PENDAHULUAN
Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif adalah suatu
keadaan saat terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan mekanisme
kompensatoriknya. Gagal jantung adalah komplikasi tersering dari segala jenis
penyakit jantung kongenital maupun didapat. Penyebab dari gagal jantung adalah
disfungsi miokard, endokard, perikardium, pembuluh darah besar, aritmia,
kelainan katup, dan gangguan irama. Di Eropa dan Amerika, disfungsi miokard
yang paling sering terjadi akibat penyakit jantung koroner, biasanya akibat infark
miokard yang merupakan penyebab paling sering pada usia kurang dari 75 tahun,
disusul hipertensi dan diabetes. 1, 2
Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat pada usia
yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prevalensi gagal jantung di
Amerika Serikat mencapai 4,8 juta orang dengan 500 ribu kasus baru per
tahunnya. Di Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi penyakit gagal
jantung, di RS Jantung Harapan Kita, setiap hari ada sekitar 400-500 pasien
berobat jalan dan sekitar 65% adalah pasien gagal jantung. 3 Meskipun terapi
gagal jantung mengalami perkembangan yang pesat, angka kematian dalam 5-10
tahun tetap tinggi, sekitar 30- 40% dari pasien penyakit gagal jantung lanjut dan
5-10% dari pasien dengan gejala gagal jantung yang ringan. 2, 3
Prognosa dari gagal jantung tidak begitu baik bila penyebabnya tidak dapat
diperbaiki. Setengah dari populasi pasien gagal jantung akan meninggal dalam 4
tahun sejak diagnosis ditegakkan, dan pada keadaan gagal jantung berat lebih
dari 50% akan meninggal dalam tahun pertama. 2
Sindrom Koroner Akut/SKA adalah salah satu penyebab kematian dan
morbiditas tersering penyakit kardiovaskular. Di seluruh dunia, infark miokardial
menyebabkan kematian 7 juta orang di seluruh dunia, dan menyebabkan 129 juta
orang hidup dengan disabilitas seumur hidupnya. Menurut data WHO, terdapat 4
juta kematian setiap tahunnya pada 49 negara di benua Eropa dan Asia Utara
akibat sindrom koroner akut. Pada tahun 2016, American Heart Association
(AHA) melaporkan lebih dari 15.65 juta orang di atas usia 20 tahun di Amerika
Serikat memiliki SKA. Prevalensi ini meningkat dengan bertambahnya usia pada
kedua gender, pria dan wanita11.
Sindrom Koroner Akut terbagi menjadi tiga tipe, yaitu STEMI (ST –
Elevated Myocardial Infarct), NSTEMI (Non - ST Elevated Myocardial Infarct),
dan UA (Unstable Angina)3. Ketiganya memiliki gejala yang serupa namun
memiliki konsekuensi dan tata laksana yang berbeda – beda. Karena
menyebabkan mortalitas dan morbiditas yang tinggi, SKA harus dianggap
sebagai kegawat daruratan medis. Oleh sebab itu, penting bagi tenaga medis
untuk mengetahui dan mendeteksi dini SKA untuk menentukan pemeriksaan
fisik, penunjang, dan tata laksana yang tepat.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa tidak
mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan.
Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan dari pemeriksaan
fisis, foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan echocardiography.
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel.
Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari
50%. Ada 3 macam gangguan fungsi diastolik ; Gangguan relaksasi, pseudo-normal, tipe
restriktif.
3
2. Low Output dan High Output Heart Failure
Low output heart failure disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi, kelainan
katup dan perikard. High output heart failure ditemukan pada penurunan resistensi vaskular
sistemik seperti hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A –V, beri-beri, dan Penyakit Paget
. Secara praktis, kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan.
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena pulmonalis
dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea. Gagal jantung kanan terjadi kalau
kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal primer/sekunder,
tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema
perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis. Tetapi karena perubahan biokimia gagal
jantung terjadi pada miokard ke-2 ventrikel, maka retensi cairan pada gagal jantung yang sudah
berlangsung bulanan atau tahun tidak lagi berbeda.
Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat
endokarditis, trauma, atau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun secara tiba-tiba
menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer.
Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan multivalvular
yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer sangat menyolok, namun tekanan darah
masih terpelihara dengan baik.
Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure , hampir selalu
disertai peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena (backward failure), karena ventrikel
yang lemah tidak mampu memompa darah dalam jumlah normal, hal ini menyebabkan
peningkatan volume darah di ventrikel pada waktu diastol, peningkatan tekanan diastolik akhir
di dalam jantung dan akhirnya peningkatan tekanan vena . Gagal jantung kongestif mungkin
mengenai sisi kiri dan kanan jantung atau seluruh rongga jantung.
2. Etiologi
Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta dan defek
septum ventrikel, beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta
4
dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan
kardiomiopati. Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui
penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa : aritmia, infeksi sistemik, infeksi paru- paru
dan emboli paru.
Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik, penyakit katup mitral
atau aorta, penyakit jantung iskemik (CAD), dan penyakit miokardium primer. Penyebab
tersering gagal jantung kanan adalah gagal ventrikel kiri, yang menyebabkan kongesti paru dan
peningkatan tekanan arteria pulmonalis. Gagal jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai
gagal jantung kiri pada pasien dengan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh paru (kor
polmunale) dan pada pasien dengan penyakit katup arteri pulmonalis atau trikuspid.
3. Patofisiologi
Bila jantung mendadak menjadi rusak berat, seperti infark miokard, maka kemampuan
pemompaan jantung akan segera menurun. Sebagai akibatnya akan timbul dua efek utama
penurunan curah jantung, dan bendungan darah di vena yang menimbulkan kenaikan tekanan
vena jugularis.
Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respons adaptif lokal mulai terpacu dalam
upaya mempertahankan curah jantung. Respons tersebut mencakup peningkatan aktivitas
adrenergik simpatik, peningkatan beban awal akibat aktivasi sistem renin-angiotensin-
aldosteron, dan hipertrofi ventrikel. Mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan
curah jantung pada tingkat normal atau hampir normal pada awal perjalanan gagal jantung,
dan pada keadaan istirahat. Namun, kelainan kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung
biasanya tampak saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung, kompensasi menjadi
semakin kurang efektif.
Salah satu respons neurohumoral terhadap penurunan curah jantung adalah peningkatan
aktivitas sistem adrenergik simpatis. Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis merangsang
pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan medulla adrenal. Katekolamin
ini akan menyebabkan kontraksi lebih kuat otot jantung (efek inotropik positif) dan
peningkatan kecepatan jantung. Selain itu juga terjadi vasokontriksi arteri perifer untuk
menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran
5
darah ke organ-organ yang metabolismenya rendah misal kulit dan ginjal untuk
mempertahankan perfusi ke jantung dan otak. Vasokonstriksi akan meningkatkan aliran balik
vena ke sisi kanan jantung, untuk selanjutnya menambah kekuatan kontraksi sesuai dengan
hukum Starling. Kadar katekolamin dalam darah akan meningkat pada gagal jantung, terutama
selama latihan. Jantung akan semakin bergantung pada katekolamin yang beredar dalam darah
untuk mempertahankan kerja ventrikel.namun pada akhirnya respons miokardium terhadap
rangsangan simpatis akan menurun; katekolamin akan berkurang pengaruhnya terhadap kerja
ventrikel.
-Retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus kolektifus.
3. Hipertrofi ventrikel :
6
sistemik. Vasokontriksi arteri juga meningkatkan beban akhir dengan memperbesar resistensi
terhadap ejeksi ventrikel; beban akhir juga meningkat karena dilatasi ruang jantung. Akibatnya,
kerja jantung dan kebutuhan oksigen miokardium juga meningkat. Hipertrofi miokardium dan
rangsangan simpatis lebih lanjut akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Jika
peningkatan kebutuhan oksigen tidak dapat dipenuhi akan terjadi iskemia miokardium dan
gangguan miokardium lainnya. Hasil akhir dari peristiwa yang saling berkaitan ini adalah
meningkatnya beban miokardium dan terus berlangsungnya gagal jantung.
7
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap derajat latihan
fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada awalnya, secara khas gejala hanya muncul saat
beraktivitas fisik, tetapi dengan bertambah beratnya gagal jantung, toleransi terhadap latihan
semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih awal dengan aktivitas yang lebih ringan.
Gejala-gejala dari gagal jantung kongestif bervariasi diantara individu sesuai dengan sistem
organ yang terlibat dan juga tergantung pada derajat penyakit.
Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. Meskipun kelelahan adalah
gejala yang umum dari gagal jantung kongestif, tetapi gejala kelelahan merupakan gejala yang
tidak spesifik yang mungkin disebabkan oleh banyak kondisi-kondisi lain. Kemampuan
seseorang untuk berolahraga juga berkurang. Beberapa pasien bahkan tidak merasakan keluhan
ini dan mereka tanpa sadar membatasi aktivitas fisik mereka untuk memenuhi kebutuhan
oksigen.
Dispnea, atau perasaan sulit bernapas adalah manifestasi gagal jantung yang paling
umum. Dispnea disebabkan oleh meningkatnya kerja pernapasan akibat kongesti
vaskular paru yang mengurangi kelenturan paru.meningkatnya tahanan aliran udara
juga menimbulkan dispnea. Seperti juga spektrum kongesti paru yang berkisar dari
kongesti vena paru sampai edema interstisial dan akhirnya menjadi edema alveolar,
maka dispnea juga berkembang progresif. Dispnea saat beraktivitas menunjukkan
gejala awal dari gagal jantung kiri. Ortopnea (dispnea saat berbaring) terutama
disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari bagian- bagian tubuh yang di bawah ke
arah sirkulasi sentral.reabsorpsi cairan interstisial dari ekstremitas bawah juga akan
menyebabkan kongesti vaskular paru-paru lebih lanjut. Paroxysmal Nocturnal Dispnea
(PND) dipicu oleh timbulnya edema paru intertisial. PND merupakan manifestasi yang
lebih spesifik dari gagal jantung kiri dibandingkan dengan dispnea atau ortopnea.
Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada posisi
berbaring.
8
Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah ciri khas dari
gagal jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah paru-paru karena
pengaruh gaya gravitasi.
Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi akibat distensi
vena.
Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti vena sistemik.
Dapat diamati peningkatan tekanan vena jugularis; vena-vena leher mengalami
bendungan . tekanan vena sentral (CVP) dapat meningkat secara paradoks selama
inspirasi jika jantung kanan yang gagal tidak dapat menyesuaikan terhadap peningkatan
aliran balik vena ke jantung selama inspirasi.
Dapat terjadi hepatomegali; nyeri tekan hati dapat terjadi akibat peregangan kapsula
hati.
Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual dapat
disebabkan kongesti hati dan usus.
Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial. Edema mula-
mula tampak pada bagian tubuh yang tergantung, dan terutama pada malam hari; dapat
terjadi nokturia (diuresis malam hari) yang mengurangi retensi cairan.nokturia
disebabkan oleh redistribusi cairan dan reabsorpsi pada waktu berbaring, dan juga
berkurangnya vasokontriksi ginjal pada waktu istirahat.
Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema anasarka.
Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran vena sistemik secara klasik
dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan, namun manifestasi paling dini dari
bendungan sistemik umumnya disebabkan oleh retensi cairan daripada gagal jantung
kanan yang nyata.
Seiring dengan semakin parahnya gagal jantung kongestif, pasien dapat mengalami
sianosis dan asidosis akibat penurunan perfusi jaringan. Aritmia ventrikel akibat
iritabilitas miokardium dan aktivitas berlebihan sietem saraf simpatis sering terjadi dan
merupakan penyebab penting kematian mendadak dalam situasi ini.
9
5. Diagnosis
Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada dan penemuan
klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto thorax, EKG, ekokardiografi,
pemeriksaan laboratorium rutin, dan pemeriksaan biomarker.
Kriteria Diagnosis :
Diagnosis gagal jantung ditegakkan jika ada 2 kriteria mayor atau 1 kriteria major dan 2 kriteria
minor.
Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA), merupakan pedoman untuk
pengklasifikasian penyakit gagal jantung kongestif berdasarkan tingkat aktivitas fisik, antara lain:
NYHA class I , penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan fisik serta tidak
menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah, sesak napas atau berdebar-
debar, apabila melakukan kegiatan biasa.
NYHA class II , penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka tidak
10
mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang biasa dapat menimbulkan
gejala-gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan, jantung berdebar, sesak napas atau nyeri
dada.
NYHA class III , penderita penyakit dengan pembatasan yang lebih banyak dalam kegiatan
fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang kurang
dari kegiatan biasa sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti yang
tersebut di atas.
NYHA class IV , penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa
menimbulkan keluhan, yang bertambah apabila mereka melakukan kegiatan fisik meskipun
sangat ringan.
b. Pemeriksaan Penunjang
Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan penunjang
sebaiknya dilakukan.
Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN), kreatinin serum,
enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan pemeriksaan gula darah, profil lipid.
2. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah untuk menilai
ritme, menentukan adanya left ventrikel hypertrophy (LVH) atau riwayat MI (ada atau tidak adanya
Q wave). EKG Normal biasanya menyingkirkan kemungkinan adanya disfungsi diastolik pada LV.
3. Radiologi :
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan bentuknya,
distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang- kadang efusi pleura. begitu pula keadaan
vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi penyebab nonkardiak pada gejala pasien.
4. Penilaian fungsi LV :
6. Penatalaksanaan
Non –farmakologi :
a. Anjuran Umum
- Aktivasi social dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti biasa.
Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa dilakukan.
- Kontrasepsi dengan IUD pada gagal jantung sedang dan berat, penggunaan hormone
dosis rendah masih dapat dianjurkan.
b. Tindakan Umum
12
- Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g pada
gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada
gagal jantung ringan).
