Anda di halaman 1dari 12

AL-QUR’AN DAN PERLINDUNGAN KELOMPOK MINORITAS : STUDI

KONSEP TAFSIR MAQASHIDI TERHADAP FENOMENA


PENYANDANG DISABILITAS PERSEPEKTIF AL-QUR’AN
QURAN AND PROTECTION OF MINORITY HUMAN’S: STUDY
INTERPRETATION OF MAQASHIDI CONCEPTS ON THE PHENOMENE
OF THE PERSONNEL OF ABILITY PERSPECTIVE OF THE QUR'AN

Agustin Lisnawati, Program Studi Bimbingan dan Konseling Islam IAIN Jember,
agustinajhaa234@gmail.com, 082331565585
Endang Agoestian, Program Studi Hukum Pidana Islam IAIN Jember,
endangagt2000@gmail.com, 082232975731
Khoirul Rochim, Program Studi Pendidikan Agama Islam,
khoirulrochim28@gmail.com, 085856025983
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk memahami bagaimana al-qur’an dan
perlindungan kelompok minoritas studi konsep tafsir maqashidi
terhadap fenomena penyandang disabilitas “tuna grahita”
persepektif al-qur’an. Disabilitas adalah suatu istilah yang
digunakan untuk kategori kehidupan manusia yang memiliki
keterbatasan tertentu baik secara fisik, maupun psikis, sedangkan
tuna grahita itu sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk
individu yang memiliki kemampuan intelektual di bawah rata-
rata. Dalam artikel ini ada tiga fokus pertanyaan. Pertama,
bagaimana pengertian dari anak tuna grahita? Kedua, Bagaimana
cara dan usaha komunikasi bagi seorang yang menyandang tuna
grahita? ketiga, bagaimana konsep tafsir maqashidi terhadap
fenomena penyandang disabilitas “tuna grahita” persepektif al-
qur’an?. Artikel ini menggunakan metode penelitian field
research atau penelitian lapangan dengan memperoleh data
melalui wawancara, dokumentasi dan observasi, cara untuk
komunikasi seorang tuna grahita, pandangan al-qur’an terhadap
kaum minoritas yakni penyandang tuna grahita.
Kata kunci : Kelompok Minoritas, Tuna Grahita, Tafsir Maqashidi
This article aims to understand how the Qur'an and the protection
of minority groups study the concept of Maqashidi's interpretation
of the phenomenon of persons with disabilities of the "Qur'an
Granted" perspective of the Qur'an. Disability is a term used for a
category of human life that has certain limitations both physically
and psychologically, while mentally disabled itself is a term used
for individuals who have below average intellectual abilities. In
this article there are three focus questions. First, how is the
understanding of mentally disabled children? Second, how are the
ways and efforts of communication for someone with a mental
disability? Third, what is the concept of Maqashidi's
interpretation of the phenomenon of persons with disabilities of
the "Qur'anic Perspective" of the Qur'an? This article uses the
method of field research or field research by obtaining data
through interviews, documentation and observations, ways for
communication of a mentally disabled person, al-Qur'an's view of
minorities, who are mentally disabled.
Key Word :

PENDAHULUAN

Secara umum kelahiran di dunia ini memiliki berbagai latar belakang


sehingga terdapat beberapa karakteristik yang berbeda, dengan adanya berbagai
macam perbedaan tersebut maka membutuhkan perhatian khusus, contohnya yang
membutuhkan perhatian khusus seperti lahir dalam keadaan tidak normal. Dalam
ketidaknormalannya tetap memiliki hak untuk mendapatkan perhatian, hak
memperoleh kasih sayang, hak untuk menerima pendidikan, dan hak dalam
perlindungan sosial. Kelompok tuna grahita merupakan kelompok minoritas yang
ada di Indonesia sehingga keberadaanya terlihat namun kurang terawat, tuna
grahita itu sendiri adalah individu yang memiliki kemampuan intelektual di bawah
rata-rata.1 Melihat data dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kesejahteraan
Sosial Depertemen Sosial RI Tahun 2007 yang tercatat sebagai penyandang tuna
grahita atau cacat mental terdapat 2.364.000 jiwa.2
Jika diteilisik dari segi agama terdapat pula ajaran Al quran jug amemberi
keluasan terkait dengan konsep penyadang disabilitas banyak ayat yang
memberikan pandangan terkait dengan kajian ini, misalnya disabilitas secara fisik
(orang yang cacat jasadnya ) di dalam surah Abasa{80):1-10,:

