Anda di halaman 1dari 40

BAHAN AJAR

KANKER DAN ANTIKANKER

Oleh :

Dr. Drs I Made Oka Adi Parwata, M.Si.

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
APRIL 2014
PENDAHULUAN

Imunitas adalah resistensi atau perlindungan terhadap suatu penyakit terutama


penyakit infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi atau
perlindungan terhadap penyakit disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel,
molekul- molekul dan bahan-bahan lainnya terhadap agen-agen asing seperti virus, mikroba,
zat-zat karsinogenik dan radiasi disebut respon imun. Agen-agen asing disebut antigen.
Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang
dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. (Baratawidjaja K.G., dkk. 2010).
Sistem imun merupakan sistem yang sangat komplek dengan berbagai peran ganda
dalam usaha menjaga keseimbangan tubuh. Seperti halnya sistem indokrin, sistem imun yang
bertugas mengatur keseimbangan, menggunakan komponennya yang beredar diseluruh tubuh,
supaya dapat mencapai sasaran yang jauh dari pusat. Untuk melaksanakan fungsi imunitas,
didalam tubuh terdapat suatu sistem yang disebut dengan sistem limforetikuler. Sistem ini
merupakan jaringan atau kumpulan sel yang letaknya tersebar diseluruh tubuh, misalnya
didalam sumsum tulang, kelenjar limfe, limfa, timus, sistem saluran napas, saluran cerna dan
beberapa organ lainnya. Jaringan ini terdiri atas bermacam-macam sel yang dapat
menunjukkan respons terhadap suatu rangsangan sesuai dengan sifat dan fungsinya masing-
masing (Tizard, 2004; Rabson dkk., 2005).
Rangsangan terhadap sel-sel tersebut terjadi apabila kedalam tubuh terpapar suatu zat
yang oleh sel atau jaringan tadi dianggap asing. Konfigurasi asing ini dinamakan antigen atau
imunogen dan proses serta fenomena yang menyertainya disebut dengan respons imun yang
menghasilkan suatu zat yang disebut dengan antibodi. Jadi antigen atau imunogen merupakan
potensi dari zat-zat yang dapat menginduksi respons imun tubuh yang dapat diamati baik
secara seluler ataupun humoral. Dalam keadaan tertentu (patologik), sistem imun tidak dapat
membedakan zat asing (non-self) dari zat yang berasal dari tubuhnya sendiri (self), sehingga
sel-sel dalam sistem imun membentuk zat anti terhadap jaringan tubuhnya sendiri. Kejadian
ini disebut dengan Autoantibodi (Abbas dkk., 2007; Baratawijaya, 2010).
Tubuh dalam melindungi diri dari serangan mikroorganisme pathogen dengan
mengembangkan sistem pertahanan tubuh. Sistem pertahanan tubuh yang paling awal muncul
adalah sistem pertahanan alamiah yang bersifat non spesifik atau disebut juga innate immune
system. Bila paparan terhadap mikroorganisme berlanjut, akan berkembang sistem pertahanan
tubuh yang bersifat spesifik yang dikenal sebagai adaptive immune system atau sistem imun
adaptif. Kedua sistem imun tersebut dalam bekerjanya melibatkan berbagai komponen seluler
maupun zat terlarut seperti sitokin, kemokin dan komplemen (Tizard, 2004; Baratawidjaya,
2010) .
Bila sistem imun tidak bekerja dengan baik maka akan menimbulkan beberapa
penyakit seperti misalnya tumor atau kanker. Timbulnya kanker pertama kali diawali dengan
kerusakan DNA. Kerusakan DNA ini bila tidak dikendalikan akan berlansung terus melalui
metastase sel DNA atau mengganas. Keganasan ini bisa dikendalikan melalui proses
apoptosis yaitu proses kematian sel yang terprogram.
Kematian sel secara fisiologik terjadi terutama melalui bentuk kematian sel yang
disebut dengan apoptosis. Keputusan dari suatu sel mengalami apoptosis dapat dipengaruhi
oleh sejumlah rangsangan dari luar sel. Kegagalan sel untuk mengalami kematian sel
apoptotik mungkin melibatkan patogenesis dari sejumlah penyakit manusia yang meliputi
penyakit-penyakit yang dikarakterisasi dengan terjadinya akumulasi sel, yaitu kanker,
penyakit autoimun, dan penyakit viral tertentu. Akumulasi sel dapat berasal dari proliferasi
sel yang meningkat atau kegagalan sel untuk melakukan proses apoptosis terhadap
rangsangan yang sesuai.
Keseimbangan antara jumlah sel yang diproduksi tubuh dan yang mati pada
kebanyakan organ dan jaringan hewan dewasa dipertahankan dengan baik, hal ini diawasi
dengan sistem pengontrol yang baik salah satu diantaranya dengan peristiwa apoptosis yang
biasanya dikontrol oleh suatu gen dan reseptornya. Salah satu diantaranya adalah Gen
Supresor Tumor /Kanker p53. Kadang-kadang apabila respon imun tidak bekerja normal
maka pertumbuhan sel tidak dapat dikontrol, sel membentuk klon yang berkembang dan
menimbulkan tumor atau kanker atau neoplasma. Misalnya apabila Gen Supresor Tumor /
Kanker p53 mengalami mutasi akibat adanya sel sel asing (antigen) seperti radiasi
kemoterapi, virus dan zat-zat karsinogenik maka sel-sel DNA akan mengalami metastase dan
selanjutnya berproliferasi. (Abbas dkk., 2007; Baratawijaya, 2010).
Pada kanker gen pengendalinya biasanya Gen Supresor Tumor /Kanker p53.
Produk gen p53 dibutuhkan oleh sel untuk menginduksi apoptosis dalam responnya terhadap
kerusakan genotoksik. Hal ini terlihat pada tumor yang tidak memiliki gen p53 ternyata tidak
dapat mengalami apoptosis dalam responnya terhadap kerusakan DNA yang diinduksi oleh
agen kemoterapetika dan radiasi. Sel-sel yang tidak dapat mengalami apoptosis dalam
responnya terhadap kerusakan DNA mungkin lebih cenderung untuk memperoleh
penyimpangan genetik dibanding sel yang normal. Kesalahan atau kekeliruan dalam
“perbaikan” DNA yang rusak dapat berkontribusi terhadap laju mutasi yang tinggi yang telah
diobservasi pada banyak kasus kanker manusia.(Rochman Naim, 2006)
Tumor promoter seperti phorbol myristate acetate (PMA) dan alpha-hexachlorocyclo-
hexane dapat bertindak sebagai faktor spesifik untuk bertahan hidup bagi sel-sel yang
memperlihatkan perkembangan tumor. Hal ini menunjukkan bahwa penghambatan apoptosis
merupakan hal yang lebih penting dalam perkembangan tumor ganas. Hal ini dibuktikan pada
kanker kulit bahwa aktivasi atau induksi gen p53 sebagai respon dari stres sel akibat kanker
atau tumor dapat menghambat ekspansi dan proliferasi berbagai sel yang rusak.(Cita Rosita
S.P., 2008).
Gen p53 akan merangsang mitokondria mengeluarkan sitokrom c ke sitosol dan juga
mengaktivasi gen proapoptosis bax atau mengaktifkan Fas . Gen Bcl-2 adalah merupakan
gen antiapoptosis yang bertanggung jawab dalam proses pelepasan sitokrom dari
mitokondria, dengan penurunan ekspresi Bcl-2 maka sitokrom dapat dilepaskan dan akan
membentuk komplek dengan caspase 9 dan Apaf-1 untuk mengaktifkan enzim proteolitik
yaitu caspase 3, serta akhirnya akan terjadi apoptosis. (Rochman Naim, 2006)
Peningkatan ekspresi p53 akan menurunkan gen-gen anti apoptosis (BCl2), menurunkan
gen-gen faktor pertumbuhan (VEGF), menurunkan MMPs-9, menurunkan COX-2 sehingga
terjadi peningkatan proses apoptosis dan terhambatnya angiogenesis. (Sukardiman, 2006)
Sebagai suatu oncogene, pada awalnya Bcl-2 ditemukan memiliki sedikit atau tidak
ada kemampuan untuk meningkatkan progresi siklus sel atau proliferasi sel. Namun,
terjadinya overekspresi dari Bcl-2 secara spesifik menghambat sel untuk mengalami
apoptosis dalam responnya terhadap sejumlah rangsangan. Lebih lanjut, introduksi gen yang
menghambat fungsi Bcl-2 dapat menginduksi apoptosis pada sejumlah tipe tumor. Hal ini
telah menghantarkan pada suatu hipotesis bahwa kebanyakan tumor secara kontinyu
bersandar pada produk gen Bcl-2 atau gen yang berhubungan dengan Bcl-2 untuk mencegah
kematian sel. Sesuai dengan hipotesis ini, ekspresi Bcl-2 telah berhubungan dengan prognosis
yang buruk pada kanker prostat, kanker kolon, dan neuroblastoma. (Rochman Naim, 2006)
Regulasi fisiologik dari kematian sel merupakan hal esensial untuk “pemusnahan”
limfosit yang secara potensial autoreaktif dalam perkembangannya dan untuk “pemusnahan”
sel-sel yang berlebih setelah selesainya respon imun. Kegagalan memusnahkan sel autoimun
yang meningkat selama perkembangan atau yang berkembang sebagai hasil mutasi somatik
selama respon imun dapat mengakibatkan penyakit autoimun. Hasil pada hewan model telah
mendemonstrasikan pentingnya disregulasi apoptosis dalam etiologi penyakit autoimun.
Sebagai contoh, satu molekul yang penting dalam regulasi kematian sel pada limfosit adalah
reseptor permukaan sel yang dikenal dengan nama Fas, anggota dari famili reseptor tumor
necrosis factor (TNF). Stimulasi Fas pada limfosit yang teraktivasi dapat menginduksi
apoptosis. Dua bentuk dari penyakit autoimun yang bersifat herediter berhubungan dengan
apoptosis berperantara Fas (Fas-mediated apoptosis). Mencit (mouse) strain MRL-lpr, yang
memperlihatkan systemic lupus erythematosus yang fatal pada umur 6 bulan, memiliki suatu
mutasi pada reseptor Fas. (Rochman Naim, 2006)
Gen BCl2 merupakan salah satu dari sejumlah gen yang dapat mengontrol proses awal
apoptosis suatu sel. Pada sel tumor yang dikultur, overekspresi BCl2 atau gen yang
berhubungan ditemukan mendukung resistensi sel terhadap kematian dalam responnya
terhadap agen kemoterapetika seperti cytosine arabinoside, methotrexate, vincristine, dan
cisplatin. (Rochman Naim, 2006)
Agen / antigen kemoterapi pada awalnya diduga membunuh sel dengan menginduksi
kerusakan metabolik yang irreversible yang berakibat kematian nekrosis sel target. Saat ini
terlihat bahwa mekanisme primer kebanyakan agen kemoterapetika dalam menginduksi
kematian sel terjadi melalui penyimpangan fisiologi seluler yang berakibat terinduksinya
apoptosis. Hal ini sesuai dengan penemuan bahwa overekspresi BCl2 atau gen yang
berhubungan secara in-vitro dapat mengakibatkan fenotipe resistensi multidrug. (Rochman
Naim, 2006)
Pada mahluk hidup multiselular, homeostasis dipertahankan melalui keseimbangan
antara proliferasi/perkembang biakan sel dan kematian sel. Bila keseimbangan antara
proliferasi dan kematian ini terganggu maka akan terjadi akumulasi sel atau kehilangan sel.
Akumulasi sel terjadi bila laju kematian sel lebih rendah dibandingkan proliferasi sel atau
laju proliferasi sel lebih tinggi dibandingkan kematian. Sebaliknya kehilangan sel akan terjadi
bila laju kematian sel lebih tinggi dari proliferasi atau laju proliferasi lebih rendah dari
kematian sel.
Kanker dianggap sebagai kelompok penyakit selular dan genetik karena dimulai dari
satu sel yang telah mengalami mutasi DNA sebagai komponen dasar gen. Sel-sel yang
mengalami kerusakan genetik tidak peka lagi terhadap mekanisme regulasi siklus sel normal
sehingga akan terjadi proliferasi tanpa kontrol. Mutasi yang terjadi pada DNA di dalam gen
yang meregulasi siklus sel (pertumbuhan, kematian dan pemeliharaan sel) akan
mengakibatkan penyimpangan siklus sel dan salah satu akibatnya adalah pembentukan
kanker atau karsinogenesis.
Perbanyakan sel dapat diatur baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Regulasi proliferasi sel secara langsung yaitu melalui stimulasi siklus pembelahan sel (cell
division cycle). Sedangkan secara tidak langsung yaitu dengan regulasi proses apoptosis.
Penghambatan terhadap proses apoptosis mengakibatkan sel-sel yang seharusnya sudah
”mati” akan mampu bertahan dan pada akhirnya akan mengganggu keseimbangan jumlah sel-
sel yang ada. Keputusan dari suatu sel mengalami apoptosis dapat dipengaruhi oleh sejumlah
rangsangan dari luar sel.
Penelitian tentang kanker pada saat ini terfokus pada upaya untuk memahami
rangkaian perubahan genetik yang terjadi pada sel yang normal yang menyebabkannya
menjadi sel kanker. Genetika kanker bertujuan untuk memahami berbagai tahapan mutasi dan
jalur-jalur selektif yang menyebabkan sel somatik normal berubah menjadi sel-sel kanker
yang proliferatif dan invasif. Uraian dibawah ini dimaksudkan untuk memahami prinsip-
prinsip genetik terjadinya kanker. Pada uraian ini akan dibahas tentang definisi kanker,
oncogens, tumor supressor genes, stabilitas genomik dan kontrol siklus sel.
Upaya pencarian dan penemuan senyawa bioaktif dari tanaman obat Indonesia yang
memiliki aktivitas antikanker terhadap kultur sel kanker payudara manusia yaitu senyawa
flavonoid pinostrobin dari rimpang temu kunci (Kaempferia pandurata Roxb) telah
dilakukan oleh Sukardiman, 1999. Dalam penelitian tersebut telah diketahui bahwa senyawa
pinostrobin dapat menghambat enzim DNA Topoisomerase, dimana enzim DNA
Topoisomerase mempunyai fungsi yang penting dalam proses intraseluler, yaitu berperan
dalam proses replikasi, transkripsi , rekombinasi DNA dan proses proliferasi dari sel kanker.
Dengan dihambatnya aktivitas enzim DNA Topoisomerase oleh senyawa inhibitor, maka
proses terjadinya ikatan antara enzim dengan DNA sel kanker semakin lama. Sehingga akan
terbentuk Protein Linked DNA Breaks (PLDB), akibatnya terjadi fragmentasi / kerusakan
DNA sel kanker dan selanjutnya berpengaruh terhadap proses didalam sel khususnya proses
replikasi sel yang diakhiri dengan kematian sel kanker . Untuk mengembangkan lead
compound yaitu pinostrobin dari temu kunci (Kaempferia pandurata Roxb ) menjadi obat
antikanker yang selektif maka dapat digunakan metode Selective Apoptosis Antineoplastic
Drug (SAAND) .

