2018).
Umumnya datangnya haid pertama kali sekitar umur 10 – 16 tahun
(Jonesh, 2015). Panjang siklus haid ialah jarak antara tanggal mulainya
haid yang lalu dan mulainya haid berikutnya. Hari mulainya perdarahan
dinamakan hari pertama siklus (Sarwono, 2012).
Menurut Bobak, menstruasi atau haid adalah perdarahan periodik
pada uterus yang dimulai sekitar 14 hari setelah ovulasi. menstruasi ini
merupakan peristiwa yang dialami setiap perempuan. Seorang
perempuan yang pertama kali mendapat haid adalah pertanda bahwa ia
siap bereproduksi atau menghasilkan keturunan.
Fungsi menstruasi normal merupakan hasil interaksi antara
hipotalamus, hipofisis, dan ovarium dengan perubahan-perubahan
terkait pada jaringan sasaran pada saluran reproduksi normal. Ovarium
memainkan peranan penting dalam proses ini, karena tampaknya
bertanggung jawab dalam pengaturan perubahan-perubahan siklik
maupun lama siklus menstruasi (Jones, 2015).

B. Perubahan Siklus Haid


Perubahan siklus haid merupakan suatu keadaan siklus haid yang
berbeda dengan yang sebelumnya, yang diukur mulai dari siklus

52
menstruasi normal, dengan menarche sebagai titik awal, yang dapat
berkisar kurang dari batas normal sekitar 22– 35 hari (Varney, 2017).

C. Siklus Menstruasi
Ciri khas kedewasaan wanita ditandai dengan adanya perubahan-
perubahan siklius pada alat kandungan sebagai persiapan untuk suatu
kehamilan. Peristiwa penting tersebut ditandai dengan datangnya haid
yaitu pengeluaran darah tiap bulan dari rahim. Ada pameo yang
mengatakan, ketika haid, rahim menangis karena pembuahan tidak
kunjung terjadi. Pendarahan akibat runtuhnya dinding lapisan dalam
rahim adalah puncak dari serangkaian peristiwa saling berkaitan, yang
bertujuan mempersiapkan rahim menampung sel telur yang dibuahi.
Bila kehamilan tidak terjadi, dinding yang sudah dipersiapkan itu
mengelupas. Siklus baru yang sama dimulai lagi.
Pengendali utama dari semua peristiwa itu ialah hipotalamus.
Bagian otak itu pun masih dapat dipengaruhi oleh emosi dan
kekecewaan. Terbukti dari kenyataan haid dapat dipengaruhi oleh
pikiran yang kacau, atau perjalanan, dan pindah pekerjaan. Lamanya
haid terhenti tidak selalu dapat dipastikan. Ada yang dua atau tiga bulan
kemudian datang kembali, dan ada pula yang sampai setahun penuh,
bahkan dapat pula lebih. Wanita yang mengalami hal ini, memerlukan
pemeriksaan yang cermat terhadap kemungkinan menderita penyakit
yang dapat menyebabkan amenorea.
1. Gambaran Klinis Menstruasi
Sebagian besar wanita pertengahan usia reproduktif,
perdarahan menstruasi terjadi setiap 25-35 hari dengan median
panjang siklus adalah 28 hari. Wanita dengan siklus ovulatorik,
selang waktu antara awal menstruasi hingga ovulasi – fase
folikular – bervariasi lamanya. Siklus yang diamati terjadi pada
wanita yang mengalami ovulasi. Selang waktu antara awal
perdarahan menstruasi – fase luteal - relatif konstan dengan rata-
rata 14 ± 2 hari pada kebanyakan wanita (Hanafi, 2012).
Lama keluarnya darah menstruasi juga bervariasi; pada
umumnya lamanya 4 sampai 6 hari, tetapi antara 2 sampai 8 hari

