Anda di halaman 1dari 107

SKRIPSI

KAJIAN PEMANFAATAN ASAP CAIR TEMPURUNG


KELAPA SEBAGAI DISINFEKTAN DALAM PENANGANAN
PASCAPANEN BUAH PEPAYA (Carica papaya L.)

Oleh :

INDRA RETNOWATI

F14103045

2007
DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KAJIAN PEMANFAATAN ASAP CAIR TEMPURUNG
KELAPA SEBAGAI DISINFEKTAN DALAM PENANGANAN
PASCAPANEN BUAH PEPAYA (Carica papaya L.)

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknik Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh :

INDRA RETNOWATI

F14103045

2007
DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

KAJIAN PEMANFAATAN ASAP CAIR TEMPURUNG


KELAPA SEBAGAI DISINFEKTAN DALAM PENANGANAN
PASCAPANEN BUAH PEPAYA (Carica papaya L.)

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknik Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh :

INDRA RETNOWATI

F14103045

Dilahirkan pada tanggal 26 Juni 1985


Di Kendal, Jawa Tengah
Tanggal Lulus : 28 Desember 2007

Menyetujui,
Bogor, Januari 2008

Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, MSi


Pembimbing Akademik

Mengetahui,

Dr. Ir. Wawan Hermawan, MS.


Ketua Departemen Teknik Pertanian
RINGKASAN

Indra Retnowati. F14103045. Kajian Pemanfaatan Asap Cair Tempurung


Kelapa Sebagai Disinfektan Dalam Penanganan Pascapanen Buah Pepaya
(Carica papaya L.). Dibawah bimbingan Dr.Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si.

Buah pepaya merupakan komoditas hortikultura yang memiliki kulit buah


yang tipis dan banyak mengandung air, sehingga mudah rusak akibat benturan
fisik atau gangguan hama dan penyakit. Teknik penanganan pascapanen yang
tepat untuk mengatasi hama atau penyakit antara lain fumigasi, iradiasi, dan
perlakuan panas. Selama ini digunakan larutan benomyl sebagai disinfektan
namun kini penggunaannya sudah ditinggalkan karena tingkat residu yang
berbahaya bagi konsumen dan lingkungan. Penggunaan asap cair dapat menjadi
salah satu alternatif dalam penanganan gangguan penyakit pascapanen buah. Asap
cair mempunyai kandungan senyawa fenol 5.13%, karbonil 13.28% dan asam
11.39% (Tranggono, dkk. 1996). Ketiganya secara simultan dapat berperan
sebagai antioksidan dan antimikrobia (disinfektan dan antisepteik) serta
memberikan efek warna dan cita rasa khas asap pada produk pangan (Maga, 1987;
Girrad, 1992 di dalam Karseno, dkk. 2001).
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pemanfaatan
asap cair tempurung kelapa sebagai disinfektan dalam pengendalian penyakit
pascapanen buah-buahan. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah (1)
mempelajari efektivitas asap cair sebagai disinfektan melalui uji aktivitas
antimikroba asap cair terhadap antraknosa, (2) mengkaji pengaruh konsentrasi
asap cair dalam menghambat serangan penyakit antraknosa pada buah pepaya
dengan mengamati perubahan mutu yang terjadi selama penyimpanan.
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei 2007 sampai dengan bulan
Agustus 2007. Tempat pelaksanaan penelitian adalah laboratorium Teknik
Pengolahan dan Hasil Pertanian, laboratorium Mikrobiologi Pangan, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor; laboratorium Fitopatologi, Seameo
Biotrop-Tajur; dan laboratorium AP4 (Agricultural product Processing Pilot
Plants) Fateta IPB. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
buah pepaya (Carica papaya L.) varietas IPB 3 dengan tingkat kematangan yang
seragam, beberapa bahan kimia seperti NaCl, media agar (PDA dan PDB) serta
alkohol untuk uji total cendawan. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini
antara lain rheometer tipe CR-300 (untuk mengukur kekerasan), refraktometer
model N-1 Atago (untuk mengukur total padatan terlarut), timbangan digital,
lemari pendingin (refrigerator) serta beberapa peralatan tambahan seperti cawan
petri, pipet, erlenmeyer, gelas ukur dan lain-lain. Penelitian terdiri dari dua tahap
yaitu penelitian tahap I untuk menguji aktivitas antimikroba asap cair dan
penelitian tahap II yaitu mengkaji pengaruh asap cair terhadap mutu buah pepaya.
Pengamatan mutu meliputi susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut, serangan
penyakit, dilakukan setiap 4 hari selama 20 hari. Selain itu dilakukan uji total
cendawan pada hari ke-0 dan hari ke-14, serta uji organoleptik terhadap warna
kulit, warna daging buah, aroma, dan rasa kepada 10 orang panelis.
Dari hasil uji aktivitas antimikroba asap cair menunjukkan bahwa dengan
konsentrasi asap cair 1% sudah dapat menghambat pertumbuhan cendawan yang
diujikan. Asap cair sebagai disinfektan pada penanganan pascapanen pepaya
terbukti mampu menghambat serangan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh
cendawan Colletotrichum gloeospoiroides sehingga dapat mempertahankan mutu
dan memperpanjang masa simpan buah.
Dari asap cair sebagai disinfektan pada pepaya berpengaruh terhadap susut
bobot, kekerasan, total padatan terlarut, total cendawan serta uji organoleptik.
Pada akhir penyimpanan (hari ke-20) nilai susut bobot tertinggi terjadi pada
perlakuan kontrol tanpa pelilinan yaitu sebesar 6.87%, sedangkan nilai susut
bobot terendah terjadi pada perlakuan asap cair dengan konsentrasi 1% dengan
pelilinan yaitu sebesar 3.37%. Nilai kekerasan menurun seiring dengan
bertambahnya umur penyimpanan buah. Perlakuan konsentrasi asap cair 1%
dengan pelilinan memiliki nilai kekerasan tertinggi sedangkan kontrol tanpa
pelilinan memiliki nilai kekerasan terendah, hal ini berarti asap cair dapat
mempertahankan kekerasan buah. Nilai total padatan terlarut pada semua
perlakuan dan kontrol cenderung menurun seiring dengan waktu penyimpanan,
namun pada asap cair konsentrasi 1% nilai total padatan terlarut cenderung
konstan. Penurunan nilai total padatan terlarut disebabkan karena terjadinya
hidrolisa pati yang tidak larut dalam air menjadi gula yang larut dalam air. Uji
total cendawan menunujukkan dengan penambahan konsentrasi asap cair pada
pepaya cukup efektif menghambat pertumbuhan penyakit pada pepaya. Hasil ini
mengacu pada hasil uji aktivitas antimikroba asap cair dengan metode kontak
yang dilakukan pada awal penelitian, bahwa penambahan asap cair dengan
konsentrasi sebesar 1% sudah dapat menghambat pertumbuhan cendawan.
Berdasarkan pengamatan penyakit secara visual, serangan penyakit mulai
terlihat pada hari ke-6 yaitu pada kontrol tanpa pelilinan, Pengamatan untuk
kontrol tanpa pelilinan dihentikan pada hari ke-13 karena serangan penyakit sudah
mencapai 90%. Sedangkan kontrol dengan pelilinan masih bisa bertahan sampai
hari ke-15. Pepaya dengan perlakuan konsentrasi asap cair dan pelilinan mulai
menunjukkan gejala serangan penyakit pada hari ke-10. Kondisi fisik pepaya
dengan perlakuan konsentrasi 10% tanpa pelilinan semakin menurun dan
kerusakan mencapai puncaknya pada penyimpanan hari ke-16, yaitu sebesar 75%.
Keadaan ini diikuti oleh pepaya dengan perlakuan konsentrasi 10% dengan
pelilinan, pepaya dengan perlakuan konsentrasi 5% tanpa pelilinan, pepaya
dengan perlakuan konsentrasi 5% dengan pelilinan, pepaya dengan perlakuan
konsentrasi 1% tanpa pelilinan dengan kerusakan mencapai 35%-70% pada hari
ke-18. Sedangkan pepaya dengan perlakuan konsentrasi 1% dengan pelilinan
mampu bertahan sampai akhir pengamatan dengan kerusakan tidak lebih dari
10%. Dari hasil organoleptik diketahui bahwa perlakuan konsentrasi asap cair 1%
dengan pelilinan maupun tanpa pelilinan lebih disukai karena rasanya lebih manis
dan tidak beraroma asap daripada perlakuan yang lain.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut untuk penggunaan asap cair sebagai disinfektan maupun pengawet
pada produk hortikultura yang lain dengan menggunakan parameter mutu yang
lebih lengkap seperti laju respirasi, uji vitamin A, uji dan identifikasi cendawan
jenis lainnya.
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kendal, 26 Juni 1985. Penulis


adalah anak pertama dari enam bersaudara, dengan ayah
bernama Drs. Bagiyo Santoso dan ibu bernama Sulasih.
Pendidikan penulis dimulai dari bangku Taman
Kanak-Kanak ”Putra Tanjung” lulus pada tahun 1991.

Dilanjutkan ke jenjang berikutnya di SDN II Tanjungmojo dan lulus pada tahun


1997. Kemudian pada tahun 2000, penulis lulus dari SLTPN I Cepiring dan
menamatkan pendidikan dari SMAN I Kendal pada tahun 2003.
Pada tahun 2003 penulis diterima melalui jalur USMI di Institut Pertanian
Bogor, sebagai mahasiswa Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian.
Selama kuliah penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan sebagai staf
Departemen Profesi Himateta-IPB pada tahun 2004/2005 sampai tahun
2005/2006. Pada tahun 2006 penulis mengikuti kegiatan praktek lapangan di
Gudang Bulog, Demak, Jawa Tengah. Topik yang diambil “Mempelajari Aspek
Keteknikan Pada Proses Pengolahan dan Penyimpanan Gabah/Beras Di
Perum Bulog Subdivre, Semarang, Jawa Tengah”.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Teknologi
Pertanian, penulis melakukan penelitian yang berjudul “KAJIAN
PEMANFAATAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA SEBAGAI
DISINFEKTAN DALAM PENANGANAN PASCAPANEN BUAH PEPAYA
(Carica papaya L.)”. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, MSi.
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim. Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur


penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, karunia, dan kekuatan
serta kesabaran yang selalu tercurah, sehingga penulis mampu menyelesaikan
skripsi ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah
SAW, semoga kita termasuk umat yang akan mendapat syafaat dan perlindungan
di yaumul akhir. Skripsi ini berjudul Kajian Pemanfaatan Asap Cair Tempurung
Kelapa Sebagai Disinfektan Dalam Penanganan Pascapanen Buah Pepaya (Carica
papaya L.).
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah
membantu sejak penyiapan, pelaksanaan hingga penyelesaian tugas akhir ini.
Penghormatan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si selaku dosen pembimbing, atas bimbingan
dan bantuannya selama penelitian dalam penyusunan skripisi ini.
2. Dr. Ir. Suroso, M.Agr dan Ir. Mad Yamin, MT sebagai dosen penguji yang
telah memberikan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak dan Ibu tercinta, Drs. Bagiyo Santoso dan Sulasih, semua yang Ananda
lakukan sampai detik ini adalah bukti bakti dan cinta kasih Ananda, meski
Ananda tahu hal itu tiada akan pernah cukup untuk mambalas semua
pengorbanan dan cinta kasih kalian.
4. Adik-adikku tersayang, Intan, Ida, Sekar, Erlin dan Raffi. Terima kasih untuk
semua keceriaan yang selalu ada di tengah kita. Kalian adalah semangat untuk
Mbak. Teriring doa dan harapan semoga Allah menjadikan kita anak-anak
soleh dan solehah.
5. Panji Aminullah, terima kasih untuk semua kasih sayang dan semangatnya.
Semoga Allah memberikan jalan yang terbaik untuk kita.
6. Rekan seperjuangan, Ali Parjito, STP., dan Kindi Kalabadi. Semoga ilmu
yang kita peroleh bisa menjadi bekal hidup kita.
7. Try Ryantini dan Hariatun KS. Telah banyak kenangan, canda tawa dan tangis
haru antara kita. Persahabatan dan kebersaman yang terjalin empat tahun ini

i
akan selalu menjadi bagian yang termanis dalam hidupku. Semoga cerita kita
tak berakhir sampai di sini. ” Peluk tubuhku dan usapkan juga airmataku”.
8. Tri Wahyuni, Heni R, St. Muchidah, R. Puspita, Monica R, Eriza S. Pegang
pundakku jangan pernah lepaskan jika ku mulai lelah dan tak bersinar. Cerita
kita adalah sebuah kisah klasik untuk masa depan. Merdeka kita merdeka!
9. Dedi, Gia, Raning, Iwa K, Ojan. Motor-motor kalian telah menjadi teman
seperjuanganku saat panen. Thanks ya Bro.
10. Teman-teman TEP 40; Rini Susilo, Kaltika, dan semuanya. Semoga Allah
memberikan jalan terbaik bagi kita semua.
11. Teman-teman Mobster; Winsih, Lisda, Luluk, Ina, Likah, Second. Terima
kasih untuk dukungan kalian.
12. Mbak Ita Zuraida, Mbak Elpodesy, Mbak Ari Seafast. Semoga allah
membalas budi baik kalian.
13. Para teknisi dan laboran, pak Sulyaden, pak Ahmad, pak Koko, pak Basri.
Maaf kalau selama ini selalu merepotkan kalian.
14. Dr. Okky S. Dharmaputra dan Mbak Ina Retnowati. Terima kasih atas bantuan
analisa cendawannya.
15. Semua pihak yang luput dari ingatan. Jasa kalian tetap tercatat di sisi Allah.
Terima kasih.

Semoga karya kecil ini dapat memberikan manfaat. Atas segala kekurangan
yang ada di dalamnya penulis menyampaikan permohonan maaf sekaligus
mengharap kritik dan saran demi perbaikan.
Bogor, Desember 2007

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ................................................................................i

DAFTAR ISI ................................................................................................iii

DAFTAR TABEL .........................................................................................iv

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................v

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................vi

I. PENDAHULUAN .................................................................................1

A. LATAR BELAKANG ....................................................................... 1

B. TUJUAN PENELITIAN .................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................4

A. Pepaya (Carica papaya L).............................................................. 4


B. Penanganan pascapanen pepaya......................................................... 6
C. Penyakit pascapanen pepaya............................................................... 10
D.Pengendalian penyakit pascapanen...................................................... 13
E. Pelilinan.......................................................................................... 19
F. Asap Cair…………………………………………………………….. 21

III.METODOLOGI PENELITIAN............................................................. 26

A. Waktu dan Tempat............................................................................... 26


B. Bahan dan Alat..................................................................................... 26
C.Prosedur Penelitian................................................................................ 26
D.Pengamatan........................................................................................... 31
E.Rancangan Percobaan............................................................................ 32

I V. HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………….. 34

A. Uji aktivitas antimikroba asap cair………………………………..... 34


B. Pengaruh Konsentrasi Asap dan Pelilinan
Terhadap Mutu Pepaya……………………………………………… 35

iii
VI. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................. 59

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 60

LAMPIRAN……………………………………………………………… 63

iv
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Perkembangan Produksi Kelapa Indonesia Tahun 1996 - 2000 ............1

Tabel 2. Komposisi zat gizi pepaya per 100 g bahan ..........................................6

Tabel 3. SNI Pepaya Malang Segar. .....................................................................9

Tabel 4. Klasifikasi/golongan pepaya malang segar.............................................10

Tabel 5. Persyaratan dosis dalam berbagai penerapan iradiasi pangan.................15

Tabel 6. Contoh fungisida yang dapat digunakan pada buah-buahan dan


sayuran...................................................................................................17
Tabel 7. Konsentrasi emulsi lilin optimal untuk beberapa komoditas
hortikultura............................................................................................20
Tabel 8. Hasil pengujian Total kapang pada hari ke-0 ........................................46

Tabel 9. Hasil pengujian Total kapang pada hari ke-14 ......................................46

v
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Diagram alir penelitian uji aktivitas antimikroba asap cair ..............28

Gambar 2. Diagram alir penelitian pengaruh asap cair dan pelilinan terhadap
mutu pepaya .......................................................................................30
Gambar 3. Aktivitas penghambatan asap cair terhadap
Colletotrichum gloeosporiodes ..........................................................34
Gambar 4. Susut bobot pepaya selama penyimpanan pada suhu 10° C
(hari ke-20)................................................................................... 37

Gambar 5. Nilai kekerasan pepaya hari ke-4 .......................................................40

Gambar 6. Nilai Total Padatan Terlarut pepaya hari ke-16 .................................45

Gambar 7. Hasil Uji Total Cendawan pada media PDA pada hari ke-0..............48

Gambar 8. Hasil Uji Total Cendawan pada media PDA pada hari ke-14............49

Gambar 9. Perubahan visualisasi pepaya selama penyimpanan ..........................52

Gambar 10. Nilai warna kulit pepaya pada hari ke-12. .......................................53

Gambar 11. Nilai warna daging pepaya pada hari ke-20.....................................55

Gambar 12. Nilai aroma pepaya pada hari ke-20 ................................................56

Gambar 13. Nilai rasa pepaya pada hari ke-16. ...................................................58

vi
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Hasil pengamatan susut bobot selama penyimpanan. ....................64

Lampiran 2. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap susut bobot
pada pepaya selama penyimpanan ..................................................66

Lampiran 3. Hasil pengamatan kekerasan selama penyimpanan........................70

Lampiran 4. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekerasan pada
pepaya selama penyimpanan…………………………………...... 72

Lampiran 5. Hasil pengamatan Total Padatan Terlarut (TPT) selama


penyimpanan ...................................................................................76

Lampiran 6. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap Total
Padatan terlarut pada pepaya selama penyimpanan........................78

Lampiran 7. Hasil uji organoleptik selama penyimpanan ...................................82

Lampiran 8. Analisis sidik ragam terhadap uji organoleptik warna kulit pada
pepaya selama penyimpanan...........................................................83

Lampiran 9. Analisis sidik ragam terhadap uji organoleptik warna daging


pada pepaya selama penyimpanan. .................................................85

Lampiran 10. Analisis sidik ragam terhadap uji organoleptik aroma pada
pepaya selama penyimpanan...........................................................87

Lampiran 11. Analisis sidik ragam terhadap uji organoleptik rasa pada
pepaya selama penyimpanan...........................................................89

Lampiran 12. Uji lanjut Duncan terhadap uji organoleptik warna kulit pada
pepaya selama penyimpanan...........................................................91

Lampiran 13. Uji lanjut Duncan terhadap uji organoleptik warna daging pada
pepaya selama penyimpanan...........................................................92

Lampiran 14. Uji lanjut Duncan terhadap uji organoleptik aroma pada pepaya
selama penyimpanan.......................................................................93

Lampiran 15. Uji lanjut Duncan terhadap uji organoleptik rasa pada pepaya
selama penyimpanan.......................................................................94

vii
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Posisi perkelapaan Indonesia di dunia bila dilihat dari arealnya adalah


rangking pertama, yaitu seluas 3.712 juta ha (31.2%) dari total areal dunia 11.909
juta ha (100%) pada tahun 1999, diikuti oleh Philipina seluas 3.077 juta ha
(25,8%), India 1.908 ha (16.0%), Srilanka 0.422 juta ha (3.7%), Thailand 0.372
juta ha (3.1%) dan negara lainnya 2.398 juta ha (20.2%) (BPS, 2002). Sebagai
produsen kelapa terbesar di dunia, kelapa Indonesia menjadi ajang bisnis raksasa
mulai dari pengadaan sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida, dll); proses
produksi, pengolahan produk kelapa (turunan dari daging, tempurung, sabut,
kayu, lidi, dan nira), dan aktivitas penunjangnya (keuangan, irigasi, transportasi,
perdagangan). Areal tanaman kelapa di Indonesia didominasi oleh perkebunan
rakyat (96.6%) dan oleh perusahaan perkebunan besar (3.4%). Perkembangan luas
areal dan produksi sebagaimana terlihat pada tabel berikut.

Tabel 1.Perkembangan Produksi Kelapa Indonesia Tahun 1996 - 2000

No Uraian 1996 1997 1998 1999 2000*

1 Perkebunan Rakyat 2,687 2,620 2,690 2,700 2,688


(000 ton/ha)

2 Perkebunan Besar 19 21 22 22 22
Negara (000 ton/ha)

3 Perkebunan Besar 55 62 66 67 68
Swasta (000 ton/ha)

Jumlah 2,761 2,703 2,778 2,789 2,778

Sumber : Biro Pusat Statistik, 2002. *) Sementara

Dengan produksi buah kelapa rata-rata 15.5 milyar butir per tahun, total
bahan ikutan yang dapat diperoleh 3.75 juta ton air, 0.75 juta ton arang
tempurung, 1.8 juta ton serat sabut, dan 3.3 juta ton debu sabut. Industri
pengolahan komponen buah kelapa tersebut umumnya hanya berupa industri
tradisional dengan kapasitas industri yang masih sangat kecil dibandingkan
potensi yang tersedia. Daerah sentra produksi kelapa di Indonesia adalah Propinsi

1
Riau, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah. Beberapa
wilayah yang bukan sentra produksi tetapi memiliki potensi bahan baku tertentu
yang berkualitas seperti NTB dan NTT untuk industri kayu.
Salah satu industri yang berkembang dari hasil sampingan kelapa adalah
industri pengolahan tempurung kelapa. Namun perkembangan industri ini
menimbulkan dampak pada lingkungan, karena hasil ikutannya berupa asap yang
dapat menyebabkan polusi udara. Asap yang ditimbulkan sebagai hasil
pembakaran untuk memperoleh arang selama ini belum termanfaatkan secara
optimal bahkan lebih banyak terbuang dan mengganggu lingkungan sekitarnya.
Padahal asap dapat dikondensasikan menjadi asap cair yang dapat digunakan
sebagai bahan disinfektan untuk penyakit pascapanen buah-buahan, bahan
pengawet makanan sebagai pengganti formalin, dan sebagai fertilizer.
Asap cair mempunyai kandungan senyawa fenol 5.13%, karbonil 13.28%
dan asam 11.39% (Tranggono, dkk. 1996). Ketiganya secara simultan dapat
berperan sebagai antioksidan dan antimikrobia serta memberikan efek warna dan
cita rasa khas asap pada produk pangan (Maga, 1987; Girrad, 1992 di dalam
Karseno, dkk. 2001). Adanya sifat fungsional (antioksidan, antimikrobia, efek cita
rasa dan warna) dari asap cair yang tidak berbeda dari asap alami, maka asap cair
tempurung kelapa ini dapat diaplikasikan ke produk pangan maupun hortikultura.
Sebagai antiomikrobia, asap cair dapat berfungsi sebagai disinfektan untuk
mengatasi penyakit pascapanen pada komoditas buah-buahan, salah satunya yaitu
pada buah pepaya.
Pada tahun 2000 produksi buah pepaya di Indonesia sebesar 429 ribu ton.
Produksi tersebut menempatkan Indonesia sebagai Negara penghasil buah pepaya
ke-5 terbesar di dunia. Meskipun demikian Indonesia belum mampu mengekspor
buah pepaya di pasar dunia secara berarti. Pada tahun 2000, Indonesia mampu
mengekspor 18,110 kg namun tahun 2001 ekspor buah pepaya tersebut
mengalami penurunan sebesar 27% yaitu hanya mencapai 4,934 kg (Ditjen
BPPHP, 2002). Buah pepaya merupakan komoditas yang mudah rusak karena
tekstur buah pepaya memiliki kulit buah yang tipis dan banyak mengandung air,
sehingga mudah rusak akibat benturan fisik atau gangguan hama dan penyakit.
Oleh karena itu buah pepaya memerlukan teknik penanganan pascapanen yang

2
tepat. Salah satu faktor utama yang dapat menimbulkan kerugian atau kehilangan
produksi buah pepaya adalah gangguan penyakit pada pascapanen buah. Menurut
Prabawati, Sjaifullah, dan Dwi (1991), penyakit pascapanen yang banyak
menginfeksi buah pepaya adalah penyakit antraknosa yang disebabkan oleh
Colletotrichum gloeosporioides dan penyakit busuk buah Rhizopus.
Upaya untuk mengendalikan gangguan penyakit antraknosa pada buah
pepaya telah banyak dilakukan, terutama aplikasi pestisida (fungisida) sintetik
(Prabawati, et al., 1991). Akan tetapi, aplikasi tersebut menimbulkan dampak
negatif bagi lingkungan karena meninggalkan residu, bersifat toksik, dan
membentuk resistensi hama dan penyakit. Penggunaan fungisida botani menjadi
pilihan alternatif untuk dikembangkan karena tidak hanya mengendalikan
pertumbuhan cendawan, tetapi juga memiliki residu yang kecil dan mudah
terdegradasi lingkungan. Asap cair dari tempurung kelapa dapat dijadikan salah
satu alternatifnya.

