Latar Belakang
dijumpai warga yang buang air besar sembarangan. Perilaku buang air besar
pencemaran pada lingkungan, tanah, udara dan air, sehingga dapat menimbulkan
hal yang krusial atau prioritas karena dinilai tidak dapat langsung menjadi daya
(2016) tingginya angka kesakitan dan kematian akibat perilaku buang air besar
penyakit terkait pemanfaatan sumber air dan sanitasi yang berhubungan dengan
perilaku buang air besar sembarangan belum dapat dituntaskan, yakni sekitar 2,5
1
2
miliar lebih manusia di bumi tidak mempunyai tempat buang air besar/ jamban
Novitry dan Agustin (2017) memperkirakan sekitar 1,1 milyar (17 %) penduduk
di bumi ini masih buang air besar sembarang tempat, dan sekitar 81 persen yang
Indonesia menjadi negara nomor dua terbesar yaitu sekitar 12,9 persen masyrakat
peringkat pertama yaitu mencapai 58 persen. Hal ini mengakibatkan lebih dari
3.400.000 orang meninggal setiap tahunnya, karena penyakit yang berasal dari
akibat buruknya kualitas air dan sanitasi, salah satunya adalah diare menyebabkan
Berdasarkan hasil Riset UNICEF dan WHO yang dikutip Apriyanti dkk
(2019) dalam penelitiannya menyatakan lebih dari 370 anak balita (anak usia di
akibat penyakit yang dapat dicegah seperti diare dan pneumonia. Diare selain
menjadi salah satu penyebab kematian juga mengubah status gizi menjadi buruk
menyatakan beberapa penyakit yang timbul akibat sanitasi buruk dan perilaku
kecacingan 0,85 persen, hepatitis A 0,57 persen, scabies 23 persen, trachoma 0,14
3
persen, hepatitis E 0,02 persen dan malnutrisi 2,5 persen. Keadaan ini timbul
karena masih banyak manusia buang air besar sembarangan yang berakibat pada
lingkungan menjadi tidak sehat dan air yang digunakan sudah tercemar.
Membiasakan perilaku buang air besar secara sehat dapat menjadi pemutus
alur kontaminasi dengan kotoran manusia sebagai suatu sumber penyakit yang
berkelanjutan, yakni dengan menyiapkan serta menjaga fasilitas buang air besar
Hasil studi dari Water and Sanitation Program, secara ekonomi Indonesia
diperkirakan mengalami kerugian sebesar 6,3 milyar USD (56,7 trilyun) atau
sama dengan 2,3 persen Gross Domestic Produkct pertahunnya, hal ini
merupakan akibat dari sanitasi serta hygiene yang buruk (Millennium Challenge
lingkungan menentukan target pada tahun 2030, salah satunya adalah seluruh
masyarakat dapat memanfaatkan air bersih dan sanitasi dasar layak. Hal ini akan
adalah100 persen masyarakat tidak buang air besar sembarangan. Namun hingga
tahun 2015 masih terdapat 62 juta (53 %) penduduk di perdesaan belum memiliki
akses sanitasi layak yakni 34 juta di antaranya masih melakukan praktik buang
air besar sembarangan, artinya masih dibutuhkan 40 persen lagi percepatan untuk
menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dalam rumah tangga
kemauan dalam memelihara kesehatan dengan tidak peraktik buang air besar
merupakan salah satu indikator dalam program PHBS. Indikator penilaian PHBS
dalam rumah tangga meliputi : (1) Persalinan di tolong oleh tenaga kesehatan; (2)
Bayi diberi ASI Eksklusif; (3) Menimbang bayi setiap bulan; (4) Tersedia air
bersih; (5) Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun; (6) Menggunakan jamban
sehat; (7) Memberantas jentik; (8) Mengkonsunsumsi buah dan sayur setiap hari;
(9) Melakukan aktifitas fisik secara teratur; (10) Tidak merokok dalam rumah
(Kemenkes, 2016)
bagian dari PHBS masih banyak ditemukan, terutama di daerah perdesaan, yakni
ditemukan hanya 53,89 persen lingkungan yang dianggap memiliki sanitasi sesuai
jamban tidak sehat sebagai sarana BAB sebesar 33,5 persen, serta kebiasaan
Perilaku BAB ini dapat dianalisis melalui teori Lawreen Green dalam
Priyoto (2014) yang menjelaskan bahwa perilaku dapat dipengaruhi oleh faktor
adalah faktor yang ada pada semua individu, diantaranya pengetahuan, sikap,
kepercayaan, nilai dan persepsi. Fakto Enabling atau faktor pemungkin yang
atau faktor penguat merupakan sikap dan perilaku keluarga, teman Guru dan
jamban sehat sebagai sarana BAB, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, di
perilaku buang air besar sembarangan disebabkan oleh beberapa faktor antara
lain: tidak tersedianya jamban di rumah, kebiasaan dari kecil, merasa lebih tenang
