Anda di halaman 1dari 44

Laporan Kasus

Osteoarthritis Genu Bilateral + Low Back Pain


(LBP) et causa Suspect Spondylolisthesis
Disusun untuk memuhi tugas
Labm Ilm
u Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Oleh :
Defina Sofi Amalia
21704101069

Dosen Pembimbing
dr. Nuryatien Husna, Sp.KFR

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


LABORATORIUM ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN
REHABILITASI MEDIK
RSUD SYARIFAH AMBAMI RATO EBU BANGKALAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2019
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus tentang “Osteoarthritis
Genu Bilateral + Low Back Pain (LBP) et causa Suspect Spondylolisthesis”. Penulis juga
berterima kasih kepada dr. Nuryatien Husna, Sp.KFR selaku Dosen Pembimbing dan
Dosen Penguji lapangan yang telah memberikan saran pada pembuatan laporan kasus ini.
Penulis berharap laporan kasus ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan mengenai “Osteoarthritis Genu Bilateral + Low Back Pain (LBP) et
causa Suspect Spondylolisthesis”. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
laporan kasus ini terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga laporan kasus ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
laporan kasus yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis maupun orang yang
membacanya.

Bangkalan, 1 Agustus 2019

Penulis

ii
iii

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii

BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1


BAB II. LAPORAN KASUS ................................................................................................ 3
2.1 Identitas Pasien ........................................................................................................ 3
2.2 Anamnesis ................................................................................................................ 3
2.3 Pemeriksaan Fisik .................................................................................................... 5
2.4 Status Lokalis ........................................................................................................... 5
2.5 Barthel Index............................................................................................................ 8
2.6 Usulan Pemeriksaan Penunjang ............................................................................... 9
2.7 Problem List. ............................................................................................................ 9
2.8 Diagnosa .................................................................................................................. 9
2.9 Tujuan ...................................................................................................................... 10
2.10 Planning ................................................................................................................. 10

BAB III. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 12


3.1 Anatomi Sendi Lutut ................................................................................................ 12
3.2 Osteoartritis .............................................................................................................. 15
3.2.1 Definisi .......................................................................................................... 15
3.2.2 Epidemiologi ................................................................................................. 15
3.2.3 Etiologi dan Faktor Resiko ............................................................................ 15
3.2.4 Patofisiologi .................................................................................................. 19
3.2.5 Klasifikasi...................................................................................................... 20
3.2.6 Manifestasi Klinis ......................................................................................... 21
3.2.7 Diagnosis ....................................................................................................... 23
3.2.8 Tatalaksana .................................................................................................... 31

BAB IV. PEMBAHASAN ...................................................................................................... 36


4.1 Dasar Penegakkan Diagnosis ................................................................................... 36
4.2 Dasar Penatalaksanaan ............................................................................................. 37

BAB V. PENUTUP ................................................................................................................. 39

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 40

iii
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Osteoartritis (OA) juga dikenal sebagai artritis degeneratif atau penyakit sendi
degeneratif merupakan sekelompok kelainan mekanik karena adanya degradasi pada
sendi, termasuk tulang rawan artikular dan tulang subchondral. Osteoartritis merupakan
bentuk paling umum dari artritis. Penyakit ini memiliki prevalensi yang cukup tinggi,
terutama pada orang tua. Selain itu, OA merupakan penyebab kecacatan paling banyak
pada orang tua. Faktor resiko utama dari penyakit ini adalah obesitas. Oleh sebab itu,
semakin tinggi prevalensi obesitas pada suatu populasi, maka akan meningkatkan
angka kejadian penyakit OA.1
Osteoartritis menyerang sendi-sendi tertentu. Sendi yang sering terkena antara
lain, tulang belakang pada bagian servikal dan lumbosakral, pinggul, lutut, dan sendi
phalangeal metatarsal. Di tangan, OA juga sering terjadi pada sendi interphalangeal
distal dan proksimal dan pangkal ibu jari. Biasanya, sendi-sendi yang tidak rentan
terkena OA adalah pergelangan tangan, siku, dan pergelangan kaki. Terjadinya OA
pada sendi-sendi yang telah disebutkan, dimungkinkan karena sendi-sendi tersebut
mendapat beban yang cukup berat saat aktivitas sehari-hari, seperti memegang atau
menggenggam benda yang cukup berat (OA di dasar ibu jari), berjalan (OA di lutut dan
pinggul), dan lain sebagainya.1
Osteoartritis dapat didiagnosis berdasarkan kelainan struktur anatomis dan atau
gejala yang ditimbulkan oleh penyakit ini. Menurut studi cadaver pada tahun-tahun
terdahulu, perubahan struktural OA hampir universal, antara lain hilangnya tulang
rawan (dilihat sebagai berkurangnya/menyempitnya ruang sendi pada pemeriksaan
radiologis sinar-x) dan osteofit. Banyak orang yang didiagnosis mengalami OA
berdasarkan temuan radiologis meskipun tidak menunjukkan gejala pada sendi.1
Osteoartritis simptomatik (nyeri pada persendian yang didukung dengan adanya
gambaran radiologis OA) pada lutut terjadi sebesar 12% dari orang usia 60 tahun di
Amerika Serikat dan 6% dari seluruh orang dewasa usia 30 tahun. Osteoartritis panggul
simptomatik kira-kira berjumlah sepertiga dari penyakit OA pada lutut. Sementara OA
asimtomatik (tidak menimbulkan gejala namun sudah dibuktikan dari gambaran
radiologis) pada tangan seringkali terjadi pada pasien usia lanjut. Meski begitu, OA
2

simptomatik di tangan juga terjadi pada 10% orang tua dan sering menghasilkan
keterbatasan fungsi gerak sendi.2,3
Prevalensi OA meningkat berbanding lurus dengan usia. Terlepas dari hal
tersebut, OA jarang terjadi pada orang dewasa di bawah usia 40 tahun dan sangat
lazim terjadi pada orang di atas usia 60 tahun. Penyakit ini juga lebih sering terjadi
pada wanita dibandingkan pria.3
Osteoartritis dapat menyebabkan disfungsi dan disabilitas yang dapat
menghambat atau menganggu aktifitas sehari-hari bahkan dapat menimbulkan
kecacatan fisik bagi penderitanya. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis ingin
mengetahui tentang penyakit OA dan tatalaksananya, khususnya di bidang rehabilitasi
medik.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana penegakan diagnosa pada kasus OA genu?
2. Bagaimana tatalaksana dari kasus OA genu?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui cara penegakan diagnosa OA genu.
2. Untuk mengetahui tatalaksana dari OA genu.

1.4 Manfaat
1. Agar mampu menegakan diagnosa pada kasus OA genu.
2. Agar mampu memberi tatalaksana yang tepat pada kasus OA genu.
3

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. D
Usia/Tanggal lahir : 61 tahun/01 Oktober 1958
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Nusa I – Kramat jati
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan terakhir : SD
Status Perkawinan : Janda
Agama : Islam
Suku : Madura
Tanggal Periksa : 22 Juli 2019

2.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama
Nyeri kedua lutut
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Ny. D datang ke poliklinik rehabilitasi medik RSUD Syamrabu dengan keluhan
nyeri pada kedua lututnya sejak 5 tahun yang lalu. Nyeri terlokalisasi di lutut, tidak
menjalar. Nyeri yang dirasakan hilang timbul namun memberat sejak 3 minggu
terakhir. Nyeri bertambah berat ketika pasien beraktivitas seperti berpindah posisi
dari duduk ke berdiri, berdiri lama, jalan jauh (±20m), dan jongkok. Nyeri
berkurang saat pasien beristirahat kemudian meluruskan kakinya. Nyeri lutut
disertai kekakuan dirasakan terutama saat bangun di pagi hari ±10-15 menit,
kemudian hilang dengan sendirinya. Pasien juga mengatakan adanya rasa
gemeretak ketika lutut digerakkan. Selain itu, pasien juga mengeluh nyeri pada
punggung bawah sejak 5 tahun setelah jatuh dari sepeda motor. Nyeri dirasakan
hilang timbul. Nyeri muncul terutama saat berganti posisi dari tidur ke duduk,
berdiri lama dan berjalan jauh. Nyeri juga disertai dengan kesemutan pada kedua
telapak kaki. Nyeri berkurang saat pasien membungkuk atau menundukkan badan.
4

Pasien tidak merasakan nyeri ketika batuk, bersin maupun ketika mengejan.
Keluhan tersebut tidak disertai dengan demam.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat penyakit serupa : disangkal
- Riwayat hipertensi : (+) tidak terkontrol
- Riwayat DM : (-)
- Riwayat kolesterol : disangkal
- Riwayat asam urat : disangkal
- Riwayat penyakit jantung : disangkal
- Riwayat stroke : disangkal
- Riwayat trauma : jatuh dari sepeda motor 5 tahun yang lalu dengan
posisi setengah duduk.
- Riwayat operasi : section caesaria ±30 tahun yang lalu.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat penyakit serupa : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat DM : disangkal
- Riwayat kolesterol : disangkal
- Riwayat asam urat : disangkal
5. Riwayat Alergi
Disangkal
6. Riwayat Pengobatan
Sebelumnya pasien berobat ke poli orthopedi RSUD Syamrabu dan didiagnosa OA.
Pasien diberikan obat, tetapi pasien lupa nama obat tersebut. Keluhan dirasakan
membaik setelah mengkonsumsi obat tersebut.
7. Riwayat Kebiasaan
Merokok (-), alkohol (-), aktivitas sehari-hari di rumah, seperti memasak, menyapu,
mencuci baju. Pasien pernah bekerja di Jakarta sebagai penjual sayur keliling
menggunakan sepeda motor selama ±20 tahun dan setiap hari jalan lama di pasar.
8. Riwayat Sosial Ekonomi
 Sosial
Hubungan pasien dengan keluarga dan tetangga baik.
5

 Ekonomi
Pasien tinggal di rumah bersama anak, menantu, dan cucunya. Rumah berlantai
satu dengan toilet jongkok.
9. Riwayat Psikologi
Pasien merasa cemas dan terganggu karena terbatas melakukan kegiatan sehari-hari
akibat penyakit yang dialami.

