Anda di halaman 1dari 74

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat
rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Tn.D Dengan Halusinasi Pendengaran Di
Ruang GMO RSJ Provinsi Kalimantan Barat ”. Makalah ini ditulis untuk
memenuhi tugas profesi, yaitu sebagai tugas terstruktur Stase Keperawatan Jiwa
Tahun Akademik 2019 di Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura.
Dalam penulisan makalah ini, penyusun banyak mendapatkan bantuan dan
dorongan dari pihak-pihak luar, sehingga makalah ini terselesaikan sesuai dengan
yang diharapkan. Ucapan terima kasih tidak lupa diucapkan kepada:
1. Djoko Priyono, S.Kep, Ns., M.Kep selaku dosen Koordinator stase
keperawatan jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura.
2. Ns. M. Fadly, S.Kep selaku pembimbing pertama stase keperawatan jiwa di
RSJ Provinsi Kalimantan Barat.
3. Ns. Try Mulyati, S.Kep selaku pembimbing kedua stase keperawatan jiwa
di RSJ Provinsi Kalimantan Barat.
4. Teman-teman Mahasiswa Program Profesi Ners, Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura 2019.
Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kepada pembaca dan teman-teman agar memberikan kritik dan saran
yang sifatnya membangun.

Singkawang, 01 Oktober 2019

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada era globalisasi seperti sekarang ini banyak permasalahan sosial
yang muncul dalam masyarakat, diantaranya disebabkan oleh faktor politik,
sosial budaya serta krisis ekonomi yang tidak kunjung usai. Hal ini akan
semakin memicu atau meningkatkan berbagai gangguan kejiwaan di
masyarakat, dari gangguan jiwa yang ringan hingga gangguan jiwa yang
tergolong berat (Puslitbang Depkes, 2007).Seseorang dapat dikatakan sehat
jiwa yaitu kondisi mental sejahtera dengan kualitas hidup seseorang yang
harmonis dan produktif dari semua segi kehidupan manusia (Afnuhazi,
2015).
Pasien gangguan jiwa memiliki hubungan yang tidak harmonis
dengan orang lain seperti bermusuhan, mengancam (aggression) atau curiga
yang berlebihan (paranoid). Pasien juga tidak produktif dimasyarakat dan
cenderung merugikan masyarakat misalnya mencuri (cleptomany), malas
(abulia), atau perilaku deviasi sosial lain seperti pemakaian zat adiktif
(Yosep, 2007).Keperawatan jiwa merupakan proses interpersonal yang
bertujuan untuk meningkatkan dan mempertahankan perilaku pasien dalam
menjalankan peran dan fungsi yang terintegrasi (Stuart , Keliat, & Pasaribu,
2016).
Seseorang dengan gangguan jiwa disebabkan oleh gangguan bio -
psiko - sosial. Sekitar 450 juta orang diseluruh dunia mengalami gangguan
mental dan 25% dari jumlah penduduk di dunia diperkirakan akan
mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu. Prevalensi dari gangguan jiwa
mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan dan kemungkinan pada
tahun 2030 akan mencapai lebih dari 25%. Gangguan jiwa dapat terjadi di
semua negara yang tidak memandang jenis kelamin, materi, usia maupun
tempat tinggal (WHO, 2009).
Menurut UU Kesehatan Jiwa No.3 Tahun 1966, Kesehatan Jiwa
adalah suatu keadaan yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual,
emosional secara optimal dari seseorang dan perkembangan ini selaras
dengan dengan orang lain. Sedangkan menurut American Nurses
Associations (ANA) keperawatan jiwa merupakan suatu bidang khusus
dalam praktek keperawatan yang menggunakan ilmu perilaku manusia
sebagai ilmu dan penggunaan diri sendiri secara terapeutik sebagai caranya
untuk meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan jiwa. Di
Rumah Sakit Jiwa di Indonesia, sekitar 70% halusinasi yang dialami oleh
pasien gangguan jiwa adalah halusinasi pendengaran, 20% halusinasi
penglihatan, dan 10% adalah halusinasi penghidu, pengecapan dan
perabaan. Angka terjadinya halusinasi cukup tinggi (Rahmawati, 2014).
Gangguan jiwa berat dikenal dengan istilah psikosis, salah satu
contoh dari psikosis adalah skizofrenia. Di Indonsesia gangguan jiwa berat
memiliki gejala antara lain halusinasi, waham, gangguan proses pikir, ilusi,
kemampuan berpikir, dan tingkah laku aneh seperti agrevisitas atau katonik.
Prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia mencapai 1,7 permil.
Prevalensi skizofrenia tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Aceh
yang masing - masing 2,7 permil, sedangkan yang terendah di Kalimantan
Barat 0,7 permil (Kemenkes, 2013).
Penduduk yang mengalami gangguan jiwa skizofrenia mulai muncul
pada usia sekitar 15 - 35 tahun. Penderita skizofrenia dengan gejala - gejala
yang serius dan pola perjalanan penyakit yang kronis dapat berakibat
disabilitas. Gejala skizofrenia meliputi gejala negatif dan gejala positif.
Gejala negatif yaitu tidak ada atau kehilangan dorongan atau kehendak serta
menarik diri. Sedangkan gejala positif yaitu halusinasi, waham, perilaku
yang aneh dan pikiran yang tidak terorganisir (Videbeck, 2009). Dilihat dari
gejala tersebut, halusinasi merupakan gejala yang paling banyak ditemukan.
Pasien skizofrenia yang mengalami halusinasi yaitu lebih dari 90% (Stuart
, Keliat, & Pasaribu, 2016).
Halusinasi merupakan suatu bentuk persepsi atau pengalaman indera
yang tidak terdapat stimulasi terhadap reseptornya. Halusinasi harus
menjadi fokus perhatian oleh tim kesehatan karena apabila halusinasi tidak
ditangani secara baik, maka dapat menimbulkan resiko terhadap keamanan
diri klien sendri, orang lain, dan juga lingkungan sekitar (Wahyuni, Keliat,
Yusron, & Susanti, 2011). Klasifikasi halusinasi menurut Dermawan dan
Rusdi (2013) terdiri dari halusinasi non patologis dan halusinasi patologis.
Halusinasi non patologis meliputi halusinasi hipnogonik dan halusinasi
hipnopomik Sedangkan halusinasi patologis meliputi halusinasi
pendengaran (auditory), halusinasi penglihatan (visual), halusinasi
penciuman (olfactory), halusinasi pengecapan (gusfactory), halusinasi
perabaan (taktil).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Turkington, (2016)
menjelaskan halusinasi pendengaran (suara) adalah gejala yang paling
umum pada penderita skizofrenia, dan 70% mereka terdiagnosis penyakit
ini. Penelitian ini menjelaskan mengenai bagaimana strategi mengenali
penanggulangan pendengaran yang tidak efektif dan bagaimana caranya
untuk megajarkkan pendekatan yang efektif dalam proses pemulihan. Untuk
pemulihan dapat ditingkatkan terlebih dahulu dengan cara mengidentifikasi
stretegi koping yang tidak efektif, kemudian mengajarkan teknik
pendekatan efektif, sehingga teknik fokus tersebut akan mengurangi
pengalaman mendengar suara-suara dan ditandai pengurangan tekanan pada
pasien.
Halusinasi terbagi dalam 5 jenis, yaitu halusinasi penglihatan,
halusinasi penghidu, halusinasi pengecapan, halusinasi perabaan, dan
halusinasi pendengaran (Keliat, Akemat, & Nurhaeni, 2012). Halusinasi
pendengaran adalah klien mendengar suara-suara yang tidak berhubungan
dengan stimulasi nyata yang orang lain tidak mendengarnya (Damayanti,
Jumaini, & Utami, 2014). Penderita halusinasi harus ditangani dengan tepat
untuk mengatasi dampak dari halusinasi dengan melakukan tindakan asuhan
keperawatan (Stuart , Keliat, & Pasaribu, 2016).
Asuhan Keperawatan diberikan pada penderita halusinasi bertujuan
untuk meningkatkan kesadaran pasien antara stimulasi persepsi yang
dialami pasien dan kehidupan nyata (Aldam & Wardani, 2019). Tujuan
keperawatan pada pasien dengan halusinasi yaitu pasien mampu mengontrol
halusinasi. Berdasarkan pengamatan penulis, terjadi perubahan perilaku
yang semula halusinasi sering muncul pada pasien halusinasi saat diberikan
terapi individu seperti tertawa atau tersenyum sendiri secara tiba-tiba tanpa
stimulus yang jelas yang ditunjang dengan ada atau tidak adanya pengakuan
pasien tentang munculnya halusinasi, memandang ke satu tempat dalam
waktu lama disertai bicara, menjadi lebih banyak melakukan kegiatan atau
berbicara dengan orang lain. Sehingga terjadi penurunan frekuensi
halusinasi (melamun, bicara, tertawa atau tersenyum sendiri) bahkan tanda
halusinasi dapat hilang sama sekali. Namun tidak semua pasien halusinasi
menunjukkan adanya perubahan frekuensi seperti disebutkan di atas.
Berdasarkan rekam Medis pada Tn.D didapat bahwa klien datang ke
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat dibawa oleh keluarganya
dengan alasan karena sering berbicara sendiri, tertawa sendiri dan suka
membuat gaduh gelisah. Hasil wawancara yang dilakukan perawat yaitu
kondisi klien kooperatif saat melakukan perbincangan dengan perawat,
kontak mata (+), klien tampak bersemangat dan jelas ketika berbicara
dengan perawat. Klien mengatakan masih mendengar bisikan halusinasi
tersebut yaitu menyuruhnya untuk bekerja dan mendekati perempuan,
bisikan tersebut muncul ketika malam hari pukul 24.00 WIB dengan durasi
yang cukup lama, bisikan tersebut terjadi sekitar dua sampai tiga kali dalam
sehari dan biasanya suka klien suka tertawa sendiri. Berdasarkan uraian di
atas penulis tertarik untuk melakukan tindakan keperawatan pada Tn.D
yang mengalami Perubahan Persepsi sensori: halusinasi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep halusinasi?
2. Bagaimana asuhan keperawatan halusinasi?
3. Bagaimana analisa kasus dan teori dari halusinasi?
\
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran dari manajemen praktik tentang
asuhan keperawatan pada kasus dengan diagnosa halusinasi di
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetauhi konsep halusinasi.
2. Mengetahui asuhan keperawatan halusinasi.
3. Mengalisa kasus dan teori dari halusinasi.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Skizofrenia


2.1.1 Definisi Skizofrenia
Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang
mempengaruhi berbagai area, fungsi individu, termasuk berpikir dan
berkomunikasi, menerima dan menginterpretasikan realita, merasakan
dan menunjukkan emosi dan berperilaku dengan sikap yang tidak dapat
diterima secara sosial (Isaacs, 2005).
Skizofrenia sebagai suatu sindrom yang dapat disebabkan oleh
bermacam-macam penyebab, antara lain keturunan, pendidikan yang
salah, maladaptif, tekanan jiwa, penyakit badani seperti otak, dan
penyakit lain yang belum diketahui (Maramis & Maramis, 2009).
Akhirnya timbul pendapat bahwa skizofrenia itu suatu gangguan
psikomatis, atau merupakan manifestasi somatik dan gangguan
psikogenetik. Tetapi pada skizofrenia justru kerusakannnya adalah
untuk menentukan mana yang primer dan mana yang sekunder, mana
yang merupakan penyebab dan mana yang hanya akibatnya saja
(Maramis & Maramis, 2009).
Skizofrenia merupakan penyakit yang mempengaruhi otak dan
menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku
yang aneh dan terganggu (Maramis & Maramis, 2009).
2.1.2 Etiologi
Sindrom gejala yang kompleks pada skizofrenia memunculkan
berbagai faktor tentang etiologi gangguan skizofrenia:
a. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada
munculnya respon neurobiologi seperti:

1) Faktor Genetik
Sebagai besar penelitian mengindikasikan hubungan genetik dan
pola familial. Semakin dekat hubungan darah dengan individu
yang menderita skizofrenia, semakin tinggi risiko genetik
terhadap skizofrenia. Penelitian yang paling penting memusatkan
pada penelitian anak kembar yang menunjukkan bahwa kembar
identik (kembar monozigot) berisiko mengalami gangguan
skizofrenia sebesar 50%, sedangkan kembar fraternal (kembar
dizigot) berisiko hanya 15%. Hal ini mengindikasikan bahwa
skizofrenia sedikit diturunkan. Penelitian penting lain
menunjukan bahwa anak-anak yang memiliki satu orang tua
biologis penderita skizofrenia memiliki resiko 15%, angka ini
meningkat sampai 35% jika kedua orang tua biologis menderita
skizofrenia (Videbeck, 2010).

2) Faktor Struktur dan Fungsi Otak (Neuroanatomi)


Hipotesis perkembangan saraf dalam perkembangan
skizofrenia didasarkan pada observasi skizofrenia pada bayi yang
terpajan dengan infeksi virus pada trimester kedua serta tanda
neurologis ringan yang ditemukan ketika mengevaluasi klien
skizofrenia. Faktor perkembangan, struktur saraf, biokimia, dan
lingkungan mempengaruhi kemampuan individu dalam
memproses informasi. Masalah dalam memfokuskan perhatian,
mengkaji stimulus, dan menetapkan makna afek terhadap
pengalaman dapat menggangu kognisi dan menghambat
kemampuan berinteraksi secara afektif dengan lingkungan.
Faktor hambatan dalam memproses informasi terus terjadi karena
ketidakmampuan memodulasi stresor biologis (O’Brien &
Marakas, 2013).

3) Faktor Neurotransmiter (Neurokimia)


Penurunan aktivitas lobus frontal pada klien skizofrenia
dianggap berkaitan dengan penurunan aktivitas glutamatergik
dan dengan gejala negatif serta defisit kognitif. Peningkatan
aktivitas dopamin mesolimbik diperkirakan berkaitan dengan
efek farmakologis obat antipsikotik dalam memblok dopamin dan
pengaruh obat tersebut pada berbagai sistem neurotransmiter
(Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010).