- Hentikan rokok
- Hentikan alcohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang lainnya.
- Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit atau
sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut jantung
maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang).
- Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut.
Farmakologi
- Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonal, dan pada gagal
jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan
dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif.
- Penyekat beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian mulai dengan
dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom
gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas
fungsional II dan III. Penyekat beta yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau
metoprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan penghambat ACE dan diuretic.
13
- Kombinasi hidralazin dengan ISDN memberi hasil yang baik pada pasien yang
intoleran dengan penghambat ACE dapat dipertimbangkan.
- Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi sistolik
ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama
diuretic, penghambat ACE, penyekat beta.
7. Prognosis
Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah sangat berkembang, tetapi
prognosisnya masih tetap jelek, dimana angka mortalitas setahun bervariasi dari 5% pada pasien
stabil dengan gejala ringan, sampai 30-50% pada pasien dengan gejala berat dan progresif.
Prognosisnya lebih buruk jika disertai dengan disfungsi ventrikel kiri berat (fraksi ejeksi< 20%),
gejala menonjol, dan kapasitas latihan sangat terbatas (konsumsi oksigen maksimal < 10
ml/kg/menit), insufisiensi ginjal sekunder, hiponatremia, dan katekolamin plasma yang meningkat.
Sekitar 40-50% kematian akibat gagal jantung adalah mendadak. Meskipun beberapa kematian ini
akibat aritmia ventrikuler, beberapa diantaranya merupakan akibat infark miokard akut atau
bradiaritmia yang tidak terdiagnosis. Kematian lainnya adalah akibat gagal jantung progresif atau
penyakit lainnya. Pasien-pasien yang mengalami gagal jantung stadium lanjut dapat menderita
dispnea dan memerlukan bantuan terapi paliatif yang sangat cermat.
14
B. Sindrom Koroner Akut
1. Definisi
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan kondisi mengancam jiwa yang dapat timbul
berulang setiap saat di sepanjang perjalanan penyakit jantung koroner. Sindrom ini merupakan
suatu kontinuum dengan manifestasi paling ringan angina pectoris tidak stabil hingga yang
paling berat yakni infark miokard akut, sebuah kondisi nekrosis otot jantung yang permanen.
Semua bentuk SKA mempunyai pemicu patofisiologis yang serupa13.
2. Epidemiologi
Frekuensi SKA sangatlah tinggi, setiap tahunnya lebih dari 1,4 juta penderita dengan
kondisi ini dirawat di rumah sakit di Amerika Serikat. Dalam satu tahun pertama setelah
kejadian infark miokard, 19% laki-laki dan 26% perempuan akan meninggal. Mortalitas SKA
pada dekade terakhir terus mengalami penurunan secara bermakna yang merupakan dampak
dari terapi utama dan prevensi yang semakin berkembang13.
3. Patogenesis
Lebih dari 90% SKA disebabkan oleh disrupsi plak aterosklerotik dengan agregasi
platelet dan terbentuknya trombus intrakoroner. Trombus intrakoroner tersebut mengakibatkan
obstruksi berat hingga oklusi total intrakoroner. Bentuk manifestasi SKA seperti gangguan
aliran darah tergantung dari beratnya obstruksi koroner yang terjadi. Trombus yang menutup
sebagian merupakan penyebab yang berhubungan erat dengan sindrom angina pectoris tidak
stabil, dan infrak miokard akut tanpa elevasi segmen ST.
Infark miokart akut dibedakan dari yang angina pectoris tidak stabil dengan adanya
nekrosis miokard. Di lain pihak, jika thrombus mengakibatkan oklusi arteri koroner secara
total, akibatnya adalah iskemia yang lebih luas dan area nekrosis yang lebih luas dengan
manifestasi klinis infrak miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI).
Trombus pada SKA dibentuk akibat interaksi antara plak aterosklerotik, endotel
koroner, platetet yang bersirkulasi, dan tonus vasomotor dinding pembuluh darah yang dinamis
yang melebihi mekanisme antitrombotik alami13.
15
4. Patogenesis Trombosis Koroner
Normalnya, mekanisme berperan mencegah formasi trombus intravaskular spontan. Akan
tetapi abnormalitas yang berhubungan dengan lesi aterosklerotik dapat menekan peran
pencegahan dan menghasilkan thrombosis koroner dan oklusi pembuluh darah. Aterosklerosis
berkontribusi dalam formasi trombus melalui (1) ruptur plak yang memaparkan substansi
trombogenik ke elemen sirkulasi darah dan (2) disfungsi endotel menghilangkan kemampuan
antitrombotik dan vasodiltaasi normal yang melindungi.
Ruptur plak aterosklerotik dianggap sebagai pemicu utama thrombosis. Penyebab yang
mendasari disrupsi plak adalah (1) faktor kimia yang menggangu stabilitas lesi aterosklerotik
dan (2) stress fisik yang menimpa lesi. Plak aterosklerosis terdiri dari inti sarat lemak yang
dikelilingi oleh lapiran fibrosa eksternal, Substansi yang dilepaskan sel inflamasi di dalam plak
dapat menggangu integritas lapisan fibrosa. Sebagai contoh limfosit T melepaskan interferon-
Y (INF-Y), yang menginhibisi sintesis kolagen dengan sel otot polos sehingga menggangu
kekuatan lapisan penutup yang seharusnya. Selain itu, sel-sel dalam lesi aterosklerotik
memproduksi enzim (yaitu metaloproteinase) yang mengahancurkan matriks intertisial
sehingga menggangu stabilitas plak lebih lanjut lagi. Plak yang lemah atau berlapis tipis rentan
untuk pecah, terutama di area “bahu” (diperbatasan dengan dinding arteri normal yang terpapar
dengan stress sirkumferensial yang tinggi) baik secara spontan atau oleh gaya fisik seperti
tekanan darah intraluminal dan torsi dari miokard yang berdenyut.
SKA terkadang terjadi akibat pemicu tertentu, seperti aktivitas fisik berat atau beban
emosi. Pengaktifan sistem saraf simpatis di situasi ini akan meningkatkan tekanan darah,
denyut jantung, dan gaya kontraksi ventrikel, aki-aksi yang dapat memberikan stress ke lesi
aterosklerotik, dan mengakibatkan plak mengalami fissur atau ruptur. Selain itu MI paling
sering terjadi di pagi hari. Observasi ini dapat berkaitan dengan kencenderungan stressor kunci
fisiologi (seperti tekanan darah sistolik, viskositas darah, dan kadar epinefrin plasma) yang
paling meningkat di waktu pagi hari. Faktor-faktor ini menyebabkan plak-plak menjadi tidak
stabil dan ruptur.
