Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Potensi sumber daya alam yang banyak dikembangkan di Indonesia yaitu
sektor pertanian dan sektor peternakan. Kedua sektor tersebut merupakan
pemasok bahan pangan utama baik untuk kebutuhan kebutuhan industri maupun
kebutuhan rumah tangga. Namun terdapat kendala yang dihadapi masyarakat,
menurut Kusnadi (2008) sampai saat ini masih banyak lahan sawah dan lahan
kering yang belum dimanfaatkan secara optimal. Petani Indonesia rata-rata hanya
menguasai 0,98 ha lahan. Lahan tersebut terdiri atas lahan sawah dan lahan
kering. Lahan kering petani peternak hanya memiliki fasilitas padang rumput
0,94% untuk rata-rata Indonesia. Jika sisa padang rumput dan lahan kering
digunakan untuk peternakan, maka rata-rata usaha tani di Indonesia hanya mampu
memelihara 0,5 satuan ternak/tahun (satu satuan ternak membutuhkan 14 ton
hijauan segar per tahun). Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi
permasalahan tersebut yaitu dengan menerapkan sistem pertanian terpadu.
Sistem pertanian terpadu merupakan suatu sistem pertanian dimana pada
sistem ini selain kegiatan pertanian juga digabungkan dengan kegiatan peternakan
maupun kegiatan lain yang berhubungan dengan pertanian dalam satu lahan.
Penggabungan kegiatan ini dilakukan dengan harapan sebagai salah satu solusi
untuk meningkatkan produktivitas lahan serta agar proses pemanfaatannya dapat
terjadi secara efektif dan efisien. Hal inilah yang mendasari banyaknya pertanian
yang menerapkan sistem pertanian terpadu dengan menggabungkan kegiatan
pertanian dengan kegiatan peternakan.
Untuk mengetahui sistem pertanian terpadu lebih lanjut perlu adanya suatu
upaya, dimana salah satunya dengan mengetahui usaha tani campuran (Mixed
Farming Systems), sistem produksi tanaman – ternak (Crops-livestock production
systems), model pertanian tekno-ekologis (di Ekosistem Lahan Sawah), dan
model pertanian tekno-ekologis (di Ekosistem Lahan Perkebunan-Ternak) yang
bisa diketahui langsung dari pelaku usaha pertanian tersebut. Dimana untuk
pelaku usaha tani campuran (Mixed Farming Systems) adalah Ibu Junik Ati,
sedangkan pelaku untuk model pertanian Sistem Produksi Tanaman-Ternak
(Crops- Livestock Production System) adalah Ibu Makliatin dan Bapak Warjono,
model pertanian tekno-ekologis (di Ekosistem Lahan Sawah) adalah Bapak Hari
Selamet dan model pertanian tekno-ekologis (di Ekosistem Lahan Perkebunan-
Ternak) adalah Ibu Junik Ati. Ketiga pelaku usaha model pertanian tersebut
berlokasi di desa Petung Sewu, Kecamatan Dau, Malang. Dari keadaan diatas
perlu adanya analisis dari usaha pertanian milik ketiga narasumber untuk
mengetahui sistem pertanian terpadu lebih lanjut.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana analisis usaha dan model pertanian dari sistem usaha tani
campuran ?
2. Bagaimana analisis usaha dan model dari sistem produksi tanaman –
ternak?
3. Bagaimana analisis usaha dan model dari sistem pertanian tekno-ekologis
(di Ekosistem Lahan Sawah) ?
4. Bagaimana analisis usaha dan model dari sitem pertanian tekno-ekologis
(di Ekosistem Lahan Perkebunan-Ternak) ?

1.3 Tujuan
1. Menjelaskan analisa tentang model sistem usaha tani campuran.
2. Menjelaskan analisa tentang model sistem usaha produksi tanaman –
ternak .
3. Menjelaskan analisa tentang model sistem usaha pertanian tekno-
ekologis (di Ekosistem Lahan Sawah).
4. Menjelaskan analisa tentang model model sistem pertanian tekno-
ekologis (di Ekosistem Lahan Perkebunan-Ternak).

1.4 Manfaat
Melalui makalah ini diharapkan pembaca lebih memahami tentang sistem
pertanian terpadu sehingga dapat menambah wawasan serta pengetahuan dan
dapat menganalisis usaha pertanian yang diintegrasikan dengan ternak.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mix Farming System

Seiring dengan pemenuhan gizi dan laju pertumbuhan masyarakat


permintaan bahan pangan akan semakin meningkat namun produktivitas dan
kepemilikan lahan oleh petani semakin menurun. Salah satu solusi permasalahan
lahan pertanian tersebut adalah dengan menggunakan pola tanam tumpang sari.
Sistem tanam tumpangsari adalah salah satu sistem tanam dimana terdapat dua
atau lebih jenis tanaman yang berbeda ditanam secara bersamaan dalam waktu
relatif sama.( Putra , 2017).
Tanaman tumpang sari terjadi peningkatan pemanfaatan lahan sehingga
lebih efisien dibandingkan dengan pola tanam monokultur. Salah satu contoh
sistem tumpang sari dengan pola annual adalah kombinasi tanaman jagung dan
kacang tanah. Kacang tanah dan jagung merupakan dua komoditas yang biasa
ditanam petani secara tumpang sari. Jagung dan kacang tanah sangat cocok untuk
ditanam secara tumpangsari karena kacang tanah merupakan golongan tanaman
C4, dan jagung tergolong tanaman C8. Daun jagung memunyai laju fotosintesis
lebih tinggi dibandingkan kacang tanah, fotorespirasi dan transpirasi tanaman
jagung rendah, serta tanaman jagung efisien dalam penggunaan air, sedangkan
kacang tanah merupakan tanaman leguminosa ang mempunyai sifat dapat
memperbaiki kesuburan tanah karena adanya kerjasama akar tersebut dengan
Rhizobium sp. (Wayuni,2017).

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa hasil total tanaman tumpang sari


umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan pola monokultur, namun hasil
individu tanaman menurun. Menurunnya hasil tanaman yang dikombinasikan
tersebut terutama karena adanya kompetisi diantara bagian tanaman. Ketika dua
atau lebih jenis tanaman tumbuh bersamaan masing-masing tanaman harus
memiliki ruang yang cukup untuk memaksimumkan kerjasama dan
meminimumkan kompetisi. Kompetisi yang dimaksud dalam hal mendapatkan
radiasi matahari, air dan nutrisi yang akan berpengaruh pada pertumbuhan
maupun hasil. Dengan demikian dalam tumpangsari perlu dipertimbangkan
berbagai hal seperti pengaturan jarak tanam, populasi tanaman, umur panen tiap-
tiap tanaman, dan bentuk arsitektur tanaman (Lorina,2015)

Sistem tanam tumpangsari mempunyai banyak keuntungan yang tidak


dimiliki pada pola tanam monokultur. Beberapa keuntungan pada pola
tumpangsari antara lain: populasi tanaman dapat diatur sesuai yang dikehendaki,
dalam satu areal diperoleh produksi lebih dari satu komoditas, dan kombinasi
beberapa jenis tanaman dapat menekan serangan hama, penyakit serta
mempertahankan kelestarian sumber daya lahan seperti kesuburan tanah,

3
perawatan yang mudah, meminimalkan risiko kegagalan panen, penghematan
dalam penggunaan fasilitas produksi dan mampu meningkatkan efisiensi
penggunaan lahan, tenaga kerja, maupun penyerapan sinar matahari (Swan,2014).