53
masih dapat dianggap normal. Pengeluaran darah menstruasi terdiri
dari fragmen-fragmen kelupasan endrometrium yang bercampur
dengan darah yang banyaknya tidak tentu. Biasanya darahnya cair,
tetapi apabila kecepatan aliran darahnya terlalu besar,
bekuan dengan berbagai ukuran sangat mungkin ditemukan.
Ketidakbekuan darah menstruasi yang biasa ini disebabkan oleh
suatu sistem fibrinolitik lokal yang aktif di dalam endometrium.
Rata-rata banyaknya darah yang hilang pada wanita normal
selama satu periode menstruasi telah ditentukan oleh beberapa
kelompok peneliti, yaitu 25-60 ml. Konsentrasi Hb normal 14 gr
per dl dan kandungan besi Hb 3,4 mg per g, volume darah ini
mengandung 12-29 mg besi dan menggambarkan kehilangan darah
yang sama dengan 0,4 sampai 1,0 mg besi untuk setiap hari siklus
tersebut atau 150 sampai 400 mg per tahun (Bobak, 2014).
2. Aspek Hormonal Selama Siklus Menstruasi
Mamalia, khususnya manusia, siklus reproduksinya
melibatkan berbagai organ, yaitu uterus, ovarium, vagina, dan
mammae yang berlangsung dalam waktu tertentu atau adanya
sinkronisasi, maka hal ini dimungkinkan adanya pengaturan
koordinasi yang disebut hormon. Hormon adalah zat kimia yang
dihasilkan oleh kelenjar endokrin, yang langsung dialirkan dalam
peredaran darah dan mempengaruhi organ tertentu yang disebut
organ target. Hormon-hormon yang berhubungan dengan siklus
menstruasi ialah :
a. Hormon-hormon yang dihasilkan gonadotropin hipofisis :
1) Luteinizing Hormon (LH)
2) Folikel Stimulating Hormon (FSH)
3) Prolaktin Releasing Hormon (PRH)
a. Steroid ovarium
Ovarium menghasilkan progestrin, androgen, dan
estrogen. Banyak dari steroid yang dihasilkan ini juga
disekresi oleh kelenjar adrenal atau dapat dibentuk di
jaringan perifer melalui pengubahan prekursor prekursor
steroid lain; konsekuensinya, kadar plasma dari hormon-

54
hormon ini tidak dapat langsung mencerminkan aktivitas
steroidogenik dari ovarium.
b. Fase-fase dalam Siklus Menstruasi
Setiap satu siklus menstruasi terdapat 4 fase perubahan
yang terjadi dalam uterus. Fase-fase ini merupakan hasil
kerjasama yang sangat terkoordinasi antara hipofisis anterior,
ovarium, dan uterus (Bobak, 2014).
Fase-fase tersebut adalah :
a. Fase menstruasi atau deskuamasi
Fase ini endometrium terlepas dari dinding uterus
dengan disertai pendarahan dan lapisan yang masih utuh
hanya stratum basale. Fase ini berlangsung selama lima hari
(rentang tiga sampai enam hari). Pada awal fase menstruasi
kadar estrogen, progeseron, LH (Luteinizing Hormon)
menurun atau pada kadar terendahnya selama siklus dan
kadar FSH (Folikel Stimulating Hormon) baru mulai
meningkat.
b. Fase pascamenstruasi atau fase regenerasi
Fase ini, terjadi penyembuhan luka akibat lepasnya
endometrium. Kondisi ini mulai sejak fase menstruasi terjadi
dan berlangsung selama ± 4 hari.
c. Fase intermenstum atau fase proliferasi
Fase ini merupakan periode pertumbuhan cepat yang
berlangsung sejak sekitar hari kelima ovulasi, misalnya hari
ke-10 siklus 24 hari, hari ke-15 siklus 28 hari, hari ke-18
siklus 32 hari. Permukaan endometrium secara lengkap
kembali normal dalam sekitar empat hari atau menjelang
perdarahan berhenti. Sejak saat ini, terjadi penebalan 8-10
kali lipat, yang berakhir saat ovulasi. Fase intermenstum atau
fase proliferasi tergantung pada stimulasi estrogen yang
berasal dari folike ovarium.
Fase proliferasi dibagi menjadi 3 tahap, yaitu :
1) Fase proliferasi dini, terjadi pada hari ke-4 sampai hari
ke-7. Fase ini dapat dikenali dari epitel permukaan yang
tipis dan adanya regenerasi epitel.