2.3 Pemeriksaan Fisik


1. Keadaan umum : Baik, independent ambulatory, antalgic gait
2. Kesadaran : Compos mentis (GCS E4V5M6)
3. Tanda Vital
a. Tensi : 140/90 mmHg
b. Nadi : 84 x/menit
c. RR : 20x/menit
d. Suhu : tidak diperiksa
e. BB : 79 kg
f. TB : 148 cm
g. Body Mass Index (BMI) : 36.1 kg/m2 (obese class II)
4. Kepala dan Leher : anemis (-), ikterus (-), sianosis (-), dispnea (-)
5. Leher : pembesaran KGB (-), trakea letak tengah
6. Thoraks : Cor : S1-S2 normal, murmur -, gallops –
Pulmo : ves +/+, wheezing -/- , ronki -/-.
7. Abdomen : meteorismus (-), hepar dan lien tidak teraba
8. Ekstremitas atas : akral hangat, edema (-), capillary refill time <2 detik
9. Ekstremitas bawah : akral hangat, edema (-), capillary refill time <2 detik
2.4 Status Lokalis
a. Status organ
- Genu
Knee
Organ/Pemeriksaan
Dekstra Sinistra
Inspeksi Deformitas varus (+), Deformitas varus (+),
kemerahan (-), atrofi kemerahan (-), atrofi
(-), edema (-) (+), edema (-)
6

Palpasi Teraba hangat (+), Teraba hangat (-),


krepitasi (+) krepitasi (+)

Movement Nyeri gerak (+) Nyeri gerak (+)


Visual Analog Scale (VAS) 8 8

- Lumbal
Vertebra
Organ/Pemeriksaan

Inspeksi Deformitas (-), kemerahan (-), edema (-)

Palpasi Teraba hangat (-),


nyeri tekan setinggi L4-L5 (+), spasme
otot (-)
Movement Nyeri gerak (+)
Visual Analog Scale (VAS) 6
Perkusi Nyeri ketok setinggi L4-L5

b. Range of Motion (ROM) dan Muscle Manual Muscle Testing (MMT)


KNEE ROM AND MMT
ROM
Pemeriksaan/Sikap Dekstra Sinistra MMT
Normal
Aktif Aktif
Ekstensi-Fleksi 100-1350 100-1350 00-1350 5/5

Dekstra Sinistra
Lingkar Quadriseps
43,5 cm 42,5 cm

ROM DAN MMT LUMBAL


ROM MMT
Normal Aktif
Fleksi 00-900 00-900 5
Ekstensi 00-300 00-300 5
Rotasi Dekstra : 00-600 Dektra : 5
00-600
Sinistra : 00-600 Sinistra : 5
Lateral Dekstra: 00-300
00-300
Fleksi Sinistra : 00-300
7

c. Status Sensorik
Sensibilitas
Ekstremitas Inferior
Pemeriksaan
Dekstra Sinistra
Rasa raba Normal Normal
Rasa nyeri Normal Normal

d. Fungsi Lumbal
Miotom Dermatom
level
Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra
L2 5 5 2 2
L3 5 5 2 2
L4 5 5 2 2
L5 5 5 2 2
S1 5 5 2 2

e. Refleks Fisiologis
Refleks Fisiologis
Deep Tendon Reflex (DTR) Dekstra Sinistra
Knee Pess Reflex (KPR) + +
Achilles Pess Reflex (ACR) + +

f. Refleks Patologis
Refleks Patologis Dekstra Sinistra
Babinski refleks - -
Chaddock refleks - -
Oppenheim refleks - -
Gordon refleks - -
Rossolimo refleks - -
8

g. Special Test
Knee Special Test
Pemeriksaan Dekstra Sinistra
Varus test - -
Valgus test - -
Anterior drawer test - -
Posterior drawer test - -
Mc Murray test - -
Patellar femoral grinding test - -

Lumbal Special Test


Pemeriksaan Dekstra Sinistra
Lassegue test - -
Kernig test - -
Patrick test - -
Braggard test - -
Sicard test - -

2.5 Barthel Index


Activity Score Normal Score
Feeding 10 10
Bathing 5 5
Grooming 5 5
Dressing 10 10
Bowels 10 10
Bladder 10 10
Toilet use 10 10
Transfers 15 15
Mobility 15 15
Stairs 10 10
TOTAL 100 (Mandiri)
9

2.6 Usulan Pemeriksaan Penunjang


- X-ray genu bilateral AP/lateral
- X-ray lumbosakral AP/lateral

2.7 Problem List


 Surgical : -
 Medical : Hipertensi grade I, obese class II
 Rehabilitation Medicine :
R1 (Ambulation) :-
R2 (ADL) :-
R3 (Communication) :-
R4 (Sociological) :-
R5 (Psychological) : Merasa cemas dan terganggu dengan penyakitnya
R6 (Vocational) :-
R7 (Others) : Nyeri lutut kanan dan kiri VAS 8, nyeri punggung
bawah VAS 6

2.8 Diagnosa
Diagnosa kerja:
- OA genu bilateral
- Low back pain et causa suspect spondylolisthesis
- Hipertensi grade I
- Obese class II
Diagnosa fungsional:
 Impairment : - Nyeri kedua lutut
- Nyeri punggung bawah
- Kesemutan pada kedua telapak kaki
 Disability : Keterbatasan aktivitas untuk berjalan jauh dan berpindah posisi
dari duduk ke berdiri.
 Handicap : (-)
10

2.9 Tujuan
a. Tujuan jangka pendek:
o Mengurangi nyeri lutut dan punggung bawah
o Mengoptimalkan luas gerak sendi lutut dan punggung bawah
b. Tujuan jangka panjang:
o Mencegah terjadinya komplikasi
o Meningkatkan kualitas hidup pasien
o Menghambat progresivitas penyakit

2.10 Planning
1. Medical
a) Planning diagnosa : Konsul ke poli jantung terkait hipertensi
b) Planning terapi : PO meloxicam 1 x 15 mg, setelah makan
c) Planning monitoring :
- Gejala klinis
- VAS lutut dan VAS paralumbal
- Tanda-tanda vital
d) Planning Edukasi
- Memberikan edukasi tentang penyakit yang sedang diderita pasien
- Membatasi konsumsi garam (maksimal 2 gram/hari)
- Menurunkan berat badan dengan mengurangi asupan kalori dan
meningkatkan aktivitas fisik
- Lebih banyak konsumsi buah, sayur, dan produk susu rendah lemak.
- Rutin kontrol ke poli penyakit jantung untuk evaluasi hipertensi
2. Rehabilitasi Medis
a) Planning diagnosa :
- X-ray genu bilateral AP/Lateral posisi berdiri
- X-ray lumbosakral AP/lateral
b) Planning terapi :
 Modalitas Fisik
- Icing genu bilateral dan paralumbal
- TENS genu bilateral dan paralumbal
 Terapi Latihan
- Latihan ROM aktif genu bilateral sesuai toleransi pasien
11

- Stretching sendi lutut


- Strengthening otot quadriceps
c) Planning monitoring
- Gejala Klinis
- VAS lutut dan paralumbal
- Lingkar otot quadriceps
d) Planning edukasi
- Pemberian edukasi tentang penyakit yang dialami pasien.
- Melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari dengan prinsip
mengurangi beban pada sendi lutut (joint protection), misalnya
mengurangi aktivitas seperti naik turun tangga, jongkok, loncat, duduk
atau tidur di bawah.
- Mengurangi aktivitas yang berdampak besar pada punggung bawah
seperti membungkukkan badan dan mengangkat barang yang berat
(Proper Body Mechanics)
- Melakukan sikap dan postur tubuh yang benar
- Kompres dengan cold gel packs pada kedua lutut dan punggung bawah
dengan dilapisi handuk terlebih dahulu sebanyak 3-5 kali sehari dengan
lama 15-20 menit
- Segera beristirahat jika merasakan nyeri saat berdiri atau berjalan jauh.
- Kontrol poli rehabilitasi medis 2 kali dalam seminggu
- Latihan fisik sesuai yang telah dianjurkan
- Memberi dukungan pada penderita agar rajin mengikuti terapi dan
kontrol secara teratur. Memberi dukungan mental pada penderita agar
tidak cemas dengan penyakit yang diderita.
12