B. Tujuan

Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pemanfaatan


asap cair tempurung kelapa sebagai disinfektan dalam pengendalian penyakit
pascapanen buah-buahan. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah (1)
mempelajari efektifitas asap cair sebagai disinfektan melalui uji aktifitas
cendawan antraknosa, (2) mengkaji pengaruh konsentrasi asap cair dalam
menghambat serangan penyakit antraknosa pada buah pepaya selama
penyimpanan.

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pepaya (Carica papaya L)

Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari


Amerika tropis. Pusat penyebaran tanaman berada di daerah sekitar Meksiko
bagian selatan dan Nicaragua. Bersama pelayar-pelayar bangsa Portugis di abad
ke-16, tanaman ini turut menyebar ke berbagai benua dan negara, termasuk ke
Benua Afrika dan Asia serta negara India. Dari India, tanaman ini menyebar ke
berbagai negara tropis lainnya, termasuk Indonesia. Menurut Samsudin (1985) di
dalam Firmaningsih (1993) buah pepaya termasuk dalam:
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dycotyledoneae
Ordo : Caricales
Famili : Caricaceae
Genus : Carica
Species : Carica papaya L
Pepaya merupakan tanaman herba. Batangnya tidak bercabang namun
apabila pucuknya dipotong, cabang akan terbentuk. Bentuk batang lurus, bulat,
berongga di dalam, lunak dan dapat mencapai ketinggian hingga 10 meter (Ashari,
1995).
Daun-daun pepaya tersusun secara spiral, berkelompok dekat dengan
ujung batang. Helaian daunnya menyerupai telapak tangan manusia. Apabila daun
pepaya tersebut dilipat menjadi dua bagian persis di tengah, akan nampak bahwa
daun pepaya tersebut simetris. Tangkai daunnya sangat panjang hingga mencapai
1 meter dan berongga. Jika tidak terdapat gangguan, dua lembar daun akan
muncul setiap minggunya.
Menurut Kalie (1999), pepaya memiliki tiga jenis bunga, yaitu bunga
jantan (masculus), bunga betina (femineus), dan bunga sempurna (hermaprodit).
Bunga jantan berbentuk tabung ramping dengan panjang kira-kira 2.5 cm,
mahkota bunga terdiri dari lima helai, benang sari berjumlah 10 dan ovarium

4
mengalami rudimenter sehingga tidak menghasilkan buah. Bunga betinaberukuran
agak besar dan memiliki bakal buah berbentuk bulat, mahkota bunga terdiri dari
lima helai dan tidak memiliki benang sari. Bunga sempurna pada pepaya
dibedakan menjadi bunga sempurna elongata, bunga sempurna petandria dan
bunga sempurna antara. Bunga sempurna elongata memiliki bakal buah berbentuk
lonjong dan 10 benang sari yang tersusun melingkar pada bakal buah. Bunga
sempurna petandria mempunyai lima buah benang sari yang bertangkai agak
pendek dan bakal buah berbentuk bulat. Bunga sempurna antara mempunyai
benang sari yang berbeda jumlahnya, antara 2-10 buah dan akan menghasilkan
buah yang bentuknya tidak sempurna.
Rongga dalam pada buah pepaya berbentuk bintang apabila penampang
buahnya dipotong melintang. Batang, daun, dan buah pepaya muda mengandung
getah berwarna putih. Getah ini mengandung suatu enzim pemecah protein atau
enzim proteolitik yang disebut papain. Sebagai enzim proteolitik, papain banyak
digunakan dalam industri, diantaranya industri makanan dan minuman, farmasi,
kosmetik, tekstil, dan penyamak.
Buah pepaya termasuk tipe buah buni berdaging, berbetuk bulat telur
sampai lonjong, hampir bulat, berbentuk avokad dan silinder, panjangnya 7-30
cm, bobotnya bisa mencapai 10 kg, kulit buahnya tipis, halus, jika matang
berwarna kekuning-kuningan atau jingga, dagingnya berwarna kekuning-kuningan
sampai jingga merah, rasanya manis dengan aroma yang sedap, bijinya bulat,
kecil, warnanya hitam dan jumlahnya banyak sekali. Menurut Kalie (1999),
pepaya tergolong buah yang banyak diminati hampir di seluruh dunia. Daging
buah yang lunak warnanya merah atau kuning, rasanya yang manis dan
mengandung banyak air. Nilai gizi buah ini cukup tinggi karena banyak
mengandung provitamin A, vitamin C, dan mineral. Buah pepaya mengandung
berbagai jenis enzim, vitamin, dan mineral. Kandungan vitamin A-nya lebih
banyak daripada wortel, vitamin C-nya lebih tinggi daripada jeruk. Mengandung
juga vitamin B kompleks dan vitamin E. Oleh karena teksturnya yang lunak dan
nilai gizi yang tinggi maka buah ini sangat baik diberikan untuk anak-anak dan
lansia. Kandungan pepaya secara umum dapat dilihat pada Tabel 2.

5
Tabel 2. Komposisi zat gizi pepaya per 100 g bahan.
Unsur Komposisi Buah Masak Buah Mentah
Air (g) 86.70 92.30
Energi (kal) 46.00 26.00
Protein (g) 0.50 2.10
Lemak (g) * 0.10
Karbohidrat (g) 12.20 4.900
Vitamin A (mg) 365.00 50.00
Vitamin B (mg) 0.04 0.02
Vitamin C (mg) 78.00 19.00
Kalsium (mg) 23.00 50.00
Besi (mg) 1.70 0.40
Fosfor (mg) 12.00 16.00

Sumber : Direktorat Gizi, Depkes RI, 1979 di dalam Kalie, 1999.

Tanaman pepaya memiliki daya adaptasi yang cukup luas terhadap


lingkungannya. Tanaman ini dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik mulai
dataran rendah sampai dataran tinggi. Meskipun di dataran tinggi tanaman pepaya
dapat tumbuh dengan baik, namun demikian makin tinggi tempat penanaman
justru akan mengurangi manisnya buah. Hal ini dipengaruhi oleh intensitas sinar
matahari yang relatif rendah dan kelembapan udaranya tinggi. Menurut Kalie
(1999) tanaman pepaya dapat tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 1.000
m dpl. Tanaman ini lebih senang tumbuh di lokasi yang banyak hujan (cukup
tersedia air), curah hujan 1000-2000 mm per tahun dan merata sepanjang tahun.
Di daerah yang beriklim kering, musim hujannya 2-5 bulan, dan musim
kemaraunya 6-8 bulan, tanaman pepaya masih mampu berbuah, asalkan
kedalaman air tanahnya 50-150 cm. Tanah yang subur dengan porositas baik,
mengandung kapur, dan ber-pH 6-7 paling disenangi oleh tanaman pepaya
(Rismunandar, 1981). Tanaman pepaya lebih menyukai daerah terbuka (tidak
ternaungi) dan tidak tergenang air. Tanah yang berdrainase tidak baik
menyebabkan tanaman mudah terserang penyakit akar.
Sedangkan untuk suhu optimal pertumbuhan tanaman berkisar antara
22o-26o C, suhu minimum 15o C, dan suhu maksimum 43o C. perkecambahan biji

6
pepaya akan berlangsung cepat bila suhu siang hari 35o C dan malam hari 26o C.
biji akan berkecambah dan tumbuh setelah 12-14 hari (Kalie, 1999).
Menurut Kalie (1999) varietas pepaya dikenal dari bentuk, usuran, warna,
rasa, dan tekstur buahnya. Dari parameter tersebut maka dikenal buah pepaya
yang berukuran besar atau kecil, berbentuk bulat atau lonjong, daging buah
berwarna merah atau kuning, keras atau lunak berair, rasanya Manis atau kurang
Manis, dan kulit buah licin menarik atau kasar tabal. Berat buah pepaya berkisar
antara 0.5-9 kg. Di Indonesia, varietas pepaya yang banyak ditanam adalah
pepaya semangka, pepaya jinggo, dan pepaya cibinong. Selain itu, dikenal juga
varietas pepaya mas, pepaya item, dan pepaya ijo. Varietas buah pepaya yang
berhasil dikembangkan di Indonesia, diperoleh dari pengumpulan berbagai hasil
eksplorasi dari daerah. Berdasarkan pengujian dan seleksi diantaranya pepaya
Arum Bogor dikenal dengan nama varietas Pepaya IPB1 dan Pepaya Prima Bogor
dikenal dengan nama varietas Pepaya IPB2 serta IPB 3. Masing-masing memiliki
umur panen 140 ,150, dan 120 hari setelah bunga mekar (PKBT, 2003).

B. Penanganan Panen dan Pascapanen Pepaya

Tanaman pepaya yang dibudidayakan di dataran rendah mulai berbunga


pada umur empat bulan. Enam bulan kemudian tanaman pepaya sudah dapat
dipanen. Umur berbunga dan umur petik ini akan bertambah bila tanaman pepaya
ditanam pada lahan-lahan yang lebih tinggi atau di wilayah iklim yang lebih
dingin (Kalie, 1999). Buah pepaya dipanen pada stadium mendekati matang
pohon, yakni setelah buah menunjukkan garis-garis menguning. Untuk pasaran
setempat biasanya buah dipetik pada tingkat kemasakan mengkal, sedangkan
untuk pasaran jarak jauh buah dipetik pada tingkat kemasakan tua. Buah masak
mengkal bila kulit buah di bagian ujung tampak mulai menguning, sedangkan
daging buah masih tetap keras. Buah pepaya yang masak ditandai dengan kulit
dan dagingnya berwarna cerah, rasanya manis, dan aromanya sudah tercium.
Menurut Kalie (1999) waktu memanen harus dijaga agar kulit buah
jangan samapi tergesek atau tergores, apalagi sampai terluka. Gesekan, goresan,
atau luka membuat buah menjadi cacat. Akibatnya, warna kulit maupun
penampilan buah tidak utuh lagi. Goresan pada buah menjadi jalan masuk atau

7
tempat terjadinya infeksi mikroorganisme. Akibat lebih lanjut adalah daya simpan
buah menjadi berkurang. Untuk itu, pada saat melakukan pemanenan harus
dihindari kerusakan fisik ini.
Pemanenan harus memperhatikan tingkat kemasakan. Tingkat
kemasakan buah pepaya biasanya dinyatakan dalam bentuk buah muda, buah tua,
buah mengkal, dan buah terlalu masak. Buah muda adalah buah yang masih dalam
proses pertumbuhan dan pembentukan ke arah tingkat buah tua. Bentuk, berat,
dan komposisi buah masih belum utuh dan belum lengkap. Kulit buah berwarna
hijau muda dan mengandung banyak getah. Daging buah dan biji masih berwarna
putih. Buah tua (green mature stage) ditandai dengan warna kulit masih berwarna
hijau tetapi getah sudah banyak berkurang dan encer, daging buah masih keras
dan sudah mengalami perubahan warna. Buah mengkal (firm ripe stage) ditandai
dengan mulai menguningnya warna kulit buah, terutama di bagian ujung buah.
Pada buah masak (ripe stage) seluruh kulitnya telah berubah warna menjadi
kuning atau kuning kemerahan. Daging buah seluruhnya telah lunak dan berwarna
kuning atau merah menyala. Rasanya manis segar beraroma dan berair banyak
(Kalie, 1999).
Setelah dipanen, biasanya buah pepaya diperam terlebih dahulu atau
dikarbit. Hal ini dilakukan karena buah pepaya yang dipanen biasanya masih
dalam keadaan mengkal. Pengkarbitan dilakukan dengan memasukkan buah
pepaya ke dalam peti atau ruangan yang ditutup rapat kemudian di bagian bawah
peti diberi karbit yang dibungkus daun pisang. Bila buah yang dikarbit masih
muda, rasa buah menjadi kurang enak, yaitu kurang manis, dingin, dan ada rasa
pahit.
Setelah dilakukan pengkarbitan, pepaya siap untuk diangkut ke lokasi
pemasaran. Pada umumnya, pedagang buah pepaya mengangkut buah dengan
menggunakan keranjang bambu atau alat pengangkut lain. Untuk menjaga agar
buah pepaya tidak saling bergesekan maka di bagian bawah dari keranjang dialasi
dengan daun pisang kering. Selain di bagian alas keranjang, daun kering tersebut
juga ditempatkan di sekeliling keranjang dan celah-celah diantara buah.
Penempatan buah di dalam keranjang dilakukan dengan cara berdiri dengan
tangkai di sebelah bawah.

8
Di Hawaii, buah pepaya yang akan diekspor ke Amerika, Jepang atau
pasar lainnya dikemas dalam kotak karton atau kotak sterofoam berukuran 6.5 x
10.5 x 14 inci. Untuk mencegah serangan busuk buah selama pengangkutan,
sebelum dikemas buah dicelup air panas yang bersuhu 43-48oC selama 20 menit.
Setelah itu, buah difumigasi selama dua jam dengan etilen bromida (EDB)
sebanyak 8 g/m3 ruangan. Ruangan fumigasi tersebut hanya boleh diisi tiga
perempat bagian saja. Perlakuan dengan EDB ini adalah untuk membunuh lalat
buah dan larvanya. Perlakuan pencelupan air panas dan fumigasi merupakan
perlakuan standar yang harus dilakukan terhadap buah-buah pepaya yang akan
diekspor.
Buah kemudian diangkut pada suhu 10oC dan kelembapan 80-90%.
Dalam kondisi tersebut buah dapat disimpan selama 3-4 minggu. Pengangkutan
atau penyimpanan buah pepaya pada suhu yang lebih rendah dari 10oC, tepatnya
lebih rendah 7.2oC, dapat menimbulkan gangguan fisiologis pada buah yang
disebut chilling injury. Buah menjadi berbintik-bintik, tidak dapat masak, rasanya
tawar dingin, atau bahkan menjadi busuk (Kalie, 1999).
Pepaya untuk ekspor atau pasar swalayan menghendaki suatu standar buah
tertentu. Pepaya Malang Segar digolongkan dalam 3 (tiga) ukuran yaitu kelas A,
B, C, dan D berdasarkan berat tiap buah, yang masing-masing digolongkan dalam
3 (tiga) jenis mutu yaitu Mutu I, Mutu II, dan Mutu III (Tabel 3 dan 4).

Tabel 3. SNI Pepaya Malang Segar.


Kelas Berat per buah
A kg – 3.0 kg
B 1.8 kg – 2.4 kg
C 1.5 kg – 1.7 kg
D < 1.5 kg atau > 3 kg
Sumber : SNI-01-4230-1996

Buah Pepaya Malang Segar masing-masing digolongkan dalam 3 (tiga)


jenis mutu yaitu Mutu I, Mutu II, dan Mutu III. Kriteria dalam menentukan jenis
mutu buah Pepaya Malang Segar dinilai dari tingkat ketuaan dimana jumlah strip
berwarna jingga pada permukaan kulit buah yang berwarna hijau botol saat

9
dipanen, kebenaran kultivar, keseragaman ukuran berat, tingkat kerusakan,
kebusukan, dan kadar kotoran, serta tingkat kesegaran.

Tabel 4. Klasifikasi/golongan pepaya malang segar


Spesifikasi Satuan Mutu I Mutu II Mutu III
a. Tingkat ketuaan warna kulit Strip 3 2-3 1
(jumlah strip warna jingga)
b. Kebenaran kultivar % 97 95 90
c. Keseragaman ukuran berat % 97 95 90
d. Keseragaman bentuk % 97 95 90
e. Buah cacat dan busuk % 0 0 0
f. Kadar kotoran % 0 0 0
g. Serangga hidup atau mati % 0 0 0
h. Tingkat kesegaran % 100 < 25 >25

Sumber : SNI-01-4230-1996

Buah pepaya lebih lanjut dapat diolah menjadi berbagai produk pangan
yang digemari oleh masyarakat. Biasanya buah yang diolah adalah buah yang
tidak memiliki standar buah untuk pasar, seperti buah yang terlalu besar atau
terlalu kecil, buah yang tidak memiliki bentuk sempurna. Bentuk olahan pepaya
antara lain manisan pepaya, koktil pepaya, jeli pepaya, jam pepaya, sirup pepaya
dan saus buah pepaya.

C. Penyakit Pascapanen pepaya


Penyakit pascapanen pada pepaya merupakan sesuatu kerugian besar
yang harus ditangani secara serius karena dapat menurunkan produksi dan mutu
produk yang dihasilkan. Penyakit pascapanen biasanya disebabkan oleh luka-luka
pada komoditi selama dan sesudah pemanenan, seperti batang-batang yang
dipotong, dan kerusakan mekanik pada sel-sel permukaan selama penanganan dan
pengangkutan. Kebanyakan dari kerusakan-kerusakan pascapanen yang berat pada
buah pepaya adalah akibat pembusukan cendawan. Berikut ini penyakit yang
sering menyerang pada pascapanen tanaman pepaya:

1. Penyakit Antraknosa
Penyakit ini disebabkan oleh sejenis cendawan yang disebut
Colletotrichum, termasuk kelas Deuteromycetes ordo Melanconiaceae, subklas
cendawan imperfecti yang belum diketahui tingkat seksualnya (teleomorf)

10
(Semangun, 2000). Menurut Pantastico (1986) penyakit antraknosa merupakan
penyakit laten pada buah-buahan dan akan tampak nyata bila buah menjadi
matang. Cendawan ini memiliki tubuh buah (aservulus) berbentuk piring dangkal.
Konidium oval sampai memanjang, agak melengkung dan dalam jumlah banyak
berwarna kemerahan. Cendawan ini sesungguhnya tidak hanya menyerang buah
saja, tetapi juga menyerang daun, bunga, ranting, dan tanaman semai (Kalie,
1999). Konidia diproduksi di aservulus dalam kondisi lembab dan menyebar
dengan bantuan percikan air dan serangga pada malam hari yang berupa massa
lendir berwarna merah jambu. Pada kondisi lingkungan yang kering, konidia
mengeras dan berwarna kekuningan. Salah satu cendawan Colletotrichum yang
menimbulkan penyakit antraknosa yaitu Colletotrichum gloeosporioides (Penz)
Sacc.
Serangan antraknosa pada pepaya terjadi secara sporadis dan banyak
tergantung pada keadaan iklim serta perlakuan-perlakuan teknis budidaya. Iklim
yang senantiasa basah, serta kondisi lahan dan pertanaman yang menunjang
kelembapan sangat serasi bagi pertumbuhan dan perkembangan penyakit ini.
Buah-buah yang diserang umumnya buah-buah yang menjelang masak.
Semua buah jeruk, mangga, pepaya, alpukat, dan pisang yang tumbuh di
daerah tropika basah menderita infeksi laten oleh Colletotrichum gloeosporioides
dan Gloeosporium musarum pada kulit waktu pemanenan (Baker et al., 1934 di
dalam Pantastico, 1986). Pada saat buah masih berada di pohon, patogen
Colletotrichum gloeosporioides berada dalam keadaan laten dan bertahan dalam
kondisi dorman. Spora-spora Colletotrichum gloeosporioides terdapat pada mulut
kulit buah-buah pepaya muda dan pada lentisel buah-buah mangga dan alpukat
(Stanghellini dan Aragaki, 1966 di dalam Pantastico, 1986). Colletotrichum
gloeosporioides adalah parasit yang kuat sehingga dapat berkembang setelah
jaringan menjadi lemah karena proses penuaan (Prabawati et al., 1991 di dalam
Hutari, 2005).
Gejala penyakit ini secara umum pada buah berupa bulatan-bulatan kecil
berwarna gelap. Bila buah bertambah masak, bulatan-bulatan tadi semakin
membesar dan busuk cekung ke arah dalam buah. Saat buah masih mentah gejala

11
serangan cendawan ini tampak berbentuk luka kecil ditandai oleh adanya getah
yang keluar dan mengental.
Menurut Kalie (1999) pada pepaya tanda serangan Colletotrichum
gloeosporiodes (Penz) Sacc berupa bercak-bercak basah agak cekung berwarna
jingga merah jambu oleh adanya massa spora. Bercak-bercak ini kemudian
membesar, dapat mencapai diameter 5 cm, dan warnanya menjadi lebih gelap.
Bila infeksi sampai pada daging buah bagian dalam,maka buah menjadi busuk
bonyok dengan rasa pahit. Penyakit ini menyebar dengan lebih cepat di daerah
dengan iklim basah, yang mengakibatkan keriput pada kulit, hitamnya buah,
pelunakan, dan pembusukan buah.
Kebusukan selama penyimpanan dapat dicegah dengan cara mencelupkan
buah ke dalam air panas yang bersuhu 43-49o C selama 20 menit. Colletotrichum
gloeosporioides (Penz) Sacc dapat tumbuh dalam kisaran suhu 33-52o C Suhu
optimum untuk perkecambahan sporanya adalah 43 oC (Pantastico, 1986).

2. Penyakit busuk buah Rhizopus


Cendawan Rhizopus termasuk keluarga Mucoraceae, klas Phycomycetes.
Sporangia keluarga Mucoreceae mengandung kolumela yang berdinding tipis.
Cendawan Rhizopus mempunyai miselia dan menyebabkan penyakit busuk buah
pada buah-buahan, seperti anggur, jambu mete, durian, melon, semangka, pepaya
dan sebagainya. Salah satu penyebab penyakit busuk buah pada pepaya yaitu
Rhizopus stolonifer Lind.
Menurut Kalie (1999) penyakit busuk buah ini menyerang buah-buah
pepaya tua yang terluka. Luka ini terjadi saat pemanenan atau selama
pengangkutan yang dilakukan dengan tidak hati-hati. Buah-buah mentah utuh,
sehat, dan tidak terluka tidak akan diserang. Buah yang terkena serangan penyakit
ini akhirnya menjadi busuk, bonyok, dan berair. Bila keadaannya lembap, buah
dilapisi oleh sporangiospora berwarna hitam dan cendawan akan menyerang.
Cendawan Rhizopus stolonifer Lind menyerang pula strawberi, buah yang
terserang menjadi lunak dan berair. Buah ini bila ditekan akan mengeluarkan
cairan. Buah-buah yang busuk akan tertutup oleh massa cendawan putih dan
banyak sporangium hitam. Pada buah almond Rhizopus stolonifer Lind
menimbulkan busuk kulit (hull rot).

12
Usaha pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan mencelup buah ke
dalam air panas yang bersuhu 48o C selama 20 menit. Pada suhu atau perlakuan
tersebut sporangiospora akan mati. Di tempat penyimpanan, buah pepaya yang
telah terserang penyakit segera dipisahkan dan dimusnahkan agar tidak menular
ke buah lain yang masih sehat (Kalie, 1999).

D. Pengendalian Penyakit Pascapanen


Pengendalian yang dilakukan untuk menangani penyakit pascapanen buah-
buahan sehingga dapat menekan laju perkembangan penyakit dan juga dapat
memperpanjang masa simpan buah-buahan adalah :

1. Pendinginan
Penurunan mutu produk segar seperti buah-buahan dan sayuran
dipengaruhi oleh beberapa hal seperti kesalahan penanganan pada saat panen,
terutama karena pengaruh temperatur. Aktifitas enzim yang mengatur
metabolisme produk sangat dipengaruhi oleh temperatur. Setiap kenaikan
temperatur sebesar 10 oC akan meningkatkan aktifitas enzim dua sampai empat
kali. Semakin tinggi aktifitas enzim, semakin cepat terjadi penurunan produk.
Pendinginan merupakan salah satu cara yang umum digunakan untuk
menghambat penurunan mutu produk (Long et al., 1986 di dalam Novitaningsih,
1993).
Penyimpanan di bawah suhu 15oC dan di atas titik beku bahan dikenal
sebagai penyimpanan dingin (chilling storage). Penyimpanan dingin merupakan
salah satu cara menghambat turunnya mutu buah-buahan dan sayur-sayuran.
Disamping pengaturan kelembaban dan komposisi udara serta penambahan zat-zat
pengawet kimia. Pendinginan akan mengurangi kelayuan karena kehilangan air,
menurunkan laju reaksi kimia dan laju pertumbuhan mikroba pada bahan yang
disimpan (Watkins, 1971).
Perlu diperhatikan bahwa buah pepaya dapat rusak karena suhu
rendah/dingin (kerusakaan fatal bila disimpan pada suhu rendah tetapi di atas titik
beku air). Kerusakan oleh suhu rendah ini antara lain terlihat sebagai berubahnya
warna kulit menjadi abu-abu, terbentuknya lubang-lubang pada kulit dan buah
tidak merata menjadi masak (warna buah jelek dan juga rasanya pun tidak enak).