4) Faktor Psikososial
Menurut teori psikoanalisis, kerusakan yang menentukan
penyakit mental adalah gangguan dalam organisasi ‘ego’.
Gangguan ini terjadi sebagai akibat distorsi dalam hubungan
timbal balik antara bayi dan ibunya, dimana si anak tidak dapat
berkembang melampui fase oral dari perkembangan jiwanya.
Didapati juga bahwa penderita skizofrenia tidak pernah dapat
mencapai hubungan yang erat dengan ibunya pada masa bayinya.
Beberapa psikoanalisis beranggapan bahwa gangguan pada
fungsi ego seseorang dapat menyebabkan perasaan bermusuhan.
Distorsi hubungan ibu-bayi ini kemudian mengakibatkan
terbentuknya suatu kepribadian yang peka terhadap stress. Teori
psikoanalis beranggapan bahwa berbagai gejala skizofrenia
mempunyai arti simbolik untuk si penderita secara individu
(Simanjuntak, 2008).

b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi disebut juga faktor pencetus respon
neurobiologis meliputi:

1) Lingkungan
Faktor lingkungan yang menjadikan pencetus terjadinya
skizofrenia lingkungan yang mempengaruhi atau menimbulkan
penyakit di antara lain: ekonomi, pendidikan, masalah rumah
tangga, kehilangan kebebasan hidup, perubahan kebiasaan hidup,
pola aktivitas sehari-hari, kesukaran berhubungan dengan orang
lain, isolasi sosial, kurangnya dukungan sosial, tekanan kerja,
stigmasiasi, kemiskinan, kurangnya alat transportasi dan
ketidakmampuan mendapatkan pekerjaan (Simanjuntak, 2008).

2) Sikap atau Perilaku


Sikap atau perilaku juga menjadikan pencetus skizofrenia
karena sikap atau perilaku timbul terdapat merasa tidak mampu,
tekanan psikologis, putus asa, merasa gagal, kehilangan kendali
diri (demoralisasi), merasa punya kekuatan berlebihan dengan
gejala tersebut, merasa malang, dari segi usia maupun
kebudayaan, rendahnya kemampuan sosialisasi, perilaku agresif,
perilaku kekerasan, ketidak adekuatan pengobatan dan ketidak
adekuatan penanganan gejala stresor seseorang terpaksa
mengadakan adaptasi (penyesuaian diri) untuk menanggulangi
stresor (tekanan) yang timbul. Namun, tidak semua orang mampu
mengadakan adaptasi dan mampu menanggulanginya, sehingga
dampak dari stresor yang ada berdampaklah seseorang terkena
skizofrenia (Hawari, 2009).

Penyebab skizofrenia di atas dapat disimpulkan bahwa


skizofrenia sampai sekarang belum diketahui dasar penyebab
skizofrenia secara pasti. Dapat dikatakan bahwa faktor keturunan
mempunyai pengaruh. Faktor yang mempercepat, yang
menjadikan manifestasi atau faktor pencetus atau presipitasi
faktor seperti penyakit badaniah atau stress psikologis, biasanya
bisa menyebabkan skizofrenia (Maramis, 2008).

2.1.3 Jenis-jenis Skizofrenia


1. Skizofrenia Simpleks
Skizofrenia simpleks, sering timbul pertama kali pada masa
pubertas. Gejala utama ialah kedangkalan emosi dan kemunduran
kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya sukar ditemukan.
Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbul secara
perlahan. Pada permulaan mungkin penderita kurang
memperhatikan keluarganya atau menarik diri dari pergaulan. Makin
lama ia semakin mundur dalam kerjaan atau pelajaran dan pada
akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang yang
menolongnya ia akan mungkin akan menjadi “pengemis”, “pelacur”
atau “penjahat” (Maramis, 2008).
2. Skizofrenia Hebefrenik
Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga hebefrenia, menurut
Maramis (2008) permulaannya perlahan-lahan dan sering timbul
pada masa remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang menyolok
adalah gangguan proses berpikir, gangguan kemauan dan adanya
depersonalisasi. Gangguan psikomotor seperti perilaku kekanak-
kanakan sering terdapat pada jenis ini. Waham dan halusinasi
banyak sekali.
3. Skizofrenia Katatonik
Menurut Maramis (2008) skizofrenia katatonik atau disebut
juga katatonia, timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun dan
biasanya akut serta sering didahului oleh stres emosional. Mungkin
terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik.
a. Stupor Katatonik
Pada stupor katatonik, penderita tidak menunjukkan
perhatian sama sekali terhadap lingkungannya dan emosinya
sangat dangkal. Secara tiba-tiba atau perlahan-lahan penderita
keluar dari keadaan stupor ini dan mulai berbicara dan bergerak.
b. Gaduh Gelisah Katatonik
Pada gaduh gelisah katatonik, terdapat hiperaktivitas
motorik, tapi tidak disertai dengan emosi yang semestinya dan
tidak dipengaruhi oleh rangsangan dari luar.
4. Skizofrenia Paranoid
Jenis ini berbeda dari jenis-jenis lainnya dalam perjalanan
penyakit. Hebefrenia dan katatonia sering lama-kelamaan
menunjukkan gejala-gejala skizofrenia simpleks atau gejala
campuran hebefrenia dan katatonia. Tidak demikian halnya dengan
skizofrenia paranoid yang jalannya agak konstan (Maramis, 2008).
5. Episode Skizofrenia Akut
Gejala skizofrenia ini timbul mendadak sekali dan pasien seperti
dalam keadaan mimpi. Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam
keadaan ini timbul perasaan seakan-akan dunia luar dan dirinya
sendiri berubah. Semuanya seakan-akan mempunyai arti yang
khusus baginya. Prognosisnya baik dalam waktu beberapa minggu
atau biasanya kurang dari enam bulan penderita sudah baik. Kadang-
kadang bila kesadaran yang berkabut tadi hilang, maka timbul
gejala-gejala salah satu jenis skizofrenia yang lainnya (Maramis,
2008).
6. Skizofrenia Residual
Skizofrenia residual, merupakan keadaan skizofrenia dengan
gejala-gejala primernya, tetapi tidak jelas adanya gejala-gejala
sekunder. Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan
skizofrenia (Maramis, 2008).
7. Skizofrenia Skizoafektif
Pada skizofrenia skizoafektif, di samping gejala-gejala
skizofrenia terdapat menonjol secara bersamaan, juga gejala-gejala
depresi atau gejala-gejala mania. Jenis ini cenderung untuk menjadi
sembuh tanpa efek, tetapi mungkin juga timbul lagi serangan
(Maramis, 2008).
2.1.4 Tanda dan Gejala Skizofrenia
Menurut Bleuler dalam Maramis (2008) gejala skizofrenia dapat
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
1) Gejala Primer
Gejala primer terdiri dari gangguan proses berpikir, gangguan
emosi, gangguan kemauan serta autisme.
2) Gejala Sekunder
Gangguan sekunder terdiri dari waham, halusinasi, dan gejala
katatonik maupun gangguan psikomotor yang lain.
Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi 2 kelompok gejala
positif dan gejala negatif.
1) Gejala Negatif
Pada gejala negatif terjadi penurunan, pengurangan proses
mental atau proses perilaku (behavior). Hal ini dapat mengganggu
bagi pasien dan orang disekitarnya.
a) Gangguan Afek dan Emosi
Gangguan dan emosi pada skizofrenia berupa adanya
kedangkalan afek dan emosi (emotional blunting), misalnya:
pasien menjadi acuh tak acuh terhadap hal-hal yang penting
untuk dirinya sendiri seperti keadaan keluarga dan masa
depannya serta perasaan halus sudah hilang, hilangnya
kemampuan untuk mengadakan hubungan emosi yang baik
(emotional rapport), terpecah belahnya kepribadian maka hal-
hal yang berlawanan mungkin terdapat bersama-sama,
umpamanya mencintai dan membenci satu orang yang sama
atau menangis, dan tertawa tentang suatu hal yang sama
(ambivalensi) (Lumbantobing, 2007).
b) Alogia
Penderita sedikit saja berbicara dan jarang memulai
percakapan dan pembicaraan. Kadang isi pembicaraan sedikit
saja maknanya. Ada pula pasien yang mulai berbicara yang
bermakna, namun tiba-tiba ia berhenti bicara, dan baru bicara
lagi setelah tertunda beberapa waku (Lumbantobing, 2007).
c) Avolisi
Ini merupakan keadaan dimana pasien hampir tidak
bergerak, gerakannya miskin. Kalau dibiarkan akan duduk
seorang diri, tidak bicara, tidak ikut beraktivitas jasmani
(Lumbantobing, 2007).
d) Anhedonia
Tidak mampu menikmati kesenangan, dan menghindari
pertemanan dengan orang lain (asociality) pasien tidak
mempunyai perhatian, minat pada rekreasi. Pasien yang sosial
tidak mempunyai teman sama sekali, namun ia tidak
memperdulikannya (Lumbantobing, 2007).
e) Gejala Psikomotor
Adanya gejala katatonik atau gangguan perbuatan dan
sering mencerminkan gangguan kemauan. Bila gangguan hanya
kemauan saja maka dapat dilihat adanya gerakan yang kurang
luwes atau agak kaku, stupor dimana pasien tidak menunjukkan
pergerakan sam sekali dan dapat berlangsung berhari-hari,
berbulan-bulan dan kadang bertahun-tahun lamanya pada
pasien yang sudah menahun; hiperkinese dimana pasien terus
bergerak saja dan sangat gelisah (Kaplan, Sadock, & Grebb,
2010).
2) Gejala Positif
Gejala positif dialami sensasi oleh pasien, padahal tidak ada
yang merangsang atau mengkreasi sensasi tersebut. Dapat timbul
pikiran yang tidak dapat dikontrol pasien.
a) Delusi (Waham)
Delusi merupakan gejala skizofrenia dimana adanya suatu
keyakinan yang salah pada pasien. Pada skizofrenia waham
sering tidak logis sama sekali tetapi pasien tidak menginsyafi
hal ini dan dianggap merupakan fakta yang tidak dapat dirubah
oleh siapapun. Waham yang sering muncul pada pasien
skizofrenia adalah waham kebesaran, waham kejaran, waham
sindiran, waham dosa dan sebagainya (Kaplan, Sadock, &
Grebb, 2010).
b) Halusinasi
Mendengar suara, percakapan, bunyi asing dan aneh atau
malah mendengar musik, merupakan gejala positif yang paling
sering dialami penderita skizofrenia (Lumbantobing, 2007).
2.1.5 Penatalaksanaan Skizofrenia
Ada berbagai macam terapi yang bisa kita berikan pada
skizofrenia. Hal ini diberikan dengan kombinasi satu sama lain dan
dengan jangka waktu yang relatif cukup lama. Terapi skizofrenia terdiri
dari pemberian obat-obatan, psikoterapi, dan rehabilitasi. Terapi
psikososial pada skizofrenia meliputi: terapi individu, terapi kelompok,
terapi keluarga, rehabilitasi psikiatri, latihan keterampilan sosial dan
manajemen kasus (Hawari, 2009).

2.2 Konsep Dasar Halusinasi


2.2.1 Definisi Halusinasi
Halusinasi adalah distorsi palsu yang terjadi pada respons
neurobiologis maldaptif. Klien sebenarnya mengalami distorsi sensorik
sebagai hal yang nyata dan meresponsnya. Pada halusinasi, tidak ada
stimulus eksternal atau internal yang diidentifikasi (Stuart, Keliat, &
Pasaribu, 2016).
Perubahan persepsi sensori: halusinasi adalah salah satu gejala
gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan persepsi sensori,
seperti merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan,
perabaan, atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebetulnya
tidak ada. Selain itu, perubahan persepsi sensori tentang suatu objek,
gambaran, dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari
luar meliputi semua sistem penginderaan (pendengaran, penglihatan,
penciuman, perabaan, atau pengecapan) (Cook dan Fontaine dalam
Fitria, 2014).
Perubahan persepsi sensori: halusinasi merupakan salah satu
gejala gangguan jiwa yang ditandai dengan perubahan persepsi sensori:
merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan
perabaan atau penghiduan. Pasien merasakan stimulus yang sebenarnya
tidak ada (Keliat & Akemat, 2009).
2.2.2 Etiologi Halusinasi
a. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada respon
munculnya neurobiologi seperti halusinasi (Stuart, 2007).

1) Biologis
a) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan
otak yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi
pada daerah frontal, temporal berhubungan dengan perilaku
psikotik (Stuart, 2007).
b) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter
yang berlebih dan masalah-masalah pada sistem reseptor
dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia (Stuart,
2007).
c) Pembesaraan ventrikel dan penurunan massa kortikal
menunjukan terjadi atropi yang signifikan pada otak
manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis,
ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian
depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan
anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (Post-Mortem)
(Stuart, 2007).
2) Psikologis
Keluarga pengasuh dan lingkungan klien sangat
mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu
sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan
orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan
dalam rentang hidup klien misalnya anak diperlakukan oleh ibu
yang pencemas, terlalu melindungi, dingin dan tidak
berperasaan.
3) Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi
realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang,
kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai
stress sehingga tidak menutup kemungkinan budaya ataupun
adat yang dianggap terlalu berat bagi seseorang dapat
menyebabkan seseorang menjadi gangguan jiwa.

b. Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul
gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan,
isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya.
Penilaian individu terhadap stressor dan koping dapat
mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat & Akemat,
2009). Faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:

1) Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak yang
mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme
pintu masuk yang ada di dalam otak.

2) Stress Lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang ditentukan secara
biologis beinteraksi dengan stressor lingkungan untuk
menentukan terjadinya gangguan perilaku (Stuart, Keliat, &
Pasaribu, 2016).

