Bahan LGBT
Bahan LGBT
Latar Belakang
Masalah tentang kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) cukup ramai di
media-media cetak dan elektronik. Isu LGBT menggelinding cepat di ruang publik, selain
karena opini publik, juga terutama karena menyentuh hal paling esensial yaitu eksistensi
sekelompok manusia dengan keunikan seksualitasnya. Dimana bagi sebagian golongan
berpendapat bahwa keberadaan kaum ini haruslah dilinduingi.
Pada dasarnya dalam Negara Indonesia adalah negara hukum, kita harus menimbang segala
perilaku bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa dalam kacamata hukum. Artinya,
antarwarga negara dapat saja berbeda pendapat dalam suatu hal, karena bagaimanapun, sejak
diformalisasikannya Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945, maka sejak itu, Pancasila
bukan lagi sekedar kesepakatan politik, melainkan telah menjadi komitmen filosofis yang
mengandung consensus trasenden, yang menjanjikan kesatuan dan persatuan sikap serta
pandangan bangsa Indonesia dalam menyongsong hari depan yang dicita-citakan. Dengan
demikian, Pancasila bukan lagi sekedar alternatif, melainkan suatu imperatif bagi bangsa
Indonesia.
Islam secara terang mengecam tindakan yang tidak wajar tersebut. Tak hanya itu, bahkan
pelaku sodom harus rela dibinasakan dari permukaan bumi ini (Qs.Al-‘Ankabut, 29: 31-32),
sebab mereka tidak hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi juga memberikan dampak sosial
yang buruk terhadap lingkunganya. Memang pro dan kontra Ulama Tafsir dalam memahami
ayat ini pun muncul ke permukaan, sejumlah pertanyaan misalnya, jika memang LGBT
adalah murni problem kejiwaan atau alamiyah, mengapa Tuhan mengadzab mereka? Ada
juga yang berpendapat liberal dan radikal dengan pendekatan “analisis Historis” yang
menyatakan, kita tidak tahu cerita itu historis atau ahistoris, yang jelas Allah ingin
memberikan pesan-pesan moral universalnya agar tak merugikan diri sendiri dan orang lain.
Hemat penulis, faktor yang paling penting mengapa mereka diadzab adalah dampak sosial
yang buruk, alias problem kejiwaan sekaligus sosial. Bahkan LGBT seperti sudah menjadi
sebuah gerakan massif. Kalau kita merujuk kepada Al-Qur’an, setidaknya ada dua ayat yang
menunjukkan bahwa manusia mempunyai tugas reproduksi. Pertama, Qs. An-nisa’: (1).
Kedua, Qs. Ar-rum, (21). Dari kedua ayat di atas menunjukkan bahwa Fungsi reproduksi
kemanusiaan ini sudah mutlak dalam diri setiap individu. Jika ada orang menikah, lalu tidak
mengharapkan memiliki keturunan, apakah ini kodrati? Tentu saja jawabannya tidak. Dan
juga dari awalnya saja Allah sudah menurunkan wawaddah dan rahmah dalam konteks sosial
hubungan pria dan wanita.
Sumber : http://jasapembuatantulisanhukummantap.blogspot.co.id/2017/01/lgbt-dalam-
perspektif-filsafat-hukum.html?m=1
Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya kasus kekerasan terhadap kelompok LGBT yang
berhasil dicatat oleh Arus Pelangi, sebuah organisasi masyarakat sipil yang kerap melakukan
advokasi dalam isu-isu LGBT.
Salah seorang pegiat hak asasi manusia (HAM) dari Arus Pelangi, Yulita Rustinawati,
memaparkan bahwa sejak Januari hingga Maret 2016, terdapat 142 kasus penangkapan,
penyerangan, diskriminasi, pengusiran, dan ujaran kebencian yang ditujukan kepada
kelompok LGBT.
Tahun 2013 tercatat 89,3 persen dari seluruh jumlah LGBT yang ada di Indonesia mengalami
kekerasan psikis, fisik, dan budaya.
Yuli mengatakan, berdasarkan hasil penelitian Arus Pelangi, diketahui bahwa pelaku ujaran
kebencian mayoritas adalah aparat negara yang kemudian membuat legitimasi kepada
organisasi intoleran melakukan kekerasan kepada kelompok LGBT.
Seiring dengan semakin banyaknya kekerasan tersebut, muncullah gerakan masyarakat sipil
yang memperjuangkan perlindungan HAM kelompok LGBT.
"Gerakan masyarakat sipil tersebut bermula dari kesadaran adanya diskriminasi dan
kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBT.
Kekerasan tersebut masih berlangsung hingga saat ini," ujar Yuli dalam diskusi bertajuk
Politik, Keragaman, dan Keadilan Gender di Indonesia di kantor Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (21/8/2016).
Yuli menjelaskan, gerakan masyarakat sipil yang memperjuangkan hak kelompok LGBT
sebenarnya sudah muncul sekitar tahun 1980-an di kota-kota besar, khususnya Jakarta.
Saat itu beberapa organisasi yang ada lebih banyak bergerak di lingkup kesehatan dan
HIV/AIDS. Kemudian memasuki tahun 2000-an, muncul organisasi yang bergerak di bidang
advokasi bagi kelompok rentan dan sulit mendapatkan akses keadilan.
Arus Pelangi menjadi salah satu organisasi tersebut. Yuli menuturkan, banyak kasus
kekerasan yang menimpa kelompok LGBT sebagai korbannya. Namun karena keterbatasan
kemampuan, akhirnya mereka tidak memperoleh keadilan yang seharusnya mereka dapatkan.
"Kami memang ingin membuat satu organisasi yang lingkup kerjanya melakukan advokasi
bagi kelompok LGBT yang rentan dan sangat sulit mendapatkan akses keadilan," ungkap dia.
Antara stigma dan norma agama
Menurut Yuli, gerakan dalam memperjuangkan hak kelompok LGBT akan selalu menemui
hambatan besar di masyarakat, selama stigma negatif terus ditujukan kepada orang-orang
dengan orientasi seksual yang berbeda. Lesbian, gay, biseksual dan transgender kerap
dipandang sebagai suatu penyakit yang harus disembuhkan.
Mereka, kata Yuli, seringkali tidak diperlakukan sebagai manusia yang memiliki hak asasi
sejak lahir. Belum lagi mereka harus berbenturan dengan nilai dan norma agama yang selalu
digunakan kelompok intoleran untuk melegitimasi kekerasan terhadap kelompok LGBT.
Yuli berpendapat, lahirnya resistensi di masyarakat terhadap kelompok LGBT disebabkan
oleh kurangnya kesadaran bahwa manusia itu beragam. Menurutnya, keberagaman tidak
hanya dilihat dari sisi suku, agama, ras dan golongan, tapi juga beragam dari sisi orientasi
seksual serta identitas gender.
"Setiap orang memiliki hak untuk tidak setuju terhadap LGBT, namun akan bermasalah
ketika ketidaksetujuan tersebut berlanjut ke tindak kekerasan dan penyebaran kebencian.
Masyarakat harus bisa melihat dari sisi lain bahwa kelompok LGBT juga manusia yang
memiliki hak asasi," tuturnya.
Dengan banyaknya tindakan kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok LGBT, muncul
pertanyaan, bagaimana posisi Pemerintah saat ini dalam melindungi hak warga negaranya.
Yuli menilai saat ini Pemerintah belum memberikan hak atas rasa aman dan hak atas
kebebasan untuk berkumpul dan berserikat bagi kelompok LGBT.
Menurut Yuli, Pemerintah cenderung melakukan pembiaran atas peristiwa kekerasan yang
terjadi. Yuli mencontohkan saat terjadi kasus penutupan secara paksa sebuah pesantren waria
di Yogyakarta, pemerintah atau aparat penegak hukum tidak berusaha untuk memberikan
perlindungan.
"Padahal secara jelas konstitusi menyatakan setiap orang, tanpa melihat latar belakang dan
orientasi seksualnya, mempunyai hak untuk beribadah. Kenapa waria tidak bisa menikmati
hak asasinya hanya karena memiliki identitas yang berbeda," kata Yuli.
Fakta tersebut diperkuat dengan adanya laporan yang dirilis oleh Human Rights Watch
(HRW) beberapa waktu lalu. Dalam laporan berjudul "Permainan Politik Ini Telah Merusak
Hidup Kami: Komunitas LGBT Indonesia Berada di Bawah Ancaman", HRW secara khusus
mencermati kondisi LGBT di Indonesia.
Peneliti HRW Kyle Night mengatakan bahwa selama beberapa tahun belakangan kelompok
LGBT hidup dalam kondisi yang penuh diskriminasi, kebencian, pelecehan, tindak
kekerasan, prasangka bahkan seringkali mengalami ancaman pembunuhan.
Kondisi tersebut semakin parah sejak awal tahun 2016 seiring dengan banyak munculnya
pernyataan diskriminatif dari beberapa lembaga, organisasi profesi dan institusi Pemerintah.
Kyle menyebut institusi seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI), Persatuan Dokter Jiwa, dan organisasi keagamaan memberikan
kontribusi dalam memperburuk kondisi kehidupan LGBT karena mengeluarkan pernyataan
bernada negatif.
KPI dan KPAI pernah mengeluarkan petunjuk penyensoran terhadap informasi dan tayangan
yang terkait dengan LGBT. Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad
Nasir pun pernah melarang keberadaan organisasi mahasiswa LGBT di beberapa kampus.
Pernyataan tersebut merupakan respons terhadap keberadaan Support Group and Research
Centre on Sexuality Studies di Universitas Indonesia.
"Pernyataan dari beberapa pejabat dan institusi negara memberikan kontribusi terhadap
banyaknya ancaman terhadap kelompok LGBT. Banyak LGBT yang mengalami diskriminasi
akibat pernyataan diskriminatif dari pemerintah," ujar Kyle.
"Perlindungan LGBT apa pun dia, apa pun kerjanya, dia tetap warga negara Indonesia,
punya hak untuk dilindungi," kata Luhut dalam acara Coffe Morning dengan media di
Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (12/2/2016).
Untuk itu, ia meminta, agar tidak ada pihak-pihak yang menyikapi keberadaan LGBT ini
dengan kekerasan. Menurut dia, jika memang diperlukan adanya penanganan terhadap
LGBT baiknya dilakukan secara keagamaan, atau psikologis.
"Saya tidak setuju dengan usir, bunuh atau apa. Saya ingin kita sebagai bangsa memiliki
martabat, karena itu bukan kemauan dia. Kita tidak tahu latar belakang keluarga mereka
seperti apa," ujar dia.
Lebih lanjut, Luhut bersyukur tidak ada keluarganya yang masuk dalam komunitas
LGBT. Namun, ia pun tidak dapat menjamin keturunannya nanti dapat terhindar dari
kepribadian LGBT.
"Tapi saya bisa jamin semua bisa terjadi. Jadi jangan cepat-cepat kita hakimi orang. Kita
instrospeksi dulu," ucap dia.
Sumber : http://news.metrotvnews.com/read/201...tuk-dilindungi
4. Metrotvnews.com, Jakarta: Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddik, menyatakan saat
ini Indonesia dalam keadaan darurat bahaya lesbian, gay, biseks dan transgender
(LGBT) sehingga dibutuhkan perhatian serius dari semua pihak.
"Munculnya kasus-kasus hukum berkaitan dengan pelaku dan perilaku LGBT makin
menyentakkan kesadaran masyarakat luas akan ancaman dan bahaya LGBT," katanya
kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (20/2/2016).
Dia berpandangan, indikator darurat fenomena LGBT justru menyeruak dari kalangan publik
figur. Pelaku dan perilaku tersebut kemudian disebarluaskan secara masif oleh lembaga
penyiaran, khususnya televisi.
Sebagai bukti, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selama bulan Februari 2016 sudah
mengeluarkan sekitar enam sanksi teguran terhadap program-program televisi yang
mempromosikan pelaku dan perilaku LGBT.
"Bayangkan jika setiap hari ada beberapa televisi menampilkan pelaku dan perilaku LGBT dalam
programnya, maka berapa juta warga masyarakat Indonesia yang terterpa pesan langsung dan
tidak langsung tentang LGBT?," ungkap dia.
Dia menambahkan, disorientasi perilaku seksual itu juga dapat ditularkan. Terlebih saat ini
muncul pembelaan dan advokasi dari berbagai kalangan baik perorangan maupun
kelembagaan. Bahkan, perusahaan-perusahaan multinasional turut mempromosikan LGBT.
"Penularan yang terlihat cepat di kalangan figur publik khususnya artis, bisa jadi contoh paling
gamblang," kata politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Dengan memperhatikan indikator- indikator tersebut, lanjutnya, pemerintah, DPR dan semua
komponen masyarakat sudah semestinya memiliki kesadaran kolektif untuk menghadapi dan
menyelesaikan persoalan ini.
"Lebih khusus lagi media massa, media penyiaran dan media sosial harus mawas diri agar tidak
menjadi agen penyebarluasan pelaku dan perilaku LGBT," tandasnya.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Natalius Pigai mengatakan persoalan
LGBT di Indonesia sangat berkaitan dengan agama, sosial, dan budaya. Tetapi,
keberadaan mereka harus dilihat sebagai fakta sosial yang ada.
"Negeri ini pun harus melindungi mereka, agar mereka terasa dilindungi," kata Natalius, dalam
sebuah diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (20/2/2016).
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Deding Ishak tegas menolak keberadaan LGBT di Tanah Air.
Namun, ia sepakat dengan Natalius bahwa LGBT jangan dijauhi, tapi harus dibina.
Deding memandang LGBT sebagai penyakit sosial. Ia menilai ada kegiatan yang menjurus pada
kampenye untuk melegalisasi LGBT. Menurut Deding, masyarakat wajib menolak kegiatan yang
mempromosikan LGBT.
"Kita waspada dan tegas menolak mereka. Saya tidak ingin ada penyakit orientasi seksual. Kita
harus jaga masyarakat dari kaum-kaum LGBT," tegas Deding.
Deding mengatakan ada kelompok masyarakat dan agama menyampaikan keresahan terkait
keberadaan LGBT ke DPR. Menurut dia, Komisi VIII merespons keresahan itu dengan
berencana membuat undang-undang anti-LGBT.
"Undang-undang sebagai payung hukum agar ada yang mengawal kebutuhan negara bisa lebih
baik lagi, mengajarkan agama lebih baik, tidak ada kesalahan orientasi seksual. Paling penting
tidak bertentangan dengan nilai agama dan budaya," papar Deding.
Menurut Deding, undang-undang anti LGBT akan mengatur kehidupan sosial yang lebih baik.
Deding yakin semua fraksi di Komisi VIII menolak LGBT. "Tentunya, undang-undang ini penting
kita adakan," pungkas dia.
(TRK)
6.