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Sendi Lutut


Lutut merupakan sendi terbesar dari sendi tubuh lainnya. Sendi ini terletak di
antara sendi ankle dan sendi hip yang berperan sebagai stabilisator dan penggerak.
Sendi lutut merupakan sendi sinovium yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Permukaan artikular dilapisi tulang rawan hialin
b. Mempunyai kapsul sendi
c. Mempunyai membran sinovium yang memproduksi cairan sinovium
d. Terdapat meniscus yang berfungsi sebagai peredam kejut
e. Persarafan umumnya berasal dari inervasi otot-otot disekitarnya
f. Akhir saraf atau nerves ending mechanoreceptors terdapat pada kapsul dan
ligamen, seperti proprioceptor sebagai sensasi posisi dan gerak, serta nociceptor
sebagai sensasi sakit. Selain itu, terdapat ujung saraf simpatik saraf otonom pada
kapsul dan ligamen. Semua komponen tersebut memiliki pembuluh darah sebagai
suplai nutrisi, kecuali tulang rawan sendi yang diketahui memperoleh nutrisi dari
cairan sinovium yang juga berfungsi sebagai pelumas.4

3.1.1 Tulang Pembentuk Sendi Lutut


Sendi lutut terdiri dari sendi tibiofemoral, sendi patelofemoral dan sendi
proksimal tibiofibular. Sendi-sendi tersebut dibentuk oleh beberapa tulang seperti
tulang femur, tibia, patela dan fibula. Untuk tulang femur, pada ujung distal terdiri atas
dua kondilus besar, yakni kondilus medialis dan kondilus lateralis. Lekukan
interkondilaris memisahkan bagian posterior dari kondilus medialis dan laterlis, serta
pada bagian anterior, terdapat alur patela sebagai tempat patela meluncur. Kedua
kondilus tersebut panjangnya tidak sama. Pada tampak depan, kondilus medial jauh
lebih panjang dari pada kondilus lateral, sehingga ketika berdiri dengan permukaan
kondilus femur dan tibia, akan terbentuk sudut valgus sekitar 10°. Perbedaan panjang
kedua kondilus tersebut berperan dalam rotasi dan mekanisme penguncian lutut.
Tulang-tulang pembentuk sendi lutut dijelaskan pada gambar 1.
13

Gambar 1. Tulang Pembentuk Sendi Lutut.4

3.1.2 Ligamentum, Kapsul dan Jaringan Lunak Sekitar Sendi Lutut


a. Ligamentum
Ligamentum mempunyai sifat extensibility dan tensile strength yang berfungsi
sebagai pembatas gerakan dan stabilisator sendi. Lutut memiliki beberapa ligamentum,
di antaranya :
1) Ligametum cruciatum anterior yang berfungsi menahan hiperekstensi dan menahan
bergesernya tibia ke depan,
2) Ligamentum cruciatum posterior, yang berjalan dari lateral kondilus medialis
femoris menuju ke fossa intercondyloidea tibia, berperan menahan bergesernya
tibia ke arah belakang,
3) Ligamentum kolateral fibular yang berjalan dari epicondylus lateralis ke capitulum
fibula yang berfungsi menahan gerakkan varus,
4) Ligamentum kolateral tibia berjalan dari epicondylus medialis ke permukaan
medial tibia (epicondylus medialis tibia), berfungsi menahan gerakan valgus.
Namun secara bersamaan, fungsi-fungsi ligamen kolateral menahan bergesemya
tibia ke depan pada posisi lutut 90°,
5) Ligamentum popliteum obliqum berasal dari kondilus lateralis femur menuju ke
insertio musculus semi membranosus, melekat pada fascia musculus popliteum,
6) Ligamentum transversum genu membentang pada permukaan anterior meniscus
medialis dan lateralis.4
14

Gambar 2 Anatomi Ligamentum Lutut.4


b. Kapsul Sendi
Kapsul sendi lutut terdiri dari dua lapisan yaitu : stratum fibrosum yang
merupakan lapisan luar dari kapsul sendi dan berperan sebagai penutup atau
selubung serta stratum sinovium yang bersatu dengan bursa suprapatelaris. Stratum
sinovium ini merupakan lapisan dalam yang berfungsi memproduksi cairan
sinovium untuk melicinkan permukaan sendi lutut. Kapsul sendi lutut ini termasuk
jaringan fibrosus yang avaskular sehingga jika cedera, sulit untuk proses
penyembuhan.4,5
c. Jaringan Lunak
- Meniscus
Meniscus lateralis sendi lutut berfungsi untuk : (1) meratakan beban, (2)
meredam kejut, (3) mempermudah gerakan rotasi, (4) mengurangi gerakan dan
sebagai stabilisator untuk tiap penekanan dan kemudian akan diserap untuk
diteruskan ke sebuah sendi.
- Bursa
Bursa merupakan kantong yang berisi cairan yang memudahkan
terjadinya gesekan dan gerakan pada sendi. Memiliki dinding yang tipis dan
dibatasi oleh membran sinovium. Ada beberapa bursa yang terdapat pada sendi
lutut antara lain bursa popliteus, bursa suprapatelaris, bursa infrapatelaris, bursa
subcutanea prepatelaris dan bursa subpatelaris.
- Otot- Otot Penggerak Sendi Lutut
a. Bagian anterior adalah musculus rectus femoris, musculus vastus lateralis,
musculus vastus medialis dan musculus vastus intermedialis.
15

b. Bagian posterior adalah musculus biceps femoris, musculus semitendinosus,


musculus semimembranosa dan musculus gastrocnemius.
c. Bagian medial adalah musculus sartorius, sedangkan bagian lateral adalah
musculus tensor fasciae latae.4,5

3.2 Osteoartritis
3.2.1 Definisi
Osteoartrosis atau osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif
yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Sendi vertebra, panggul, lutut, dan
pergelangan kaki merupakan sendi yang sering terkena OA.6
Osteoartritis merupakan kelainan sendi non inflamasi dan mengenai sendi-
sendi penumpu berat badan dengan gambaran patologis yang berupa rusaknya tulang
rawan sendi akibat dari perubahan biokimiawi, metabolisme fisiologis maupun
patologis yang terjadi pada persendian.6
3.2.2 Epidemiologi
Osteoartritis merupakan penyakit sendi yang banyak mengenai orang-orang
diatas umur 50 tahun. Orang dengan usia 65 tahun ditemukan gambaran OA pada
foto x-ray sebanyak 85%, meskipun hanya 35%-50% yang mengalami gejala. Pada
umur di bawah 45 tahun, prevalensi terjadinya OA lebih banyak terjadi pada pria
sedangkan pada umur 55 tahun lebih banyak terjadi pada wanita. Pada beberapa
penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan terjadinya OA pada obesitas,
pada sendi penahan beban tubuh.6
Di Indonesia, prevalensi OA mencapai 5% pada usia <40 tahun, 30% pada
usia 40-60 tahun, dan 65% pada usia >61 tahun.5 Untuk OA lutut prevalensinya
cukup tinggi yaitu 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita. Pasien OA biasanya
mengeluh nyeri ketika melakukan aktivitas atau jika ada pembebanan pada sendi
yang terkena. Osteoartritis dengan derajat nyeri yang berat dan terus menerus dapat
mengganggu mobilitas. Diperkirakan 1 sampai 2 juta orang lanjut usia di Indonesia
menderita cacat karena OA.6
3.2.3 Etiologi dan Faktor Resiko
Berdasarkan etiopatogenesisnya, OA dibedakan menjadi dua yaitu OA primer
dan OA sekunder. Osteoartritis primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang
kausanya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik
maupun proses perubahan lokal pada sendi. Osteoartritis sekunder adalah OA yang
16

didasari oleh adanya kelainan endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan, herediter,