3) Pemicu Gejala
Pemicu yang biasanya terdapat pada respon neurobiologik
yang maladaptif berhubungan dengan kesehatan, lingkungan,
sikap dan perilaku individu (Stuart, Keliat, & Pasaribu, 2016).
2.2.3 Tanda dan Gejala Halusinasi
Menurut Stuart, Keliat, & Pasaribu (2016), seseorang yang
mengalami halusinasi biasanya memperlihatkan gejala-gejala yang
khas yaitu:
a. Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai.
b. Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara.
c. Bertindak seolah-olah dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan.
d. Ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk.
e. Perilaku menyerang teror seperti panik.
f. Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain.
g. Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti amuk dan
agitasi.
2.2.4 Jenis-jenis Halusinasi
Menurut Fitria (2014), halusinasi dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif
Halusinasi Pendengaran  Bicara atau tertawa sendiri  Mendengar suara-suara atau
(klien mendengar suara atau  Marah-marah tanpa sebab kegaduhan
bunyi yang tidak ada  Mendekatkan telinga ke  Mendengar suara yang
hubungannya dengan stimulus arah tertentu ngajak bercakap-cakap
yang nyata atau lingkungan).  Menutup telinga  Mendengar suara menyuruh
melakukan sesuatu yang
berbahaya
Halusinasi Penglihatan  Menunjuk-nunjuk ke arah Melihat bayangan, sinar, bentuk
(klien melihat gambaran yang tertentu geometris, kartun, melihat hantu
jelas atau samar terhadap adanya  Ketakutan pada sesuatu atau monster.
stimulus yang nyata dari yang tidak jelas
lingkungan dan orang lain tidak
melihatnya).
Halusinasi Penciuman  Mengendus-endus seperti Membaui bau-bauan seperti bau
(klien mencium suatu bau yang sedang membaui bau-bauan darah, urin, feses, dan terkadang
muncul dari sumber tertentu tertentu. bau-bau tersebut menyenangkan
tanpa stimulus yang nyata).  Menutup hidung bagi klien.
Halusinasi Pengecapan  Sering meludah Merasakan rasa seperti darah,
(klien merasakan sesuatu yang  Muntah urine, atau feses.
tidak nyata, sering meludah
biasanya merasakan rasa
makanan yang tidak enak).
Halusinasi Perabaan  Menggaruk-garuk  Mengatakan ada serangga di
permukaan kulit permukaan kulit
(klien merasakan sesuatu pada  Merasakan seperti tersengat
kulitnya tanpa ada stimulus yang listrik.
nyata).
Halusinasi Kinestetik  Memegang kakinya yang Mengatakan badannya melayang
(klien merasa badannya bergerak dianggapnya bergerak di udara
dalam suatu ruangan atau sendiri.
anggota badannya bergerak)
Halusinasi Fiseral  Memegang badannya yang  Mengatakan perutnya
(perasaan tertentu timbul dalam dianggap berubah bentuk menjadi mengecil setelah
tubuhnya) dan tidak normal seperti minum soft drink.
biasanya.

2.2.5 Fase-fase Halusinasi


Halusinasi yang dialami oleh klien bisa berbeda intensitas dan
keparahannya, halusinasi dibagi 4 fase berdasarkan tingkat ansietas
yang dialami dan kemampuan klien mengendalikan dirinya. Semakin
berat halusinasinya, klien semakin berat mengalami ansietas dan
semakin dikendalikan halusinasinya (Stuart, 2007).
a. Fase I: Comforting (Ansietas sedang, halusinasi menyenangkan)
Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian,
rasa bersalah dan takut bila untuk mencoba berfokus pada pikiran
yang menyenangkan untuk meredakan ansietas individu mengenali
bahwa pikiran dan pengalaman sensori berada dalam kendali
kesadaran. Jika ansietas dapat ditangani (non psikotik) dengan
perilaku klien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai,
menggerakkan bibir tanpa suara, menggerakkan mata dengan cepat,
respon verbal yang lambat, jika sedang asyik diam dan asyik sendiri.
b. Fase II: Condeming (Ansietas berat, halusinasi menjadi menjijikan)
Dengan karakteristik pengalaman sensori menjijikkan dan
menakutkan, klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk
mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan, klien
mungkin mengalami dipermalukan oleh pengalaman sensori dan
menarik diri dari orang lain (psikotik ringan) perilaku klien
meningkatkan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansitas seperti
peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah, tentang
perhatian menyempit asyik dengan pengalaman sensori dan
kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dan realita.
c. Fase III: Controlling (Ansietas berat pengalaman sensori menjadi
berkuasa)
Karakteristik berhenti menghentikan perlawanan terhadap
halusinasi dan menyerah terhadap halusinasi tersebut. Isi halusinasi
menjadi menarik, klien mungkin mengalami pengalaman kesepian
jika sensori halusinasi berhenti (psikotik) dengan perilaku klien
kemauan yang dikendalikan akan lebih diikuti kesukaran
berhubungan dengan orang lain, rentang perhatian hanya beberapa
detik atau menit. Adanya tanda fisik ansietas berat, berkeringat,
tremor, tidak mau memenunhi perintah.
d. Fase IV: Conquering (Panik, umumnya menjadi melebar dalam
halusinasi)
Karakteristik pengalaman sensori menjadi pengalaman jika
klien mengikuti perintah halusinasi, halusinasi berakhir dari
beberapa jam atau hari jika ada intervensi terapeutik (psiotik berat).
Adapun perilaku adalah perilaku terror akibat panik, potensi kuat
akibat suicided atau homicide, aktivitas fisik mereflesikan isi
halusinasi seperti perilaku kekerasan, menarik diri, tidak mampu
berespon terhadap perintah yang kompleks, tidak mampu berespons
lebih dari satu orang.
2.2.6 Rentang Respon Neurobiologis

Sumber: (Stuart, Keliat, & Pasaribu, 2016)


2.2.7 Mekanisme Koping
Menurut Stuart, Keliat, & Pasaribu (2016) mekanisme koping
halusinasi sebagai berikut:
a. Regresi berhubungan dengan masalah dalam proses informasi dan
pengeluaran sejumlah besar tenaga dalam upaya untuk mengelola
ansietas, menyisakan sedikit tenaga untuk aktivitas sehari-hari.
b. Proyeksi adalah upaya untuk menjelaskan persepsi yang
membingungkan dengan menetapkan tanggung jawab kepada orang
lain atau sesuatu
c. Menarik diri berkaitan dengan masalah membangun kepercayaan
dan keasyikan dengan pengalaman internal
d. Pengingkaran sering digunakan oleh klien dan keluarga. Mekanisme
koping ini sama dengan penolakan yang terjadi setiap kali seseorang
menerima informasi yang menyebabkan rasa takut dan ansietas. Hal
ini memungkinkan memberi waktu pada seseorang untuk
mengumpulkan sumber daya internal dan eksternal kemudian
beradaptasi dengan stresor secara bertahap.
Pada proses penyesuaian dengan keadaan setelah gangguan jiwa,
klien aktif menggunakan mekanisme koping adaptif. Mekanisme
koping termasuk strategi koping kognitif, adaptif. Mekanisme koping
termasuk strategi koping kognitif, emosional, interpersonal, fisiologis,
dan spiritual yang dapat berfungsi sebagai dasar untuk perumusan
tindakan keperawatan.
2.2.8 Pohon Masalah

Effect Risiko Tinggi Kekerasan

Care Problem Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi

Causa Isolasi Sosial

Harga Diri Rendah

Gambar 2: Pohon masalah halusinasi (Fitria, 2014 )


2.2.9 Penatalaksanaan Halusinasi
a. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi untuk pasien jiwa menurut Kusumawati &
Hartono (2010) adalah:
1) Anti psikotik
Jenis: Clorpromazin (CPZ), Haloperidol (HLP)
Mekanisme kerja: Menahan kerja reseptor dopamin dalam otak
sebagai penenang, penurunan aktivitas motorik, mengurangi
insomnia, sangat efektif untuk mengatasi delusi, halusinasi, ilusi,
dan gangguan proses berpikir.
Dosis obat CPZ permulaan adalah 25-100 mg dan diikuti
peningkatan dosis hingga mencapai 300 mg perhari.
Dosis oral obat HLP untuk dewasa 1-6 mg sehari yang terbagi
menjadi 6-15 mg untuk keadaan berat. Dosis parenteral untuk
dewasa 2-5 mg intramuskular setiap 1-8 jam, tergantung
kebutuhan.
Efek samping:
a) Gejala ekstrapiramidal seperti berjalan menyeret kaki, postur
condong kedepan, banyak keluar air liur, wajah seperti topeng,
sakit kepala dan kejang.
b) Gastrointestinal seperti mulut kering, anoreksia, mual,
muntah, berat badan bertambah.
c) Sering berkemih, retensi urine, hipertensi, anemia, dan
dermatitis.
2) Anti Ansietas
Jenis: Atarax, Diazepam (chlordiazepoxide)
Mekanisme kerja: Meradakan ansietas atau ketegangan yang
berhubungan dengan situasi tertentu.
Efek samping:

