Anda di halaman 1dari 3

Pembangunan Yang Berwawasan Tri Hita Karana

Pengertian Tri Hita Karana

Kata Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sanskerta, di mana kata Tri artinya tiga, Hita artinya
sejahtera atau bahagia dan Karana artinya sebab atau penyebab. Tri Hita Karana berarti tiga
hubungan yang harmonis yang menyebabkan kebahagiaan bagi umat manusia. Untuk itu
ketiga hal tersebut harus dijaga dan dilestarikan agar dapat mencapai hubungan yang
harmonis. Sebagaimana dimuat dalam ajaran Agama Hindu bahwa "kebahagiaan dan
kesejahteraan" adalah tujuan yang ingin dicapai dalam hidup manusia, baik kebahagiaan atau
kesejahteraan fisik atau lahir yang disebut ” Jagadhita ” maupun kebahagiaan rohani dan
batiniah yang disebut "Moksa".

Bagian-Bagian dan Contoh Tri Hita Karana

a. Hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa/Sang Hyang Widhi Wasa
(Parhyangan).
b. Hubungan manusia dengan sesama manusia (Pawongan).
c. Hubungan manusia dengan alam semesta (Palemahan)

Pembangunan telah memberikan suatu pelajaran yang berharga dan melelahkan dalam
mewujudkan kemakmuran masyarakat. Namun demikian walaupun manusia telah melalui
sejarahnya, ternyata persoalan pembangunan dan implikasinya bagi umat manusia dan
lingkungan tetap tidak tertangani dengan baik, yang muncul kemudian adalah semakin
bertambahnya persoalan sosial budaya, politik dan ekonomi sebagai akumulasi kelalaian
penanganan permasalahan lingkungan tersebut. Mempelajari dan memahami kerusakan
lingkungan akibat pembangunan bukan merupakan persoalan yang mudah, persoalan tersebut
sudah merupakan sebuah sistem dalam masyarakat

Kerusakan lingkungan sendiri tidak dapat dilepaskan dari aspek-aspek lain, karena
permasalahan lingkungan sendiri merupakan sebuah sistem yang terkait dengan bidang-
bidang lainnya Pertama, persoalan lingkungan terkait dengan aspek perkembangan penduduk.
Indonesia, tercatat pertumbuhan penduduknya dari tahun ke tahun terus bertambah. Jumlah
penduduk Indonesia tahun 2004 tercatat sebanyak 220 juta jiwa lebih. Persoalan ini serta
merta bertambah dengan tidak tersedianya lahan yang cukup untuk diusahakan oleh
masyarakat baik sebagai lahan pertanian ataupun sektor lainnya. akibatnya pembukaan hutan
menjadi salah satu alternatif yang paling cepat dengan resiko kerusakan terhadap lingkungan.
Kedua, terkait aspek kemajuan teknologi. Teknologi merupakan prasyaratan utama terjadinya
perubahan sosial dalam masyarakat. Teknologi memberikan manusia kemudahan untuk
melakukan aktivitasnya. Keserakahan manusia telah mendorong untuk memanfaatkan
teknologi ini untuk melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya lingkungan.
Ketiga, pemenuhan kesejahteraan masyakat yang dari tahun ke tahun mengalami penurunan.
Indikator kesejahteraan masyarakat sendiri mengalami pergeseran, sehingga program yang
telah dicanangkan untuk mengurangi kemiskinan dalam masyarakat tidak pernah selesai
dengan hasil yang baik. Penyesuaian indikator ini telah menyebabkan runtuhnya fondasi
perencanaan sosial masyarakat. Keempat, kebijakan pemerintah. Aturan pemerintah selama
ini terkesan tidak pernah dilaksanakan secara serius oleh aparatnya. Pelaksanaan kebijakan
terhadap perlindungan dan pelestarian lingkungan berbanding terbalik dengan jumlahnya
eksploitasi dan kerusakan lingkungan. Persoalan ini semakin menjadi karena dalam
pelaksanaannya undang-undang yang dihasilkan oleh pemerintah terkesan tidak memahami
substansi permasalahan lingkungan di daerah-daerah, dan justru kebijakan ini merusak
pengetahuan lokal (local knowledge) masyarakat setempat. Termasuk aturan-aturan (awig-
awig) , norma dan nilai sosial, dan aspek mistis mengenai pengelolaan lingkungan menjadi
lenyap. Padahal selama ini aturan-aturan pengetahuan lokal (local knowledge) yang
memberikan kelangsungan pelestarian lingkungan dan terpenting menjamin kelangsungan
hidup masyarakatnya.

Pembangunan lingkungan yang berbasis pengelolaan lingkungan hidup dengan


mengedepankan hukum lokal atau aturan-aturan yang ada dalam masyarakat setempat (local
knowledge) sudah sejak lama dikembangkan dalam rangka pelestarian lingkungan hidup oleh
masyarakat sekitar hutan. Di Bali, konsep tentang pengelolaan lingkungan sudah lama
dikenal oleh masyarakat setempat maupun masyarakat luar. Bali memiliki konsep filosofis
Tri Hita Karana dalam pengelolaan lingkungannya dalam artian fisik maupun sosial
budayanya. Konsep ini sebenarnya melandasi setiap aktivitas masyarakat Bali terhadap
lingkungannya. Namun, belakangan ini konsep pembangunan masyarakat Bali terutama
pembangunan sektor-sektor jasa dan pariwisata seolah-olah tidak lagi didasari oleh konsep
tersebut.

Daya tarik wisatawan ke Bali saat ini sebenarnya tidak hanya bertumpu pada budaya
masyarakat bali semata-mata. Daya tarik Bali, masih dominan pada the best view-nya
(keindahan alamnya). Namun, kondisi lingkungan makin mengkhawatirkan dengan adanya
berbagai kerusakan yang parah terjadi sebagai akibat kontrol pembangunan yang kurang peka
terhadap aspek lokal. Pembangunan itu justru merambah juga di kawasan yang selama ini
mengandalkan panorama dan keindahan alamnya untuk menarik wisatawan. Bebarapa
kawasan yang mengandalkan keindahan alamnya seperti Tenganan, Kintamani, Bedugul, dan
Tabanan mulai terganggu.

Dalih perusakan lingkungan inipun dapat ditebak yakni proses pembangunn dan
kesejahteraan masyarakat. Keadaan ini terkait dengan pilihan rasional dari manusia itu sendiri
dalam rangka mempertahankan hidupnya. Keaadaan seperti ini terkesan dibiarkan saja oleh
pemerintah sebagai institusi yang memegang dan mempunyai wewenang dalam mengatasi
berbagai persoalan lingkungan yang notabene menyangkut permasalahan manusia juga.
Lingkungan dalam masyarakat Bali sebagaimana yang tercantum dalam konsep dasar
(filosofi) Tri Hita Karana mengajarkan hidup manusia haruslah dapat selaras dengan alam
lingkungannya. Hanya untuk memenuhi kepentingan dalam salah satu sektor tidaklah berarti
harus mengorbankan sektor yang lain seperti sektor pertanian (dengan berkurangnya lahan
pertanian subak) dan sektor yang lain seperti sektor perkebunan.

Selama ini banyak proyek yang dilaksanakan dengan embel-embel ramah lingkungan dan
aman bagi lingkungan, ternyata malah banyak yang merugikan lingkungan itu sendiri. Justru
yang banyak terjadi adalah semakin terpinggirkannya persoalan lingkungan dengan
pemanfaatan ruang yang selama ini digunakan untuk sektor kehutanan, pertanian dan
perkebunan menjadi hotel, restoran, pusat perbelanjaan, pemukiman dan perumahan toko
(ruko). Hal seperti ini kelihatannya sepele, tetapi di Bali setiap perubahan pemanfaaatan
ruang haruslah berpedoman pada konsep Tri Hita Karana ini. Tidak dengan mudahnya tanah
yang selama ini digunakan untuk areal pertanian, perkebunan dan hutan sedemikian cepatnya
dapat digunakan untuk tempat tinggal (perumahan atau tempat usaha seperti hotel, restoran
dan lain-lainnya. Ada berbagai upacara yang harus dilaksanakan, kalau hal tersebut dilanggar
akan menyebabkan pemali pada orang yang melanggar dan masyarakat sekitarnya. Banyak
tanah dengan kemiringan 40 derajat yang sesungguhnya dilarang untuk dibangun kini
menjadi daerah yang menggiurkan para investor atau pengembang untuk membangun
perumahan (yang katanya ramah lingkungan) dan untuk usaha di bidang pariwisata. Hal ini
justru sangat membahayakan lingkungan dan merusak panorama alam yang dijadikan sebagai
obyek wisata.

Sehingga kemudian tesis yang ingin dikembangkan dalam artikel ini adalah mencoba
membangun kembali konsep Tri Hita Karana sebagai modal sosial dalam pembangunan dan
pengelolaan lingkungan masyarakat Bali. Hal ini dipandang perlu, karena konsep ini telah
banyak ditinggalkan orang Bali sendiri dalam mengelolan lingkungan dan perubahan
pemanfaatan ruang. Persoalaan ini sebagai akibat berkembangnya proses globalisasi,
modernisasi dan kapitalisme global dalam kehidupan masyarakat, sehingga aspek-aspek luhur
pengatahuan lokal menjadi terpinggirkan.

Anda mungkin juga menyukai