Sebagian besar SKA terjadi akibat rupture plak. Erosi superfisial tanpa ruptur lebih
jarang terjadi dan merupakan sebuah mekanisme disrupsi plak dan formasi trombus yang juga
penting. Plak yang mengalami erosi seringkali tidak mempunyai beban lemak yang nyata,
tetapi dihubungkan dengan merokok, dan juga sering ditemukan sebagai penyebab SKA pada
wanita premenopause,
16
Setelah disrupsi plak, dormasi trombus diprovokasi. Sebagai contoh, saat ruptur plak,
paparan faktor jaringan dari inti ateromatosa memicu jalur koagulasi, sementara kolagen
subendotel mengaktifkan platelet. Platelet yang aktif melepaskan isi granulanya yang terdiri
dari fasilitator agregasi platelet (yakni adenosine difosfat (ADP) dan fibrinogen), pengaktif
kaskade koagulasi (yakni faktor Va), dan vasokonstriktor (yakni tromboksan dan serotonin).
Trombus intrakoroner yang terbentuk, perdarahan intraplak, dan vasokonstriksi, berkontribusi
dalam penyempitan lumen pembuluh dan mengakibatkan turbulensi aliran darah yang juga
berkontribusi ke stress geser dan pengaktifan platelet lebih lanjut.
Disfungsi endotel, yang terlihat bahkan pada penyakit koroner aterosklerotik ringan,
juga meningkatkan kemungkinan formasi trombus. Pada keadaan disfungsi endotel, jumlah
vasodilator (yaitu NO dan prostasiklin) yang dilepaskan menjadi berkurang. Inhibisi agregasi
platelet oleh faktor ini terganggu dan mengakibatkan hilangnya pertahanan utama dalam
melawan thrombosis.
Tidak hanya kemampuan mencegah agregasi platelet pada disfungsi endotel yang
berkurang, tetapi kemampuan untuk melawan produk vasokonstriksi dari platelet juga ikut
berkurang. Saat formasi trombus, vasokonstriksi terjadi akibat produk platelet (trombosan dan
serotonin) dan thrombin yang terdapat di dalam gumpalan yang terjadi. Respon normal
vascular yang berhubungan dengan platelet adalah vasodilatasi, karena produk platelet
merangsang NO endotel dan pelepasan prostasiklin yang lebih mendominasi dibanding efek
vasokonstriksi langsung yang disebabkan platelet. Akan tetapi, penurunan sekresi vasodilator
endotel pada aterosklerosis menyebabkan vasokonstriksi tetap terjadi. Pada keadaan disfungsi
endotel, thrombin dalam gumpalan yang terbentuk juga merupakan konstriktor kuat otot polos
vascular, Vasokonstriksi menyebabkan stress torsional yang dapat berkontribusi ke rupture
plak atau mengoklusi sementara pembuluh darah stenosis melalui peningkatan tonus arteri.
Reduksi aliran darah koroner akibat vasokonstriksi juga mengurangi penghancuran atau
pengeluaran protein koagulasi dan meningkatkan trombogenitas13.
Trombosis Koroner
Formasi trombus intrakoroner mengakibatkan satu dari beberapa kemungkinan.
Sebagai contoh, ruptur plak terkadang bersifat superfisial, minor, dan berhenti sendiri, sehingga
hanya terbentuk thrombus nonoklusif yang kecil. Pada kasus ini, trombus dapat menjadi bagian
dari lesi atheromatosa yang berkembang mengalami organisasi fibrotik atau dapat dilisis oleh
mekanisme fibrinolisis alami. Jenis ruptur plak yang asimtomatik dan berulang ini dapat
menyebabkan pembesaran stenosis koroner yang progresif.
17
Akan tetapi, ruptur plak yang lebih dalam dapat mengakibatkan kolagen subendotel dan
faktor jaringan yang lebih besar dengan frmasi thrombus yang lebih besar sehingga menyumbat
lumen pembuluh darah. Obstruksi ini dapat menyebabkan iskemia berat yang berkepanjangan
dan perkembangan SKA. Jika trombus intraluminal di lokasi disrupsi plak menutup total
pembuluh darah, aliran darah distal dari obstruksi akan berhenti, menyebabkan terjadinya
iskemia berkepanjangan sehingga infark miokard (MI atau biasanya NSTEMI). Sebaliknya,
bila trombus menyumbat pembuluh darah sebagian (atau jika mengoklusi pembuluh darah
secara total tetapi hanya sementara karena terjadi rekanalisasi spontan atau berhentinya
vasospasme yang berlebihan), keparahan akan menjadi lebih ringan dan durasi iskemia akan
lebih pendek. Hasil akhir yang dapat terjadi adalah infark miokard tanpa elevasi segmen ST
(NSTEMI) atau angina pectoris tidak stabil (UAP).
Perbedaan antara NSTEMI dan UAP didasarkan atas derajat iskemia dan kejadian
nekrosis akibat iskemia yang cukup berat. Hal ini terlihat dengan adanya biomarka tertentu di
serum. Meskipun terdapat perbedaan, patofisiologi NSTEMI dan UAP serupa dan tatalaksana
keduanya sama.
Pada beberapa keadaan, infark tanpa elevasi ST dapat terjadi karena oklusi koroner
total. Pada kasus ini, sangat mungkin didapatkan suplai darah kolateral yang cukup sehingga
perluasan nekrosis menjadi terbatas dan STEMI yang lebih besar terhindar13.
Tabel 3.1 Penyebab sindrom koroner akut13
18
5. Patofisiologi
STEMI atau NSTEMI terjadi akibat iskemia miokardium yang menyebabkan
nekrosis miosit. UA juga dapat menyebabkan MI bila penyebabnya tidak ditangani
dengan tepat. Secara patologis, nekrosis yang menyebabkan infark miokardium dapat
diklasifikasikan.
1) Infark transmural menyebar hingga seluruh ketebalan miokardium dan
disebabkan akibat oklusi arteri epikardial yang berkepanjangan.
2) Infark subendokard melibatkan lapisan paling dalam miokardium. Lapisan
subendokardium sangat rentan terhadap iskemia karena lokasinya dekat dengan
tekanan paling tinggi dari ruang ventrikel, pembuluh darah kolateral yang memberi
aliran juga sedikit, dan pembuluh darah yang memperdarahi lapisan ini harus
melewati lapisan yang tebal.
Proses infark adalah akumulasi proses – proses yang telah terjadi sebelumnya,
yang diawali dengan iskemia yang berprogresi dari fase kematian sel yang reversibel
hingga ireversibel. Sel miokardium yang secara langsung disuplai oleh pembuluh darah
akan mati lebih cepat, dan jaringan di sekitarnya dapat tidak mengalami nekrosis,
karena mendapatkan suplai darah dari pembuluh darah lain di sekitarnya. Bila tidak
ditangani secara cepat, sel – sel miokardium di sekitarnya dapat ikut mati, karena
kebutuhan oksigen terus meningkat, dan area infark akan meluas.