Meskipun ada beberapa manfaat untuk sistem pertanian campuran,


mungkin juga ada kerugian dalam beberapa situasi, termasuk kendala salah
satunya adalah bahwa sistem ini dapat menjadi rumit untuk dioperasikan dan
dikelola, persaingan dalam menyerap unsur hara, pemilihan komoditas yang
cocok untuk ditanam berdampingan, dan memerlukan tambahan biaya dan
perlakuan karena penanaman lebih dari satu tanaman. Pada pola tanam
tumpangsari sebaiknya dipilih dan dikombinasikan antara tanaman yang
mempunyai perakaran relatif dalam dan tanaman yang mempunyai perakaran
relatif dangkal (Thornton,2015).

2.2 Sistem Produksi Tanaman Ternak (Crops-livestock production systems)


Sistem integrasi tanaman-ternak adalah suatu sistem pertanian yang
dicirikan oleh keterikatan yang erat antara komponen tanaman dan ternak dalam
suatu wilayah. Keterkaitan tersebut merupakan suatu faktor pemicu dalam
mendorong pertumbuhan pendapatan masyarakat tani dan pertumbuhan ekonomi
wilayah dengan cara yang berkelanjutan (Winarso, 2013).

Sistem produksi tanaman-ternak adalah suatu sistem pertanian yang


dicirikan oleh keterkaitan yang erat antara komponen tanaman dan ternak dalam
suatu kegiatan usaha tani untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Integrasi
tanaman dengan ternak ini merupakan bagian dari sistem usahatani yang terdiri
atas beberapa subsistem, seperti subsistem rumah tangga petani, lahan, tanaman,
ternak dan lain-lain. Subsistem ini terintegrasi dan saling tergantung satu sama
lain. Sistem integrasi ini dijalankan dalam upaya menopang perekonomian petani
kecil di pedesaan (Siswati, 2010).

Crop-Livestock (CLS) diperkirakan merupakan solusi jangka panjang


untuk dikembangkan di lahan kering yang padat penduduk dan terancam erosi,
dengan kunci menemukan pakan ternak dari beragam limbah pertanian dan
sumberdaya tanaman tahunan, tentunya bukan untuk mengganti pakan
konvensional, melainkan untuk memperkuat ketahanan pangan dalam ekosistem
lahan kering (Hilimire, 2011).

Pola integrasi tanaman-ternak sapi mempunyai banyak keuntungan yaitu


terseianya sumber pakan, menekan biaya pengendalian gulma, meningkatkan
kesuburan tanah, meningkatkan hasil tanaman utama dan membagi risiko
kerugian, keuntungan tersebut dapat meningkatkan produktivitas lahan sehingga
memberikan keuntungan lebih besar bagi petani-peternak (Saerang, 2011).

4
Disamping keuntungan ada juga kerugiannya. Pada umumnya, kerugian
yang dihadapi petani yang menerapkan sistem usahatani tanaman-ternak adalah
berkurangnya alokasi waktu untuk ternak sebagai akibat dari semakin intensifnya
pengelolaan tanaman pangan, sehingga kualitas pemeliharaan ternak berkurang.
Dalam tahap lebih lanjut, petani memandang ternak hanya sekedar tabungan,
bukan aset produksi. (Prawiradiptra, 2009)

2.3 Model Pertanian Tekno-Ekologis (di Ekosistem Lahan Sawah)


Upaya peningkatan produksi tanaman pangan dihadapkan pada berbagai
kendala dan masalah, antara lain kekeringan dan banjir. Salah satu upaya
peningkatan produktivitas tanaman padi adalah dengan mencukupkan kebutuhan
haranya. Pemupukan bertujuan untuk menambah unsur hara yang dibutuhkan oleh
tanaman sebab unsur hara yang terdapat di dalam tanah tidak selalu mencukupi
untuk memacu pertumbuhan tanaman secara optimal. Pupuk organik sangat
penting artinya sebagai penyangga sifat fisik, kimia, dan biologi tanah sehingga
dapat meningkatkan efisiensi pupuk dan produktivitas lahan. Penggunaan pupuk
organik padat dan cair pada sistem pertanian organik sangat dianjurkan. Sejumlah
penelitian menunjukkan bahwa pemakaian pupuk organik juga dapat memberi
pertumbuhan dan hasil tanaman yang baik. Menemukan pengaruh yang sama
antara perlakuan pemupukan urea 100% dibandingkan dengan penggunaan 100%
nitrogen yang berasal dari azola pada tanaman padi. Penggunaan pupuk organik
10 ton/ha dan pupuk anorganik (200kg Urea/ha + 100kg SP-36/ha + 100kg
KCl/ha) mampu meningkatkan efektivitas agronomi jika dibandingkan hanya
menggunakan pupuk anorganik.( Supartha dkk., 2012).

Sistem tanam padi yang biasa diterapkan petani adalah sistem tanam tegel
dengan jarak 20 X 20 cm atau lebih rapat lagi. Namun, saat ini telah
dikembangkan sistem penanaman yang baru yaitu sistem jajar legowo. Jajar
legowo merupakan perubahan teknologi jarak tanam padi yang dikembangkan
dari sistem tanam tegel yang telah berkembang di masyarakat. Istilah legowo
diambil dari Bahasa Jawa, Banyumas, terdiri atas kata lego dan dowo; lego berarti
luas dan dowo berarti memanjang. Prinsip dari sistem tanam jajar legowo adalah
pemberian kondisi pada setiap barisan tanam padi untuk mengalami pengaruh
sebagai tanaman pinggir. Secara umum, tanaman pinggir menunjukkan hasil lebih
tinggi daripada tanaman yang ada di bagian dalam barisan. Tanaman pinggir juga
menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik karena persaingan tanaman antar
barisan dapat dikurangi. Penerapan cara tanam sistem legowo memiliki beberapa
kelebihan yaitu, sinar matahari dapat dimanfaatkan lebih banyak untuk proses
fotosintesis, pemupukan, dan pengendalian organisme pengganggu tanaman
menjadi lebih mudah dilakukan di dalam lorong-lorong. Selain itu, cara tanam
padi sistem legowo juga meningkatkan populasi tanaman. ( Anggraeni dkk.,
2013).

5
Metode emergy diterapkan untuk mengevaluasi empat sistem pertanian di
daerah Weishan yaitu perkebunan jagung, pemeliharaan bebek, dan budidaya
jamur umum dan budidaya ikan tambak semi-alami ekstensif, untuk menjelaskan
pada manfaat potensial dari penggunaan dan saran sumber daya yang efektif di
masa depan strategi pengembangan yang tepat berkaitan dengan keberlanjutan
diversifikasi pertanian. Selain itu, indikator ekonomi tradisional juga disajikan
untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang ekonomi kinerja dari empat
sistem pertanian. Oleh karena itu, tujuan dari makalah ini adalah: (1) untuk
membandingkan produksi pertanian yang berbeda sistem di wilayah Weishan
berkaitan dengan penggunaan sumber daya mereka, produktivitas, dampak
lingkungan, serta kinerja ekonomi; (2) untuk memahami faktor-faktor yang sangat
mempengaruhi lokal pilihan petani terkait dengan diversifikasi pertanian; (3)
untuk memeriksa implikasi kebijakan untuk mencapai pertanian yang sukses
pengembangan diversifikasi. (Zhang et al., 2012).