buang air besar di tempat terbuka, tidak tersedia jamban pada tempat kerja, tidak
memiliki lahan untuk membangun jamban sendiri, merasa tidak etis buang air
Sidoarjo menyebutkan bahwa masih ada kepala keluarga yang berpendapat bahwa
jamban bukanlah sebuah kebutuhan yang urgen karena sungai masih dapat
digunakan untuk jamban, hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti
6
rendahnya kepedulian dari tokoh masyarakat, tokoh agama dan masih minimnya
Hasil penelitian Fitri dan Putri, (2016) dari 163 rumah yang diteliti di
rumah (12,26 %) yang memiliki dan memanfaatkan jamban sebagai tempat buang
kerjanya, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti: (1) Penghasilan; (2)
Pengetahuan; (3) Sikap; (4) Peran petugas kesehatan; (5) Ketersedian air bersih;
(6) Kepemilikan jamban. Penelitian lain yang dilakukan Novitri dan Agustin,
terhadap 3 desa dengan akses sanitasi layak terendah yakni hanya sebesar (39,9
%) masyarakat yang memiliki jamban sehat. Hal ini akibat dari tingginya angka
Aceh yang terdiri dari 23 kabupaten / kota hanya 964 desa (15 %) dari 6.506 desa
/kelurahan yang telah menerapkan STBM. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil
mengakses sanitasi layak dengan buang air besar tidak sembarangan (jamban
Aceh yang tidak memanfaatkan jamban untuk buang air besar sebanyak 44,1
persen, dan ini masih jauh dari target pemerintah yang mencanangkan stop buang
air besar sembarangan mencapai target (100%) tahun 2019 (Kemenkes, 2018).
Menurut penelitian Mailoa dkk (2017) rendahnya angka cakupan PHBS ini sangat
Provinsi Aceh, dengan jumlah penduduk sebesar 145.086 jiwa yang tersebar pada
10 kecamatan. Kabupaten Bener Meriah dari data yang di temukan adalah salah
satu kabupaten dengan capaian program PHBS hanya sebesar 14,36 persen di
tahun 2017, dan pada tahun 2018 meningkat menjadi 24,71 persen. Salah satu
indikator PHBS yang belum sesuai target yakni masih didapati masyarakat buang
air besar di sembarang tempat sebesar 38 persen tahun 2017, dan tahun 2018
mencapai 36,7 persen, dengan jumlah kepemilikan jamban sehat sebanyak 69,71
persen dari jumlah rumah yang memenuhi syarat kesehatan sebesar 56,67 persen
dengan pemicuan minimal satu dusun dari satu desa yang mempunyai tim kerja
dari masyarakat dan telah membuat rencana tindak lanjut untuk menuju Sanitasi
Total. Namu hal ini belum menampakkan hasil sesuai diharapan, karena pada
tahun 2017 Kabupaten Bener Meriah jumlah desa STBM hanya mencapai 10
desa (4,3%), sedangkan tahun 2018 capaian program semakin menurun yakni
menjadi 7 desa (3,0 %), dan belum ada satu kecamatan pun yang dapat dinyatakan
bebas dari perilaku buang air besar sembarangan, artinya program pemerintah
tentang Stop BABS melalui STBM masih menjadi tugas berat dalam mencapai
target 100 persen di tahun 2019 (Dinkes Bener Meriah, 2017 dan 2018).
buang air besar air mengalir/sungai meskipun di rumah tersedia jamban, dan 16
persen menyatakan buang air besar di kebun atau di sungai karena tidak mampu
jamban di rumah.
beberapa hal yang menyebabkan masyarakat masih melakukan peraktik buang air
dekat aliran sungai, rumah masyarakat berada di sekitar kebun dan masih banyak
9
lahan kosong; (2) Pembangunan jamban komunal tidak sesuai standar kesehatan;
(3) Masyarakat sudah terbiasa buang air besar di sungai; (4) Belum ada regulasi
yang berhubungan dengan perilaku buang air besar sembarang tempat; (5) Masih
ada beberapa daerah yang sulit mendapatkan air kecuali pada musim hujan.
Beberapa upaya telah dilakukan untuk mengubah perilaku buang air besar
dengan aparat desa untuk membangun jamban bagi keluarga yang kurang mampu
secara bergilir dengan menggunakan dana desa, dan pada tahun 2016 dilakukan
latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang
Meriah.
Perumusan Masalah
mayoritas penduduk adalah petani. Berdasarkan data 2018 capaian PHBS dan
Program STBM pilar pertama tentang Stop Buang Air Besar Sembaranaga
(BABS) yang berkaitan dengan perilaku BAB serta kepemilikan jamban yang
memenuhi syarat kesehatan masih rendah. Berdasarkan hasil Survei awal yang
Tujuan Penelitian
Meriah;
Manfaat Penelitian
yang dapat dijadikan acuan dalam menyusun strategi perencanaan kebijakan yang
masyarakat.
merubah perilaku hidup sehat dengan perilaku buang air besar tidak Sembarangan.