Anda di halaman 1dari 16

REFERAT Januari 2020

“APPENDICITIS”

Nama : Melissa Ridwan


No. Stambuk : N 111 17 151
Pembimbing : dr. Arief Husain, Sp.B

DI BUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITRAAN KLINIK


BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Melissa Ridwan

No. Stambuk : N 111 17 151

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Pendidikan Dokter

Universitas : Tadulako

Referat : Appendicitis

Bagian : Bagian Ilmu Penyakit Bedah

Palu, Oktober 2019

Pembimbing Mahasiswa

dr. Arief Husain, Sp.B Melissa R


BAB I
PENDAHULUAN

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis yang merupakan


organ berlubang yang terletak di ujung sekum, biasanya di kuadran kanan bawah
perut. Namun, dapat ditemukan di hampir semua area perut, tergantung pada apakah
ada masalah perkembangan yang tidak normal atau jika ada kondisi lain yang
bersamaan seperti kehamilan atau operasi sebelumnya.

Apendiks berkembang secara embrionik pada minggu kelima. Selama waktu


ini, ada gerakan menuju ke tali pusat eksternal dengan akhirnya kembali ke perut dan
rotasi ke sekum. Ini menghasilkan lokasi retrocecal menjadi biasa. Ini paling sering
merupakan penyakit presentasi akut, biasanya dalam 24 jam, tetapi juga dapat muncul
sebagai kondisi yang lebih kronis. Jika telah terjadi perforasi dengan abses yang
terkandung, maka gejala yang muncul bisa lebih lamban. Fungsi pasti dari kasus telah
menjadi topik yang diperdebatkan. Saat ini diterima bahwa organ ini mungkin
memiliki fungsi imunoprotektif dan bertindak sebagai organ limfoid, terutama pada
orang yang lebih muda. Teori-teori lain berpendapat bahwa apendiks bertindak
sebagai wadah penyimpanan untuk bakteri kolon "baik". Namun, yang lain
berpendapat bahwa itu adalah sisa perkembangan dan tidak memiliki fungsi nyata.1

Apendisitis merupakan penyakit yang menjadi perhatian oleh karena angka


kejadian apendisitis tinggi di setiap negara. Resiko perkembangan apendisitis bisa
seumur hidup sehingga memerlukan tindakan pembedahan.

Di Indonesia, sebesar 596.132 orang dengan presentase 3,36% dilaporkan


menderita apendisitis pada tahun 2009, dan meningkat menjadi 621.435 dengan
presentase 3,53% di tahun 2010. Prevalensi dari apendisitis sekitar 7% dari
kebanyakan populasi di Amerika dengan kejadian 1,1 kasus per seribu orang per
tahun. Kejadian apendisitis mencapai puncaknya pada kelompok usia remaja akhir
yaitu usia 17-25 tahun. Frekuensi terjadinya apendisitis antara laki-laki dan
perempuan umumnya sama. Terdapat perbedaan pada usia 20-30 tahun, dimana kasus
apendisitis lebih sering terjadi pada jenis kelamin laki-laki pada usia tersebut.
Penyebab obstruksi lumen apendiks paling sering adalah oleh batu feses. Faktor lain
yang dapat menyebabkan obstruksi lumen apendiks antara lain hiperplasia jaringan
limfoid, tumor, benda asing dan sumbatan oleh cacing. Studi epidemiologi lainnya
menyebutkan bahwa ada peranan dari kebiasaan mengonsumsi makanan rendah serat
yang mempengaruhi terjadinya konstipasi, sehingga terjadi apendisitis.2

Apendisitis akut adalah penyakit gastrointestinal umum yang menyerang 5,7-


57/per 100.000 orang setiap tahun dengan insiden tertinggi pada anak-anak dan
remaja. Variasi insiden disebabkan oleh variasi etnis, jenis kelamin, usia, obesitas,
dan musim dalam setahun. Berdasarkan gagasan yang sudah ada bahwa apendisitis
adalah penyakit progresif yang tidak dapat disembuhkan yang pada akhirnya
menyebabkan perforasi, pengangkatan usus buntu adalah standar utama pengobatan.
Profesi medis telah memperoleh banyak pengalaman dalam mengelola pasien dengan
radang usus buntu akut sejak laporan pertama Fitz pada tahun 1886.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI APPENDIX

Appendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjang nya kira-kira


10 cm (kisaran 3-15 cm) dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit dibagian
proksimal dan melebar dibagian distal. Namun demikian pada bayi, appendiks
berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya.
Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu.
Pada 65% kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu
memungkinkan appendiks bergerak, dan ruang geraknya bergantung pada
panjang mesoapendiks penggantungnya.4

Gambar 1. Posisi appendiks

Pada kasus selebihnya, appendiks terletak retroperitoneal, yaitu


dibelakang sekum, dibelakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon
asendens. Gejala klinis appendicitis ditentukan oleh letak appendiks.4
Persyarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti
arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persyarafan
simpatis berasal dari nervus thoracalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada
apendisitis bermula disekitar umbilicus.4

Perdarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang merupakan


arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada
infeksi, apendiks akan mengalami gangren.4

Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 Ml perhari. Lendir itu


normalnya dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum.4

Fungsi apendiks secara tradisional menjadi topik perdebatan. Tidak ada


bukti jelas untuk fungsinya pada manusia. Kehadiran jaringan limfoid terkait
usus di lamina propria telah menyebabkan keyakinan bahwa ia berfungsi dalam
imunitas, meskipun sifat spesifik dari ini belum pernah diidentifikasi.5

2.2 JENIS-JENIS APPENDIKS

 Apendicitis akut

Insidens appendicitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di


Negara berkembang. Namun, dalam tiga-empat dasawarsa terakhir
kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh
meningkatmya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari.4

Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak


kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insiden tertinggi pada kelompok
umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada laki-laki dan perempuan
umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, ketika insiden pada
laki-laki lebih tinggi.4
Appendicitis akut merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal berperan
sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang
diajukan sebagai faktor pencetus. Disamping hyperplasia jaringan limfe,
tumor apendiks, dan cacing arkaris dapat pula menyebabkan sumbatan.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan appendicitis ialah erosi
mukosa apendiks akibat parasit seperti E.hystolytica.4

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan


rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis.
Konstipasi akan menaikkan teknan intrasekal, yang berakibat timbulya
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya kuman flora kolon biasa.
Semuanya ini akan mempermudah timbulnya appendicitis akut.4

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi


membentuk jaringan parut yang melengket dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah.
Suatu saat, organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakkan mengalami
eksaserbasi akut.4

Appendicitis akut sering tampil dengan gejala khas yg didasari oleh


terjadinya peradangan mendadak pada umbai cacing yang memberikan tanda
setempat, baik disertai maupun tidak disertai dengan rangsang peritoneum
local.4

Gejala klasik appendicitis adalah nyeri samar-samar dan tumpul yg


merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan
ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya, nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam, nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik
McBurney. Disini, nyeri dirasa lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
merupakan nyeri somatic setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi
terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar.
Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya
perforasi. Bila terdapat perangsangan peritoneum, biasanya pasien mengeluh
bila berjalan atau batuk.4

Bila apendiks terletak retrosekal retroperitoneal, tanda nyeri perut


kanan bawah tidak begitu jelas dan akibat rangsangan apendiks terhadap
kandung kemih.

Pada beberapa keadaan appendicitis agak sulit di diagnosis sehingga


tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya pada orang
berusia lanjut, gejalanya sering samar-samar saja sehigga lebih dari separuh
penderita baru dapat di diagnosis setelah perforasi.4

Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Pada awalnya anak
hanya sering menunjukkan gejala rewel dan tidak mau makan. Anak sering
tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Beberapa jam kemudian anak akan
muntah sehingga menjadi lemah, dan letargik. Karena gejala yg tidak khas
tadi, appendicitis sering baru diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi, 80-
90% appendicitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.4

Pada kehamilan keluhan utama appendicitis adalah nyeri perut, mual


dan muntah. Hal ini perlu di cermati karena pada kehamilan trimester pertama
sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan
apendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut
kanan bawah tetapi lebih ke region lumbal kanan.4

 Appendicitis rekurens
Diagnosis appendicitis rekurens baru dapat dipikirkan jika ada riwayat
serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong di lakukannya
apendiktomi, dan hasil patologi menunjukkan peradangan akut. Kelainan ini
terjadi bila serangan appendicitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun
appendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan
jaringan parut. Resiko terjadinya serangan berulang adalah sekitar 50%.
Insidens appendicitis rekurens adalah 10% daei spesimen apendiktomi yg
diperiksa secara patologik.
Pada appendicitis rekurens, biasanya dilakukan apendiktomi karena
penderita seringkali datang dalam serangan akut.4

 Appendicitis kronik
Diagnosis appencitis kronik baru dapat ditegakkan jika semua syarat
berikut terpenuhi : riwayat nyeri perut kanan bawah yang lebih dari dua
minggu, terbukti terjadi radang kronik appendiks baik secara makroskopik
maupun mikroskopik, dan keluhan menghilang pasca apendiktomi.
Kriteria mikroskopik appendicitis kronik meliputi adanya fibrosis
menyeluruh pada dinding appendiks, sumbatan parsial, atau total pada lumen
appendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel
inflamasi kronik. Insidens appendicitis kronik adalah sekitar 1-5%.4