Konsep sistem padi terintegrasi bidang perikanan dan peternakan


merupakan konsep yang mengoptimalkan fungsi ekosistem lahan dalam upaya
perbaikan kualitas tanah dan penganggulangan OPT tanpa menggunakan bahan
kimia. (Aryanti dkk., 2014).

Inovasi teknologi yang diintroduksikan berorientasi untuk menghasilkan


produk pertanian organik dengan pendekatan ”pertanian tekno ekologis”.
Kegiatan integrasi yang dilaksanakan juga berorientasi pada usaha pertanian tanpa
limbah (zero waste) dan menghasilkan 4 F (food, feed, fertilizer, dan fuel).
(Anugrah dkk., 2014)

2.4. Model Pertanian Tekno-Ekologis (Di Ekosistem Lahan Perkebunan-


Ternak)
Pertanian model tekno-ekologis merupakan model pertanian yang
dikembangkan dengan memadukan model pertanian ekologis dengan pertanian
berteknologi maju yang selaras dengan kondisi alam atau ekosistem setempat.
Selain menjadi sumber pendapatan keluarga, pola ini dipandang dapat
memberikan berbagai dampak pada program pengembangan usaha lainnya yang
lebih luas. (Anugrah, I.S., dkk. 2014)
Jika penerapannya didukung oleh aplikasi teknologis yang bersifat
adaptasi dan mitigasi secara terencana dan terarah, model pertanian tekno-
ekologis dapat membantu petani dalam menyikapi fenomena global perubahan
iklim yang semakin ekstrem. Penambahan fasilitas peternakan dalam perancangan
Kebun Percobaan Sindang Barang dilakukan untuk mewujudkan konsep pertanian
tekno-ekologis. Pertanian tekno-ekologis merupakan perpaduan antara pertanian
berbasis ekologis dan pertanian berbasis teknologi. (Fahrudin, F.M. dan Akhmad,
A.H. 2013)

6
Penyusunan tekno-ekologis yang sistematis dimulai dengan gambaran
situasi iklim yang semakin memprihatinkan akibat pemanasan global yang di
akibatkan oleh tangan manusia. Maka dari itu model pertanian tekno-ekologi
bertujuan membentuk pertanian yang lebih produktif, efisien, dan berkualitas
dengan risiko yang lebih kecil sekaligus ramah lingkungan. (Fatemi, M. And
Kurosh, R.M. 2019)
Ada beberapa penerapan model pertanian tekno-ekologis yang bisa
diterapkan di Indonesia, yaitu model pertanian tekno-ekologis di lahan kering
beriklim kering, tekno-ekologis di ekosistem kawasan sawah, tekno-ekologis di
ekosistem kawasan urban, tekno-ekologis di sistem pantai, tekno-ekologis di
sitem perkebunan. Model pertanian ini semakin relevan ketika pembangunan
pertanian dihadapkan pada persoalan besar, yakni adanya perubahan iklim yang
radikal akibat kerusakan lingkungan dan luas lahan garapan petani yang makin
sempit sebagai efek pertumbuhan penduduk dan konversi tahan pertanian. (Fortes,
P. And Sara, P. 2018)
Model pertanian ini semakin relevan ketika dilakukan inovasi dan studi
kasus aplikasinya, misalnya pemanfaatan perkebunan sebagai sumber pakan
murah. Selain itu, diharapkan setiap pelaku pertanian dan semua lapisan
masyarakat memiliki kesadaran akan pentinganya menjaga kelestarian alam
secara ramah melalui pendekatan sistem tekno-ekologis. Pasalnya, disinyalir
kegiatan pertanian dituding berkontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah
kaca. (Mayulu, H., dkk. 2010)

7
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Mix Farming System

3.1.1 Profil Responden

Pada praktikum ini dilakukan observasi kepada petani yang


menerapkan usaha pertanian campuran. Usaha tani campuran yang kami
gunakan sebagai responden yaitu usaha Ibu Junik Ati sebagai pemilik lahan.
Selain bertani Ibu Junik memiliki ternak sapi potong, dengan demikian
pekerjaan utamanya adalah petani dan peternak. Ibu Junik berumur 50 tahun
dengan pendididkan terakhir Sekolah Dasar yang beralamatkan di Desa
Petung Sewu RT/RW 08/02 Kecamatan Dau. Lahan tani campuran yang
beliau punya ditanami dengan komoditi jagung dan kacang tanah dengan luas
lahan 300 m2

3.1.2 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan hasil survey pada responden menunjukkan bahwa


mixed farming system merupakan usaha tani yang dilakukan lebi dari satu
jenis komoditas pada waktu yang bersamaan. Usaha ini dilakukan sebagai
solusi pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat dimana semakin sedikitnya
lahan pertanian. Hal ini sebanding dengan (Putra,2017) yang menyatakan
bahwa Sistem tanam tumpangsari adalah salah satu system tanam dimana
terdapat dua atau lebih jenis tanaman yang berbeda ditanam secara bersamaan
dalam waktu relatif sama.

Berdasarkan hasil survey pada responden menunjukkan bahwa


mixed farming system bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan lahan
sehingga lahan yang ditanami dapat dimaksimalkan. Seperti pada contoh
jagung dan kacang tanah dimana jagung memiliki laju fotosintesis tinggi,
fotorespirasi dan transpirasi rendah dan efisien dalam penggunaan air,,
sedangkan kacang dapat memperbaiki kesuburan tanah karena adanya
kerjasama akar dengan Rhizobium sp. Hal ini sebanding dengan
(Wahyuni,2017) yang menyatakan bahwa Tanam tumpangsari terjadi
peningkatan pemanfaatan lahan sehingga lebih efisien dibandingkan dengan
pola tanam monokultur

Berdasarkan hasil survey menunjukkan bahwa tanaman yang


ditanam dengan system mixed farming harus memiliki jarak yang cukup
untuk berkembang. Jarak tanam yang optimum akan memberikan
pertumbuhan bagian atas tanaman dengan baik sehingga dapat memanfaatkan
lebih banyak cahaya matahari dan pertumbuhan bagian akar sehingga dapat

8
memanfaatkan lebih banyak unsur hara. Sebaliknya, jarak tanam yang terlalu
rapat akan mengakibatkan kompetisi antar tanaman dalam hal memperoleh
cahaya matahari, air dan unsur hara . Akibatnya, pertumbuhan tanaman
terhambat dan hasil rendah. Hal ini sebanding dengan (Lorina 2015) yang
menyatakan bahwa Ketika dua atau lebih jenis tanaman tumbuh bersamaan
masing-masing tanaman harus memiliki ruang yang cukup untuk
memaksimumkan kerjasama dan meminimumkan kompetisi.

