Banyaknya permasalahan besar pada masa orde baru memunculkan banyak tuntutan agar Presiden Soeharto turun dari jabatan. Puncaknya tuntutan terjadi pada tanggal 12 Mei 1998 di Kampus Trisakti yang dikenal dengan Insiden Trisakti. Situasi ini membuat Soeharto memutuskan untuk berhenti karena desakan masyarakat yang menuntut beliau mundur sangatlah besar dan secara politik dukungan sudah tidak ada. Pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB di ruang Jepara, Istana Merdeka Jakarta, Presiden Soeharto menyatakan dirinya berhenti dari jabatan Presiden RI lewat pidatonya dihadapan wartawan dalam dan luar negeri. Setelah itu, B.J. Habibie sebagai Wapres langsung diangkat sumpahnya menjadi Presiden RI ketiga dihadapan Pimpinan Mahkamah Agung, yang disaksikan oleh Ketua DPR dan Wakil-Wakil Ketua DPR. Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi". Masih adanya tokoh- tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru". Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor-Timur, transformasi dari Orde Baru ke Era Reformasi berjalan relatif lancar dibandingkan negara lain seperti Uni Soviet dan Yugoslavia. Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang berhasil meletakkan pondasi baru yang terbukti lebih kokoh dan kuat menghadapi perubahan zaman.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana proses pengalihan kepala pemerintahan ke B.J Habibie? 1.2.2 Apa saja kebijakan-kebijakan dalam bidang ekonomi dan politik pada masa pemerintahan Habibie? 1.2.3 Apa saja keberhasilan yang kegagalan program kerja kabinet B.J Habibie? 1.2.4 Bagaimana jatuhnya pemerintahan B.J Habibie? BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Proses pengalihan kepala pemerintahan ke B.J Habibie
Usai Presiden Soeharto mengucapkan pidato pemunduran dirinya, B.J. Habibie sebagai Wapres langsung diangkat sumpahnya menjadi Presiden RI ketiga dihadapan Pimpinan Mahkamah Agung, yang disaksikan oleh Ketua DPR dan Wakil-Wakil Ketua DPR. Presiden Habibie pada saat itu diwarisi keadaan negara yang sangat kacau secara ekonomi maupun politik. Belum lagi, saat itu ia tidak dibantu oleh seorang pun dari kursi Wakil Presiden. Naiknya B.J. Habibie menggantikan Soeharto sebagai Presiden RI ketiga mengundang perdebatan hukum dan kontroversial, karena Mantan Presiden Soeharto menyerahkan secara sepihak kekuasaan kepada Habibie. Dikalangan mahasiswa, sikap atas pelantikan Habibie sebagai presiden terbagi atas tiga kelompok, yaitu: pertama, menolak Habibie karena merupakan produk Orde Baru; kedua, bersikap netral karena pada saat itu tidak ada pemimpin negara yang diterima semua kalangan sementara jabatan presiden tidak boleh kosong; ketiga, mahasiswa berpendapat bahwa pengalihan kekuasaan ke Habibie adalah sah dan konstitusional. Pada tanggal 23 Mei 1998, Presiden B.J. Habibie mengumumkan susunan kabinet baru, yaitu Kabinet Reformasi Pembangunan dengan tugas pokok melakukan Reformasi total di bidang ekonomi, politik dan hukum. Seiring dengan diumumkannya susunan kabinet yang baru, berarti presiden harus membubarkan Kabinet Pembangunan VII.
2.2 Kebijakan-kebijakan pada masa pemerintahan Habibie
Kebijakan-kebijakan untuk mengembalikan roda pembangunan : Bidang ekonomi: Presiden Habibie melakukan Reformasi besar-besaran di bidang ekonomi, seperti merekapitulasi perbankan, merekonstruksi perekonomian nasional, melikuidasi (pembubaran) beberapa bank bermasalah, menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika hingga di bawah Rp10.000, membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional, dan mengimplementasi reformasi ekonomi yang disyaratkan oleh IMF. Otonomi yang luas kemudian diberikan kepada daerah dan tidak lagi dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah pusat (desentralisasi). Dasar transisi ini dirumuskan dalam UU yang disetujui parlemen dan disahkan oleh presiden Indonesia tahun 1999, yang menyerukan transfer kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Bidang sosial politik: Presiden Habibie membebaskan para tahanan politik di masa Orde Baru. Amnesti diberikan kepada Mohammad Sanusi dan orang-orang lain yang ditahan setelah Insiden Tanjung Priok. Dr. Sri Bintang Pamungkas, ketua Partai PUDI dan Dr. Mochatar Pakpahan ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia dan K. H Abdurrahman Wahid merupakan segelintir dari tokoh-tokoh yang dibebaskan Habibie. Selain itu Habibie mencabut Undang-Undang Subversi dan menyatakan mendukung budaya oposisi serta melakukan pendekatan kepada mereka yang selama ini menentang Orde Baru. Peningkatan kebebasan pers, pembentukan parpol serta percepatan pemilu dari tahu 2003 ke tahun 1999. Terkait Dwifungsi ABRI, Presiden Habibie langsung mengurangi kursi ABRI di parlemen, dari semula 75 orang menjadi 38 orang. Pada 5 Mei 1999, Presiden Habibie memecah komponen ABRI ke bentuk semula, yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Reoublik Indonesia (POLRI).