a) Pelambatan mental, mengantuk, vertigo, bingung, tremor,


letih, depresi, sakit kepala, ansietas, insomnia, bicara tidak
jelas.
b) Anoreksia, mual, muntah, diare, kontipasi, kemerahan, dan
gatal-gatal.
3) Anti Parkinson
Jenis: Levodova, trihexpenidyl (THP)
Dosis awal obat THP sebaiknya rendah (12,5 mg) diberikan tiap
2 minggu. Bila efek samping ringan, dosis ditingkatkan 25 mg
dan interval pemberian diperpanjang 3-6 mg setiap kali suntikan,
tergantung dari respon klien.
Mekanisme kerja: Meningkatkan reseptor dopamine untuk
mengatasi gejala parkinsonisme akibat penggunaan obat
antipsikotik, menurunkan ansietas, dan irritabilitas.
a. Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi pada penderita halusinasi meliputi
pendekatan psikososial dan ECT (Electro Convulsive Therapy).
Peningkatan kualitas hidup dan kesembuhan pasien halusinasi akan
lebih baik jika diberikan juga terapi non farmakologi di samping
terapi obat. Kombinasi kedua terapi ini akan mampu memberikan
manfaat yang banyak bagi pasien. Pendekatan psikososial bertujuan
untuk memberikan dukungan emosional kepada pasien sehingga
pasien mampu meningkatkan fungsi sosial dan pekerjaannya dengan
lebih baik. Ada beberapa jenis pendekatan psikososial yang biasa
dilakukan pada pasien halusinasi, diantaranya yaitu Program for
Assertive Community Treatment (PACT), intervensi keluarga, terapi
perilaku kognitif (cognitive behavioural therapy), dan pelatihan
keterampilan sosial (Ikawati, 2011).
Selain pendekatan psikososial, ada juga terapi non farmakologi
menggunakan CBT (Cognitive Behavioral Therapy). Cognitive
behavioral therapy merupakan sebuah metode untuk mengubah
proses pikir, perilaku dan emosi klien (Stuart, Keliat, & Pasaribu,
2016).
Melalui terapi CBT klien dilatih untuk dapat mengevaluasi diri
sendiri dengan mengidentifikasi kejadian yang pernah dialami,
pikiran-pikiran irrasional yang mengganggu dan timbul terkait
dengan kejadian yang mempengaruhi perasaan klien sehingga
berperilaku tidak baik yang sebenarnya tidak diinginkan. Klien
dilatih untuk mengubah pikiran yang tidak rasional tersebut menjadi
pikiran yang rasional sehingga perasaan menjadi lebih baik dan
menunjukkan perilaku yang adaptif. Klien akhirnya akan menyadari
bahwa menginterpretasi kejadian yang tidak menyenangkan secara
negatif dapat mengganggu perasaan sehingga akan mendorong
untuk melakukan perilaku kekerasan baik ditujukan pada diri
sendiri, orang lain maupun lingkungan. Kejadian ini disebabkan
kelompok klien tersebut tidak dilatih cara mencegah kemarahan
dengan berpikir yang positif dan rasional dalam menghadapi
kejadian yang mengganggu serta bagaimana latihan merubah
perilaku negatif dengan perilaku positif yang lebih diterima oleh
orang lain dan lingkungan (Hastuti dan Setianingsih, 2016).
Pengaruh CBT terhadap penurunan gejala halusinasi pada
penelitian ini sama dengan respon yang dinilai pada gejala perilaku
kekerasan yaitu dari gejala kognitif, emosi, perilaku, sosial, dan
fisiologis. Penurunan gejala halusinasi klien pada penelitian ini
cukup tinggi dan mencapai tingkat yang rendah. Penelitian ini
membuktikan bahwa dengan CBT untuk gejala halusinasi dapat
menurun secara signifikan walaupun klien tersebut memiliki
masalah lain yaitu perilaku kekerasan. Peningkatan kemampuan
yang signifikan pada kelompok klien yang diberikan terapi CBT
karena selama proses pelaksanaan terapi klien selalu dimotivasi
untuk melakukan latihan secara mandiri yang menjadi tugas rumah
(home work) yang dievaluasi secara terus-menerus dengan
menggunakan jadwal kegiatan harian, buku kerja, dan raport
perkembangan klien. Latihan merupakan hal yang sangat penting
dalam proses pembelajaran (Hastuti dan Setianingsih, 2016).
Selain itu penatalaksanaan halusinasi menggunakan terapi non
farmakologi yaitu terapi aktivitas kelompok merupakan suatu
psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama
dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin oleh seorang
terapis atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih (Yosep,
2007).
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dapat juga dengan
terapi musik sebagai distraksi pada pasien dengan halusinasi.
Pemberian intervensi terapi musik klasik membuat seseorang
menjadi rileks, menimbulkan rasa aman dan sejahtera, melepaskan
rasa gembira dan sedih, melepaskan rasa sakit dan menurunkan
tingkat stres, sehingga dapat menyebabkan penurunan kecemasan.
(Wijayanto & Agustina, 2017).
Terapi musik sangat mudah diterima organ pendengaran dan
kemudian melalui saraf pendengaran disalurkan ke bagian otak yang
memproses emosi yaitu sistem limbik. Pada sistem limbik di dalam
otak terdapat neurotransmitter yang mengatur mengenai stres,
ansietas, dan beberapa gangguan terkait ansietas. Musik dapat
mempengaruhi imajinasi, intelegensi, dan memori, serta dapat
mempengaruhi hipofisis di otak untuk melepaskan endorfin (Rusdi
& Isnawati dalam Wijayanto dan Agustina, 2017).
Beberapa penelitian tentang musik dan otak mengatakan bahwa
karena sifatnya non verbal, musik bisa menjangkau sistem limbik
yang secara langsung dapat mempengaruhi reaksi emosional dan
reaksi fisik manusia seperti detak jantung, tekanan darah, dan
temperatur tubuh, hasil pengamatannya mengatakan dengan
mengaktifkan aliran ingatan yang tersimpan di wilayah corpus
collosum musik meningkatkan integrasi seluruh wilayah otak
(Rachmawati dalam Damayanti, Jumaini & Utami, 2014).
Pada penelitian Damayanti, Jumaini, & Utami (2014) responden
kelompok eksperimen yang telah selesai diberikan terapi musik
klasik diberikan posttest, saat diberikan posttest responden sudah
tampak bisa fokus jika diajak berbicara, menjawab pertanyaan
dengan benar, jarang berbicara sendiri, lebih nyaman untuk
berinteraksi dengan orang lain, klien juga mengatakan suara bisikan
yang didengar sudah berkurang. Peneliti juga melihat hasil data
perkembangan pasien yang dilihat pada data pendukung yaitu rekam
medis. Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
terapi musik dapat direkomendasikan sebagai salah satu terapi
keperawatan bagi penderita halusinasi agar dapat mengontrol
halusinasinya dengan baik.
Pendapat di atas didukung oleh penelitian Ulrich, Houtmans, &
Gold (2017) yang menyatakan terapi musik memiliki efektivitas
pada evaluasi orientasi psikososial diri pasien dan untuk mengurangi
gejala negatif. Tetapi tidak ada perbedaan yang ditemukan dalam
kualitas hidup pasien dengan skizofrenia. Terapi aktivitas musik
dapat mengurangi gejala negatif dan meningkatkan kontak
interpersonal. Efek positif dari terapi musik ini dapat meningkatkan
kemampuan pasien untuk beradaptasi dengan lingkungan sosial di
masyarakat setelah keluar dari rumah sakit (Ulrich, Houtmans, &
Gold, 2017).
Penelitian oleh Pratiwi & S nmudaryanto (2015) menyatakan
bahwa insidensi halusinasi pada 10 responden menggambarkan
bahwa ada rata-rata 31,6 kali pasien mendengar halusinasi per
minggu sebelum intervensi, sedangkan rata-rata halusinasi
pendengaran setelah dilakukan intervensi terapi musik adalah 29,9
kali per minggu. Jadi ada perbedaan 17 kali dan rata-rata hanya 1,7
kali per minggu. Hasil analisis uji statistik menunjukkan bahwa ada
perbedaan rata-rata sebelum dan sesudah intervensi (Pratiwi &
Sudaryanto, 2015).
Dari pemaparan di atas mengenai terapi musik dapat ditarik
kesimpulan bahwa terapi musik dapat direkomendasikan sebagai
salah satu terapi keperawatan bagi penderita halusinasi agar dapat
mengontrol halusinasinya dengan baik.
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dapat juga dengan
melakukan terapi religius dzikir karena sudah terbukti efektif untuk
meningkatkan kemampuan mengontrol halusinasi pendengaran.
Dengan berdzikir hati seseorang akan lebih tentram, kegiatan terapi
religius dzikir dapat menurunkan gejala psikiatrik. Religius mampu
mencegah dan melindungi dari penyakit kejiwaan, mengurangi
penderitaan, meningkatkan proses adaptasi mengontrol suara-suara
yang tidak ada wujudnya seperti halusinasi pendengaran
(Sulahyuningsih, 2016).
Penelitian yang dilakukan oleh Dermawan (2017) menyatakan
bahwa perkembangan 8 responden setelah diberikan tindakan terapi
psikoreligius dzikir selama 2 minggu sebagai evaluasi dalam
tindakan keperawatan berdasarkan masalah keperawatan yaitu dari
8 responden sebanyak 5 responden mengatakan halusinasi berkurang
setelah melakukan terapi dzikir, dan 3 responden lainnya tidak
mengalami perubahan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hidayati, Rochmawati, &
Targunawan (2014) menunjukkan bahwa pengaruh terapi religius
dzikir terhadap peningkatan kemampuan mengontrol halusinasi
pendengaran diperoleh nilai p = 0,000, karena nilai p<0,05 sehingga
dapat disimpulkan terapi religius dzikir berpengaruh terhadap
peningkatan kemampuan mengontrol halusinasi pendengaran pada
pasien halusinasi di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang.
Terapi religius dzikir dapat digunakan sebagai intervensi dalam
tindakan keperawatan mengontrol halusinasi pendengaran.
Dari pemaparan di atas mengenai terapi religius dzikir dapat
ditarik kesimpulan bahwa terapi religius dzikir dapat
direkomendasikan sebagai salah satu terapi keperawatan bagi
penderita halusinasi agar dapat mengontrol halusinasinya dengan
baik.
2) Manajemen Halusinasi
a. Bangun hubungan interpersonal dan saling percaya dengan klien.
b. Catat perilaku klien yang menunjukkan halusinasi.
c. Pertahankan rutinitas yang konsisten.
d. Tingkatkan komunikasi yang jelas dan terbuka.
e. Berikan klien kesempatan untuk mendiskusikan halusinasinya.
f. Dorong klien untuk mengekspresikan perasaan secara tepat.
g. Fokuskan kembali klien mengenai topik jika komunikasi klien
tidak sesuai situasi.
h. Monitor kehadiran halusinasi mengenai konten (dari halusinasi
yang berupa kekerasan atau yang membahayakan diri.
i. Tegaskan kepada klien jika ditanya, bahwa anda tidak mengalami
stimulus yang sama.
j. Berikan pengajaran terkait obat pada klien.
k. Monitor kemampuan merawat diri.
l. Bantu dengan perawatan diri jika dibutuhkan.
m. Berikan istirahat dan gizi yang cukup.
n. Libatkan klien dalam aktivitas berbasis realita yang mungkin
mengalihkan perhatian dari halusinasi (misalnya, mendengarkan
musik dan bergoyang) (Bulecheck et al, 2013).
2.2.10 Pengkajian Keperawatan Jiwa yang dikaji
Masalah Keperawatan Data yang perlu Dikaji
Perubahan persepsi sensori: Subjektif:
halusinasi  Klien mengatakan mendengar sesuatu.
 Klien mengatakan melihat bayangan putih.
 Klien mengatakan dirinya seperti disengat listrik.
 Klien mencium bau-bauan yang tidak sedap, seperti feses.
 Klien mengatakan kepalanya melayang di udara.
Objektif:
 Klien terlihat bicara atau tertawa sendiri saat dikaji.
 Bersikap seperti mendengarkan sesuatu.
 Berhenti bicara di tengah-tengah kalimat untuk mendengarkan
sesuatu.
 Disorientasi.
 Konsentrasi rendah.
 Pikiran cepat berubah-ubah.
 Kekacauan alur pikiran.
(Sumber: Fitria, 2014)
2.2.11 Rencana Tindakan Keperawatan
a. Rencana Tindakan Keperawatan untuk klien
TUM: Klien dapat mengendalikan halusinasi yang dialaminya.
1) TUK 1: Klien dapat membina hubungan saling percaya
Kriteria Evaluasi: Setelah 1x interaksi klien menunjukkan tanda-
tanda percaya kepada perawat:
a) Ekspresi wajah bersahabat.
b) Menunjukkan rasa senang.
c) Ada kontak mata.
d) Mau berjabat tangan.
e) Mau menyebutkan nama.
f) Mau menjawab salam.
g) Mau duduk berdampingan dengan perawat.
h) Bersedia mengungkapkan masalah yang dihadapi.
Intervensi: Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan
prinsip komunikasi terapeutik:
a) Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun nonverbal.
b) Perkenalkan nama panggilan dan tujuan perawat berkenalan.
c) Tanyakan nama lengkap dan nama panggilan yang disukai
klien.
d) Buat kontrak yang jelas.
e) Tunjukkan sikap jujur dan menepati janji setiap kali interaksi.
f) Tunjukkan sikap empati dan menerima apa adanya.
g) Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar
klien.
h) Tanyakan perasaan klien dan masalah yang dihadapi klien.
i) Dengarkan dengan penuh perhatian ekspresi perasaan klien.
2) TUK 2: Klien dapat mengenal halusinasinya.
Kriteria Evaluasi: Setelah 1x interaksi klien menyebutkan:
a) Isi.
b) Waktu.
c) Frekuensi.
d) Situasi dan kondisi yang menimbulkan halusinasi.
Intervensi: Adakan kontak sering dan singkat secara bertahap.
Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya
(*dengar/lihat/penghidu/raba/kecap), jika menemukan klien yang
sedang halusinasi:
a) Tanyakan apakah klien mengalami sesuatu (halusinasi dengar/
lihat/ penghidu/raba/kecap).
b) Jika klien menjawab ya, tanyakan apa yang sedang dialami.
c) Katakan bahwa perawat percaya klien mengalami hal tersebut,
namun perawat sendiri tidak mengalaminya (dengan nada
bersahabat tanpa menuduh atau menghakimi).
d) Katakan bahwa klien lain yang mengalami hal yang sama.
e) Katakan bahwa perawat akan membantu klien.
Jika klien tidak sedang berhalusinasi, klarifikasi tentang adanya
pengalaman halusinasi, diskusikan dengan klien:
a) Identifikasi jenis halusinasi.
b) Identifikasi isi halusinasi.
c) Indentifikasi waktu halusinasi.
d) Identifikasi frekuensi halusinasi.
e) Identifikasi situasi yang menimbulkan halusinasi.
f) Identifikasi respons klien terhadap halusinasi.
Kriteria Evaluasi: Setelah 1x interaksi klien menyatakan perasaan
dan responnya saat mengalami halusinasi:
a) Marah
b) Takut
c) Sedih
d) Senang
e) Cemas
f) Jengkel
Intervensi:
a) Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi
halusinasi dan beri kesempatan untuk mengungkapkan
perasaannya.
b) Diskusikan dengan klien apa yang dilakukan untuk mengatasi
perasaan tersebut.
c) Diskusikan tentang dampak yang akan dialaminya bila klien
menikmati halusinasinya.
3) TUK 3: Klien dapat mengontrol halusinasinya.
Kriteria Evaluasi:
a) Setelah 1x interaksi klien menyebutkan tindakan yang
biasanya dilakukan untuk mengendalikan halusinasinya.
b) Setelah 1x interaksi klien menyebutkan cara baru mengontrol
halusinasi.
c) Setelah 1x interaksi klien dapat memilih dan memperagakan
cara mengatasi halusinasi (dengar/lihat/penghidu/raba/kecap)
d) Setelah 1x interaksi klien melaksanakan cara yang telah dipilih
untuk mengendalikan halusinasinya.
e) Setelah 1x pertemuan klien mengikuti terapi aktivitas
kelompok.
Intervensi:
a) Identifikasi bersama klien cara atau tindakan yang dilakukan
jika terjadi halusinasi (tidur, marah, menyibukkan diri dan
lain-lain).
b) Diskusikan cara yang digunakan klien,
- Jika cara yang digunakan adaptif beri pujian.
- Jika cara yang digunakan maladptif diskusikan kerugian
cara tersebut.
c) Diskusikan cara baru untuk memutus/mengontrol timbulnya
halusinasi.
- Menghardik halusinasi
Menghardik halusinasi adalah cara mengendalikan diri
terhadap halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang
muncul. Pasien dilatih untuk mengatakan tidak terhadap
halusinasi yang muncul atau tidak memperdulikan
halusinasinya. Jika ini dapat dilakukan, pasien akan mampu
mengendalikan diri dan tidak dapat mengikuti halusinasi
yang muncul. Mungkin halusinasi tetap ada, tetapi dengan
kemampuan ini, pasien tidak akan larut untuk menuruti
halusinasinya (Keliat, 2009).
- Katakan pada diri sendiri bahwa ini tidak nyata (“saya tidak
mau dengar/lihat/penghidu/raba/kecap pada saat halusinasi
terjadi).
- Menemui orang lain (perawat, teman, anggota keluarga
untuk menceritakan tentang halusinasinya.
- Membuat dan melakukan jadwal kegiatan sehari-hari yang
telah disusun.
- Meminta keluarga/teman/perawat menyapa jika sedang
berhalusinasi.
- Bantu klien memilih cara yang sudah dianjurkan dan latih
untuk mencobanya.
- Beri kesempatan untuk melakukan cara yang dipilih dan
dilatih.
- Pantau pelaksanaan yang telah dipilih dan dilatih, jika
berhasil beri pujian.
- Anjurkan klien mengikuti terapi aktivitas kelompok,
orientasi realita, stimulasi persepsi.
d) Bantu klien memilih cara yang sudah dianjurkan dan latih
untuk mencobanya.
e) Pantau pelaksanaan yang telah dipilih dan dilatih, jika berhasil
beri pujian.
f) Anjurkan klien mengikuti terapi aktivitas kelompok, orientasi
realita, stimulasi persepsi.
4) TUK 4: Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol
halusinasinya.
Kriteria Evaluasi:
a) Setelah 1x pertemuan keluarga, keluarga menyatakan setuju
untuk mengikuti pertemuan dengan perawat.
b) Setelah 1x interaksi keluarga menyebutkan pengertian, tanda
dan gejala, proses terjadinya halusinasi dan tindakan untuk
mengendalikan halusinasi.
Intervensi:
a) Buat kontak dengan keluarga untuk pertemuan (waktu, tempat
dan topik).
b) Diskusikan dengan keluarga (pada saat pertemuan
keluarga/kunjungan rumah).
- Pengertian halusinasi
- Tanda dan gejala halusinasi
- Proses terjadinya halusinasi
- Cara yang dapat dilakukan klien dan keluarga untuk
memutus halusinasi
- Obat-obatan halusinasi
- Cara merawat anggota keluarga yang halusinasi di rumah
(beri kegiatan, jangan biarkan sendiri, makan bersama,
berpergian bersama, memantau obat-obatan dan cara
pemberiannya untuk mengatasi halusinasi)
- Beri informasi waktu kontrol ke rumah sakit dan bagaimana
cara mencari bantuan jika halusinasi tidak dapat diatasi di
rumah.
5) TUK 5: Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik.
Kriteria Evaluasi:
a) Setelah 1x interaksi klien menyebutkan:
- Manfaat minum obat
- Kerugian tidak minum obat
- Nama, warna, dosis, efek terapi dan efek samping obat
b) Setelah 1x interaksi klien mendemonstrasikan penggunaan
obat dengan benar.
c) Setelah 1x interaksi klien menyebutkan akibat berhenti minum
obat tanpa konsultasi dokter.
Intervensi:
a) Diskusikan dengan klien tentang manfaat dan kerugian tidak
minum obat, nama, warna, dosis, cara, efek terapi dan efek
samping penggunaan obat.
b) Pantau klien saat penggunaan obat.
c) Beri pujian jika klien menggunakan obat dengan benar.
d) Diskusikan akibat berhenti minum obat.
e) Anjurkan klien untuk konsultasi kepada dokter/perawat jika
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
6) Tindakan keperawatan untuk klien.
a) Membantu klien mengenali halusinasi.
Diskusi adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
membantu klien mengenali halusinasinya. Perawat dapat
berdiskusi dengan klien terkait isi halusinasi (apa yang
didengar atau dilihat), waktu terjadi halusinasi, frekuensi
terjadinya halusinasi muncul, dan perasaan klien saat
halusinasi muncul (komunikasinya sama dengan pengkajian di
atas).
b) Melatih klien mengontrol halusinasi.
Perawat dapat melatih empat cara dalam mengedalikan
halusinasi pada klien. Keempat cara tersebut sudah terbukti
mampu mengontrol halusinasi seseorang. Keempat cara
tersebut adalah menghardik halusinasi, bercaka-cakap dengan
orang lain, melakukan aktivitas yang terjadwal dan
mengonsumsi obat secara teratur.
b. Rencana Tindakan Keperawatan untuk Keluarga Klien
1) Tujuan/strategi pelaksanaan.
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga.
a) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam
merawat klien.
b) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala halusinasi yang
dialami klien beserta proses terjadinya.
c) Menjelaskan cara-cara merawat klien halusinasi.
Strategi Pelaksanaan 2 (SP 2) untu keluarga.
a) Melatih keluarga mempraktikan cara merawat klien
halusinasi.
b) Melatih keluarga melakukan cara merawat klien halusinasi.
2) Tindakan keperawatan untuk keluarga klien
Keluarga merupakan faktor vital dalam penanganan klien
gangguan jiwa di rumah. Hal ini mengingatkan keluarga adalah
sistem pendukung terdekat dan orang yang bersama-sama dengan
klien selama 24 jam. Keluarga sangat menentukan apakah klien
akan kambuh atau tetap sehat. Keluarga yang mendukung klien
secara konsisten akan membuat klien mampu mempertahankan
program pengobatan secara optimal. Namun demikian, jika
keluarga tidak mampu merawat maka klien akan kambuh bahkan
untuk memulihkan kembali akan sangat sulit. Oleh karena itu,
perawat harus melatih keluarga klien agar mampu merawat klien
gangguan jiwa di rumah.
Pendidikan kesehatan kepada keluarga dapat dilakukan
melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah menjelaskan tentang
masalah yang dialami oleh klien dan pentingnya peran keluarga
untuk mendukung klien. Tahap kedua adalah melatih keluarga
untuk merawat klien dan tahap yang ketiga yaitu melatih keluarga
untuk merawat klien langsung.
Informasi yang perlu disampaikan kepada keluarga meliputi
pengertian halusinasi, jenis halusinasi yang dialami oleh klien,
tanda dan gejala halusinasi, proses terjadinya halusinasi, cara
merawat klien halusinasi (cara berkomunikasi, pemberian obat,
dan pemberian aktivitas kepada klien), serta sumber-sumber
pelayanan kesehatan yang bisa dijangkau.
BAB III
GAMBARAN KASUS

PENGKAJIAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA


3.1 IDENTITAS KLIEN
Inisial : Tn. D
Umur : 30 tahun
Pekerjaan : Swasta
Status : Belum Menikah
No. RM : 0079xx
Ruangan Rawat : Ruang GMO
Tanggal Dirawat : 25 Mei 2018
Tanggal Pengkajian : 10 September 2019
Pendidikan : SMA
Suku : Dayak
Agama : Katholik

3.2 ALASAN MASUK


Berdasarkan Rekam Medis didapat bahwa klien datang ke Rumah Sakit
Jiwa Provinsi Kalimantan Barat dibawa oleh keluarganya karena sering
berbicara sendiri, tertawa sendiri dan klien membuat gaduh gelisah. Klien
sering melamun, kadang kadang menyendiri.

3.3 FAKTOR PREDISPOSISI


3.3.1 Pernah mengalami gangguan jiwa di masa lalu ?
Klien pernah mengalami gangguan jiwa sebelumnya
3.3.2 Pengobatan sebelumnya.
Klien pernah menjalani pengobatan sebelumnya di rumah sakit jiwa,
tetapi proses pengobatan kurang berhasil.
3.3.3 Fokus pengkajian
1. Klien mengatakan pernah menjadi pelaku aniaya seksual
2. Klien tidak pernah menjadi pelaku, korban maupun saksi atas
penolakan dan tindakan kriminal
3. Klien tidak pernah menjadi pelaku aniaya fisik, tetapi pernah menjadi
korban aniaya fisik.
3.3.4 Adakah anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
3.3.5 Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan
Klien mengatakan saudara (abang) tirinya memukul dirinya dan
menuduh dirinya telah berzina. Klien marah dengan abang tirinya dan
melampiaskan kemarahannya dengan memukul tv lemari dan kaca
dengan menggunakan kayu.
Masalah Keperawatan : risiko perilaku kekerasan

3.4 FISIK
3.4.1 Tanda vital : TD : 100/60 mmHg N : 60 x/menit S : 36,0 P : 16
x/menit
3.4.2 Ukur : TB : 169,5 cm BB : 55 kg
3.4.3 Klien : Klien mempunyai riwayat penyakit hepatitis dibuktikan
dengan nilai HbSAg positif
Masalah keperawatan : Hepatitis

3.5 PSIKOSOSIAL
3.5.1 Genogram
Keterangan :
: Laki-Laki
: Perempuan
: Klien
X : Meninggal
: Tinggal Serumah
Keterangan : klien adalah anak ke 2 dan tinggal bersama dengan kedua
orang tuanya. Klien memiliki 1 orang abang laki-laki tiri dan 1 orang
adik perempuan, jika ada anggota keluarga yang sakit pengambilan
keputusan terhadap anggota keluarga yang sakit biasa diambil oleh
ayahnya. Pola komunikasi dan pola asuh yang terjalin sesama anggota
keluarga baik.
3.5.2 Konsep diri
a. Gambaran diri
Klien mengatakan menyukai seluruh bagian tubuhnya. Tidak ada
bagian tubuh yang tidak klien sukai
b. Identitas
Klien adalah seorang anak dari kedua orang tuanya, klien juga
merasa senang karena terlahir sebagai laki-laki, dan klien sekolah
hingga SMA.
c. Peran
Klien mengatakan bahwa ia adalah seorang anak ke dua yang belum
menikah, dan setiap hari kegiatan klien adalah menoreh dan
mengamen. Saat sakit klien berperan sebagai pasien di rumah sakit.
d. Ideal diri
Klien mengatakan ingin dirinya cepat sembuh dan ingin cepat pulang
kerumah untuk bertemu dengan keluarganya.
e. Harga diri
Klien mengatakan ia memiliki teman dekat di dalam ruangan
yang bisa diajak berbicara dan ia senang bisa mempunyai teman dekat.
Klien mengatakan tidak malu dengan keadaan dirinya sekarang. Klien
sering di sebut oleh temannya pandai berjoget karena kegemaran klien
sendiri adalah berjoget.
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
3.5.3 Hubungan Sosial
a. Orang yang berarti
Klien mengatakan orang yang sangat berarti adalah kedua
orang tuanya, karena kedua orangtuanya yang suka memenuhi
kebutuhan klien. Kedua orang tua klien adalah tempat klien
berkeluh kesah, bercerita dan kedua orang tua klien adalah orang
yang selalu mendukung klien
b. Peran serta dalam kegiatan kelompok / masyarakat
Klien mengatakan bahwa sesekali mengikuti kegiatan kelompok
dalam masyarakat. Klien kurang suka bergaul dengan orang banyak
saat berada di lingkungan tempat tinggal klien.
Masalah keperawatan : isolasi sosial
c. Hambatan dalam berbuhungan dengan orang Lain
Klien mengatakan mau bergaul dengan orang lain.
Masalah keperawatan: Tidak ada masalah keperawatan
3.5.4 Spiritual
a. Nilai dan keyakinan
Klien beragama katholik, dan klien meyakini bahwa sakit yang
dideritanya adalah cobaan. Masyarakat sekitar tempat tinggal klien
menganggap penyakit gangguan jiwa adalah sebuah aib.
b. Kegiatan ibadah
Klien mengatakan sebelum sakit dan sesudah sakit jarang
melakukan ibadah, namun klien hapal dengan bacaan doa makan.
3.6 STATUS MENTAL
3.6.1 Penampilan
Saat dikaji baju klien tampak bersih, klien nampak rapi dan selalu
memakai sendal ketika keluar ruangan, tetapi terdapat karang pada gigi
klien.
3.6.2 Pembicaraan
Pembicaraan klien tampak lambat ketika diajak berbicara tetapi antara
satu kata dengan kata yang lain masih berhubungan, akan tetapi
jawaban klien suka berbeda ketika ditanya jawaban yang sama.
3.6.3 Aktivitas Motorik
Klien tampak tenang ketika diajak berbicara dan sesekali klien terlihat
tertawa ketika diajak berinteraksi, namun klien terlihat sesekali
menunduk ke bawah saat di wawancara.
3.6.4 Afek dan emosi
Afek : Klien tidak memiliki gangguan afek, afek klien sesuai ketika
membicarakan kedua orang tua nya klien merasa sedih dan menangis.
Alam perasaan : klien tampak senang saat di ruangan
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
3.6.5 Interaksi selama wawancara
Klien kooperatif saat diwawancarai dan tidak mudah tersinggung dengan
orang lain. Kontak mata positif dan klien dapat menjawab semua
pertanyaan dari perawat.
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
3.6.6 Persepsi dan sensori
Ada perubahan persepsi sensori karena ada bisikan suara laki-laki yang
klien dengar pada malam hari yang hilang timbul, dan saat datang
bisikan, frekuensi nya kira kira 1 kali sehari pada jam 00.00 WIB dengan
durasi datangnya suara selama 5 menit. Klien mengatakan mendengar
suara untuk mendekati perempuan namun tidak ada wujudnya. Klien
mengatakan ketika mendengar suara bisikan klien merasa suara tersebut
menyenangkan.
Masalah Keperawatan : Perubahan Persepsi Sensori Halusinasi :
Pendengaran.
3.6.7 Proses Pikir
Selama dilakukan wawancara pembicaraan klien tampak berbelit-
belit tetapi sampai pada tujuan. Klien tampak senang ketika
diwawancara, klien terkadang sering tertawa sendiri, klien juga senang
berkomunikasi dengan teman akrab di bangsalnya. Tetapi jika diajak
berkomunikasi klien kooperatif.
Masalah Keperawatan : gangguan proses pikir : Sirkumtansial.
3.6.8 Isi Pikir
Klien mengatakan tidak ingin mendekati perempuan didekatnya,
namun saat suara itu datang klien menyuruhnya untuk mendekati
perempuan dan klien mengatakan tidak ingin disuruh suruh melakukan
hal yang disuruh bisikan suara yang muncul.
Masalah Keperawatan : Perubahan persepsi sensori : Halusinasi.
3.6.9 Tingkat kesadaran
Orientasi klien baik, saat ditanya klien dapat menyebutkan orang
tempat dan waktu
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
3.6.10 Memori
Klien mampu mengingat dengan jelas kejadian yang baru saja terjadi
seperti kegiatan yang telah dilakukan setelah bangun tidur. Klien
mampu mengingat beberapa kejadian dibeberapa hari yang lalu.klien
juga mampu mengingat kejadian di masa lalu seperti kejadian yang
terjadi pada abang tirinya.
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan.
3.6.11 Tingkat Konsentrasi dan Berhitung
Tingkat konsentrasi dan berhitung klien baik, dibuktikan dengan klien
dapat menyebutkan hasil dari beberapa penjumlahan dan pengurangan
angka.
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
3.6.12 kemampuan penilaian
Klien mampu menentukan mandi dulu atau makan dulu, kliem memilih
mandi dulu karena supaya bersih
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan.
3.6.13 Daya tilik diri
Klien menngatakan bahwa dirinya sedang sakit dan butuh pengobatan,
klien tahu kalau klien mengalami gangguan jiwa
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan.