ََ‫َوتَوَلَّىٰ َعبَس‬

1
Sutjihati somantri, psikologi anak luar biasa, (bandung : PT refika aditama), 2007, 103.
2
Yunita Candra Astuti, Hubungan antara dukungan sosial dengan coping strategy pada ibu yang
memiliki anak penyandang tuna grahita “studi korelasi pada ibu yang memiliki anak tuna grahita
di SLB-C YPLB Cipaganti Kota Bandung (Bandung : Perpustakaan Universitas Pendidikan
Indonesia, 2013), 2.
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, (Abasa (8) : 1)

Berdasarkan ayat diatas Quraish Shihab dalam Tfasirnya menyatakan :

Surat 'Abasa dimulai dengan sebuah kritikan terhadap Nabi


Muhammad saw. saat dirinya berpaling dari seorang sahabat
tunanetra, bernama Ibn Umm Maktûm, yang sangat berharap
mendapatkan ilmu dan petunjuk dari Nabi. Saat itu, Rasulullah
sedang sibuk menerima tamu dari kalangan pembesar Quraisy
dengan harapan mereka akan memberikan respon yang baik atas
ajakan dan dakwah beliau. Diharapkan, melalui para pemuka kaum
itu, akan semakin bertambah kalangan yang akan memeluk agama
Islam. Ayat-ayat berikutnya mengingatkan manusia akan nikmat-
nikmat Tuhan yang diberikan kepada mereka semenjak lahir hingga
ajal tiba. Sedang bagian akhir surat 'Abasa ini membicarakan
tentang peristiwa hari kiamat. Ditegaskan dalam beberapa ayat
bahwa manusia, kelak, hanya terpilah menjadi dua golongan saja.
Pertama, orang-orang beriman yang bersukacita dan, kedua, orang-
orang kafir pembuat kejahatan.]] Roman muka Nabi Muhammad
telah berubah dan menampakkan kebencian seraya memalingkan
diri,

Dengan demikian kesimpulan dari quraish Shihab

Sedangkan An Nur {24}:61,


dan Al Fath{48}:17,
dan disabilitas mental (orang yang cacat teologinya) didalam surah
Thaaha{20}:124,
dan Al Fatir{35}:19,
dan Yunus{10}:43.

Panadangan ayat ini sangat memungkinkan memebrikan pandangan tafsir


yang berbasis antroposentris hal ini juga di kenalkan oleh pakar tafsir Muhamamd
Talbi3 dengan pendekaatan Tafsir maqasidi sedangkan di Indonesia tafsir ini di
populerkan oleh Abdul Mustaqim4 dalam pandangan Mustaqim tafsir Maqasidi
adalah :