13
Guna mencegah kerusakan oleh suhu rendah, sebaiknya buah pepaya
disimpan pada suhu 10 – 15oC. Kisaran ini disebabkan oleh varietas, tingkat
masak buah, lokasi, pengaruh musim pada buah, dan sebagainya.(Pracaya, 1998).

2. Iradiasi
Iradiasi adalah suatu istilah yang digunakan untuk pemakaian energi
radiasi secara sengaja dan terarah. Iradiasi termasuk salah satu cara fisika dalam
pengawetan makanan seperti halnya pemanasan, pendinginan, dan pembekuan
(Maha, 1985 di dalam Risnawati, 1993). Iradiasi mengakibatkan penundaan
kematangan, serangan serangga minimal, dan hambatan kerusakan buah-buahan
oleh mikroba. Pengaruh ini dapat menghasilkan perpanjangan umur simpan atau
penghancuran organisme yang mengadakan kontaminasi (Pantastico, 1986).
Menurut Hermana (1991) di dalam Risnawati (1993), dosis radiasi
adalah jumlah energi radiasi yang diserap ke dalam pangan dan merupakan faktor
kritis pada iradiasi pangan. Seringkali, untuk tiap jenis pangan diperlukan dosis
khusus untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Kalau jumlah radiasi yang
digunakan kurang dari dosis yang diperlukan, efek yang diinginkan tidak akan
tercapai. Sebaliknya, jika menggunakan dosis berlebihan, bahan pangan mungkin
akan rusak sehingga tidak dapat diterima konsumen.
Besarnya dosis iradiasi yang dipakai dalam pengawetan makanan
tergantung pada jenis makanan dan tujuan iradiasi. Tabel 1 menunjukkan dosis
yang dibutuhkan untuk meradiasi pangan tertentu. Jumlah energi yang diserap
dinyatakan dalam gray (Gy), yaitu energi yang dihasilkan radiasi pengion yang
diserap bahan per satuan massa. Satu Gy setara dengan satu joule per kg (satuan
radisai yang lama, rad, setara dengan 0.01 Gy).
Penelitian tentang pengawetan makanan dengan iradiasi di Indonesia
telah dimulai sejak tahun 1967, dan sampai sekarang telah cukup banyak
memperoleh hasil. Sedangkan di luar negeri, banyak negara-negara yang sudah
menyetujui proses iradiasi misalnya di Amerika Serikat, proses iradiasi untuk
kentang disahkan tahun 1965, di Kanada tahun 1960, di Israel tahun 1967 dan
negara-negara lainnya menyusul kemudian (Hermana, 1991 di dalam Risnawati,
1993).

14
Tabel 5. Persyaratan dosis dalam berbagai penerapan iradiasi pangan
Tujuan Dosis (kGy)b Produk
Dosis rendah (sampai 1
kGy)
Pencegahan pertunasan 0.05-0.15 Kentang, bawang putih,
bawang , bawang bombay, jahe

Pembasmian serangga dan 0.15-0.50 Serealia dan kacang-kacangan,


disinfeksi parasit buah segar dan kering, daging
babi segar

Pelambatan proses fisiologi 0.50-1.0 Buah dan sayuran segar

Dosis menengah (1-10 kGy)

Perpanjangan masa simpan 1.0-3.0 Ikan dan arbei segar.

Pembasmian 1.0-7.0 Hasil laut segar dan beku,


mikroorganisme perusak gh daging dan daging unggas
patogen segar/beku.

Perbaikan sifat teknologi 2.0-7.0 Anggur (meningkatkan hasil


pangan sari), dan sayuran kering
(mengurangi waktu
pemasakan).
Dosis tinggi (10-50 kGy)c

Pensterilisasi-industri 30-50 Daging, daging unggas, hasil


(kombinasi dengan panas laut, makanan siap hidang, dan
sedang) makanan steril (di rumah
sakit).
Pensterilan bahan tambahan 10-50 Rempah-rempah, sediaan
makanan tertentu dan enzim, dan gum alami.
komponennya
a
Hermana, 1991 di dalam Risnawati, 1993
b
Gy: gray – unit yang menunjukkan dosis terserap
c
Hanya digunakan untuk tujuan khusus. Komisi Codex Alimentarius Gabungan
FAO/WHO belum menyetujui penggunaan dosis tinggi

Penggunaan iradiasi pada pepaya dengan dosis 75-100 krad (0.75-1 Gy)
tidak mempengaruhi kerentanan jaringan terhadap penyakit pascapanennya.
Ketahanan organisme-organisme pembusukan terhadap kisaran takaran ini
berbeda-beda. Misalnya, pada biakan buatan, baik spora-spora Fusarium maupun
Colletotrichum mempunyai ketahanan yang tinggi selama perkecambahan, namun

15
koloni-koloni Fusarium seluruhnya terbunuh dan 75% dari koloni-koloni
Colletotrichum dapat mempertahankan diri (Buddenhagen dan Kojima, 1966 di
dalam Pantastico, 1986). Penyinaran-penyinaran dengan takaran rendah tidak
dapat mengendalikan pembusukan dalam penyimpanan. Suatu kombinasi
perlakuan yang terdiri atas penyinaran dan fumigasi dengan fungisida 2-AB lebih
efektif untuk mengendalikan pembusukan daripada penyinaran atau fumigasi saja,
tetapi tidak begitu efektif seperti perlakuan dengan air panas ditambah dengan
penyinaran (Buddenhagen dan Kojima, 1966 di dalam Pantastico, 1986).

3. Penggunaan fungisida
Menurut Horsfall (1956) fungisida berasal dari bahasa latin yang terdiri
atas dua kata yaitu fungus (cendawan, jamur) dan caedo (membunuh), jadi secara
harfiah fungisida berarti pembunuh cendawan atau jamur. Cendawan adalah
makhluk hidup tingkat rendah yang tidak mempunyai zat hijau daun (klorofil)
oleh karena itu cendawan termasuk konsumen seperti binatang dan bukan
produsen seperti tanaman hijau (Horsfall, 1956).
Pemberian suatu fungisida kepada komoditi yang telah dipanen, dapat
mencegah penularan melalui luka-luka. Suatu spora jamur atau suatu bakteri yang
hinggap dalam luka pada permukaan buah, jika tidak dihambat maka akan segera
berkembang dan menginfeksi jauh ke dalam sehingga akan sulit diberantas.
Waktu antara penularan dan perlakuan yang berhasil baik bergantung suhu dan
kelembapan sekitarnya, kemasakan buah, laju pertumbuhan patogen, dan sifat
perlakuan dengan fungisidanya. Menurut Pantastico (1986) pertumbuahan-
pertumbuhan petogen seperti Gloeosporium, Thielaviopsis, Botrydiplodia,
Rhizopus dan Geotricum dalam lingkungan tropika terjadi dengan cepat, dan
perlakuan dengan fungisida secara konvensional yang ditujukan untuk mencegah
infeksi harus dilakukan dalam waktu 12 sampai 24 jam setelah pemanenan.
Pemberian fungisida ini sebagai disinfektan.
Campuran fungisida yang bersifat energetik seperti TBZ (2-4-thyazolyl
benzamidazole) dengan AOAP (merupakan suatu garam metal alkali dari
orthophenyphenol tetrahydrate) dapat digunakan secara efektif untuk menghambat
pertumbuhan dan sporulasi kapang yang menyebabkan kebusukan buah-buahan
(Hanson, 1976 di dalam Noorhakim, 1992). Campuran fungisida tersebut tanpa

16
diikuti efek sampingan yang kurang baik. Menurut FDA (Food and Drug
Administration) penggunaan TBZ pada buah-buahan tidak lebih dari 2 ppm
(berdasarkan berat) dan untuk AOAP adalah tidak lebih dari 10 ppm. Contoh
fungisida yang dapat digunakan untuk buah-buahan dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 6. Contoh fungisida yang dapat digunakan pada buah-buahan dan sayuran
Komoditi Fungisida/Bakterisida Konsentrasi
Pisang SOPP 0.5
FLITT-406 0.4
Benlate-50 0.1
Thiobendazole-60 0.2

Pepaya SOPP 0.5


FLITT-406 0.5

Nenas SOPP 0.25


FLITT-406 0.4

Jeruk Benlate-50 0.1


Thiobendazole-60 0.1

Apel SOPP 0.5

Jambu biji SOPP 0.5


FLITT-406 0.4

Kentang SOPP 0.05-0.1

Wortel SOPP 0.25

Cabe SOPP 0.5


FLITT-406 0.4

Ketimun Chlorax 0.2

Tomat SOPP 0.5


Chlorax 0.5
FLITT-406 0.4
Benlate-50 0.1
Thiobendazole-60 0.1
Sumber : Setyowati dan Budiarti (1992) di dalam Nugroho (2002).

Fungisida yang sering digunakan adalah Benlate-50, yang dikenal


dengan nama perdagangan benonyl dan nama kimianya adalah ester metil 1-(butil
karbomil)-2-benzimidazole dari asam karbonat. Cara pembuatan larutan fungisida

17
(benlate 50) yang disesuaikan dengan metode CFTRI (Central Food
Technological Research Institut, Mysore) adalah fungisida dilarutkan dalam air
dengan konsentrasi tertentu (0.10 – 0.20) %. Fungisida ini dalam konsentrasi
tinggi dapat mengendalikan busuk pangkal buah dengan baik, tidak menimbulkan
luka-luka pada kulit buah dan tidak mempengaruhi rasa. Namun, pemakaian
benomyl masih harus menunggu izin kesehatan untuk pemakaiannya.

4. Perlakuan panas (Heat Treatment)


Perlakuan panas (heat treatment) pada buah-buahan dan sayur-sayuran
untuk mengendalikan penyakit dan disinfestasi hama telah digunakan selama
beberapa tahun. Perlakuan ini dapat memperlambat kebusukan dan
memperpanjang masa simpan produk pangan.
Metode yang dipergunakan untuk perlakuan panas buah-buahan dan
sayuran antara lain menggunakan air panas (HWT), uap panas (VHT) dan udara
panas (HAT) digunakan untuk mengendalikan jamur dan hama serta untuk
mempelajari respon suatu komoditas terhadap suhu tinggi.
Heat treatment sebagai salah satu teknologi karantina, efektif untuk
mengatasi masalah hama pascapanen. Tetapi perlakuan ini juga dapat
menyebabkan kerusakan produk. Penggunaan suhu tinggi dalam waktu lama dapat
menyebabkan penurunan mutu produk. Pada mangga ’Irwin’ pencelupan dalam
air panas memberikan hasil yang terbaik dilakukan pada suhu 47.2 oC selama 90
menit, dalam hal ini suhu pusat buah mangga mencapai 46.5 oC (Rokhani et al.,
2000). Perlakuan panas menggunakan uap telah dilakukan pada Mangga Tommy
Atkins dengan suhu 46 oC selama 160, 220, atau 260 menit dan suhu 50 oC
selama 120, 180, atau 240 menit.
Pada umumnya buah-buahan dan sayuran masih toleran dalam air
bersuhu 50-60oC sampai 10 menit, tetapi pada waktu yang lebih singkat telah
dapat membunuh larva-larva penyebab penyakit pada komoditas tersebut.
Menurut Lurie (1998), pencelupan buah-buahan dalam air panas pada suhu 46oC
membutuhkan waktu 90 menit dan perlakuan panas dengan uap panas
menggunakan suhu 40-50oC sudah dapat membunuh telur serangga yang
terinfestasi pada buah dan sayuran. Pencegahan kebusukan akibat jamur dapat
dilakukan dalam hitungan menit pada suhu diatas 50oC (Lurie, 1998).

18
Pada beberapa komoditi, perlakuan panas dapat mempertahankan kadar
gula. Sebagai contoh perlakuan panas dengan air suhu 45 oC selama 3 jam
sebelum penyimpanan dingin terhadap buah melon mencegah kehilangan sukrosa
yang dapat terjadi pada buah yang tidak diberi perlakuan panas selama
penyimpanan. Kecenderungan adanya tekanan panas media telah digunakan
dalam perkembangan perlakuan panas ini untuk mencegah kerusakan komoditi
selama pemberantasan hama penyakit dan jamur penyebab penyakit (Lurie, 1998).

E. Pelilinan
Di tempat-tempat yang tidak terdapat fasilitas-fasilitas penyimpanan
dingin, perlindungan dengan pemberian lapisan lilin merupakan salah satu cara
yang dikembangkan untuk memperpanjang umur simpan buah-buahan dan sayur-
sayuran segar pada suhu sekitar (Dalal dkk., 1971; Srivastava, 1962 di dalam
Pantastico, 1986).
Buah-buahan dan sayur-sayuran pada dasarnya mempunyai selaput lilin
alami di permukaan luar, namun sebagian hilang oleh pencucian. Pemberian
lapisan lilin tambahan perlu diberikan pada buah-buahan dan sayur-sayuran
tertentu untuk mengurangi kehilangan air, dan dengan demikian mengurangi
kelayuan dan pengisutan dan menaikkan daya tarik bagi pembeli (Hardenburg,
1967 di dalam Pantastico, 1986). Lapisan lilin ini dapat menutupi luka-luka dan
goresan-goresan kecil pada permukaan buah atau sayur. Selain itu pemberian
lapisan lilin pada buah dapat memberikan efek mengkilat sehingga penampakan
buah terlihat lebih menarik dan lebih dapat diterima oleh para konsumen
(Pantastico, 1986). Sedangkan menurut Roosmani (1975), buah yang dilapisi oleh
lilin akan tertutupi sebagian stomatanya sehingga dapat mengurangi kehilangan
air, memperlambat proses fisiologis dan mengurangi aktivitas enzim-enzim
pernapasan sehingga proses pematangan terhambat. Dengan kata lain, pelapisan
lilin dapat menekan respirasi dan transpirasi yang terlalu cepat dari buah-buahan
dan sayuran segar, sehingga komoditi tersebut dapat bertahan selama
penyimpanan tanpa perubahan kualitas.
Lilin (wax) adalah ester dari asam lemak berantai panjang dengan
alkohol monohidrat berantai panjang atau sterol (Anonim, 1977 di dalam

19
Firmaningsih, 1993). Lilin alami yang komersial diantaranya adalah lilin lebah,
lilin karnauba, dan spermaceti. Lilin karnauba ini mempunyai titik leleh/cair yang
tinggi (80-87 oC), keras dan kedap air. Lilin ini didapat dari pohon palem
(Copernica cerifera). Spermaceti adalah lilin dari dari kepala ikan paus (Physester
macrocephalus). Lilin ini banyak digunakan dalam industri obat dan komestik.
Lilin lebah merupakan hasil sekresi dari lebah madu (Apis mellificia) atau lebah
lainnya. Lilin ini berwarna kuning terang sampai coklat kehijauan, titik cairnya
61-69 oC dan berat jenisnya 0.96. lilin lebah banyak digunakan untuk pelilinan
hortikultura karena mudah didapat dan murah.
Pelapisan lilin untuk buah-buahan pada umumnya mempergunakan lilin
lebah yang dibuat dalam bentuk emulsi lilin dengan konsentrasi antara 4-12 %.
Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992), lapisan lilin untuk komoditi hortikultura
segar harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu (a) tidak berpengaruh terhadap
bau dan rasa komoditi, (b) tidak beracun, (c) mudah kering dan tidak lengket, (d)
tidak mudah pecah, mengkilap dan licin, dan (e) mudah diperoleh dan murah
harganya. Sedangkan persyaratan komoditi yang akan dilapisi lilin adalah (a)
komoditi sudah cukup tua, (b) segar, utuh tanpa cacat dan (c) permukaan mulus.

Tabel 7. Konsentrasi emulsi lilin optimal untuk beberapa


komoditas hortikultura
Komoditas Konsentrasi optimum (%)
Pisang raja 9
Pepaya 6
Nanas 6
Mangga Alphonso 6
Jeruk 12
Apel 8
Alpukat 4
Kentang 12
Wortel 12
Cabe 12
Tomat 9
Sumber : Sub Balai Penelitian Hortikultura Pasar Minggu (1987)
di dalam Rike Anggraini (2005).

Pemberian lilin semata-mata tidak dapat mengendalikan pembusukan,


dan bahkan sering menaikkannya, karena dengan lapisan lilin patogen-patogen
terjebak dalam retak-retak dan luka-luka kecil. Lilin sering dikombinasikan

20
dengan fungisida dan bakterisida untuk mengendalikan pembusukan. Fungisida
dapat diberikan bersama dengan pelapisan lilin, diserapkan dalam material
pengemas atau kain keras pembalut, atau dengan cara fumigasi (Pantastico, 1986).
Roosmani (1975) mengatakan ada dua macam penggunaan fungisida pada
pelapisan lilin, yaitu dengan mencelupkan buah-buahan atau sayuran ke dalam
larutan fungisida kemudian baru dicelupkan dalam emulsi lilin, atau jika fungisida
yang digunakan tidak merusak emulsi lilin dapat mencelupkan komoditas
langsung ke dalam emulsi lilin yang telah dicampur dengan fungisida.
Menurut Pantastico (1986) kombinasi lilin dengan suatu zat kimia
ternyata tidak begitu efektif seperti kalau zat-zat kimia itu diberikan secara
terpisah. Sebagai contoh, ubi yang dicelupkan dalam emulsi lilin polietilen nabati
yang dioksidkan, tidak memperoleh keuntungan-keuntungan fisiologik dan
patologik selama penyimpanan, umur simpan buah sukun yang diberi lapisan lilin
secara nyata menjadi lebih pendek, terutama dalam penyimpanan dingin.
Supaya lebih efektif, lilin harus diberikan sebagai lapisan yang merata
dengan ketebalan tertentu. Lapisan lilin yang tipis hanya memberi perlindungan
sedikit terhadap kehilangan air, sedangkan pemberian lilin terlalu banyak akan
dapat menghasilkan atmosfer di dalam komoditi yang mengandung sedikit O2 dan
CO2 banyak, yang dapat menimbulakan kerusakan, bau dan rasa yang
menyimpang dan pembusukan yang lebih banyak (Pantastico, 1986).
Pemberian lapisan lilin dapat dilakukan dengan pembusaan,
penyemprotan, pencelupan atau pengolesan. Pembusaan merupakan cara
pemberian lilin yang terbaik karena cara ini meninggalakn lapisan lilin yang
sangat tipis pada buah setelah air menguap. Penyemprotan cenderung
memboroskan pemakaian lilin, namun lilin dapat diperoleh kembali dalam panci-
panci penangkap. Pencelupan dilakukan dengan membenamkan bauh atau sayuran
dalam tangki pencelupan berisi emulsi lilin selama 30 detik., sedangkan
pengolesan dengan kuas merupakan pemberian lapisan lilin yang efisien
(Pantastico, 1986).

21
F. Asap Cair
Asap merupakan sistem komplek, terdiri dari fase cairan terdisperasi dan
medium gas sebagai pendispersi. Asap cair merupakan suatu campuran larutan
dan dispersi koloid dari uap asap kayu dalam air yang diperoleh dari hasil pirolisa
kayu atau dibuat dari campuran senyawa murni (Maga, 1987).
Asap cair diproduksi dengan cara kondensasi dari pirolisis komponen
kayu. Pirolisis selulosa berlangsung dalam dua tahap, tahap pertama merupakan
reaksi hidrolisis asam yang diikuti dengan dehidrasi untuk menghasilkan glukosa,
tahap kedua adalah pembentukan asam asetat dan homolognya bersama-sama
dengan air serta sejumlah kecil furan dan fenol (Girard, 1992). Hemiselulosa
tersusun dari pentosan (C5H8O4) dan heksosan (C6H10O5) dan rata-rata proporsi
ini tergantung pada spesies kayu. Pirolisis dari pentosan membentuk furfural,
furan, dan turunannya beserta suatu seri yang panjang dari asam karboksilat.
Bersama-sama dengan selulosa pirolisis heksosan membentuk asam asetat dan
homolognya. Dekomposisi hemiselulosa terjadi pada suhu 200o-250o (Girard,
1992). Lignin dalam pirolisis menghasilkan senyawa yang berperan terhadap
aroma asap dari produk-produk hasil pengasapan. Senyawa-senyawa tersebut
adalah fenol dan eter fenolik seperti guaiakol (2 metoksi fenol) dan homolognya
serta turunannya. Fenol diuhasilkan dari dekomposisi lignin yang terjadi pada
suhu 300oC dan berakhir pada suhu 400oC (Girard, 1992).
Asap cair dengan bahan baku tempurung kelapa diproduksi dengan cara
tempurung kelapa dibakar dalam suatu wadah yang tahan terhadap tekanan. Media
pendingin yang digunakan pada kondensor adalah air yang dialirkan melalui pipa
inlet dan keluar dari pipa outlet secara berlawanan terhadap asap yang masuk,
kemudian wadah bahan baku dipanaskan selama satu jam. Asap yang keluar dari
hasil pembakaran tidak sempurna tersebut dialirkan ke kondensor dan
dikondensasikan menjadi asap cair (Hanendyo, 2005).
Asap cair mengandung senyawa-senyawa antara lain metil alkohol, etil
alkohol, asam asetat, formaldehida, asetaldehida, diasetil, fenol, tar dan air. Dalam
penelitian yang dilakukan Tranggono, dkk.(1996) dapat diketahui bahwa asap cair
tempurung kelapa memiliki 7 komponen dominan yaitu fenol, 3-metil-1,2-
siklopentadion, 2-metoksifenol, 2-metoksi-4-metilfenol, 4-etil-2-metoksifenol,

22
2,6-dimetoksifenol, dan 2,5-dimetoksi benzil alkohol, yang larut dalam eter.
Selanjutnya beberapa jenis kayu lain (jati, lamtoro gung, mahoni, kamper,
bangkirai, keruing dan glugu) asap cair yang dihasilkan mengandung asam
(sebagai asam asetat) antara 4.27-11.3%, senyawa fenolat (sebagai fenol) 2.10-
5.13% dan senyawa karbonil (sebagai aseton) 8.56-15.23%. Yulistiani (1997)
mendapatkan data kandungan fenol dalam asap cair tempurung kelapa sebesar
1.28%. Gumanti (2006) mendapatkan data kandungan senyawa kimia dalam asap
cair yaitu fenol sebesar 5.5%, methyl alkoholnya sebesar 0.37% dan total asam
sebesar 7.1%. Sedangkan Zuraida (2007) mendapatkan data kandungan empat
senyawa terbesar dalam asap cair adalah senyawa phenol, , Pyrogallol 1,3-
dimethyl ether sebanyak 15.64%, 2-Methoxy-p-cresol sebanyak 11.53%,
Pyrogallol trimethyl ether sebanyak 8.65%, dan p-Ethylguaicol sebanyak 6.58%.
Selain itu masih banyak senyawa-senyawa fenolik yang teridentifikasi yaitu
Desaspidinol, 3-Methoxy-pyrocatechol, Guaethol, Vanillin, Homopyrocatechol,
m-Xylenol, p-Ethylphenol, Acetosyringone, 2-Ethyl phenol, o-Acetylphenol,
Methoxyeugenol, 4-Methoxy-3-methylphenol, p-Xylenol, rans-Isoeugenol, 2,6-
Dimethoxyphenol, 1,3,5-Xylenol, dan o-Guaiacol.
Senyawa yang paling menentukan aroma asap adalah fenol dengan titik
didih sedang seperti siringol, isoguenol, dan metil guenol, sedang fenol dengan
titik didih rendah seperti guaikol, metil guaiakol, dan etil guaiakol memiliki
aroma yang keras dan tidak enak. Guaiakol memberikan rasa asap, sementara
siringol memberikan aroma asap (Daun, 1979). Senyawa karbonil (aldehid dan
keton) mempunyai pengaruh utama pada warna yang pengaruhnya pada citarasa
kurang menonjol. Warna pada produk asapan terbentuk karena interaksi antara
senyawa karbonil dan gugus amino (Girard, 1992) senyawa karbonil, lakton, uran
juga memegang peranan penting dalam pembentukan citarasa asap. Senyawa ini
meliputi homolog 1,2 asetofuran dan asetofenol dengan aroma manis (sugary) dan
bunga (flowery), juga mengurangi aroma fenol yang terlalu keras (Kim dkk dalam
Girard, 1992). Tetapi keseluruhan flavor asap disebabkan oleh campuran dari
keseluruhan senyawa tersebut (Daun, 1979). Senyawa-senyawa tersebut selain
memberikan konstribusi pada pembentukan aroma dan citarasa juga berperan

23
sebagai pengawet karena daya antimikrobia dan antioksidan dari senyawa asam,
fenol, dan karbonil (Pszczola, 1995).
Keuntungan dari penggunaan asap cair antara lain (1) aman, bebas PAH
(Polisiklik Aromatik Hidrokarbon) karena ada tahap penghilangan benzopiren
dalam pembuatannya, (2) aroma dan warna makanan konsisten karena asap lebih
seragam, produk tidak mengandung lemak, kolesterol ataupun sodium, (3)
aplikasi pada produk seragam, dan memiliki aktifitas antioksidan (oleh fenol), (4)
memiliki aktifitas anti bakteri (oleh fenol dan asam organik).
Asap cair aman digunakan sebagai pengawet alami, antimikroba, maupun
sebagai antioksidan pada bahan pangan, hortikultura ataupun produk olahan
lainnya. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Zuraida (2007)
bahwa nilai LD50 akut (pengamatan 14 hari) dari sampel asap cair lebih besar dari
15000 mg/kg BB. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 74
Tahun 2001 yang menetapkan bahwa suatu zat/senyawa/bahan kimia dengan nilai
LD50 lebih besar dari 15000 mg/kg BB, maka dikategorikan sebagai bahan yang
tidak toksik. Toksisitas didefinisikan sebagai efek berbahaya yang ditimbulkan
oleh suatu zat/bahan/senyawa pada organ yang dijadikan sasaran. Makna LD50
(Median Lethal Dose) sendiri adalah diturunkan secara statistik dari dosis
zat/bahan/senyawa yang menyebabkan kematian hewan uji sebanyak 50%
berdasarkan data pengamatan pada waktu tertentu.
Dari hasil analisa menggunakan GC-MS yang dilakukan oleh Zuraida
(2007) menunjukkan bahwa senyawa PAH termasuk termasuk Benzo(a)pyren
tidak ditemukan pada asap cair. Sedangkan analisa formalin dengan menggunakan
metode spektrofotometer menunjukkan bahwa asap cair tidak mengandung
formaldehyde. Formaldehyde adalah senyawa utama yang terdapat dalam
formalin. Formalin biasa digunakan sebagai antiseptik untuk membunuh bakteri
dan kapang, tetapi formalin dilarang penggunaanya pada bahan pangan
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/MEN.KES/PER/IX/1988
dan tidak termasuk dalam daftar bahan tambahan pangan yang diijinkan oleh
Pemerintah.
Menurut Yuwanti (2005) pada konsentrasi asap cair 7.5% dapat
memperpanjang daya simpan bandeng presto dari 1 haei menjadi 6 hari pada suhu

24
kamar, sedang pada suhu dingin dari 21 hari menjadi 28 hari. Hal ini
menunjukkan bahwa asap cair mampu bertindak sebagai pengawet bandeng presto
karena dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan menghambat oksidasi
lemak. Asap cair juga dapat digunakan sebagai desinfektan untuk memperpanjang
masa simpan buah pisang (Musa paradisiaca L.) konsentrasi asap cair dan suhu
perendaman berpengaruh nyata terhadap susut bobot dan kekerasan pada hari ke-
12, perlakuan terbaik adalah pada konsentrasi asap cair 1% dengan suhu
perendaman 47oC (Wastono, 2006). Selain itu menurut Gumanti (2006), asap cair
dapat digunakan sebagai alternatif bahan pengawet mie basah, yaitu dengan
penambahan asap cair 900 ppm dan 1500 ppm mampu menghasilkan mie dengan
daya tahan yang cukup lama hingga mendekati masa simpan 2 hari (48 jam).