Berdasarkan hasil survey menunjukkan bahwa sistem tanaman


tumpang sari memiliki banyak manfaat yang dapat diperolehh seperti
tanaman dapat diatur dan memproduksi lebih dari satu komoditas sehingga
meminimalkan resiko kegagalan panen, efisiensi tenaga kerja, peggunaan
lahan dan fasilitas produksi. Hal ini sesuai dengan (Swan,2014) bahwa
keuntungan pada pola tumpangsari antara lain: populasi tanaman dapat diatur
sesuai yang dikehendaki, dalam satu areal diperoleh produksi lebih dari satu
komoditas, dan kombinasi beberapa jenis tanaman dapat menekan serangan
hama, penyakit serta mempertahankan kelestarian sumber daya lahan seperti
kesuburan tanah, perawatan yang mudah, meminimalkan risiko kegagalan
panen, penghematan dalam penggunaan fasilitas produksi dan mampu
meningkatkan efisiensi penggunaan lahan, tenaga kerja, maupun penyerapan
sinar matahari

Berdasarkan hasil survey menunjukkan bahwa pemilihan tanaman,


waktu tanam, jarak tanam, cara pengelolaan dan biaya harus di perkirakan
sehingga mempermudah dalam manajemennya. Hal ini sebanding dengan
(Thornton.2015) yang menyatakan bahwa Meskipun ada beberapa manfaat
untuk sistem pertanian campuran, mungkin juga ada kerugian dalam beberapa
situasi, termasuk kendala salah satunya adalah bahwa sistem ini dapat
menjadi rumit untuk dioperasikan dan dikelola, persaingan dalam menyerap
unsur hara, pemilihan komoditas yang cocok untuk ditanam berdampingan,
dan memerlukan tambahan biaya dan perlakuan karena penanaman lebih dari
satu tanaman. Pada pola tanam tumpangsari sebaiknya dipilih dan
dikombinasikan antara tanaman yang mempunyai perakaran relatif dalam dan
tanaman yang mempunyai perakaran relatif dangkal

Gambar 1. Mix Farming System milik Ibu Junik Ati

9
3.1.3 Analisis Usaha

Tabel 1. Biaya Pengeluaran Pertanian

NO NAMA HARGA KUANTITA JUMLAH PEMBELIA


KOMODI SATUAN S HARGA N DALAM 1
TAS PEMBELIAN PEMBELIA TAHUN
(Rp) N (Rp) (Rp)
1 Jagung 65.000/karung 1 karung Rp. 65.000 Rp. 130.000
(5 kg)
2 Kacang 10.000/plastik 1 plastik (500 Rp. 10.000 Rp. 40.000
Tanah grm)
3 Urea 2000/kg 45 kg Rp. 90.000 Rp. 180.000
4 Mutiara500.000/Karun 1 karung (50 Rp. 500.000 Rp. 500.000
g kg)
TOTAL MODAL (Rp) Rp. 665.000 Rp. 850.000

Tabel 2. Biaya Pendapatan Pertanian

NO NAMA JUMLAH HARGA JUMLAH PENJUALAN


KOMODITAS PANEN SATUAN (Rp) DALAM 1
(Rp) TAHUN (Rp)
1 Jagung 100 kg 5000/kg Rp.500.000 Rp. 2.000.000
2 Kacang Tanah 30 kg 7.000/kg Rp.210.000 Rp. 840.000

TOTAL PENJUALAN (Rp) Rp. 710.000 Rp. 2.840.000

Keuntungan dalam 1 Tahun = Total Penjualan dalam 1 Tahun – Total


Pengeluaran dalam 1 Tahun

Kesimpulan :

Rp. 2.840.000- Rp. 850.000= Rp. 2.010.000

Jadi, dengan biaya pengeluaran sebesar Rp. 2.840.000 dan pendapatan


sebesar Rp. 850.000 diperoleh laba sebesar Rp. 2.010.000

3.2 Sistem Produksi Tanaman –Ternak


3.2.1 Profi Responden
Hasil dari pengamatan dan wawancara yang dilakukan dalam waktu
observasi pada sistem produksi tanaman-ternak yaitu Responden bernama

10
Mak Liatin, alamat dari Mak Liatin terletak di Desa Petung Sewu RT/RW
006/002 Kecamatan Dau. Mak Liatin memiliki lahan seluas 900 m² yang
berada kurang lebih 4 kilo meter dari rumahnya tepatnya di dekat peewek.
Dalam lahan tersebut terdapat tanaman Rumput gajah dan Tanaman jagung
yang ditanam secara berdampingan dalam satu lahan tersebut. Mak Liatin
juga memelihara 6 ekor sapi perah, dimana kandangnya terletak di belakang
rumahnya.

3.2.2 Pembahasan

Diketahui bahwa Mak Liatin menerapkan usaha pertanian sistem


produksi tanaman-ternak. Sistem produksi tanaman-ternak merupakan sistem
pertanian yang mempunyai keterkaitan yang erat dan integrasi antara tanaman
dan ternak yang menunjang eknomi tani. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Winarso dan Basuno (2013) yang menyatakan bahwa sistem integrasi
tanaman-ternak adalah suatu sistem pertanian yang dicirikan oleh keterikatan
yang erat antara komponen tanaman dan ternak dalam suatu wilayah.
Keterkaitan tersebut merupakan suatu faktor pemicu dalam mendorong
pertumbuhan pendapatan masyarakat tani dan pertumbuhan ekonomi wilayah
dengan cara yang berkelanjutan.

Integrasi tanaman dengan ternak memiliki subsistem diantaranya


adalah petani, tanaman yang ditanam, lahan yang digunakan untuk menanam,
ternak yang dipelihara, dll, dimana semuanya itu memiliki keterkaitan yang
erat. Pada pertanian Mak Liatin, tanaman yang ditanam sebagian besar
diantaranya digunakan untuk memberi pakan sapi yang dimiliki. Sehingga
dengan begitu akan meminimalisir pengeluaran dan akan mendorong
pertumbuhan ekonomi. Hal ini sesuai dengan pendapat (Siswati, 2010) bahwa
Sistem produksi tanaman-ternak adalah suatu sistem pertanian yang dicirikan
oleh keterkaitan yang erat antara komponen tanaman dan ternak dalam suatu
kegiatan usaha tani untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Integrasi
tanaman dengan ternak ini merupakan bagian dari sistem usahatani yang
terdiri atas beberapa subsistem, seperti subsistem rumah tangga petani, lahan,
tanaman, ternak dan lain-lain. Subsistem ini terintegrasi dan saling tergantung
satu sama lain. Sistem integrasi ini dijalankan dalam upaya menopang
perekonomian petani kecil di pedesaan

Keberhasilan sebuah pertanian juga ditentukan dari pemilik lahan itu


sendiri. Ada banyak inofasi yang dapat menjadikan keberhasilan pertanian hal
ini didukung oleh (Hilimire, 2011) Crop-Livestock (CLS) diperkirakan
merupakan solusi jangka panjang untuk dikembangkan di lahan kering yang

11
padat penduduk dan terancam erosi, dengan kunci menemukan pakan ternak
dari beragam limbah pertanian dan sumberdaya tanaman tahunan, tentunya
bukan untuk mengganti pakan konvensional, melainkan untuk memperkuat
ketahanan pangan dalam ekosistem lahan kering.