Luas jaringan yang mengalami infark berkaitan dengan (1) massa miokardium
yang diperfusi oleh pembuluh darah yang teroklusi, (2) durasi dan tingkat keparahan
gangguan aliran darah pembuluh darah koroner, (3) kebutuhan oksigen pada region
yang terganggu, (4) kemampuan pembuluh darah sekitar dalam memberikan aliran
darah, (5) derajat respon jaringan dalam memodifikasi proses iskemik.
Gangguan patofisiologis dalam proses infark miokardium dibagi menjadi 2,
yaitu perubahan awal pada proses infark akut dan perubahan akhir dalam proses
penyembuhan miokardium13.
Perubahan Awal Infark Miokardium
Perubahan awal infark miokardium adalah berupa perubahan histologi dan
perubahan fungsional berkurangnya suplai oksigen dan penurunan kontraktilitas
miokardium. Perubahan ini terjadi dalam waktu 2 – 4 hari. Oklusi pembuluh darah
menyebabkan penurunan jumlah oksigen dalam miokardium. Hal ini mengaktivasi
metabolisme anaerobik. Mitokondria tidak dapat mengoksidasi lemak atau produk
19
glikolisis, sehingga produksi fosfat turun secara dramatis dan glikolisis anaerobik
menyebabkan akumulasi asam lemak. Hal ini menyebabkan penurunan pH.
Berkurangnya adenosin trifosfat (ATP) mengganggu Na+ - K+ - ATPase transmembran
dan menyebabkan peningkatan konsentrasi Na+ intrasel dan dan K+ ekstraselular.
Peningkatan Na+ intraselular menyebabkan edema selular. Keluarnya K+ dari sel
menyebabkan peningkatan K+ yang mengganggu potensial listrik transmembran,
menyebabkan aritmia. Kalsium intraselular yang terakumulasi dalam miosit yang rusak
menyebabkan kerusakan sel melalui aktivasi lipase dan protease yang melakukan
degradasi. Perubahan – perubahan metabolik ini mengurangi fungsi miokardial dalam
2 menit pasca oklusi trombus. Dalam 20 menit, kerusakan sel yang permanen terjadi
dan ditandai oleh defek membran. Enzim proteolitik lepas dari membran sel miosit,
merusak miokardium sekitarnya dan menyebabkan keluarnya makromolekul ke dalam
sirkulasi darah yang berfungsi sebagai clinical marker infark akut.
Perubahan histologi awal meliputi edema miokard, serat miokard bergelombang,
dan keberadaan berkas kontraksi. Edema miokardium terjadi dalam 4 – 12 jam, saat
permeabilitas vascular dan tekanan onkotik intraselular meningkat. Wavy myofibers
terlihat sebagai edema interseluler yang teregang akibat tarikan miokard sekitar yang
masih berfungsi. Berkas kontraksi dapat seringkali terlihat di dekat batas infark :
sarkomer berkontraksi dan berkonsolidasi dan terlihat sebagai sabuk eosinophil yang
terang. Respons inflamasi akut dengan infiltrasi neutrofil dimulai kurang lebih dalam
4 jam. Dalam waktu 18 – 24 jam, nekrosis koagulasi dapat terlihat. Perubahan
morfologi yang nyata tidak terlihat hingga 18 – 24 jam setelah oklusi pembuluh darah.
20
Perubahan Akhir Infark
Perubahan patologis akhir yang terjadi dalam proses MI adalah (1) clearing
miokardium yang nekrosis dan (2) penumpukan kolagen untuk membentuk jaringan
parut.
Kerusakan miosit yang permanen tidak beregenerasi dan digantikan dengan
jaringan fibrosa. Makrofag menginvasi miokardium yang terinflamasi segera setelah
infiltrasi neutrofil dan menggantikan jaringan nekrosis. Proses ini disebut dengan
yellow softening, karena jaringan ikat ini rusak dan digantikan dengan sel miokardial.
Proses fagositik dengan dilatasi dan penipisan area infark menyebabkan kelemahan
struktural dinding ventrikel dan ruptur. Setelah 1 minggu setelah infark, terlihat
jaringan granulasi. Hal ini menunjukkan dimulainya proses terbentuknya jaringan
parut. Hal ini dapat dilihat secara kasat mata sebagai batas merah di pinggir daerah
infark. Fibrosis selanjutnya terbantuk dan jarinan parut akan kompley dalam 7 minggu
setelah infark13.
Perubahan Fungsional13
1) Gangguan Kontraktilitas dan Compliance
Kerusakan sel miokardial yang fungsional pada infark menyebabkan
gangguan kontraktilitas ventrikel (disfungsi sistolik). Cardiac output terganggu
karena sel – sel dengan fungsi kontraktilitas rusak. Lokasi miokardium yang
mengalami penurunan kontraktilitas disebut dengan hipokinetik, segmen yang tidak
berkontraksi disebut dengan akinetik, serta regio diskinetik merupakan area
fungsional yang menonjol saat kontraksi. Pada saat sindrom koroner akut terjadi,
ventrikel kiri terkompromi akibat disfungsi diastolik. Iskemia juga mengganggu
relaksasi diastolik, yang mengurangi compliance ventrikular dan menyebabkan
peningkatan tekanan pengisian ventrikel.
2) Disfungsi miokardium – stunned myocardium
Iskemia miokardial yang sementara terkadang menyebabkan disfungsi
kontraktilitas berkepanjangan. Stunned myocardium adalah jaringan yang memiliki
disfungsi sistolik berkepanjangan setelah episode iskemia berat dan mengalami
perbaikan kontraktilitas setelah beberapa hari – minggu. Stunning dapat terjadi
setelah terapi reperfusi untuk STEMI dimana disfungsi kontraktil segmen ventrikel
yang terkena diduga sebagai akibat jaringan yang mengalami infark. Akan tetapi,
jika jaringan hanya terdiam dan tidak mengalami nekrosis, fungsinya akan pulih
21
seiiring dengan berjalannya waktu.
3) Ischemic Preconditioning
Proses iskemia yang singkat pada bagian miokardium dapat
menyebabkannya resisten terhadap proses iskemik selanjutnya disebut dengan
ischemic preconditioning. Pasien yang mengalami IM pada angina mengalami
mortalitas dan morbiditas yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak
mengalami ischemic preconditioning.
4) Ventricular Remodeling
Perubahan geometri terjadi pada otot ventrikel yang mengalami infark dan
non – infark dapat terjadi dan disebut dengan ventricular remodeling. Ekspansi
infark dapat terjadi pada awal serangan MI, di mana segmen yang terganggu akan
mengalami pembesaran. Ekspansi infark mengebabkan penipisan dan dilatasi zona
nekrotik jaringan. Ekspansi infark ini menyebabkan kerusakan karena dapat
memperbesar ventrikel, meningkatkan stres dinding jantung, mengganggu fungsi
kontraktilitas sistoril, dan meningkatkan risiko formasi aneurisma.
Remodeling ventrikel juga menyebabkan dilatasi segmen miokardial yang
tidak rusak, sehingga menyebabkan stres yang berlebihan. Pembesaran ini bertujuan
untuk mengkompensasi sel – sel yang sudah rusak, namun lama kelamaan dapat
menyebabkan aritmia ventrikel karena dan gagal jantung.