25
III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei 2007 sampai dengan bulan
Agustus 2007. Tempat pelaksanaan penelitian adalah laboratorium Teknik
Pengolahan dan Hasil Pertanian, laboratorium Mikrobiologi Pangan, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor; laboratorium Fitopatologi, Seameo
Biotrop-Tajur; dan laboratorium AP4 (Agricultural Processing Pilot Plants)
Fateta IPB.

B. Bahan dan Alat


1. Bahan
Bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari pepaya
(Carica papaya L.) varietas IPB 3 dengan berat 450-600 gram, panjang 15.0 -
19.0 cm, dan diameter 7.0 – 8.5 cm dengan tingkat kematangan yang seragam.
Buah pepaya diperoleh dari Pusat Penelitian Buah Tropika di Tajur, Bogor. Asap
cair, air untuk perlakuan perendaman dan beberapa bahan kimia seperti NaCl,
media agar (PDA dan PDB) serta alkohol untuk uji total cendawan.

2. Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain rheometer tipe CR-
300 (untuk mengukur kekerasan), refraktometer model N-1 Atago (untuk
mengukur total padatan terlarut), timbangan digital, lemari pendingin
(refrigerator) serta beberapa peralatan tambahan seperti cawan petri, pipet,
erlenmeyer, gelas ukur dll.

C. Prosedur Penelitian
Secara garis besar, penelitian terdiri dari tiga tahap yaitu: (1) Penelitian
tahap I, uji aktifitas cendawan yang bertujuan untuk mengetahui efektifitas asap
cair sebagai disinfektan dengan media agar, dan (2) Penelitian tahap II yaitu
aplikasi asap cair sebagai disinfektan untuk mengatasi serangan penyakit
antraknosa pada buah pepaya selama penyimpanan.

26
1. Uji aktivitas antimikroba asap cair

Uji aktivitas antimikroba asap cair terhadap cendawan penguji


Colletotrichum gloeosporiodes dilakukan menggunakan metode kontak dengan
medium cair (modifikasi Parish dan Davidson 1993): kultur murni cendawan
Colletotrichum gloeosporioides dari agar miring PDA dirontokkan sporanya
menggunakan jarum ose sambil dibilas dengan 10 ml akuades steril. Cendawan
penguji selanjutnya diambil 0.05 ml dan dimasukkan ke dalam 50 ml media PDB
steril secara aseptik, kemudian ditambahkan asap cair yang akan diuji dengan
konsentrasi 0%, 1%, 3%, 5%, 7%, dan 10%, selanjutnya diinkubasi pada
inkubator bergoyang agitasi 150 rpm pada suhu ruang selama 48 jam. Masa sel
cendawan yang tumbuh setelah 48 jam dipisahkan secara penyaringan
menggunakan kertas saring, kemudian dikeringkan dalam oven suhu 100oC
sampai beratnya tetap. Bagan alir penelitian uji aktivitas antimikroba asap cair
dapat dilihat pada Gambar 2.

27
Kultur murni cendawan
Colletotrichum gloeosporioides

Perontokan

Pengenceran

Media agar PDB

Perlakuan disinfektan:
1. Konsentrasi asap cair: 0%, 1%, 3%, 5%,
7%, dan 10%.

Inkubasi pada inkubator bergoyang agitasi


150 rpm pada suhu ruang selama 48 jam.

Penyaringan massa sel cendawan dan


pengeringan dalam dalam oven suhu 100oC .

Gambar 1. Diagram alir penelitian uji aktivitas antimikroba asap cair.

28
2. Penelitian pengaruh asap cair dan pelilinan terhadap mutu pepaya

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh konsentrasi asap cair


dalam menghambat serangan penyakit antraknosa pada buah pepaya selama
penyimpanan. Pengujian asap cair ini dilakukan dengan perlakuan perendaman
dengan konsentrasi asap cair hasil uji aktivitas antimikroba asap cair (tiga
konsentrasi, misal C1, C2, dan C3) selama 30 menit dan perlakuan pelilinan.
Pelaksanaan penelitian ini secara rinci adalah sebagai berikut:
a. Buah pepaya yang telah masak, kemudian disortasi untuk mencari warna
dan tingkat kematangan yang seragam (kematangan 25%) dicuci dengan air
bersih dan dikering-anginkan sampai kering. Pepaya yang digunakan untuk
setiap perlakuan yaitu 3 buah.
b. Sebelum diberi perlakuan, diambil 3 sampel buah pepaya untuk diukur total
padatan terlarut dan kekerasannya pada hari ke-0. Selain itu buah pepaya
sebelum perlakuan ditimbang untuk mengetahui berat awal.
c. Buah pepaya tersebut diberi perlakuan disinfektan dengan konsentrasi asap
cair yang berbeda yaitu C1, C2, dan C3. Selain itu ada kontrol untuk
mengetahui respon buah pepaya tanpa perlakuan. Setiap perlakuan
dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali.
d. Pepaya direndam dalam asap cair selama 30 menit sesuai dengan
konsentrasi asap cair yang digunakan sebagai perlakuan.
e. Buah pepaya yang telah diberi perlakuan tersebut dikering-anginkan atau
ditiriskan kemudian dipisahkan untuk mempermudah dalam pengamatan.
f. Buah pepaya tersebut sebelum disimpan diberi perlakuan pelilinan 6% dan
tanpa pelilinan, bertujuan untuk dilihat pengaruhnya selama penyimpanan
berlangsung.
g. Kemudian pepaya tersebut disimpan pada suhu 100C. Setelah itu dilakukan
pengukuran dan pengamatan mutu buah pepaya setiap 4 hari sekali selama
20 hari. Pengamatan yang dilakukan adalah susut bobot, kekerasan, total
padatan terlarut, total mikroba, pengamatan serangan penyakit secara visual,
uji organoleptik.
Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

29
Buah pepaya

Sortasi

Penimbangan

Perlakuan disinfektan:
2. Konsentrasi distilat asap: C1, C2, C3
3. Lama perendaman: 30 menit
4. Kontrol

Penirisan

Perlakuan pra penyimpanan:


1. pelilinan
2. tanpa pelilinan

Penyimpanan (pada suhu 10oC)

Pengamatan mutu (4 hari sekali) :


1. Susut bobot
2. Kekerasan
3. Total Padatan Terlarut
4. Total Cendawan
5. Pengamatan serangan penyakit secara visual
6. Uji Organoleptik

Gambar 2. Diagram alir penelitian pengaruh asap cair dan pelilinan


terhadap mutu pepaya

30
D. Pengamatan

1. Susut bobot
Pengukuran susut bobot dilakukan dengan menggunakan timbangan
digital. Pengukuran susut bobot dilakukan berdasarkan presentase penurunan
bobot bahan sejak awal penyimpanan (W) sampai akhir penyimpanan (Wa) dan
dinyatakan dalam persen.
Untuk mengukur susut bobot digunakan rumus sebagai berikut :
W − Wa
Susut bobot (%) = x100%
W
Dimana :
W = Bobot bahan awal penyimpanan (gram)
Wa = Bobot bahan akhir penyimpanan (gram)

2. Kekerasan
Kekerasan adalah komponen kualitas dan merupakan indeks kematangan
pada buah-buahan dan sayuran segar. Uji kekerasan diukur berdasarkan tingkat
ketahanan buah terhadap jarum penusuk dari rheometer dengan model CR-300.
Pengujian dilakukan pada bagian pangkal, tengah dan ujung buah. Selama
pengujian buah dipegang dengan tangan agar buah tidak bergeser.

3. Total Padatan Terlarut


Pengukuran total padatan terlarut dilakukan dengan menggunakan
refraktometer model N-1 Atago dalam satuan oBrix. Pengukuran total padatan
dilakukan dengan sampel yang diambil secara acak dengan tiga kali ulangan dan
diukur kadar gulanya selama masa penyimpanan.

4. Total cendawan
Total cendawan merupakan total koloni cendawan setelah masa inkubasi.
Pembuatan media agar dengan pencampuran 39g media agar (PDA) ke dalam satu
liter aquades. Larutan yang terbentuk dipanaskan sambil diaduk sampai mendidih
semua agar terlarut. Sedangkan pembuatan larutan pengencer dilakukan dengan
pencampuran 8.5 NaCl ke dalam 1000 ml aquades. Sterilisasi dilakukan terhadap
larutan agar, larutan pengencer dan alat lainnya yang akan digunakan seperti

31
cawan petri, pipet, gelas ukur dll, dalam autoklaf selama 60 menit. Larutan agar
disimpan dalam pemanas air bersuhu 45oC agar tetap steril dan tidak membeku.
Selanjutnya pembuatan sampel dengan menghancurkan pepaya yang akan
diuji dengan blender kemudian 50 ml cairan pepaya tersebut dicampur bersama
larutan pengencer sebanyak 500 ml sampai larutan menjadi homogen.
Pengenceran dilakukan dengan mengambil 1 ml larutan sampel yang sudah
homogen dengan pipet steril sehingga terbentuk pengenceran 0.1 kemudian
larutan dikocok sampai homogen. Pengenceran dilakukan menurut kebutuhan
penelitian. Pemipetan dilakukan dari masing-masing tabung pengenceran
sebanyak 1 ml larutan sampel dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril dengan
menggunakan pipet steril. Media agar (PDA) ditambahkan ke dalam setiap cawan
petri sebanyak 20 ml dan digoyangkan sampai merata. Digunakan 5 cawan petri
untuk perlakuan pemberian asap cair dengan konsentrasi 1%, 5%, 10 % dan tanpa
perlakuan sebagai kontrol. Cawan petri diinkubasi dengan posisi terbalik dalam
inkubator bersuhu 30oC selama seminggu. Kemudian dilakukan pengamatan
pertumbuhan cendawan pada setiap cawan petri.

5. Pengamatan serangan penyakit secara visual


Serangan penyakit pascapanen pada pepaya secara visual dapat diketahui
dengan mengamati timbulnya bercak-bercak hitam pada kulit buah. Pengamatan
dilakukan tiap 4 hari selama 20 hari.

6. Uji Organoleptik.
Uji organoleptik terhadap rasa, tekstur, aroma, warna kulit, dan daging
buah, yang dilakukan empat hari sekali menggunakan uji hedonik (kesukaan)
dengan skor 1-5. Kriteria penilaiannya adalah (1) sangat tidak suka, (2) tidak suka,
(3) biasa, (4) suka, (5) sangat suka. Pengujian dilakukan pada 10 orang panelis,
jika skala skor penerimaan konsumen kurang dari 2.5 maka pepaya ditolak.

E. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
rancangan acak lengkap dengan model linier aditif. Pada penelitian pendahuluan
(tahap I) rancangan percobaannya terdiri dari satu faktor yaitu konsentrasi asap
cair. Model matematika yang digunakan adalah:

32
Yijk = µ + αi +εij

Dalam hal ini : Yijk = hasil pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ = nilai rataan umum
αi = pengaruh faktor konsentrasi asap cair pada taraf ke-i
εij = galat percobaan perlakuan ke-i ulangan ke-j
Sedangkan untuk penelitian utama (tahap II) rancangan percobaannya
menggunakan dua faktor yaitu konsentrasi asap cair dan perlakuan pelilinan dan
tanpa pelilinan.. Perlakuan yang pertama adalah penambahan asap cair dengan
tiga taraf konsentrasi yakni C1, C2, dan C3. Sedangkan perlakuan kedua adalah
dengan pelilinan dan tanpa pelilinan. Setiap perlakuan diulang tiga kali.

Model matematikanya adalah sebagai berikut:

Yijk = µ + αi + bj + (ab)ij +εijk

Dalam hal ini : Yijk = hasil pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ = nilai rataan umum
αi = pengaruh faktor konsentrasi asap cair pada taraf ke-i
bj = pengaruh faktor pelilinan dan tanpa pelilinan pada taraf
ke-j
(ab)ij = interaksi antara pengaruh faktor konsentrasi asap cair
pada taraf ke-i dengan faktor pelilinan dan tanpa
pelilinan pada taraf ke-j
εij = galat percobaan perlakuan ke-i ulangan ke-

33
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Uji aktivitas antimikroba asap cair

Uji aktivitas antimikroba asap cair terhadap cendawan penguji


Colletotrichum gloeosporioides dilakukan menggunakan metode kontak dengan
medium cair (modifikasi Parish dan Davidson 1993). Hasil uji aktivitas
antimikroba asap cair terhadap cendawan Colletotrichum gloeosporioides
memperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi asap cair maka pertumbuhan
cendawan semakin terhambat (Gambar 3). Konsentrasi yang dicobakan adalah
kontrol, 1%, 3%, 5%, 7%, dan 10%. Gambar 3 memperlihatkan bahwa setelah
kontak selama 48 jam, asap cair konsentrasi 1% telah menghambat pertumbuhan
cendawan yang diujikan. Pada medium cair konsentrasi 1% terlihat bahwa tidak
ada spora dan miselium cendawan yang tumbuh, sehingga pengeringan miselium
dalam oven dan penimbangan tidak perlu dilakukan. Senyawa karbonil dalam
asap cair menyebabkan medium cair berwarna coklat pekat. Semakin tinggi
konsentrasi asap cair menyebabkan semakin pekatnya warna medium cair.

Gambar 3. Aktivitas penghambatan asap cair terhadap


Colletotrichum gloeosporioides.

Dengan metode kontak medium cair, asap cair memberikan pengaruh


nyata dalam menghambat pertumbuhan cendawan karena cendawan langsung
kontak dengan asap cair. Kandungan senyawa asam, fenol, dan karbonil yang
terdapat dalam asap cair memberikan pengaruh yang sangat kuat dalam
menghambat pertumbuhan cendawan Colletotrichum gloeosporioides, karena

34
senyawa-senyawa tersebut mempunyai sifat sebagai antimikroba dan anti oksidan
(Pszczola, 1995).
Dari hasil penelitian ini diambil tiga konsentrasi asap cair yang
memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan cendawan Colletotrichum
gloeosporioides untuk digunakan sebagai disiinfektan dalam penanganan
pascapanen pepaya. Konsentrasi asap cair yang diambil adalah 1%, 5% dan 10%.

B. Pengaruh Konsentrasi Asap Cair Dan Pelilinan Terhadap Mutu Pepaya

Kerusakan produk hortikultura terjadi pada tahap prapanen, panen dan


pascapanen. Kerusakan pada tahap pascapanen dapat terjadi karena beberapa hal
antara lain kerusakan fisik, kerusakan kimiawi, kerusakan biokimia karena terjadi
reaksi dalam bahan yang masih hidup, kerusakan karena jasad renik yang dapat
menyebabkan mutu buah menjadi turun. Kerusakan-kerusakan tersebut
berlangsung selama penyimpanan karena produk hortikultura mengalami proses
metabolisme.
Dalam proses metabolisme, produk akan mengalami berbagai perubahan
fisik dan kimia yang mempengaruhi kualitas buah. Menurut Broto et al. (1991)
sifat-sifat fisik buah pepaya meliputi panjang buah, lingkar buah, bobot buah utuh,
persentase kulit, persentase biji, tebal kulit, tebal daging, dan warna buah. Santoso
dan Purwoko (1995) menyatakan bahwa perubahan-perubahan kimia yang terjadi
diantaranya adalah kandungan Total Padatan Terlarut (TPT), vitamin C,
kemasakan buah, tingkat kelunakan, bobot buah, rasa serta perubahan warna kulit
dan daging buah. Sedangkan menurut Pantastico (1986) selama pematangan, buah
mengalami beberapa perubahan nyata dalam warna, tekstur, bobot, dan bau yang
menunjukkan bahwa terjadi perubahan-perubahan dalam susunannya.
Salah satu alternatif untuk menahan laju penurunan mutu dalam
pascapanen buah-buahan adalah dengan penggunaan asap cair. Asap cair
mengandung berbagai senyawa yang dapat dikelompokkan ke dalam fenol, asam
dan karbonil. Senyawa tersebut mampu bertindak sebagai antimikroba,
antioksidan, pemberi flavor, dan pembentuk warna (Tilgner, 1978; Pszczla, 1995
di dalam Yuwanti, 2005). Karena asap cair mampu bertindak sebagai antimikroba
dan antioksidan maka asap cair dapat berperan sebagai pengawet. Selain itu asap

35
cair dapat digolongkan sebagai pengawet alami (Maga, 1988). Menurut Yuwanti
(2005) asap cair sebagai antimikroba dapat memperpanjang masa simpan produk
dengan mencegah kerusakan akibat aktivitas mikroba perusak dan pembusuk, dan
juga dapat melindungi konsumen dari penyakit karena aktivitas mikroba patogen.
Senyawa yang mendukung sifat antimikroba dan antioksidan dalam asap cair
adalah fenol dan asam.
Perlakuan perbedaan konsentrasi asap cair dan pelilinan terhadap buah
pepaya dilakukan untuk menghambat serangan penyakit antraknosa pada buah
pepaya selama penyimpanan sehingga dapat mempertahankan mutu dan
memperpanjang masa simpan buah pepaya. Analisis parameter mutu pepaya hasil
perlakuan perbedaan konsentrasi asap cair dan pelilinan adalah terhadap susut
bobot, kekerasan, total padatan terlarut, total cendawan, pengamatan hama secara
visual. Susut bobot dan total kapang dipilih berdasarkan nilai rata-rata terendah,
sedangkan kekerasan dipilih berdasarkan nilai rata-rata tertinggi.

1. Susut Bobot
Susut bobot merupakan salah satu faktor yang mengidentifikasi mutu buah
pepaya. Susut bobot sebagian besar terjadi karena transpirasi dan respirasi yang
menyebabkan hilangnya cadangan makanan dan kadar air buah. Kehilangan
substrat dan air itu tidak dapat digantikan sehingga kerusakan buah mulai terjadi
(Santoso dan Purwoko, 1995). Transpirasi pada buah dipengaruhi oleh suhu dan
kelembaban dalam ruang simpan buah (Kartosapoetra, 1989). Menurut Kader
(1992) susut bobot terjadi selama proses penyimpanan menuju pematangan, yaitu
terjadi perubahan fisiokimia berupa penyerapan dan pelepasan air ke lingkungan.
Kehilangan air ini berpengaruh langsung terhadap kerusakan tekstur, kandungan
gizi, kelayuan, dan pengerutan.
Pengamatan susut bobot dilakukan setiap 4 hari sekali selama 20 hari
(Lampiran 1). Nilai susut bobot diukur pada akhir penyimpanan yaitu pada hari
ke-20. Dari hasil pengamatan menunjukkan selama penyimpanan bobot buah
mengalami penurunan untuk semua perlakuan. Hal ini disebabkan karena
terurainya glukosa menjadi CO2 dan air selama proses respirasi. Berkurangnya
kandungan air menimbulkan perubahan pada produk yang disimpan, yaitu
penampakan, tekstur, dan bobotnya (Pantastico, 1986) selain itu juga, penurunan

36
bobot buah pepaya ini dapat juga disebabkan oleh degradasi zat-zat yang terdapat
pada pepaya oleh mikroba yang menyerang pepaya tersebut.
Nilai susut bobot tertinggi terjadi pada perlakuan kontrol tanpa pelilinan
yaitu sebesar 6.87%. Sedangkan nilai susut bobot terendah terjadi pada perlakuan
asap cair dengan konsentrasi 1% dengan pelilinan yaitu sebesar 3.37%. Nilai susut
bobot pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4. Susut bobot
pada semua perlakuan tanpa pelilinan mempunyai nilai yang tinggi, hal ini
disebabkan karena proses transpirasi dan respirasi lebih besar sehingga
menyebabkan berkurangnya kandungan air pada buah. Adanya bekas luka dan
goresan-goresan kecil dapat mempercepat proses transpirasi dan respirasi. Susut
bobot yang rendah disebabkan adanya lapisan lilin yang menutupi stomata, bekas
luka, dan goresan-goresan kecil yang dapat mempercepat proses transpirasi dan
respirasi.

8
Tanpa Pelilinan Pelilinan
7
Susut bobot (gram)

2
1

0
KONT ROL 1% 5% 10%

Konsentrasi asap cair

Gambar 4. Susut bobot pepaya selama penyimpanan


pada suhu 10° C (hari ke-20).

Dari hasil analisis sidik ragam (Lampiran 2), diketahui bahwa perlakuan
pelilinan pada semua hari pengamatan memberikan pengaruh sangat nyata
terhadap susut bobot. Hal ini disebabkan karena lapisan lilin pada kulit buah yang
dapat menghambat proses respirasi dan transpirasi. Demikian juga perlakuan
penambahan konsentrasi asap cair dan interaksi antara konsentrasi asap cair
dengan pelilinan memberikan pengaruh yang nyata terhadap susut bobot.
Berdasarkan uji lanjut Duncan, pada semua hari pengamatan menunjukkan
perlakuan konsentrasi asap cair 1% berbeda nyata terhadap kontrol dan perlakuan
yang lainnya. Peningkatan konsentrasi asap cair tidak disertai dengan peningkatan

37
efektivitas dalam menahan laju peningkatan susut bobot. Hal ini terjadi
kemungkinan besar karena dengan pemberian konsentrasi yang tidak tepat pada
pepaya dapat merusak atau memecah struktur dalam sel buah sehingga
menyebabkan peningkatan susut bobot. Perlakuan terbaik dalam menahan laju
susut bobot adalah penambahan asap cair konsentrasi 1% yaitu 4.0267% (uji
duncan susut bobot hari ke-20).
Dalam penelitian ini, nilai susut bobot cenderung meningkat seiring
dengan bertambahnya umur penyimpanan buah. Dari keseluruhan pengamatan
terhadap susut bobot menunjukkan bahwa pemberian perlakuan konsentrasi asap
cair sebesar 1% dengan pelilinan mempunyai hasil yang optimum.