3.7 Kebutuhan Persiapan Pulang


3.7.1 Makan
Klien tidak mengalami gangguan saat makan ataupun minum.
Selama di rawat klien mampu mempersiapkan makan ataupun minum
sendiri, sehingga ketika pulang ke rumah klien hanya memerlukan
bantuan yang minimal untuk makan.
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan.
3.7.2 BAB/BAK
Klien tidak mengalami gangguan saat BAB/BAK selama di rawat,
kilen BAB Kurang lebih 2 hari 1 kali dan BAK kurang lebih 5 kali dalam
1 hari dan klien mengatakan tidak ada gangguan BAB/BAK.
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan.
3.7.3 Mandi
Klien tidak mengalami gangguan saat mandi. Ketika di rawat klien
mampu untuk mandi sendiri, klien madi 2 sampai 3 kali dalam sehari.
Gigi klien terlihat kuning dan terdapat karies gigi. Klien mengatakan saat
mandi ia menggunakan sabun.
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan.
3.7.4 Berpakaian/berhias
Klien dapat berpakaian dengan sendiri sesuai dengan jenis kelamin
klien, klien dapat menggunakan pakaian secara mandiri
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan.
3.7.5 Istirahat dan tidur
Klien tidur tidak teratur, saat didalam bangsal terkadang klien tidur
pada siang hari. Klien jarang tidur siang.
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan.
3.7.6 Penggunaan obat
Kliem minum obat secara tetatur sesuai dengan anjuran yang diberikan
oleh dokter.
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan.
3.7.7 Pemeliharaan Kesehatan
Setelah klien pulang klien akan dianjrurkan untuk konsultasi lanjutan
dan meneruskan obat sesuai dengan terapi dokter.
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan.
3.7.8 Kegiatan di dalam rumah
Klien dapat melakuka kegiatan seperti menyapu dan bersih bersih.
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan.
3.7.9 Kegiatan di luar rumah
Klien mencari uang dengan cara mengamen dan menoreh
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan.

3.8 Mekanisme Koping


Klien mengatakan biasa berinteraksi dengan orang lain, sebelum klien
sakit biasanya klien suka bercerita dengan keluarganya ketika memiliki
masalah. Klien mengatakan jarang melakukan olahraga sebelum sakit.
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan.

3.9 Masalah Psikososial dan Lingkungan:


Klien mengatkan tidak ada masalah sosial yang terjadi dilingkungannya
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan.
3.10 Pengetahuan Kurang Tentang:
Pada saat dikaji, klien mengetahui bahwa ia sedang dirawat di RSJ dan
mengetahui bahwa ia mengalami gangguan jiwa
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan.

3.11 Aspek Medis


Klien mendapat obat oral yaitu
a. Risperidone 2 mg 2x1
b. Hexymer 2 mg 1x1
c. Clorilex 25 mg 1x1 malam hari
d. Valdimex 5 mg 1x ½ malam hari

3.12 Daftar Masalah Keperawatan


a. Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran
b. Resiko Perilaku Kekerasan
c. Isolasi Sosial

3.13 Pohon masalah

Effect Resiko perilaku kekerasan

Core problem Perubahan Persepsi Sensori :


halusinasi

Cause Isolasi sosial


3.14 ANALISA DATA

Nama Pasien : Tn. D


Usia : 30 tahun
Diagnosa medis : Skizofrenia Paranoid
Ruangan : GMO

Data Masalah Keperawatn

Data Subyektif: Resiko Perilaku Kekerasan (RPK)


a. Klien mengatakan pernah memukul TV, Lemari
dan kaca menggunakan kayu.
b. Klien mengatakan abang tirinya yang suka
menuduh dirinya berzina

Data Obyektif:
- Klien tampak kadang melamun
- Klien tampak kadang gelisah

Data Subyektif: Perubahan Persepsi Sensori :


a. Klien mengatakan mendengar suara yang halusinasi pendengaran
menyuruhnya untuk mendekati perempuan ,
namu tidak ada wujudnya.
b. Klien mengatakan mendengar suara yang
menyuruhnya melakukan suatu hal. Klien
mengatakan itu suara laki laki dan datang saat
malam hari dengan durasi kurang lebih 5 menit.
c. Klien mengatakan frekuensi suara datang kira
kira 1 kali sehari pada jam 00.00 WIB.
Data Obyektif:
- Klien tampak tertawa sendiri
- Klien tampak melamun
Data Subyektif: Isolasi Sosial
a. Klien mengatakan bahwa sesekali mengikuti
kegiatan kelompok dalam masyarakat.
b. Klien kurang suka bergaul dengan orang
banyak saat berada di lingkungan tempat
tinggal klien.
Data Obyektif:
- Klien tampak sering menyendiri
- Klien tampak kadang melamun
BAB IV
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
KLIEN DENGAN PERUBAHAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI
Nama klien : Tn. D Dx Medis :Skizofrenia Paranoid (F20.0)
No. Rekam Medik : 0079xx Ruangan : GMO
Hari/ No Dx Perencanaan
Tgl Dx Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Perubahan TUM : klien dapat Setelah 1 x interaksi klien 2.1 Bina hubungan saling percaya 1. untuk menimbulkan
persepsi sensori mengendalikan menunjukkan tanda-tanda dengan menggunakan prinsip rasa percaya klien
: halusinasi halusinasi yang percaya kepada perawat: komunikasi terapeutik: terhadap perawat
pendengaran dialaminya  Ekspresi wajah 1.1 sapa klien dengan ramah 1.1 untuk
TUK 1: bersahabat baik verbal maupun non menimbulkan
Klien dapat  Menunjukkan rasa verbal rasa percaya klien
membina hubungan senang 1.2 perkenalkan nama, nama terhadap perawat
saling percaya  Ada kontak mata panggilan dan tujuan 1.2 agar dapat
 Mau berjabat tangan perawat berkenalan mengenal satu
 Mau menyebutkan nama 1.3 tanyakan nama lengkap dan sama lain
 Mau menjawab salam nama panggilan yang 1.3 agar dapat
disukai klien meningkatkan
 Mau duduk
1.4 buat kontrak yang jelas ras percaya
Berdampingan dengan
1.5 tunjukkan sikap jujur dan klien terhadap
perawat
menempati janji setiap kali klien
Bersedia
interaksi 1.4 agar klien tidak
mengungkapkan
1.6 tunjukkan sikap empati dan merasa
masalah yang dihadapi
menerima apa adanya terganggu
1.7 beri perhatian kepada klien dengan kegiatan
dan perhatikan kebutuhan yang dilakukan
dasar klien dan mengatur
jadwal
1.8 tanyakan perasaan klien pertemuan
dan masalah yang dihadapi dengan klien
klien 1.5 untuk menjaga
1.9 dengarkan dengan penuh rasa percaya
perhatian ekspresi perasaan klien terhadap
klien perawat
1.6 untuk membina
hubungan saling
percaya dengan
klien
1.7 untuk membina
hubungan saling
percaya dengan
klien
1.8 untuk
mengetahui apa
yang sedang
klien rasakan
saat ini
1.9 untuk
mengetahui apa
yang sedang
dirasakan klie
saat ini
TUK 2: 1. Setelah 1 x interaksi 2.1 Adakan kontak sering dan singkat 2.1 untuk mencegah
Klien dapat klien menyebutkan : secara bertahap klien merasa bosan
mengenal  Isi 2.2 Observasi tingkah laku klien dan tetap menjaga
halusinasinya  Waktu terkait dengan halusinasinya 2.2 untuk mengetahui
 Frekuensi (dengar/lihat/Raba/kecap), jika secara spesifik apa
 Situasi dan kondisi menemukan klien yang sedang yang sedang dialami
yang menimbulkan halusinasi: klien
halusinasi  Tanyakan apakah klien
mengalami sesuatu
(halusinasi dengar/lihat/
raba/kecap)
 Jika klien menjawab ya,
tanyakan apa yang sedang
dialaminya
 Katakan pada klien bahwa
perawat percaya klien
mengalami hal tersebut,
namun perawat sendiri tidak
mengalaminya (dengan
nada bersahabat tanpa
menghakimi atau menuduh)
 Katakan bahwa ada klien
lain yang mengalami hal
yang sama
 Katakana bahwa perawat
akan membantu klien

2.3 Jika klien tidak berhalusinasi


maka klarifikasi tentang adanya 2.3 untuk mengetahui
pengalaman halusinasi, pengalaman yang
diskusikan dengan klien tentang : pernah dialami klien
 Isi, waktu dan frekuensi saat berhalusinasi
terjadinya halusinasi (pagi, secara spesifik
siang,sore, malam sering
atau kadang)
 Situasi dan kondisi yang
menimbulkan atau tidak
menimbulkan halusinasi
2.4 Setelah … x interaksi  Diskusikan dengan klien apa  Untuk mengetahui
klien menyatakan yang dirasakan klien jika secara perasaan klien
perasaan dan responnya terjadi halusinasi dan beri saat terjadi halusinasi
saat mengalami kesempatan untuk  Unttuk mengetahui
halusinasi : mengungkapkan penanganan seperti
 Marah perasaannya apa yang dilakukan
 Takut  Diskusikan dengan klien apa klien saat halusinasi
 Sedih yang dilakukan untuk terjadi
 Senang mengatasi perasaan tersebut  Agar klien
 Cemas  Diskusikan dengan dampak mengetahui apa yang
 Jengkel yang akan dialami klien bila akan terjadi setelah
klien mengalami halusinasi klien mengalami
halusinasi
TUK 3 : 3.1 Setelah …x interaksi 3.1 Identifikasi bersama klien cara 3.1 Untuk mengetahui
Klien dapat klien menyebutkan atau tindakan yang dilakukan jika hal yang dilakukan
mengontrol tindakan yang biasanya terjadi halusinasi (tidur, marah, klien untuk
halusinasinya dilakukan untuk menyibukkan diri, dll) mengatasi halusinasi
mengendalikan 3.2 Diskuskan cara yang digunakan 3.2 Untuk mengetahui
halusinasi klien cara seperti apa yang
3.2 Setelah … interaksi klien Jika cara yang digunakan adaptif, dilakukan klien
menyebutkan cara baru berikan pujian yang wajar untuk menangani
mengendalikan Jika cara yangdigunakan halusinasi
halusinasinya maladaptif diskusikan kerugian 3.3 Untuk membantu
cara tersebut klien dalam
3.3 Setelah… x interaksi 3.3 Diskusikan cara baru untuk mengatasi halusinasi
klien dapat memilih dan mengontrol terjadinya halusinasi yang dialaminya
memperagakan cara  Katakan pada diri sendiri
mengatasi halusinasi bahwa ini tidak nyata ( saya
(dengar/penghiduan/ tidak mau dengar)
lihat/raba/ kecap)  Menemui orang lain untuk
3.4 Setelah …x interaksi untuk menceritakan
klien melaksanakan cara halusinasinya
yang telah dipilih untuk  Membuat dan melaksanakan
mengendalikan jadwal kegiatan sehari-hari
halusinasinya yang telah disusun
3.5 Setelah …x pertemuan  Meminta perawat untuk
klien mengikuti terapi menyapa jika sedang 3.4 Agar klien tahu cara
aktivitas kelompok berhalusinasi mana yang dapat
3.4 Bantu klien untuk memilh cara dilakukannya dengan
yang telah dianjurkan dan latih baik dan dapat
untuk mencobanya membantu mengatasi
3.5 Beri kesempatan untuk halusinasi yang ia
melakukan cara yang telah dipilih alami
dan dilatih 3.5 Agar klien dapat
3.6 Pantau pelaksanaan yang telah melakukan cara yang
dipilih dan dilatih, jika berhasil dipilih dengan benar
beri pujian 3.6 Agar klien merasa
3.7 Anjurkan klien untuk mengikuti termotivasi ketika
terapi aktivitas kelompok, cara yang
orientasi realita, stimulasi dilakukannya sudah
persepsi. benar
3.7 Semakin banyak
kegiatan yang
dilakukan klien,
semakin sedikit pula
potensi halusinasi
yang dialami datang
TUK 5 : 5.1 Setelah… x interaksi  Diskusikan dengan klien tentang  Agar klien
Klien dapat klien menyebutkan manfaat dan kerugian tidak mengetahui apa yang
memanfaatkan obat  Manfaat minum minum obat, nama, waktu, dosis, terjadi jika minum
dengan baik obat cara efek terapi dan efek samping obat secara rutin dan
 Kerugian tidak penggunaan obat jika tidak minum
minum obat  Pantau klien saat penggunaan obat secara rutin
 Nama, warna, efek obat  Untuk mengetahui
terapi dan dosis  Beri pujian jika klien apakah klien
obat menggunakan obat dengan benar mengkkonsumsi obat
5.2 Setelah … x interaksi  Diskusikan akibat berhenti secara teratur atau
klien minum obat tanpa konsultasi tidak
mendemonstrasikan dengan dokter  Untuk memotivasi
penggunaan obat dengan  Anjurkan klien untuk konsultasi klien agar terus
benar pada perawat atau dokter jika mengkonsumsi obat
5.3 Setelah … x interaksi terjadi hal hal yang tidak di  Agar klien
klien menyebutkan inginkan mengetahui dampak
akibat dari berhenti yang terjadi jika
munum obat tanpa klien tidak lagi
konsultasi dokter mengkonsumsi obat
 Agar klien dapat
mengantisipasi jika
terjadi hal hal
yangtidak diinginkan
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI TINDAKAN KEPERAWATAN JIWA
PROGRAM PROFESI NERS FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
Nama : Tn. D Ruang : GMO
Usia : 30 tahun Instansi : RSJ Singkawang
Tgl/Jam No Implementasi Tindakan Evaluasi Paraf Mahasiswa
Diagnosa Keperawatan
14 1 SP 1: S: Kelompok 4
September  Membina hubungan saling percaya  Klien mengatakan senang bertemu dengan
2019  Mengidentifikasi jenis halusinasi perawat
klien  klien dapat mengidentifikasi jenis
09.00  Mengidentifikasi isi halusinasi halusinasinya
klien  klien dapat menyebutkan isi halusinasinya
 Mengidentifikasi waktu halusinasi yang berisi untuk mendekati perempuan dan
klien tuduhan berzina kepada klien
 Mengidentifikasi frekuensi  klien dapat menyebutkan waktu
halusinasi klien halusinasinya yang sering datang saat jam
 Mengidentifikasi situasi yang 00.00 WIB
dapat menimbulkan halusinasi  klien mengatakan bahwa frekuensi
pada klien datangnya halusinasi sekitar 1 kali dalam
 Mengajarkan klien cara sehari dan lamanya sekitar 5 menit
menghardik halusinasi  klien mengatakan halusinasinya datang pada
 Memasukkan kegiatan saat klien sedang sendiri dan melamun
menghardik halusinasi kedalam  klien mengatakan biasanya klien
jadwal kegiatan harian klien mengendalikan halusinasinya dengan
mendengarkan musik sambil bergoyang
O:
 Ekspresi wajah bersahabat
 Menunjukkan rasa senang
 Ada kontak mata
 Mau berjabat tangan
 Mau menyebutkan nama
 Mau menjawab salam
 Mau duduk berdampingan dengan perawat
 Bersedia mengungkapkan masalah yang
dihadapi
 klien terlihat kooperatif saat berbincang-
bincang
A:
Perubahan persepsi sensori: Halusinasi Pendengaran
 klien dapat mempraktekkan dengan baik cara
menghardik halusinasi
 klien dapat menyimpulkan dengan baik
manfaat dan tujuan menghardik halusinasi
 klien memasukkan kegiatan menghardik
halusinasi kedalam jadwal kegiatan harian
yang dilakukan pada pukul 09.00 dan pukul
14.00 WIB

