Anda di halaman 1dari 10

Pendahuluan

Latar Belakang

Perilaku tidak higienis masih menjadi masalah di masyarakat, bukan saja

ditemukan di daerah perdesaan, akan tetapi di daerah perkotaan masih sering

dijumpai warga yang buang air besar sembarangan. Perilaku buang air besar

sembarangan atau disebut dengan open defecation merupakan suatu perilaku

hidup tidak sehat, yaitu perilaku maupun kebiasaan membuang najis/kotoran

manusia pada alam terbuka misalnya di kebun/ladang, sawah, aliran sungai,

kolam, pantai atau di pekarangan rumah, dengan membiarkan terjadinya

pencemaran pada lingkungan, tanah, udara dan air, sehingga dapat menimbulkan

penyakit (Sukma dkk, 2018).

Pentingnya menciptakan lingkungan sehat terkadang tidak dianggap suatu

hal yang krusial atau prioritas karena dinilai tidak dapat langsung menjadi daya

ungkit terhadap sebuah pembangunan, padahal dampak kerugian yang

ditimbulkan oleh lingkungan yang buruk sangatlah besar mulai munculnya

bermacam masalah kesehatan hingga berdampak terhadap kerugian secara

ekonomi (Prianto dkk, 2015)

Menurut United States Agency for Internasional Development (USAID)

(2016) tingginya angka kesakitan dan kematian akibat perilaku buang air besar

sembarangan saat ini menjadi permasalahan dunia, terutama di negara

berkembang yang memiliki laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Penularan

penyakit terkait pemanfaatan sumber air dan sanitasi yang berhubungan dengan

perilaku buang air besar sembarangan belum dapat dituntaskan, yakni sekitar 2,5

1
2

miliar lebih manusia di bumi tidak mempunyai tempat buang air besar/ jamban

sesuai standar kesehatan.

Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) yang di kutip

Novitry dan Agustin (2017) memperkirakan sekitar 1,1 milyar (17 %) penduduk

di bumi ini masih buang air besar sembarang tempat, dan sekitar 81 persen yang

membuang kotoran tidak pada tempatnya terdapat pada 10 negara di dunia.

Indonesia menjadi negara nomor dua terbesar yaitu sekitar 12,9 persen masyrakat

masih buang kotoran di sembarang tempat, sedangkan India masuk ke dalam

peringkat pertama yaitu mencapai 58 persen. Hal ini mengakibatkan lebih dari

3.400.000 orang meninggal setiap tahunnya, karena penyakit yang berasal dari

akibat buruknya kualitas air dan sanitasi, salah satunya adalah diare menyebabkan

kematian sebesar 1.400.000 orang setiap tahunnya.

Berdasarkan hasil Riset UNICEF dan WHO yang dikutip Apriyanti dkk

(2019) dalam penelitiannya menyatakan lebih dari 370 anak balita (anak usia di

bawah lima tahun) di Indonesia meninggal setiap harinya, kematian tersebut

akibat penyakit yang dapat dicegah seperti diare dan pneumonia. Diare selain

menjadi salah satu penyebab kematian juga mengubah status gizi menjadi buruk

dan pertumbuhan anak menjadi stunting, sehingga berdampak terhadap kualitas

sumber daya manusia Indonesia, (Anwar dkk, 2017).

Penelitian Sukma dkk (2018) di Kecamatan Candisari Semarang,

menyatakan beberapa penyakit yang timbul akibat sanitasi buruk dan perilaku

buang air besar sembarangan, di antaranya penyakit diare sebanyak 72 persen,

kecacingan 0,85 persen, hepatitis A 0,57 persen, scabies 23 persen, trachoma 0,14
3

persen, hepatitis E 0,02 persen dan malnutrisi 2,5 persen. Keadaan ini timbul

karena masih banyak manusia buang air besar sembarangan yang berakibat pada

lingkungan menjadi tidak sehat dan air yang digunakan sudah tercemar.

Membiasakan perilaku buang air besar secara sehat dapat menjadi pemutus

alur kontaminasi dengan kotoran manusia sebagai suatu sumber penyakit yang

berkelanjutan, yakni dengan menyiapkan serta menjaga fasilitas buang air besar

sesuai standar kesehatan Kementerian Kesehatan (2014)

Hasil studi dari Water and Sanitation Program, secara ekonomi Indonesia

diperkirakan mengalami kerugian sebesar 6,3 milyar USD (56,7 trilyun) atau

sama dengan 2,3 persen Gross Domestic Produkct pertahunnya, hal ini

merupakan akibat dari sanitasi serta hygiene yang buruk (Millennium Challenge

Account-Indonesia & Kemenkes, 2015).