3
4
Beliau lahir di Purworejo 04 Desember, 1972, putra KH Moh Bardan dan Hj. Soewarti
(Allahu yarhamhumâ). Sejak sekolah di MTs al-Islam Jono ia nyantri kalong dengan Kiai
Terlepas dari perdebatan tersebut, setidaknya ada beberapa
argumentasi yang dapat penulis kemukakan tentang pentingnya tafsir
maqashidi sebagai alternasi pengembangan tafsir dan basis moderasi
Islam. Pertama, tafsir maqashidi adalah anak kandung peradaban
Islam dan dapat dinilai lebih memiliki basis epistemologi dalam
tradisi pemikiran para ulama, dalam kajian Islam secara umum dan
kajian penafsiran al-Qur’an secara khusus. Kedua, tafsir maqashidi
memiliki perangkat metodologi yang lebih ‘canggih’, katimbang
hermeneutika Barat dalam konteks penafsiran teks al-Qur’an. Ada
term-term khusus dan teori-teori khas dalam maqashid, yang tidak
dimiliki dalam teori hermeneutika Barat. Misalnya, konsep al-tsâbit
wal mutaghayyir, ma’qûliyyat al-ma’na wa ghair ma’qûliyyat, ushûl-
furuû’, kulli-juz’i, wasîlah-ghâyah dan sebagainya. Sebab dalam tafsir
maqashidi, bukan hanya persoalan bagaimana memahami teks al-
Qur’an dan bagaimana menghubungkan teks dengan konteks masa
lalu dan sekarang, melainkan juga perlu menghubungkan teori-teori
maqashid secara intergratif- interkonektif 23--meminjam istilah Prof
Amin Abdullah-,
Melihat ungkapan diatas, maka wilayah tafsir maqasidi itu
berpijak pada pemahaman Manusia terhadap teks yang di
poroskan dengan kajian maqasid asy asyar’iyah 5 dan hal ini

Abdullah Umar untuk belajar ilmu Nahwu-Shorof, lalu melanjutkan di PP Krapyak Yogyakarta
sejak 1988-1998. Setelah itu ia melanjutkan di jenjang S1 Jurusan Tafsir-Hadis (1991-1996) di
IAIN Sunan Kalijaga, kemudian tahun 1997 diterima sebagai dosen dan ditugaskan di Jurusan
Tafsir-Hadis Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Setelah itu ia melanjutkan studi di
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga tahun 1997-1999 dengan mengambil Jurusan Agama dan Filsafat,
kemudian melanjutkan studi lagi di program doktor 2000-2007, mengambil Jurusan Studi Islam,
Konsentrasi Tafsir. Aktifitas beliau sehari-hari lebih banyak digunakan untuk mengajar, di UIN
Sunan Kalijaga, Pascasarjana UNSIQ Wonosobo, IIQ an- Nur Bantul, Pascasarjana IAIN
Tulungagung dan Pascasarjana IAIN Kediri Jawa Timur, menulis buku-buku kajian al-Qur’an dan
Tafsir, riset dan pengabdian masyarakat serta ngisi pengajian alias ceramah di beberapa propinsi,
antara lain, Jawa Tengah
5
Teori Sistem dan Maqashid Syari’ah, Teori Sistem adalah disiplin baru yang independen, yang
melibatkan sejumlah dan berbagai sub-disiplin. Teori Systems dan Analisis Sistemik adalah bagian
tak terpisahkan dari tata kerja pendekatan Systems. Teori Systems adalah jenis lain dari pendekatan
filsafat yang bercorak ‘anti-modernism’ (anti-modernitas) yang mengkritik modernitas dengan
cara yang berbeda dari cara yang biasa digunakan oleh teori-teori post modernitas. Konsep-konsep
dasar yang biasa digunakan dalam pendekatan dan analisis Systems antara lain adalah melihat
persoalan secara utuh (Wholeness), selalu terbuka terhadap berbagai kemungkinan perbaikan dan
penyempurnaan (Openness), saling keterkaitan antar nilai-nilai (Interrelated-Hierarchy),
melibatkan berbagai dimensi (Multidimensiona-lity) dan mendahulukan tujuan pokok
(Purposefulness).5 Keenam fitur saling erat berkaitan, saling menembus (semi permeable) dan
berhubungan antara satu dengan lainya, sehingga membentuk keutuhan sistem berfikir. Salah satu
jembatan antara teori sistem dengan teori maqashid adalah analisis sistem dengan fitur
“kebermaksudan” (maqashid). Hal ini berdasarkan bahwa efektivitas sebuah sistem diukur
bedasarkan tingkat pencapain tujuannya, maka efektifitas hukum Islam dinilai berdasarkan tingkat
pencapainnya maqashidsyari’ah-nya.Penjabaran tentang teori sistem, pertama, fitur kognitif (al-
idrokiyyah, cognition) mengusulkan sistem Hukum Islam yang memisahkan „wahyu‟ dari
menjadi kajian terbaru dan menarik di bahas, apalagi kalau
kajian ini di gunakan untuk membaca fenomena difabel
dalam prerpektif al-Quran.
Paper ini juga memebrikan rekomendasai terkait dengan
bagaimana sebagai masyrakat Al-Quran untuk membunyikan
dalam bahsas lain atau sarjana al-quran disebut dengan
living Quran. Maka dari itu paper ini merupakan kjaian
terbaru dan menajdi kajian menarik dalam 3 dekade terakhir
.
Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, penelitian