2. Kekerasan
Penundaan penurunan kekerasan atau penundaan pelunakan adalah salah
satu indikator untuk memperpanjang umur simpan pepaya. Pelunakan terjadi pada
tahap klimakterik, umumnya akibat pemecahan dinding sel dan pelarutan pektin.
Pektin secara umum terdapat di dalam dinding sel primer tanaman khususnya di
sela-sela selulosa dan hemi selulosa. Senyawa pektin juga berfungsi sebagai bahan
perekat antara dinding sel yang satu dengan yang lain. Protopektin merupakan
istilah untuk senyawa-senyawa pektin yang tidak larut, yang banyak terdapat pada
jenis tanaman muda (Winarno, 1997). Enzim-enzim pembentuk pektin pada
lamella tengah yaitu Pektin Methyl Esterase (PME) dan Polygalakturonase (PG)
meningkat aktivitasnya pada waktu buah mengalami pemasakan. Aktivitas enzim
tersebut mengakibatkan pemecahan pektin menjadi senyawa-senyawa lain
(Kartasapoetra, 1989). Proses pemasakan dapat menambah jumlah zat-zat pektin
yang dapat larut dalam air dan mengurangi bagian yang tidak terlarut sehingga
mengakibatkan sel mudah terpisah-pisah. Hal ini dapat mengakibatkan buah
menjadi lunak (Pantastico, 1986).
Pengukuran kekerasan dimulai hari ke-0, selanjutnya dilakukan 4 hari
sekali selama 20 hari. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan Rheometer
tipe CR-300. Hasil pengukuran dapat dilihat pada Lampiran 3. Dari hasil
pengukuran dapat diketahui kekerasan pada semua perlakuan mempunyai
kecenderungan menurun. Menurunnya kekerasan terjadi karena degradasi pektin
yang dikatalis oleh enzim esterase yang menghasilkan asam poligalakturanat

38
bebas dan methanol serta enzim poligalakturonase. Pengurangan ketegangan juga
berhubungan dengan pembentukan pektin yang larut dalam air. Proses respirasi
membutuhkan air yang diambil dari sel sehingga menyebabkan terjadinya
pengurangan air pada sel yang membuat sel kehilangan kekerasannya. Semakin
cepat laju respirasi, maka semakin cepat pula penurunan kekerasannya.
Pada hari ke-0 (sebelum disimpan), rata-rata nilai kekerasan pepaya pada
perlakuan tanpa pelilinan antara lain, pada perlakuan asap cair dengan konsentrasi
1% sebesar 3.63 kgf, konsentrasi 5% sebesar 3.59 kgf, konsentrasi 10% sebesar
3.55 kgf, dan pada kontrol sebesar 4.12 kgf. Sedangkan rata-rata nilai kekerasan
pada perlakuan dengan pelilinan antara lain pada perlakuan asap cair konsentrasi
1% sebesar 3.83 kgf, konsentrasi 5% sebesar 3.59 kgf, konsentrasi 10% sebesar
3.65 kgf, dan pada kontrol sebesar 3.46 kgf. Rata-rata pada pengamatan hari ke-0
sebesar 3.68 kgf. Pada pengamatan hari ke-0 nilai kekerasan pada masing-masing
perlakuan dan kontrol tidak begitu berbeda karena pepaya masih segar (sebelum
disimpan) dan belum banyak mengalami proses respirasi sehingga kekerasan pada
masing-masing perlakuan baik pada pelilinan dan tanpa pelilinan hampir sama.
Pada hari ke-4, rata-rata nilai kekerasan pepaya pada perlakuan tanpa
pelilinan antara lain, pada perlakuan asap cair konsentrasi 1% sebesar 3.31 kgf,
konsentrasi 5% sebesar 3.30 kgf, konsentrasi 10% sebesar 3.25 kgf, dan pada
kontrol sebesar 3.07 kgf. Sedangkan rata-rata nilai kekerasan pada perlakuan
dengan pelilinan antara lain pada konsentrasi 1% sebesar 3.52 kgf, konsentrasi 5%
sebesar 3.59 kgf, konsentrasi 10% sebesar 3.31 kgf, dan pada kontrol sebesar 3.28
kgf. Rata-rata pada pengamatan hari ke-4 sebesar 3.32 kgf (Gambar 11).
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diketahui perlakuan sudah mulai
berpengaruh nyata terhadap kekerasan pepaya pada hari ke-4. Perlakuan
konsentrasi asap cair, perlakuan pelilinan dan interaksi konsentrasi asap cair
dengan pelilinan berpengaruh nyata terhadap kekerasan buah. Menurut uji lanjut
Duncan, asap cair dengan konsentrasi 1% tidak berbeda nyata terhadap asap cair
dengan konsentrasi 5% dan konsentrasi 10% tetapi berbeda nyata terhadap
kontrol.

39
3.60 Tanpa pelilinan Pelilinan

3.50

3.40

Kekerasan (kgf)
3.30

3.20

3.10

3.00

2.90

2.80
Kontrol 1% 5% 10%

Konsentrasi asap cair

Gambar 5. Nilai kekerasan pepaya hari ke-4

Dari Gambar 5 dapat diketahui bahwa pepaya kontrol sudah mulai


melunak dan mempunyai nilai kekerasan yang paling rendah daripada perlakuan
yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan konsentrasi asap cair
ternyata dapat mempertahankan nilai kekerasan pada buah, dengan kata lain asap
cair berfungsi sebagai pengawet. Pepaya dengan perlakuan asap cair konsentrasi
1% dengan pelilinan mempunyai nilai kekerasan tertinggi, dilanjutkan oleh
perlakuan asap cair konsentrasi 5% dengan pelilinan kemudian perlakuan asap
cair konsentrasi 10% dengan pelilinan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
tinggi konsentrasi asap cair, nilai kekerasan tidak akan semakin tinggi.
Pada hari ke-8 rata-rata nilai kekerasan pepaya pada perlakuan tanpa
pelilinan antara lain, perlakuan asap cair pada konsentrasi 1% sebesar 3.10 kgf,
konsentrasi 5% sebesar 2.71 kgf, konsentrasi 10% sebesar 2.69 kgf, dan pada
kontrol sebesar 2.52 kgf. Sedangkan rata-rata nilai kekerasan pada perlakuan
dengan pelilinan antara lain pada perlakuan asap cair dengan konsentrasi 1%
sebesar 3.42 kgf, konsentrasi 5% sebesar 2.94 kgf, konsentrasi 10% sebesar 2.91
kgf, dan pada kontrol sebesar 2.75 kgf. Rata-rata pada pengamatan hari ke-8
sebesar 2.88 kgf. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa
perlakuan konsentrasi, perlakuan pelilinan dan interaksi konsentrasi asap cair
dengan pelilinan berpengaruh nyata terhadap kekerasan pepaya. Pada uji lanjut

40
Duncan, perlakuan asap cair dengan konsentrasi 1% berbeda nyata terhadap
kontrol dan perlakuan konsentrasi asap cair yang lainnya. Perlakuan asap cair
dengan konsentrasi 5%, konsentrasi 10% dan kontrol tidak berbeda nyata.
Pada hari ke-12, rata-rata nilai kekerasan pepaya pada perlakuan tanpa
pelilinan antara lain, pada perlakuan asap cair dengan konsentrasi 1% sebesar 2.37
kgf, konsentrasi 5% sebesar 2.33 kgf, konsentrasi 10% sebesar 1.74 kgf, dan pada
kontrol sebesar 1.39 kgf. Sedangkan rata-rata nilai kekerasan pepaya pada
perlakuan dengan pelilinan antara lain pada konsentrasi 1% sebesar 3.03 kgf,
konsentrasi 5% sebesar 2.59 kgf, konsentrasi 10% sebesar 2.30 kgf, dan pada
kontrol sebesar 1.74 kgf. Rata-rata pada pengamatan hari ke-12 sebesar 2.18 kgf.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa perlakuan konsentrasi,
perlakuan pelilinan dan interaksi konsentrasi asap cair dengan pelilinan
berpengaruh nyata terhadap kekerasan pepaya. Menurut uji lanjut Duncan, kontrol
berbeda nyata terhadap perlakuan konsentrasi 1% dan 5% namun tidak berbeda
nyata dengan perlakuan konsentrasi 10% yang diujikan. Perlakuan konsentrasi 1%
berbeda nyata terhadap kontrol dan perlakuan konsentrasi 10% namun tidak
berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi 5%.
Pada hari ke-16, rata-rata nilai kekerasan pepaya pada perlakuan tanpa
pelilinan antara lain, pada konsentrasi 1% sebesar 1.80 kgf, konsentrasi 5%
sebesar 1.38 kgf, konsentrasi 10% sebesar 1.06 kgf, dan pada kontrol sebesar
0.88 kgf. Sedangkan rata-rata nilai kekerasan pada perlakuan dengan pelilinan
antara lain pada konsentrasi 1% sebesar 2.41 kgf, konsentrasi 5% sebesar 2.05
kgf, konsentrasi 10% sebesar 1.53 kgf, dan pada kontrol sebesar 1.15 kgf. Rata-
rata pada pengamatan hari ke-16 sebesar 1.53 kgf. Berdasarkan hasil analisis sidik
ragam diketahui bahwa perlakuan konsentrasi, perlakuan pelilinan dan interaksi
konsentrasi asap cair dengan pelilinan berpengaruh nyata terhadap kekerasan
pepaya. Pada uji lanjut Duncan, perlakuan konsentrasi 1% berbeda nyata terhadap
kontrol dan perlakuan konsentrasi yang lainnya. Perlakuan konsentrasi 5%
berbeda nyata terhadap kontrol dan konsentrasi yang lainnya. Perlakuan
konsentrasi 10% tidak berbeda nyata terhadap kontrol.
Pada hari ke-20, rata-rata nilai kekerasan pepaya pada perlakuan tanpa
pelilinan antara lain, pada konsentrasi 1% sebesar 1.02 kgf, konsentrasi 5%

41
sebesar 0.81 kgf, konsentrasi 10% sebesar 0.52 kgf, dan pada kontrol sebesar
0.46 kgf. Sedangkan rata-rata nilai kekerasan pepaya pada perlakuan dengan
pelilinan antara lain pada konsentrasi 1% sebesar 1.66 kgf, konsentrasi 5% sebesar
1.15 kgf, konsentrasi 10% sebesar 1.12 kgf, dan pada kontrol sebesar 0.81 kgf.
Rata-rata pada pengamatan hari ke-20 sebesar 0.94 kgf. Berdasarkan hasil analisis
sidik ragam diketahui bahwa perlakuan konsentrasi, perlakuan pelilinan dan
interaksi konsentrasi asap cair dengan pelilinan berpengaruh nyata terhadap
kekerasan pepaya. Pada uji lanjut Duncan, perlakuan konsentrasi 1% berbeda
nyata terhadap kontrol dan perlakuan konsentrasi yang lainnya. Perlakuan
konsentrasi 5% tidak berbeda nyata terhadap konsentrasi 10% namun berbeda
nyata dengan kontrol. Perlakuan konsentrasi 10% tidak berbeda nyata terhadap
kontrol.
Dalam penelitian ini, rata-rata nilai kekerasan pepaya menurun seiring
dengan bertambahnya umur penyimpanan buah. Hal ini terjadi karena pecahnya
protopektin menjadi zat dengan berat molekul yang lebih rendah karena aktivitas
enzim poligalakturonase. Enzim ini menguraikan propektin dengan komponen
utama asam galakturonat sehingga larut dalam air dan mengakibatkan lemahnya
dinding sel dan turunnya daya kohesi yang mengikat satu dengan yang lain.
Turunnya daya kohesi inilah yang menyebabkan buah menjadi lunak. Dari
keseluruhan pengamatan terhadap kekerasan terlihat bahwa pemberian perlakuan
konsentrasi asap cair sebesar 1% dengan pelilinan mempunyai hasil yang paling
optimum.

3. Total Padatan Terlarut

Total padatan terlarut akan meningkat cepat ketika buah mengalami


pematangan dan akan terus menurun seiring lama penyimpanan. Total padatan
terlarut biasanya dindentifikasikan sebagai kandungan gula pada produk, namun
total padatan terlarut sebenarnya adalah kandungan karbohidrat pada produk.
Menurut Kays (1991) karbohidrat terdapat dalam jumlah melimpah dalam
tanaman dan mewakili 50-80% berat kering tanaman. Karbohidrat sederhana
seperti gula sukrosa dan fruktosa merupakan ciri kualitas yang sangat penting
pada berbagai produk pascapanen. Pada buah pepaya dan buah klimakterik
lainnya terjadi perubahan pati menjadi gula yang memberikan rasa manis dan juga

42
berfungsi sebagai prekursor berbagai komponen aroma dan cita rasa. Heddy,
Susanto dan Kurniati (1994) di dalam Kurniati (2004) menambahkan zat yang
termasuk golongan karbohidrat adalah gula, dekstrin, pati, selulosa, hemiselulosa,
pektin, gum, dan beberapa karbohidrat yang lain. Kandungan gula dalam suatu
produk ikut dipengaruhi laju respirasi dari produk yang bersangkutan, dimana
kadar gula akan semakin meningkat apabila laju respirasinya menurun, begitu
sebaliknya.
Dari hasil pengukuran (Lampiran 5) diketahui bahwa pada semua
perlakuan dan kontrol nilai total padatan terlarut cenderung menurun seiring
dengan waktu penyimpanan, namun pada asap cair konsentrasi 1% nilai total
padatan terlarut cenderung konstan. Penurunan nilai total padatan terlarut
disebabkan karena terjadinya hidrolisa pati yang tidak larut dalam air menjadi
gula yang larut dalam air. Pada proses selanjutnya, kadar gula menurun, hal ini
disebabkan karena hidrolisa pati sedikit sedangkan proses respirasi meningkat dan
sintesa asam yang mendegradasi gula juga berjalan terus.
Perubahan total padatan terlarut pada kontrol mengalami peningkatan
sampai hari ke-12 dan kemudian nilainya menurun sampai hari ke-20. Pada
kontrol dengan pelilinan mempunyai rata-rata nilai total padatan terlarut sebesar
12.4oBrix pada hari ke-0 dan selalu meningkat sebesar 12.70° Brix pada hari ke-
12 kemudian mengalami penurunan sampai 10.04°Brix pada hari ke-20.
Sedangkan pada kontrol tanpa pelilinan mempunyai rata-rata nilai total padatan
terlarut sebesar 11.22oBrix pada hari ke-0 dan meningkat sebesar 12.69°Brix pada
hari ke-4 kemudian nilainya menurun sampai 8.38° Brix pada hari ke-20.
Pada hari ke-0 perlakuan asap cair konsentrasi 1% tanpa pelilinan
mempunyai rata-rata nilai total padatan terlarut sebesar 11.64°Brix dan
mengalami kenaikan pada hari ke-4 menjadi 11.83°Brix kemudian menurun pada
hari ke-8 sebesar 11.17°Brix, mengalami kenaikan lagi sebesar 11.91°Brix pada
hari ke-12 dan cenderung menurun hingga hari ke-20 yaitu sebesar 110.84°Brix.
Pada perlakuan konsentrasi 5% tanpa pelilinan dan perlakuan konsentrasi 10%
tanpa pelilinan, rata-rata nilai total padatan terlarut mengalami penurunan selama
proses penyimpanan, yaitu sebesar 11.61°Brix pada hari ke-0 menurun menjadi
9.34°Brix pada hari ke-20 dan sebesar 12.04°Brix pada hari ke-0 menurun

43
menjadi 8.73°Brix pada hari ke-20. Pada perlakuan pelilinan mempunyai
kecenderungan yang hampir sama dengan perlakuan pelilinan. Pada perlakuan
konsentrasi 1% tanpa pelilinan mempunyai rata-rata nilai total padatan terlarut
yang cenderung konstan sampai hari ke-20. Nilai total padatan terlarut awal (hari
ke-0) sebesar 11.71°Brix mengalami kenaikan sampai hari ke-8 menjadi
12.74°Brix dan kemudian bergerak turun sampai hari ke-20 yaitu sebesar
12.32°Brix. Pada perlakuan konsentrasi 5% dengan pelilinan dan perlakuan
konsentrasi 10% dengan pelilinan, rata-rata nilai total padatan terlarut mengalami
penurunan selama proses penyimpanan sama seperti perlakuan konsentrasi tanpa
pelilinan, yaitu sebesar 12.79°Brix pada hari ke-0 menurun menjadi 8.94°Brix
pada hari ke-20 dan sebesar 12.21°Brix pada hari ke-0 menurun menjadi
8.38°Brix pada hari ke-20.
Dari Gambar 6 menunjukkan bahwa perlakuan asap cair konsentrasi 1%
dengan pelilinan memiliki nilai total padatan terlarut terbesar dan perlakuan
konsentrasi 10% dengan pelilinan memiliki nilai total padatan terlarut terkecil.
Hasil optimal yang dicapai oleh perlakuan asap cair konsentrasi 1% bahwa asap
cair mampu mempertahankan nilai total padatan terlarut buah, hal ini
menunjukkan bahwa asap cair dapat memperlambat metabolisme jaringan buah
dan proses pematangannya menjadi lama, selain itu perlakuan konsentrasi asap
cair 1% dapat menghambat aktivitas mikroba sehingga buah dapat bertahan
sampai hari ke-20. Namun semakin tinggi perlakuan konsentrasi asap cair nilai
total padatan terlarutnya semakin rendah. Konsentrasi asap cair yang tinggi tidak
dapat menghambat kematangan dan cenderung mempercepat proses kematangan,
selain itu diduga kandungan senyawa kimia terutama senyawa asam pada asap
cair yang tinggi dapat merusak sel-sel dalam buah sehingga mempercepat
kebusukan buah. Selain itu dalam Gambar 6. menunjukkan bahwa pada perlakuan
dengan pelilinan mempunyai nilai total padatan terlarut yang lebih tinggi
dibanding perlakuan tanpa pelilinan untuk semua perlakuan konsentrasi asap cair
dan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan lapisan lilin pada
pepaya dapat menekan laju peningkatan total padatan terlarut, karena stomata
pada kulit pepaya tertutup sehingga proses respirasi dan transpirasi berkurang dan
menghambat proses pematangan buah.

44
Total padatan Terlarut (Brix
14.00
tanpa pelilinan
12.00 pelilinan
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
KONTROL 1% 5% 10%
Konsentrasi asap cair

Gambar 6. Nilai Total Padatan Terlarut pepaya hari ke-16

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa perlakuan


konsentrasi, perlakuan pelilinan dan interaksi konsentrasi asap cair dengan
pelilinan berpengaruh nyata terhadap kekerasan pepaya pada tiap hari
pengamatan. Menurut uji lanjut Duncan perlakuan mulai berbeda nyata setelah
hari ke-12 sampai akhir pengamatan (hari ke-20). Pada hari ke-16 nilai total
padatan terlarut pepaya perlakuan asap cair konsentrasi 1% berbeda nyata
terhadap pepaya kontrol dan perlakuan konsentrasi 5% serta perlakuan konsentrasi
10%.

4. Total Cendawan
Pengamatan total cendawan dilakukan pada hari ke-0 dengan tujuan untuk
mengetahui pertumbuhan cendawan pada awal penyimpanan pepaya dengan
memberikan perlakuan konsentrasi asap cair dan pelilinan. Selain itu pengamatan
cendawan dilakukan pada hari ke-14 di mana serangan cendawan pada pepaya
yang diberi perlakuan mulai terlihat.
Asap cair tempurung kelapa diketahui mengandung senyawa antimikroba
seperti fenol, yaitu senyawa yang menghambat pertumbuhan mikroba termasuk
cendawan. Fenol merupakan monoterpen yang umum digunakan sebagai
antiseptik. Beberapa terpen yang lain, yang mempunyai struktur sikloheksana
dengan gugus hidroksil serta tambahan gugus lainnya, juga memiliki sifat yang
sama dalam menghambat pertumbuhan cendawan, khamir, maupun bakteri.
(Wagner dan wof, 1997 di dalam Wastono, 2006).

45
Mekanisme senyawa fenol dalam membunuh mikroba adalah reaksi antara
asam fenoleat dengan protein. Pada kondisi enzimatis dengan adanya enzim
fenolase yang bekerja secara alami pada pH netral, asam fenoleat dioksidasi
menjadi kunion yang dapat bereaksi dengan lisin dari protein yang menyebabkan
protein tersebut tidak dapat digunakan secara biologis (Hurrel, 1984).

Tabel 8. Hasil pengujian Total kapang pada hari ke-0


Perlakuan Populasi Colletrotichum golesporioides
(koloni/g bobot basah)
Pelilinan Konsentrasi Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Asap cair
(%)
Pelilinan Kontrol 100 7 54
1 0 0 0
5 8667 0 4334
10 0 0 0
Tanpa Kontrol 0 3 2
pelilinan 1 0 0 0
5 0 0 0
10 0 0 0

Tabel 9. Hasil pengujian Total kapang pada hari ke-14


Perlakuan Populasi Colletrotichum golesporioides
(koloni/g bobot basah)
Pelilinan Konsentrasi Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Asap cair
(%)
Pelilinan Kontrol 367 467 417
1 8000 4333 6167
5 50000 13333 31667
10 223333 1000 112167
Tanpa Kontrol 667 1267 967
pelilinan 1 67 0 34
5 2000 10667 6334
10 56667 600 28634

Pepaya yang diuji harus melewati tahapan inkubasi selama 7 hari, hal ini
bertujuan untuk memudahkan pengamatan karena pada cendawan sudah mulai
tumbuh dan berspora dalam media Agar. Berdasarkan data pada Tabel 8 dapat
diketahui bahwa rata-rata pada perlakuan konsentrasi asap cair 5% dengan

46
pelilinan mempunyai nilai total cendawan tertinggi yaitu 4334 koloni cendawan.
Sedangkan kontrol dengan pelilinan hanya 54 koloni cendawan. Hal ini terjadi
kemungkinan besar karena pepaya yang diuji tersebut telah menunjukkan adanya
serangan laten oleh Colletrotichum golesporioides dibandingkan dengan yang
lainnya. Serangan laten ini terjadi pada saat buah masih berada di pohon, pada
saat itu patogen Colletotrichum gloeosporioides bertahan dalam kondisi dorman
dan dapat berkembang setelah jaringan pepaya menjadi lemah karena proses
penuaan karena Colletotrichum gloeosporioides adalah parasit yang kuat
(Stanghellini dan Aragaki, 1966 di dalam Pantastico, 1986; Prabawati et al., 1991
di dalam Hutari, 2005).

Pengujian total cendawan pada hari ke-0 belum dapat mengetahui


efektifitas asap cair dalam menghambat pertumbuhan cendawan Colletotrichum
gloeosporioides karena secara visual serangan cendawan belum terlihat. Hal ini
terjadi karena buah pepaya masih belum matang. Menurut Broto et al. (1994)
patogen Colletotrichum gloeosporioides akan berkembang setelah buah menjadi
matang atau mencapai fase klimakterik. Sedangkan perlakuan pelilinan dan tanpa
pelilinan tidak menunjukkan pengaruh pada hasil uji total cendawan tersebut
karena pepaya diuji pada hari ke-0 dimana pepaya belum mengalami proses
penyimpanan.
Oleh karena itu dilakukan pengujian total cendawan yang kedua yaitu pada
hari ke-14 pada saat buah pepaya telah menunjukkan gejala serangan antraknosa.
Dari hasil uji total cendawan pada hari ke-14 diketahui bahwa rata-rata koloni
cendawan tertinggi yaitu pada perlakuan konsentrasi asap cair 10% dengan
pelilinan sebanyak 11,2167 koloni cendawan dan terendah yaitu pada perlakuan
konsentrasi asap cair 1% tanpa pelilinan sebanyak 34 koloni cendawan. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi asap cair tidak diiringi pula
dengan semakin tinggi efektifitasnya dalam menghambat pertumbuhan cendawan.
Konsentrasi asap cair 1% merupakan konsentrasi yang paling optimal dalam
menghambat cendawan Colletotrichum gloeosporioides pada pepaya. Hasil ini
mengacu pada hasil uji aktivitas cendawan dengan metode kontak yang dilakukan
pada awal penelitian, bahwa dengan penambahan asap cair dengan konsentrasi
sebesar 1% sudah dapat menghambat pertumbuhan cendawan.