22
Unstable Angina (UA)
UA memiliki presentasi klinis berupa akselerasi dari gejala iskemik dalam satu
bentuk dari tiga : (1) crescendo pattern, di mana pasien yang mengalami keluhan angina
stabil kronis menunjukkan peningkatan frekuensi, durasi, dan intensitas episode
iskemik, (2) episode angina yang terjadi saat istirahat tanpa adanya provokasi, atau (3)
episode angina baru, yang digambarkan sebagai berat, pada pasien tanpa gejala
penyakit jantung koroner sebelumnya. Presentasi klinis UA berbeda dari pola angina
pektoris stabil yang memiliki rasa tidak nyaman di dada dapat diperkirakan, singkat,
tidak progresif, dan terjadi hanya pada saat aktivitas fisik eksersi atau stres emosional.
UA dapat berkembang menjadi MI bila tidak ditangani dengan baik.
7. Diagnosis
Diagnosis Banding
Terdapat banyak gejala yang serupa dengan MI, di antaranya tertera pada tabel 3.3.
25
A) Troponin
Troponin adalah protein regulator pada sel otot yang mengontrol
interaksi miosin dan aktin. Terdapat 3 jenis, yaitu TnC, TnI, dan TnT. Troponin
I dan troponin T pada jantung memiliki struktur yang spesifik, dan telah ada
assay yang mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang tinggi untuk mendeteksi
di serum, sehingga kegunaannya secara klinis cukup luas. Bahkan, peningkatan
minor biomarka ini di serum berperan sebagai bukti adanya kerusakan
kardiomiosit dan bersifat diagnostik untuk infark pada keadaan klinis yang
sesuai.
Gambar 3.3: Evaluasi biomarker dalam serum untuk infark miokardial akut13
Kondisi lain yang menyebabkan peningkatan troponin adalah inflamasi
jantung atau gangguan lain pada jantung yang sifatnya akut. Pada IM, enzim
troponin akan meningkat dalam 3 – 4 jam setelah munculnya gejala hingga
puncaknya pada 18 – 36 jam, lalu akan menurun secara perlahan dan masih
dapat terdeteksi hingga 14 hari setelah IM. Karena sensitivitas dan
spesifisitasnya tinggi, troponin jantung merupakan biomarka pilihan untuk
mendeteksi nekrosis miokard14
B) Creatine Kinase
Enzim creatine kinase (CK) mentransfer grup fosfat dari creatine
phosphate ke ADP, menghasilkan ATP. CK ditemukan di otot skeletal, otak,
dan organ – organ lainnya, maka CK dapat terdeteksi pada kondisi trauma pada
organ – organ ini. Terdapat 3 isoenzim CK, yaitu CK – MM (banyak di otot
26
rangka), CK – BB (banyak di otak), dan CK – MB (banyak di dalam jantung).
CK – MB paling banyak dideteksi di dalam otot jantung, namun dapat
ditemukan di tempat lain seperti otot skeletal, uterus, prostat, susu, diafragma
dan lidah.
Rasio CK – MB dan total CK perlu dihitung untuk mendiagnosis IM.
>2.5% biasanya menunjukkan adanya MI.
Elevasi CKMB memberikan kecurigaan tinggi adanya kerusakan
miokard. Level CK – MB dalam serum meningkat 3 – 8 jam pasca infark,
puncaknya pada 24 jam dan kembali ke semula dalam 48 – 72 jam. CKMB tidak
memiliki sensitivitas atau spesifitas yang sama seperti troponin kardiak untuk
mendeteksi kerusakan miokard15.
4. Pencitraan
Terkadang diagnosis IM tidak dapat dipastikan, bahkan setelah evaluasi
menyeluruh dari riwayat pasien, EKG, dan biomarka di serum. Pada keadaan
ini, pemeriksaan diagnostik tambahan yang dapat berguna pada keadaan akut
adalah ekokardiografi yang sering kali menunukkan abnormalitas kontraksi
ventrikel yang baru pada region iskemia atau infark7.
8. Tatalaksana
Tatalaksana SKA dimulai dengan terapi yang cepat untuk membatasi kerusakan
miokard dan meminimalkan komplikasi. Terapi ditujukan untuk mengatasi trombus
intrakoroner yang menyebabkan sindrom ini dan menyediakan tindakan atipikal.
Anti iskemia untuk mengembalikan keseimbangan asupan dan kebutuhan oksigen
miokard. Meskipun beberapa aspek terapeutik biasa digunakan untuk semua SKA, terdapat
perbedaan penting dalam pendekatan pada pasien yang datang dengan STEMI, NTEMI dan
UA. Pasien dengan STEMI biasanya memiliki oklusi total pembuluh darah koroner dan harus
dilakukan terapi reperfusi yang cepat dibandingkan dengan NSTEMI dan UA.
Diagnosis Awal
Tata laksana termasuk diagnosis inisial perlu dilakukan segera. Diagnosis
dibuat berdasarkan dengan gejala yang konsusten dengan iskemia miokardial dan tanda
(pada EKG). Anamnesis riwayat lain seperti riwayat penyakit jantung koroner, nyeri
dengan radiasi hingga ke leher, dagu, atau lengan kiri. Gejala lainnya dapat berupa sesak
nafas, muntah, lemas, palpitasi, dan sinkop18.
27
1. EKG 12 Lead
Hal pertama yang wajib dilakukan pada pasien yang dicurigai dengan MI
adalah memasang alat EKG 12 - lead dan diinterpretasikan secepatnya. Sebaiknya
EKG 12 lead dikaliberasi standar 10 mm/mV. Pasien yang dicurigai dengan iskemia
miokardial dan terdapat ST – segment elevation pada EKG harus menjalani
reperfusi secepatnya. ST – segment elevation. Kriteria ST – elevation: Setidaknya 2
lead yang berkaitan mengalami elevasi segmen ST ≥ 2.5 mm pada laki – laki < 40
tahun, dan ≥ 2 mm pada laki – laki ≥ 40 tahun; atau ≥ 1.5 mm pada wanita di lead
V2 – V3 dan/atau ≥1 mm pada lead lainnya [tidak ada hipertrofi ventrikel kiri atau
left bundle branch block (LBBB)]. Pada pasien yang dicurigai memiliki infark
bagian inferior perlu menggunakan lead prekordial kanan (V3R dan V4R) untuk
mendeteksi adanya infark ventrikel kanan. Depresi segmen ST pada lead V1 – V3
menunjukkan adanya iskemia miokardial, terutama bila gelombang T positif, dan
konfirmasi dilakukan dengan elevasi segmen ST ≥ 0.5 mm pada lead V7 – V9.
29
Gambar 4.2.: Algoritma terapi sindrom koroner akut
30
bronkial atau disfungsi akut ventrikel kiri. Selain itu, pasien dengan gagal
jantung atau risiko syok kardiogenik, hipotensi, blok jantung, bronkospasme
sebaiknya tidak diberikan beta – blocker. Pasien dengan skor Kilip >III tidak
direkomendasikan untuk diberikan terapi ini.
Tabel 4.2.: Jenis dan dosis beta – blocker pada SKA
b. Nitrat
Nitrat membantu mendilatasi vena sehingga pre – load dan volume akhir
diastolik ventrikel kiri menurun. Oleh sebab itu dapat membantu mengurangi
demand oksigen miokardium. Efek lain adalah mendilatasi pembuluh darah
koroner. Nitrat memiliki fungsi yang baik dapat mengurangi keluhan nyeri
dada.
Pasien dengan UA dan NTEMI mendapatkan nitrat sublingual setiap 5
menit sampai maksimal 3 kali pemberian. Bila ada kontraindikasi dapat
diberikan secara intravena. Nitrat intravena diberikan pada pasien dengan
iskemia persisten, gagal jantung, atau hipertensi selama 48 jam pertama
NSTEMI/UA.
Kontraindikasi pemberian nitrat adalah bila tekanan sistolik <90 mmHg
atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia (<50 x/menit), takikardia, atau
infark ventrikel kanan.
31
Tabel 4.3: Jenis dan dosis nitrat
b) Anti – Platelet
Aspirin diberikan pada semua pasien tanpa kontraindikasi, dosisnya adalah 150 –
300 mg, dengan dosis pemeliharaan 75 – 100 mg/hari.
Penghambat reseptor ADP harus diberikan dengan aspirin selama 12 bulan,
kontraindikasinya adalah pendarahan berlebih.
Penghambat pompa proton (PPi) diberikan pada pasien dengan riwayat pendarahan
saluran cerna, ulkus peptikum. Pasien risiko tinggi: usia 65 tahun, infeksi H. pylori.
32
Tabel: 4.5: Antiplatelet pada IM
c) Penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa
Agen ini diberikan pada pasien SKA yang mendapatkan DAPT dengan risiko
tinggi (peningkatan troponin, trombus).
d) Anti – koagulan
Pemberian anti – koagulan disarankan pada pasien yang mendapatkan anti =
platelet. Pilhan anti – koagulan dilakukan dengan cara menentukan risiko perdarahan.
Dibandingkan dengan yang lain, Fondaparinux memiliki keamanan yang sangat baik.
Pada awal pemberian Fondaparinux, wajib ditambahkan bolus UFH (85 IU/kg
diadaptasi, atau 60 IU pada pasien yang mendapatkan penghambat GP Iib/IIIa)14. Bila
Fondaparinux tidak tersedia, dapat diberikan Enoxaparin (1 mg/kg 2 kali sehari).
Sementara itu, heparin tidak terfraksi diberikan dengan target aPTT 50 – 70 detik atau
heparin berat molekul rendah dapat diberikan bila fondapzarinux dan enoxsaparin tidak
tersedia.
Tabel 4.6: Tabel jenis dan dosis antikoagulan pada IM
33
bila ACE tidak ditoleransi dengan baik. Kontraindikasi adalah hipotensi, shock,
stenosis arteri renalis, perburukan fungsi ginjal dan alergi obat.
34
Tabel 4.8: Rekomendasi waktu optimal pada STEMI
35
Gambar 4.3: Gambaran target terapi saat pasien masuk pertama kali hingga intervensi18
Terapi Reperfusi
PCI atau percutaneous coronary intervention primer adalah strategi tata
laksana yang diutamakan pada pasien dengan STEMI dalam 12 jam mulainya
gejala, dan 2 jam setelah diagnosis STEMI, atau adanya left bundle branch block
(LBBB). Dalam beberapa situasi di mana PCI primer tidak dapat dilakukan,
terapi fibrinolisis dapat dilakukan. Terapi fibrinolisis dapat dilakukan dengan
administrasi bolus fibrinolitik dalam 10 menit setelah diagnosis STEMI. Setelah
administrasi bolus tersebut, pasien harus tetap dibawa ke rumah sakit yang
memiliki fasilitas PCI. Rescue PCI dilakukan bila fibrinolitik gagal dilakukan
(pada kondisi di mana resolusi segmen ST <50% dalam 60 – 90 menit setelah
administrasi fibrinolitik), atau pada kondisi ketidakstabilan hemodinamik,
instabilitas elektrik, iskemia yang memburuk, atau nyeri dada yang persisten.
Bila terapi fibrinolisis berhasil, direkomendasikan untuk melakukan angiografi
koroner rutin. Sementara itu,
36
early PCI diindikasikan stelah fibrinolisis yang berhasil (2 – 24 jam setelah
fibrinolisis).
Pada beberapa kondisi, primary PCI dapat dipikirkan untuk dilakukan
pada pasien yang datang dengan gejala sudah > 12 jam, di antaranya: (1) adanya
bukti iskemia pada EKG, (2) perubahan atau nyeri rekuren dan perubahan EKG,
(3) nyeri yang terus – menerus atau rekuren, gejala dan tanda – tanda gagal
jantung, shock, atau aritmia maligna.
37
Tabel 4.9: Jenis dan obat antiplatelet dan antikoagulan pada pasien PCI primer
Terapi Fibrinolitik
Fibrinolitik adalah usaha reperfusi yang penting bila tidak ada fasilitas
PCI primer yang tersedia. Fibrinolitik diberikan dalam 12 jam sejak onset gejala
bila tidak memiliki kontraindikasi.
Agen spesifik terhadap fibrin lebih baik digunakan (tenecteplase,
alteplase, reteplase). Pada fibrinolitik perlu juga diberikan aspirin oral.
Clopidogrel diberikan sebagai tambahan. Anti – koagulan direkomenasikan
untuk pasien yang diobati hingga revaskularisasi atau selama 5 hari di rumah
sakit. Obatnya berupa:
1. Enoxaparin subkutan
2. Heparin tidak terfraksi (bolus intravena)
3. Fondaparinux intravena bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan selama 24
jam, pada pasien yang mendapatkan streptokinase.
38
Tabel 4.10: Dosis fibrinolitik dan ko - terapi antitrombotik
39
Gambar 4.5: Langkah pemberian fibrinolitik STEMI
41
A. STEMI
1. Disfungsi miokardial
2. Gagal jantung
3. Kerusakan mekanik
B. Unstable Angina
1. Kematian 5% - 10%
2. Progresi ke infark 10% - 20%
1. Iskemia Rekuren
Angina post – infark dapat terjadi pada 20% - 30% pasien yang mengalami IM.
2. Aritmia
Aritmia sering terjadi pada IM akut dan menjadi penyebab kematian yang
sering pada pasien dengan SKA pre – rumah sakit. Biasanya aritmia akibat
SKA dapat di atasi dalam rawat inap. Mekanisme yang berkaitan dengan
aritmia pasca IM berkaitan dengan:
1. Interupsi aliran darah pada struktur yang berkaitan dengan jalur konduksi.
2. Akumulasi produk metabolik toksik (asidosis metabolik) dan
konsentrasi ion yang abnormal.