dengan pendekatan deskriptif kualitatif merupakan proses atau prosedur penelitian

kognisinya, itu artinya fiqh digeser dari bidang „pengetahuan ilahiyyah‟ menuju bidang „kognisi‟
pemahaman rasio manusia terhadap pengetahuan ilahiyyah. Pembedaan yang jelas antara syariah
dan fiqh ini berimplikasi pada tidak adanya pendapat fiqh praktis yang di kualifikasikan atau
diklaim sebagai suatu pengetahuan ilahiyyah. Dalam penelitian ini, konsep fiqh nikah Etnis dan
Beda Agama yang dalam agama masih tabu dilakukan harus kita bawa ke arah kognisi berupa
fiqh praktis yang bisa dirubah.Kedua, fitur menyeluruh (al-kulliyah,wolleness) yaitu membenahi
kelemahan ushul fiqh klasik yang sering menggunakan pendekatan reduksionis dan atomistik.
Penelitian ini adalah upaya reaktulalisasi konsep hukum Islam terhadap fiqh nikah antar Etnis dan
Pernikahan Beda Agama dari fiqh preventif menuju fiqh advokatif. Ketiga, fitur keterbukaan
(infitahyyah, openness) berfungsi untuk memperluas jangkauan ‘urf (adat kebiasaan), dengan
konsep ini mencoba membuka pandangan seorang ahli Hukum Islam terhadap konsep-konsep
ilmu-ilmu alam,sosial, dan budaya. Konsep difabel dan al-al-Quran sudah ada embrio di dalam
Hukum Islam dan dicoba dikembangkan lebih luas dengan fitur ini. Keempat, fitur hirarki saling
keterkaitan (al-Harakiyyah al-mu’tamadah tabadulliyan, interalitid hirearchy). Fitur ini mencoba
membuka jangkauan maqashid. Kalau maqashid tradisional atau klasik hanya bersifat partikular
dan atau spesifik, maka fitur hirarkhi yang saling berkaitan memberikan dimensi sosial dan publik
pada teori maqashid kontemporer. Sehingga difabel dan al-Quran bukan hal yang atomistik, dan
harus mendapat kajian serius dan mendalam sebaimana term-term fiqh lainnya. Kelima, fitur multi
dimensional (taaddud al-abad; multi dimensionality) mengupayakan terhadap dalil-dalil yang
saling bertentangan dengan memasukkan maqashid sebagai pembacaan baru.Sehingga soal
Sertikikasi Pa Nikah dalam kajian fiqh dilihat dari maqashidnya. Keenam, fitur kebermaksudan
(al-maqashidiyyah; purposelfunness) bahwa perlindungan terhadap Sertifikasi Pra Nikah adalah
termasuk dalam maqashid, karena Agama Islam mengajarkan rahmatan lil ‘alamin.Maqashid
Syariah yang digunakan di dalam penelitian ini adalah konsep maqashid kontemporer yang
dikembangkan oleh Jasse Auda. Konsep ini mencoba menggeser maqashid yang berdimensi
“penjagaan” preventif dan “perlindungan” menuju kepada “pengembangan” dan “hak-hak asasi”
yang berbasis advokatif misalnya dari hifd al-din (perlindungan Agama) yang dalam fiqh klasik
diartikan “hukuman atas meninggalkan Agama” menjadi “kebebasan kepercayaan” Fredom of
Faitht. Sedangkan hifd al-nafs (melindungi jiwa ) dapat dikembangkan dari melindungi dan
pentingnya sertifikasi Pra Nikah sebagai upaya Agama dan ketahanan Keluarga dalam generasi
Milenial Dengan pendekatan tersebut, kita dapat membaca difabel dan al-Quran dapat di bangun
dengan pondasai fiqh dan landasan Agama yang kuat. Jasse Auda, Maqasid syariah Auda,
Jasser, 2007, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach, London: The
International Institute of Islamic Thought.
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari perilaku
orang-orang yang diamati.6 Penelitian ini merupakan bermaksud untuk memahami
fenomena yang dialami subjek penelitian, misalnya, misalnya motivasi, perilaku
atau tindakan, dan sebagainya secara holistik, dengan cara mendeskripsikan dalam
bentuk kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus dan dengan memanfaatkan
berbagai metode ilmiah lokasi penelitian.
Jenis penelitian ini dipilih untuk mendeskripsikan semua bahan penelitian
berupa dokumentasi dan observasi terhadap data data pirmer terkiat dengan tafsir
maqasidi dan konsep difabel. Sehingga peneliti dapat mendeskripsikan dari
analisis data tersebut yang diperoleh. Alasan peneliti menggunakan metode
pendekatan kualitatif tersebut adalah karena data yang terkumpul berupa kata-kata
bukan dalam berbentuk angka sehingga dalam penyusunan laporan penelitian
terusun oleh kalimat yang terstruktur.