Melihat besarnya dampak penularan penyakit yang di timbulkan oleh

BABS maka program Sustainable Development Goals (SDGs) terutama bagian

lingkungan menentukan target pada tahun 2030, salah satunya adalah seluruh

masyarakat dapat memanfaatkan air bersih dan sanitasi dasar layak. Hal ini akan

menjadi tugas berat Indonesia dalam mencapai target Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional (RJPMN) 2015-2019 yang menetapkan salah satunya

adalah100 persen masyarakat tidak buang air besar sembarangan. Namun hingga

tahun 2015 masih terdapat 62 juta (53 %) penduduk di perdesaan belum memiliki

akses sanitasi layak yakni 34 juta di antaranya masih melakukan praktik buang

air besar sembarangan, artinya masih dibutuhkan 40 persen lagi percepatan untuk

mencapai target 100 persen,Indonesia stop BABS (Kementerian Kesehatan, 2016)


4

Untuk mendukung terjadinya perubahan dibidang kesehatan khususnya

pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan, dilakukan upaya promotif dan

preventif melalui pemberdayaan masyarakat, yang diharapkan mampu

menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dalam rumah tangga

melalui peran aktif dari anggota keluarga untuk meningkatkan kesadaran,

kemauan dalam memelihara kesehatan dengan tidak peraktik buang air besar

sembarang tempat (Umaroh dkk, 2015).

Memanfaatkan jamban sehat sebagai sarana tempat buang air besar

merupakan salah satu indikator dalam program PHBS. Indikator penilaian PHBS

dalam rumah tangga meliputi : (1) Persalinan di tolong oleh tenaga kesehatan; (2)

Bayi diberi ASI Eksklusif; (3) Menimbang bayi setiap bulan; (4) Tersedia air

bersih; (5) Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun; (6) Menggunakan jamban

sehat; (7) Memberantas jentik; (8) Mengkonsunsumsi buah dan sayur setiap hari;

(9) Melakukan aktifitas fisik secara teratur; (10) Tidak merokok dalam rumah

(Kemenkes, 2016)

Secara nasional perilaku buang air besar sembarangan yang merupakan

bagian dari PHBS masih banyak ditemukan, terutama di daerah perdesaan, yakni

masyarakat masih memanfaatkan sungai, ladang/kebun sebagai tempat membuang

kotoran. Berdasarkan data kesehatan lingkungan tahun 2016 sampai 2017,

ditemukan hanya 53,89 persen lingkungan yang dianggap memiliki sanitasi sesuai

standar kesehatan (Profil Kesehatan Indonesia, 2017). Hasil Riset Kesehatan

Dasar (Riskesdas, 2018) mengungkapkan bahwa masyarakat yang menggunakan

jamban tidak sehat sebagai sarana BAB sebesar 33,5 persen, serta kebiasaan

membuang tinja balita di tempat terbuka sebesar 50 persen.


5

Perilaku BAB ini dapat dianalisis melalui teori Lawreen Green dalam

Priyoto (2014) yang menjelaskan bahwa perilaku dapat dipengaruhi oleh faktor

predisposing, reinforcing dan enabling. Faktor predisposing atau faktor pemicu

adalah faktor yang ada pada semua individu, diantaranya pengetahuan, sikap,

kepercayaan, nilai dan persepsi. Fakto Enabling atau faktor pemungkin yang

meliputi ketersediaan dari sarana dan prasarana seperti ketersediaan jamban,

ketersediaan air bersih, komitmen masrayakat /pemerintah. Faktor Reinforcing

atau faktor penguat merupakan sikap dan perilaku keluarga, teman Guru dan

petugas kesehatan, dalam merubah pengetahuan tentang perilaku BAB.

Penelitian Gani dkk (2015) menyebutkan bahwa di Kabupaten

Banyuwangi terdapat sebesar 46 persen masyarakat yang belum menggunakan

jamban sehat sebagai sarana BAB, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, di

antaranya: (1) Kebiasaan (budaya); (2) Ekonomi (penghasilan); (3) Pengetahuan.

Penelitian Cintya (2017) di Desa Tambak Rejo Bojonegoro, juga menyatakan

perilaku buang air besar sembarangan disebabkan oleh beberapa faktor antara

lain: tidak tersedianya jamban di rumah, kebiasaan dari kecil, merasa lebih tenang

buang air besar di tempat terbuka, tidak tersedia jamban pada tempat kerja, tidak

memiliki lahan untuk membangun jamban sendiri, merasa tidak etis buang air

besar menumpang di rumah tetangga.