55
2) Fase proliferasi madya, terjadi pada hari ke-8 sampai
hari ke-10. Fase ini merupakan bentuk transisi dan dapat
dikenali dari epitel permukaan yang berbentuk torak
yang tinggi.
3) Fase proliferasi akhir, berlangsung antara hari ke-11
sampai hari ke-14. Fase ini dapat dikenali dari
permukaan yang tidak rata dan dijumpai banyaknya
mitosis.
d. Fase pramenstruasi atau fase sekresi
Fase ini berlangsung dari hari ke-14 sampai ke-28. Fase
ini endometrium kira-kira tetap tebalnya, tetapi bentuk
kelenjar berubah menjadi panjang berkelok-kelok dan
mengeluarkan getah yang makin lama makin nyata. Bagian
dalam sel endometrium terdapat glikogen dan kapur yang
diperlukan sebagai bahan makanan untuk telur yang dibuahi.
Fase sekresi dibagi dalam 2 tahap, yaitu :
1) Fase sekresi dini, pada fase ini endometrium lebih tipis
dari fase sebelumnya karena kehilangan cairan.
2) Fase sekresi lanjut, pada fase ini kelenjar dalam
endometrium berkembang dan menjadi lebih berkelok-
kelok dan sekresi mulai mengeluarkan getah yang
mengandung glikogen dan lemak. Endometrium menjadi
kaya dengan darah dan sekresi kelenjar. Akhir masa ini,
stroma endometrium berubah kearah sel sel; desidua,
terutama yang ada di seputar pembuluh-pembuluh
arterial. Keadaan ini memudahkan terjadinya nidasi.
e. Mekanisme siklus menstruasi
Selama haid, pada hari bermulanya diambil sebagai hari
pertama dari siklus yang baru. Akan terjadi lagi peningkatan
dari FSH sampai mencapai kadar 5 mg/ml (atau setara
dengan 10 mUI/ml), dibawah pengaruh sinergis kedua
gonadotropin, folikel yang berkembang ini menghasilkan
estradiol dalam jumlah yang banyak. Peningkatan serum
yang terus-menerus pada akhir fase folikuler akan menekan
FSH dari hipofisis. Dua hari sebelum ovulasi, kadar estradiol

56
mencapai 150-400 pg/ml. Kadar tersebut melebihi nilai
ambang rangsang untuk pengeluaran gonadotropin
praovulasi. Akibatnya FSH dan LH dalam serum akan
meningkat dan mencapai puncaknya satu hari sebelum
ovulasi. Saat yang sama pula, kadar estradiol akan kembali
menurun. Kadar maksimal LH berkisar antara 8 dan 35 ng/ml
atau setara dengan 30-40 mUI/ml, dan FSH antara 4-10 ng/
ml atau setara dengan 15-45 mUI/ml.
Terjadinya puncak LH dan FSH pada hari ke-14, maka
pada saat ini folikel akan mulai pecah dan satu hari kemudian
akan timbul ovulasi. Bersamaan dengan ini dimulailah
pembentukan dan pematangan korpus luteum yang disertai
dengan meningkatnya kadar progesteron, sedangkan
gonadotropin mulai turun kembali. Peningkatan progesteron
tersebut tidak selalu memberi arti, bahwa ovulasi telah terjadi
dengan baik, karena pada beberapa wanita yang tidak terjadi
ovulasi tetap dijumpai suhu basal badan dan endometrium
sesuai dengan fase luteal.
Awal fase luteal, seiring dengan pematangan korpus
luteum. Sekresi progesteron terus menerus meningkat dan
mencapai kadar antara 6 dan 20 ng/ml. Estradiol yang
dikeluarkan terutama dari folikel yang besar yang tidak
mengalami atresia, juga tampak pada fase luteal dengan
konsentrasi yang lebih tinggi daripada selama permulaan atau
pertengahan fase folikuler. Produksi estradiol dan
progesteron maksimal dijumpai antara hari ke-20 dan 23
(Admin, 2010).

D. Gangguan Haid
Menstruasi pada awalnya terjadi secara tidak teratur sampai
mencapai umur 18 tahun setelah itu harus sudah teratur. Menstruasi
dianggap normal jika terjadi dengan interval 22-35 hari (dari hari
pertama menstruasi sampai pada permulaan periode menstruasi