2.3 Keberhasilan dan kegagalan program kerja kabinet B.J Habibie
Keberhasilan: Berhasil menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika mejadi Rp10.000 Dilahirkan UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli atau persaingan tidak sehat, mengesahkan UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan UU otonomi daerah. Memberi kebebasan pada rakyat untuk menyalurkan aspirasinya sehingga banyak bermunculan partai-partai politik baru yakni sebanyak 48 partai politik. Kegagalan: Diakhir pemerintahan nilai tukar rupiah memburuk Tidak dapat meyakinkan investor untuk tetap berinvestasi di Indonesia Korupsi, Kolusi serta Nepotisme masih menjalar (mengenai pengusutan kekayaan milik Soeharto) Masalah HAM belum juga berkesudahan Lepasnya Timor-Timur tahun 1999 2.4 Jatuhnya pemerintahan Menurut pihak oposisi, salah satu kesalahan terbesar yang B.J Habibie lakukan saat menjabat sebagai Presiden ialah memperbolehkan diadakannya referendum provinsi Timor-Timur (sekarang Timor Leste). Ia mengajukan hal yang cukup menggemparkan publik saat itu, yaitu mengadakan jajak pendapat bagi warga Timor-Timur untuk memilih merdeka atau masih tetap menjadi bagian dari Indonesia. Pada masa kepresidenannya, Timor-Timur lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi negara terpisah yang berdaulat pada tanggal 30 Agustus 1999. Kasus inilah yang mendorong pihak oposisi yang tidak puas dengan latar belakang Habibie semakin giat menjatuhkannya. Upaya ini akhirnya berhasil saat Sidang Umum 1999, pada 20 Oktober 1999 ia memutuskan untuk tidak mencalonkan diri lagi setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR dan setelah 512 hari kekuasaan B.J Habibie akhirnya berhenti. Pandangan terhadap pemerintahan Habibie pada era awal reformasi cenderung bersifat negatif, tapi sejalan dengan perkembangan waktu banyak yang menilai positif pemerintahan Habibie. BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB di ruang Jepara, Istana Merdeka Jakarta, Presiden Soeharto menyatakan dirinya berhenti dari jabatan Presiden RI, lewat pidatonya dihadapan wartawan dalam dan luar negeri. Setelah itu, B.J. Habibie sebagai Wapres langsung diangkat sumpahnya menjadi Presiden RI ketiga dihadapan Pimpinan Mahkamah Agung, yang disaksikan oleh Ketua DPR dan Wakil-Wakil Ketua DPR. Pada tanggal 23 Mei 1998, Presiden B.J. Habibie mengumumkan susunan kabinet baru, yaitu Kabinet Reformasi Pembangunan dan membehentikan dengan hormat pada menteri Kabinet Pembangunan lalu B.J Habibie memimpin Indonesia yang saat itu memiliki kondisi yang kurang baik. Ada berbagai kebijakan yang dilaksanakan saat pemerintahan Habibie diantaranya merekapitulasi perbankan, merekonstruksi perekonomian nasional, melikuidasi (pembubaran) beberapa bank bermasalah, menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika hingga di bawah Rp10.000 dalam bidang ekonomi dan pembebasan para tahanan Orde Baru, peningkatan kebijakan pers, pembentukan parpol dalam bidang sosial politik. Di tengah-tengah masa pemerintahannya, B.J Habibie dituduh melalukan tindakan yang bertentangan dengan kesepakatan MPR mengenai Timor-Timur. Pada tanggal 14 Oktober 1999, Presiden Habibie menyampaikan pidato pertanggungjawaban di depan pimpinan sidang umum MPR, namun terjadi penolakan terhadap pertanggungjawaban presiden, sehingga pada 20 Oktober 1999 Presiden Habibie mengatakan bahwa dirinya mengundurkan diri dan menolak pencalonan presiden di pemilu 1999