Hasil penelitian Paramita dkk (2016) di Desa Gempolklutuk Kabupaten

Sidoarjo menyebutkan bahwa masih ada kepala keluarga yang berpendapat bahwa

jamban bukanlah sebuah kebutuhan yang urgen karena sungai masih dapat

digunakan untuk jamban, hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti
6

rendahnya kepedulian dari tokoh masyarakat, tokoh agama dan masih minimnya

tenaga kesehatan memberikan penyuluhan tentang penyakit yang berhubungan

dengan buang tinja sembarangan. Penelitian Oktanasari, dkk (2017) menyatakan

ada hubungan pendidikan, status ekonomi, ketersediaan air bersih dalam

menentukan faktor kesiapan terhadap kepedulian masyarakat untuk

memanfaatkan jamban dalam program Kampung Total Jamban Keluarga

(KATAJAGA) di Kecamatan Gunung Pati Semarang.

Hasil penelitian Fitri dan Putri, (2016) dari 163 rumah yang diteliti di

wilayah kerja Puskesmas Hiang Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi hanya 20

rumah (12,26 %) yang memiliki dan memanfaatkan jamban sebagai tempat buang

air besar, sehingga menjadi penyumbang tertinggi kasus diare di wilayah

kerjanya, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti: (1) Penghasilan; (2)

Pengetahuan; (3) Sikap; (4) Peran petugas kesehatan; (5) Ketersedian air bersih;

(6) Kepemilikan jamban. Penelitian lain yang dilakukan Novitri dan Agustin,

(2017) di Puskesmas Kota Baru Kabupaten Baturaja Provinsi Sumatera Selatan

terhadap 3 desa dengan akses sanitasi layak terendah yakni hanya sebesar (39,9

%) masyarakat yang memiliki jamban sehat. Hal ini akibat dari tingginya angka

pertumbuhan penduduk yang sangat berhubungan dengan faktor pendidikan,

pengetahuan, sikap dan pendapatan keluarga.

Berdasarkan data Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di Provinsi

Aceh yang terdiri dari 23 kabupaten / kota hanya 964 desa (15 %) dari 6.506 desa

/kelurahan yang telah menerapkan STBM. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil

capaian Program kesehatan lingkungan, salah satunya adalah penduduk yang


7

mengakses sanitasi layak dengan buang air besar tidak sembarangan (jamban

sehat) sebanyak 52 persen, artinya masih banyak masyarakat yang tidak

memanfaatkan jamban untuk buang air besar/tinja yakni mencapai 48 persen

(Dinkes Aceh, 2017).

Hasil Riset Kesehatan Dasar 2018 memperlihatkan bahwa penduduk di

Aceh yang tidak memanfaatkan jamban untuk buang air besar sebanyak 44,1

persen, dan ini masih jauh dari target pemerintah yang mencanangkan stop buang

air besar sembarangan mencapai target (100%) tahun 2019 (Kemenkes, 2018).

Menurut penelitian Mailoa dkk (2017) rendahnya angka cakupan PHBS ini sangat

berhubungan dengan persepsi, pengetahuan dan perilaku hidup masyarakat

tentang kesehatan dalam keluarga di Desa Kebonan Semarang.

Kabupaten Bener Meriah merupakan salah satu kabupaten yang berada di

Provinsi Aceh, dengan jumlah penduduk sebesar 145.086 jiwa yang tersebar pada

10 kecamatan. Kabupaten Bener Meriah dari data yang di temukan adalah salah

satu kabupaten dengan capaian program PHBS hanya sebesar 14,36 persen di

tahun 2017, dan pada tahun 2018 meningkat menjadi 24,71 persen. Salah satu

indikator PHBS yang belum sesuai target yakni masih didapati masyarakat buang

air besar di sembarang tempat sebesar 38 persen tahun 2017, dan tahun 2018

mencapai 36,7 persen, dengan jumlah kepemilikan jamban sehat sebanyak 69,71

persen dari jumlah rumah yang memenuhi syarat kesehatan sebesar 56,67 persen

(Dinkes Bener Meriah, 2017 dan 2018).

Berbagai program telah diluncurkan oleh pemerintah untuk mengubah

perilaku buang air besar sembarangan di masyarakat, salah satunya adalah


8

program STBM. Kabupaten Bener Meriah telah menerapkan Program STBM

dengan pemicuan minimal satu dusun dari satu desa yang mempunyai tim kerja

dari masyarakat dan telah membuat rencana tindak lanjut untuk menuju Sanitasi

Total. Namu hal ini belum menampakkan hasil sesuai diharapan, karena pada

tahun 2017 Kabupaten Bener Meriah jumlah desa STBM hanya mencapai 10

desa (4,3%), sedangkan tahun 2018 capaian program semakin menurun yakni

menjadi 7 desa (3,0 %), dan belum ada satu kecamatan pun yang dapat dinyatakan

bebas dari perilaku buang air besar sembarangan, artinya program pemerintah

tentang Stop BABS melalui STBM masih menjadi tugas berat dalam mencapai

target 100 persen di tahun 2019 (Dinkes Bener Meriah, 2017 dan 2018).