Mengenai integrasi tanaman dengan ternak, memiliki banyak


keuntungan yaitu diversifikasi penggunaan sumberdaya produksi,
mengurangi terjadinya risiko yang merugikan, efisiensi penggunaan tenaga
kerja, efisiensi penggunaan komponen produksi, mengurangi ketergantungan
energi kimia dan energi biologi serta masukan sumberdaya lainnya dari luar,
sistem ekologi lebih lestari dan tidak menimbulkan polusi sehingga
melindungi lingkungan hidup, meningkatkan output, dan mengembangkan
rumah tangga petani yang lebih stabil. Selain itu, ada juga keuntungan yang
diperoleh dari ternak yang relatif baru diterapkan di Indonesia, yaitu
dihasilkannya biogas untuk keperluan masyarakat sehari-hari. Dengan
teknologi tertentu, ternak yang dipelihara (khususnya sapi) dapat
menghasilkan biogas hal ini diperkuat oleh pernyataan (Saerang, 2011) yang
menyatakan Pola integrasi tanaman-ternak sapi mempunyai banyak
keuntungan yaitu terseianya sumber pakan, menekan biaya pengendalian
gulma, meningkatkan kesuburan tanah, meningkatkan hasil tanaman utama
dan membagi risiko kerugian, keuntungan tersebut dapat meningkatkan
produktivitas lahan sehingga memberikan keuntungan lebih besar bagi petani-
peternak
Dalam pemberian pakan terhadap ternak, Mak Liatin memanfaatkan
tanaman dalam lahannya sendiri sehingga dapat meminimalisir pengeluaran
yang digunakan untuk pembelian pakan. Namun hal tersebut juga
menyebabkan berkurangnya kualitas pemeliharaan ternak, karena sebagian
besar waktu yang dihabiskan untuk mengurusi lahan pertanian milik Mak
Liatin. Hal ini sesuai dengan pendapat (Prawiradiptra, 2009) bahwa
Disamping keuntungan ada juga kerugiannya. Pada umumnya, kerugian yang
dihadapi petani yang menerapkan sistem usahatani tanaman-ternak adalah
berkurangnya alokasi waktu untuk ternak sebagai akibat dari semakin
intensifnya pengelolaan tanaman pangan, sehingga kualitas pemeliharaan
ternak berkurang. Dalam tahap lebih lanjut, petani memandang ternak hanya
sekedar tabungan, bukan aset produksi.

Gambar 2. Sistem Produksi Tanaman - Ternak milik Mak Liatin

12
3.2.3 Analisis Usaha

Tabel 3. Biaya Pengeluaran Pertanian/Perkebunan

No Nama Harga Satuan Kuantitas Jumlah Harga Pembelian


Komoditas Pembelian Pembelian Dalam 1
(Rp) (Rp) Tahun (Rp)

1 Rumput Gajah 55.000 3 ikat 165.000 165.000

2 Jagung 73.000 2kg 146.000 438.000

4 Urea 93.000 1 sak 93.000 279.000

TOTAL MODAL (Rp) 882.000

Tabel 4. Penjualan Komoditas Pertanian

No Nama Komoditas Jumlah Harga Jumlah Penjualan


Panen Satuan (Rp) Dalam 1
(Rp) Tahun (Rp)

1 Rumput Gajah 400 kg 4500/kg 1.800.000 10.800.000

2 Jagung 1 ton 5000/kg 5.000.000 15.000.000

Total Penjualan (Rp) 6.800.000 25.800.000

Keuntungan Dalam 1 Tahun = Total Penjualan Dalam 1 Tahun – Total Modal


Dalam 1 Tahun

=25.800.000 - 6.800.000= Rp.19.000.000

Kesimpulan :

Jadi, dengan biaya pengeluaran Rp.882.000 dan pemasukan Rp.108.000.300


di dapatkan laba sebesar Rp.19.000.000

13
Tabel 5. Biaya Pengeluaran Pengeluaran Peternakan Sapi Perah

No Nama Komoditas Harga Beli Kuantitas Jumlah

1 Sapi Perah 15.000.000 6 Rp.90.000.000

Total Modal Rp.90.000.000

Tabel 6. Penjualan Peternakan Sapi Perah

No Nama Komoditas Harga Jual Kuantitas Jumlah Harga


Penjualan

1 Sapi Perah 18.000.000 3 Rp. 54.000.000

2 Susu Sapi Rp.5900/lt 47lt/hari Rp.227.300/hari

Total Penjualan Rp.54.227.300

Keuntungan 1 tahun = Total Penjualan – Total Pengeluaran

Rp. 54.227.300-Rp.90.000.000 = Rp -35.722.700

Kesimpulan :

Jadi, dengan biaya pengeluaran Rp.90.000.000 dan pemasukan Rp.


54.227.300 di dapatkan rugi sebesar Rp. -35.722.700

3.3 Model Pertanian Tekno-Ekologis (di Ekosistem Lahan Sawah)

3.3.1 Profil Responden

Fieldtrip materi ketiga dilakukan pada lahan pertanian milik Bapak


Hari Slamet (0822142044779) yang berlokasi di Jalan Saman Tegalweru,
Dawu, Malang. Di umur 50 tahun-nya, Pak Hari Slamet memiliki lahan
pertanian seluas 1500 m² dan memiliki hewan ternak berupa 2 ekor sapi dan
10 ekor domba. Pak Hari Slamet bekerja sebagai perangkat desa sehari-
harinya di Dawu, Malang selain mengelola pertaniannya dan peternakannya.
Pada lahan pertaniannya, Pak Hari Slamet hanya menanam padi saja.

14
Gambar 3. Lahan Pertanian Tekno-Ekologis milik Bapak Hari Slamet

3.3.2 Hasil Survei

Berdasarkan hasil fieltrip di ketahui bahwa anjuran penggunaan 1


kuintal setengah pupuk ponka set A yang digunakan untuk padi sawah mulai
digalakkan sejak 5 tahun terakhir, terutama untuk merespons isu kerusakan
mutu lahan sawah. Rendahnya kandungan bahan organik tanah yang
melaporkan bahwa 73% lahan pertanian di Indonesia memiliki kandungan
bahan organik rendah (kurang dari 2%), 23% memiliki kandungan bahan
organik sedang, dan hanya 4% yang kandungan bahan organiknya tinggi
(lebih 4%). Kompilasi dari berbagai laporan penelitian juga menunjukkan 17
lokasi sawah di Jawa memiliki kandungan bahan organik rendah. Hal tersebut
sesuai dengan (Supartha dkk. 2012) yang menyatakan bahwa upaya
peningkatan produksi tanaman pangan dihadapkan pada berbagai kendala dan
masalah, antara lain kekeringan dan banjir. Salah satu upaya peningkatan
produktivitas tanaman padi adalah dengan mencukupkan kebutuhan haranya.
Pemupukan bertujuan untuk menambah unsur hara yang dibutuhkan oleh
tanaman sebab unsur hara yang terdapat di dalam tanah tidak selalu
mencukupi untuk memacu pertumbuhan tanaman secara optimal.Pupuk
organik sangat penting artinya sebagai penyangga sifat fisik, kimia, dan
biologi tanah sehingga dapat meningkatkan efisiensi pupuk dan produktivitas
lahan. Penggunaan pupuk organik padat dan cair pada sistem pertanian
organik sangat dianjurkan. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa
pemakaian pupuk organik juga dapat memberi pertumbuhan dan hasil
tanaman yang baik. menemukan pengaruh yang sama antara perlakuan
pemupukan urea 100% dibandingkan dengan penggunaan 100% nitrogen
yang berasal dari azola pada tanaman padi. Penggunaan pupuk organik 10
ton/ha dan pupuk anorganik (200kg Urea/ha + 100kg SP-36/ha + 100kg
KCl/ha) mampu meningkatkan efektivitas agronomi jika dibandingkan hanya
menggunakan pupuk anorganik.

Berdasarkan hasil fieltrip diketahui bahwa di sebut tegel karena


penempatan kelihatan seperti susun tegel rumah di mana jarak sisinya sama
misalnya 20 X 20 cm atau 25 X 25 cm. Untuk varietas padi yang memiliki
jumlah anakan relative sedikit atau pada lahan yang kurang subur bisa
menggunakan jarak tanam yang lebih rapat (20 X 20 cm), sebaliknya untuk

15
varietas yang memiliki jumlah anakan relative lebih banyak atau lahan yang
subur dapat digunakan jarak tanam yang lebih longgar dan pada jarak tanam
ini total populasi per satuan lebih luas. Hal tersebut sesuai dengan (
Anggraeni dkk. 2013) yang menyatakan bahwa sistem tanam padi yang biasa
diterapkan petani adalah sistem tanam tegel dengan jarak 20 X 20 cm atau
lebih rapat lagi. Namun, saat ini telah dikembangkan sistem penanaman yang
baru yaitu sistem jajar legowo. Jajar legowo merupakan perubahan teknologi
jarak tanam padi yang dikembangkan dari sistem tanam tegel yang telah
berkembang di masyarakat. Istilah legowo diambil dari Bahasa Jawa,
Banyumas, terdiri atas kata lego dan dowo; lego berarti luas dan dowo berarti
memanjang. Prinsip dari sistem tanam jajar legowo adalah pemberian kondisi
pada setiap barisan tanam padi untuk mengalami pengaruh sebagai tanaman
pinggir. Secara umum, tanaman pinggir menunjukkan hasil lebih tinggi
daripada tanaman yang ada di bagian dalam barisan. Tanaman pinggir juga
menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik karena persaingan tanaman antar
barisan dapat dikurangi. Penerapan cara tanam sistem legowo memiliki
beberapa kelebihan yaitu, sinar matahari dapat dimanfaatkan lebih banyak
untuk proses fotosintesis, pemupukan dan pengendalian organisme
pengganggu tanaman menjadi lebih mudah dilakukan di dalam lorong-lorong.
Selain itu, cara tanam padi sistem legowo juga meningkatkan populasi
tanaman.

Berdasarkan hasil fieldtrip diketahui bahwa evaluasi berguna untuk


memahami faktor faktor yang menunjang pada suatu lahan sawah untuk
mengikatkan kemakmuran petani. Hal tersebut sesuai dengan (Zhang etall.
2012) yang menyatakan bahwa metode emergy diterapkan untuk
mengevaluasi empat sistem pertanian di daerah Weishan, yaitu, perkebunan
jagung, pemeliharaan bebek, dan budidaya jamur umum dan budidaya ikan
tambak semi-alami ekstensif, untuk menjelaskan pada manfaat potensial dari
penggunaan dan saran sumber daya yang efektif di masa depan strategi
pengembangan yang tepat berkaitan dengan keberlanjutan diversifikasi
pertanian. Selain itu, indikator ekonomi tradisional juga disajikan untuk
memberikan gambaran menyeluruh tentang ekonomi kinerja dari empat
sistem pertanian. Oleh karena itu, tujuan dari makalah ini adalah: (1) untuk
membandingkan produksi pertanian yang berbeda sistem di wilayah Weishan
berkaitan dengan penggunaan sumber daya mereka, produktivitas, dampak
lingkungan, serta kinerja ekonomi; (2) untuk memahami faktor-faktor yang
sangat mempengaruhi lokal pilihan petani terkait dengan diversifikasi
pertanian; (3) untuk memeriksa implikasi kebijakan untuk mencapai pertanian
yang sukses pengembangan diversifikasi.

Penggunaan insektida pada lahan pertanian berfungsi untuk


meningkatkan kualitas dari pemanenan padi dan juga untuk memperbaiki

16
unsur dari tanah yang digunakan untuk menanam padi. Hal ini sesuai dengan
pendapat (Aryanti dkk., 2014) yang menyatakan bahwa konsep sistem padi
terintegrasi bidang perikanan dan peternakan merupakan konsep yang
mengoptimalkan fungsi ekosistem lahan dalam upaya perbaikan kualitas
tanah dan penganggulangan OPT tanpa menggunakan bahan kimia.

Sistem pertanian tekno-ekologis menghasilkan produk pertanian


yang bersifat organic dan merupakan suatu teknologi yang tidak
menghasilkan limbah atau biasa disebut dengan Zero Waste. Hal ini sesuai
dengan pendapat (Anugrah dkk., 2014) yang menyatakan bahwa Inovasi
teknologi yang diintroduksikan berorientasi untuk menghasilkan produk
pertanian organik dengan pendekatan ”pertanian tekno ekologis”. Kegiatan
integrasi yang dilaksanakan juga berorientasi pada usaha pertanian tanpa
limbah (zero waste) dan menghasilkan 4 F (food, feed, fertilizer, dan fuel).

3.3.3 Analisis Usaha

Tabel 7. Pengeluaran Pertanian/Perkebunan

Nama Harga Satuan Pembelian


Kuantita Jumlah Harga
No Komodita Pembelian Dalam
s Pembelian (Rp)
s (Rp) 1 Tahun (Rp)
1 Bibit padi 36.000/kg 5 kg 180.000 540.000
Pupuk
2 Ponka Set 1.800/kg 50 kg 90.000 270.000
A
3 Insektida 48.000/botol 1 botol 48.000 144.000
4 Pekerja 40.000/orang 4 orang 140.000 420.000
5 Traktor 150.000/ha 1 buah 150.000 450.000
Total Pengeluaran (Rp) 1.824.000

Tabel 8. Penjualan Pertanian/Perkebunan.

Harga
Nama Satuan Penjualan Dalam
NO Jumlah Panen Jumlah (Rp)
Komoditas Pembelian 1 Tahun (Rp)
(Rp)
1 Padi 1 ton 3.600 3.600.000 10.800.000
Total Penjualan (Rp) 10.800.000

17
Keuntungan 1 tahun = Total Penjualan dalam 1 tahun – Total Pengeluaran
dalam 1 tahun

= Rp. 10.800.00 – Rp. 1.824.000

= Rp. 8.976.000

Kesimpulan : Jadi dengan biaya pengeluaran sebesar Rp. 1.824.000 dan


pendapatan sebesar Rp. 10.800.000 diperoleh laba sebesar Rp. 8.976.000.

Tabel 9. Pengeluaran Peternakan Sapi Potong

Nama
No Harga Beli (Rp) Kuantitas Jumlah
Komoditas

1 Sapi Potong 9.000.000/ekor 2 18.000.000


Pakan
2 - 4 ikat -
Ternak
3 Konsentrat 4.300/kg 50 kg 215.000
Total Pengeluaran (Rp) 18.215.000

Tabel 10. Penjualan Peternakan Sapi Potong

Nama Jumlah Harga


No Harga Jual (Rp) Kuantitas
Komoditas Penjualan (Rp)

1 Sapi Potong 20.000.000 1 20.000.000

Total Penjualan (Rp) 20.000.000

Keuntungan 1 tahun = Total Penjualan – Total Pengeluaran

= Rp. 20.000.000 – Rp. 18.215.000 = Rp. 1.785.000

Kesimpulan : Jadi dengan biaya pengeluaran sebesar Rp. 18.215.000 dan


pendapatan sebesar Rp. 20.000.000 diperoleh untung sebesar Rp. 1.785.000.