P:
Rencana Pasien
 lakukan cara menghardik sebanyak 2 kali
sehari yaitu pada pukul 09.00 dan pada pukul
14.00 WIB
 Lakukan cara mengendalikan halusinasi
selanjutnya yaitu bercakap-cakap dengan
orang lain atau teman di ruangan
Rencana Perawat
 Evaluasi jadwal kegiatan harian klien
 Evaluasi cara klien menghardik halusinasi
 Latih klien mengendalikan halusinasi dengan
cara bercakap-cakap dengan orang lain
 Masukkan cara menghardik halusinasi dan
bercakap-cakap dengan orang lain ke dalam
jadwal kegiatan harian klien

16 1 SP 2: S: Kelompok 4
September  Membina hubungan saling  Klien senang bertemu dengan perawat
2019 percaya  Klien mengatakan telah melakukan latihan
 Mengevaluasi jadwal kegiatan cara menghardik halusinasi sesuai dengan
08.45 harian klien jadwal yang telah dibuat
 Melatih klien mengendalikan  Klien mengatakan dapat mengendalikan
halusinasi dengan cara bercakap- halusinasinya dengan cara menghardik
cakap dengan orang lain walaupun suara tersebut tidak sepenuhnya
 Memasukkan cara bercakap- hilang
cakap dengan orang lain ke dalam  Klien mengatakan mengerti cara bercakap-
jadwal kegiatan harian klien cakap dengan orang lain atau teman
sekamarnya untuk mengendalikan halusinasi
 Klien mampu menyimpulkan manfaat dan
tujuan bercakap-cakap dengan baik

O:
 Ekspresi wajah bersahabat
 Menunjukkan rasa senang
 Ada kontak mata
 Mau berjabat tangan
 Mau menjawab salam
 Mau duduk berdampingan dengan perawat
 Bersedia mengungkapkan masalah yang
dihadapi
 Klien kooperatif selama berbincang-bincang
dengan perawat

A:
Perubahan persepsi sensori: Halusinasi Pendengaran
 Klien dapat mempraktekkan cara bercakap-
cakap dengan baik
 Klien memasukkan cara bercakap-cakap ke
dalam jadwal kegiatan harian pada pukul
10.00 dan pukul 14.00 WIB

P:
Rencana pasien
 Lakukan cara bercakap-cakap dengan orang
lain ke dalam jadwal harian pada pukul 10.00
dan pukul 14.00 WIB
 Lakukan cara mengendalikan halusinasi
selanjutnya yaitu melakukan aktivitas harian
yang biasa dilakukan di rumah sakit jiwa
Rencana perawat
 Evaluasi jadwal kegiatan harian klien
 Evaluasi cara klien menghardik halusinasi
dan bercakap-cakap dengan orang lain
 Latih klien mengendalikan halusinasi dengan
melakukan kegiatan yang biasa dilakukan
klien di rumah sakit jiwa
 Masukkan cara menghardik halusinasi,
bercakap-cakap dengan orang lain atau
teman di ruangan dan melakukan aktivitas
harian yang biasa dilakukan di rumah sakit ke
dalam jadwal kegiatan harian klien
17 1 SP 3: S: Kelompok 4
September  Membina hubungan saling  Klien senang bertemu dengan perawat
2019 percaya  Klien mengatakan telah melakukan latihan
 Mengevaluasi jadwal kegiatan cara menghardik halusinasi dan bercakap-
09.00 harian klien cakap dengan orang lain sesuai dengan
 Melatih klien mengendalikan jadwal yang telah dibuat
halusinasi dengan cara melakukan  Klien mengatakan dapat mengendalikan
aktivitas harian yang biasa halusinasinya dengan cara menghardik dan
dilakukan bercakap-cakap dengan orang lain meskipun
 Memasukkan cara melakukan suara tersebut masih sesekali terdengar
aktivitas harian yang biasa  Klien mengatakan mengerti cara melakukan
dilakukan dalam jadwal kegiatan aktivitas harian yang biasa dilakukan untuk
harian klien mengendalikan halusinasi
 Klien mampu menyimpulkan manfaat dan
tujuan malakukan aktivitas sehari-hari
dengan baik

O:
 Ekspresi wajah bersahabat
 Menunjukkan rasa senang
 Ada kontak mata
 Mau berjabat tangan
 Mau menjawab salam
 Mau duduk berdampingan dengan perawat
 Bersedia mengungkapkan masalah yang
dihadapi
 Klien kooperatif selama berbincang-bincang
dengan perawat
A:
Perubahan persepsi sensori: Halusinasi Pendengaran
 Klien dapat mempraktekkan melakukan
aktivitas yang biasa dilakukan di ruangan
dengan baik seperti membersihkan diri,
membersihkan tempat tidur, menyapu
mengepel ruangan menyiram tanaman,
mendengarkan music dan berjoget.
 Klien memasukkan melakukan aktivitas
yang biasa dilakukan di ruangan ke dalam
jadwal kegiatan harian pada pukul pada
pukul 08.00- 10.00 WIB

P:
Rencana pasien
 Lakukan aktivitas yang biasa dilakukan di
ruangan seperti membersihkan diri,
membersihkan tempat tidur, menyapu ,
mengepel ruangan, menyiram tanaman,
mendengarkan music dan berjoget kedalam
jadwal harian pada pukul 08.00-10.00 WIB
 Lakukan cara mengendalikan halusinasi
selanjutnya yaitu minum obat secara rutin

Rencana perawat
 Evaluasi jadwal kegiatan harian klien
 Evaluasi cara klien menghardik halusinasi,
bercakap-cakap dengan orang lain dan
melakukan aktivitas harian yang biasa
dilakukan.
 Latih klien mengendalikan halusinasi dengan
minum obat secara teratur.
 Masukkan cara menghardik halusinasi,
bercakap-cakap dengan orang lain atau
teman di ruangan melakukan aktivitas harian
yang biasa dilakukan dan minum obat secara
teratur ke dalam jadwal kegiatan harian klien

18 SP 4: S: Kelompok 4
September  Membina hubungan saling  Klien senang bertemu dengan perawat
2019 percaya  Klien mengatakan telah melakukan latihan
 Mengevaluasi jadwal kegiatan cara menghardik halusinasi, bercakap-cakap
10.00 harian klien dengan orang lain dan melakukan aktivitas
 Melatih klien mengendalikan harian yang biasa dilakukan sesuai dengan
halusinasi dengan cara minum jadwal yang telah dibuat
obat secara teratur  Klien mengatakan dapat mengendalikan
 Memasukkan cara minum obat halusinasinya dengan cara menghardik
secara teratur dalam jadwal bercakap-cakap dengan orang lain dan
kegiatan harian klien melakukan aktivitas harian meskipun suara
tersebut masih sesekali terdengar
 Klien mengatakan mengerti cara minum obat
secara teratur untuk mengendalikan
halusinasi
 Klien mampu menyimpulkan manfaat dan
tujuan minum obat secara teratur dengan baik
O:
 Ekspresi wajah bersahabat
 Menunjukkan rasa senang
 Ada kontak mata
 Mau berjabat tangan
 Mau menjawab salam
 Mau duduk berdampingan dengan perawat
 Bersedia mengungkapkan masalah yang
dihadapi
 Klien kooperatif selama berbincang-bincang
dengan perawat

A:
Perubahan persepsi sensori: Halusinasi Pendengaran
 Klien dapat menyebutkan manfaat dari
minum obat secara teratur
 Klien dapat menyebutkan berapa jumlah obat
yang biasa ia konsumsi
 Klien dapat menyebutkan warna-warna obat
yang ia konsumsi
 Klien dapat menyebutkan waktu
mengkonsumsi obat dalam satu hari
 Klien memasukkan cara minum obat secara
teratur ke dalam jadwal kegiatan harian pada
pukul pada pukul 06.00- 18.00 WIB

P:
Rencana pasien
 Lakukan minum obat secara teratur kedalam
jadwal harian pada pukul 06.00-18.00 WIB
 Lakukan cara mengendalikan halusinasi
yaitu dengan menghardik halusinasi,
bercakap-cakap dengan orang lain,
melakukan aktivitas harian yang biasa
dilakukan dan minum obat secara teratur

Rencana perawat
 Evaluasi jadwal kegiatan harian klien
 Evaluasi cara klien menghardik halusinasi,
bercakap-cakap dengan orang lain,
melakukan aktivitas harian yang biasa
dilakukan dan minum obat secara teratur.
 Latih klien mengendalikan halusinasi dengan
minum obat secara teratur.
 Masukkan cara menghardik halusinasi,
bercakap-cakap dengan orang lain atau
teman di ruangan melakukan aktivitas harian
yang biasa dilakukan di rumah sakit dan
minum obat secara teratur ke dalam jadwal
kegiatan harian klien
BAB V
PEMBAHASAN KASUS

Bab ini akan membahas kesesuaian antara teori dengan pelaksanaan asuhan
keperawatan, berikut pelaksanaannya sesuai tahap-tahap proses keperawatan yang
meliputi : pengkajian, diagnosa, rencana, implementasi dan evaluasi

5.1 Pengkajian
Menurut Maramis & Maramis (2009) skizofrenia merupakan penyakit
yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi,
emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan terganggu. Penyakit ini dapat
timbul karena faktor predisposisi dan presipitasi. Faktor predisposisi terdiri
dari faktor genetik faktor struktur dan fungsi otak faktor neurotransmiter faktor
psikososial. Fakto presipitasi terdiri dari lingkungan dan sikap/perilaku.
Berdasarkan hasil pengkajian klien memiliki ayah yang pernah gagal berumah
tangga dan memiliki satu orang anak yang kemudian menikah dengan ibu klien
dan mendapat dua anak yaitu klien dan adiknya. Klien tinggal bersama kedua
orang tua, abang tiri dan adik kandungnya. Saat ditanya mengenai pengalaman
tidak menyenangkan Klien mengatakan saudara tirinya memukul dirinya dan
menuduh dirinya telah berzina. Klien marah dengan abang tirinya dan
melampiaskan kemarahannya dengan memukul tv lemari dan kaca dengan
menggunakan kayu. Sehigga faktor presipitasi yang menjadi penyebab besar
penyakit yang dialami klien adalah faktor lingkungan (masalah di dalam
rumah). Faktor predisposisi klien tidak dapat diketahui secara pasti.
Menurut Bleuler dalam Maramis (2008) gejala-gejala skizofrenia dapat
dibagi menjadi 2 kelompok gejala positif dan gejala negatif. Hasil pengkajian
klien mengatakan mendengar bisikan. Klien mengatakan tidak ingin mendekati
perempuan didekatnya, namun saat suara itu dating menyuruhnya untuk
mendekati perempuan dan klien mengatakan tidak ingin disuruh suruh suruh
oleh suara bisikan yang muncul. Berdasarkan pengkajian tersebut klien
mengalami gejala positif yang ditandai dengan adanya halusinasi.
Halusinasi adalah distorsi palsu yang terjadi pada respons neurobiologis
maldaptif. Klien sebenarnya mengalami distorsi sensorik sebagai hal yang
nyata dan meresponsnya. Pada halusinasi, tidak ada stimulus eksternal atau
internal yang diidentifikasi (Stuart,Keliat, & Pasaribu, 2016). Perubahan
persepsi sensori: halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa yang
ditandai dengan perubahan persepsi sensori: merasakan sensasi palsu berupa
suara, penglihatan, pengecapan perabaan atau penghiduan. Pasien merasakan
stimulus yang sebenarnya tidak ada (Keliat & Akemat, 2009). Menurut Fitria
(2014) halusinasi pendengaran adalah kondisi dimana klien mendengar suara
atau bunyi yang tidak ada hubungannya dengan stimulus yang nyata atau
lingkungan. Berdasarkan pengkajian klien mengalami halusinasi pendengaran.
Tanda dan gejala yang didapat dari pengajian sesuai dengan tanda dan gejala
berdasarkan teori yaitu klien mengatakan mendengar suara yang menyuruhnya
untuk mendekati perempuan , namu tidak ada wujudnya, klien mengatakan
mendengar suara yang menyuruhnya melakukan suatu hal, klien mengatakan
itu suara laki laki dan datang saat malam hari dengan durasi kurang lebih 5
menit, klien tampak tertawa sendiri.