57
berikutnya) dan pengeluaran darah menstruasi berlangsung 1-8 hari.
Jumlah rata-rata hilangnya darah selama menstruasi adalah 50 ml
(rentang 20- 80 ml), atau 2-5 kali pergantian pembalut/hari. (Manuaba,
1999).
Gangguan menstruasi paling umum terjadi pad awal dan akhir
masa reproduktif, yaitu di bawah usia 19 tahun dan di atas 39 tahun.
Gangguan ini mungkin berkaitan dengan lamanya siklus haid, atau
jumlah dan lamanya menstruasi. Seorang wanita dapat mengalami
kedua gangguan itu (Jones, 2002).
Gangguan haid dan siklusnya khususnya dalam masa reproduksi
dapat digolongkan dalam :
1. Perubahan pada siklus haid
a. Polimenorea
Yaitu siklus haid pendek dari biasanya (kurang dari 21
hari pendarahan). Polimenorea dapat disebabkan oleh
gangguan hormonal yang mengakibatkan gangguan ovulasi,
akan menjadi pendeknya masa luteal. Penyebabnya ialah
kongesti ovarium karena peradangan, endometritis, dan
sebagainya.
b. Oligomenorea
Yaitu siklus haid lebih panjang, lebih dari 35 hari.
Perdarahan pada oligomenorea biasanya berkurang.
Penyebabnya adalah gangguan hormonal, ansietas dan stress,
penyakit kronis, obat-obatan tertentu, bahaya di tempat kerja
dan lingkungan, status penyakit nutrisi yang buruk, olah raga
yang berat, penurunan berat badan yang signifikan.
c. Amenorea
Merupakan perubahan umum yang terjadi pada beberapa
titik dalam sebagian besar siklus menstruasi wanita dewasa.
Sepanjang kehidupan individu, tidak adanya menstruasi dapat
berkaitan dengan kejadian hidup yang normal seperti
kehamilan, menopause, atau penggunaan metode pengendalian
kehamilan. Selain itu, terdapat beberapa keadaan atau kondisi
yang berhubungan dengan amenorea yang abnormal.
Amenorea dibagi menjadi dua bagian besar :

58
1) Amenorea primer di mana seorang wanita tidak pernah
mendapatkan sampai umur 18 tahun. Terutama gangguan
poros hipotalamus, hipofisis, ovarium, dan tidak
terbentuknya alat genitalia.
2) Amenorea sekunder, pernah beberapa kali mendapat
menstruasi sampai umur 18 tahun dan diikuti oleh
kegagalan menstruasi dengan melewati waktu 3 bulan atau
lebih. Penyebabnya sebagian besar bersumber dari
penyebab yang mungkin dapat ditegakkan.
Sebab terjadinya amenorea:
1) Fisiologis :
a) Sebelum menarche
b) Hamil dan laktasi
c) Menopause senium
2) Kelainan congenital
3) Didapatkan :
a) Infeksi genitalia
b) Tindakan tertentu
c) Kelainan hormonal
d) Tumor pada poros hipotalamus-hipofisis atau
ovarium
e)Kelainan dan kekurangan gizi (Manuaba, 2018).
2. Perubahan jumlah darah haid
a. Hipermenorea atau menoragia
Hipermenorea adalah pendarahan haid yang lebih banyak
dari normal (lebih dari 8 hari). Terjadinya pada masa haid yang
mana haid itu sendiri teratur atau tidak. Pendarahan semacam ini
sering terjadi dan haidnya biasanya anovoasi penyebab
terjadinya menoragia kemungkinan terdapat mioma uteri, polip
endometrium atau hyperplasia endometrium (penebalan dinding
rahim, dan biasanya terjadi pada ketegangan psikologi (chalik,
2018).
b. Hipomenorea
Hipomenorea adalah pendarahan haid yan lebih pendek dari
biasa dan/atau lebih kurang dari biasa penyebabnya
kemungkinan gangguan hormonal, kondisi wanita dengan
penyakit tertentu.
c. Gangguan pada siklus dan jumlah darah haid.

59
Pada keadaan ini terdapat gangguan siklus menstruasi,
perdarahan terjadi dengan interval yang tidak teratur, dengan
jumlah darah menstruasi bervariasi, pola menstruasi ini disebut
metrorargia. (Jones, 2012).

E. Penyebab Terganggunya Siklus Haid


Banyak penyebab kenapa siklus haid menjadi panjang atau
sebaliknya. Penanganan kasus dengan siklus haid yang tidak normal,
tidak berdasarkan kepada panjang atau pendeknya sebuah siklus haid,
melainkan berdasarkan kelainan yang dijumpai :
1. Fungsi hormon terganggu
Haid terkait erat dengan sistem hormon yang diatur di otak,
tepatnya di kelenjar hipofisa. Sistem hormonal ini akan mengirim
sinyal ke indung telur untuk memproduksi sel telur. Bila sistem
pengaturan ini terganggu, otomatis siklus haid pun akan terganggu.
2. Kelainan Sistemik
Tubuhnya sangat gemuk atau kurus dapat mempengaruhi siklus
haidnya karena sistem metabolisme di dalam tubuhnya tak bekerja
dengan baik, atau wanita yang menderita penyakit diabetes, juga
akan mempengaruhi sistem metabolisme sehingga siklus haidnya
pun tak teratur.
3. Stress
Stress akan mengganggu sistem metabolisme di dalam tubuh,
karena stress, wanita akan menjadi mudah lelah, berat badan turun
drastis, bahkan sakitsakitan, sehingga metabolisme terganggu. Bila
metabolisme terganggu, siklus haid pun ikut terganggu.
4. Kelenjar Gondok
Terganggunya fungsi kelenjar gondok/tiroid juga bias menjadi
penyebab idak teraturnya siklus haid. Gangguan bisa berupa
produksi kelenjar gondok yang terlalu tinggi (hipertiroid) maupun
terlalu rendah (hipertiroid), yang dapat mengakibatkan sistem
hormonal tubuh ikut terganggu.
5. Hormon prolakin berlebih
Hormon prolaktin dapat menyebabkan seorang wanita tidak
haid, karena memang hormon ini menekan tingkat kesuburan. Pada
wanita yang tidak sedang menyusui hormone prolaktin juga bisa