jejas mikro dan makro serta imobilisasi yang terlalu lama. Osteoartritis primer lebih
sering ditemukan dibanding OA sekunder.6
Tidak ada bakteri atau virus yang menyebabkan OA. Adapun beberapa faktor
predisposisi terjadinya OA dipengaruhi antara lain:
1. Umur
Dari semua faktor resiko untuk timbulnya OA, faktor umur adalah yang terkuat.
Prevalensi dan beratnya OA akan semakin meningkat dengan bertambahnya umur.
Osteoartritis hampir tidak pernah pada anak-anak, jarang pada umur di bawah 40
tahun dan sering pada umur di atas 60 tahun Hal ini disebabkan karena adanya
hubungan antara umur dengan penurunan kekuatan kolagen dan proteoglikan pada
kartilago sendi.
2. Jenis kelamin
Pada orang tua yang berumur lebih dari 55 tahun, prevalensi OA pada wanita lebih
tinggi dari pria. Pada usia kurang dari 45 tahun OA lebih sering terjadi pada pria
dari wanita. Wanita lebih sering terkena OA lutut dan OA banyak sendi,
sedangkan laki-laki lebih sering terkena OA paha, pergelangan tangan dan leher.
3. Suku bangsa
Osteoartritis primer dapat menyerang semua ras meskipun terdapat perbedaan
prevalensi pola terkenanya sendi pada OA. Hal ini mungkin berkaitan dengan
perbedaan cara hidup maupun perbedaaan pada frekuensi pada kelainan kongenital
dan pertumbuhan.
4. Genetik
Faktor herediter juga berperan pada timbulnya OA. Adanya mutasi dalam gen
prokolagen atau gen-gen struktural lain untuk unsur-unsur tulang rawan sendi
seperti kolagen, proteoglikan berperan dalam timbulnya kecenderungan familial
pada OA.
5. Kegemukan dan penyakit metabolik
Berat badan yang berlebih ternyata dapat meningkatkan tekanan mekanik pada
sendi penahan beban tubuh, dan lebih sering menyebabkan OA lutut. Kegemukan
ternyata tidak hanya berkaitan dengan OA pada sendi yang menanggung beban,
tetapi juga dengan OA sendi lain, diduga terdapat faktor lain (metabolik) yang
berperan pada timbulnya kaitan tersebut antara lain penyakit jantung koroner,
diabetes melitus dan hipertensi.
17

6. Cedera sendi (trauma), pekerjaan dan olah raga.


Pekerjaan berat maupun dengan pemakaian suatu sendi yang terus-menerus,
berkaitan dengan peningkatan resiko OA tertentu. Demikian juga cedera sendi dan
oleh raga yang sering menimbulkan cedera sendi berkaitan resiko OA yang lebih
tinggi.
7. Kelainan pertumbuhan
Kelainan kongenital dan pertumbuhan paha (misalnya penyakit Perthex dan
dislokasi kongenital paha) telah dikaitkan dengan timbulnya OA paha pada usia
muda.
8. Faktor-faktor lain
Tingginya kepadatan tulang dikaitkan dapat meningkatkan risiko timbulnya OA.
Hal ini mungkin timbul karena tulang yang lebih padat (keras) tidak membantu
mengurangi benturan beban yang diterima oleh tulang rawan sendi. Akibatnya
tulang rawan sendi menjadi lebih mudah robek. Faktor ini diduga berperan pada
lebih tingginya OA pada orang gemuk dan pelari (karena tulangnya lebih padat)
dan kaitannya negatif antara osteoporosis dengan OA.6,7,8
Proses utama OA sebenarnya terdapat pada khondrosit yang merupakan satu-
satunya sel hidup yang ada di dalam rawan sendi. Gangguan pada fungsi khondrosit
itulah yang akan memicu proses patogenik OA. Khondrosit akan mensintesis
berbagai komponen yang diperlukan dalam pembentukan rawan sendi, seperti
proteoglikan, kolagen dan sebagainya. Disamping itu ia akan memelihara keberadaan
komponen dalam matriks rawan sendi melalui mekanisme turn over yang begitu
dinamis.9
Osteoartritis ditandai dengan fase hipertrofi kartilago yang berhubungan
dengan suatu peningkatan terbatas dari sintesis matriks makromolekul oleh
khondrosit sebagai kompensasi perbaikan (repair). Osteoartritis terjadi sebagai hasil
kombinasi antara degradasi rawan sendi, remodelling tulang dan inflamasi cairan
sendi.9
Dengan kata lain terdapat satu keseimbangan antara proses sintesis dan
degradasi rawan sendi. Gangguan keseimbangan ini yang pada umumnya berupa
peningkatan proses degradasi, akan menandai penipisan rawan sendi dan selanjutnya
kerusakan rawan sendi yang berfungsi sebagai bantalan redam kejut. Sintesis matriks
rawan sendi tetap ada terutama pada awal proses patologik OA, namun kualitas
matriks rawan sendi yang terbentuk tidak baik. Pada proses akhir kerusakan rawan
18

sendi, adanya sintesis yang buruk tidak mampu lagi mengatasi proses destruksi sendi
yang cepat. Hal ini terlihat dari menurunya produksi proteoglikan yang ditandai
dengan menurunnya fungsi khondrosit.9
Perubahan patologik pada OA ditandai oleh kapsul sendi yang menebal dan
mengalami fibrosis serta distorsi. Pada rawan sendi pasien OA juga terjadi proses
peningkatan aktivitas fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini
menyebabkan terjadinya penumpukan trombus dan komplek lipid pada pembuluh
darah subkondral yang menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan
subkondral tersebut. Ini mengakibatkan dilepaskannya mediator kimiawi seperti
prostaglandin dan interleukin yang selanjutnya menimbulkan bone angina lewat
subkondral yang diketahui mengandung ujung saraf sensibel yang dapat
menghantarkan rasa sakit. Penyebab rasa sakit itu dapat juga berupa akibat dari
dilepasnya mediator kimiawi seperti kinin dan prostaglandin yang menyebabkan
radang sendi, peregangan tendon atau ligamentum serta spasmus otot-otot
ekstraartikuler akibat kerja yang berlebihan.9
Sakit pada sendi juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan
periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta kenaikan tekanan
vena intrameduler akibat stasis vena intrameduler karena proses remodelling pada
trabekula dan subkondral. Sinovium mengalami keradangan dan akan memicu
terjadinya efusi serta proses keradangan kronik sendi yang terkena. Permukaan rawan
sendi akan retak dan terjadi fibrilasi serta fisura yang lama-kelamaan akan menipis
dan tampak kehilangan rawan sendi fokal. Selanjutnya akan tampak respon dari
tulang subkhondral berupa penebalan tulang, sklerotik dan pembentukkan kista. Pada
ujung tulang dapat dijumpai pembentukan osteofit serta penebalan jaringan ikat
sekitarnya. Oleh sebab itu pembesaran tepi tulang ini memberikan gambaran seolah
persendian yang terkena itu bengkak.9

Gambar 3. Osteoartritis.9
19

Peran makrofag di dalam cairan sendi juga penting, yaitu apabila dirangsang
oleh jejas mekanis, material asing hasil nekrosis jaringan atau CSFs, akan
memproduksi sitokin aktivator plasminogen (PA) yang disebut katabolin. Sitokin
tersebut adalah IL-1, IL-6, TNF α dan β, dan interferon (IFN) α dan . Interleukin-1
mempunyai efek multiple pada sel cairan sendi, yaitu meningkatkan sintesis enzim
yang mendegradasi rawan sendi yaitu stromelisin dan kolagenosa, menghambat
proses sintesis dan perbaikan normal khondrosit.8
Faktor pertumbuhan dan sitokin mempunyai pengaruh yang berlawanan dengan
perkembangan OA. Sitokin cenderung merangsang degradasi komponen matriks
rawan sendi, sebaliknya faktor pertumbuhan merangsang sintesis, padahal IGF-1
pasien OA lebih rendah dibandingkan individu normal pada umur yang sama.
Percobaan pada kelinci membuktikan bahwa puncak aktivitas sintesis terjadi setelah
10 hari perangsangan dan kembali normal setelah 3-4 minggu.9
3.2.4 Patofisiologi
Osteoartritis terjadi karena degradasi pada rawan sendi, remodelling tulang,
dan inflamasi. Terdapat 4 fase penting dalam proses pembentukan OA yaitu fase
inisiasi, fase inflamasi, fase nyeri, dan fase degradasi. Pada fase inisiasi terjadi
degradasi pada rawan sendi sehingga kondrosit mengalami replikasi dan
memproduksi matriks baru untuk memperbaiki kerusakan yang dibantu oleh Insulin-
like growth factor (IGF-1), growth hormon, transforming growth factor b (TGF-b)
dan coloni stimulating factors (CSFs).9
Pada fase inflamasi, sel menjadi kurang sensitif terhadap IGF-1 sehingga
meningkatnya sitokin pro-inflamasi dan jumlah leukosit. IL-1 dan TNF-α
mengaktifasi enzim degradasi seperti collagenase dan gelatinase untuk membuat
produk inflamasi pada OA. Selanjutnya pada fase nyeri, terjadi penumpukan trombus
dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral sehingga menyebabkan
terjadinya iskemik dan nekrosis jaringan. Hal ini mengakibatkan lepasnya mediator
kimia seperti prostaglandin dan interleukin yang dapat menghantarkan rasa nyeri,
mediator kimia seperti kinin yang dapat menyebabkan peregangan tendo, ligamen
serta spasme otot-otot. Nyeri juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan
periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta kenaikan
tekanan vena intramedular akibat stasis vena pada pada proses remodelling trabekula
dan subkondrial.9
20

Fase yang terakhir yaitu fase degradasi, terjadi peningkatan IL-1 yang
mempunyai efek yaitu meningkatkan sintesis enzim yang mendegradasi rawan sendi.
Faktor pertumbuhan dan sitokin membawa pengaruh yang berlawanan selama
perkembangan OA. Sitokin cenderung merangsang degradasi komponen matriks
rawan sendi sedangkan faktor pertumbuhan merangsang sintesis.9