47
Dari keseluruhan rata-rata hasil pengujian total cendawan pada hari ke-14
menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi asap cair tidak memberikan pengaruh
yang nyata bila diikuti dengan perlakuan pelilinan dalam proses penghambatan
pertumbuhan cendawan. Perlakuan konsentrasi asap cair dan pelilinan akan lebih
berpengaruh nyata bila keduanya diberikan secara terpisah. Hal ini terjadi
kemungkinan besar karena terjadi reaksi kimia antara senyawa-sentawa dalam
asap cair dengan senyawa pada lilin yang mengakibatkan rusaknya jaringan pada
buah pepaya sehingga mempercepat proses pembusukan. Menurut Pantastico
(1986) kombinasi lilin dengan suatu zat kimia ternyata tidak begitu efektif seperti
kalau zat-zat kimia itu diberikan secara terpisah. Sebagai contoh, ubi yang
dicelupkan dalam emulsi lilin polietilen nabati yang dioksidkan, tidak
memperoleh keuntungan-keuntungan fisiologik dan patologik selama
penyimpanan, umur simpan buah sukun yang diberi lapisan lilin secara nyata
menjadi lebih pendek, terutama dalam penyimpanan dingin. Hasil uji total
cendawan pada hari ke-14 disajikan pada Tabel 9.

Gambar 7. Hasil Uji Total Cendawan pada media PDA pada hari ke-0

48
Gambar 8. Hasil Uji Total Cendawan pada media PDA pada hari ke-14

5. Pengamatan Serangan Penyakit secara Visual


Pengamatan serangan penyakit secara visual dilakukan setiap hari selama
20 hari setelah perlakuan. Tujuan dari pengamatan ini adalah mengetahui seberapa
efektif perlakuan konsentrasi asap cair dan pelilinan yang dibandingkan dengan
kontrol terhadap serangan penyakit selama penyinpanan. Parameter yang diamati
adalah timbulnya bercak-bercak kecil berwarna coklat kehitaman pada buah yang
diduga merupakan gejala serangan penyakit antraknosa. Penyakit ini disebabkan
oleh cendawan Colletrotichum gloeosporioides (Penz) Sacc. Gejala serangan
penyakit ini tampak pada buah menjelang masak yang berupa bulatan-bulatan
kecil berwarna gelap. Bila buah bertambah masak, bulatan-bulatan tadi semakin
besar dan busuk cekung kearah dalam buah. Menurut Kalie (1999) bila infeksi
sampai pada daging buah bagian dalam, maka buah menjadi busuk bonyok
dengan rasa pahit. Saat buah masih mentah gejala serangan cendawan ini tampak
berbentuk luka kecil ditandai oleh adanya getah yang keluar dan mengental. Luka
ini tetap kecil selama buah masih mentah.
Pengamatan yang dilakukan pada awal penyimpanan sampai hari ke-5
belum menunjukkan adanya serangan penyakit antraknosa. Kondisi pepaya yang
diberi perlakuan konsentrasi asap cair dan pelilinan masih segar berwarna hijau
kekuningan, persentase kematangan buah masih belum berubah dari kematangan
awal saat panen yaitu sebesar 25-30%. Namun pada kontrol tanpa pelilinan

49
mengalami peningkatan kematangan sampai 40% pada akhir hari ke-4, hal ini
ditunjukkan dengan adanya semburat kuning yang cenderung menyebar lebih
cepat dibandingkan dengan pepaya yang diberi perlakuan konsentrasi asap cair
dan pelilinan. Sedangkan pada kontrol dengan pelilinan, pepaya mulai menguning
pada hari ke-4 dan perubahan kematangannya tidak secepat kontrol tanpa
pelilinan tetapi persentase kematangan yang terjadi lebih tinggi dari pada pepaya
yang diberi perlakuan asap cair dan pelilinan.
Serangan penyakit mulai terlihat pada hari ke-6 yaitu pada kontrol tanpa
pelilinan. Gejala yang terjadi adalah adanya getah yang keluar dan mengental
pada buah, selain itu mulai terlihat adanya bercak-bercak kecil berwarna coklat
kehitaman. Hal ini terjadi pula pada kontrol dengan pelilinan, namun gejala yang
terlihat tidak sebanyak pada kontrol tanpa pelilinan. Keadaan ini semakin buruk
seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Sedangkan pada pepaya yang
diberi perlakuan asap cair dan pelilinan kondisinya tidak jauh berbeda dengan
kondisi awal penyimpanan, masih terlihat segar dan hijau.
Pada hari ke-8 daging pepaya kontrol tanpa pelilinan mulai lunak,
serangan penyakit yang terjadi semakin parah yaitu diameter bercak-bercak kecil
yang berwarna coklat kehitaman mulai membesar dan mulai cekung ke arah
dalam buah. Selain itu pada pangkal buah mulai layu, melunak dan berubah warna
menjadi kecoklatan, hal ini menunjukkan adanya serangan penyakit busuk
pangkal rhizopus. Keadaan ini berlangsung terus sampai penyimpanan pada hari
ke-12, dan cekungan yang terjadi semakin dalam serta diameter bercak hitam
yang semakin luas mencapai 3 cm. Selain itu pada kulit buah menjadi keriput dan
daging buah semakin lunak, penampakkan kontrol pada hari ke-12 ini sudah tidak
menarik. Gejala-gejala tersebut juga terjadi pada kontrol dengan pelilinan namun
tidak separah pada kontrol dengan pelilinan. Pengamatan untuk kontrol tanpa
pelilian dihentikan pada hari ke-13 karena serangan penyakit sudah mencapai
90% lebih, ditandai dengan meluasnya area hitam dengan cekungan yang dalam
pada daging buah mencapai 5 cm. Keadaan fisik buah sudah bonyok dan busuk,
kulitnya keriput, dan pangkal buah yang rusak. Sedangkan kontrol dengan
pelilinan masih bisa bertahan sampai hari ke-15.

50
Pepaya dengan perlakuan konsentrasi asap cair dan pelilinan mulai
menunjukkan gejala serangan penyakit pada hari ke-10. Pepaya dengan perlakuan
asap cair konsentrasi 10% tanpa pelilinan menunjukkan gejala serangan penyakit
yang lebih besar daripada perlakuan yang lainnya. Gejala yang terjadi adalah
keluarnya getah yang mengental dan timbulnya bercak-bercak kecil berwarna
coklat kehitaman yang mulai menyebar ke seluruh permukaan kulit buah. Pada
pangkal buah terlihat perubahan warna dan pangkal menjadi lunak. Kondisi fisik
pepaya dengan perlakuan asap cair konsentrasi 10% tanpa pelilinan semakin
menurun dan kerusakan mencapai puncaknya pada penyimpanan hari ke-16, yaitu
sebesar 75%, gejala kerusakan yang terjadi sama dengan kontrol. Keadaan ini
diikuti oleh pepaya dengan perlakuan konsentrasi 10% dengan pelilinan, pepaya
dengan perlakuan konsentrasi 5% tanpa pelilinan, pepaya dengan perlakuan
konsentrasi 5% dengan pelilinan, pepaya dengan perlakuan konsentrasi 1% tanpa
pelilinan dengan kerusakan mencapai 35%-70% pada hari ke-18. Sedangkan
pepaya dengan perlakuan konsentrasi 1% dengan pelilinan mampu bertahan
sampai hari ke-20 dengan kerusakan tidak lebih dari 10%. Dari pengamatan ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi asap cair tidak memberikan hasil
yang lebih baik, justru penambahan konsentrasi asap cair yang berlebihan dapat
merusak buah secara fisik karena sel-sel yang terdapat dalam buah tidak mampu
mengadaptasi tingginya kandungan fenol dari asap cair tersebut. Perubahan
visualisasi pada pepaya selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 9.

51
0% 1% 0% 1%

5% 10% 5% 10%

Awal Penyimpanan Akhir Penyimpanan


(hari ke-0) (hari ke-20)

Gambar 9. Perubahan visualisasi pepaya selama penyimpanan

6. Uji Organoleptik
a. Warna Kulit
Warna adalah indikator pertama yang digunakan konsumen dalam
menentukan kematangan buah. Oleh karena itu, perubahan warna selama
penyimpanan buah menjadi faktor yang penting. Perubahan kulit buah terjadi
karena kulit buah kehilangan klorofilnya dan terjadi sintesis karotenoid dan
antosianin selama proses pemasakan buah (Kays, 1991). Menurut Kader (1985) di
dalam Kurniati (2004) terdapat enam tingkatan perubahan warna kulit pepaya,
yaitu : (1) Hijau penuh. (2) Hijau dengan garis-garis kuning. (3) 50% hijau dan
50% kuning. (4) Lebih banyak kuning daripada hijau. (5) Kuning dengan garis-
garis hijau. (6) Kuning penuh.
Penilaian panelis terhadap warna kulit buah pepaya pada hari ke-0
(sebelum penyimpanan) yaitu berkisar antara 2.06-3.11, pada hari ke-4 yaitu
berkisar antara 2.94-4.08, pada hari ke-8 yaitu berkisar antara 2.88-3.78, pada hari

52
ke-12 yaitu berkisar antara 3.35-4.46, pada hari ke-16 yaitu berkisar antara 2.19-
4.28 dan pada akhir penyimpanan (hari ke-20) yaitu berkisar antara 1.33-4.22.
Rendahnya penilaian panelis pada hari ke-0 terjadi karena warna kulit buah masih
hijau segar dengan tingkat kematangan 25%-30%. Penilaian warna kulit tertinggi
terjadi pada hari ke-12 yaitu pada pepaya kontrol dengan pelilinan yaitu sebesar
4.46 (Lampiran 7).
Pada Gambar 10 menunjukkan bahwa pepaya dengan perlakuan asap cair
konsentrasi 10% mempunyai nilai yang paling rendah dibandingkan dengan
kontrol dan perlakuan konsentrasi asap cair lainnya yaitu sebesar 3.44 pada
perlakuan dengan pelilinan dan 3.35 pada perlakuan tanpa pelilinan. Penilaian
panelis terhadap warna kulit terendah terjadi pada hari ke-20 yaitu kontrol tanpa
pelilinan dengan nilai sebesar 1.33. Pada akhir penyimpanan ini pepaya kontrol
baik dengan pelilinan maupun tanpa pelilinan mempunyai penilaian terendah
karena keadaan fisik pepaya sudah rusak akibat serangan cendawan sehingga
penampilan kulit luarnya sudah tidak menarik.
Penilaian terhadap warna kulit buah relatif meningkat seiring dengan
lamanya penyimpanan, karena buah semakin matang dan warna kulitnya semakin
menguning. Dan relatif mulai menurun setelah hari ke-12 karena pada saat ini
kulit pepaya mulai keriput karena kehilangan air dan mulai terserang oleh
cendawan. Pemberian lapisan lilin pada buah tidak menunjukkan pengaruh yang
berarti dalam penilaian panelis.

5.00 PELILINAN
TANPA PELILINAN
4.00
Warna kulit

3.00
2.00

1.00
0.00
1% 5% 10% Kontrol
Konse ntrasi asap cair

Gambar 10. Nilai warna kulit pepaya pada hari ke-12.

53
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam perlakuan konsentrasi asap cair dan
perlakuan pelilian berpengaruh nyata terhadap warna kulit buah. Interaksi
konsentrasi asap cair dengan pelilinan berpengaruh nyata terhadap warna kulit
pepaya (Lampiran 8). Perlakuan konsentrasi asap cair memberikan perubahan
warna pada kulit buah. Pemberian lilin juga dapat memberi kesan mengkilap pada
kulit buah.
Dari uji lanjut Duncan pada Lampiran 12 diketahui bahwa nilai warna
kulit pepaya berdasarkan penilaian panelis mulai berbeda nyata pada hari ke-4 dan
seterusnya. Pada hari ke-0 penilaian panelis terhadap warna kulit pepaya tidak
berbeda nyata, karena pada awal penyimpanan ini kondisi buah pepaya relatif
masih sama dengan tingkat keseragaman 25%-30% dan belum mengalami
perubahan fisik maupun kimia akibat penyimpanan.

b.Warna Daging
Warna daging buah akan lebih disukai oleh panelis seiring dengan proses
pematangan buah. Penilaian panelis terhadap warna daging buah pepaya pada hari
ke-0 (sebelum penyimpanan) yaitu berkisar antara 2.56-3.06, pada hari ke-4 yaitu
berkisar antara 3.28-4.11, pada hari ke-8 yaitu berkisar antara 2.78-4.46, pada hari
ke-12 yaitu berkisar antara 3.12-4.49, pada hari ke-16 yaitu berkisar antara 2.31-
4.44 dan pada hari ke-20 yaitu berkisar antara 1.67-4.67 (Lampiran 7).
Penilaian warna daging tertinggi terjadi pada hari ke-20 (Gambar 11) yaitu
pada pepaya perlakuan konsentrasi asap cair 1% dengan pelilinan yaitu 4.67
diikuti oleh pepaya dengan perlakuan konsentrasi 1% tanpa pelilinan yaitu sebesar
4.27. Sedangkan penilaian warna daging terendah terjadi pada kontrol tanpa
pelilinan yaitu sebesar 1.67. Rendahnya penilaian panelis terhadap kontrol tanpa
pelilinan tersebut terjadi karena daging buah terlihat sudah bonyok dan berair
akibat serangan cendawan sehingga penampakannya tidak menarik meskipun
buah berwarna jingga kemerahan. Semakin tinggi konsentrasi asap cair yang
diberikan tidak memberikan hasil yang semakin baik, justru pada konsentrasi asap
cair 10% pepaya memiliki penilaian yang relatif lebih rendah dari kontrol. Hal ini
disebabkan karena pepaya tidak dapat mengadaptasi tingginya kandungan
senyawa kimia pada asap cair (fenol, asam, karbonil) sehingga senyawa-senyawa
tersebut cenderung merusak jaringan dalam buah pepaya dan memberikan efek

54
pada perubahan warna daging buah pepaya meskipun sedikit. Perubahan warna ini
terjadi karena senyawa karbonil berinteraksi dengan kandungan protein dalam
buah pepaya.

5.00
PELILINAN TANPA PELILINAN
4.00
Warna daging
3.00

2.00
1.00

0.00
1% 5% 10% Kontrol
Konse ntrasi asap cair

Gambar 11. Nilai warna daging pepaya pada hari ke-20.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam perlakuan konsentrasi asap cair dan
perlakuan pelilian berpengaruh nyata terhadap warna daging buah. Interaksi
konsentrasi asap cair dengan pelilinan berpengaruh nyata terhadap warna daging
pepaya (Lampiran 9). Perlakuan konsentrasi asap cair memberikan pengaruh pada
perubahan warna pada daging buah. Dalam hal ini asap cair mempunyai peranan
sebagai pengawet yang dapat mempertahankan mutu buah namun dengan
konsentrasi yang tepat. Pemberian lilin pada buah pepaya juga dapat
mempertahankan mutu buah karena dapat menutupi stomata sehingga proses
respirasi dan transpirasi berjalan lambat, selain itu juga dapat menutupi luka dan
goresan yang dapat menimbulkan serangan cendawan. Pelilinan terbukti
memberikan perlindungan terhadap buah dari kerusakan. Pepaya yang tidak diberi
pelilinan mengalami kerusakan lebih awal sehingga kulit dan daging buah tidak
diterima konsumen.
Dari uji lanjut Duncan pada Lampiran 13 diketahui bahwa nilai warna
daging pepaya berdasarkan penilaian panelis mulai berbeda nyata pada hari ke-4
dan seterusnya. Pada hari ke-4 pepaya kontrol berbeda nyata terhadap pepaya
dengan perlakuan konsentrasi asap cair 5% dan 10%, namun tidak berbeda nyata
terhadap pepaya dengan perlakuan konsentrasi asap cair 1%.

55
c. Aroma
Penilaian panelis terhadap aroma buah pepaya pada hari ke-0 (sebelum
penyimpanan) yaitu berkisar antara 2.28-3.42, pada hari ke-4 yaitu berkisar antara
2.37-3.50, pada hari ke-8 yaitu berkisar antara 2.01-3.56, pada hari ke-12 yaitu
berkisar antara 1.67-3.36, pada hari ke-16 yaitu berkisar antara 1.34-3.73 dan pada
hari ke-20 yaitu berkisar antara 1.23-3.78 (Lampiran 7).
Penilaian aroma tertinggi terjadi pada hari ke-20 (Gambar 12) yaitu pada
pepaya perlakuan konsentrasi asap cair 1% tanpa pelilinan yaitu 3.78 diikuti oleh
pepaya dengan perlakuan konsentrasi 1% dengan pelilinan yaitu sebesar 3.56.
Sedangkan penilaian aroma terendah terjadi pada perlakuan konsentrasi asap cair
10% tanpa pelilinan yaitu sebesar 1.23. Rendahnya penilaian panelis terhadap
perlakuan tersebut karena aroma asap yang tajam sehingga mengurangi tingkat
kesukaan panelis bahkan cenderung sangat tidak disukai. Senyawa yang paling
menentukan aroma asap adalah fenol yang memiliki aroma keras dan tidak enak.
Pada konsentrasi asap cair 1% aroma asap tidak tercium sehingga dan tidak
mempengaruhi penilaian panelis terhadap aroma asapnya. Pelapisan lilin tidak
mempengaruhi penilaian karena tidak menimbulkan aroma-aroma tertentu.

4.00
PELILINAN
TANPA PELILINAN
3.00
Aroma

2.00

1.00

0.00
1% 5% 10% Kontrol
Konse ntrasi asap cair

Gambar 12. Nilai aroma pepaya pada hari ke-20.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam perlakuan konsentrasi asap cair dan
perlakuan pelilian berpengaruh nyata terhadap aroma buah. Interaksi konsentrasi
asap cair dengan pelilinan berpengaruh nyata terhadap warna daging pepaya
(Lampiran 10). Perlakuan konsentrasi asap cair memberikan pengaruh pada
perubahan aroma buah. Semakin tinggi konsentrasi asap cair yang diberikan maka

56
aroma asap yang timbul akan semakin tajam. Pepaya dengan aroma asap tidak
akan diterima oleh konsumen.
Dari uji lanjut Duncan pada Lampiran 14 diketahui bahwa nilai aroma
pepaya berdasarkan penilaian panelis sudah berbeda nyata pada hari ke-0 dan
seterusnya pada tiap pengamatan. Pada hari ke-0 pepaya dengan perlakuan
konsentrasi 5% tidak berbeda nyata terhadap pepaya dengan perlakuan
konsentrasi 10% namun keduanya berbeda nyata terhadap pepaya kontrol dan
pepaya dengan perlakuan konsentrasi 1%.

d. Rasa
Pematangan biasanya meningkatkan jumlah gula-gula sederhana yang
memberi rasa manis, penurunan asam-asam organik dan senyawa-senyawa fenolik
yang mengurangi rasa sepet dan masam. Flavor pada buah merupakan kombinasi
rasa (manis, asam, sepet), bau (zat-zat atsiri), dan terasanya pada lidah (pantastico,
1986).
Penilaian panelis terhadap rasa buah pepaya pada hari ke-0 (sebelum
penyimpanan) yaitu berkisar antara 2.11-3.00, pada hari ke-4 yaitu berkisar antara
1.67-3.81, pada hari ke-8 yaitu berkisar antara 1.56-3.87, pada hari ke-12 yaitu
berkisar antara 1.23-4.46, pada hari ke-16 yaitu berkisar antara 1.59-4.58 dan pada
hari ke-20 yaitu berkisar antara 1.25-4.39 (Lampiran 7).
Penilaian rasa tertinggi terjadi pada hari ke-16 (Gambar 13) yaitu pada
pepaya kontrol dengan pelilinan yaitu 4.58. Sedangkan penilaian rasa terendah
terjadi pada hari ke-12 yaitu pada perlakuan konsentrasi asap cair 10% dengan
pelilinan memiliki nilai sebesar 1.23. Pepaya kontrol dengan pelilinan
mendapatkan penilaian yang tinggi karena nilai total padatan terlarut pada pepaya
yang mencapai 11oBrix. Rasa yang manis tersebut sangat disukai oleh panelis.
Pada hari ke-20 penilaian panelis terhadap perlakuan konsentrasi asap cair
10% sangat rendah yaitu 1.33 pada perlakuan dengan pelilinan dan 1.25 pada
perlakuan tanpa pelilinan, panelis tidak menyukai perubahan citarasa asli pepaya
menjadi citarasa asap. Perubahan citarasa asap ini terjadi karena asap cair
mengandung guaiakol. Guaiakol merupakan turunan dari senyawa fenol yang
memberikan rasa asap. Rasa asap pada pepaya mengurangi tingkat kesukaan
panelis bahkan cenderung sangat tidak disukai. Pelapisan lilin mempengaruhi

57
penilaian terhadap rasa pepaya karena dengan pelapisan lilin dapat mengurangi
terjadinya proses metabolisme dalam buah sehingga dapat mempertahankan rasa
asli pepaya.

5.00 PELILINAN

4.00 TANPA PELILINAN

3.00
Rasa
2.00
1.00
0.00
1% 5% 10% Kontrol

Konse ntrasi asap cair

Gambar 13. Nilai rasa pepaya pada hari ke-16.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam perlakuan konsentrasi asap cair dan
perlakuan pelilian berpengaruh nyata terhadap rasa buah. Interaksi konsentrasi
asap cair dengan pelilinan berpengaruh nyata terhadap rasa buah pepaya
(Lampiran 11). Perlakuan konsentrasi asap cair memberikan pengaruh nyata pada
perubahan rasa buah pepaya. Semakin tinggi konsentrasi asap cair yang diberikan
maka citarasa asap yang timbul akan semakin tajam. Pepaya dengan citarasa asap
tidak diterima oleh konsumen.
Dari uji lanjut Duncan pada Lampiran 15 diketahui bahwa nilai rasa
pepaya berdasarkan penilaian panelis sudah berbeda nyata pada hari ke-0 dan
seterusnya pada tiap pengamatan. Pada hari ke-0 pepaya dengan perlakuan
konsentrasi 10% tidak berbeda nyata terhadap pepaya dengan perlakuan
konsentrasi 5% dan berbeda nyata terhadap pepaya kontrol dan pepaya dengan
perlakuan konsentrasi 1%. Pepaya dengan perlakuan konsentrasi 5% tidak
berbeda nyata terhadap pepaya kontrol dan pepaya dengan perlakuan konsentrasi
10% dan berbeda nyata terhadap pepaya dengan perlakuan konsentrasi 1%.
Pepaya dengan perlakuan konsentrasi 1% tidak berbeda nyata terhadap pepaya
kontrol dan berbeda nyata terhadap pepaya dengan perlakuan konsentrasi 5% dan
10%. Sedangkan pepaya kontrol tidak berbeda nyata terhadap pepaya perlakuan
konsentrasi 1% dan konsentrasi 5% serta berbeda nyata terhadap pepaya dengan
perlakuan konsentrasi 10%.

58
V. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Dalam uji aktivitas antimikroba asap cair terhadap cendawan penguji


Colletotrichum gloeosporioides menunjukkan bahwa konsentrasi asap cair 1%
telah membunuh atau menghambat pertumbuhan cendawan.
2. Perlakuan konsentrasi asap cair dan pelilinan pada pepaya memberikan
pengaruh yang nyata terhadap susut bobot, penurunan kekerasan, total padatan
terlarut dan total cendawan.
3. Pelilinan memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju susut bobot,
perubahan nilai kekerasan, perubahan nilai total padatan terlarut. Namun
belum memberikan pengaruh yang nyata pada total cendawan. Pemberian
pelilinan mampu menghambat efek lunak selama penyimpanan.
4. Asap cair konsentrasi 1% dengan pelilinan merupakan perlakuan yang
optimum karena dapat mempertahankan mutu pepaya berdasarkan parameter
mutu susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut, uji total cendawan dan
mampu bertahan terhadap serangan penyakit sampai hari ke-20.
5. Dari hasil organoleptik diketahui bahwa perlakuan konsentrasi asap cair 1%
dengan pelilinan maupun tanpa pelilinan lebih disukai karena rasanya lebih
manis dan tidak beraroma asap daripada perlakuan konsentrasi 5% dan
konsentrasi 10 %.
6. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk penggunaan asap cair sebagai
disinfektan maupun pengawet pada produk hortikultura yang lain dengan
menggunakan parameter mutu yang lebih lengkap seperti laju respirasi, uji
vitamin A, uji dan identifikasi cendawan jenis lainnya.

59
DAFTAR PUSTAKA

Ashari, S. 1995. Hortikultur Aspek Budaya. U-I Press. Jakarta.


Biro Pusat Statistik. 2002. Buletin Perdagangan Luar Negeri Ekspor Juni 2002.
BPS-Jakarta.
Broto, W. Suyanti dan Sjaifullah. 1991. Karakteristik Varietas untuk Standarisasi
Mutu Buah Pepaya (Carica papaya L.). Jurnal Hortikultura 1(2): 41-44.
Darmadji P. 1996. Aktivitas Antibakteri Asap Cair yang Diproduksi dari
Bermacam-macam Limbah Pertanian, Agritech 16(4): 19-22.
Daun R. 1979. Interaction of Wood Smoke Component and Foods. Food tech. 33
(59): 61-71, 83.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. 2001. Produksi Buah-buahan di
Indonesia Tahun 1996-2000.
Firmaningsih, S. 1993. Pengaruh Pelapisan Lilin Terhadap Sifat Fisik Dan Daya
Simpan Biah Pepaya (Carica papaya L.) Jenis Bangkok Selama
Penyimpanan Pada Suhu Kamar Dan Suhu Dingin. Skripsi. Teknik
Pertanian, FATETA, IPB.
Girrad J.P.1992. Smoking in Technology Meat Products. Clermont-Ferrand Ellis
Horwood, New york, USA.P: 165-205.
Gumanti FM. 2006. Kajian Sistem Produksi Destilat Asap Tempurung Kelapa
danPemanfaatannya sebagai Alternatif Bahan Pengawet Mie Basah.
Skripsi. Bogor: Fateta-IPB.
Hanendyo C. 2005. Kinerja Alat Ekstraksi Asap Cair dengan Sistem Kondensasi.
Skripsi. Bogor: FPIK-IPB.
Heddy, S., W.H Susanto dan M.Kurniati. Pengantar Produksi Tanaman dan
Penanganan Pascapanen. PT Raja Grafindo Persada.Jakarta. 245 hal.
Horsfall. J.G. 1956. Principal of Fungicidal Action. Waltham, Mass. USA.
Hurrel, R. F. 1984. Reaction of Food Proteins During Processing and Storage and
Their Nutritional Consequences. Di dalam B. J. F. Hudson (ed).
Developments in Food Proteins. Elsivier applied Science Publisher,
London, New York.
Hutari, S.T. 2005. Pengaruh Lateks Papaya Dan Fungisida Mankozeb Dengan
Kombinasi Perlakuan Suhu Terhadap Perkembangan Penyakit Antraknosa
(Colletotrichum gloeosporioides (Penz) Sacc.) Pada Buah Pepaya IPB-1.
Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB.
Kader, A.A. 1992. Post Harvest Technology Of Horticulture Crops. University Of
California, USA.
Kalie, M.B. 1999. Bertanam papaya. Penebar Swadaya. Jakarta. 120 hal.

60
Kalie, M.B. 1999. Mengatasi Buah Rontok, Busuk, dan Berulat. Penebar
Swadaya. Jakarta. 191 hal.
Karseno, Purnama Darmadji dan Kapti Rahayu. 2001. Daya Hambat Asap Cair
Kayu Karet Terhadap Bakteri Pengkontaminan Lateks dan Ribbed Smoke
Sheet. Agritech 21(1): 10-15.
Kartosapoetra, A. G. 1989. Teknologi Penanganan Pasca Panen. Bina Aksara.
Jakarta. 250 hal.
Kays, S.J. 1991. Postharvest Physiology of Perishable Plant Produces. Van
Nostrand Reinhold. New York. 532 p.
Kurniati. 2004. Pengkajian Umur Petik Dan Kualitas Buah Sepuluh Genotipe
Pepaya Koleksi PKBT.Skripsi. Bogor: Faperta. IPB.
Lurie S. 1998. Review: Postharvest heat treatments. Postharvest Biology and
Technology, 14, 257-69.
Maga, J.A., 1988. Smoke in Food Processing. Boca Raton, Florida.
Muchtadi, T.R., Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU Pangan
dan Gizi-IPB. Bogor.
Noorhakim, I. 1992. Pengaruh Suhu dan Penggunaan Sistem Penyimpanan
Atmosfir Termodifikasi Terhadap Mutu Buah Salak (Tandanan) serta
Penggunaan Fungisida sebagai Penghambat Pertumbuhan Kapang
Penyebab Kerusakan Buah. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi,
Bogor: FATETA-IPB.
Novitaningsih, W. 1993. Analisis Pendinginan Secara Radiasi Untuk
Penyimpanan Komoditi Pertanian. Skripsi. Jurusan Teknik Pertanian.
Bogor: FATETA-IPB.
Nugroho, W. 2002. Pengaruh Pelilinan Terhadap Kualitas dan Daya Simpan Buah
Durian (Duriozibhetinus Murr.) Varietas Rancamaya Pada Suhu Kamar.
Skripsi. Jurusan Teknik Pertanian. Bogor: FATETA-IPB.
Pantastico, E.B. 1986. Fisiologi Pascapanen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-
buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. Terjemahan. Gajah
Mada University Press. Yogyakarata.
Parish ME, and Davidson PM. 1993. Method foe Evaluation. Di dalam Davidson
PM, and Branen AL., (Ed). Antimicrobials in Food. 2nd Ed. Marcel
Dekker. New York.
Peraturan Pemerintah RI No. 74 Tahun 2001 Jo. Peraturan Pemerintah RI No. 85
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3. Jakarta.
PKBT. 2003. Riset Unggulan Strategis Nasional. Pengembangan Buah Unggulan
Indonesia. Pepaya. Pusat Kajian Buah Tropika. LP2M-IPB. 5 hal.
Prabawati, S., Sjaifullah, dan Dwi Amiarsi. 1991. Cendawan Penyebab Kerusakan
Buah Pepaya Selama Penyimpanan dan Pemasaran serta Pengendaliannya.
J. Hort 1(3): 47-53.

61
Pszcola DE. 1995. Tour Highlights Production and Uses of Smoke House Base
Flavors. J. Food Tech. (49): 70-74.
Rieke, A. 2005. Pengaruh Perlakuan Panas dan Pelilinan Terhadap Laju Produksi
dan Mutu alpukat (Persea americana, Mill). Skripsi. Departemen Teknik
pertanian. Bogor: FATETA-IPB.
Rismunandar. 1981. Bertanam Pepaya. Terate. Bandung.
Risnawati, Nina. 1993. Pengaruh Iradiasi Terhadap Mutu Udang Beku Selama
Penyimpanan. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Bogor:
FATETA, IPB.
Rokhani H., S. Kawasaki, T. Kojima and T. Akinaga. 2001. Effect of heat
treatments on respiration and quality of ‘Irwin’ mango. The Journal of the
Society of Agric. Structures, Japan, 32, 59-67.
Roosmani, A. B. 1975. Percobaan Pendahuluan Pelapisan Lilin Terhadap Buah-
Buahan dan Sayuran. Buletin Penelitian Hortikultura III (2) : 17-21.
Lembaga Penelitian Hortikultura. Pasar Minggu, Jakarta. Di dalam
Toemadi, H. W. 1982. Percobaan Pelapisan Lilin Berfungisida Pada Buah
Pisang Raja (Musa paradisiaca L.) Skripsi. Bogor: Departemen Teknik
Pertanian. IPB.
Santoso, B.B dan B.S purwoko. 1995. Fisiologi Dan Teknologi Pascapanen
Tanaman Hortikultura. Indonesia Australia Eastern University Project.
Jakarta. 187 hal.
Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura Di Indonesia.
Gajah Mada Press, Yogyakarta
Standar Nasional Indonesia. SNI-01-4230-1996. Pepaya malang segar.
Tranggono, Suhardi, Bambang S., Darmadji P., Supranto dan Sudarmanto. 1996.
Identifikasi Asap Cair dari Berbagai Jenis Kayu dan Tempurung Kelapa. J.
Ilmu dan Teknologi Pangan. 1(2): 15-24.
Yulistiani R. 1997. Kemampuan Penghambatan Asap Cair terhadap Pertumbuhan
Bakteri Patogen dan Perusak pada Lidah Sapi. Tesis. Yogyakarta: Program
Studi Ilmu dan Teknologi Pangan-Pascasarjana UGM.
Yuwanti, S. 2005. Asap Cair Sebagai Pengawet Alami Pada Bandeng Presto.
Agritech 25(1): 36-40.
Watkins, J.B. 1971. Post Harvest Handling Of Fruits And Vegetables. Sandy
Trout Preservation Research La. Quesland.
Wastono. 2006. Kajian Sistem Produksi Distilat Asap Tempurung Kelapa Dan
Aplikasinya sebagai Disinfektan Untuk Memperpanjang Masa Simpan
Buah Pisang Ambon (Musa paradisica L.). Skripsi. Departemen Teknik
Pertanian, Bogor: FATETA, IPB.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. P.T. Gramedia, Yakarta.
Zuraida, I. 2007. Aplikasi Asap Cair Terhadap Daya Awet Bakso Ikan Patin.
Tesis. Ilmu Pangan, Bogor: FATETA, IPB.

62
LAMPIRAN

63
Lampiran 1. Hasil pengamatan susut bobot selama penyimpanan.

1a Perlakuan tanpa pelilinan

Hari Perlakuan
Konsentrasi 1% Konsentrasi 5% Konsentrasi Kontrol
10%
U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 0.42 0.83 0.84 1.45 1.55 0.84 1.16 1.22 1.37 1.38 1.30 1.17
8 0.98 1.74 1.68 2.61 2.88 1.60 2.09 2.33 2.52 2.24 2.56 2.18
12 1.71 2.98 2.47 3.70 4.27 2.42 3.05 3.43 3.59 3.24 3.85 3.54
16 2.45 4.00 3.30 4.85 5.73 3.28 4.03 4.62 4.68 4.12 5.83 4.62
20 4.20 5.38 4.48 6.30 8.39 4.47 5.40 6.80 6.04 5.57 8.64 6.39

1b. Peningkatan susut bobot pada perlakuan tanpa pelilinan selama penyimpanan.

8
7
6
Susut bobot (%)

KONTROL
5
Konsentrasi1%
4
Konsentrasi 5%
3
Konsentrasi 10%
2
1
0
0 5 10 15 20 25
Hari ke-

1 c. Perlakuan dengan Pelilinan

Hari Perlakuan
Konsentrasi 1% Konsentrasi 5% Konsentrasi Kontrol
10%
U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 0.39 0.68 0.54 0.90 0.72 0.97 0.96 1.03 0.99 1.03 0.96 0.68
8 0.75 1.39 1.02 1.70 1.29 1.70 1.63 1.64 1.79 1.87 1.79 1.20
12 1.27 2.03 1.86 2.49 1.93 2.44 2.30 2.24 2.55 2.78 2.65 1.74
16 2.00 2.84 2.74 3.21 2.61 3.20 2.98 2.90 3.52 3.93 3.39 2.17
20 2.91 3.46 3.73 4.24 3.99 4.51 4.08 3.97 5.44 5.21 4.91 3.07

64
Lampiran 1. Hasil pengamatan susut bobot selama penyimpanan (Lanjutan).

1 d. Peningkatan susut bobot pada perlakuan pelilinan selama penyimpanan.

5
4.5
4
Susut Bobot (%)

3.5 KONTROL
3
Konsentrasi1%
2.5
Konsentrasi 5%
2
1.5 Konsentrasi 10%
1
0.5
0
0 5 10 15 20 25
Hari ke-

65
Lampiran 2. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap susut bobot pada
pepaya selama penyimpanan.

Hari ke-4

Anova
Susut Bobot
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares

Corrected 1.658 7 .237 6.249 .732


Model
Intercept 22.768 1 22.768 600.814 .974
DOSIS 1.029 3 .343 9.049 .629
LILIN .564 1 .564 14.878 .482
DOSIS * LILIN 6.503E-02 3 2.168E-02 .572 .097

Error .606 16 3.790E-02


Total 25.032 24
Corrected 2.264 23
Total
a R Squared = .732 (Adjusted R Squared = .615)

Duncana,b
N Subset
Konsentrasi
a b
1% 6 .617
5% 6 1.072
Kontrol 6 1.087
10% 6 1.120
Sig. 1.000 .692
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b Alpha = .05.

Hari ke-8

Anova
Susut Bobot
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares

Corrected 4.883 7 .698 5.462 .705


Model
Intercept 77.723 1 77.723 608.615 .974
DOSIS 2.333 3 .778 6.090 .533
LILIN 2.428 1 2.428 19.014 .543
DOSIS * LILIN .121 3 4.039E-02 .316 .056

Error 2.043 16 .128


Total 84.649 24
Corrected 6.926 23
Total
a R Squared = .705 (Adjusted R Squared = .576)

66
Lampiran 2. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap susut bobot pada
pepaya selama penyimpanan. (Lanjutan)

Duncana,b
N Subset
Konsentrasi
a b
1% 6 1.260
5% 6 1.965
Kontrol 6 1.973
10% 6 2.000
Sig. 1.000 .871
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b Alpha = .05.

Hari ke-12

Anova
Susut Bobot
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares

Corrected 9.487 7 1.355 5.215 .695


Model
Intercept 173.573 1 173.573 667.965 .977
DOSIS 3.275 3 1.092 4.201 .441
LILIN 5.964 1 5.964 22.952 .589
DOSIS * LILIN .248 3 8.261E-02 .318 .056

Error 4.158 16 .260


Total 187.217 24
Corrected 13.644 23
Total
a R Squared = .695 (Adjusted R Squared = .562)

Duncana,b
N Subset
Konsentrasi
a b
1% 6 2.053
10% 6 2.860
5% 6 2.877
Kontrol 6 2.967
Sig. 1.000 .737
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b Alpha = .05.

67
Lampiran 2. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap susut bobot pada
pepaya selama penyimpanan. (Lanjutan)

Hari ke-16
Anova
Susut Bobot
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares

Corrected 16.080 7 2.297 4.272 .651


Model
Intercept 315.420 1 315.420 586.635 .973
DOSIS 4.520 3 1.507 2.802 .344
LILIN 10.687 1 10.687 19.876 .554
DOSIS * .873 3 .291 .541 .092
LILIN
Error 8.603 16 .538
Total 340.103 24
Corrected 24.683 23
Total
a R Squared = .651 (Adjusted R Squared = .499)

Duncana,b
N Subset
Konsentrasi
a b
1% 6 2.888
10% 6 3.791 3.791
5% 6 3.812 3.812
Kontrol 6 4.010

Sig. .054 .631


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b Alpha = .05.

Hari ke-20
Anova
Susut Bobot
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares

Corrected 31.455 7 4.494 3.783 .623


Model
Intercept 615.741 1 615.741 518.334 .970
DOSIS 9.067 3 3.022 2.544 .323
LILIN 21.165 1 21.165 17.817 .527
DOSIS * LILIN 1.223 3 .408 .343 .060

Error 19.007 16 1.188


Total 666.203 24
Corrected 50.462 23
Total
a R Squared = .623 (Adjusted R Squared = .459)

68
Lampiran 2. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap susut bobot pada
pepaya selama penyimpanan. (Lanjutan)
Duncana,b
N Subset
Konsentrasi
a b
1% 6 4.027

10% 6 5.288 5.288

5% 6 5.315 5.315

Kontrol 6 5.632

Sig. .069 .612


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b Alpha = .05.

69
Lampiran 3. Hasil pengamatan kekerasan selama penyimpanan

3 a. Perlakuan tanpa pelilinan


Hari Perlakuan
Konsentrasi 1% Konsentrasi 5% Konsentrasi Kontrol
10%
U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3
0 3.76 3.59 3.55 3.56 3.74 3.46 3.73 3.42 3.49 3.60 4.00 4.76
4 3.42 3.22 3.28 3.43 3.03 3.44 3.00 3.38 3.37 3.07 3.12 3.03
8 2.98 3.23 3.07 2.73 2.64 2.75 2.55 2.62 2.91 2.57 2.43 2.55
12 2.76 1.86 2.48 1.86 2.48 2.64 1.54 1.66 2.00 0.95 2.36 0.86
16 1.33 1.96 2.12 1.58 1.22 1.33 0.97 1.22 1.00 0.92 0.80 0.91
20 0.76 1.18 1.12 1.06 0.95 0.41 0.57 0.53 0.47 0.41 0.59 0.38

3 b. Penurunan kekerasan pada perlakuan tanpa pelilinan selama penyimpanan.

4.50
4.00
3.50
Kekerasan (kgf)

3.00
KONTROL
2.50 Konsentrasi1%
2.00 Konsentrasi 5%
Konsentrasi 10%
1.50
1.00
0.50
0.00
0 4 8 12 16 20
Hari ke-

3 c. Perlakuan Pelilinan
Hari Perlakuan
Konsentrasi 1% Konsentrasi 5% Konsentrasi Kontrol
10%
U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3
0 3.95 3.88 3.64 3.67 3.59 3.53 3.98 3.36 3.61 3.61 3.49 3.28
4 3.43 3.57 3.57 3.53 3.46 3.47 3.05 3.50 3.39 3.29 3.25 3.31
8 3.39 3.48 3.41 3.06 2.98 2.79 3.02 2.83 2.87 2.87 2.54 2.86
12 3.10 2.86 3.12 2.53 2.47 2.77 2.10 2.70 2.10 1.69 2.55 0.98
16 2.78 2.08 2.35 2.01 2.01 2.11 2.09 1.36 1.14 1.07 1.23 1.17
20 1.30 1.90 1.78 1.43 1.24 0.77 1.19 1.07 1.11 0.59 1.08 0.75

70
Lampiran 3. Hasil pengamatan kekerasan selama penyimpanan (Lanjutan).

3 d. Penurunan kekerasan pada perlakuan dengan pelilinan selama penyimpanan.

4.50
4.00
3.50
Kekerasan (kgf)

3.00
KONTROL
2.50 Konsentrasi1%
2.00 Konsentrasi 5%
Konsentrasi 10%
1.50
1.00

0.50
0.00
0 4 8 12 16 20
Hari ke-

71
Lampiran 4. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekerasan pada
pepaya selama penyimpanan

Hari ke-0

Anova
Kekerasan
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares
Corrected 1.034 7 .148 1.568 .407
Model
Intercept 330.734 1 330.734 3510.859 .995
DOSIS .118 3 3.931E-02 .417 .073
LILIN .194 1 .194 2.064 .114
DOSIS * LILIN .722 3 .241 2.554 .324

Error 1.507 16 9.420E-02


Total 333.276 24
Corrected 2.541 23
Total
a R Squared = .407 (Adjusted R Squared = .147)

Duncan a,b
N Subset
DOSIS a
10% 6 3.599
1% 6 3.728
5% 6 3.729
Kontrol 6 3.792
Sig. .332
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b Alpha = .05.

Hari ke-4

Anova
Kekerasan
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares

Corrected .416 7 5.940E-02 2.659 .538


Model
Intercept 264.051 1 264.051 11820.969 .999
DOSIS .217 3 7.237E-02 3.240 .378
LILIN .175 1 .175 7.814 .328
DOSIS * LILIN 2.414E-02 3 8.048E-03 .360 .063

Error .357 16 2.234E-02


Total 264.824 24
Corrected .773 23
Total
a R Squared = .538 (Adjusted R Squared = .336

72
Lampiran 4. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekerasan pada
pepaya selama penyimpanan. (Lanjutan)

Duncana,b
DOSIS N Subset
a b
Kontrol 6 3.178
10% 6 3.281 3.281
5% 6 3.394
1% 6 3.415
Sig. .249 .160
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b Alpha = .05.

Hari ke-8

Anova
Kekerasan
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares

Corrected 1.110 7 .159 6.560 .742


Model
Intercept 195.168 1 195.168 8070.818 .998
DOSIS .811 3 .270 11.185 .677
LILIN .298 1 .298 12.314 .435
DOSIS * LILIN 1.220E-03 3 4.068E-04 .017 .003

Error .387 16 2.418E-02


Total 196.665 24
Corrected 1.497 23
Total
a R Squared = .742 (Adjusted R Squared = .629)

a,b
Duncan
N Subset
DOSIS
a b
Kontrol 6 2.637
10% 6 2.801
5% 6 2.824

1% 6 3.144
Sig. .064 1.000
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b Alpha = .05.

73
Lampiran 4. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekerasan pada
pepaya selama penyimpanan. (Lanjutan)

Hari ke-12

Anova
Kekerasan
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares
Corrected 5.907 7 .844 3.497 .605
Model
Intercept 114.450 1 114.450 474.355 .967
DOSIS 4.498 3 1.499 6.214 .538
LILIN 1.259 1 1.259 5.218 .246
DOSIS * LILIN .150 3 5.004E-02 .207 .037

Error 3.860 16 .241


Total 124.217 24
Corrected 9.767 23
Total
a R Squared = .605 (Adjusted R Squared = .432)

Duncan
N Subset
DOSIS

a b c
Kontrol 6 1.564
10% 6 2.017 2.017
5% 6 2.457 2.457
1% 6 2.697
Sig. .130 .140 .409
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b Alpha = .05.

Hari ke-16

Anova
Kekerasan
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares

Corrected 5.752 7 .822 10.641 .823


Model
Intercept 56.376 1 56.376 730.008 .979
DOSIS 4.102 3 1.367 17.704 .768
LILIN 1.518 1 1.518 19.662 .551
DOSIS * LILIN .132 3 4.402E-02 .570 .097

Error 1.236 16 7.723E-02


Total 63.363 24
Corrected 6.988 23
Total
a R Squared = .823 (Adjusted R Squared = .746)

74
Lampiran 4. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekerasan pada
pepaya selama penyimpanan. (Lanjutan)

a,b
Duncan
N Subset
Konsentra
si
a b c
Kontrol 6 1.015

10% 6 1.297

5% 6 1.713

1% 6 2.105

Sig. .084 1.000 1.000


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b Alpha = .05.

Hari ke-20

Anova
Kekerasan
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares

Corrected 3.114 7 .445 7.514 .767


Model
Intercept 21.382 1 21.382 361.203 .958
DOSIS 1.609 3 .536 9.058 .629
LILIN 1.389 1 1.389 23.461 .595
DOSIS * .116 3 3.873E-02 .654 .109
LILIN
Error .947 16 5.920E-02
Total 25.443 24
Corrected 4.061 23
Total
a R Squared = .767 (Adjusted R Squared = .665)

Duncana,b
N Subset
Konsentrasi

a b c
Kontrol 6 .636
10% 6 .822 .822
5% 6 .978
1% 6 1.340
Sig. .204 .281 1.000
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b Alpha = .05.

75
Lampiran 5. Hasil pengamatan Total Padatan Terlarut (TPT) selama penyimpanan

5 a. Perlakuan dengan pelilinan

Hari Perlakuan
Konsentrasi 1% Konsentrasi 5% Konsentrasi 10% Kontrol
U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3
0 11.43 11.57 12.13 12.80 12.97 12.60 12.29 12.23 12.12 12.17 12.37 12.67
4 12.13 12.53 12.30 12.33 12.47 12.57 11.37 11.90 12.87 12.83 12.57 12.13
8 12.43 13.20 12.60 12.13 12.47 12.03 11.93 11.40 12.47 13.17 12.60 12.73
12 12.23 12.13 13.33 10.93 11.70 11.97 10.53 11.20 11.47 12.63 12.83 12.70
16 11.93 12.73 12.27 10.17 10.33 9.07 9.97 9.90 10.10 10.6 10.27 9.83
20 12.6 12.33 12.03 10.10 9.73 8.20 8.27 9.10 8.83 10.23 10.1 9.8

5 d. Perubahan total padatan terlarut pada perlakuan pelilinan selama


penyimpanan.

14.00
Total padatan terlarut (Brix)

12.00
10.00 KONTROL
8.00 Konsentrasi1%
6.00 Konsentrasi 5%
4.00 Konsentrasi 10%
2.00
0.00
0 5 10 15 20 25
Perlakuan

5 c. Perlakuan tanpa pelilinan

Hari Perlakuan
Konsentrasi 1% Konsentrasi 5% Konsentrasi 10% Kontrol
U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3
0 11.13 12.20 11.60 11.70 12.27 10.87 11.77 12.00 12.37 11.57 10.37 11.73
4 12.03 12.13 11.33 10.83 12.40 11.37 11.63 11.80 11.83 12.07 12.63 11.87
8 11.30 11.20 11.00 11.70 11.47 11.03 10.47 10.60 11.80 12.13 10.20 12.33
12 11.40 12.67 12.07 10.33 11.23 10.20 10.33 10.17 10.23 12.47 11.27 10.93
16 11.40 11.87 10.67 9.33 9.57 10.23 9.27 9.33 8.73 9.63 9.50 9.60
20 10.67 10.80 11.07 8.90 8.87 9.07 8.60 8.20 8.33 8.70 8.30 8.13

76
Lampiran 5. Hasil pengamatan Total Padatan Terlarut (TPT) selama penyimpanan
(Lanjutan)

5 d. Perubahan total padatan terlarut pada perlakuan tanpa pelilinan selama


penyimpanan.

14.00
Total Padatan terlarut (Brix)

12.00
10.00
KONTROL
8.00 Konsentrasi1%
6.00 Konsentrasi 5%
Konsentrasi 10%
4.00

2.00

0.00
0 4 8 12 16 20
Hari ke-

77
Lampiran 6. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap Total Padatan
terlarut pada pepaya selama penyimpanan

Hari ke-0
Anova
TPT
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares
Corrected 5.337 7 .762 3.648 .615
Model
Intercept 3429.802 1 3429.802 16411.431 .999
DOSIS 1.126 3 .375 1.797 .252
LILIN 2.516 1 2.516 12.038 .429
DOSIS * LILIN 1.695 3 .565 2.703 .336

Error 3.344 16 .209


Total 3438.483 24
Corrected 8.681 23
Total
a R Squared = .615 (Adjusted R Squared = .446)

Duncana,b
N Subset
Konsentrasi a
1% 6 11.677
Kontrol 6 11.811
I10% 6 12.129
5% 6 12.200
Sig. .086
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b Alpha = .05.

Hari ke-4

Anova
TPT
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares
Corrected 2.592 7 .370 1.691 .425
Model
Intercept 3502.532 1 3502.532 16001.273 .999
DOSIS .676 3 .225 1.029 .162
LILIN 1.534 1 1.534 7.010 .305
DOSIS * .382 3 .127 .581 .098
LILIN
Error 3.502 16 .219
Total 3508.626 24
Corrected 6.094 23
Total
a R Squared = .425 (Adjusted R Squared = .174)

78
Lampiran 6. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap Total Padatan
terlarut pada pepaya selama penyimpanan (Lanjutan)

Duncan a,b
N Subset
Konsentrasi a
10% 6 11.900

5% 6 11.995

1% 6 12.078

Kontrol 6 12.350

Sig. .144
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b Alpha = .05.

Hari ke-8
Anova
TPT
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares

Corrected 10.382 7 1.483 4.475 .662


Model
Intercept 3370.132 1 3370.132 10168.624 .998
DOSIS 1.777 3 .592 1.787 .251
LILIN 8.090 1 8.090 24.410 .604
DOSIS * LILIN .515 3 .172 .518 .089

Error 5.303 16 .331


Total 3385.817 24
Corrected 15.685 23
Total
a R Squared = .662 (Adjusted R Squared = .514)

Duncan
N Subset
DOSIS a
10% 6 11.44450

5% 6 11.80556

I1% 6 11.95556

Kontrol 6 12.19433

Sig. .053
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b Alpha = .05.

79
Lampiran 6. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap Total Padatan
terlarut pada pepaya selama penyimpanan (Lanjutan)

Hari ke-12
Anova
TPT
Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Hitung F Tabel
Corrected Model 16.181(a) 7 2.312 8.589 .790
Intercept 3187.039 1 3187.039 11842.529 .999
DOSIS 11.144 3 3.715 13.803 .721
LILIN 4.828 1 4.828 17.940 .529
DOSIS * LILIN .208 3 .069 .258 .046
Error 4.306 16 .269
Total 3207.526 24
Corrected Total 20.487 23
a R Squared = .790 (Adjusted R Squared = .698)

Duncana,b
Subset
DOSIS N 1 2
10% 6 10.65561
5% 6 11.06111
Kontrol 6 12.13883
1% 6 12.23883
Sig. .195 .743
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b Alpha = .05.

Hari ke-16

Anova
TPT
Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Hitung F Tabel
Corrected Model 22.705(a) 7 3.244 16.658 .879
Intercept 2525.609 1 2525.609 12970.926 .999
DOSIS 19.271 3 6.424 32.990 .861
LILIN 2.757 1 2.757 14.161 .470
DOSIS * LILIN .677 3 .226 1.159 .178
Error 3.115 16 .195
Total 2551.429 24
Corrected Total 25.821 23
a R Squared = .879 (Adjusted R Squared = .827)

80
Lampiran 6. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap Total Padatan
terlarut pada pepaya selama penyimpanan (Lanjutan)

Duncan a,b
DOSIS N Subset
a b
10% 6 9.550
5% 6 9.783
Kontrol 6 9.906
1% 6 11.795
Sig. .204 1.000
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b Alpha = .05.

Hari ke-20

Anova

TPT
Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Hitung F Tabel
Corrected Model 40.157(a) 7 5.737 30.479 .930
Intercept 2222.721 1 2222.721 11809.136 .999
DOSIS 32.287 3 10.762 57.179 .915
LILIN 5.702 1 5.702 30.293 .654
DOSIS * LILIN 2.168 3 .723 3.839 .419
Error 3.012 16 .188
Total 2265.889 24
Corrected Total 43.168 23
a R Squared = .930 (Adjusted R Squared = .900)

Duncan a,b
Subset
DOSIS N 1 2 3
10% 6 8.55550
5% 6 9.14450
Kontrol 6 9.21100
1% 6 11.58333
Sig. 1.000 .794 1.000
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b Alpha = .05.

81
Lampiran 7. Hasil uji organoleptik selama penyimpanan.

7 a. Warna kulit
1% 5% 10% Kontrol 1% 5% 10% Kontrol
hari
L L L L TL TL TL TL
0 3.11 2.44 2.67 2.23 2.06 2.83 2.56 2.75
4 3.83 3.17 2.89 3.69 2.83 2.94 3.04 4.08
8 3.78 3.60 3.33 3.23 3.72 2.89 2.88 3.69
12 3.86 4.33 3.44 4.46 3.89 3.89 3.35 3.42
16 4.28 4.17 2.89 3.15 3.17 3.67 3.17 2.19
20 4.22 3.44 2.78 2.06 3.39 3.39 2.78 1.33

7 b. Warna daging buah


1% 5% 10% Kontrol 1% 5% 10% Kontrol
hari
L L L L TL TL TL TL
0 2.56 2.56 3.00 2.82 2.72 3.06 3.00 3.00
4 4.17 3.83 3.36 3.58 3.44 3.28 3.44 4.11
8 2.78 4.46 3.57 3.54 3.44 3.56 3.36 3.48
12 3.92 4.39 3.28 4.73 4.00 4.11 3.12 3.53
16 4.44 4.17 3.21 3.88 3.50 4.22 3.00 2.31
20 4.67 3.19 2.00 2.50 4.17 3.00 1.89 1.67

7 c. Aroma
1% 5% 10% Kontrol 1% 5% 10% Kontrol
hari
L L L L TL TL TL TL
0 2.94 2.56 2.77 2.48 3.00 2.28 2.67 3.42
4 3.50 2.67 2.44 3.11 3.22 2.78 2.37 3.36
8 3.44 3.35 2.63 3.25 3.33 3.22 2.01 3.27
12 3.53 3.11 1.64 3.54 3.33 3.33 1.89 2.92
16 3.39 3.17 1.34 3.42 3.58 3.11 1.50 2.61
20 3.56 2.56 1.23 2.69 3.78 2.44 1.32 1.92

7 d. Rasa
1% 5% 10% Kontrol 1% 5% 10% Kontrol
hari
L L L L TL TL TL TL
0 2.72 2.33 2.33 2.57 2.72 2.28 2.11 3.00
4 3.67 3.17 1.67 3.28 3.33 2.78 1.87 3.81
8 3.44 3.65 1.56 3.87 3.11 2.56 1.67 3.48
12 3.42 3.83 1.23 4.46 3.89 2.67 1.56 3.31
16 4.11 3.67 1.59 4.58 3.39 2.44 1.63 2.08
20 4.39 2.56 1.33 2.44 4.11 2.61 1.25 1.67

Keterangan : L = Pelilinan, TL = Tanpa lilin

82
Lampiran 8. Analisis sidik ragam terhadap uji organoleptik warna kulit pada
pepaya selama penyimpanan.

H-0
Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Hitung F Tabel
Corrected Model 2.375(a) 7 .339 1.614 .414
Intercept 158.775 1 158.775 755.366 .979
DOSIS .069 3 .023 .110 .020
LILIN .012 1 .012 .056 .003
DOSIS * LILIN 2.294 3 .765 3.637 .405
Error 3.363 16 .210
Total 164.513 24
Corrected Total 5.738 23
a R Squared = .414 (Adjusted R Squared = .157)

H-4

Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel


of Squares
Corrected 5.437 7 .777 3.924 .632
Model
Intercept 259.515 1 259.515 1311.152 .988
DOSIS 3.601 3 1.200 6.064 .532
LILIN .163 1 .163 .825 .049
DOSIS * LILIN 1.672 3 .557 2.817 .346
Error 3.167 16 .198
Total 268.119 24
Corrected 8.604 23
Total
a R Squared = .632 (Adjusted R Squared = .471)

H-8

Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel


of Squares
Corrected 5.548 7 .793 28.016 .925
Model
Intercept 271.219 1 271.219 9586.543 .998
DOSIS 2.590 3 .863 30.521 .851
LILIN .608 1 .608 21.491 .573
DOSIS * LILIN 2.350 3 .783 27.685 .838

Error .453 16 2.829E-02


Total 277.220 24
Corrected 6.001 23
Total
a R Squared = .925 (Adjusted R Squared = .892)

83
Lampiran 8. Analisis sidik ragam terhadap uji organoleptik warna kulit pada
pepaya selama penyimpanan (Lanjutan).

H-12
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares
Corrected 3.262 7 .466 5.789 .717
Model
Intercept 350.141 1 350.141 4350.256 .996
DOSIS 1.604 3 .535 6.641 .555
LILIN .753 1 .753 9.351 .369
DOSIS * LILIN .906 3 .302 3.750 .413
Error 1.288 16 8.049E-02
Total 354.691 24
Corrected 4.549 23
Total
a R Squared = .717 (Adjusted R Squared = .593)

H-16
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares
Corrected 10.594 7 1.513 12.717 .848
Model
Intercept 259.187 1 259.187 2177.886 .993
DOSIS 7.402 3 2.467 20.733 .795
LILIN 1.475 1 1.475 12.395 .437
DOSIS * LILIN 1.717 3 .572 4.808 .474
Error 1.904 16 .119
Total 271.684 24
Corrected 12.498 23
Total
a R Squared = .848 (Adjusted R Squared = .781)

H-20
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares
Corrected 15.848 7 2.264 72.437 .969
Model
Intercept 209.214 1 209.214 6693.960 .998
DOSIS 13.208 3 4.403 140.866 .964
LILIN 1.382 1 1.382 44.231 .734
DOSIS * LILIN 1.257 3 .419 13.411 .715
Error .500 16 3.125E-02
Total 225.562 24
Corrected 16.348 23
Total
a R Squared = .969 (Adjusted R Squared = .956)

84
Lampiran 9. Analisis sidik ragam terhadap uji organoleptik warna daging pada
pepaya selama penyimpanan.

H-0
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares
Corrected 1.468 7 .210 1.476 .392
Model
Intercept 183.873 1 183.873 1294.005 .988
DOSIS .389 3 .130 .913 .146
LILIN .663 1 .663 4.668 .226
DOSIS * .415 3 .138 .974 .154
LILIN
Error 2.274 16 .142
Total 187.614 24
Corrected 3.741 23
Total
a R Squared = .392 (Adjusted R Squared = .126)

H-4
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares
Corrected 2.747 7 .392 5.784 .717
Model
Intercept 329.375 1 329.375 4854.749 .997
DOSIS 1.476 3 .492 7.252 .576
LILIN .473 1 .473 6.975 .304
DOSIS * .798 3 .266 3.920 .424
LILIN
Error 1.086 16 6.785E-02
Total 333.207 24
Corrected 3.833 23
Total
a R Squared = .717 (Adjusted R Squared = .593)

H-8
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares

Corrected 11.988 7 1.713 149.087 .985


Model
Intercept 269.809 1 269.809 23487.199 .999
DOSIS 1.697 3 .566 49.254 .902
LILIN 1.349 1 1.349 117.432 .880
DOSIS * 8.942 3 2.981 259.473 .980
LILIN
Error .184 16 1.149E-02
Total 281.982 24
Corrected 12.172 23
Total
a R Squared = .985 (Adjusted R Squared = .978)

85
Lampiran 9. Analisis sidik ragam terhadap uji organoleptik warna daging pada
pepaya selama penyimpanan (Lanjutan).

H-12
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares
Corrected 4.743 7 .678 7.341 .763
Model
Intercept 352.283 1 352.283 3816.722 .996
DOSIS 3.642 3 1.214 13.151 .711
LILIN .502 1 .502 5.436 .254
DOSIS * .600 3 .200 2.166 .289
LILIN
Error 1.477 16 9.230E-02
Total 358.503 24
Corrected 6.220 23
Total
a R Squared = .763 (Adjusted R Squared = .659)

H-16
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares

Corrected 12.339 7 1.763 19.430 .895


Model
Intercept 317.263 1 317.263 3497.133 .995
DOSIS 5.084 3 1.695 18.680 .778
LILIN 3.619 1 3.619 39.895 .714
DOSIS * 3.635 3 1.212 13.358 .715
LILIN
Error 1.452 16 9.072E-02
Total 331.053 24
Corrected 13.790 23
Total
a R Squared = .895 (Adjusted R Squared = .849)

H-20
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares
Corrected 24.486 7 3.498 27.225 .923
Model
Intercept 207.094 1 207.094 1611.834 .990
DOSIS 21.693 3 7.231 56.279 .913
LILIN 1.581 1 1.581 12.306 .435
DOSIS * LILIN 1.212 3 .404 3.144 .371
Error 2.056 16 .128
Total 233.635 24
Corrected 26.541 23
Total
a R Squared = .923 (Adjusted R Squared = .889)

86
Lampiran 10. Analisis sidik ragam terhadap uji organoleptik aroma pada pepaya
selama penyimpanan.

H-0

Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel


of Squares

Corrected 2.733 7 .390 2.552 .528


Model
Intercept 181.335 1 181.335 1185.358 .987
DOSIS 1.230 3 .410 2.681 .334
LILIN .131 1 .131 .853 .051
DOSIS * 1.372 3 .457 2.990 .359
LILIN
Error 2.448 16 .153
Total 186.516 24
Corrected 5.181 23
Total
a R Squared = .528 (Adjusted R Squared = .321)

H-4

Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel


of Squares
Corrected 4.782 7 .683 17.869 .887
Model
Intercept 201.260 1 201.260 5264.578 .997
DOSIS 3.966 3 1.322 34.582 .866
LILIN .220 1 .220 5.766 .265
DOSIS * LILIN .595 3 .198 5.192 .493
Error .612 16 3.823E-02
Total 206.654 24
Corrected 5.394 23
Total
a R Squared = .887 (Adjusted R Squared = .837)

H-8
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares
Corrected 5.964 7 .852 40.920 .947
Model
Intercept 217.142 1 217.142 10429.050 .998
DOSIS 4.659 3 1.553 74.594 .933
LILIN .677 1 .677 32.501 .670
DOSIS * .628 3 .209 10.052 .653
LILIN
Error .333 16 2.082E-02
Total 223.438 24
Corrected 6.297 23
Total
a R Squared = .947 (Adjusted R Squared = .924)

87
Lampiran 10. Analisis sidik ragam terhadap uji organoleptik aroma pada pepaya
selama penyimpanan (Lanjutan)

H-12

Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel


of Squares
Corrected 11.614 7 1.659 28.346 .925
Model
Intercept 203.467 1 203.467 3476.092 .995
DOSIS 10.774 3 3.591 61.355 .920
LILIN 4.507E-02 1 4.507E-02 .770 .046
DOSIS * LILIN .795 3 .265 4.529 .459
Error .937 16 5.853E-02
Total 216.018 24
Corrected 12.551 23
Total
a R Squared = .925 (Adjusted R Squared = .893)

H-16

Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel


of Squares
Corrected 17.855 7 2.551 38.046 .943
Model
Intercept 186.094 1 186.094 2775.792 .994
DOSIS 16.136 3 5.379 80.226 .938
LILIN .165 1 .165 2.461 .133
DOSIS * LILIN 1.554 3 .518 7.727 .592
Error 1.073 16 6.704E-02
Total 205.021 24
Corrected 18.927 23
Total
a R Squared = .943 (Adjusted R Squared = .919)

H-20

Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel


of Squares
Corrected 19.056 7 2.722 36.835 .942
Model
Intercept 147.114 1 147.114 1990.605 .992
DOSIS 17.190 3 5.730 77.534 .936
LILIN .290 1 .290 3.929 .197
DOSIS * LILIN 1.575 3 .525 7.104 .571
Error 1.182 16 7.390E-02
Total 167.352 24
Corrected 20.238 23
Total
a R Squared = .942 (Adjusted R Squared = .916)

88
Lampiran 11. Analisis sidik ragam terhadap uji organoleptik rasa pada pepaya
selama penyimpanan.

H-0
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares
Corrected 2.334 7 .333 3.279 .589
Model
Intercept 143.815 1 143.815 1414.517 .989
DOSIS 1.202 3 .401 3.942 .425
LILIN 6.304E-02 1 6.304E-02 .620 .037
DOSIS * LILIN 1.068 3 .356 3.503 .396
Error 1.627 16 .102
Total 147.776 24
Corrected 3.961 23
Total
a R Squared = .589 (Adjusted R Squared = .410)

H-4
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares
Corrected 14.639 7 2.091 8.982 .797
Model
Intercept 215.640 1 215.640 926.173 .983
DOSIS 14.141 3 4.714 20.245 .791
LILIN 5.415E-02 1 5.415E-02 .233 .014
DOSIS * .444 3 .148 .636 .107
LILIN
Error 3.725 16 .233
Total 234.005 24
Corrected 18.365 23
Total
a R Squared = .797 (Adjusted R Squared = .708)

H-8
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares
Corrected 21.360 7 3.051 66.031 .967
Model
Intercept 209.037 1 209.037 4523.387 .996
DOSIS 17.341 3 5.780 125.079 .959
LILIN 2.118 1 2.118 45.836 .741
DOSIS * 1.901 3 .634 13.714 .720
LILIN
Error .739 16 4.621E-02
Total 231.136 24
Corrected 22.099 23
Total
a R Squared = .967 (Adjusted R Squared = .952)

89
Lampiran 11. Analisis sidik ragam terhadap uji organoleptik rasa pada pepaya
selama penyimpanan (Lanjutan).

H-12
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares
Corrected 26.180 7 3.740 70.076 .968
Model
Intercept 222.103 1 222.103 4161.496 .996
DOSIS 21.866 3 7.289 136.568 .962
LILIN .690 1 .690 12.932 .447
DOSIS * 3.624 3 1.208 22.631 .809
LILIN
Error .854 16 5.337E-02
Total 249.136 24
Corrected 27.034 23
Total
a R Squared = .968 (Adjusted R Squared = .955)

H-16
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares
Corrected 32.529 7 4.647 84.798 .974
Model
Intercept 214.443 1 214.443 3913.190 .996
DOSIS 16.743 3 5.581 101.845 .950
LILIN 8.712 1 8.712 158.981 .909
DOSIS * LILIN 7.073 3 2.358 43.024 .890
Error .877 16 5.480E-02
Total 247.848 24
Corrected 33.405 23
Total
a R Squared = .974 (Adjusted R Squared = .962)

H-20
Source Type III Sum df Mean Square F Hitung F Tabel
of Squares
Corrected 30.057 7 4.294 104.549 .979
Model
Intercept 161.098 1 161.098 3922.443 .996
DOSIS 27.768 3 9.256 225.366 .977
LILIN .778 1 .778 18.933 .542
DOSIS * LILIN 1.512 3 .504 12.271 .697
Error .657 16 4.107E-02
Total 191.813 24
Corrected 30.715 23
Total
a R Squared = .979 (Adjusted R Squared = .969)

90
Lampiran 12. Uji lanjut Duncan terhadap uji organoleptik warna kulit pada
pepaya selama penyimpanan.

H-0 H-12

Subset N Subset
DOSIS N 1 DOSIS
konsentrasi 0% a b
6 2.48833
10% 6 3.40167
konsentrasi 10% 6 2.57833
1% 6 3.87500
konsentrasi 1% 6 2.58333 Kontrol 6 3.89167
konsentrasi 5% 6 2.63833 5% 6 4.11000
Sig. .610 Sig. 1.000 .192
.

H-4 H-16

N Subset N Subset
DOSIS DOSIS
a b a b
10% 6 2.868 Kontrol 6 2.555
5% 6 3.0577 10% 6 2.952
1% 6 3.333 1% 6 3.722
Kontrol 6 3.895 5% 6 3.917
Sig. .104 1.000 Sig. .064 .342

H-8 H-20

N Subset Subset
DOSIS DOSIS N
a b 1 2 3 4
5% 6 3.000 Kontrol 6 1.850
10% 6 2.740
10% 6 3.072
5% 6 3.415
1% 6 3.640
1% 6 3.805
Kontrol 6 3.7350 Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000
Sig. .471 .343

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.


b Alpha = .05.

91
Lampiran 13. Uji lanjut Duncan terhadap uji organoleptik warna daging pada
pepaya selama penyimpanan

H-0 H-12

DOSIS N Subset DOSIS N Subset


a
1% 6 2.640 a b
10% 6 3.193
Kontrol 6 2.667
Kontrol 6 3.923
5% 6 2.805 1% 6 3.958
10% 6 2.960 5% 6 4.250
Sig. 1.000 .095
Sig. .194

H-4 H-16
N Subset
DOSIS N Subset
DOSIS a b
a b c
10% 6 3.403 10% 6 3.085
5% 6 3.555 3.555 Kontrol 6 3.292
1% 6 3.805 3.805 1% 6 3.972
Kontrol 6 4.055 5% 6 4.195

Sig. .328 .116 .116 Sig. .252 .217

H-8 H-20

DOSIS N Subset
DOSIS N Subset
a b c d
a b c
1% 6 3.000
10% 6 1.945
5% 6 3.227
Kontrol 6 2.292
10% 6 3.475
5% 6 3.097
Kontrol 6 3.710
1% 6 4.417
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000
Sig. .113 1.000 1.000

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.


b Alpha = .05.

92
Lampiran 14. Uji lanjut Duncan terhadap uji organoleptik aroma pada pepaya
selama penyimpanan

H-0 H-12
DOSIS N Subset DOSIS N Subset
a b a b
5% 6 2.415 10% 6 1.760
10% 6 2.667 2.667 5% 6 3.222
Kontrol 6 2.942 Kontrol 6 3.235
1% 6 2.972 1% 6 3.430
Sig. .282 .218 Sig. 1.000 .176

H-4 H-16
DOSIS N Subset DOSIS N Subset
a b c
10% 6 2.318
5% 6 2.723 a b c
10% 6 1.387
Kontrol 6 3.180
Kontrol 6 3.127
1% 6 3.362 5% 6 3.138
Sig. 1.000 1.000 .127 1% 6 3.487
Sig. 1.000 .939 1.000

H-8 H-20

DOSIS N Subset N Subset


DOSIS a b c
a b c
10% 6 2.297 10% 6 1.275
5% 6 3.000 Kontrol 6 2.458
Kontrol 6 3.290 5% 6 2.502
1% 6 3.445 1% 6 3.668
Sig. 1.000 1.000 .081 Sig. 1.000 .786 1.000

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.


b Alpha = .05.

93
Lampiran 15. Uji lanjut Duncan terhadap uji organoleptik rasa pada pepaya
selama penyimpanan

H-0 H-12

DOSIS N Subset DOSIS N Subset


a b c a b c
10% 6 2.163 10% 6 1.430
5% 6 2.305 2.305 5% 6 3.250
Kontrol 6 2.600 2.600 1% 6 3.653
1% 6 2.723 Kontrol 6 3.835
Sig. .453 .129 .512 Sig. 1.000 1.000 .192

H-4 H-16

DOSIS N Subset DOSIS N Subset


a b c a b c
10% 6 1.762 10% 6 1.610
5% 6 2.973 5% 6 3.055
1% 6 3.500 3.500 Kontrol 6 3.542
Kontrol 6 3.757 1% 6 3.750
Sig. 1.000 .076 .371 Sig. 1.000 1.000 .143

H-8 H-20

DOSIS N Subset DOSIS N Subset

a b c d a b c d
10% 6 1.615 10% 6 1.260
5% 6 2.927 Kontro 6 2.268
l
1% 6 3.333
5% 6 2.585
Kontrol 6 3.930 1% 6 4.250
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.


b Alpha = .05.

94

Anda mungkin juga menyukai