60
tinggi, buasanya disebabkan kelainan pada kelenjar hipofisis yang
terletak di dalam kepala (Sahara, 2019).

F. Gangguan yang Berhubungan dengan Haid


1. Sindrom prmenstruasi (pre-menstrual syndrom/ PMS)
Merupakan keluhan-keluhan yang biasanya terjadi mulai satu
minggu sampai beberapa hari sebelum datangnya haid yang
menghilang sesudah haid datang walaupun kadang-kadang
berlangsung terus sampai haid berhenti. Penyebab terjadinya tidak
jelas, tetapi mungkin faktor penting ialah ketidakseimbangan
estrogen dan progesteron dengan akibat retensi cairan dan natrium,
penambahan berat badan, dan kadang-kadang edema. Dalam
hubungan dengan kelainan hormonal, pada premenstrual syndrom
terdapat defisiensi luteal dan pengurangan produksi progesterone.
Faktor kejiwaan, masalah dalam keluarga, masalah sosial juga
memegang peranan penting. Yang lebih mudah menderita keluhan-
keluhan ini adalah wanita yang lebih peka terhadap perubahan
hormonal dalam siklus haid dan terhadap faktor-faktor psikologis.
Keluhan terdiri dari gangguan emosional berupa emosional
berupa iritabilitas, gelisah, insomnia, nyeri kepala, perut kembung,
mual, pembesaran dan rasa nyeri pada mammae, dsb. Sedang pada
kasus yang berat terdapat depresi, rasa ketakutan, gangguan
konsentrasi, dan peningkatan gejala-gejala tersebut di atas
(Manuaba, 2012).
2. Dismenorea
Dismenorea adalah nyeri atau rasa sakit yang menyertai
menstruasi sehingga dapat menimbulkan gangguan pekerjaan sehari-
hari. Nyeri sering bersamaan dengan rasa mual, sakit kepala,
perasaan mau pingsan, lekas marah, dll. Keluhan ini biasanya baru
timbul 2 atau 3 tahun sesudah menarche. Umumnya hanya terjadi
pada siklus haid yang disertai pelepasan sel telur. Kadang-kadang
juga pada siklus haid yang tidak disertai pengeluaran sel telur
(disebut siklus anovulatory), terutama bila darah haid membeku di

61
dalam rahim. Jadi rasa sakit terjadi ketika beku-bekuan itu didorong
keluar rahim. Rasa sakit yang menyerupai kejang ini terasa di perut
bagian bawah. Biasanya dimulai 24 jam sebelum haid datang dan
berlangsung sampai 12 jam pertama dari masa haid. Sesuatu itu
semua rasa tidak enak tadi hilang. Derajat rasa nyerinya bervariasi
mencakup ringan (berlangsung beberapa saat dan masih dapat
meneruskan aktivias sehari-hari), sedang (karena sakitnya diperlukan
obat untuk menghilangkan rasa sakit, tetapi masih dapat meneruskan
pekerjaannya), berat (rasa nyerinya demikian beratnya sehingga
memerlukan isirahat dan pengobatan untuk menghilangkan
nyerinya).
Sebab dismenorea dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
dismenorea primer, semata-mata berkaitan dengan aspek hormonal
yang mengendalikan uterus dan tidak dijumpai kelainan anatomis,
umumnya dijumpai pada wanita dengan siklus haid berevolusi.
Dismenorea sekunder, rasa nyeri yang terjadi saat menstruasi
berkaitan dengan kelainan anatomis uterus seperti endometriosis dan
infeksi kronik genitalia interna (Manuaba, 2012).

62
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN HAID

A. Konsep Asuhan Keperawatan Gangguan Haid


1. Pengkajian
a. Identitas Klien
1) Umur : Pasien berada dalam usia masa menstruasi
2) Pendidikan : Pendidikan pasien sangat mempengaruhi
tingkat pengetahuan pasien mengenai menstruasi
3) Pekerjaan : Pekerjaan pasien (kegiatan rutinitas pasien) juga
mempengaruhi terjadinya gangguan menstruasi
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan keluhan yang paling dirasakan
pasien saat ini. Keluhan utama ini biasa dirasakan pasien
dismenore adalah nyeri pada perut bagian bawah, pegal pada
punggung dan paha, adakalanya disertai mual muntah, pusing,
diare saat menstruasi (Manuaba, 2009).
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Riwayat penyakit sekarang adalah dat yang penting dan
berkaitan dengan aitan gejala. Data tersebut meliputi kapan
gejala tersebut mulai timbul, apakah gejala tersebit timbul
secara mendadak atau bertahap, apakah gejala selalu timbul
atau hilang timbul, berapa durasi gejala tersebut muncul,
dimana letak dan bagaimana kualitas gejala tersebut. Pada
pendeita dismenorea biasanya ditemui faktor anemia, penyakit
menahun, dan sebagainya (Wiknjosastro, 2007).
3) Riwayat Masa Lalu
Riwayat kesehatan masa lau adalah pengalaman perawatan
kesehatan klien di masa lalu. Pengkajian masa lalu meliputi
apakah klien pernah menderita penyakit yang sama dengan
sebelumnya. Pada klien dismenorea tanyakan apakha
sebelumnya klien pernah menderita diabetes melitus,
hipertensi, jantung, asma, tumor. TBC, kanker, hepatitis, dan

63
lain-lain. Penyakit ini dapat membuat berat badan menjadi
kurus sehingga dapat memicu terjadinya dimenorea saat haid
(Manuaba, 2009).
4) Riwayat Menstruasi
Pada klien dismenorea yang perlu ditanyakan adalah menarche,
siklus haid, dan banyaknya haid (Dito & Wulandari, 2011).
5) Pola Kebutuhan Dasar
a) Pola Persepsidan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus Dismenore akan timbul ketakutan karena
ketidaktahuan atau kurangnya informasi/ pengetahuan
mengenai Dismenore.
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada umumnya klien dengan dismenorre mengalami
penurunan nafsu makan, frekuensi minum klien juga
mengalami penurunan.
c) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi urin dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini
juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
d) Pola Tidur dan Istirahat
Klien dengan disminore mengalami nyeri pada daerah perut
sehingga pola tidur klien menjadi terganggu, apakah mudah
terganggu dengan suara-suara, posisi saat tidur (penekanan
pada perineum).
e) PolaAktivitas
Kemampuan mobilisasi klien dibatasi, karena klien dengan
disminorre di anjurkan untuk istirahat.
f) Pola Hubungan dan Peran

64
Klien tidak akan kehilangan peran dalam keluarga dan
dalam masyarakat. Karena klien tidak harus menjalani
rawat inap.
g) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Pada kasus Dismenore akan timbul ketakutan karena
ketidaktahuan atau kurangnya informasi/ pengetahuan
mengenai Dismenore.
h) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien Dismenore, daya rabanya tidak terjadi
gangguan, sedangkan pada indera yang lain tidak timbul
gangguan. Begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Namun timbul rasa nyeri pada perut bagian
bagian bawah.
i) Pola Reproduksi Seksual
Kebiasaan penggunaan pembalut sangat mempengaruhi
terjadinya gangguan menstruasi.
j) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien Dismenore timbul rasa cemas tentang keadaan
dirinya, yaitu mengenai adanya kelainan pada system
reproduksinya.
k) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien Dismenore tidak dapat melaksanakan
kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan
konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak klien.
l) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi :
a) Kepala : pemeriksaan konjungtiva, pemeriksaan
membrane mukosa bibir
b) Dada :
c) Paru : peningkatan frekuensi nafas
d) Jantung : peningkatan denyut jantung
e) Payudara dan ketiak : adanya nyeri pada payudara

65
f) Abdomen : nyeri pada bagian bawah abdomen, kaji
penyebab nyeri, kualitas nyeri, region nyeri, skala
nyeri, awitan terjadinya nyeri, sejak kapan dan berapa
lama
g) Genetalia : kaji siklus menstruasi pasien
h) Integumen : kaji turgor kulit

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b/d gangguan menstruasi (dismenore)
b. Intoleransi aktifitas b/d kelemahan umum
c. Ansietas b/d perubahan status kesehatan
3. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Intervensi
Keperawatan NOC NIC

Nyeri akut b/d Setelah dilakukan 1. Jelaskan dan bantu klien


gangguan pemberian asuhan dengan tindakan pereda nyeri
menstruasi keperawatan selama 1x24 nonfarmakologi dan non
(dismenore) jam, diharapkan respon invasif.
2. Ajarkan penggunaan
nyeri pasien dapat terkontrol
kompres hangat.
dengan kriteria hasil sebagai
3. Ajarkan Relaksasi :Tehnik-
berikut :
tehnik untuk menurunkan
ketegangan otot rangka, yang
NOC: Kontrol nyeri
dapat menurunkan intensitas
1. Klien mampu mengenal
nyeri dan juga tingkatkan
faktor-faktor penyebab
relaksasi masase.
nyeri, beratnya 4. Ajarkan metode distraksi
ringannya nyeri, durasi selama nyeri akut.
5. Anjurkan menurunkan
nyeri, frekuensi dan
masukan sodium selama
letak bagiant ubuh yang
seminggu sebelum mens
nyeri
6. Berikan kesempatan waktu
2. Klien mampu
istirahat bila terasa nyeri dan
melakukan tindakan
berikan posisi yang
pertolongan non-
nyaman ;missal waktu tidur,
analgetik, seperti napas
belakangnya dipasang bantal
dalam, relaksasi dan

66
distraksi kecil.
3. Klien melaporkan 7. Lakukan pijatan punggung
gejala-gejala kepada tim bawah.
8. Tingkatkan pengetahuan
kesehatan
4. Klien mampu tentang :sebab-sebab nyeri,
mengontrol nyeri dan menghubungkan berapa
5. Ekspresi wajah klien
lama nyeriakan berlangsung.
rileks 9. Observasi ulang tingkat
6. Klien melaporkan
nyeri, dan respon motorik
adanya penurunan
klien, 30 menit setelah
tingkat nyeri dalam
pemberian obat analgetik
rentang sedang (skala
untuk mengkaji
nyeri: 4 sampai 6) 10. efektivitasnya. Serta setiap 1
hingga nyeri ringan - 2 jam setelah tindakan
(skala nyeri : 1 sampai perawatan selama 1 - 2 hari.
11. Kolaborasi dengan dokter,
3)
7. Klien melaporkan dapat pemberian analgetik.
beristirahat dengan Kolaborasi pemberian obat
nyaman seperti penghambat sintesa
8. Nadi klien dalam batas
prostaglandin ( PGSI),
normal (80-100x/menit)
ibuprofen ( Motrin),
9. Tekanan darah klien
naproxen sodium ( Anaprox)
dalam batas normal
dan ibuprofen setidaknya 48
(120/80 mmHG)
10. Frekuensi pernafasan jam sebelum terjadi
klien dalam batas menstruasi.
normal (12 – 20
x/menit)
Intoleransi Setelah diberikan askep 1. Hindari seringnya melakukan
aktifitas b/d selama 1x24 jam diharapkan intervensi yang tidak penting
nyeri Pasien menunjukan yang dapat membuat lelah,
dismenore. perbaikan toleransi aktifitas berikan istirahat yang cukup
2. Berikan istirahat cukup dan
dengan criteria hasil Pasien
tidur 8 – 10 jam tiap malam
dapat melakukan aktifitas
3. Observasi ulang tingkat
nyeri, dan respon motorik

67
klien, 30 menit setelah
pemberian obat analgetik
untuk mengkaji
efektivitasnya. Serta setiap 1
- 2 jam setelah tindakan
perawatan selama 1 - 2 hari.

Ansietas b/d Setelah diberikan askep 1. Jelaskan prosedur yang


inefektif koping selama 1x24 jam diharapkan diberikan dan ulangi dengan
individu. kecemasan menurun dengan sering
2. Anjurkan orang terdekat
kriteria hasil Pasien tenang
berpartisipasi dalam asuhan
dan dapat mengekspresikan
3. Anjurkan dan berikan
perasaannya.
kesempatan pada pasien
untuk mengajukan
pertanyaan dan menyatakan
masalah
4. Singkirkan stimulus yang
berlebihan
5. Ajarkan teknik relaksasi;
latihan napas dalam,
imajinasi terbimbing
6. Informasikan tentang
Jelaskan prosedur yang
diberikan dan ulangi dengan
sering

7. Anjurkan orang terdekat


berpartisipasi dalam asuhan
kesempatan pada pasien
untuk mengajukan
pertanyaan dan menyatakan
masalah
8. Anjurkan dan berikan
9. Singkirkan stimulus yang