TINJAUAN PUSTAKA
SISTEM IMUN
Imunitas adalah resistensi atau perlindungan terhadap suatu penyakit terutama
penyakit infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi atau
perlindungan terhadap penyakit disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel,
molekul- molekul dan bahan-bahan lainnya terhadap agen-agen asing seperti virus, mikroba,
zat-zat karsinogenik dan radiasi disebut respon imun. Agen-agen asing disebut antigen.
Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang
dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. (Baratawidjaja K.G., dkk. 2010).
Sistem imun merupakan sistem yang sangat komplek dengan berbagai peran ganda
dalam usaha menjaga keseimbangan tubuh. Seperti halnya sistem indokrin, sistem imun yang
bertugas mengatur keseimbangan, menggunakan komponennya yang beredar diseluruh tubuh,
supaya dapat mencapai sasaran yang jauh dari pusat. Untuk melaksanakan fungsi imunitas,
didalam tubuh terdapat suatu sistem yang disebut dengan sistem limforetikuler. Sistem ini
merupakan jaringan atau kumpulan sel yang letaknya tersebar diseluruh tubuh, misalnya
didalam sumsum tulang, kelenjar limfe, limfa, timus, sistem saluran napas, saluran cerna dan
beberapa organ lainnya. Jaringan ini terdiri atas bermacam-macam sel yang dapat
menunjukkan respons terhadap suatu rangsangan sesuai dengan sifat dan fungsinya masing-
masing (Tizard, 2004; Rabson dkk., 2005).
Rangsangan terhadap sel-sel tersebut terjadi apabila kedalam tubuh terpapar suatu zat
yang oleh sel atau jaringan tadi dianggap asing. Konfigurasi asing ini dinamakan antigen atau
imunogen dan proses serta fenomena yang menyertainya disebut dengan respons imun yang
menghasilkan suatu zat yang disebut dengan antibodi. Jadi antigen atau imunogen merupakan
potensi dari zat-zat yang dapat menginduksi respons imun tubuh yang dapat diamati baik
secara seluler ataupun humoral. Dalam keadaan tertentu (patologik), sistem imun tidak dapat
membedakan zat asing (non-self) dari zat yang berasal dari tubuhnya sendiri (self), sehingga
sel-sel dalam sistem imun membentuk zat anti terhadap jaringan tubuhnya sendiri. Kejadian
ini disebut dengan Autoantibodi (Abbas dkk., 2007; Baratawijaya, 2010).
Tubuh dalam melindungi diri dari serangan mikroorganisme pathogen dengan
mengembangkan sistem pertahanan tubuh. Sistem pertahanan tubuh yang paling awal muncul
adalah sistem pertahanan alamiah yang bersifat non spesifik atau disebut juga innate immune
system. Bila paparan terhadap mikroorganisme berlanjut, akan berkembang sistem pertahanan
tubuh yang bersifat spesifik yang dikenal sebagai adaptive immune system atau sistem imun
adaptif. Kedua sistem imun tersebut dalam bekerjanya melibatkan berbagai komponen seluler
maupun zat terlarut seperti sitokin, kemokin dan komplemen (Tizard, 2004; Baratawidjaya,
2010) .
Bila sistem imun tidak bekerja dengan baik maka akan menimbulkan beberapa penyakit
seperti misalnya tumor atau kanker. Timbulnya kanker pertama kali diawali dengan
kerusakan DNA. Kerusakan DNA ini bila tidak dikendalikan akan berlansung terus melalui
metastase sel DNA atau mengganas. Keganasan ini bisa dikendalikan melalui proses
apoptosis yaitu proses kematian sel yang terprogram.
Kematian sel secara fisiologik terjadi terutama melalui bentuk kematian sel yang disebut
dengan apoptosis. Keputusan dari suatu sel mengalami apoptosis dapat dipengaruhi oleh
sejumlah rangsangan dari luar sel. Kegagalan sel untuk mengalami kematian sel apoptotik
mungkin melibatkan patogenesis dari sejumlah penyakit manusia yang meliputi penyakit-
penyakit yang dikarakterisasi dengan terjadinya akumulasi sel, yaitu kanker, penyakit
autoimun, dan penyakit viral tertentu. Akumulasi sel dapat berasal dari proliferasi sel yang
meningkat atau kegagalan sel untuk melakukan proses apoptosis terhadap rangsangan yang
sesuai.

Imunitas humoral
Meskipun imunitas selluler pada tumor lebih banyak berperan dibandingkan dengan
imunitas humoral akan tetapi tubuh membentuk juga antibodi terhadap antigen tumor.
Antibodi ini ternyata dapat menghancurkan sel tumor secara langsung atau dengan bantuan
komplemen atau melalui sel efektor ADCC (Antibody Dependent Cell Cytotoxicity).
Mekanismenya adalah antigen berikatan dengan reseptor misalnya sel NK dan makrofag
dengan reseptor Fc (Fragment crystallizable receptor) atau dengan jalan mencegah adhesi sel
tumor. Pada penderita tumor sering ditemukan kompleks imun, akan tetapi pada kebanyakan
tumor sifatnya masih belum jelas. Antibodi diduga lebih berperan terhadap sel yang bebas
(leukimia, metastase tumor) dibanding tumor padat.Dalam hal ini diduga antibodi
membentuk komplek imun yang mencegah sitotoksisitas sel T. Efektor imun humoral dan
sellular yang dapat menghancurkan sel tumor in vitro. Pada umumnya destruksi tumor lebih
efisien bila sel tumor ada dalam suspensi. Adapun efektor imun yang bekerja dalam destruksi
sel tumor ditunjukkan dalam tabel 2.1 berikut ini.

Efektor sistem imun humoral dan selular pada dektruksi tumor


A. Mekanisme Humoral B. Mekanisme Selular
1. Lisis oleh antibodi dan komplemen 1. Destruksi oleh sel CTL/Tc
2. Opsonisasi melalui antibodi dan komplemen 2. Destruksi oleh sel NK
3. Hilangnya adhesi oleh antibodi 3. Destruksi oleh makrofag
Sumber : Baratawidjaya, 2010

Imunitas Selular
Sistem imun dapat langsung menghancurkan sel tumor tanpa sensitasi sebelumnya.
Limposit matang akan mengenal TAA dalam penjamu, meskipun TAA merupakan self
protein yang disandi gen yang normal. Adanya limposit yang self reaktif nampaknya
berlawanan dengan self tolerans. Bila sel B dan T menjadi matang dalam sumsum tulang dan
timus, limposit yang terpajan dan berikatan dengan self antigen akan mengalami apoptosis.
(Baratawidjaya, 2010)
Banyak penelitian menunjukkan bahwa tumor yang mengekspresikan antigen unik
dapat memacu CTL/Tc spesifik yang dapat menghancurkan tumor. CTL biasanya mengenal
peptida asal TSA yang diikat MHC-I. CTL tidak selalu efisien dan tidak selalu terjadi pada
semua tumor. (Baratawidjaya, 2010)
Sel NK yaitu limposit sitotoksik yang mengenal sel sasaran yang tidak antigen
spesifik dan juga tidak MHC dependent akan mengekspresikan FcR yang dapat mengikat sel
tumor yang dilapisi antibodi dapat membunuh sel sasaran (dalam hal ini tumor) melalui
ADCC dan penglepasan protease, perforin dan granzim. (Baratawidjaya, 2010)
Makrofag memiliki enzim dengan fungsi sitotoksik dan melepas mediator oksidatif
seperti superoksida dan oksida nitrit. Makrofag juga melepas TNF-α yang mengawali
apoptosis. Makrofag diduga mengenal sel tumor melalui IgG-R yang mengikat antigen
tumor. Makrofag dapat memakan dan mencerna sel tumor dan mempresentasikannya ke sel
CD4+ . Makrofag merupakan inisiator dan efektor imun terhadap tumor. (Baratawidjaya,
2010)

ANTIGEN
Berbagai patogen seperti bakteri,virus, jamur atau parasit mengandung berbagai
bahan yang disebut imunogen atau antigen. Radiasi UV, dan zat-zat karsinogenik dianggap
juga antigen. Antigen-antigen atau imunogen ini dapat menginduksi sejumlah respons imun.
Antigen adalah bahan yang berinteraksi dengan produk respons imun yang dirangsang oleh
imunogen spesifik seperti antibodi dan TCR. (Baratawidjaja K.G., dkk. 2010)
Antigen lengkap adalah antigen yang menginduksi baik respon imun maupun bereaksi
dengan produknya. Antigen inkomplit atau hapten tidak dapat dengan sendirinya
menginduksi respon imun tetapi dapat bereaksi dengan produknya seperti antibodi.Hapten
dapat dijadikan imunogen melalui ikatan dengan molekul besar yang disebut protein
pembawa. (Baratawidjaja K.G., dkk. 2010).
Secara fungsional antigen dapat dibagi menjadi imunogen dan hapten. Contoh hapten
adalah dinitrofenol, berbagai golongan antibiotik dan obat lainnya dengan berat molekul
kecil. Hapten biasanya dikenal oleh sel B sedangkan protein pembawa oleh sel T. Hapten
membentuk epitop pada protein pembawa yang dikenal sistem imun dan merangsang
pembentukan antibodi. Molekul pembawa sering digabung dengan hapten dalam usaha
memperbaiki imunisasi. Respon sel B terhadap hapten memerlikan protein pembawa untuk
dapat dipresentasikan ke sel Th ( T helper). (Baratawidjaja K.G., dkk. 2010).
Sel sistem imun tidak berinteraksi dengan atau mengenal tempat khusus pada
makromolekul yang disebut epitop atau determinan antigen. Sel B dan T mengenal berbagai
epitop pada molekul antigen yang sama. Limposit juga dapat berinteraksi dengan antigen
yang kompleks pada berbagai tahap struktur antigen. Oleh karena sel B mengikat antigen
yang bebas dalam larutan, epitop yang dikenalnya cendrung mudah ditemukan dipermukaan
imunogen. Epitop sel T dari protein berbeda dalam peptida. Epitop atau determinan antigen
adalah bagian dari antigen yang dapat membuat kontak fisik dengan reseptor antibodi,
menginduksi pembentukan antibodi yang dapat diikat dengan spesifik oleh bagian dari
antibodi atau reseptor antibodi. Antigen membran sel dimana antibodi ini melekat diberi
nama APO-1. Berdasarkan penelitian antibodi monoklonal yang telah dilakukan ternyata
APO-1 meningkat pada sel limpoblast B dan T manusia meningkatkan atau menginduksi
terjadinya Apoptosis pada sel kanker limpoid manusia. Demikian pula halnya Antigen FAS
yang memiliki reseptor faktor nekrosis dan apoptosis tumor / kanker manusia dan reseptor
faktor pertumbuhan (VEGF) yang merupakan famili dari protein permukaan sel. (Rochman
Naim, 2006 ; Baratawidjaja K.G., dkk. 2010)
Target kematian sel akibat rangsangan antigen dari luar sel diinduksi oleh sel T, sel K
dan sel NK serta peningkatan apoptosis membuktikan adanya penghapusan sel-sel terinfeksi
virus, radiasi dan zat-zat karsinogenik oleh limfosit sitotoksik dalam pengaturan eliminasi
antigen dari tubuh. Keterlibatan apoptosis dalam hal ini menunjukkan fungsi hemostatik.
Induksi apoptosis oleh sel-sel T sitotoksin tidak dihambatnya sintesis protein atau oleh
ekspresi Bcl-2. (Rochman Naim, 2006 ; Baratawidjaja K.G., dkk. 2010)

Antigen Tumor
Imunitas tumor ialah proteksi sistem imun terhadap timbulnya tumor. Meskipun
adanya respon imun alamiah terhadap tumor dapat dibuktikan, namun imunitas sejati hanya
terjadi pada subset tumor yang mengekspresikan antigen imunogenik, misalnya tumor yang
diinduksi virus onkogenik yang mengekspresikan antigen virus. (Baratawidjaja K.G., dkk.
2010)
Identifikasi molekuler antigen tumor telah dapat memberikan berbagai informasi
mengenai respon imun terhadap tumor dapat merupakan faktor kunci dalam perkembangan
imunoterapi antitumor. Antigen tumor yang unik dapat digunakan sebagai molekul sasaran
untuk dikenal sistem imun dan selanjutnya dihancurkan secara spesifik. (Baratawidjaja K.G.,
dkk. 2010)

Tumor Spesifik Antigen


Tumor Spesifik Antigen (TSA) merupakan antigen sasaran ideal untuk terapi imun
tumor. Respon imun terhadap antigen demikian memberikan banyak harapan untuk dapat
menghancurkan sel tumor tanpa merusak sel sehat. Contoh TSA seperti protein yang
diproduksi akibat mutasi satu atau lebih gen dan protein dalam tumor yang diinduksi virus.
(Baratawidjaja K.G., dkk. 2010)

Tumor Associated Antigen


Ada dua jenis antigen tumor yaitu TSTA dan TATA. TSTA tidak ditemukan pada sel
normal, tapi dapat timbul oleh mutasi sel tumor yang memproduksi protein sel yang berubah,
yang mana proses ini terjadi pada sitosol dan menghasilkan peptida yang diikat MHC-I dan
menginduksi CTL yang spesifik pada tumor. TATA merupakan protein yang diekspresikan
oleh sel normal selama perkembangan fetal waktu sistem imun masih imatur dan tidak dapat
memberikan respons. Tumor dapat dikenal oleh sistem imun atas dasar perubahan kuantitatif
dalam ekspresi profil proteinnya.
Sistem Imun Dalam Tumor atau Kanker
Tubuh dalam melindungi diri dari serangan mikroorganisme pathogen dengan
mengembangkan sistem pertahanan tubuh. Sistem pertahanan tubuh yang paling awal muncul
adalah sistem pertahanan alamiah yang bersifat non spesifik atau disebut juga innate immune
system. Bila paparan terhadap mikroorganisme berlanjut, akan berkembang sistem pertahanan
tubuh yang bersifat spesifik yang dikenal sebagai adaptive immune system atau sistem imun
adaptif. Kedua sistem imun tersebut dalam bekerjanya melibatkan berbagai komponen seluler
maupun zat terlarut seperti sitokin, kemokin dan komplemen (Tizard, 2004; Baratawidjaya,
2010)
Bila sistem imun tidak bekerja dengan baik maka akan menimbulkan beberapa penyakit
seperti misalnya tumor atau kanker. Timbulnya kanker pertama kali diawali dengan
kerusakan DNA. Kerusakan DNA ini bila tidak dikendalikan akan berlansung terus melalui
metastase sel DNA atau mengganas. Keganasan ini bisa dikendalikan melalui proses
apoptosis yaitu proses kematian sel yang terprogram.

KANKER
Kanker adalah pertumbuhan jaringan yang baru sebagai akibat dari proliferasi
(pertumbuhan berlebihan) sel abnormal secara terus menerus yang memiliki kemampuan
untuk menyerang dan merusak jaringan lainnya.
Kanker dapat tumbuh dari jenis sel apapun dan di dalam jaringan tubuh manapun, dan
bukanlah suatu penyakit tunggal tetapi merupakan sejumlah besar penyakit yang digolongkan
berdasarkan jaringan dan jenis sel asal.
Kanker adalah istilah umum untuk semua tumor ganas. Istilah ini diduga berasal dari
bahasa latin untuk kepiting (crab). Hal ini karena sifat kanker seperti kepiting yang menancap
ke dalam jaringan yang ditempelinya.
Karena perkataan tumor biasanya dipakai untuk pembengkakan yang disebabkan oleh
proses inflamasi (peradangan), maka untuk pembengkakan yang tidak disebabkan karena
proses radang dipakai istilah neoplasma. Secara literatur istilah neoplasma berarti
”pertumbuhan baru”.
Istilah oncology (Bhs Yunani berarti tumor) adalah ilmu yang mempelajari tumor atau
neoplasma. Seorang oncologist Inggris mengatakan : ”Neoplasma adalah masa jaringan yang
tidak normal, pertumbuhan yang tak terkendali dan tidak terkontrol.” Pada kanker terjadi
perubahan genetik yang diturunkan kepada sel-sel kanker turunannya. Perubahan pada gen ini
menyebabkan terjadinya proliferasi sel yang tak terkendali dan tak terkontrol.
Ada 2 mekanisme yang menyebabkan kanker menjadi progresif yaitu
1. beberapa mutasi akan menyebabkan terjadinya proliferasi sel yang tidak normal yang
pada gilirannya akan menjadi taget untuk terjadinya mutasi yang berikutnya
2. beberapa mutasi akan mempengaruhi kestabilan genom secara keseluruhan baik pada
tingkat DNA maupun pada tingkat kromosom yang meningkatkan laju terjadinya mutasi.

Ada 2 jalur mutasi yang akan mengarah ke arah perbanyakan sel yang tidak normal.
Kedua jalur tersebut adalah
1. Hiperaktif gen-gen stimulator.
Mutasi biasanya terjadi pada salah satu dari dua kopi gen yang terdapat pada sel. Gen
yang mengalami mutasi ini dikenal sebagai oncogen (Gr: onkos berarti tumor).
Sementara gen pasangannya yang tidak mengalami mutasi dikenal sebagai
protooncogen.
2. Inaktivasi gen-gen inhibitor.
Mutasi jenis ini biasanya bersifat resesif artinya kedua gen yang berpasangan tersebut
dibuat tidak aktif atau mengalami delesi sehingga tidak ada lagi hambatan terhadap
proliferasi sel. Gen penghambat proliferasi sel ini dikenal sebagai tumor supressor
gen .
Jenis-jenis kanker banyak sekali tapi secara umum dibagi menjadi 4 golongan utama yaitu :

1. Sarkoma
Kanker ini tumbuh dari jaringan penyambung dan penyokong, seperti tulang, tulang
rawan, saraf, pembuluh darah, otot dan lemak. Contoh : fibrosarkoma yang tumbuh diantara
kulit dan tulang.

2. Karsinoma
Kanker yang paling umum menyerang manusia, tumbuh dari jaringan epitelial (jaringan
bersel yang menutupi permukaan), seperti kulit dan lapisan rongga dan organ tubuh, dan
jaringan kelenjar, seperti jaringan payudara dan prostat.Karsinoma dengan struktur berlapis-
lapis yang menyerupai kulit disebut sebagai karsinoma sel skuamosa (sel tanduk).

3. Adenokarsinoma
Kanker yang paling umum menyerang manusia, tumbuh dari jaringan epitelial
(jaringan bersel yang menutupi permukaan), seperti kulit dan lapisan rongga dan organ tubuh,
dan jaringan kelenjar, seperti jaringan payudara dan prostat.Karsinoma dengan struktur
berlapis-lapis yang menyerupai kulit disebut sebagai karsinoma sel skuamosa (sel tanduk).

4. Limfoma
Kanker yang tumbuh dan berkembang pada jaringan limpa

Hampir semua kanker membentuk benjolan (tumor),tetapi tidak semua benjolan


bersifat kanker, atau ganas; sebagian besar bersifat jinak (tidak berbahaya).
Ciri tumor jinak adalah pertumbuhan yang sangat terpusat dan biasanya dipisahkan
dari jaringan tetangganya oleh sebuah kapsul yang mengelilinginya.Pertumbuhan tumor jinak
biasanya lambat, dan dari segi struktur biasanya sangat menyerupai jaringan asal. Dalam
beberapa kasus, tumor jinak dapat membahayakan pasien jika menghalangi, menekan, atau
memindahkan struktur tetangganya, seperti pada otak.Sejumlah tumor jinak, seperti polip di
usus besar, dapat bersifat pra-kanker.
Ciri tumor ganas yang paling utama adalah kemampuan mereka untuk menyebar
melampaui lokasi asal. Kanker dapat menyerang jaringan tetangga melalui perluasan
langsung atau infiltrasi, atau ia menyebar ke lokasi yang letaknya jauh dan mengembangkan
pembentukan abnormal kedua yang dikenal sebagai metastasis. Rute dan lokasi metastasis
bervariasi antara kanker primer yang berbeda-beda.
1. Apabila kanker menyebar melalui permukaan organ asal ke dalam suatu rongga, maka sel
mungkin dapat melepaskan diri dari permukaan dan tumbuh pada permukaan organ yang
bersebelahan dengannya.
2. Sel tumor mungkin bermigrasi ke dalam saluran limfatik dan terangkut ke aliran kelenjar
getah bening, atau mereka dapat menembus pembuluh darah. Sewaktu berada di aliran
darah, sel tumor dialirkan ke titik yang terlalu kecil baginya. Sel tumor dari saluran
lambung dan usus akan dihentikan di hati, lalu dapat mengalir ke paru-paru. Sel yang
berasal dari semua tumor lainnya akan melewati paru-paru sebelum diangkut ke organ
lainnya. Oleh karena itu paru-paru dan hati biasanya menjadi lokasi metastasis.
3. Banyak kanker cenderung meninggalkan sel di dalam aliran darah pada masa-masa awal
perjalanannya. Kebanyakan sel ini mati di saluran darah, tetapi beberapa di antara mereka
tersangkut pada permukaan dan menembus dinding untuk kemudian memasuki
jaringan.Beberapa mungkin menemukan jaringan yang menguntungkan, tempat mereka
dapat bertahan hidup, dan tumbuh menjadi tumor.Beberapa lagi mungkin hanya dapat
membelah beberapa kali saja, sehingga membentuk sarang sel berukuran kecil yang
kemudian menjadi dorman (suatu mikrometastasis).Kelompok sel ini dapat tetap dorman
selama bertahun-tahun, dan kemudian tumbuh kembali sebagai kanker.Penyebab hal ini
belum diketahui.
Sel kanker, walaupun telah tersebar secara luas, mungkin mempertahankan ciri-ciri
fisik dan biologis dari jaringan asal mereka.Jadi, seorang ahli patologi seringkali dapat
menentukan lokasi asal tumor yang menyebar melaui pemeriksaan mikroskopis terhadap
jaringan yang bersifat kanker.Identifikasi tumor kelenjar endokrin, misalnya, menjadi lebih
sederhana karena mereka mungkin menghasilkan hormon yang dihasilkan jaringan induk itu
dalam jumlah yang berlebih.Tumor seperti itu dapat juga memberikan respon terhadap
pemberian hormon yang biasanya mengendalikan jaringan itu.
Pada umumnya, semakin suatu sel kanker tidak menyerupai jaringan aslinya, semakin
ganas sifatnya dan semakin cepat ia menyebar; tetapi laju pertumbuhan kanker tidak hanya
tergantung kepada jenis sel dan perbedaannya dengan jaringan asal, tetapi juga kepada
beragam faktor inang. Ciri-ciri dari kanker ganas adalah keragaman sel tumor.Karena
abnormalitas perkembangbiakan sel tumor, mereka menjadi lebih rentan terhadap
perubahan.Seiring waktu, tumor menjadi semakin sulit dibedakan dan tumbuh semakin
cepat.Tumor tersebut mungkin pula mengembangkan daya tahan yang semakin kuat terhadap
kemoterapi atau radioterapi.

ONCOGEN
Oncogen adalah gen-gen yang sebenarnya berperan dalam proliferasi sel yang
mengalami mutasi. Pasangan oncogen yang tidak mengalami mutasi dan berperan dalam
proses proliferasi sel yang normal dikenal sebagai protooncogen.
Oncogen ditemukan pertama kali tahun 1960 pada binatang yang mengalami kanker
khususnya leukemia dan limfoma yang disebabkan virus. Beberapa virus mempunyai
genomik DNA yang kompleks (misalnya SV-40 dan papilloma virus), sementara retrovirus
mempunyai genomik RNA yang sangat sederhana yang mengandung 3 unit transkripsi yang
mengkode protein internal, ensim polymerase dan protein sampul. Satu hal yang
menghebohkan adalah diketahuinya bahwa virus ini menyebabkan terjadinya kanker pada sel
yang infeksinya karena adanya satu gen ekstra yang dikenal sebagai oncogen.
Pada penelitian lebih lanjut diketahui bahwa oncogen tersebut adalah kopi dari gen
selular yang normal yang dikenal sebagai protooncogen. Oncogen ini terintegrasi dengan
partikel virus dan pada saat teraktivasi oncogen ini dapat diinfeksikan kedalam sel yang
infeksinya Pada penelitian selanjutnya diketahui bahwa kebanyakan kanker pada manusia
tidak tergantung kepada virus tetapi protooncogen sel itu sendiri yang teraktivasi sehingga
berubah menjadi onkogen Oncogen merubah sel normal menjadi kanker dengan
mempengaruhi fungsi-fungsi normal. Fungsi–fungsi sel yang dipengaruhi oleh oncogen
dikelompokkan menjadi
1. sekresi faktor-faktor pertumbuhan misalnya onkogen sis
2. reseptor pada permukaan sel, misalnya onkogen erb-B, fms
3. komponen sistem transduksi signal intraselular,misalnya onkogen yang termasuk
keluarga RAS, abl
4. DNA-binding nuclear proteins, termasuk transcrption factors, misalnya MYC, Jun
5. Komponen jaringan cyclins, cyclin dependent kinase dan kinase inhibitor yang
memerintahkan kemajuan perkembangan kanker melalui siklus sel (cell cycle.
Misalnya MDM2
Perubahan protooncogen menjadi oncogen (aktivasi protooncogen) dapat terjadi melalui
beberapa cara yaitu
1. aktivasi dengan cara amplifikasi
Banyak sel –sel kanker mengandung kopi oncogen, misalnya kanker payudara sering
mengamplifikasi oncogen erb-B2 dan kadang-kadang MYC. Kopi oncogen ini hadir
dalam bentuk pasangan kromatin yang kecil yang terpisah dari kromosom atau
terintegrasi di dalam kromosom normal. Amplifikasi oncogen pada sel tumor dapat
dipelajari dengan cara comparative genomic hybridization (CGH).
2. aktivasi dengan cara point mutation
3 gen yang tergolong keluarga RAS, HRAS,KRAS, dan NRAS teraktivasi pada berbagai
tumor yang besar. Ketiga oncogen ini memediasi pensignalan oleh protein G yang
berikatan dengan reseptor. Pengikatan ligand pada reseptor memicu pengikatan GTP ke
protein RAS membentuk kompleks GTP-RAS. Kompleks GTP-RAS akan
mentransmisikan signal di dalam sel. Ikatan GTP-RAS ini akan segeran diinaktifkan
menjadi bentuk GDP-RAS. Protein RAS mempunyai aktivitas GTPase. Dengan adanya
point mutation pada gen RAS akan menurunkan aktivitas GTPase, akibatnya ikatan GTP-
RAS akan diinaktifkan secara perlahan-lahan sehingga akan menimbulkan respons selular
yang berlebihan terhadap signal dari reseptor . Adanya point mutation pada gen RAS
banyak ditemukan pada berbagai tumor termasuk kanker usus besar, paru, payudara dan
kandung kemih.
3. aktivasi melalui translokasi gen
Mekanisme ini jarang ditemukan pada kanker tetapi banyak didapatkan pada tumor
kanker darah dan sarcoma. Contoh yang umum adalah kromosom Philadelphia (Ph)
chromosome yang merupakan kromosom akrosentrik kecil ditemukan pada 90% pasien
dengan kronis myeloid leukemia. Kromosom ini dibentuk dari proses translokasi
kromosom 9 dengan kromosom 2. Pada proses translokasi ini kromosom 9 mengalami
patahan pada intron oncogene ABL. Ujung 3’ gen ABL akan menyatu dengan ujung 5’
dari gen BCR yang berasal dari patahan kromosom 9, sehingga membentuk fusi gen
baru. Gen ini kemudian akan menghasilkan ensim tyrosin kinase yang serupa dengan
produk gen ABL tetapi dengan sifat yang sudah abnormal.
4. aktivasi melalui translokasi kedalam daerah kromatin yang aktif bertranskripsi
Pada proses aktivasi ini juga terjadi translokasi gen tetapi fusi gen tidak terbentuk, tetapi
sebaliknya oncogen akan diletakkan pada lingkungan kromatin yang secara aktif
ditranskripsikan di dalam sel B yang menghasilkan antibodi. Contohnya limfoma Burkitt.
Pada limfoma Burkiit terjadi translokasi antara gen 24 yang terletak pada lengan pendek
kromosom 8 dengan gen 32 yang terletak pada lengan pendek kromosom 14 yang
disingkat t(8;14) (q24; q32). Translokasi ini akan menempatkan oncogen Myc dekat
dengan lokus Imunoglobin IGH pada 14q32.

TUMOR SUPPRESSOR
Pertumbuhan berbagai kanker dikontrol oleh berbagai signal eksternal yang bertujuan
untuk mempertahankan homeostasis. Kegagalan untuk menghambat pertumbuhan merupakan
salah satu perubahan mendasar untuk terjadinya kanker. Protein yang berfungsi menghambat
proliferasi sel ini dikenal sebagai tumor supressor gen. Sebetulnya istilah tumor suppressor
kurang tepat karena secara fisiologis fungsi gen ini adalah meregulasi pertumbuhan sel dan
bukan untuk mencegah pembentukan tumor. Karena hilangnya fungsi gen-gen banyak
ditemukan pada berbagai kanker maka dipakailah istilah ini.
Tumor suppressor gene ditemukan pertama kali pada kasus retinoblastoma. Tumor ini
merupakan tumor yang jarang ditemukan dengan insiden kira-kira 1:20.000 bayi dan anak.
Kira-kira 40% kasus ini terjadi secara diturunkan dan 60% berlangsung secara sporadik.
Tumor ini diturunakan secara autosomal dominant. Knudson mengajukan hipotesis ”two hit”
untuk menerangkan terjadinya kanker. Pada kasus yang diturunkan ia berpendapat perubahan
gen ini terjadi pada salah satu orangtua dan gen yang telah mengalami perubahan ini terdapat
pada semua sel somatik, sementara mutasi kedua terjadi pada sel-sel retina yang telah
mengalami mutasi. Pada kasus sporadik kedua mutasi ini terjadi secara somatik pada satu sel
retina yang kemudian memperbanyak diri membentuk tumor.
Pada retinoblastoma terjadi mutasi berupa delesi pada gen RB, oncogen yang terletak
pada kromosom 13q14. Kedua alel yang mengandung gen RB ini mengalami inaktivasi. Pada
kasus Retinoblastoma yang bersifat herediter satu gen RB adalah normal sedangkan alelnya
mengalami mutasi. Gen yang normal ini kemudian mengalami mutasi baik berupa point
mutasi, interstisial delesi 13q14 atau delesi lengkap 13q14. Pada kasus sporadik, kedua alel
RB yang normal ini mengalami perubahan dan menyebabkan terjadinya kanker. Pasien
dengan retinoblastoma yang bersifat familial ini juga mempunyai resiko tinggi untuk
mengalami osteosarcoma dan beberapa jenis sarkoma. Inaktivasi locus RB juga telah
ditemukan pada beberapa tumor lainnya termasuk adenokarsinoma payudara, karsinoma sel
kecil paru, dan karsinoma kandung kemih.
Kanker berkembang ketika mutasi pada alel bersifat homozigot atau kondisi yang
menyebabkan gen RB normal kehilangan sifat heterozigotnya, kondisi ini dikenal sebagai
Loss of Heterozygosity atau LOH. Protein yang dihasilkan oleh tumor supressor gen ini
terlibat dalam kontrol siklus sel (cell cycle), regulasi proses apotosis, dan berbagai aktivitas
selular yang penting lainnya. Mereka mungkin berperan sebagai transcription factors, cell
cycle inhibitor, signal tranducer, cell surface receptor dan regulator respons selular terhadap
kerusakan.
Protein p53 dan Gen p53
Protein p53 (p53) berperan sebagai tumor suppressor disandi oleh gen p53. p53
merupakan faktor transkripsi dengan fungsi utama sebagai pengatur siklus sel, perbaikan
kerusakan DNA, sintesis DNA dan diferensiasi sel dalam apoptosis. (Ratner D. dkk. 2011).
Pinostrobin dapat meningkatkan ekspresi gen p53 pada sel kanker payudara. Meningkatnya
ekspresi gen p53 akan merangsang mitokondria mengeluarkan sitokrom c ke sitosol dan juga
mengaktivasi gen proapoptosis bax, menurunan ekspresi Bcl-2 maka sitokrom dapat
dilepaskan dan akan membentuk komplek dengan caspase 9 dan Apaf-1 untuk mengaktifkan
enzim proteolitik yaitu caspase 3, serta akhirnya akan terjadi apoptosis dan terhambatnya
proses angiogenesis melalui mekanisme down regulasi atau penurunan ekspresi VEGF
(Vascular Ephidermal Growth Factor) serta menurunkan ekspresi Cyclooxigense-2 (COX-2)
dan Matrix Metaloproteinase – 9 (MMP-9) yang juga ikut terlibat dalam proses metastase sel
kanker. (Sukardiman, 2000 ; 2006).
Peran Gen Supresor Tumor p53 Dalam Menghambat Pertumbuhan Tumor
Kematian sel secara fisiologik terjadi terutama melalui bentuk kematian sel yang
disebut dengan apoptosis. Keputusan dari suatu sel mengalami apoptosis dapat dipengaruhi
oleh sejumlah rangsangan dari luar sel. Kegagalan sel untuk mengalami kematian sel
apoptotik mungkin melibatkan patogenesis dari sejumlah penyakit manusia yang meliputi
penyakit-penyakit yang dikarakterisasi dengan terjadinya akumulasi sel, yaitu kanker,
penyakit autoimun, dan penyakit viral tertentu. Akumulasi sel dapat berasal dari proliferasi
sel yang meningkat atau kegagalan sel untuk melakukan proses apoptosis terhadap
rangsangan yang sesuai.
Keseimbangan antara jumlah sel yang diproduksi tubuh dan yang mati pada kebanyakan
organ dan jaringan hewan dewasa dipertahankan dengan baik, hal ini diawasi dengan sistem
pengontrol yang baik salah satu diantaranya dengan peristiwa apoptosis yang biasanya
dikontrol oleh suatu gen dan reseptornya. Salah satu diantaranya adalah Gen Supresor
Tumor /Kanker p53. Kadang-kadang apabila respon imun tidak bekerja normal maka
pertumbuhan sel tidak dapat dikontrol, sel membentuk klon yang berkembang dan
menimbulkan tumor atau kanker atau neoplasma. Misalnya apabila Gen Supresor Tumor /
Kanker p53 mengalami mutasi akibat adanya sel sel asing (antigen) seperti radiasi
kemoterapi, virus dan zat-zat karsinogenik maka sel-sel DNA akan mengalami metastase dan
selanjutnya berproliferasi. (Abbas dkk., 2007; Baratawijaya, 2010).
Pada kanker gen pengendalinya biasanya Gen Supresor Tumor /Kanker p53.
Produk gen p53 dibutuhkan oleh sel untuk menginduksi apoptosis dalam responnya terhadap
kerusakan genotoksik. Hal ini terlihat pada tumor yang tidak memiliki gen p53 ternyata tidak
dapat mengalami apoptosis dalam responnya terhadap kerusakan DNA yang diinduksi oleh
agen kemoterapetika dan radiasi. Sel-sel yang tidak dapat mengalami apoptosis dalam
responnya terhadap kerusakan DNA mungkin lebih cenderung untuk memperoleh
penyimpangan genetik dibanding sel yang normal. Kesalahan atau kekeliruan dalam
“perbaikan” DNA yang rusak dapat berkontribusi terhadap laju mutasi yang tinggi yang telah
diobservasi pada banyak kasus kanker manusia.(Rochman Naim, 2006)
Tumor promoter seperti phorbol myristate acetate (PMA) dan alpha-hexachlorocyclo-hexane
dapat bertindak sebagai faktor spesifik untuk bertahan hidup bagi sel-sel yang
memperlihatkan perkembangan tumor. Hal ini menunjukkan bahwa penghambatan apoptosis
merupakan hal yang lebih penting dalam perkembangan tumor ganas. Hal ini dibuktikan pada
kanker kulit bahwa aktivasi atau induksi gen p53 sebagai respon dari stres sel akibat kanker
atau tumor dapat menghambat ekspansi dan proliferasi berbagai sel yang rusak.(Cita Rosita
S.P., 2008).
Peningkatan ekspresi p53 akan menurunkan gen-gen anti apoptosis (BCl2),
menurunkan gen-gen faktor pertumbuhan (VEGF), menurunkan MMPs-9, menurunkan
COX-2 sehingga terjadi peningkatan proses apoptosis dan terhambatnya angiogenesis.
(Sukardiman, 2006)

Apoptosis

Apoptosis merupakan program bunuh diri dari sebuah sel. Program ini memiliki peran
yang penting untuk menjaga homeostatis perkembang – biakan sel dan dengan adanya
disregulasinya bisa berakibat timbulnya macam-macam penyakit ( Evan dan Litlewood,
1998). Salah satu peran pentingnya adalah untuk membatasi proliferasi sel yang tidak
diperlukan yang sekiranya akan dapat menyebabkan kanker. Pada sel-sel kanker program
apoptosis ini telah mengalami gangguan sehingga sel akan mengalami metastasis (Peter et al,
1997).
Apoptosis terjadi melalui dua jalur yaitu melalui jalur intrinsik dan jalur ekstrinsik
seperti yang ditunjukkan dalam gambar berikut ini :
Gambar Apoptosis
Mekanisme kematian sel kanker secara apoptosis diregulasi oleh adanya : fragmentasi
DNA , tumor supressor gen p53 , gen antiapoptosis Bcl-2 dan aktivitas enzim proteolitik
caspase 3 . Gen p53 akan merangsang mitokondria mengeluarkan sitokrom c ke sitosol dan
juga mengaktivasi gen proapoptosis bax. Gen Bcl-2 adalah merupakan gen antiapoptosis
yang bertanggung jawab dalam proses pelepasan sitokrom dari mitokondria, dengan
penurunan ekspresi Bcl-2 maka sitokrom dapat dilepaskan dan akan membentuk komplek
dengan caspase 9 dan Apaf-1 untuk mengaktifkan enzim proteolitik yaitu caspase 3, serta
akhirnya akan terjadi apoptosis seperti yang ditunjukkan dalam gambar berikut ini ( Nagata ,
1997 ; Cotran , 1999, Rochman Naim, 2006).

Skema sinyal tranduksi dari apoptosis

Angiogenesis
Angiogenesis adalah proses pembentukan pembuluh darah baru yang terjadi secara
normal dan sangat penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Angiogenesis juga
terlibat dalam proses penyembuhan, seperti pembentukan jaringan baru setelah cidera. Akan
tetapi, angiogenesis juga merupakan langkah yang sangat penting dalam Carsiogenesis atau
pertumbuhan sel kanker (cancer) sehingga terjadi perkembangan sel kanker yang tidak
terkendali dan bersifat ganas.
Angiogenesis juga berkembang menjadi sesuatu yang bersifat patologis dan
berhubungan dengan kanker, inflamasi, penyakit kulit dan penyakit mata. Kondisi patologi
angiogenesis ini dikarakterisasi oleh pembentukkan pembuluh darah baru dan penghancuran
sel normal yang ada di sekitarnya. Berbeda dangan angiogenesis fisiologis, angiogenesis
patologi ini dapat berlangsung lama sampai beberapa tahun dan biasanya berhubungan
dengan beberapa gejala klinis. Angiogenesis patologi adalah pembentukkan pembuluh darah
baru yang tidak normal dimana tubuh akan kehilangan kontrol dalam mengatur
keseimbangan sekresi angiogenik stimulator dan inhibitor. Sel kanker akan memproduksi
angiogenics growth factor yang menyimpang dalam jumlah yang banyak dimana efeknya
akan kuat sekali dalam meniadakan efek angiogeneics inhibitor. Sebagai akibatnya adalah
terjadinya pembentukkan pembuluh darah yang baru dengan sangat cepat dalam pola yang
tidak terkontrol. Awal kejadian angiogenesis secara molekular dapat di lihat pada gambar
berikut ini :

Gambar Angiogenesis
(Sumber : National Cancer Institute)

Pertumbuhan sel kanker yang sangat cepat akan menginduksi keadaan kekurangan
oksigen (hypoksia) pada sel kanker tersebut, oleh karena itu sel kanker akan merespon
dengan mengekspresikan hypoxia inducible factor (HIF). Dalam keadaan hipoksia, HIF akan
masuk dan terakumulasi dalam nukleus (inti sel), dimana HIF ini merupakan signal tranduksi
ekspresi gen beberapa protein, diantaranya adalah beberapa protein penting bagi sel kanker
dalam menginduksi peristiwa angiogenesis sel endotel.
Faktor pertumbuhan seperti VEGF, Fibroblas Growth Factor (FGF) dan TGF
akan menginduksi jalur-jalur (seperti PLCγ, PI3K, Src, Smad signaling) yang akan
mengakibatkan proliferasi sel endotel, peningkatan permeabilitas vascular dan migrasi sel
endotel. Ekstrasellular Matrix Protease dan beberapa regulator akan menginduksi matrix
remodeling yang akan mempersiapkan migrasi sel endotel dari pembuluh darah yang telah
ada (host) membentuk pembuluh baru. Cytokines akan meningkatkan pertumbuhan kanker
dan menginduksi ekspresi protein signal (seperti Slit2) yang akan mengembangkan
pembentukan jaringan penghubung pembuluh darah dengan sel kanker.
Selain keadaan hipoksia, jalur PI3K dan Ras juga dapat meningkatkan ekspresi HIF dengan
cara meningkatkan translasi HIF. Kerusakkan jaringan normal, keadaan ischemia dan
inflamasi akan mengakibatkan munculnya magropagh dan bone marrow-derived
inflammatory cells (BDMC) pada area yang didesak oleh sel kanker, dimana monosit ini akan
menginduksi angiogenesis dengan cara yang sama, yaitu dengan pelepasan protein-protein
yang akan menginduksi pembentukan pembuluh darah baru.
Anti Angiogenesis
Salah satu cara dalam terapi kanker adalah dengan menghambat peristiwa
angiogenesis. Penghambatan pembentukkan pembuluh darah baru telah banyak dilakukan
untuk beberapa indikasi, diantaranya adalah dengan menginterfensi angiogenesis pada
pertumbuhan sel kanker. Beberapa mekanisme kerja (Angiogenesis Inhibitor) obat dalam
menghambat angiogenesis dapat dilihat pada gambar. Salah satunya adalah dengan
menghambat kerja VEGF dan atau memblokade reseptor VEGF (VEGFR-1 dan VEGFR-2).

Gambar Inhibitor Angiogenesis


(Sumber : Yance Anas, 2010)

Antiangiogenesis (Angiogenesis Inhibitor) dalam Cancer Chemotherapy dikembangkan


dengan dua cara, yaitu : (1) target utama adalah terhadap faktor angiogeniknya dan (2) adalah
terhadap reseptornya. Mekanismenya adalah dengan menghambat aktifitas molekul faktor
angiogenik yang akan menginduksi enzim ekstraselluar matrix yang akan menyerang dinding
sel endotel pembuluh darah dan menghambat proliferasi sel endotel pembuluh.
Jalur lain yang memacu terjadinya angiogenesis adalah jalur siklooksigenase (COX-2).
(Gately, 2000). Inhibitor COX-2 dapat menghambat angiogenesis melalui NF-κB dan IκBα.
Hal ini berakibat pada penurunan ekspresi COX-2 sehingga akan terjadi kematian sel yang
terprogram / apoptosis. (Shishodia et al., 2003)
Adanya kerusakan DNA sel oleh pinostrobin karena hambatan enzim topoisomerase
dapat mengaktivasi tumor supressor gene p53 selain dapat menginduksi apoptosis, juga
dapat mempengaruhi siklus sel dengan mempengaruhi inhibitor siklus sel p27 dan hambatan
enzim cyclin-dependent kinase. Adanya aktivasi dan stabilisasi produk p53 oleh pinostrobin
maka diduga dapat menghambat efek angiogenesis melalui mekanisme down regulasi atau
penurunan ekspresi VEGF (Vascular Ephidermal Growth Factor) serta menurunkan ekspresi
Cyclooxigense-2 (COX-2) dan Matrix Metaloproteinase – 9 (MMP-9) yang juga ikut terlibat
dalam proses metastase sel kanker.
Matrix Metalloproteinase (MMP)
MMP adalah kumpulan besar enzim yang mampu mendegradasi berbagai komponen
dari ECM (Extra Cellular Matrix). Dalam keadaan normal, MMP hanya terbentuk pada
tempat dan waktu saat remodeling jaringan terjadi, seperti saat perkembangan embrio, proses
penyembuhan luka, involusi jaringan payudara dan uterus, ovulasi, transisi antara kartilago
menjadi tulang sejati dalam proses osifikasi dan proses invasi trofoblast ke dalam stroma
endometrium saat pembentukan plasenta. Namun, MMP juga terbentuk dan berperan pada
keadaan patologis seperti periodontitis, gagal jantung, atherosklerosis, rheumatoid arthritis
dan invasi sel tumor serta proses metastasis dan angiogenesis. Proses pengaktifan dari MMP
dalam keadaan proses patologis seperti kanker banyak mem-bypass proses pengaktifan
normal. Menurut penelitian Deryugina dan Quigley (2006), peran dari MMP dalam
perkembangan tumor dan metastasis lebih kompleks dimana MMP juga bertindak sebagai
mediator utama dalam aktivasi faktor pertumbuhan, bioavailabilitas reseptor dan signaling,
adhesi dan motilitas sel, apoptosis dan mekanisme survival, angiogenesis dan respon imun
serta immune surveilance. (Jessy Chrestella, 2009)

Gambar MMPs
(Sumber : Pat O'Connor,2008)

Secara keseluruhan mekanisme perubahan ekspresi dari p53, COX-2, VEGF dan
MMPs dapat dilihat dalam gambar berikut ini :
Aktivitas siklooxigenase dalam katalase sintesis prostaglandin dengan substart asam
arakidonat serta pengaruhnya terhadap beberapa organ dari jarigan , serta manisfestasi
terhadap beberapa onkogen. Dimana produk katalase COX khususnya COX-2 dapat
meningkatkan Bcl-2 , VEGF/PDGF , MMPs dan menurunkan aktivitas enzim caspase,
sehingga akan meningkatkan proliferasi sel, hambatan apoptsosis dan memacu terjadinya
angiogenesis. Hal ini dapat dilihat dalam gambar berikut ini :

STABILITAS GENOMIK
Ketidak stabilan genomik merupakan gambaran universal yang ditemukan pada
kanker. Ketidak stabilan genomik akan mengakibatkan gen-gen mudah mengalami mutasi.
Ada 2 jenis ketidakstabilan genomik yaitu
1. instabilitas kromosom (chromosomal instability)
merupakan bentuk yang umum ditemukan. Sel-sel tumor mempunyai kariotipe yang
tidak normal yang ditandai oleh banyaknya tambahan kromosom atau banyaknya
kromosom yang hilang. Ketidakstabilan kromosom terjadi karena
a. hilangnya spindle checkpoint
Spindle checkpoint akan mencegah pemisahan kromosom pada saat mitosis
hingga seluruh kromosom telah melekat secara benar pada benang-benang
spindle secara benar. Hilangnya spindle checkpoint akan menyebabkan
terbentuknya sel-sel yang tidak normal. Sel-sel tumor telah kehilangan
kemampuan spindle checkpoint.
b. siklus sel yang berjalan terus menerus setelah terjadi kerusakan DNA.
Pada sel yang DNA nya mengalami kerusakan, secara normal akan terjadi
mekanisme perbaikan DNA (DNA repairing) sebelum memasuki siklus sel
berikutnya, sehingga sel-sel turunan mempunyai DNA yang normal. Pada sel-
sel kanker kontrol ini telah hilang. Beberapa tumor supressor gen terlibat
dalam mekanisma kontrol ini misalnya ATM, nibrin, BRCA-1 dan BRCA-2
c. Replikasi terjadi pada tempat yang mempunyai telomerese yang telah
memendek sehingga proliferasi sel berlangsung terus menerus.
Ujung kromosom manusia diproteksi oleh sekuens berulang (TTAGGG)n
yang dipertahankan oleh ensim RNA khusus yaitu telomerase. Ensim ini
terdapat pada sel-sel benih tetapi sudah tidak ada pada kebanyakan sel
somatik. Panjang telomere ini berkurang 50-100 basepair pada setiap generatsi
sel berikutnya, sehingga akhirnya sel ini kehilangan kemampuan untuk
memperbanyak diri lagi dan mencapai stadium jenuh (senescence). Pada sel
yang mempunyai gen p53 atau Rb yang tidak berfungsi proses perbanyakan
sel akan tetap berlangsung walaupun telomer telah menjadi sangat pendek dan
akan menghasilkan sel-sel yang tidak stabil yang mudah mengalami mutasi.
2. ketidakstabilan mikrosatelit (microsatellite instability)
Ketidakstabilan yang terlihat ditingkat DNA yang ditemukan pada beberapa jenis
tumor khususnya beberapa tumor kolon. Pada sel yang mengalami Loss of
Heterozygosity atau LOH dapat ditemukan adanya alel tambahan atau alel baru. Hal
ini ditemukan pada hereditary nonpolyposis colon cancer (HNPCC).

KONTROL SIKLUS SEL


Pada setiap sel akan terdapat 3 pilihan untuk masa depannya apakah akan statis,
membelah diri (proliferasi) atau mati (apoptosis). Bila ada sinyal/rangsangan dari luar atau
dalam sel akan memilih salah satu dari 3 pilihan tersebut. Oncogen dan tumor supressor gen
berperan dalam penerusan dan interpretasi sinyal-sinyal ini.
Pada siklus sel terdapat beberapa check point yang akan mengevaluasi apakah proses
mitosis akan memasuki tahap selanjutnya. Chekpoint tersebut adalah

1. G1-S checkpoint
Pada titik ini replikasi DNA akan dihambat bila ada DNA yang rusak yang belum
diperbaiki (unrepair DNA). Kerusakan yang tidak diperbaiki akan menyebabkan gen akan
mengalami apoptosis. Pada phase S mungkin ada checkpoint tambahan lain untuk
memeriksa ada tidaknya kerusakan DNA.
Pada sel-sel tumor G1-S checkpoin akan diinaktifkan . Ada 3 macam tumor supressor
gene yang terlibat dalam G1-S Checkpoin yaitu RB, P53 dan CDKN2A. Pada semua sel
tumor tampaknya gen RB dan p53 mengalami inaktif, sehingga akan terjadi mitosis yang
berlebihan dan dihambatnya apoptosis.
Aktivasi gen p53 normal oleh agent perusak DNA atau oleh kondisi hipoksia akan
menyebabkan tertahannya siklus sel pada fase G1 dan menginduksi terjadinya proses
DNA repairing dengan cara meningkatkan kerja gen p21 yang berfungsi menghambat
kerja dari cyclin dependent kinase dan merangsang kerja gen GADD45 yang berperan
dalam proses DNA repairing. Keberhasilan proses repairing DNA akan membawa sel
memasuki tahapan siklus sel selanjutnya. Bila proses repairing ini gagal gen p53 akan
menginduksi gen BAX yang berperan dalam promosi proses apoptosis. Pada sel yang
fungsi gen p53 telah hilang atau gen p53 mengalami mutasi akan menyebabkan sel yang
mengandung DNA yang rusak ini untuk terus berproliferasi dan dapat menyebabkan
timbulnya keganasan.
2. G2-M checkpoint
Pada titik ini sel akan dihambat agar tidak memasuki tahap mitosis sebelum proses
replikasi DNA dan perbaikan DNA dari segala kerusakan selesai.
3. Spindle checkpoint
Spindle checkpoint akan mencegah pemisahan kromosom pada saat mitosis hingga
seluruh kromosom telah melekat secara benar pada benang-benang spindle secara benar.
Hilangnya spindle checkpoint akan menyebabkan terbentuknya sel-sel yang tidak normal.
Sel-sel tumor telah kehilangan kemampuan spindle checkpoint.
Banyak penderita kanker kini berhasil dirawat. Misalnya saja diperkirakan bahwa, dari
lebih dari 5 juta penderita kanker di Amerika, 3 juta berhasil bertahan hingga lebih daripada
lima tahun, dan hampir semua yang bertahan itu dapat dikatakan telah sembuh. Pendekatan
modern terhadap pengobatan kanker turut memberikan penekanan terhadap kualitas hidup
pasien - baik secara jasmani maupun secara mental.
Terdapat banyak jenis kanker dimana peluang penderita untuk hidup telah meningkat
berkali-kali lipat dibandingkan dengan beberapa tahun lalu.Mungkin pengobatan kanker anak
yang mengalami perkembangan terpesat.Misalnya saja, 90 persen anak-anak dapat
disembuhkan dari penyakit Hodgkin, dimana 30 tahun yang lalu jumlah ini hanya
setengahnya saja.Bentuk kanker lainnya, seperti penyakit non-Hodgkin, sejumlah penyakit
leukemia, dan kanker testis berhasil diobati.Demikian pula beberapa bentuk kanker kandung
kemih tak menyebar tertentu, yang jika terdeteksi secara dini dapat dihambat dalam waktu
beberapa tahun.
Tingkat kematian akibat kanker telah jauh berkurang pada orang-orang yang berumur
dibawah 50 tahun, dan kemungkinan besar hal ini disebabkan karena gaya hidup dan
lingkungan yang lebih sehat yang telah mengurangi penghirupan jangka panjang akan zat
penyebab kanker. Diagnosa yang lebih dini, yang sudag tentu penting dalam semua kasus
kanker, dan perbaikan pengobatan di dunia medis turut menjadi faktor penentu.Penurunan ini
diharapkan dapat berlangsung juga di kelompok umur yang lebih tua seperti yang terjadi pada
umur yang lebih muda ini.
Penurunan jumlah perokok di beberapa negara mulai memperlihatkan dampak dalam
angka penderita kanker di negara yang bersangkutan.Misalnya saja, jumlah kematian laki-laki
di Inggris akibat kanker paru-paru akhirnya mulai mengalami penurunan.Hanya saja, jumlah
wanita yang meninggal akibat penyakit itu masih mengalami peningkatan; wanita Skotlandia
memiliki angka kematian tertinggi di dunia akibat kanker paru-paru.
Secara menyeluruh, resiko kematian akibat kanker telah mengalami peningkatan selama
30 tahun terakhir ini. Penyebab utamanya adalah karena kanker terutama merupakan penyakit
manula dan, seiring keberhasilan pencegahan kematian pada usia muda oleh penyakit lainnya
seperti penyakit jantung, lebih banyak orang yang dapat hidup cukup lama hingga mencapai
umur yang rentan terhadap penyakit kanker.
Kanker merupakan penyebab utama kedua kematian orang dewasa di belahan Barat, dan
merupakan salah satu penyebab utama kematian anak-anak akibat penyakit yang berumur
antara 1 hingga 14 tahun.Meskipun demikian, penyakit ini jarang menyerang orang muda. Di
Inggris Raya, kanker menyerang kira-kira 1 dari antara 650 anak-anak.
Laju kematian sesuai umur per 100.000 jumlah penduduk dari semua penderita kanker
laki-laki adalah 246,5 di Hungaria (salah satu yang tertinggi), sedangkan di Meksiko laju ini
hanya mencapai 83,5 (salah satu yang terendah). Bagi wanita, lajunya adalah 139,8 di
Denmark dan 62,3 di Mauritius. Laju bagi Inggris dan Wales adalah 179,2 bagi laki-laki dan
125,7 bagi wanita; di Amerika Serikat, laju ini adalah 164,4 bagi laki-laki dan 110,6 bagi
wanita. Untuk bentuk kanker tertentu, perbedaan laju antar negara dapat mencapai 40 kali
lipat. Penelitian terhadap populasi yang bermigrasi dari satu wilayah geografis ke yang
lainnya memperlihatkan bahwa perbedaan ini adalah sebagai akibat dari perbedaan gaya
hidup, dan bukan karena faktor etnis. Hal ini konsisten dengan temuan lainnya yang
memperlihatkan bahwa kebanyakan kanker terutama berhubungan dengan penyebab yang
berasal dari lingkungan dan bukan diakibatkan faktor keturunan, meskipun keduanya dapat
saling berinteraksi.
Kanker yang paling banyak menimbulkan korban di Eropa dan Amerika Serikat adalah
kanker paru-paru, usus besar (kolorektal), payudara, prostat, dan perut.Jika digabungkan,
setengah dari seluruh jumlah kematian akibat kanker disebabkan kanker jenis ini.Mereka
sekaligus, bersama-sama dengan kanker kulit, merupakan jenis kanker yang paling umum
menyerang manusia.Kanker kulit adalah kanker pertama atau kedua yang paling umum di
banyak negara Barat seperti Amerika Serikat, Australia, dan Inggris Raya.Untung saja kanker
kulit, kecuali melanoma maligna (jenis yang paling jarang tetapi yang paling hebat), jarang
berakibat fatal.
Kira-kira 80 persen kanker secara potensial dapat dicegah.Penyebab utama terbesar yang
diketahui adalah merokok, yang menyusun 30 persen dari jumlah kematian akibat
kanker.Walaupun penyebab kanker belum diketahui semuanya, tetapi semakin banyak bukti
menunjukkan bahwa dampak merokok, makanan, radiasi, faktor keturunan, hormon, zat
kimia, dan beberapa jenis infeksi tertentu turut mempengaruhi hal ini.

Deteksi dan Diagnosa


Semakin dini kanker didiagnosa dan dirawat, semakin besar peluang
sembuhnya.Penyinaran berguna untuk mendeteksi beberapa kanker, namun orang masih
harus waspada terhadap gejala-gejala karena kanker mungkin timbul diantara
penyinaran.Setiap orang harus mencatat tanda-tanda peringatan awal kanker yang tidak bisa
disinar.

Gejala-gejala berikut ini membutuhkan perhatian:


- Perubahan pada kebiasaan buang air kecil dan besar.
- Sakit tenggorok yang tidak sembuh-sembuh.
- Pendarahan yang tidak biasa.
- Benjolan pada dada atau tempat lain.
- Gangguan pencernaan atau kesulitan menelan.
- Perubahan pada kutil atau tahi lalat.
- Batuk yang membandel atau serak.
- Gejala-gejala ini, termasuk juga benjolan yang tidak bisa dijelaskan, rasa sakit, kehilangan
berat badan, dan kelelahan, harus diperiksakan ke dokter. Walau satu atau lebih gejala
dapat menandakan sesuatu yang lain selain kanker, pemeriksaan untuk memastikan
penyebab mereka adalah langkah terbaik.
- Pemeriksaan fisik untuk kanker termasuk pemeriksaan dan perabaan tempat-tempat yang
rentan, terutama payudara, leher, kulit, sekat rongga dada, kemaluan, dan daerah kelenjar
getah bening. Dapat juga termasuk pemeriksaan lubang-lubang tubuh, khususnya
pemeriksaan dubur untuk kanker usus dan prostat, dan pemeriksaan panggul untuk kanker
rahim atau leher.

Pengujian Aktivitas Anti Kanker dapat diperiksa secara in vitro dan in vivo
In vitro adalah uji aktivitas yang dilakukan di luar sel seperti misalnya membuat atau
menghidupkan sel line dalam kultur jaringan
In vivo adalah uji aktivitas yang dilakukan di dalam sel seperti misalnya membuat
kanker dalam hewan coba dengan zat-zat karsinogenik seperti misalnya membuat
fibrisarkoma dalam mencit dengan induksi benzopiren.
Salah satu screening awal senyawa yang berpotensi dikembangkan sebagai senyawa
anti kanker adalah dengan metoda BSLT dengan mempergunakan larva udang dengan
melihat atau mengukur LC50. Hal ini pertama kali dikembangkan oleh Meyer dan kawan-
kawan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 7 dari sembilan sampel yang positif agen
antikanker (LC50 < 1000 ppm) ternyata positif menghambat pertumbuhan sel line kanker.
Secara in vivo pemeriksaan senyawa antikanker dapat dilihat dari ekspresi enzim
topoisomerase, enzim caspase, p53, bax, Bcl2, Fas, VEGF,FGF,TGF, COX dan MMPs.
Metoda pemeriksaannya dapat dilakukan dengan metoda PCR atau imunohistokimia.

Contoh Pemeriksaan Senyawa Antikanker

Pemeriksaan Senyawa Anti Kanker dengan metoda Imunohistokimia


Fibrosarkoma
Fibrosarkoma merupakan sebuah proliferasi keganasan dari fibroblas. Fibroblas
merupakan sel - sel yang secara normal menghasilkan jaringan fibrous di seluruh tubuh.
Fibrosarkoma memiliki kecenderungan untuk bertumbuh secara lambat pada awalnya, di
dalam mulut dapat terlihat sebagai massa sub - mukosa yang tidak berbahaya dengan batas
tegas, warna normal dan tidak sakit. Keganasan fibroblas jarang terjadi pada regio oral dan
oropharyngeal. Tetapi meskipun begitu fibrosarkoma merupakan kanker mesenkimal yang
paling umum ditemukan pada regio tersebut mewakili lebih dari setengah dari keseluruhan
sarkoma. Fibrosarkoma oral dapat terjadi pada semua kelompok usia, namun insidens puncak
adalah pada usia 35 sampai 45 tahun, dengan usia rata-rata sekitar 40 tahun. Tidak ada
predileksi seks secara langsung dan semua daerah sub-mukosa dapat terlibat. Fibrosarkoma
seringkali secara klinis tampak sebagai massa sub - mukosa yang tidak berbahaya, berlobus,
terfiksasi namun tak bertangkai, tidak nyeri, dan non hemoragik. Fibrosarkoma
bagaimanapun juga dapat secara cepat membesar, menjadi sebuah massa hemoragik dan
merusak otot dan tulang yang terletak di bawahnya. Fibrosarkoma sering tampak sebagai lesi
dengan bentuk yang bervariasi. Pada kasus ini, pemeriksaan histopatologi mendiagnosa
sebagai fibrosarkoma dengan total histological grading 3 yaitu poorly differentiated
(fibrosarkoma yang kurang berdifferensiasi baik) dimana memperlihatkan sel lesi yang
membesar, lebih hiperkromatik, pleomorfik dan nucleus lebih bulat. (Anonim, 2005)
Fibrosarkoma dapat dibuat pada mencit yang diinduksi benzo(a)pirena pada tengkuk
yang secara makroskopis akan terlihat benjolan yang besar sekitar 15 hari seperti yang
terlihat dalam gambar berikut ini :

Gambar 2.1. Gambar 2.2.


Fibrosarkoma pada tengkuk mencit Mencit normal
(Wijayanti Pujitono, 2010) (Wijayanti Pujitono, 2010)
Pada teknik pewarnaan jaringan fibrosarkoma dapat dilihat sebagai berikut :

Gambar 2.3.
Jaringan fibrosarkoma
(Sumber Wijayanti Pujitono, 2010)

Metode atau teknologi Selective Apoptosis Antineoplastic Drug (SAAND) , yaitu


suatu teknologi untuk melakukan skrining aktivitas terhadap senyawa sintesis atau senyawa
hasil isolasi bahan alam yang diharapkan memiliki aktivitas antikanker yang selektif dimana
diharapkan hanya membunuh sel kanker saja. Salah satu persyaratan utama yang harus
dipenuhi yaitu mekanisme antikanker dari senyawa yang diuji tersebut melalui jalur
apoptosis, bukan jalur nekrosis. Salah satu indikator terjadinya apoptosis pada sel kanker
adalah dengan terbentuknya fragmentasi DNA sel kanker (Cotran, 1999 ; Nagata , 1997) .
Salah satu diantaranya adalah senyawa pinostrobin dari temu kunci (Kaempferia pandurata
Roxb ) yang diharapkan memiliki aktivitas antikanker terhadap kanker Fibrosarkoma
Mencit Hasil Induksi Benzopirena dengan mekanisme apoptosis. Penelitian ini akan
menentukan potensi senyawa pinostrobin dari rimpang temu kunci (Kaempferia pandurata
Roxb) terhadap induksi apoptosis dan ekspresi p53, Bax , Bcl-2 , pelepasan cytochrom c dan
aktivasi enzim caspase dari sel kanker Fibrosarkoma Mencit Hasil Induksi Benzopirena
secara in vivo.

Pinostrobin

Pinostrobin merupakan salah satu senyawa flavonoid golongan flavanon. Nama


lengkap Pinostrobin adalah 5-hidroksi-7-metoksi-flavanon. Pinostrobin dapat diisolasi dari
rimpang Temu Kunci (Kaempferia pandurata Roxb). Rimpang Temu Kunci mengandung
2,5% Pinostrobin. (Oka Adi Parwata, 1999). Adapun struktur Pinostrobin yang diisolasi dari
rimpang Temu Kunci (Kaempferia pandurata Roxb) adalah sebagai berikut :
H3CO O

OH O

Berdasarkan penelitian Pinostrobin mempunyai bioaktivitas sebagai zat anti


mutagenik (Rahma, dkk. 1999), Cytotoxic pada sel kanker payudara (Sukardiman, 2000),
toksik pada larva udang (Uji BSLT) dengan LC50 =63,9 ppm dan anti radikal bebas atau
antioksidan dengan % peredaman > 50% (Oka AP. 2001) sehingga dapat dikembangkan
sebagai agent antikanker.
Pinostrobin dapat menghambat enzim DNA Topoisomerase, dimana enzim DNA
Topoisomerase mempunyai fungsi yang penting dalam proses intraseluler, yaitu berperan
dalam proses replikasi, transkripsi , rekombinasi DNA dan proses proliferasi dari sel kanker.
Dengan dihambatnya aktivitas enzim DNA Topoisomerase oleh senyawa inhibitor, maka
proses terjadinya ikatan antara enzim dengan DNA sel kanker semakin lama, dan akan
terbentuk Protein Linked DNA Breaks (PLDB), akibatnya terjadi fragmentasi / kerusakan
DNA sel kanker dan selanjutnya berpengaruh terhadap proses didalam sel khususnya proses
replikasi sel yang diakhiri dengan kematian sel kanker. (Sukardiman, 2000, 2006).
Pinostrobin juga dapat menaikkan p53 dimana p53 merupakan tumor suppresor
protein yang bertanggung jawab pada mekanisme apoptosis sel kanker. Mekanisme tersebut
merupakan regulasi repair suatu sel yang terinduksi kanker. Ekspresi protein p53 spesifik
terjadi pada sel-sel yang mengalami propagasi menjadi sel aberrant dan membutuhkan
regulasi kematian terprogram yang disebut apoptosis. Semakin tinggi ekspresi protein p53,
semakin tinggi pula kecenderungan terjadinya suatu apoptosis. Pada pengamatan ekspresi
p53 menggunakan metode pengecatan imunohistokimia, ekspresi p53 ditunjukkan dengan
warna coklat pada sitoplasma sel. (Sukardiman, 2006) Pada pengamatan ekspresi p53
menggunakan metode pengecatan imunohistokimia, ekspresi p53 ditunjukkan dengan warna
coklat pada sitoplasma sel.
Adanya aktivasi dan stabilisasi produk p53 oleh pinostrobin maka diduga dapat
menghambat efek angiogenesis melalui mekanisme down regulasi atau penurunan ekspresi
VEGF (Vascular Ephidermal Growth Factor) serta menurunkan ekspresi Cyclooxigense-2
(COX-2) dan Matrix Metaloproteinase – 9 (MMP-9) yang juga ikut terlibat dalam proses
metastase sel kanker. Angiogenesis merupakan pembentukan kapiler darah dari sel kanker
solid yang memiliki ukuran lebih besar dari 1-2 mm, akibatnya akan terjadi perkembangan
dan pertumbuhan kanker dan akhirnya dapat menyebar keseluruh jaringan.
Untuk melihat daya hambat suatu senyawa bahan alam dapat dipergunakan metoda
Imunohistokimia.

Imunohistokimia

Imunohistokimia adalah metode untuk mendeteksi protein di dalam sel suatu jaringan
dengan menggunakan prinsip pengikatan antara antibodi dan antigen pada jaringan hidup.
Pengecatan imunohistokimia banyak digunakan pada pemeriksaan sel abnormal seperti sel
kanker. Molekul spesifik akan mewarnai sel-sel tertentu seperti sel yang membelah atau sel
yang mati sehingga dapat dibedakan dari sel normal. Pemeriksaan ini membutuhkan jaringan
dengan jumlah dan ketebalan yang bervariasi tergantung dari tujuan pemeriksaan. Umumnya
jaringan yang berasal dari tubuh akan dipotong menjadi potongan yang sangat tipis dengan
menggunakan alat yang disebut vibrating microtome.
Reaksi kimiawi ditandai adanya reaksi antara enzim dan substrat yang sifatnya
spesifik karena bahan yang dideteksi akan direaksikan dengan antibodi yang spesifik yang
dilabel dengan suatu enzim. Enzim yang biasanya sering digunakan untuk melabel antibodi
tersebut dapat berupa enzym peroksidase, alkali fosfatase dan β-galaktosidase. Apabila
antibodi yang dilabel dengan peroksidase maka substrat yang digunakan adalah peroksidase,
apabila antibodi yang dilabel dengan alkalifosfatase maka substrat yang digunakan adalah
alkalifosfat dan apabila antibodi yang dilabel dengan β-galaktosidase maka substrat yang
digunakan adalah β-galaktosa. Untuk menandai adanya suatu reaksi enzymatik maka
digunakanlah suatu indikator warna (chromogen) seperti α-naftol (berwarna biru) dan DAB
(3,3-diaminobenzidine) berwarna coklat.
Beberapa contoh imunohistokimia yang banyak digunakan antara lain :
 Carcinoembryonic Antigen (CEA) mengidentifikasi adenocarcinoma. Sifat kurang
spesifik.
 Cytokeratins mengidentifikasi carcinoma, namun dapat pula member hasil positif
pada kasus sarcoma.
 CD 15 dan CD 30 digunakan untuk penyakit Hodgkin
 Alpha Fetoprotein untuk tumor yolk sac dan kanker sel hati
 CD 117 (KIT) untuk tumor gastrointestinal stromal
 Prostate Spesific Antigen (PSA) untuk kanker prostat
 Estrogen dan progesteron mendeteksi sel tumor
 CD 20 mengidentifikasi limfoma sel B
 CD 3 mengidentifikasi limfoma sel T
 DAB dalam mengidentifikasi fibrosarkoma tikus

Uji Aktivitas senaya Anti kanker secara In Vivo dapat dilakukan dengan tahap-tahap berikut
ini :

Isolasi Pinostrobin
Sebanyak 1000 gram serbuk rimpang temukunci diektraksi dengan 3 liter heksan
dengan cara maserari, dan maserasi diulang 5 kali. Kemudian ekstrak heksan diuapkan
dengan rotavapour, dan dilanjutkan pemurnian senyawa pinostrobin dengan cara kolom
kromatografi dengan fase diam silica gel dan fase gerak n-heksan : atil asetat (3 :1) . Kristal
yang terbentuk direkristalisasi dengan metanol panas dan dilanjutkan dengan penyaringan.
Selanjutnya dilakukan uji kemurnian dengan HPLC. Kristal pinostrobin yang diperoleh dan
sudah dianggap murni secara HPLC selanjutnya dilakukan identifikasi dengan kromatografi
lapis tipis (KLT ) densitometri, spektroskopi UV, FTIR, 1H - 13C NMR , MS dan difraksi
Sinar X tiga dimensi.

Induksi sel kanker Fibrosarkoma Mencit Hasil Induksi Benzopirena


Mencit jantan sebanyak 40 ekor mengalami proses adaptasi penelitian, selanjutnya
semua mencit mendapatkan induksi benzopiren sebanyak 0,3 mg/0,2 mL dalam oleum
olivarium secara injeksi subkutan pada daerah scapular sebanyak 5 kali, tiap dua hari sekali.
Selanjutnya seluruh mencit dipelihara dalam suasana dan diet yang sama selama dua bulan /
terbentuk kanker pada daerah tengkuk, Setelah volume kanker mencapai ± 100 mm3, mencit
yang menderita kanker dikelompokkan secara acak menjadi 4 kelompok. Kelompok I adalah
kontrol negatif, hanya diberikan CMC-Na. Kelompok II diberikan pinostrobin dosis 80
mg/kgBB ; kelompok III diberikan pinostrobin dosis 60 mg/kgBB ; kelompok IV diberikan
siklofosfamid dengan dosis 13,33 mg/kgBB. Semua bahan uji diberikan secara intraperitonial
(oral) dan diberikan setiap hari selama 14 hari. Setelah itu mencit dikorbankan dan dilakukan
pengambilan jaringan kanker dan kemudian dilakukan penimbangan berat kanker.

Pemeriksaan Hambatan Angiogenesis dengan Menentukan Ekspresi p53, VEGF,


COX-2 dan MMP-9 serta dengan Metoda Imunohistokimia

Mula-mula dilakukan clearing dan rehidrasi secara bertingkat terhadap sediaan irisan kanker
baik baik kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan yang disimpan dalam 10% larutan
formadehid, kemudian dicuci 3 kali dengan destilate water (DW) masing-masing 5 menit kemudian
cairan di sekitar jaringan dikeringkan. Setelah itu bagian potongan jaringan dilingkari dengan pen lalu
direndam dalam 3% H2O2 dalam DW 15 menit pada suhu kamar. Kemudian sediaan dibilas 3 kali
dengan DW dan 3 kali dengan PBS masing-masing 5 menit.
Langkah selanjutnya sediaan diinkubasikan dengan 10% normal goat serum 30 menit pada
suhu kamar kemudian dibilas 3 kali dengan PBS masing-masing 5 menit. Kemudian sediaan
diinkubasikan dengan antibodi primer (p53, COX-2, VEGF dan MMPs-9) lalu dibilas 3 kali dengan
PBS masing-masing 5 menit, setelah itu diinkubasikan dengan sekunder (p53, COX-2, VEGF dan
MMPs-9) (p53, COX-2, VEGF dan MMPs-9) selama 30 menit pada suhu kamar. Pada waktu yang
sama, 10l avidin dan 10l biotin diinkubasi dalam 1 ml PBS. Selanjutnya sediaan dibilas 3 kali
dengan PBS masing-masing 5 menit kemudian diinkubasikan dengan campuran avidin dan biotin 30
menit pada suhu kamar lalu dibilas 3 kali dengan PBS masing-masing 5 menit dan diinkubasikan
dengan larutan DAB. Langkah selanjutnya dilakukan counterstaining dengan hematoxylin kemudian
dehidrasi, selanjutnya sediaan ditutup dengan cover glass. Selanjutnya preparat ini di analisis dengan
Mikroskop dengan pembesaran 400x untuk melihat prosentase kenaikan dan hambatan dari senyawa
pinostrobin terhadap ekspresi p53, COX-2, VEGF dan MMPs-9.

Contoh hasil penelitian tentang apoptosis dan antiangiogenesis yang diperiksa secara
imunohistokimia sbb :

Sel tanpa apoptosis Sel yang mengalami Apoptosis

Sel yang mengalami apoptosis


Sel-sel yang menunjukkan aktivitas prolifersi (apoptosis) akan ditunjukkan oleh inti
yang berwarna kecoklatan dikelilingi zona bening
Angiogenesis Antiangiogenesis

MMPs-9
Beberapa Contoh Pemeriksaan dengan metoda PCR dan PT PCR
Kanker kolorektal merupakan keganasan keempat di seluruh dunia dengan perkiraan
kasus 1.023.000 dan kematian 529.000 tiap tahunnya. Di Amerika Serikat kanker kolorektal
menduduki urutan keganasan ketiga (Santosa,2009). Di Kanada kanker kolorektal
merupakan penyebab kematian kedua, pada tahun 2006 tercatat 20.000 kasus kanker
kolorektal dan 8500 orang meninggal (Zarychanski, 2007). Dari semua jenis kanker yang
ada, kanker kolorektal merupakan penyebab kematian kedua. Jumlah penderita kanker
kolorektal pada laki-laki sedikit lebih banyak daripada wanita dengan perbandingan
sebesar 19,4 dan 15,3 per 100.000 penduduk (Aru, 2010). Angka kejadian kanker kolorektal
secara nasional belum ada. Pada 14 provinsi di Indonesia ditemukan 1378 kasus kanker
kolorektal dari total penduduk 134.743.420 atau 1,8 per 100.000 penduduk (Aswiyanti,
2004). Berdasarkan data patologi anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas pada tahun
1999 dan 2003 kanker kolorektal menduduki peringkat ke-2 dari 10 kanker terbanyak di
Sumatera Barat dengan persentase kasus 11,13% dan 16,74% ( Horiza,2011). Berdasarkan
data Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) M. Djamil Padang 2007 diketahui bahwa ada
238 pasien kanker kolorektal. Salah satu penyebab terjadinya kanker kolorekatal adalah
mutasi dan allelic loss dari gen p53 (Mahdani. 1997). Mutasi gen p53 menyebabkan
hilangnya fungsi p53 sebagai pengatur perkembangan dan pematian sel yang tidak normal
(Geutskens, 2000).
Berdasarkan hasil penelitan yang diperoleh dari 109 pasien penderita kanker
kolorektal di Hospital Saint-Antoine Prancis. Ekspresi mutasi pada tingkatan mRNA gen
p53 terdapat tiga mutasi titik menimbulkan stop pada kodon 148, 186 dan 193. Dari 44
kasus 33 diantaranya mengalamin missense mutasi, yang umumnya terjadi pada kodon
175, 245, 248, 273, dan 272. Sembilan mutasi pada kodon 273 (enam diantaranya
perubahan dari CGT→TGT atau dari asam amino R→Q, tiga perubahan dari
CGT→CAT atau dari asam amino R→H). Enam missense mutasi pada kodon 248 (empat
diantarnya perubahan dari CGG→CAG atau dari asam amino R→Q, dan dua perubahan
dari CGG→TGG atau dari asam amino R→W). Dua missense mutasi pada kodon 175
(perubahan dari CGC→CAC atau asam amino R→H dan CGC→GGC atau asam amino
R→G). Mutasi pada kodon 245 (perubahan dari GGC→GGA atau dari asam amino G→D
and GGC→TGC atau dari asam amino G→C). Dua mutasi lagi terjadi pada kodon 272
(perubahan dari GTG→ATG atau dari asam amino V→M dan dari GTG→TTG atau dari
asam amino V→L), ada juga delesi sitosin pada kodon 257 dan 301, delesi adenin pada
kodon 280. Selain itu juga ada insersi 5 basa pada kodon 263 (Mahdani, 1997 ; Horiza,
2011).
Hasil penelitian Hevi Horiza (2011) menunjukkan terdapat mutasi gen p53 pada exon
7 pada kodon 226,230,230,231,232, 248,249 dengan jenis mutasi antara lain misense
mutasi, silent mutasi dan mutasi delesi. Untuk exon 8 ditemukan mutasi delesi pada kodon
263 dan 294. Hasil amplifikasi PCR gen p53 exon 7dan exon 8 selanjutnya disekuensing dua
arah dengan menggunakan primer forward dan reverse. Data hasil sekuensing dianalisis
dengan program software DNAstar. Sekuen yang diperoleh dibandingkan dengan database
searches yang terdapat pada NCBI internet site (http:}}www.ncbi.nlm.nih.gov})
menggunakan program blastn (basic local alignment search tool nucleotida). Berdasarkan
data hasil blastn tersebut maka dapat dilihat pada kodon berapa terjadi mutasi exon 7 dan
exon 8 pada gen p53. Dari data sekuensing dapat diketahui pada kodon berapa terjadi mutasi
exon 7 gen p53. Seperti yang ditunujukkan dalam tabel berikut ini ( Horiza, 2011)
Tabel 3.1 Mutasi gen p53 pada exon 7

Nama Kodon Basa yang Asam amino Jenis mutasi


Pasien berubah
40 C 226 GGC→GGT Gly →Gly Silent
230 ACC→CC Thr → ------- Delesi
231 ACC→CCC Thr → Pro Missense
232 ATC→CTC Ile → Leu Missense
248 CGG→CAG Arg→ Gln Missense
43 C 249 AGG→AAG Arg→ Lys Missense
14 C 226 GGC→GGT Gly →Gly Silent
230 ACC→CC Thr → ------- Delesi
231 ACC→CCC Thr → Pro Missense
232 ATC→CTC Ile → Leu Missense
248 CGG→CAG Arg→ Gln Missense
21 C 226 GGC→GGT Gly →Gly Silent
230 ACC→CCC Thr → Pro Delesi
231 ACC→CCC Thr → Pro Missense
232 ATC→CTC Ile → Leu Missense
248 CGG→CAG Arg→ Gln Missense
Sumber : Horiza, 2011

Berdasarkan data hasil analisis mutasi terlihat bahwa mutasi yang terjadi pada
wilayah exon 7 dari 5 sampel pasien adalah 4 mutasi berupa mutasi silent pada kodon 226
yaitu pengantian basa ketiga dari kodon 226 sistein oleh timin (GGC→GGT), akan tetapi
asam amino yang disentesa tetap glisin yang merupakan asam amino netral. Mutasi ini
tidakakan merubah sintesa protein yang akan dihasilkan ( Horiza,2011).
Sepuluh mutasi berupa mutasi misense, 3 mutasi pada kodon 231 yaitu pegantian
basapertama dari kodon 231 Adenin oleh sistein (ACC→CCC), dari asam amino treonin
menjadi prolin. Pergantian asam amino yang disintesa dari treonin yang merupakan asam
amino netral dengan rantai samping polar menjadi asam amino prolin dengan rantai samping
non polar ( Horiza,2011).
Tiga mutasi pada kodon 232 yaitu pengantian basa pertama dari kodon 232 dari
adenin menjadi sitosin (ATC→CTC) dari asam amino isoleusin menjadi leusin. Pergantian
asam amino yang disentesa dari isoleusin menjadi leusin yang sama-sama merupakan asam
amino netral dengan rantai samping non polar. Rantai samping yang dimiliki isoleusin dan
leusin sama tetapi posisi (CH3) pada rantai samping isoleusin berada pada C pertama setelah
Cα, pada leusin berada pada C kedua setelah Cα ( Horiza, 2011).
Tiga mutasi pada kodon 248 yaitu pengantian basa kedua dari kodon 248 dari Guanin
menjadi adenin (CGG→CAG) dari asam amino arginin menjadi glutamin. Pergantian asam
amino yang disentesa dari arginin yang merupakan asam amino basa dengan rantai samping
polar bermuatan positif menjadi asam amino glutamin yang merupakan asam amino polar
tidak bermuatan ( Horiza, 2011).
Satu mutasi pada kodon 249 yaitu pengantian basa kedua dari kodon 249 dari guanin menjadi
adenin (AGG→AAG) dari asam amino arginin menjadi lisin. Pergantian asam amino yang
disintesa dari asam amino arginin menjadi asam amino lisin yang sama-samamerupakan asam
amino basa yang bersifat polar dan bermuatan positif ( Horiza, 2011).
Tiga mutasi lagi berupa mutasi delesi yang terjadi pada kodon 230 yaitu hilangnya basa
pertama dari kodon 230 ACC→ -CC . Lokasi mutasi exon 7 gen p53 yang ditemukan pada
pasien kanker kolorektal Sumatera Barat memiliki kemiripan dengan mutasi yang terjadi
pada pasien kanker kolorektal di Swedia yaitu sama-sama terdapat mutasi pada kodon 248
pengantian basa kedua dari guanin menjadi adenin (CGG→CAG) dari asam amino arginin
menjadi glutamin (Forslund. 2001). Pada sampel pasien kanker kolorektal yang ada di
Sumatera Barat ditemukan juga wilayah mutasi yang berbeda pada gen p53 exon 7nya, yaitu
pada kodon 226, 230, 231 dan 232. Mutasi kodon 249 juga ditemukan pada pasien kanker
kolorektal di Sumatera Barat. Mutasi pada kodon 249 pada sampel pasien kanker kolorektal
yang ada di Sumatera Barat merupakan mutasi subtitusi yaitu pergantian satu basa dari tiga
basa yang terdapat pada kodon 249 AGG→AAG. Wilayah mutasi yang sama juga ditemukan
pada pasien kanker kolorektal Italia tetapi jenis mutasi yang terjadi adalah mutasi delesi yaitu
kehilangan satu basa dari AGG→AG- (Russo. 2002 ; Horiza, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian Analisis PCR menggunakan primer p53 pada DNA sel
HeLa yang diberi perlakuan dNTP yang terdiri dari dATP, dGTP dan dTTP diperoleh urutan
basa sebagai berikut (Nursid, 2006) :
F. 5’- AAGCAGTCACAGCACATGACGGAG-3’
R. : 5’- GAGTCTTCCAGTGAGATGATGGT-3’
F= Forward R = Reverse
Karsinogen eksogen (dari luar) dan proses biologik endogen dapat menyebabkan
mutasi delesi, insersi atau substitusi basa baik transisi maupun transversi. Mekanisme
endogen kerusakan DNA yang telah diketahui dengan baik adalah fenomena deaminasi 5-
metilsitosin. Metilasi DNA adalah merupakan mekanisme epigenetik yang melibatkan
pengaturan ekspresi suatu gen. Residu sitosin dan 5-metilsitosin masing-masing dapat secara
spontan dideaminasi menjadi urasil dan timin yang jika tidak diperbaiki akan menyebabkan
mutasi transisi G:C→A:T. Mutasi ini paling banyak terjadi pada dinukleotida CpG (sitosin
diikuti oleh guanin) yang seringkali mengalami metilasi. Studi spektrum mutasi menyatakan
adanya corak khas perubahan DNA yang diinduksi oleh mutagen endogen dan eksogen
tertentu dalam gen yang berhubungan dengan kanker. Dan ternyata gen p53 menunjukkan
mutasi yang spesifik untuk sejumlah karsinogen. Makan makanan yang mengandung
sejumlah besar aflatoksin B1 berhubungan dengan transversi G:C→T:A dan substitusi serin
pada residu 249 pada karsinoma hati; pajanan radiasi UV berhubungan dengan mutasi transisi
pada dipirimidin; merokok secara positif berhubungan dengan transversi G:C→T:A pada
kanker paru. Akhir-akhir ini juga telah dilakukan studi spektrum mutasi p53 pada kanker
paru penambang uranium yang menemukan mutasi spesifik (delesi) pada 7 pasien kanker
namun tidak ditemukan mutasi pada gen ras (Syaifudin, 2007).
Analisis sequence pada berbagai Human Ovarian Carcinoma Cell Lines
menunjukkan adanya beberapa perbedaan atau perubahan asam amino dengan standar Human
Ovarian Carcinoma Cell Lines PA-1 seperti yang ditunjukkan dalam tabel berikut ini :

Tabel 3.2 Analisis p53 pada berbagai Human Ovarian Carcinoma Cell Lines
Jenis cell Kodon Basa yang Asam amino
line berubah
PA-1 316 CCC→CTT Phe → Leu
Caov-3 136 CAA→TAA Gln → stop codon
Caov-4 147 GTT→GAT Val → Asp
OVCAR-3 248 GAC→TAC Arg → Gln
Kuramoci 281 GAC→TAC Asp → Tyr
Sumber : Yaginuma, 1992
Pada jenis PA-1 (codon 316) terjadi perubahan basa CCC→CTT yang merupakan
perubahan asam amino Phenil alanin menjadi leusin (Phe → Leu). Pada jenis Caov-3 (codon 136)
terjadi stop kodon sehingga tidak terbentuk p53. Pada jenis Caov-4 (codon 147) terjadi perubahan
basa GTT→GAT yang merupakan perubahan asam amino valin menjadi Aspartat. Pada jenis
OVCAR-3 (codon 248) terjadi perubahan basa GAC→TAC yang merupakan perubahan asam amino
arginin menjadi glutamin. Perubahan pada codon 248 ini hampir terjadi pada semua jenis kanker,
sehingga diharapkan dapat dijadikan indikator atau marker dalam diagnosis pasien yang diduga
kanker. Pada jenis kuramoci (codon 281) terjadi perubahan basa GAC→TAC yang merupakan
perubahan asam amino aspartat menjadi tirosin (Yaginuma, 1992).
Analisis sequence pada berbagai Head and Neck Squqmous Cell Carcinoma Lines
menunjukkan adanya beberapa perbedaan atau perubahan asam amino dengan standar seperti
yang ditunjukkan dalam tabel berikut ini :
Tabel 3.3 Analisis sequence pada berbagai Head and Neck Squqmous Cell Carcinoma Lines
Jenis cell Kodon Basa yang Asam amino
line berubah
UM-SCC-5 157 GTC→TTC Val→Phe
UM-SCC-10B 245 GGC→TGC Gly→Cys
UM-SCC-11B 242 TGC→TCC Cys→Ser
UM-SCC-12 104 CAG→TAG Gln → stop codon
UM-SCC-13 163 TAC→TGC Tyr→Cys
UM-SCC-14A 280 AGA→AGT Arg→Ser
UM-SCC-23 176 TGC→TTC Cys→Phe
UM-SCC-36 158 CGC→CCC Arg→Pro
UM-SCC-46 278 CCT→GCT Pro→Ala
UM-SCC-57 273 CGT→CTT Arg→Leu
UM-SCC-68 248 CGG→TGG Arg→Trp
UM-SCC-81b 193 CAT→CGT His→Arg
Sumber : Carol, 2002
Pada jenis UM-SCC-5 (codon 157) terjadi perubahan basa GTC→TTC yang
merupakan perubahan asam amino Valin menjadi Phenil alanin (Val → Phe). Pada jenis UM-
SCC-10B (codon 245) terjadi perubahan basa GGC→TGC yang merupakan perubahan asam
amino Glisin menjadi Sistein (Gly → Cys). Pada jenis UM-SCC-11B (codon 242) terjadi
perubahan basa TGC→TCC yang merupakan perubahan asam amino Sistein menjadi Serin (Cys
→ Ser). Pada jenis UM-SCC-12 (codon 104) terjadi stop kodon sehingga tidak terbentuk p53. Pada
jenis UM-SCC-13 (codon 163) terjadi perubahan basa TAC→TGC yang merupakan perubahan asam
amino Tirosin menjadi Sistein. Pada jenis UM-SCC-14A (codon 280) terjadi perubahan basa
AGA→AGT yang merupakan perubahan asam amino arginin menjadi serin. Pada jenis UM-SCC-
23 (codon 176) terjadi perubahan basa TGC→TTC yang merupakan perubahan asam amino
Sistein menjadi Phenilalanin (Cys → Phe). Pada jenis UM-SCC-36 (codon 158) terjadi
perubahan basa CGC→CCC yang merupakan perubahan asam amino Arg menjadi Prolin (Arg →
Pro). Pada jenis UM-SCC-46 (codon 278) terjadi perubahan basa CCT→GCT yang merupakan
perubahan asam amino Prolin menjadi Alanin (Pro → Ala). Pada jenis UM-SCC-57 (codon 273)
terjadi perubahan basa CGT→CTT yang merupakan perubahan asam amino Arginin menjadi
Leusin (Arg → Leu). Pada jenis UM-SCC-68 (codon 248) terjadi perubahan basa CGG→TGG
yang merupakan perubahan asam amino Arginin menjadi Triptopan (Arg → Trp). Perubahan pada
codon 248 ini hampir terjadi pada semua jenis kanker, sehingga diharapkan dapat dijadikan indikator
atau marker dalam diagnosis pasien yang diduga kanker. Pada jenis UM-SCC-81B (codon 193)
terjadi perubahan basa CAT→CGT yang merupakan perubahan asam amino Histidin menjadi
Arginin (His → Arg) (Carol, 2002).
Berdasarkan data-data penelitian di atas ternyata ada lokasi (codon) mengalami
perubahan yang sama yaitu pada kodon 248 dan 249 seperti yang ditunjukkan dalam tabel
berikut ini :
Tabel 3.4 Perbandingan perubahan squense p53 pada beberapa kanker
Jenis cell Kodon Basa yang Asam amino
line berubah
Kolorektal 248 CGG→CAG Arg → Gln
Kolorektal 248 CGG→CAG Arg →Gln
OVCAR-3 248 GAC→TAC Arg → Gln
UM-SCC-68 248 CGG→TGG Arg →Trp
Kanker paru 249 AGG→ATG Arg →Met
HPVs 248 CGG→TGG Arg → Trp
248 CGG→CAG Arg → Gln
Ca-Ovarium 248 CGG→TGG Arg → Trp
248 CGG→GGG Arg → Gly
248 CGG→CTG Arg → Leu
Ca-basal 248 CGG→TGG Arg → Trp
248 CGG→CAG Arg → Gln
Keterangan :
Kolorektal : kanker kolorektal
OVCAR-3 : kanker ovarium
UM-SCC-68 : Head and Neck Squqmous Cell Carcinoma Lines
HPVs : happilomaviruses (Ca-servik)
Ca-basal : human basal cell carcinoma
Perubahan ini ternyata terjadi pada DNA-binding domain jika dilihat dari skema
sequence p53 sel normal manusia seperti yang ditunjukkan dalam skema berikut ini :
1 10 20 30 40 50 60

TRANSACTIVATION DOMAIN 1 TRANSACTIVATION DOMAIN 2

70 80 90 100 110 120 130

PROLIN-RICH DOMAIN DNA – BINDING DOMAIN

140 150 160 170 180 190 200

DNA – BINDING DOMAIN

210 220 230 240 250 260 270

DNA – BINDING DOMAIN

280 290 300 310 320 330 340

DNA-BINDING DOMAIN NUCLEAR LOCALIZATION SEQ. TETRAMERIZATION DOMAIN

350 360 370 380 390

TETRAMERIZATION DOMAIN REGULATORY DOMAIN


Gambar 4.1 Skema Seguence p53 sel normal manusia
(Gambar lengkapnya pada Lampiran 1)
Adanya perubahan pada codon-codon tertentu dari berbagai jenis kanker
menyebabkan peranan p53 sebagai faktor transkripsi dengan fungsi utama sebagai pengatur
siklus sel, perbaikan kerusakan DNA, sintesis DNA dan diferensiasi sel dalam apoptosis
tidak berlangsung normal atau menghalangi p53 dari binding pada deret DNA spesifik dan
mengaktifkan gen-gen didekatnya yang anti apoptosis (Bcl2) dan menurunkan gen yang
proapoptosis (Bax) serta menginaktifkan enzim kaspase yang pada akhirnya apoptosis tidak
berlansung secara normal (Sukardiman, 2006).
Mutasi dan deaktivasi p53 pada karsinogenesis yang kebanyakan terjadi pada DNA-
binding domain (DBD) yaitu pada codon 92-305 (104, 136, 147, 157, 158, 163, 176, 193,
242, 245, 248, 249, 273,278, 280 dan 281) ini akan merusak kemampuan protein untuk
berikatan dengan targetnya pada sequense DNA dan selanjutkan akan mencegah
terjadinya aktivasi transkripsi target gen yang merupakan down stream p53 (Prakosa,
2008).
Perubahan pada codon yang sama (248 dan 249) ini diharapkan dapat membantu
diagnosis pasien (salah satu marker dalam diagnostik) sehungga lebih cepat (lebih dini)
dapat diketahui penyakit kankernya.
Terjadinya stop codon (codon 104) pada Head and Neck Squqmous Cell Carcinoma
Lines (Jenis UM-SCC-12) dan codon 136 pada Human Ovarian Carcinoma Cell Lines (Jenis
Caov-3) menyebabkan protein p53 tidak terbentuk. Hal ini meyebabkan kanker atau tumor akan
semakin mengganas karena tidak ada gen p53 sebagai gen penekan tumor atau kanker.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2010, Detection of Wild-Type and Mutant p53 Proteins in Cancer Cell Lysates,
Biosensing Instrument, Inc. USA, http://www. google.co.id / search, diakses tanggal 6 Januari
2012.

Boley S.E.,2000, Malignant Transformation of Human Fibroblast Cell Strain MSU-1.1


by N-Methyl-N-nitrosourea: Evidence of Elimination of p53 by Homologous
Recombination, CANCER RESEARCH 60, 4105–4111, August 1, 2000, , http://www.
google.co.id / search, diakses tanggal 6 Desember 2011.

Carol R., et.al. 2002, p53 Mutation Correlates With Cisplatin Sensitivity in Head and
Neck Squamous Cell Carcinoma Lines, Cardinal Bernardin Cancer Center, Loyola
University, Chicago, Illinois, http://www.google. co.id/search, diakses tanggal 6 Januari
2012.

Hoffmann T.K., 2000, Generation of T Cells Specific for the Wild-Type Sequence
p53264–272 Peptide in Cancer Patients: Implications for of Epitope Loss Variants,
Journal of Immunology, http://www. google.co.id / search,.diakses tanggal 6 Desember 2011.
Horiza H., 2011, Deteksi Mutasi Gen p53 Kromosom 17 Exon 7 dan Exon 8, Isolasi dan
Identifikasi Mikroflora Probiotik Usus Besar pada Pasien Kanker Kolorektal (thesis),
Universitas Andalas, Padang, http://www. google.co.id / p53 + cancer + search, diakses
tanggal 6 Desember 2011.

Noordin, K.B.A.A., et.al., 2008, Detection of p53 Gene Mutations by Single Strand
Conformation Polymorphisms Analysis in Various Human Liver Cancer Cell
LinesUsing a Non-radioactive Mini Gel Electrophoresis System, Malaysian Journal of
Biochemistry and Molecular Biology (2008) 16(1), 22-26. http://www. google.co.id / search,.
diakses tanggal 6 Januari 2012.

Ohsaka Y., et.al., 2010, Polymorphisms in promoter sequences of MDM2, p53, and
p16INK4a genes in normal Japanese individuals, Genetics and Molecular Biology, 33, 4,
615-626, Japan, http://www.google.co.id/search, diakses tanggal 6 Januari 2012.

Sigit Prakosa C.R., 2008, The Role of p53 in Pathogenesis of Basal Cell Carcinoma, Majalah
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Volume 23, Nomor 3, Desember 2008, http://www.
google.co.id / search,.diakses tanggal 6 Desember 2011, Surabaya, FK Unair.

Sukardiman, Noor Cholies Z, Sismindari ,2006. Induksi Apoptosis dan Peningkatan


Ekspresi p53, Bax serta Aktivasi Enzim Caspase Sel Kanker Payudara Manusia oleh
Pinostrobin dari Kaempferia pandurata Roxb, Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun
I, Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya.

Syaifudin M., 2007, Gen Penekan Tumor p53, Kanker dan Radiasi Pengion, Buletin
Antara, Vol.8, No.3, April 2007, p.119-128, Jakarta. http://www. google.co.id/ p53 + cancer
+ search, diakses tanggal 6 Desember 2011.

Viadiu H., 2008, Molecular Architecture of Tumor Suppressor p53, Current Topics in
Medicinal Chemistry, 2008, 8, University of California San Diego, http://www. google.co.id /
search, diakses tanggal 6 Desember 2011.
Vousden K.H., 2009, The Growing Complexity of p53, Cell 137, May 1, 2009, p. 413-431
http://www. google.co.id / search,.diakses tanggal 6 Desember 2011.

Yaginuma1 Y. and Heiner Westphal H., 1992, Abnormal Structure and Expression of the
p53 Gene in Human Ovarian Carcinoma Cell Lines, CANCER RESEARCH 52, p.4196-
4199, American Association for Cancer Research, http://www.google.co.id/search, diakses
tanggal 6 Desember 2011.
Wahyuningsih, M.S.H., 2009, Effect of Phalerin Isolated from Phaleria macrocarpa
(Scheff) Boeri Leaves on EVSA-T p53 Protein Expression in vitro, http://www.
google.co.id/ p53 + cancer + search, diakses tanggal 6 Desember 2011.

Whibley C., 2009, p53 polymorphisms: cancer implications, Nature RevIew Cancer,
Vol. 9, Februari 2009, p. 95-107, http://www. google.co.id / search,.diakses tanggal 6
Desember 2011.

Sigit Prakosa C.R., 2008, The Role of p53 in Pathogenesis of Basal Cell Carcinoma, Majalah
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Volume 23, Nomor 3, Desember 2008, http://www.
google.co.id / search,.diakses tanggal 6 Desember 2011, Surabaya, FK Unair.

Anonim, 2005, Fibrosarkoma, http://medika-online.blogspot.com/2005/11/


fibrosarkoma.html , diakses tanggal, 28 September 2011

David Servan Schreiber, 2009, Hidup Bebas Kanker, Terobosan Terbaru Mencegah,
melawan dan Mengobati Kanker, Terjemahan Rani S. Ekawati, Bandung.

Dewi Pratiwi, dkk., 2009, Ekstrak Etanol Jeruk Nipis (Citrus auranttiifolia (C) Swingle)
meningkatkan ekspresi p53 pada sel payudara tikus galur spague dawley terinduksi
7,12-dimetilbenzene-[A] Antrasena, Cancer Chemoprevention Research Center, Fakultas
Farmasi, UGM, Yogyakarta.

Edy Meiyanto, et.al.,2009., Areca (Areca cattchu L), Seeds Ethanolic Ekstract and Its
Chloroform Fraktion Increase Apoptotic Effect of Doxorubicin on Human Colon
Cancer Cells, Cancer Chemoprevention Research Center, Fakulty of Pharmacy, Gadjah
Mada University.

Endah Puji Septisetyani, dkk, 2009, Potensi Panduratin A pada Rimpang temu kunci
sebagai agen kokemoterapi, Cancer Chemoprevention Research Center, Fakultas Farmasi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Karnen Garna Luke A.J. O’Neil, 2008. The interleukin-1 receptor/Toll-like receptor
superfamily, Immunological Review. 226, hal 11-18. School of Biochemistry and
Immunologi, Irlandia.

Baratawijaya, Iris Rengganis, 2010, Imunologi Dasar. Edisi 9, Penerbit FKUI, Jakarta.

Jung-Mi Yun, et.al. 2006, Induction of Apoptosis and cell cycle arrest by a chalcone
panduratin A isolated from Kaempferia pandurata in Androgen – independent Human
Prostat cancer cells PC3 and DU 145, Carcinogenesis, Vol. 27, No.7, pp. 1454-1464,
diakses tanggal 29 Juli 2011.
Kiyoshi Takeda, Shizuo Akira, 2004, TLR signaling pathways, Seminars of Immunologi,
16, hal.3-9. Japan

Konstantinos N.Syringos, et.al., 2006, Tumors of the Chest, Biology, Diagnosis and
Management, Springer, Berlin, hal. 73,165, 167, 195, 256, 267, Jerman

Luke A.J. O’Neil, 2008. The interleukin-1 receptor/Toll-like receptor superfamily,


Immunological Review. 226, hal 11-18. School of Biochemistry and Immunologi, Irlandia.

N.Puspita, dkk.2009, Ekstrak etanol kulit jeruk mandarin (Citrus reticulata )


meningkatkan ekspresi faktor VEGF pada sel kanker kolon WiDr, Cancer
Chemoprevention Research Center, Fakultas Farmasi, UGM, Yogyakarta.

Nurahmi Dewi Fajarningsih, dkk., 2010, Aktivitas Antiangiogenesis Ekstrak n-heksana


Turbinaria decurrens, IPB, Bogor

Oka Adi Parwata, 1999, Isolasi, Identifikasi Senyawa Pinostrobin pada Rimpang Temu
Kunci (Kaempferia pandurata Roxb) dan Standarisasi Ekstrak Etanol berdasarkan
Kadar Pinostrobinnya dengan KLT Densitometri. Thesis, PPS Unair, Surabaya.

Oka Adi Parwata, 2001, Uji Toksisitas Senyawa Pinostrobin pada Rimpang Temu Kunci
(Kaempferia pandurata Roxb), DIK/DIKS, Lemlit Unud, Bali.

Anda mungkin juga menyukai