Nama
No Harga Beli (Rp) Kuantitas Jumlah
Komoditas

18
1 Domba 1.700.000 10 ekor 17.000.000
Pakan
2 - 4 ikat -
Ternak
3 Konsentrat 4.300/kg 50 kg 215.000

Total Pengeluaran (Rp) 17.215.000


Tabel 10. Pengeluaran Peternakan Domba

Tabel 11. Penjualan Peternakan Domba

Nama Jumlah Harga


No Harga Jual (Rp) Kuantitas
Komoditas Penjualan (Rp)

1 Domba 3.500.000 5 17.500.000


2
3
Total Pengeluaran (Rp) 17.500.000

Keuntungan 1 tahun = Total Penjualan – Total Pengeluaran

= Rp. 17.500.000 – Rp. 17.215.000 = Rp. 285.000

Kesimpulan : Jadi dengan biaya pengeluaran sebesar Rp. 17.215.000 dan


pendapatan sebesar Rp. 17.500.000 diperoleh laba sebesar Rp. 285.000.

3.4 Pertanian Tekno-Ekologis (di Ekosistem Lahan Perkebunan-Ternak)


3.4.1 Profil Responden
Pada praktikum ini dilakukan observasi kepada petani yang
menerapkan pertanian Tekno-Ekologis ( Lahan Perkebunan-Ternak) . Usaha
yang kami gunakan sebagai responden yaitu usaha Ibu Junik Ati sebagai
pemilik lahan. Selain bertani Ibu Junik memiliki ternak sapi potong, dengan
demikian pekerjaan utamanya adalah petani dan peternak. Ibu Junik
berumur 50 tahun dengan pendididkan terakhir Sekolah Dasar yang
beralamatkan di Desa Petung Sewu RT/RW 08/02 Kecamatan Dau. Lahan
tekno-ekologis yang beliau punya ditanami dengan komoditi pangan jeruk
dan komoditi pakan kolonjono dengan luas lahan 1000 m2

19
3.4.2 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil survei di lapangan pekerjaan bertani dan
bertenak merupakan sumber penghasilan keluarga. Lahan perkebunan mulai
berkembang sedikit demi sedikit dari model tradisional menuju model
modern. Hal ini di dukung oleh Anugrah, I.S., dkk. (2014) menyatakan,
selain menjadi sumber pendapatan keluarga, pola ini dipandang dapat
memberikan berbagai dampak pada program pengembangan usaha lainnya
yang lebih luas.
Berdasarkan hasil survei di lapangan selain bertani pemilik lahan
juga berkerja sebagai peternak, dimana pemilik lahan ingin memanfaatkan
lahan yang ada untuk berternak juga guna menambah ekonomi keluaga.
Lahan Ibu Junik juga mulai menerapkan model teknologi modern untuk
lahan perkebunannya maupun alat untuk pakan ternaknya. Hal ini didukung
oleh Fauzan, M.F. dan Akhmad, A.H. (2013) menyatakan, penambahan
fasilitas peternakan dalam perancangan Kebun Percobaan Sindang Barang
dilakukan untuk mewujudkan konsep pertanian tekno-ekologis. Pertanian
tekno-ekologis merupakan perpaduan antara pertanian berbasis ekologis dan
pertanian berbasis teknologi.
Berdasarkan hasil survei di lapangan menurut pemilik lahan Ibu
Junik model tekno-ekologis ini lebih baik digunakan pada lahan saat ini,
karena memiliki tingkat produktifitas tinggi serta efisien bagi yang
menerapkannya. Hal ini didukung oleh Fatemi, M. And Kurosh, R.M.
(2019) menyatakan, model pertanian tekno-ekologi membentuk pertanian
yang lebih produktif, efisien, dan berkualitas dengan risiko yang lebih kecil
sekaligus ramah lingkungan.
Berdasarkan hasil survei di lapangan dengan adanya teknologi
modern maka meodel pertanian ini sangat di rekomendasikan melihat dari
perubahan iklim saat ini yang tidak menentu dan banyak lahan pertanian
serta perkebunan yang semakin sempit akibat pembangunan yang tidak
tertata dengan benar. Hal ini di dukung oleh Fortes, P. And Sara, P. (2018)
menyatakan, model pertanian ini semakin relevan ketika pembangunan
pertanian dihadapkan pada persoalan besar, yakni adanya perubahan iklim

20
yang radikal akibat kerusakan lingkungan dan luas lahan garapan petani
yang makin sempit sebagai efek pertumbuhan penduduk dan konversi tahan
pertanian
Berdasarkan hasil survei di lapangan pengaplikasian model ini akan
berjalan baik apabila dilaksanakan dengan baik dan menggunakan teknologi
yang mendukung agar menghasilkan lahan yang mendukung pakan ternak
serta untuk nilai ekonomis yang lainnya. Hal ini di dukung oleh Mayulu, H.,
dkk. (2010) menyatakan, model pertanian ini semakin relevan ketika
dilakukan inovasi dan studi kasus aplikasinya, misalnya pemanfaatan
perkebunan sebagai sumber pakan murah.
3.4.3 Analisis Usaha
Tabel 12. Biaya Pengeluaran Pertanian

N NAMA HARGA KUANTIT JUMLAH PEMBELIA


O KOMODITAS SATUAN AS HARGA N DALAM 1
PEMBELIAN PEMBELIA TAHUN
(Rp) N (Rp) (Rp)

1 Jeruk 8.500 30 bibit Rp 255.000 Rp 510.000

2 Kolonjono - - - -

3 Urea 2000/kg 130 kg Rp. 260.000 Rp.


1.040.000

4 Ponska 500.000/karun 1 karung (50 Rp 5000.000 Rp 1.000.000


g kg)

TOTAL MODAL (Rp) Rp 470.000

Tabel 13 . Biaya Pendapatan Pertanian

NO NAMA JUMLAH HARGA JUMLAH PENJUALAN


KOMODITAS PANEN SATUAN (Rp) DALAM 1
(Rp) TAHUN (Rp)

21
1 Jeruk 250 10.000/kg Rp. Rp. 5.000.000
kg/panen 2.500.000

2 Kolonjono 300 kg - - -

TOTAL PENJUALAN (Rp) Rp. 5.000.000

Keuntungan dalam 1 Tahun = Total Penjualan dalam 1 Tahun – Total


Pengeluaran dalam 1 Tahun

Kesimpulan :

Rp. 5.000.000 - Rp. 470.000= Rp. 4.530.000

Jadi, dengan biaya pengeluaran sebesar Rp. 470.000 dan pendapatan sebesar
Rp. 5.000.000 diperoleh laba sebesar Rp. 4.530.000

Tabel 14. Pengeluaran Peternakan Sapi Potong

NO NAMA HARGA BELI KUANTIT JUMLAH


KOMODITAS AS

1 Sapi Potong Rp. 17.000.000 7 Rp. 119.000.000

2 Konsentrat Rp. 4200/kg 14 kg Rp. 58.8000

TOTAL MODAL Rp. 119.058.800

Tabel 15. Penjualan Peternakan Sapi Potong

NO NAMA HARGA JUAL KUANTITAS JUMLAH


KOMODITAS HARGA
PENJUALAN

1 Sapi Potong Rp. 35.000.000 4 Rp.


140.000.000

TOTAL PENJUALAN Rp.140.000.000

22
Keuntungan dalam 1 Tahun = Total Penjualan dalam 1 Tahun – Total
Pengeluaran dalam 1 Tahun

Kesimpulan :

Rp.140.000.000 - Rp. 119.058.800 = Rp. 20.941.200

Jadi, dengan biaya pengeluaran sebesar Rp. 119.058.800 dan pendapatan


sebesar Rp.140.000.000 diperoleh laba sebesar Rp. 20.941.200

Gambar 4. Pertanian tekno-ekologis di lahan perkebunan milik Ibu Junik Ati

23
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Ibu Junik Ati menerapkan pola pertanian campuran dengan
membudidayakan tanaman jagung dan kacang tanah dalam satu lahan dengan
lahan seluas 300 m2 membutuhkan biaya produksi Rp. 850.000 ,dan
menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 2.010.000

Ibu Mak Liatin menerapkan pola pertanian integrasi tanaman dan ternak
dengan membudidayakan tebu dan rumput gajah dalam satu lahan, dan
memelihara 6 ekor sapi perah, dengan lahan seluas 900 m2 membutuhkan biaya
produksi sebesar Rp. 882.000 dan menghasilkan keuntungan sebesar Rp.
19.000.000per tahun.

Bapak Hari Slamet menerapkan pola pertanian teknoekologis lahan


sawah dengan membudidayakan tanaman padi dan menggunakan teknologi
traktor, dengan lahan seluas 1500 m2. Beliau memelihara ternak 2 sapi potong
dan 10 domba, membutuhkan biaya produksi sebesar Rp 1.824.000,dan
menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 8.976.000 per tahun.

Ibu Junik Ati juga menerapkan pola pertanian teknoekologis perkebunan


terintegrasi dengan ternak dilahan seluas 1000 m2 , beliau membudidayakan
tanaman jeruk dan kolonjono, dengan teknologi mesin deasel, gunting untuk
memotong jeruk, dan traktor dengan memelihara 7 ekor sapi, dengan biaya
produksi sebesar Rp 470.000, menghasilkan keuntungan sebesar Rp 4.530.000
per tahun.

4.2 Saran
Untuk petani lebih untuk menggunakan teknologi yang lebih modern yang
dapat meningkatkan kualitas dan hasil produksi. Serta petani diharapkan dapat
menerapkan system mix farming guna untuk meningkatkan hasil produksi dengan
memaksimalkan lahan tanpa adanya perluasan lahan yang membutuhkan
dana/biaya yang besar. Dengan memankanfaat sistem pertanian terpadu dan
teknologi modern akan lebih membantu petani untuk lebih memaksimalkan
pendapatannya juga.

24
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, F., A. Suryanto, dan N. Aini. 2013. Sistem Tanaman dan Umur Bibit
Pada Tanaman Padi Sawah (Oryza sativa L.) Varietas Inpari 13. Vol. 1(2)
: 52 – 60.

Anugrah.I.S., S.Sarwoprasodjo, K.Suradisastra, Dan N. Purnaningsih. 2014.


Sistem Pertanian Terintegrasi – Simantri: Konsep, Pelaksanaandan
Perannya Dalam Pembangunan Pertanian Di Provinsi Bali. Forum
Penelitian Agro Ekonomi. Vol 32( 2): 157 – 176.

Aryanti, A.N., L. Windiana, dan E. D. Septia. 2017. Efek Pendapatan Penerapan


Sistem Padi Terintegrasi Pertanian, Peternakan, dan Perikanan Di Desa
Pangkemiri Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo. Jurnal
Agroveteriner. Vol. 6(1) : 62 – 71.

Fauzan M. F Dan A. A. Hadi. 2013. Perancangan Lanskap Kebun Percobaan


Sindang Barang Sebagai Sarana Agrowidyawisata. Jurnal Lanskap
Indonesia, Vol 5(1):1-3
Hamdi M.,Sunarso,C. I. Sutrisno Dan Sumarsono.2010. Kebijakan
Pengembangan Peternakan Sapi Potong Di Indonesia. Jurnal Litbang
Pertanian, 29(1):34-37
Hilimire, K. 2011. Integrated Crop/Livestock Agriculture in the United States: A
Review. Journal of Sustainable Agriculture. 35(-):376–393
Lorina.M.D,Sitawati,Karuniawan.P. 2015. Studi Sistem Tumpangsari Brokoli
(Brassica oleracea L.) Dan Bawang Prei (Allium porrum L.) Pada
Berbagai Jarak Tanam.Jurnal Produksi Tanaman.Vol 3 (7):564-573
Mahsa F and K.R.Moghaddam.2019. Multi-criteria evaluation in paradigmatic
perspectives of agricultural environmental management.Heliyon, Vol 10:
2405-8440
Patrícia F And S. Proença.2018. Ow Sustainable Is A Low Carbon Power System
Holistic Hybrid Modelling For The Portuguese Case-Study. Energy
Procedia, Vol 153:396–401
Prawiradiputra, B. R. 2009. Masih Adakah Peluang Pengembangan
Integrasi Tanaman Dengan Ternak Di Indonesia?. Wartazoa. 19(3):143-
149.
Putra.J.P,Karunia.P,Ninuk.H. 2017. Studi Sistem Tumpangsari Jagung (Zea mays
L.) Dan Bawang Prei (Allium porrum L.) Pada Berbagai Jarak
Tanam.Jurnal Produksi Tanaman. Vol5(5) : 748-755.
Saerang, J. M. P., Onibala, J. S. I. T., Elly, F. H. dan Laatung, S. 2011. Strategi

25
Pembangunan Peternakan Masa Depan Melalui Pendekatan ECO-
FARMING. ISPI : Sulawesi Selatan.
Siswati, Latifa. 2010. Pola Pertanian Ternak dan Tanaman Hortikultura di kota
Pekanbaru. Jurnal Peternakan. Vol. 1(1): 1-7.
Supartha, I.N.Y., G. Wijaya, dan G.M. Adnyana. 2012. Aplikasi Jenis Pupuk
Organik pada Tanaman Padi Sistem Pertanian Organik. E-Jurnal
Agroekoteknologi Tropika. Vol. 1(2) : 98 – 106.

Swan,A.D.,Peoples,M.B.,Hayes,R.C.,Li,G.D.,Casburn,G.R,,McCormick,J.I, and
Dear,B.S.2014. Farmer experience with perennial pastures in the mixed
farming areas of southern New South Wales: on-farm participatory
research investigating pasture establishment with cover-cropping. Crop &
Pasture Science. Vol 65: 973–987
Thornton.P and Mario Herrero.2015. Adapting to climate change in the mixed
crop and livestock farming systems in sub-Saharan Africa. NATURE
CLIMATE CHANGE VOL 5:830-836
Wahyuni.P,Nunun.B,Titiek.I. 2017 .Respon Pertumbuhan Dan Hasil Jagung
Manis (Zea mays L.saccharata) Dalam Sistem tumpangsari Dengan Kacang
Hijau (Vigna radiata L.). Jurnal Produksi Tanaman.Vol 5(8):1308-1315

Winarso, B. dan Basuno, E. 2013. Pengembangan Pola Integrasi Tanaman-


Ternak Merupakan Bagian Upaya Mendukung Usaha Pembibitan Sapi
Potong Dalam Negeri. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 31(2):151 -169.

Zhang, L.X., B. Song, and B. Chen. 2012. Emergy-based analysis of four farming
systems: Insight into agricultural diversification in rural China. Journal of
Cleaner Production. Vol. 28(1) : 33 – 34.

26
LAMPIRAN

27

Anda mungkin juga menyukai