68
berlebihan
10. Ajarkan teknik relaksasi;
latihan napas dalam,
imajinasi terbimbing
11. Informasikan tentang
perawatan, dan pengobatan
12. Jelaskan pada klien bahwa
tindakan tersebut dilakukan
untuk menjamin keamanan.
13. Kolaborasi dengan psikiatri
14. Jelaskan pada klien tentang
etiologi/factor dismenore.
15. Pertahankan perilaku
tenang, bantu pasien untuk
control diri dengan
menggunakan pernapasan
lebih lambat dan dalam
perawatan, dan pengobatan

69
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Preeklampsia adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, odema, dan
protein urine yang timbul karena kehamilan, penyakit ini umumnya terjadi
dalam triwulan ke-3 kehamilan. Preeklampsia juga merupakan penyulit
kehamilan yang akut dan dapat menyebabkan kematian pada ibu dan bayi
pada masa ante, intra dan post partum.
Pre eklamsi biasanya terdapat pada wanita usia subur dengan umur
ekstrem, yaitu pada remaja belasan tahun atau pada wanita yang berumur
lebih dari 35 tahun. Pada multipara biasanya dijumpai pada keadaan-
keadaan : kehamilan multifetal dan hidrop fetalis, penyakit vaskuler,
termasuk hipertensi essensial kronis dan diabetes mellitus, penyakit ginjal.
Mioma uteri adalah tumor jinak otot rahim dengan berbagai
komposisi jaringan ikat (Bagus, 2002). Mioma uteri adalah tumor
jinak berasal dari miometrium. Mioma uteri belum pernah tumbuh
pada wanita yang belum mengalami menstruasi. Klasifikasi Mioma Uteri
yaitu : mioma uteri intramural, subserosa, submukosa.
Menstruasi merupakan perdarahan dari rahim yang berlangsung secara
periodik dan siklik. Gangguan haid dan siklusnya khususnya dalam masa
reproduksi yaitu : Polimenorea, oligomenorea, amenorea, hipermenorea,
hipmenorea, desminorea.

B. SARAN
Harapan penulis kepada pembaca, supaya dapat memberi sebuah
kritikan atau saran terhadap makalah ini, karena makalah ini mempunyai
suatu kelebihan dan kekurangan yang sifatnya mendidik atau menbimbing.
Dan dari suatu kritikan atau saran tersebut semoga makalah ini menjadi lebih
baik lagi.

70
DAFTAR PUSTAKA

Armantius. (2017). Asuhan Keperawatan pada Pasien Mioma Uteri di Ruang


Ginekologi Kebidanan RSUP DR. M. Djamil Padang. 1-128.

Cahyasari, A. S., & Sakti, H. (2014). Optimisme Kesembuhan pada Penderita


Mioma Uteri. Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.1 April 2014, 21-33 , 21-
23.

Dito, A., & Wulandari. (2011). Cara Jitu Mengatasi Nyeri Haid. Jakarta: CV Andi
Onset .

Hadibroto, B. R. (2015). Mioma Uteri. Majalah Kedokteran Nusantara Volume


38. No. 3 September , 259.

Manuaba. (2009). Memahami Reproduksi Wanita Edisi 2. Jakata: Penerbit Buku


Kedokteran EGC.

Novita, R. (2018). Hubungan Status Gizi dengan Gangguan Menstruasi pada


Remaja Putri di SMA Al-Azhar Surabaya. Research Study , 172-181.

Octaviani, A. I. (2016). Gambaran Pengetahuan Pengunjung Wanita di Poliklinik


Obstetri dan Ginekologi RSUD Syekh Yusuf Gowa tentang Faktor Resiko
Terjadinya Mioma Uteri. 1-128.

Rudiyanti, N., & Imron, R. (2016). Hubungan Usia Menarche dan Paritas dengan
Mioma Uteri. Jurnal Keperawatan, Volume XII, No. 2, Oktober 2016 , 233-
239.

Sitoayu, L., Pertiwi, D. A., & Mulyani, E. Y. (2017). Kecukupan Zat Gizi Makro,
Status Gizi, Stres, dan Siklus Menstruasi pada Remaja. Jurnal Gizi Klinik
Indonesia Vol 13 No 3 , 121-128.

71
Wiknjosastro. (2007). Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo.
Yonika, A. (2015). Asuhan Keperawatan pada Ny. R dengan Gangguan
Reproduksi : Mioma Uteri di Bangsal Dahlia RSUD Pandan Arang
Boyolali. 1-16.

72

Anda mungkin juga menyukai