 Mukokel appendiks
Mukokel apendiks merupakan dilatasi kistik dari apendiks yg berisi
musin akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, biasanya berupa
jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi.
Walaupun jarang, mukokel dapat disebabkan oleh kistadenoma yg dicurigai
dapat berubah menjadi ganas.
Penderita sering datang dengan keluhan ringan berupa rasa tidak enak
diperut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di region iliaka kanan.
Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda appendicitis akut.
Pengobatannya adalah apendiktomi.4
 Tumor apendiks
 Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu
apendiktomi atas indikasi appendicitis akut. Karena bisa bermetastasis ke
limfonodi regional, dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan memberi
harapan hidup yang jauh lebih baik di bandingkan dengan hanya
apendiktomi.4

 Karsinoid apendiks
Karsinoid apendiks merupakan tumor sel argentafin apendiks.
Kelainan ini jarang di diagnosis prabedah, tetapi ditemukan secara
kebetulan pada pemeriksaan patologi terhadap spesimen apendiks
dengan diagnosis prabedah appendicitis akut. Sindrom karsinoid
berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas
karena spasme bronkus dan diare yang hanya ditemukan pada sekitar
6% kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin
yang menyebabkan gejala teresebut diatas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata dapat
berulang dan bermetastasis sehingga diperlukan operasi radikal. Bila
spesimen patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal
tidak bebas tumor, dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau
hemikolektomi kanan.4

2.3 MEKANISME APPENDICITIS

Perjalanan dari mulai timbulnya gejala menuju perforasi terjadi begitu cepat,
sebanyak 20% kasus perforasi apendiks terjadi 48 jam, bahkan dapat 36 jam
setelah timbulnya gejala. Hal ini menunjukkan bahwa timbulnya perforasi sangat
cepat sehingga perlu mendapatkan perhatian yang lebih serta penanganan yang
tepat dari para dokter.6

Pada apendisitis, nyeri perut yang klasik adalah nyeri yang dimulai dari ulu
hati, kemudian setelah 4-6 jam akan dirasakan berpindah ke daerah perut kanan
bawah (sesuai lokasi apendiks).7 Saat inflamasi berlanjut dalam 6-36 jam maka
akan terjadi perangsangan peritoneum terutama pada daerah letak apendiks
sejajar dengan titik McBurney yang menimbulkan nyeri somatic.7

Pada kurang dari 24 jam pertama sejak sakit jarang ditemukan terjadinya
perforasi, tetapi setelah lebih dari 24 jam keluhan semakin meningkat.1,9 Jika
telah didapatkan diagnosis yang jelas sebagai apendisitis, penundaan
apendektomi dengan tetap memberikan terapi antibiotik dapat mengakibatkan
terjadinya perforasi dalam waktu <24 jam setelah mulainya appendicitis.7

Pada apendisitis perforasi umumnya terdapat gejala yang progresif dalam 36


jam, demam tinggi diatas 390C, distensi abdomen, dehidrasi dan asidosis, diare,
peristaltik menurun, nyeri yang meluas ke abdomen bawah atau seluruh
abdomen, dan leukositosis.7 Beberapa penelitian menyebutkan perforasi pada
apendisitis terjadi dalam 24 hingga 48 jam pasca inflamasi akut.7

Cloud mengklasifikasikan apendisitis akut pada anak menjadi 5 derajat /


kategori berdasarkan gambaran histopatologi, yaitu: apendisitis simpel, supuratif,
gangren, ruptur, dan abses.7

2.4 KOMPLIKASI APPENDICITIS

Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik berupa


perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks maupun yg telah mengalami
pendidingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum,
dan lekuk usus halus.

o Massa periapendikuler

Massa apendiks terjadi bila appendicitis gangrenosa atau


mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus
halus. Pada massa periapendikuler dengan pembentukan dinding yg belum
sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika
perforasi diikuti oleh peritonitis pirulenta generalisata. Oleh karena itu, massa
periapendikuler yg masih bebas (mobile) sebaiknya segera di operasi untuk
mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasinya masih mudah. Pada anak
operasinya dipersiapkan dalam waktu 2-3 hari. Pasien dewasa dengan massa
periapendikuler yg terpancang dengan pendidingan sebaiknya dirawat terlebih
dahulu dan diberi antibiotik sambil dilakukan pemantauan terhadap suhu
tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam,
massa periapendikuler hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang
dan apendiktomi elehktif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar
perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi
perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan
suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri dan terabanya pembengkakan
massa, serta bertambahnya angka leukosit.4