Survey awal yang dilakukan terhadap 30 kepala keluarga di Kabupaten

Bener Meriah yang berada di kecamatan Wih Pesam, ditemukan 23 persen

penduduk tinggal di rumah kontrakan menyatakan biasa buang air besar di

jamban yang berada aliran sungai, 19 persen penduduk menyatakan terbiasa

buang air besar air mengalir/sungai meskipun di rumah tersedia jamban, dan 16

persen menyatakan buang air besar di kebun atau di sungai karena tidak mampu

membangun jamban, sedangkan 42 persennya menyatakan sudah memanfaatkan

jamban di rumah.

Hasil wawancara dengan Kepala Seksi Kesehatan Lingkungan Dinas

Kesehatan Kabupaten Bener Meriah tanggal 24 April 2019 menyebutkan, ada

beberapa hal yang menyebabkan masyarakat masih melakukan peraktik buang air

besar sembarangan yaitu: (1) Letak geografis misalnya perkampungan berada di

dekat aliran sungai, rumah masyarakat berada di sekitar kebun dan masih banyak
9

lahan kosong; (2) Pembangunan jamban komunal tidak sesuai standar kesehatan;

(3) Masyarakat sudah terbiasa buang air besar di sungai; (4) Belum ada regulasi

yang berhubungan dengan perilaku buang air besar sembarang tempat; (5) Masih

ada beberapa daerah yang sulit mendapatkan air kecuali pada musim hujan.

Beberapa upaya telah dilakukan untuk mengubah perilaku buang air besar

sembarangan di Kabupaten Bener Meriah antara lain membuat perencanaan

dengan aparat desa untuk membangun jamban bagi keluarga yang kurang mampu

secara bergilir dengan menggunakan dana desa, dan pada tahun 2016 dilakukan

perekrutan tenaga penyuluh dan sanitasi untuk semua puskesmas dengan

memanfaatkan anggaran Bantuan Operasional Kesehatan (BOK). Berdasarkan

latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang

faktor-faktor yang memengaruhi perilaku buang air besar di Kabupaten Bener

Meriah.

Perumusan Masalah

Kabupaten Bener Meriah merupakan daerah pengunungan, dengan

mayoritas penduduk adalah petani. Berdasarkan data 2018 capaian PHBS dan

Program STBM pilar pertama tentang Stop Buang Air Besar Sembaranaga

(BABS) yang berkaitan dengan perilaku BAB serta kepemilikan jamban yang

memenuhi syarat kesehatan masih rendah. Berdasarkan hasil Survei awal yang

dilakukan terhadap 30 KK ditemukan 58 persen masih melakuan peraktik BABS.

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis merumuskan masalah dalam

penelitian sebagai berikut: Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi perilaku

buang air besar di Kabupaten Bener Meriah.


10

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1) Menganalisis pengaruh faktor predisposisi meliputi pendidikan, tingkat

ekonomi, pengetahuan dan sikap terhadap perilaku buang air besar di

Kabupaten Bener Meriah;

2) Menganalisis pengaruh faktor pendukung meliputi ketersediaan jamban dan

ketersediaan air bersih terhadap perilaku buang air besar di Kabupaten

Meriah;

3) Menganalisis pengaruh faktor penguat yang meliputi peran tenaga kesehatan

terhadap perilaku buang air besar di Kabupaten Bener Meriah;

Manfaat Penelitian

Manfaat teoritis. Sebagai masukan dan tambahan referensi tentang

faktor-faktor yang memengaruhi perilaku buang air besar sembarang tempat

Manfaat aplikatif bagi dinas kesehatan. Sebagai sumber informasi

yang dapat dijadikan acuan dalam menyusun strategi perencanaan kebijakan yang

berhubungan dengan perilaku buang air besar sembarang tempat di lingkungan

masyarakat.

Manfaat aplikatif bagi Puskesmas. Sebagai bahan untuk menyusun

strategi program dalam meningkatkan kinerja puskesmas tentang sanitasi

terutama perilaku buang air besar sembarangan di masyarakat.

Manfaat aplikatif bagi masyarakat. Sebagai sumber pengetahuan untuk

merubah perilaku hidup sehat dengan perilaku buang air besar tidak Sembarangan.

Anda mungkin juga menyukai