Oleh karena itu penggunaan pendekatan deskriptif kualitatif ini sangatlah


tepat bagi peneliti untuk mengidentifikasi tentang Pengaruh komunikasi umum
terhadap anak penyandang retardasi mental/ tuna grahita dalam kehidupan sehari-
hari.
Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, karena dalam
penelitian kualitatif peneliti sebagai kata kunci. Pada penelitian ini dalam proses
pengumpulan data peneliti menggunakan alat bantu meliputi: . Buku catatan dan
pena, dalam penelitian ini penulis/peneliti menggunakan alat bantu tersebut untuk
mencatat poin-poin penting, identitas subjek agar dapat mengetahui apa saja
kegiatan yang dicatat oleh peneliti secara lengkap dan mendetail.

KONSEP KELOMPOK MINORITAS : PENYADANG DISABILITAS


Kelompok minoritas menjadi wujud sosial yang tak dapat dinafikan
keberadaanya. Hampir disetiap Negara, keberadaan kelompok minoritas jadi
semacam pandangan keniscayaan yang tidak dibantahkan kehadiranya ditengah

6
Moh. Kasiram, metodologi penelitian kualitatif-kuantitatif (malang, maliki press, 2010), 175.
kelompok mayoritas. Keminoritasan jamak dimaknai karena keberadaan yang
mayoritas yakni meliputi identitas, baik, agama, bahasa etnis dan budaya. Oleh
karena itu jumlah dari minoritas tak banyak dari sebuah Negara. Dimana
keberadaan posisinya tidak dominan. Posisi yang yang membatasi ini membuat
hubungan solidaritas amat kuat mempertatahankan identitas mereka. Lebih-lebih,
minoritas pun serasa mengalami terkucilkan dikarenakan begitu banyak mayoritas
yang terjadi.
Graham C. Lincoln mendefinisikan kelompok minoritas sebagai kelompok
yang dianggap elit-elit karena berbeda dengan karakteristik pada umumnya dan
masyarakat pun berpandangan negative dari segi perlakuan. Yap Thiam Hien
mengatakan minoritas, tidak dipandang berdasarkan jumlah kuantitasnya, tetapi
perlakuan lah yang menentukan status minoritasnya.7
Menurut Eddie Riyadi Tere: dilihat dari kaca mata sosiologi, konsep
minioritas adalah kelompok-kelompok yang paling tidak ememnugi gambaran-
gambaran sebagai berikut: 1) dari anggota kelompok ini sangat tidak diuntungkan,
karena berpandangan sebagai akibat pembedaan perlakuan terhadap orang lain
kepada mereka, 2) anggotanya memiliki sifat solidaritas kepada kelompok
sesamanya ‘adanya rasa kebersamaan”, karena mereka berpandangan dirinya
tersebut sebagai “pembeda” dari yang mayoritas, 3) biasanya anggotanya
terisolasi dari kelompok yang lebih baik secara fisik dan social.8
Al-Quran juga memuat informasi berkaitan denagn kaum mayoritas dan
minoritas. Yang disebut oleh Al-Quran sebagai kaum minoritas justru memiliki
konotasi yang positif seperti hamba yang bersyukur, orang-orang yang beriman
kepada Allah dan lain-lain. Allah berfirman dalam Q.S Saba’ 34:13 berbunyi:

  


  
 

7
Yogi Zul Fadhli,Kedudukan Kelompok Minoritas dalam perspektif HAM dan Perlindungan
Hukum di Indonesia, (Yogyakarta, Staf Departemen Advokasi LBH, 2014), 356
88
Ibid, 356

  
 
  
  
 
Artinya: Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang
dikehendakiNya dari gedung-gedung yang Tinggi dan patung-patung dan
piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada
di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada
Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih (Q.S
Saba’ 34:13).
Dan Q.S Hud 11: 40 berbunyi:

  


 
 
   
 
   
  
   
   
Artinya: Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur[718]
telah memancarkan air, Kami berfirman: "Muatkanlah ke dalam bahtera
itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan
keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan
(muatkan pula) orang-orang yang beriman." dan tidak beriman bersama
dengan Nuh itu kecuali sedikit (Q.S Hud 11:40).

KONSEP TUNA GRAHITA : KAUM DIFABEL ATAU PENYANDANG


DISABILITAS

Tunagrahita adalah seseorang yang memiliki kapasitas intelektual


(IQ) dibawah 70 yang disertai ketidak mampuan dalam penyesuaian
dirinya dengan lingkungan sekitar sehingga menimbulkan berbagai
problem social, untuk itu diperlukan layanan khusus dan perlakuan
pendidikan khusus.9
Menurut Manuparti, dari sudut bahasa atau istilah berasal “Tuna”
dan ‘Grahita” tuna artinya cacat dan grahita artinya berfikir. Tunagrahita
mempunyai arti kelainan yang meliputi fungsi intelektual umum dibawah
rata-rata yaitu IQ 84 kebawah berdasarkan tes dan muncul dan muncul
sebelum berumur 16 tahun. Dalam masyarakat bahwasanya menyebutnya
yakni lemah fikiran, berkebelakangan mental, bodoh, cacat mental,
ketergantungan penuh kepada orang lain. Tunagrahita memiiki beberapa
tingkatan dari yang ringan maupun yang berat. Oleh karena itu mereka
sendiri mempunya perbedaan yang satu dengan yang lainya. Sehingga
mengakibatkan berbeda juga masalah pendidikan formal lainya. bagi guru
sangatlah penting untuk mengetahui perbedaan antara anak tunagrahita
ringan, sedang, berat dan sangat berat. Khusus anak tunagrahita ringan
merupakan salah satu jenis anak yang mampu latih, dalam berbicara banya
yang lancer tetapi kurang berbedaharaan kata-katanya, mereka mengalami
kesukaran dalam berfikir, tetapi mereka bias mengikuti pembelajaran
disekolah.10
Klasifikasi nak tunagrahita mengacu kemampuan intelektual,
kondisi intelektualnya diketahui dengan jelas berdasarkan hasil tes para
ahli yang berkompeten dalam bidangnya. Berdasarkan klasifikasi Wick

9
Sarjanaku.com, Anak Tunagrahita dan Klasifikasinya, 2011,09
10
http://www.google.com/amp/s/uldayays,com , Tuna grahita ringan menurut Para Ahli.
Nelson, maka tunagrahita ini bias digolongkan sebagai berikut: a)
Tunagrahita golongan ringan yakni mereka yang bisa didik pada masa
dewasa kelak, usia mental yang mereka capai setara dengan anak usia 8
tahun sampai 10 tahun 9 bulan. Dengan IQ antara 55 hingga 69. b)
Tunagrahita sedang dalam golongan moderate ini masih bisa dilatih,
kecerdasanya terletak 40 sampai 51, pada usia dewasa mentalnya setara
dengan anak 5 tahun 7 bulan hingga 8 tahun 2 bulan. c) Tunagrahita berat
yakni tunagrahita yang tergolong parah, atau bisa disebut
ketergantunganya mereka kepada orang lain. Rentang IQ 25 hingga 39.
Pada masa dewasa dia memiliki mental setara dengan anak usia 3 tahun 2
bulan hingga 5 tahun 6 bulan.11

KONSEP TAFSIR MAQASIDI :

Menurut Abdul Mustaqim, kata ‘at-tafsir’ yang merupakan istilah


murni dari kata ‘tafsir’ merupakan hasil turunah darikata ‘al-fasr’. Dalam
kata tersebut berarti menjelaskan sesuatu. Secara etimologis, kata ‘at-
tafsir’ berarti menyingkap makna yang tersembunyi di dalam al-quran
yang kontekstual. Adapun secara terminologis, definisi tafsir sangat
banyak. Menurut Quraish Shihab, pengertian yang ada paling sedikit
memnuhi tiga unsur, yaitu penjelasan, maksud firman Allah, dan sesuai
dengan kemampuan manusia. Kedua, menafsirkan berarti menyingkap
kemuskilan teks Al-Quran. Ketiga, kebenaran tafsir bersifat nisbi. Kata
bentukan dari istilah ‘at-tafsir’ dan ‘al-maqasidi’, sepintas
menggambarkan pendekatan yang digunakan dalam proses penafsiran.
Menurut Wasfi ‘Asyur. Tafsir maqasidi merupakan salah satu corak tafsir
yang pe,aknaanya engarah pada visi al-quran, baik universal maupun
persial yang bertujuan untuk kemaslahatan umat. Menurut Abdo Khaldi.
Tafsir maqasidi adalah salah satu bentuk penafsiran yang yang dilakukan

11
Nanang Riyadi, Tunagrahita, Kompasiana.com
dengan cara menggali makna yang tersirat dalam lafaz-lafz Al-quran
dengan mempertimbangkan tujuan yang terkandung didalamnya.12
Dalam pengukuhan guru bessar abdul mustaqim dia menyatakan :
tafsir maqashidi sesungguhnya bisa dipandang sebagai
falsafah al-tafsîr yang memiliki dua fungsi, yaitu: 1) sebagai
spirit untuk menjadikan penafsiran al-Qur’an lebih dinamis
dan moderat, 2) sebagai kritik terhadap produk- produk
tafsir yang mengabaikan dimensi maqashidi. Keempat, tafsir
maqashidi dapat menjadi sintesa kreatif untuk meretas
kebuntuan epistemik dari dua model epistem (al-ittijâh al-
zhahiriy-al-harfiy-al-nashshiy dengan al-ittijâh -al-ta’thîly-al-
liberaly) yang keduanya saling ‘berkonflik’ (baca: kontestasi)
dalam menafsirkan al-Qur’an. Oleh sebab itu, kehadiran tafsir
maqashidi relatif lebih bisa diterima umat Islam katimbang
hermeneutik.Tafsir maqashidi lebih memiliki cantholan yang
sangat erat dengan teori maqashid syari’ah dan lebih familiar
di kalangan para ulama.13
Jika di lihat dari kutipan di atas dapat di tarik kesimpulan .

Penutup

12
Mufti Hasan, Tafsir Maqasidi: penafsiran Al-Al-Quran Berbasis Maqasid Al-Syari’ah,
(Semarang: UIN Wali Songo), 4-5
13
Mustaqim, keniscayaan tafsir al Maqasidi (Yogyakarta, UIN Suka 16 Desember
2019 ) halaman 18 , lihat juga Abû Ishâq al-Syathibi, al-Muwafaqât fi Ushûl al-Syarî`ah (Beirut: Dâr
al-Kutub al-`Ilmiyyah 2009), hlm.219
Daftar Rujukan

Anda mungkin juga menyukai