Riwayat klasik appendicitis akut yang diikuti dengan adanya massa


nyeri di region iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke
massa atau abses periapendikuler. Kadang keadaan ini sulit dibedakan dari
karsinoma sekum, penyakir chron dan amuboma. Perlu juga di singkirkan
kemungkinan aktinomikosis intestinal, enteritis tuberkulosa dan kelainan
ginekologik sebelum memastikan diagnosis massa apendiks. Kunci diagnosis
biasanya terletak pada anamnesis yg khas.
Apendiktomi dilakukan pada infiltrate periapendikuler tanpa pus yg
telah di tenangkan. Sebelumnya pasien diberi antibiotik kombinasi yang aktif
terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar
6-8 minggu kemudian, dilakukan apendiktomi. Pada anak kecil, wanita hamil,
dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau
berkembang menjadi abses, diajurkan operasi secepatnya.4

Bila sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja. Apendiktomi


dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika pada saat dilakukan drainase
bedah apendiks mudah diangkat, dianjurkan sekaligus dilakukan apendiktomi.

o Appendicitis perforata
Adanya fekalit didalam lumen, usia (orang tua atau anak kecil), dan
keterlambatan diagnosis, merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya
perforasi apendiks. Insiden perforasi pada penderita diatas usia 60 tahun
dilaporkan sekitar 60%. Faktor yang mempengaruhi tingginya insiden
perforasi pada orang tua adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat,
adanya perubahan anatomi apendiks berupa penyempitan lumen, dan
arteriosclerosis. Insiden tinggi pada anak disebabkan oleh dinding apendiks
yang masih tipis, anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu
diagnosis, dan proses pendinginan kurang sempurna akibat perforasi yang
berlangsung cepat dan omentum anak belum berkembang.4
Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis pirulenta yang
ditandai dengan demam tinggi, nyeri hebat yang meliputi seluruh perut, dan
perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler terjadi
di seluruh perut, mungkin disertai pungtum maksimum di region iliaka kanan.
Peristaltik usus dapat menurun sampai hilang akibat adanya ileus paralitik.
Abses rongga peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar terbatas di
suatu tempat, paling sering di rongga pelvis dan subdiagfrgma. Adanya massa
intraabdomen yg nyeri disertai demam harus dicurigai sebagai abses.
Ultrasonografi dapat membantu mendeteksi adanya kantong nanah. Abses
subdiagfragma harus dibedakan dengan abses hati, pneumonia basal, atau
efusi pleura. Ultrasonografi dan foto rontgen dada akan membantu
membedakannya.4
Perlu dilakukan laparatomi dengan insisi yg panjang agar mudah
melakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin,
serta membersihkan kantong nanah.
Karena terdapat kemungkinan terjadi infeksi luka operasi, sebaiknya
dilakukan pemasangan drain subfasia, kulit dibiarkan terbuka dan nantinya
akan dijahit bila sudah dipastikan tidak ada infeksi. Pemasangan drain
intraperitoneal tidak perlu dilakukan pada anak justru lebih sering
menyebabkan komplikasi infeksi.4
BAB III
KESIMPULAN

Apendisitis merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai faktor


pencetusnya, namun sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan
sebagai pencetus disamping hyperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks, dan cacing
askaris dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat
menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti
E.histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat mempengaruhi terjadinya konstipasi yang mengakibatkan timbulnya
apendisitis. Konstipasi akan menaikan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon
biasa.
Daftar Pustaka

1. Mark W, Jones, Richard. 2019. Journal Appendicitis.


File://D:/Appendix/1.html

2. Cathleya F, Gotra, Mahastuti. 2019. Karakteristik pasien dengan gambaran


histopatologi appendicitis di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2015-2017.
Jurnal medika udayana, Vol.8.No.7, juli,2019

3. Remon, Hasan, Margarieta dkk. 2015. Diagnosis and management of acute


appendicitis. EAES Consensus development conference 2015.DOI.10.
1007/s00464-016-5245-7

4. Sjamjuhidayat. 2017. Buku Ajar Ilmu Bedah-Sistem organ dan tindak


bedahnya (2). Ed.4-Jakarta; EGC

5. Massimo Sartelli. 2018. Prospective Deservational Study Acute Appendicitis


worldwide (POSAW). Sartelli et al.worl journal of emergency surgery (2018)
13.19. http.//doi.org.10.1186/s13017-018-0179-0

6. Annisa Avit Saputra. 2018. Hubungan jumlah leukosit pre operasi dengan
kejadian komplikasi pasca operasi apendiktomi pada pasien appendicitis
perforasi di RSUP Dr.M.Djamil padang. http://journal .fk.unand.ac .id

7. Heru Ardilap. 2015. Hubungan mulai nyeri perut dengan tingkat keparahan
appendicitis akut anak berdasarkan klasifikasi cloud di RSUD Arifin Achmad
Provinsi Riau. Jom Fk.Volume 1.No.2. Oktober. 2015

Anda mungkin juga menyukai