Gambar 4 Patofisiologi Osteoartritis.9

3.2.5 Klasifikasi
Seperti telah dijelaskan di atas OA dapat terjadi secara primer (idiopatik)
maupun sekunder, seperti yang tercantum di bawah ini:10
Tabel 1. Osteoartritis idiopatik dan sekunder.10
IDIOPATIK SEKUNDER
Setempat Trauma
Tangan: − akut
- nodus Heberden dan Bouchard (nodal) − kronik (okupasional, port)
- artritis erosif interfalang Kongenital atau developmental:
- karpal-metakarpal I Gangguan setempat:
− Penyakit Leg-Calve-Perthes
− Dislokasi koksa kongenital
Kaki: − Slipped epiphysis
- haluks valgus
- haluks rigidus
- jari kontraktur (hammer/cock-up toes) Faktor mekanik
- talonavikulare − Panjang tungkai tidak sama
− Deformitas valgus / varus
− Sindroma hipermobilitas
Coxa
- eksentrik (superior)
- konsentrik (aksial, medial) Metabolik
- difus (koksa senilis) − Okronosis (alkaptonuria)
21

− Hemokromatosis
− Penyakit Wilson
Vertebra − Penyakit Gaucher
- sendi apofiseal
- sendi intervertebral
- spondilosis (osteofit) Endokrin
- ligamentum (hiperostosis, penyakit Forestier, − Akromegali
diffuse idiopathic skeletal hyperostosis=DISH) − Hiperparatiroidisme
− Diabetes melitus
Tempat lainnya: − Obesitas
- glenohumeral − Hipotiroidisme
- akromioklavikular
- tibiotalar
- sakroiliaka Penyakit Deposit Kalsium
- temporomandibular − deposit kalsium pirofosfat dihidrat
− artropati hidroksiapatit
Menyeluruh: Penyakit Tulang dan Sendi lainnya
Meliputi 3 atau lebih daerah yang tersebut diatas Setempat:
(Kellgren-Moore) Fraktur
Nekrosis avaskuler

3.2.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis dari OA biasanya terjadi secara perlahan-lahan. Awalnya
persendian akan terasa nyeri di persendian, kemudian nyeri tersebut akan menjadi
persisten atau menetap, kemudian diikuti dengan kekakuan sendi terutama saat pagi
hari atau pada posisi tertentu pada waktu yang lama.11
Tanda kardinal dari OA adalah kekakuan dari persendian setelah bangun dari
tidur atau duduk dalam waktu yang lama, swelling (bengkak) pada satu atau lebih
persendian, terdengar bunyi atau gesekan (krepitasi) ketika persendian digerakkan.
Pada kasus-kasus yang lanjut terdapat pengurangan massa otot. Terdapatnya
luka mencerminkan kelainan sebelumnya. Perlunakan sering ditemukan, dan dalam
cairan sendi superfisial, penebalan sinovial atau osteofit dapat teraba.11
Pergerakan selalu terbatas, tetapi sering dirasakan tidak sakit pada jarak
tertentu; hal ini mungkin disertai dengan krepitasi.Beberapa gerakan lebih terbatas
dari yang lainnya oleh karena itu, pada ekstensi panggul, abduksi dan rotasi interna
biasanya merupakan gerakan yang paling terbatas. Pada stadium lanjut
ketidakstabilan sendi dapat muncul dikarenakan tiga alasan: berkurangnya kartilago
dan tulang, kontraktur kapsuler asimetris, dan kelemahan otot.12
Seperti pada penyakit reumatik umumnya diagnosis tak dapat didasarkan
hanya pada satu jenis pemeriksaan saja. Biasanya dilakukan pemeriksaan
22

reumatologi ringkas berdasarkan prinsip GALS (Gait, arms, legs, spine) dengan
memperhatikan gejala-gejala dan tanda-tanda sebagai berikut:
1. Nyeri sendi
Nyeri sendi merupakan hal yang paling sering dikeluhkan. Nyeri sendi pada OA
merupakan nyeri dalam yang terlokalisir, nyeri akan bertambah jika ada
pergerakan dari sendi yang terserang dan sedikit berkurang dengan istirahat. Nyeri
juga dapat menjalar (radikulopati) misalnya pada OA servikal dan lumbal.
Claudicatio intermitten merupakan nyeri menjalar ke arah betis pada OA lumbal
yang telah mengalami stenosis spinal. Predileksi OA pada sendi-sendi;
carpometacarpal I (CMC I), metatarsophalangeal I (MTP I), sendi apofiseal
tulang belakang, lutut, dan paha).
2. Kaku pada pagi hari (morning stiffness)
Kekakuan pada sendi yang terserang terjadi setelah imobilisasi misalnya karena
duduk di kursi atau mengendarai mobil dalam waktu yang sukup lama, bahkan
sering disebutkan kaku muncul pada pagi hari setelah bangun tidur (morning
stiffness).
3. Hambatan pergerakan sendi
Hambatan pergerakan sendi ini bersifat progresif lambat, bertambah berat secara
perlahan sejalan dengan bertambahnya nyeri pada sendi
4. Krepitasi
Rasa gemeretak (seringkali sampai terdengar) yang terjadi pada sendi yang sakit.
5. Perubahan bentuk sendi
Sendi yang mengalami OA biasanya mengalami perubahan berupa perubahan
bentuk dan penyempitan pada celah sendi. Perubahan ini dapat timbul karena
kontraktur sendi yang lama, perubahan permukaan sendi, berbagai kecacatan dan
gaya berjalan dan perubahan pada tulang dan permukaan sendi. Seringkali pada
lutut atau tangan mengalami perubahan bentuk membesar secara perlahan-lahan.13
6. Perubahan gaya berjalan
Hal yang paling meresahkan pasien adalah perubahan gaya berjalan, hampir
semua pasien OA pada pergelangan kaki, lutut dan panggul mengalami perubahan
gaya berjalan (pincang). Keadaan ini selalu berhubungan dengan nyeri.14
23

3.2.7 Diagnosis
Diagnosis pada OA didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis akan didapatkan gejala-gejala yang sudah
berlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan-lahan. Gejala utama adalah
nyeri pada sendi yang terkena, terutama pada waktu bergerak. Awal mula terasa
kaku, kemudian timbul rasa nyeri yang berkurang dengan istirahat. Terdapat
hambatan pada gerak sendi, biasanya semakin bertambah berat sejalan dengan
bertambahnya rasa nyeri. Kaku pada pagi hari dapat timbul setelah imobilisasi,
seperti duduk dalam waktu yang cukup lama atau setelah bangun tidur. Krepitasi
atau rasa gemeretak pada sendi yang sakit juga menjadi keluhan dari penderita OA.
Pemeriksaan pada pasien OA antara lain :15
a) Range of Motion (ROM)
Pada pemeriksaan ROM dapat dilakukan secara aktif maupun pasif dengan cara
genu difleksikan, ekstensi, dan rotasi internal maupun eksternal. Normal fleksi
rata-rata 1350 dan ekstensi 00 sedangkan rotasi internal dan eksternal yaitu 1000.
b) Pemeriksaan Neurologi
 Manual Muscle testing
Tabel 2. Knee MMT.15
ROM Otot Inervasi Cara
Ekstensi Ekstensor primer : Paha distabilisasi
quadriseps Saraf femoralis, L2, dengan satu
L3, L4 tangan pemeriksa
dan tangan yang
lain di atas genu
lalu pasien
diminta ekstensi
maksimal dan
pemeriksa
memberikan
tahanan lalu
rasakan otot
quadrisep pada
tangan yang
berada di paha
Fleksi Fleksor primer : Pasien berbaring
Harmstring pada posisi
- Semimembranosu Saraf skiatik tibial, terlentang lalu
s L5 diminta untuk
- Semitendinosus Saraf skiatik tibial, fleksi dan
- Biseps femoris L5 pemeriksa
Saraf skiatik tibial, memberikan
24

S1 tahanan dengan
tangan berada di
atas paha bawah
lalu tangan yang
lain memegang
sendi ankle
kemudian rasakan
otot harmstring

Gambar 5. a) Tes Quadriseps; b) Tes Harmstring.15

 Sensoric testing
Tabel 3. Tes Sensorik Lutut.15
Saraf Inervasi Bagian
L4 Saraf safena cabang saraf Lutut anterior ke medial kaki
femoralis
L3 Saraf femoralis Anterior paha dan atas sendi lutut
L2 Saraf femoralis Medial paha
S2 Saraf kutaneus femoralis Bagian tengah posterior paha dan
posterior fossa popliteal

Gambar 6. Distribusi Sensorik Lutut.15


25

 Reflex testing
Pemeriksa mengetuk tendon infrapatellar.