5.2 Diagnosa Keperawatan


Menurut fitria (2014) pohon masalah perubahan persepsi sensori
halusinasi yaitu cause: isolasi sosial, care problem: perubahan persepsi sensori
halusinasi dan effect: risiko tinggi kekerasan. Hasil pengkajian kelompok juga
menemukan ketiga masalah tersebut pada klien. Sehingga dapat dikatakan
bahwa masalah yang muncul dalam tinjauan khasus sama dengan masalah yang
terdapat dalam tinjauan teoritis. Diagnosa prioritas yang ditemukan klien
adalah perubahan persepsi sensori halusinasi.
5.3 Intervensi Keperawatan
Perencanaan keperawatan harus disusun sesuai kebutuhan klien saat itu
serta berorientasi pada tujuan yang spesifik, hampir semua rencana
keperawatan pada tinjauan teoritis direncanakan kembali pada laporan khasus
Tn. D dengan perubahan persepsi sensori halusinasi pendengaran. Rencana
keperawatan secara teoritis terdapat rencana keperawatan keluarga yang tidak
dilakukan pada laporan khasus karena keluarga jarang memjenguk klien.
Penyusun merencanakan Bagaimana cara membina hubungan saling
percaya, membantu pasien untuk mengenal dan mengidentifikasi halusinasi
yang dialami (baik jenis, frekuensi, waktu, respon dan tindakan klien saat
halusinasinya muncul), mengajarkan kepada pasien cara-cara mengontrol
halusinasi, pasien mengontrol halusinasi (menghardik, cakap cakap dengan
orang lain, melakukan aktivitas terjadwal dan minum obat secara teratur).
Tindakan mengontrol halusinasi dan pentinya minom obat sangat ditekankan
mengingat klien merupakan pasien ulangan.

5.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi dilakukan sesuai dengan rencana tindakan keperawatan
yang telah ditetapkan yang sebelumnya telah disesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan klien, didalam kasus Tn. D implementasi yang dilakukan adalah
melakukan Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) membina hubungan saling percaya,
mengidentifikasi jenis halusinasi klien, mengidentifikasi isi halusinasi klien,
mengidentifikasi waktu halusinasi klien, mengidentifikasi frekuensi halusinasi
klien, mengidentifikasi situasi yang dapat menimbulkan halusinasi pada klien,
mengajarkan klien cara menghardik halusinasi, memasukkan kegiatan
menghardik halusinasi kedalam jadwal kegiatan harian klien. Pada pertemuan
pertama klien dapat berkomunikasi dengan baikd dan dapat membina
hubungan saling percaya antara perawat dan klien. Rasional jika klien sudah
dekat dengan perawat maka latihan untuk mengontrol halusinasinya dapat
dilakukan. Kemudian melanjutkan Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) membina
hubungan saling percaya, mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien, melatih
klien mengendalikan halusinasi dengan cara bercakap-cakap dengan orang
lain, memasukkan cara bercakap-cakap dengan orang lain ke dalam jadwal
kegiatan harian klien. Kemudian melanjutkan Strategi pelaksanaan 3 (SP 3)
membina hubungan saling percaya, mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien,
melatih klien mengendalikan halusinasi dengan cara melakukan aktivitas
harian yang biasa dilakukan, memasukkan cara melakukan aktivitas harian
yang biasa dilakukan dalam jadwal kegiatan harian klien. Terakhir
melaksanakan Strategi Pelaksanaan 4 (SP 4) membina hubungan saling
percaya, mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien, melatih klien
mengendalikan halusinasi dengan cara minum obat secara teratur,
memasukkan cara minum obat secara teratur dalam jadwal kegiatan harian
klien.

5.5 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi merupakan tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan seberapa jauh pengkajian, diagnosa
keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaanya sudah dicapai. Pencapaian
pelaksanaan dilihat dari rencana dan implementasi SP 1 dimana klien dapat
mengidentifikasi jenis, isi waktu frekuensi dan klien dapat mempraktekkan
cara menghardik halusinasi. Strategi Pelaksanaan 2 klien mengerti dan dapat
mempraktekkan cara bercakap-cakap dengan orang lain untuk mengendalikan
halusinasinya. Strategi Pelaksanaan 3 klien dapat mempraktekkan melakukan
aktivitas yang biasa dilakukan di ruangan dengan baik seperti membersihkan
diri, membersihkan tempat tidur, menyapu mengepel ruangan menyiram
tanaman, mendengarkan musik dan berjoget. Strategi pelaksanaan 4 klien
mengatakan mengerti cara minum obat secara teratur untuk mengendalikan
halusinasi, klien mampu menyimpulkan manfaat dan tujuan minum obat secara
teratur dengan baik.
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Setelah dilakukan pengkajian dan asuhan keperawatan pada klien
dengan diagnose keperawatan perubahan persepsi sensori: Halusinasi
pendengaran maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Halusinasi merupakan gangguan penerapan (persepsi) panca indra tanpa
adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem
penginderaan dimana terjadi disaat kesadaran individu itu penuh atau baik.
2. Penyebab munculnya halusinasi antara lain yaitu faktor genetik, struktur
dan fungsi otak, neurotransmiter, psikososial, lingkungan, dan faktor sikap
atau perilaku.
3. Klien dengan perubahan persepsi sensori: halusinasi pendengaran
biasanya cenderung menarik diri dan berisiko tinggi perilaku kekerasan
4. Pada klien yang mengalami halusinasi ada hal-hal yang perlu dikaji antara
lain faktor predisposisi, faktor prepistasi, perilaku dan mekanisme koping,
dimana semua faktor tersebut merupakan dasar dalam pengumpulan data
klien.
5. Diagnosa yang diangkat adalah diagnosa yang bersumber dari klien.
Diagnosa prioritas utama dengan keadaan klien saat ini yaitu perubahan
persepsi sensori halusinasi pendengaran.
6. Intervensi yang harus dilakukan ialah, bina hubungan saling percaya,
dorong dan beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya,
ajak klien membicarakan hal-hal nyata yang ada di lingkungan.
7. Implementasi keperawatan harus dilakukan sesuai dengan intervensi
keperawatan yang dibuat dan implementasi yang telah dilakukan ialah,
memperkenalkan diri pada klien, membina hubungan saling percaya
dengan klien, mendiskusikan dengan klien saaat terjadi halusinasi dan
memberikan perhatian kepada klien saat menceritakan halusinasinya.
8. Evaluasi menggunakan format SOAP dan disusun berdasarkan strategi
pelaksanaan.
6.2 Saran
1. Bagi Institusi Rumah Sakit
Berdasarkan data yang telah tersaji dimakalah ini, maka diharapkan
agar tetap meningkatkan dan mempertahankan pemberian asuhan
keperawatan secara komprehensif (bio, psikososial, dan spiritual) untuk
dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.
2. Bagi keluarga
Keluarga ikut berperan serta dalam upaya pemulihan klien yang
mengalami gangguan jiwa dengan menerima kembali dan tidak
mengucilkan pasien gangguan jiwa, tetapi dapat memperlakukan mereka
tersebut sebagai manusia normal lainnya.
3. Bagi tenaga kesehatan
Diharapkan selalu berkoordiansi dengan tim kesehatan lain, yakni
dokter karena untuk menangani pasien dengan gangguan jiwa terutama
Halusinasi Pendengaran membutuhkan pengobatan medis yang berupa
tindakan farmakologi, sehingga asuhan keperawatan dapat lebih maksimal
dan masalahnya dapat segera teratasi.
DAFTAR PUSTAKA

Aldam, S. F., & Wardani, I. Y. (2019). Efektifitas Penerapan Standar Asuhan


Keperawatan Jiwa Generalitas Pada Pasien SkizoFrenia Dalam
Menurunkan Gejala Halusinasi. Jurnal Keperawatan Jiwa, 165-172.
Bulecheck, G., Butcher, H., Dochterman, J., & Wagner, C. (2013). Nursing
Intervention Classification. United Kingdom: Elsevier.
Damayanti, R., Jumaini, & Utami, S. (2014). Efektivitas Terapi Musik Klasik
Terhadap Penurunan Tingkat Halusinasi Pada Pasien Halusinasi Dengar Di
RSJ Tampan Provinsi Riau. JOM PSIK, 1-9.
Damayanti, R., Jumaini, & Utami, S. (2014). Efektifitas Terapi Musik Klasik
terhadap Penurunan Tingkat Halusinasi pada Pasien Halusinasi Dengar di
RSJ Tampan Provinsi Riau. Jom Psik V, 1(2), 1-9.
Dermawan, D dan Rusdi. (2013). Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan
Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing.
Dermawan, D. (2017). Pengaruh Terapi Psikoreligius: Dzikir pada Pasien
Halusinasi Pendengaran di RSJD dr. Arif Zainudin Surakarta. Media
Publikasi Penelitian, 15(1), 70-74.
Fitria, N. (2014). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba
Medika.
Hastuti, R.Y., & Setianingsih. (2016). Pengaruh Cognitive Behaviour Therapy Pada
Klien Dengan Masalah Keperawatan Perilaku Kekerasan dan Halusinasi di
RSJD DR. RM Soedjarwadi Klaten. Jurnal Keperawatan Jiwa, 4(1), 7-12.
Hawari, D. (2009). Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Jakarta:
FKUI.
Hidayati, W.C., Rochmawati, D.H., & Targunawan. (2014). Pengaruh Terapi
Religius Zikir terhadap Peningkatan Kemampuan Mengontrol Halusinasi
Pendengaran pada Pasien Halusinasi di RSJD Dr. Amino Gondohutomo
Semarang. Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK), 1-9.
Ikawati, Z. (2011). Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat. Yogyakarta: Bursa
Ilmu.
Isaacs, A. (2005). Keperawatan Kesehatan Jiwa Psikiatri, Edisi 3. Jakarta: EGC.
Kaplan, H.I., Sadock, B.J., & Grebb, J.A. (2010). Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Tangerang: BINARUPA AKSARA.
Keliat, B.A & Akemat (2009). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta: EGC.
Keliat, B. A., Akemat, H. C., & Nurhaeni, H. (2012). Keperawatan Kesehatan Jiwa
Komunitas: CMHN (basic course). Jakarta: EGC.
Kemenkes RI. (2013). Riset Keperawatan Dasar. Jakarta : Balitbang Kemenkes RI.
Kusumawati, F. & Hartono, Y. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika
Lumbantobing, S.M. (2007). Anak dengan Mental Terbelakang. Jakarta: FKUI.
Maramis, W.F. (2008). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga
University Press.
Maramis, W.F., & Maramis, A.A. (2009). Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya:
Airlangga.
O’Brien, J.A., & Marakas, G.M. (2013). Management Information Systems.
Sixteenth Edition. New York: McGraw-Hill/Irwin.
Pratiwi, A. (2011). Praktik Keperawatan Jiwa. Surakarta : FIK UMS.
Pratiwi, A., & Sudaryanto, A. (2015). Acceptance of Music Stimulation Therapy
for Auditory Hallucination Patients. Jurnal Injec, 2(1), 97-102.
Puslitbang Depkes. (2007). Gangguan Jiwa. Diperoleh pada tanggal 14 September
2019 dari:http://www.LitbangDepkes.co.id Stuart, G.W. (2002). Buku Saku
Keperawatan Jiwa. Edisi 3. Terjemahan oleh Kapoh, R.P & Koman Yuda
E. 2007. Jakarta : EGC.

Rahmawati, Y. (2014). Asuhan Keperawatan Pada Ny. L dengan Gangguan


Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran Di Ruang Srikandi Di Rumah
Sakit Jiwa Daerah Surakarta. 1-13.
Simanjuntak, Y.P. (2008). Faktor Resiko Terjadi Relaps pada Pasien Skizofrenia
Paranoid. Tesis: USUD.
Sulahyuningsih, E. (2016). Pengalaman Perawat Dalam Mengimplementasikan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan pada Pasien Halusinasi di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Jurnal Keperawatan Jiwa, 1-17.
Stuart, G.W. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 5. Jakarta. EGC.
Stuart, G.W., Keliat, B.A., & Pasaribu, J. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan
Kesehatan Jiwa Stuart. Singapore: Elsevier.
Turkington, Douglas, Latoyah Lebert, Helen Spencer. (2016). Auditory
Hallucinations In Schizophrenia: Helping Patients To Develop Effective
Coping Strategies. Atricle BJPsych Advances (2016), vol. 22, 391–396 doi:
10.1192/apt.bp.115.015214.
Ulrich, G., Houtmans, T., & Gold, C. (2017). The Additional Therapeutic Effect of
Group Music Therapy for Schizophrenic Patients: A Randomized Study.
Journal Compilation, 116(1), 362-370.
Videbeck, S.L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Jiwa (Renata Komalasari & Alfina
Hany, Penerjemah). Jakarta: EGC.
Wahyuni, S. E., Keliat, B. A., Yusron, & Susanti, H. (2011). Penurunan Halusinasi
Pada Klien Jiwa Melalui Cognitive Behavior Theraphy. Jurnal
Keperawatan Indonesia, 185-192.Afnuhazi, R. (2015). Komunikasi
Terapeutik dalam Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing.
WHO. (2009). Improving Health Systems and Services for Mental Health (Mental
Health Policy and Service Guidance Package). Geneva 27. Switzerland :
WHO Press.
Wijayanto, W.T., & Agustina, M. (2017). Efektivitas Terapi Musik Klasik terhadap
Penurunan Tanda dan Gejala pada Pasien Halusinasi Pendengaran. Jurnal
Ilmu Keperawatan Indonesia, 189-196.
Yosep. (2007). Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai