Anda di halaman 1dari 7

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa menurut World Health Organization (WHO) adalah

keadaan sehat emosional, psikologis, dan sosial yang terlihat dari

hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku koping yang efektif,

kondisi yang positif, serta kestabilan emosional. Hal ini berarti kesehatan

jiwa seseorang merupakan kondisi di mana dapat berkembang secara fisik,

spiritual dan sosial (Stuart & Laraia, 2005: dikutip dalam Hidayati, 2011).

Kesehatan jiwa adalah keadaan seseoarang dapat berkembang secara fisik,

mental, spiritual dan sosial sehingga individu tersebut menyadari

kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara

produktif dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya Kondisi

perkembangan yang tidak sesuai pada individu merupakan gangguan jiwa

(Direja, A.H, 2011).


Gangguan jiwa adalah sindrom psikologi yang terjadi pada

individu dan dihungkan dengan adanya distres seperti respon negatif

terhadap stimulus perasaan tertekan, disability (ketidakmampuan) seperti

gangguan pada satu atau beberapa fungsi dan meningkatnya resiko

mengalami penderitaan dan kehilangan kebebasan (Frisch, 2006 dikutip

dalam; Caturini, 2014). Sementara menurut Yosef (2014) mengungkapkan

bahwa gangguan jiwa adalah ketidakmampuan penderitanya tidak mampu

menilai dengan baik kenyataan, tidak dapat menguasai dirinya untuk

mencegah mengganggu orang lain, merusak, dan menyakiti dirinya sendiri

. Dengan demikian lingkup masalah kesehatan jiwa sangatlah kompleks,


2

sehingga perlu penanganan secara komprehensif oleh program kesehatan

jiwa untuk meningkatkan kesejahteraan.


WHO (2009) memperkirakan sekitar 450 juta orang di seluruh

dunia mengalami masalah gangguan kesehatan jiwa, sekitar 10% orang

dewasa mengalami gangguan jiwa saat ini dan 25% penduduk

diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama

hidupnya. Dari data diatas jelas tergambar bahwa penderita gangguan jiwa

di Indonesia sangat banyak, Meskipun gangguan jiwa tidak menyebabkan

kematian secara langsung namun akan menyebabkan penderitanya menjadi

tidak produktif dan bahkan menjadi sangat tergantung pada orang lain.

Sepertiga masalah gangguan jiwa diantaranya terjadi di negara

berkembang (WHO, 2009 dikutip dalam; Rinawati, 2016).


Prevalensi gangguan jiwa berat nasional di Indonesia mencapai 1,7

dari 1000 orang. Prevalensi gangguan jiwa tertinggi di Indonesia terdapat

di provinsi DKI Jakarta (24,3%), Aceh (18,5%), Sumatera Barat (17,7%),

NTB (10,9%), Sumatera Selatan (9,2%) dan jawa tengah (6,8%). (Riset

Kesehatan Dasar (2013).


Salah satu penyakit gangguan jiwa yang terdapat diseluruh dunia

adalah gangguan jiwa berat atau skizofrenia. Skizofrenia adalah gangguan

psikotik yang kronik, pada orang yang mengalaminya tidak dapat menilai

realitas dengan baik dan pemahaman diri buruk (Kaplan dan Sadock, 2005

dikutip dalam; Caturini, 2014). Skizofrenia merupakan penyakit

neurologis yang mempengaruhi persepsi klien, cara berpikir, bahasa,

emosi dan perilaku sosialnya. Secara umum pasien skizofrenia tidak

mampu membedakan antara fantasi dan realita (Wahyuni, dkk 2011).


3

Perilaku maladaptive klien dengan skizoprenia adalah penampilan

buruk, berkurangnya kemampuan untuk bekerja, perilaku streotip, agitasi,

dan negativism. Munculnya pikiran negative pada klien skizoprenia

dikarenakan adanya kesulitan dalam berfikir jernih dan logis, seringkali

sulit konsentrasi sehingga perhatian mudah beralih dan berlanjut membuat

klien menjadi gaduh gelisah (Stuart & Laraia, 2005 dikutip dalam: Hawari,

2009). Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa klien dengan

skizoprenia mengalami perubahan-perubahan pada perasaan, pikiran dan

perilaku menjadi maladaptive.


Ada beberapa tipe dari skizofrenia yang sangat banyak dijumpai di

dunia, terutama Indonesia, salah satunya adalah Tipe Skizofrenia Paranoid.

Pasien dengan gangguan jiwa skizofrenia paranoid memiliki gejala yang

sering ditandai dengan adanya waham kejar (merasa jadi korban atau

dimata-matai), atau waham kebesaran, halusinasi, atau perilaku agresif dan

bermusuhan (Videback, 2008). Salah satu gejala yang paling sering

muncul pada skizofrenia adalah munculnya halusinasi. Sekitar 70%

penderita skizofrenia mengalami halusinasi. Menurut Purwaningsih (2010)

pasien skizofrenia mengalami halusinasi disebabkan karena

ketidakmampuan pasien dalam menghadapi stressor dan ketidakmampuan

dalam mengatasi masalah halusinasi


Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam

membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal

(dunia luar). Pasien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan

tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata (Farida, Kusumawati, 2010).

Halusinasi yang paling banyak diderita adalah halusinasi pendengaran


4

yang mencapai lebih kurang 70%, sedangkan halusinasi penglihatan rata-

rata 20%. Sementara jenis halusinasi yang lain yaitu halusinasi

pengecapan, penghidu, perabaan, kinestetik, dan cenestetik hanya meliputi

10% (Videbeck, 2008).


Halusinasi terjadi karena koping individu tidak efektif, disertai

adanya reaksi emosi berlebihan atau kurang terhadap berbagai stressor

yang menimpanya. Kondisi yang timbul karena kondisi di atas tersebut

adalah klien cenderung akan menarik diri dari lingkungan dan terjadilah

isolasi sosial (Keliat, dkk, 2011). Menurut Hidayah, A. (2015) dampak

yang dapat ditimbulkan oleh klien yang mengalami halusinasi adalah

kehilangan kontrol diri, dimana klien mengalami panik dan perilakunya

dikendalikan oleh halusinasinya. Dalam situasi ini klien dapat melakukan

bunuh diri (suicide), membunuh orang lain (homicide), bahkan merusak

lingkungan.
Peran perawat dalam menangani masalah gangguan persepsi

sensori: halusinasi antara lain, menerapkan standar asuhan keperawatan,

melakukan elakukan terapi aktivitas kelompok (TAK), memberikan terapi

modalitas dan melatih keluarga untuk merawat pasien dengan halusinasi

(Farida, 2010). Standar asuhan keperawatan mencakup bina hubungan

saling percaya dengan komunikasi teraupetik dan penerapan strategi

pelaksanaan. Strategi pelaksanaan pada pasein gangguan persepsi

sensori:halusinasi mencakup kegiatan membantu pasien mengenali

halusinasinya, melatih pasien mengontrol halusinasi dengan menghardik

halusinasi, bercakap-cakap dengan orang lain, melakukan aktivitas yang

terjadwal dan menggunakan obat secara teratur (Wicaksono, M, 2017).


5

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka

penulis tertarik untuk melakukan studi kasus tentang “Asuhan

Keperawatan dengan Masalah Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi

Pendengaran”.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Memaparkan tentang asuhan asuhan keperawatan jiwa pada pasien

dengan masalah Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran

yang berdasarkan pendekatan proses keperawatan yang komprehensif.


2. Tujuan khusus
a. Dapat melakukan pengkajian pada Masalah Gangguan Persepsi

Sensori: Halusinasi Pendengaran


b. Dapat merumuskan dan menyimpulkan diagnosa keperawatan

berdasarkan pada hasil analisis data yang ditemukan dan

menetapkan prioritas masalah


c. Dapat menyusun perencanaan keperawatan yang sesuai dengan

masalah klien baik tindakan mandiri maupun kolaboratif


d. Dapat melaksanakan rencana keperawatan pada prioritas masash
e. Dapat melaksanakan evaluasi keperawatan terhadap tindakan yang

dilakukan pada prioritas masalah.


C. Manfaat
Hasil penulisan karya ilmiah akhir ini dapat dimanfaatkan untuk

kepentingan dalam ruang lingkup keperawatan. Karya ilmiah akhir ini

dapat dipergunakan untuk mahasiswa dan instansi pendidikan

keperawatan.
1. Bagi mahasiswa
Karya ilmiah akhir ini dapat menambah wacana bagi mahasiswa

kesehatan khususnya mahasiswa keperawatan dalam mempelajari konsep

maupun praktik asuhan keperawatan pada klien dengan Gangguan

Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran. Mahasiswa keperawatan

diharapkan mampu mempraktikkan asuhan keperawatan dengan tepat pada


6

klien dengan Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran saat

praktik di lapangan dengan pemahaman yang baik terhadap asuhan

keperawatan tersebut.
2. Bagi Instansi Pendidikan Keperawatan
Informasi dari karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat berguna bagi

instansi pendidikan PSIK FK UNSRI sebagai laporan hasil asuhan

keperawatan mahasiswa Profesi Ners pada klien dengan Gangguan

Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran. Instansi juga dapat

menggunakan karya ilmiah ini sebagai sumber referensi bagi peserta didik,

terutama yang sedang mengikuti mata kuliah keperawatan Jiwa.

D. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriftif dalam bentuk studi kasus

untuk mengekspolarasi masalah dan mengetahui asuhan keperawatan pada

Tn. D, Tn. A, Tn. H dengan gangguan persepsi sensori: Halusinasi

pendengaran di Ruang Merpati RS dr. Ernaldi Bahar Palembang.

Pendekatan yang digunakan adalah asuhan keperawatan yang meliputi

pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan

evaluasi. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 18 September – 10 Oktober

2017, di Ruang Merpati RS dr. Ernaldi Bahar Palembang. Penulis

mendapat data-data pasien menggunakan metode wawancara, observasi,

studi dokumentasi, dan studi kepustakaan. Instrumen penelitian yang

digunakan pada wawancara yaitu peneliti sendiri dengan alat bantu

pedoman pengkajian dan Strategi Pelaksanaan (SP). Sedangkan instrumen

yang lain dengan menggunakan tensimeter, termometer dan timbangan.


7

Anda mungkin juga menyukai