Gambar 7. Refleks Patella.15

Tes-tes provokasi yang dapat dilakukan untuk memeriksa sendi lutut:15


1. Tes McMurray
Tes ini merupakan tindakan pemeriksaan untuk mengungkapkan lesi
meniskus. Pada tes ini penderita berbaring terlentang. Dengan satu tangan
pemeriksa memegang tumit penderita dan tangan lainnya memegang lutut.
Tungkai kemudian ditekuk pada sendi lutut. Tungkai bawah eksorotasi/
endorotasi dan secara perlahan-lahan diekstensikan. Kalau terdengar bunyi “klek‟
atau teraba sewaktu lutut diluruskan, maka meniskus medial atau bagian
posteriornya yang mungkin terobek.

Gambar 8. Pemeriksaan McMurray.15


2. Anterior Drawer Test
Merupakan suatu tes untuk mendeteksi ruptur pada ligamen cruciatum lutut.
Penderita harus dalam posisi terlentang dengan panggul fleksi 45˚. Lutut fleksi
26

dan kedua kaki sejajar. Caranya dengan menggerakan tulang tibia ke atas maka
akan terjadi gerakan hiperekstresi sendi lutut dan sendi lutut akan terasa kendor.
Posisi pemeriksa di depan kaki penderita. Jika terdorong lebih dari normal, artinya
tes drawer positif.

Gambar 9. Pemeriksaan Anterior Drawer Test.15


3. Posterior Drawer Test
Posterior Drawer Test sama halnya dengan Anterior Drawer Test, hanya
saja menggenggam tibia kemudian didorong kearah belakang.

Gambar 10. Pemeriksaan Posterior Drawer Test.15


4. Lachman Test
Test Lachman dikelola dengan meletakkan lutut pada posisi fleksi kira-kira
dalam sudut 300, dengan tungkai diputar secara eksternal. Satu tangan dari
pemeriksaan menstabilkan tungkai bawah dengan memegang bagian akhir atau
ujung distal dari tungkai atas, dan tangan yang lain memegang bagian proksimal
dari tulang tibia, kemudian usahakan untuk digerakkan ke arah anterior.
27

Gambar 11. Pemeriksaan Lachman.15


5. Apley Compresion Test
Tes ini dilakukan untuk menentukan nyeri lutut yang disebabkan oleh
robeknya meniskus. Penderita dalam posisi berbaring tengkurap lalu tungkai
bawah ditekukkan pada sendi lutut kemudian dilakukan penekanan pada tumit
pasien. Penekanan dilanjutkan sambil memutar tungkai ke arah dalam
(endorotasi) dan luar (eksorotasi). Apabila pasien merasakan nyeri di samping
medial atau lateral garis persendian lutut maka lesi pada meniskus medial dan
lateral sangat mungkin ada.

Gambar 12. Pemeriksaan Apley Compresion Test.15


6. Apley Distraction Test
Tes ini dilakukan untuk membedakan lesi meniskal atau ligamental pada
persendian lutut.Tindakan pemeriksaan ini merupakan kelanjutan dari Appley
Comppresion Test. Lakukan distraksi pada sendi lutut sambil memutar tungkai
bawah keluar dan kedalam dan lakukan fiksasi. Apabila pada distraksi eksorotasi
dan endorotasi itu terdapat nyeri maka hal tersebut disebabkan oleh lesi di
ligamen.
28

Gambar 13. Pemeriksaan Apley Distraction Test.15


7. Patella femoral grinding test
Tes ini dilakukan untuk menilai kualitas artikulasi permukaan patella dan
trochlear grrove femur. Pasien diminta supinasi dan kaki berada pada posisi
netral lalu tekan patella ke distal pada trochlear groove kemudian pasien diminta
menekan paha lalu palpasi dan beri tahanan pada patella. Jika perpindahan patella
kasar maka menandakan adanya krepitasi. Jika positif, maka pasien akan
merasakan nyeri dan tidak nyaman.

Gambar 14. Pemeriksaan Patellar Femoral Grinding Test.15

Sedangkan pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan


diagnosa OA antara lain : x-ray lutut, laboratorium darah, dan analisa cairan sendi.
a. Laboratorium
Pemeriksaan darah tepi (hemoglobin, leukosit, LED) dalam batas normal.
Pemeriksaan imunologis (ANA, faktor rheumatoid dan komplemen) juga normal.
Pada OA yang disertai peradangan mungkin dapat disertai dengan penurunan
viskositas, pleositas ringan hingga sedang dan peningkatan ringan sel peradangan
(<8000).16
29

b. Foto X-ray
Pada sebagian besar kasus, radiografi pada sendi yang terkena osteoarthritis sudah
cukup memberikan gambaran diagnostik. Gambaran radiologis yang dapat
mendukung diagnosa OA meliputi:16
- Penyempitan celah sendi yang sering kali asimetris (lebih berat pada bagian
yang menanggung beban)
- Peningkatan densitas tulang subkondral
- Kista tulang
- Osteofit pada tepi sendi
- Perubahan struktur anatomi sendi
Derajat kerusakan sendi berdasarkan gambaran radiologis kriteria Kellgren &
Lawrence:
Tabel 4. Gambaran radiologis OA menurut Kellgren & Lawrence.16
30

The American College of Rheumatology menyusun kriteria diagnosis OA lutut


idiopatik berdasarkan pemeriksaan klinis dan radiologi sebagai berikut:17
Tabel 5. Kriteria diagnosis OA lutut menurut The American College of Rheumatology.17
Klinis dan Laboratorium Klinis dan radiologi Klinis
Nyeri lutut + minimal 5 dari Nyeri lutut + minimal 1 Nyeri lutut + minimal 3
9 berikut : dari 3 berikut dari 6 berikut :
- umur > 50 tahun - umur > 50 tahun - umur > 50 tahun
- stiffness < 30 menit - stiffness < 30 menit - stiffness < 30 menit
- krepitasi - krepitasi + osteofit - krepitasi
- nyeri pada tulang - nyeri pada tulang
- pelebaran tulang - pelebaran tulang
- tidak hangat pada perabaan - tidak hangat pada
- LED < 40mm/jam perabaan
- Rheumatoid factor <1:40
- Cairan sinovial : jernih,
viscous,leukosit<2000/mm3

c. MRI
Pemeriksaan MRI dapat dilakukan untuk melihat kondisi tulang dan cartilago.
MRI dapat mendeteksi adanya kehilangan dari kartilago sendi.18

a b c
Gambar 15. Gambaran MRI OA. a. Kartilago femoral dan tibia. b. Lesi lateral femoral
bone marrow. c. Efusi sendi.18
31

3.2.8 Tatalaksana
a. Konservatif
- Farmakologi
Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang, dapat diberikan salah satu
obat berikut ini:
• Acetaminophen (kurang dari 4 gram per hari).
• Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS).
Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang, yang memiliki risiko pada
sistem pencernaan (usia >60 tahun, disertai penyakit komorbid dengan polifarmaka,
riwayat ulkus peptikum, riwayat perdarahan saluran cerna, mengkonsumsi obat
kortikosteroid dan atau antikoagulan), dapat diberikan salah satu obat berikut ini:
• Acetaminophen (kurang dari 4 gram per hari).
• Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) topikal
• Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) non selektif, dengan pemberian obat
pelindung gaster (gastro-protective agent).
Untuk nyeri sedang hingga berat, dan disertai pembengkakan sendi dapat
dilakukan aspirasi dan tindakan injeksi glukokortikoid intraartikular (misalnya
triamsinolone hexatonide 40 mg) untuk penanganan nyeri jangka pendek (satu sampai
tiga minggu) dapat diberikan, selain pemberian obat anti-inflamasi nonsteroid per oral
(OAINS).19
- Rehabilitasi Medik
1. Modalitas Fisik
a. Terapi Panas
Suhu antara 40-45 °C bertujuan meningkatkan aliran darah lokal dan
metabolisme dengan suhu diantara, vasodilatasi superfisial, meningkatkan
ambang nyeri sehingga berefek analgesik, relaksasi, menurunkan spasme otot
dan meningkatkan fleksibilitas otot. Umumnya dikombinasikan dengan exercise.
Terapi panas dapat menggunakan radiasi (cahaya), konduksi (hot pack, parafin,
air), atau konversi (diatermi, ultrasound). Ultrasound diketahui efektif untuk
meringankan nyeri lutut pada OA.19,20
Kontraindikasi pemberian terapi panas yaitu kondisi inflamasi, karena
dapat meningkatkan reaksi inflamasi dan enzim degradasi.19
32