3. Stimulasi otonom (simpatetik dan parasimpatetik)
4. Obat – obatan yang menyebabkan aritmia (contoh: dopamin)
3. Disfungsi Miokardium
a. Gagal jantung kongestif
Kerusakan fungsi kontraktilitas ventrikel dan elastisitas
miokardium menyebabkan gagal jantung. Aritmia akibat IM juga
42
dapat menyebabkan gagal jantung sebagai komplikasi mekanis.
Diagnosis dilakukan secara klinis pada fase akut dan subakut
STEMI dibantu dengan gejala dyspnea, sinus takikardia, suara
jantung ketida, ronki, dan bukti – bukti objektif disfungsi otot
jantung.
b. Syok kardiogenik
Merupakan penurunan cardiac output dan hipotensi yang
menyebabkan perfusi inadekuat pada jaringan perifer. Hipotensi
menyebabkan infark dan mengganggu oksigen miokardium.
4. Hipotensi
Ditandai dnegan tekanan darah sistolik < 90 mmHg, akibat gagal
jantung, aritmia, atau hipovolemia.
5. Kongesti paru
Ditandai dengan dispnea dan ronki basah paru pada segmen basal,
berkurangnya oksigen arterial dan kongesti paru.
43
BAB III
KESIMPULAN
Sindrom koroner akut atau SKA meliputi UA, NSTEMI, dan STEMI.
Sebagian besar kejadian SKA diperburuk oleh trombus intrakoroner pada
lokasi yang tertutup dengan plak aterosklerotik. Ruptur plak akan
menyebabkan formasi trombus melalui aktivasi platelet dan kaskade koagulasi.
Oleh sebab itu, terjadi penurunan jumlah vasodilator dan mediator anti –
trombotik akibat disfungsi endotel. Spektrum SKA dapat dibedakan
berdasarkan tingkat keparahan iskemia dan nekrosis. STEMI berkaitan dengan
trombus yang sifatnya oklusif dan menyebabkan iskemia parah dengan
nekrosis. Sementara itu, SKA tanpa elevasi ST (NSTEMI dan UA) biasanya
disebabkan oleh trombus yang oklusif namun hanya sebagian dengan derajat
iskemia yang lebih ringan. Dibandingkan dengan UA, NSTEMI tidak dapat
menyebabkan nekrosis miokardial.
SKA dapat menyebabkan berbagai komplikasi, termasuk di dalamnya
adalah perubahan mekanik dan biokimia yang menyebabkan kerusakan
kontraktilitas sistol, penurunan compliance, dan meningkatkan risiko aritmia.
Infark pada otot jantung menyebabkan respon inflamasi yang menyebabkan
formasi jaringan ikat. Iskemia transien tanpa infark dapat menyebabkan stunned
miokardium. Diagnosis SKA dapat dilakukan dengan menganalisa riwayat
pasien, perubahan pada EKG, dan adanya biomarker dalam serum.
Tata laksana akut UA dan NASTEMI adalah terapi anti - iskemik (beta –
blocker, nitrat) untuk memperbaiki suplai oksigen dan permintaan oksigen, serta
terapi antitrombotik untuk membantu melepaskan trombus (aspirin,
antikoagulan). Angiografi koroner awal dengan revaskularisasi sangat baik
digunakan pada pasien dengan risiko tinggi. Sementara itu, tata laksana STEMI
adalah berupa strategi reperfusi dengan obat – obatan fibrinolitik atau
penggunaan intervensi kateter. Obat – obatan lain yang penting adalah terapi
anti – platelet, antikoagulan, beta – blocker dan nitrat.
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien paska SKA adalah aritmia,
blok atrioventrikular, dan bundle branch block. Pada kondisi disfungsi ventrikel,
gangguan seperti shock kardiogenik dan gagal jantung dapat terjadi. Bila
44
terdapat gangguan pada pergerakan otot jantung, maka terdapat risiko tinggi
untuk terbentuknya trombus.
Setelah dipulangkan dari rumah sakit, terdapat beberapa terapi
farmakologi yang harus diberikan, di antaranya adalah obat yang menurunkan
risiko terbentuknya trombosis (aspirin dan klopidogrel), iskemia berulang
(seperti beta – blocker), menurunkan risiko aterosklerosis progresif (seperti
statin), dan menurunkan risiko ventricular remodeling (ACE – inhibitor).
45
DAFTAR PUSTAKA
1. P R Marantz et al. 2012. The relationship between left ventricular systolic function and
congestive heart failure diagnosed by clinical criteria. Circulation Journal Of The
American Heart Association. Available from : http://circ.ahajournals.org
2. Sudoyo A W dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III ed.IV, Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta
3. Sudoyo A W dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I ed.IV, Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta
4. Nicholas J. Talley, Nimish Vakil. 2005. Guidelines for the Management of Dyspepsia,
Practice Parameters Committee of the American College of Gastroenterology.
American Journal of Gastroenterology
5. Djojodibroto R Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta
6. McPhee S and Papadakis M A. 2008. Current Medical Diagnosis & Treatment 47th
Edition. Mc Graw Hill
7. Brashers V L. 2008. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan & Manajemen. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta
8. Rani A A, dkk. 2009. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta
9. Lelosutan S A R. 2009. Kapita Selekta Gastroentero-Hepatologi Ilmu Penyakit Dalam.
Sub SMF Gastrentero-Hepatologi Departemen Penyakit Dalam RSPAD Gatot Soebroto
Jakarta. JC Institute. Jakarta
10. Cardiovascular diseases (CVDs) [Internet]. Who.int. 2019 [cited 13 October
2019]. Available from: https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/cardiovascular- diseases-(cvds)
11. Sanchis-Gomar F, Perez-Quilis C, Leischik R, Lucia A. Epidemiology of
coronary heart disease and acute coronary syndrome. Annals of Translational
Medicine. 2016;4(13):256-256.
12. Singh A, Grossman S. Acute Coronary Syndrome [Internet]. Ncbi.nlm.nih.gov.
2019 [cited 14 October 2019]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459157/
13. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease: A Collaborative Project of Medical
students and Faculty. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2011.
14. Scirica B, Morrow D. Troponins in acute coronary syndromes. Progress in
46
Cardiovascular Diseases. 2004;47(3):177-188.
15. Kim J, Hashim I. The clinical utility of CK-MB measurement in patients
suspected of acute coronary syndrome. Clinica Chimica Acta. 2016;456:89-92.
16. Greaves S. Role of echocardiography in acute coronary syndromes. Heart.
2002;88(4):419-425.
17. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tata Laksana
Sindrom Koroner Akut. J Kardiol Indones. 4th ed. 2018;1–94.
18. Ibanez B, James S, Agewall S, Antunes M, Bucciarelli-Ducci C, Bueno H et al.
2017 ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in
patients presenting with ST-segment elevation. European Heart Journal.
2017;39(2):119-177.
47