b. Terapi Dingin
Terapi dingin berefek pada vasokonstriksi, menurunkan metabolisme dan
memperlambat konduksi saraf. Terapi dingin dapat menjadi analgesik lokal dan
mengurangi inflamasi pada jaringan yang trauma pada kondisi akut. Terapi
dingin meliputi pengaplikasian cold packs, ice massage, immersion, vapocoolant
sprays. Terapi dingin juga dapat menurunkan perdarahan, edema, nyeri dan
spasme otot saat terjadi injury. Cold pack dapat diaplikasikan 3 kali/hari pada
pasien OA.19,20
c. LASER (Light Amplification Stimulated Emission of Radiation)
Laser dapat menghasilkan efek biologi melalui panas dan digunakan
pada prosedur bedah. Low-power (cold laser) digunakan untuk kontrol nyeri dan
penyembuhan jaringan. Terapi ini dapat secara efektif mengurangi nyeri dan
meningkatkan ROM pada pasien OA.19,20
d. Transcutaneus Electrostimulation (TENS)
Direkomendasikan pada pasien dengan nyeri kronis sedang hingga berat
yang tidak dapat dilakukan arthroplasty. Pengurangan nyeri melalui mekanisme
peningkatan ambang rangsang nyeri. Menurut penelitian, TENS efektif dalam
menurunkan inflamasi dan nyeri traumatik pada sendi.19
2. Latihan (Exercise)
Hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan program latihan fisik
adalah memahami masalah fungsional yang paling mengganggu pasien. Pada tahap
awal, lebih diutamakan untuk mengatasi nyeri, keterbatasan ruang gerak sendi, atau
kelemahan otot21.
Tujuan latihan fisik adalah untuk memperbaiki fungsi sendi, proteksi sendi
dari kerusakan dengan mengurangi stress pada sendi, meningkatkan kekuatan sendi,
mencegah disabilitas dan meningkatkan kebugaran jasmani. Latihan fisik yang
dapat diberikan pada pasien OA meliputi21:
a. Latihan fleksibilitas (ROM)
Mobilisasi sendi sangat penting untuk memaksimalkan ruang gerak sendi,
meningkatkan kinerja otot dan mengurangi resiko cedera. Untuk pasien OA, latihan
fleksibilitas ditujukan untuk mengurangi kekakuan, meningkatkan mobilitas sendi
dan mencegah kontraktur jaringan lunak. Latihan peregangan dilakukan untuk
memperbaiki ruang gerak sendi. Latihan peregangan ini dilakukan dengan
menggerakkan otot-otot, sendi-sendi dan jaringan sekitar sendi. Latihan
33

fleksibilitas dapat dimulai dari latihan peregangan tiap kelompok otot, setidaknya 3
kali seminggu. Apabila sudah terbiasa, latihan ditingkatkan repetisinya per
kelompok otot secara bertahap. Latihan harus melibatkan kelompok otot dan
tendon utama pada ekstremitas atas dan bawah21,22.

Gambar 16. Streching otot Hamstring dan Quadriceps22

Gambar 17. Latihan ROM22


b. Latihan kekuatan
Berfungsi memperbaiki disabilitas, nyeri dan kinerja. Latihan ini ada 3 macam
yaitu isometrik, latihan isotonik dan isokinetik. Latihan isotonik memberikan peran
yang besar dalam menghilangkan nyeri pada pasien OA. Latihan isokinetik
menghasilkan peningkatan kecepatan berjalan paling besar dan pengurangan
disabilitas sesudah terapi dan saat evaluasi, sehingga latihan ini disarankan untuk
memperbaiki stabilitas sendi atau ketahanan berjalan21.
Latihan isometrik diindikasikan jika sendi mengalami peradangan akut atau
sendi tidak stabil. Latihan ini dapat memperbaiki kekuatan otot dan ketahanan
statis dengan cara menyiapkan sendi untuk gerakan yang lebih dinamis dan
merupakan titik awal program penguatan21,22.
34

Gambar 18. Latihan kekuatan otot-otot penyokong sendi lutut22


c. Latihan Aerobik
Latihan aerobik seperti berjalan, bersepeda, berenang, senam aerobik dan
latihan aerobik di kolam renang dapat meningkatkan kapasitas aerobik,
memperkuat otot, meningkatkan ketahanan, mengurangi berat badan dan
mengurangi konsumsi obat pada pasien OA. Pemilihan aktivitas aerobik tergantung
pada status penyakit, stabilitas sendi, sumber daya dan minat pasien21.
d. Latihan Fungsional
Pasien OA lutut sering mengalami gangguan aktivitas seperti naik turun
tangga, duduk dan bangkit dari kursi atau toilet, atau mengambil benda dari lantai.
Perlu dilakukan latihan yang bertujuan mengatasi gangguan fungsional khusus yang
dialami pasien. Latihan ini berupa latihan penguatan dengan modifikasi aktivitas
sehari-hari. Contohnya adalah: 21
 Latihan step-up dan step down (latihan naik turun tangga)
 Wall slides dan mini squat sampai 90˚ atau sebatas toleransi: bertujuan melatih
aktivitas duduk dan berdiri dari duduk dengan bantuan lengan, serta menentukan
perlu tidaknya adaptasi tinggi kursi untuk fungsi yang lebih aman. Latihan
ambulasi : penggunaan alat bantu jalan dikurangi ketika kekutan otot quadrisep
membaik (MMT 4/5) atau nyeri berkurang. Latihan ambulasi dilakukan pada
permukaan yang bervariasi, naik turun ramp, pertama dengan bantuan kemudian
mandiri.21
e. Terapi okupasi
Terapi okupasi meliputi latihan koordinasi activity daily life (ADL) untuk
memberikan latihan pengembalian fungsi sehingga penderita bisa melakukan
kembali kegiatan.22
35

f. Edukasi dan Home Exercise Program


Edukasi dan program latihan di rumah merupakan hal yang penting bagi
penderita OA. Edukasi yang diberikan terutama tentang penyakit OA, prinsip
perlidungan sendi, bagaimana manajemen gejala OA, dan program latihan di
rumah. Program yang diberikan adalah latihan yang aman dilakukan di rumah
berupa latihan penguatan otot, latihan luas gerak sendi, dan latihan enduran/daya
tahan. Pasien dengan berat badan lebih dianjurkan untuk mengurangi berat
badannya.21
3. Ortesa
Berfungsi untuk menstabilkan sendi, mengurangi gerakan sendi,
mengurangi beban sendi dan mencegah deformitas. Ortesa meliputi knee bracing
(rest orthoses, taping, sleeves, dan unloading braces) dan alat ambulasi seperti
canes, crutches, dan walkers yang bertujuan untuk meningkatkan keseimbangan
dan stabilitas, serta mendistribusikan berat dari bagian tubuh bawah21
b. Operatif
Tindakan operasi seperti arthroscopic debridement, osteotomi, dan artroplasti
merupakan tindakan yang efektif pada penderita dengan OA yang sudah parah. Indikasi
dilakukan operasi pada pasien OA adalah adanya nyeri yang menetap, adanya
deformitas progresif dan ketidakstabilan. Tindakan operatif ini dapat menghilangkan
nyeri pada sendi OA, tetapi kadang fungsi sendi tersebut tidak dapat diperbaiki secara
adekuat, sehingga terapi fisik pre dan pasca operatif harus dipersiapkan dengan baik.23
36

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Dasar Penegakan Diagnosa


Penegakan diagnosa OA didasarkan pada anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesa didapatkan Ny. D (61 tahun) seorang ibu
rumah tangga mengeluh nyeri pada kedua sendi lutut, nyeri dirasakan terus
menerus, semakin lama semakin memberat, terutama saat beraktifitas dan
berkurang saat beristirahat, kaku sendi saat pagi hari <15 menit, serta terdapat rasa
gemeretak saat sendi digerakkan. Selain itu, pada pasien juga menunjukkan adanya
faktor resiko terjadinya OA seperti faktor usia pasien yang lebih dari 50 tahun,
obese (BMI = 36,1 kg/m2), adanya riwayat trauma dan riwayat kebiasaan pasien
yang sering berjalan lama saat masih bekerja sebagai penjual sayur.
Pemeriksaan fisik lokalis pada kedua sendi lutut didapatkan : pada inspeksi
didapatkan bentuk varus pada kaki kanan dan kiri, tidak ada edema pada kedua
lutut. Palpasi pada kedua sendi lutut didapatkan nyeri tekan namun teraba hangat
pada lutut kanan. Pembesaran tulang sendi lutut (+/+), nyeri tekan tepi tulang (+/+),
nyeri gerak (+/+), VAS (6/6), krepitasi (+/-), ROM fleksi (1350/1350), dengan
MMT (5/5), ROM ekstensi ekstensi (100/100) dengan MMT (5/5), dan lingkar paha
(43,5/42,5 cm). Refleks fisiologis (+/+), refleks patologis (-/-), dan defisit sensorik
(-/-).
Gejala-gejala yang ditemukan pada anamnesa dan pemeriksaan fisik pada
pasien ini memenuhi kriteria klinis diagnosa OA yang dibuat oleh Subcommittee
American College of Rheumatology (ACR). Kriteria OA lutut yaitu nyeri lutut,
krepitasi saat gerakan aktif, kaku sendi<30 menit, usia>50 tahun, pembesaran
tulang sendi lutut, nyeri tekan tepi tulang, tidak teraba hangat pada sinovium sendi
lutut.
Hambatan gerak terutama disebabkan oleh adanya remodelling osteofit,
penebalan kapsul, dan juga adanya efusi. Selain itu, ditemukan adanya krepitasi.
Gejala ini dapat disebabkan karena adanya gesekan kedua permukaan tulang sendi
yang irregular pada saat sendi digerakkan secara aktif ataupun pasif.
Selain itu, pasien juga mengeluh adanya nyeri punggung bawah dan
kesemutan pada kedua telapak kaki jika berdiri lama. Keluhan ini muncul setelah
pasien terjatuh dari sepeda motor. Pada pemeriksaan fisik lokalis, didapatkan nyeri
37

tekan daerah lumbal setinggi L4-L5. Hal ini merupakan gejala Low Back Pain
(LBP). Namun Low back pain (LBP) merupakan gejala klinis dan bukan diagnosa
pasti sehingga harus dicari diagnosa penyebab dari LBP. Penulis menduga
spondilolisthesis sebagai penyebab LBP pasien.

4.2 Dasar Penatalaksanaan


Terapi pada pasien OA bertujuan untuk menghilangkan keluhan,
mengoptimalkan fungsi sendi, mengurangi ketergantungan dan meningkatkan
kualitas hidup, menghambat progresivitas penyakit dan mencegah komplikasi. Pilar
terapi OA : non farmakologis (edukasi, terapi fisik, diet/penurunan berat badan),
farmakologis (analgetik, kortikosteroid lokal, sistemik, kondroprotektif dan
biologik), dan pembedahan.
Pasien ini mengeluh nyeri sedang hingga berat maka dapat diberikan obat
anti inflamasi non-steroid (OAINS) seperti meloxicam dan diobservasi selama 3
minggu. Jika pemberian terapi konservatif dan farmakologi belum bisa mengurangi
nyeri, maka dikonsulkan kembali ke poli orthopedi untuk pertimbangan pemberian
farmakologi OA melalui injeksi.
Adapun terapi konservatif yang dapat diberikan pada pasien adalah
rehabilitasi medis berupa modalitas fisik, terapi latihan, dan ortesa. Modalitas fisik
berupa terapi dingin (icing) dan TENS. Terapi latihan yang dapat disarankan
berupa latihan fleksibilitas, latihan kekuatan, latihan fungsional, terapi okupasi,
serta edukasi dan home exercise program.
TENS digunakan pada pasien ini bertujuan untuk mengurangi nyeri dengan
menghambat transmisi nyeri ke otak, meningkatkan luas gerak sendi serta
meningkatkan kekuatan dan ketahanan karena TENS dapat menstimulasi otot.
Kompres dingin yang diberikan ini bertujuan untuk menurunkan aktivitas
metabolik sehingga dapat menurunkan edema, mengurangi nyeri serta mengurangi
spasme otot.
Selain modalitas fisik, pasien juga dianjurkan untuk melakukan exercise
terkait oto-otot mayor ekstremitas bawah. Exercise ini pada dasarnya untuk
meningkatkan luas gerak sendi serta melakukan stretching untuk mencegah motion
loss yang sering terjadi pada sendi OA, mengurangi kekakuan dan meningkatkan
mobilitas sendi.
38

Edukasi juga diberikan pada pasien karena bermanfaat untuk mencegah


penyakit agar tidak menjadi parah. Pasien diingatkan untuk kontrol poli rehabilitasi
medis 2 kali dalam seminggu, kontrol ke poli jantung dan orthopedi sesuai anjuran
dokter, menurunkan berat badan, menjaga postur tubuh, dan latihan fisik sesuai
yang telah dianjurkan.
39

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, Ny. D, 68 tahun,
didiagnosa dengan Osteoartritis (OA) genu bilateral+Low Back Pain (LBP) et causa
suspek spondilolisthesis+Hipertensi grade I+Obese class II. Diagnosis OA pada pasien
ditegakkan berdasarkan kriteria klasifikasi The American College of Rheumatology yaitu
adanya nyeri lutut, umur >50 tahun, kaku sendi <30 menit, serta krepitasi. Tujuan
pengobatan OA adalah untuk mengurangi gejala dan mencegah atrofi otot maupun
kontraktur. Tatalaksana yang diberikan adalah terapi konservatif meliputi farmakologi
berupa pemberian analgetik dan rehabilitasi medis berupa modalitas fisik (icing dan
TENS), terapi latihan. Pasien juga diberikan edukasi agar faktor-faktor resiko progesivitas
dari penyakitnya dapat berkurang sehingga dapat membantu perbaikan klinis.
5.2 Saran
 Pada pasien ini perlu dilakukan pemeriksaan penunjang X-ray Genu bilateral A/P
lateral untuk menegakan diagnosa serta mengetahui derajat OA. Selain itu juga
diusulkan untuk melakukan x-ray lumbosacral AP/lateral terkait keluhan nyeri
punggung bawah.
 Edukasi kepada keluarga pasien tentang pentingnya dukungan keluarga terhadap
keberhasilan terapi dan kepatuhan pasien dalam program rehabilitasi dan
pengobatannya.
40

DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci, Anthony S, et al. 2012. Osteoarthritis. Dalam : Harrison’s Principles Of


Internal Medicine Eighteenth Edition. The McGraw-Hill Companies.
2. Lawrence RC, Felson DT, Helmick CG, et al. 2008. Estimates of the prevalence of
arthritis and other rheumatic conditions in the United States. Part II. Arthritis
Rheum. 58(1):26–35.
3. Dillon CF, Rasch EK, et al. 2006. Prevalence of knee osteoarthritis in the United
States: arthritis data from the Third National Health and Nutrition Examination
Survey 1991–1994. J Rheumatol. 33(11):2271–2279.
4. Flandry, F., & Hommel, G. 2011. Normal Anatomy and Biomechanics of the Knee.
Vol 19(2), 82–92
5. Christine G, 1922, Bones and Joint. A Guide for student, second edition, Tokyo,
Churchill Livingstone.
6. David, T. 2006. Osteoarthritis of the knee. The New England Journal of Medicine.
7. Reynard, L.N.; Loughlin, J. 2012. Genetics and Epigenetics of Osteoarthritis.
8. Musumeci, G., Aiello, F. C., Szychlinska, M. A., Rosa, M. D., Castrogiovanni, P., &
Mobasheri, A. 2015. Osteoarthritis in the XXIst Century: Risk Factors and Behaviours
that Influence Disease Onset and Progression. Vol (16): 6093-6112.
9. Price, S.A., Wilson, L.M. 2013. Patofisiologi; Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
10. Flores R, Hochberg M. 2003. Definition and Classification of Ostreoarthritis. In:
Brandt K, Doherty M, Lohmander L,editors. Osteoarthritis. 2nd edition. UK : Oxford;
p1-8
11. Kumar,V, Cortan,R.S, Robbins,S.L. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins. Volume 2,
Ed 7. Jakarta : EGC
12. Helmi,Z.N. 2012. Buku Ajar Gangguan Muaskuloskeletal. Salemba Medika : Jakarta
13. Hassanali,S.H. 2011.Osteoartritis: A Look At Pathophysiology And Approach To
New Treatments. East African Orthopaedic Journal.
14. Davey P. 2006. At a Glance Medicine. Alih bahasa oleh, Rahmalia A., Novianti C.
Jakarta: Erlangga. 374-5
15. Hoppenfeld, S. 1976. Physical Examination of The Spine and Extremities. Apleton
Century Crofts: Newyork
41

16. Altman, R., Asch, E., Bloch, D., et al. 1986. Development of Criteria for the
Classification and Reporting of Osteoarthritis. Classification of osteoarthritis of the
knee. Diagnostic and Therapeutic Criteria Committee of the American Rheumatism
Association. Arthritis Rheum 29:1039. In: Salehi-Abari, I. 2016. 2016 ACR Revised
Criteria for Early Diagnosis of Knee Osteoarthritis. Autoimmune Dis Ther Approaches
2016,3:1
17. Sinusas, K. 2012. Osteoarthritis: Diagnosis and Treatment. Am Fam Physician. Vol
85(1):49-56
18. Petersson I. F., Boegard T., Saxne T., Silman A. J., Scensson B. Radiographic
osteoarthritis of the knee classified by the Ahlback and Kellgren & Lawrence system
for the tibiofemoral joint in people aged 35-54 years with chronic knee pain. Annals of
the Rheumatic Diseases; 2014. Vol 56:493–496. Dipublikkan oleh group.bmj.com
19. Marc C. Hochberg et al. Recommendations for the use of nonpharmacologic and
pharmacologic in osteoarthritis of the hand, hip, and knee. Arthritis Care & Research.
2012; 64(4):465-474
20. Prntice, William dkk. 2005. Therapeutic modalities in Rehabilitation Third edition.
Department of Exercise and Sport Science, University of North Carolina, Chapel Hill,
North Carolina
21. Rachmah LA. 2011. Peran latihan fisik dalam manajemen terpadu osteoartritis.
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta
22. DiNubile,N.A. 1997. Osteoarthritis: How to make exercise part of your treatment plan.
The phycisian & sportmedicine. Vol.25.No7: 1-10.
23. PAPDI. 2014. Diagnosis dan penatalaksanaan osteoartritis. EGC:Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai