Anda di halaman 1dari 7

Bianglala

Naguib Mahfouz

Keluarga Hasan Dahman mengadakan musyawarah keluarga. Hasan Dahman


adalah seorang pendidik dan psikolog. Sedang isterinya, Nadiroh, adalah seorang
peneliti di Kementerian Sosial. Musyawarah keluarga yang sudah menjadi tradisi
mereka adalah sarana pendidikan bagi anak-anak mereka, agar mereka terbiasa
terlibat dalam memikul suatu tanggung jawab, juga untuk lebih menghayati
kehidupan. Dan yang penting, mereka sangat rasional dalam segala hal.
"Kita sekarang berkumpul untuk membicarakan problema Tahir," kata ibu
mengawali bicara.
Tahir adalah anak bungsu, kini masih belajar di SLTP, mencintai seorang putri
anak sahabat ayahnya. Usianya tidak terpaut jauh dengan Tahir. Karena keluarga
sang pacar akan pindah ke Arab Saudi untuk beberapa tahun, maka Tahir berniat
melamarnya sebelum pergi.
"Menurutku lamaran Tahir ini terlalu dini," kata Samir, anak tertua, seorang
mahasiswa fakultas Hukum.
"Tahir masih labil jiwanya, menurutku sebaiknya ditunda dulu saja," kata
Hida, anak kedua, mahasiswa fakultas Tehnik.
Dengan wajah serius, Hasan Dahman berpaling ke Tahir.
Aku ingin tahu pendapatmu?," tanya sang ayah.
Tahir memandang ke dinding, menghindari tatapan mata ayahnya.
Wajahnya sendu.
Apa guna berbicara, kalau pada akhirnya per- timbangan rasionallah yang
menang," kata Tahir.
Musyawarah pun berkepanjangan dan ketika keputusan dihasilkan, akhirnya
memang pertimbangan rasionallah yang menang, seperti dikatakan Tahir.
"Kita musti rasional," komentar sang ayah atas keputusan yang bijaksana itu.
Kata-kata inilah yang dipakai untuk mengakhiri setiap musyawarah. Dan karenanya,
Tahir sebenarnya sudah lama bingung dan merasa tertekan, oleh segala hal atas
nama rasio. Ia melihat rasio sangat berperan dalam kehidupan keluarganya, bahkan
cenderung disembah-sembah. Memang berkat rasio, rumah tangga jadi tertib dan
teratur. Bukankah rumah tangga yang tertib harmonis adalah cita-cita semua
orang? Bukankah rumah tangga adalah cermin keharmonisan dan keindahan?
Waktu makan, bangun pagi, tidur, kerja, istirahat, semuanya terjadwal
teratur. "Itu semua berkat rasio, kata sang ayah. Batang korek api yang jatuh
berserakan, bising suara kursi yang diseret-seret, suara radio yang melebihi
ambang batas adalah hal-hal yang mengganggu yang harus segera diatasi.
Setiap anggota keluarga Dahman memiliki agenda dan buku-buku sesuai
dengan bidangnya. Trend musik, acara televisi dan radio, biasa mereka diskusikan
bersama, Dalam menghadapi masalah-masalah penting, mereka
membicarakannya dalam pertemuan keluarga, dan masing-masing berhak
mengajukan pendapat. Masalah mereka biasanya menyangkut studi, pergaulan,
cinta juga politik.
Jarum jam adalah simbol keteraturan, namun mengapa si bungsu Tahir
malah menjadi sumber kegelisahan orang tuanya.
"Apakah engkau tidak malu menatap dirimu sendiri anakku?," tanya sang
ayah.
Tetapi Tahir malah memandang ke arah lain dengan tatapan aneh. Dia tidak
bergairah sama sekali. Kalau pun toh ia datang ke pertemuan keluarga, itu pun
karena terpaksa. Dia sering bersikap menentang, baik ada sebab maupun tidak ada
sebab. Suatu saat ia bernafsu sekali untuk makan dan masuk dapur, walaupun
belum waktunya.
"Ini suatu pelanggaran yang tidak patut engkau lakukan, anakku," tegur sang
ayah. Namun tidak terdengar jawaban.
"Bukankah engkau masih berpikir untuk melamar?," tanya sang ayah. "Tidak.
Kali ini aku lapar. Bukan cinta yang kupikirkan," jawabnya singkat. Setelah Tahir
berlalu, Nadiroh, sang ibu membisikkan sesuatu di telinga suaminya.
"Dia anak bungsu, pak!, kata ibu. "Apakah kita menerima pembangkangan
ini,? tanya sang ayah dengan nada marah.
"Tidak. Tetapi masalahnya tidak sesederhana itu," bela ibu.
Tahir merasa bahwa prinsip keserba-rasionalan mempengaruhi segala
geraknya lahir batin. Ia merasuk hampir ke semua masalah, cinta, kegembiraan dan
kesedihan. Keserba-rasionalan merupakan prinsip yang tidak bisa diganggu gugat.
Suatu saat ketika menjelang ujian, terjadilah sesuatu. Kala itu Samir dan Hida sibuk
mempersiapkan ujian. Bapak menulis makalah dan ibu membaca- baca majalah
Amerika. Tahir menangis terisak-isak di beranda. Dia sudah tidak tahan lagi
menahan beban batinnya. Dia merasa sudah tidak ada gunanya lagi hidup. Ia
geletakkan buku-buku di atas rak dan berlalu dengan tatapan kosong. Dia tampak
sangat sedih. Air mata tak lagi bisa ia bendung. Dia berusaha menyembunyikan
tangisnya, agar tak terdengar siapa pun. Namun ia tidak bisa menyembunyikan air
mata. Ia tidak tahan untuk tidak meledakkan tangisnya. Orang-orang terhenyak.
Sang ibu membawa air dan mengusap wajahnya. Namun ia masih tetap mena- ngis,
meski tanpa isak dan tetes air mata. Ia rebahkan kepalanya ke dada ibu. Ia
membelainya dengan penuh kasih. Sang ibu bertanya-tanya mungkinkah selama ini
ia melampaui batas dalam menerapkan prìnsip keserba-rasionalan, sampai pun ke
masalah cinta.
"Ada apa sebenarnya Tahir?," tanya ibu sambil mendekat.
"Tidak ada apa-apa," jawabnya tanpa memandang siapa pun.
Jawaban Tahir membuatnya penasaran.
"Katakanlah apa yang membuatmu sedih?," desak Samir.
"Kita harus tahu sebabnya," kata Hida panas.
Tapi sang ayah melarang dan menyuruh keduanya keluar. Dengan lembut
ayahnya bertanya.
"Apa yang terjadi, anakku?"
"Aku bilang tidak ada apa-apa."
"Saat-saat ujian memang sering membuat stress"
"Tidak. Aku baik-baik saja." Ayah meninggalkan kamar dan memberikan
kesempatan kepada ibu untuk bertanya. Tapi Tahir tetap tidak mengatakan
sesuatu. Tak ada tambahan keterangan baik pada malam itu atau pada hari-hari
berikutnya. Di saat-saat senggang, ayah berjalan-jalan dan menasehatinya panjang
lebar. Dan menganggap apa yang terjadi adalah masalah stres biasa. Semua sudah
melupakan kejadian itu. Sampai suatu hari Hasan Dahman berkata.
"Aku mengundang direktur kita yang baru untuk bertandang sejenak di
taman ini." Lalu ibu berdiri dan berkata kepada anak-anaknya.
"Kita harus menjaga penampilan kita. Aku berharap kalian bersedia
menemuinya sejenak, lalu kalian boleh belajar lagi. Tergantung sambutan kalianlah
pesta ini berhasil."
"Papa. Apakah dia sahabat papa?," tanya Tahir. Ayah berpikir, berpaling dan
menjawab. "Persahabatan adalah kenikmatan tiada tara. Direktur ayah kini adalah
partner kerja, tetapi suatu saat ia akan menjadi sahabat papa. Kehidupan social
menuntut kita dengan kewajiban-kewajiban tertentu. Kalau kita ingin memperluas
pergaulan, kita harus banyak sahabat."
Tahir berkata dalam hati, "Ini baru rasional." Konon direktur baru itu
jidatnya lebar dan kepalanya botak. Bicaranya lamban. Tahir senang sekali
memperhatikannya, terutama kalau kebetulan dia ketawa: lucu. Dia heran melihat
Hida dan ibu berdandan lain dari keseharian mereka dan bisa suntuk
mendengarkan pembicaraan. Tahir mendengar ayahnya sering mengutip sebait
puisi dalam pembicaraan dan kadang ibunya mengomentari keluhan direktur
karena sering lupa.
"Itu pertanda jenius, tuan," katanya. Samir dan Hida beranjak meninggalkan
ruang tamu, namun Tahir belum juga beringsut, meski sudah diberi isyarat oleh
ibunya.
"Sekarang kau boleh pergi, anakku," kata ayah setelah memperhatikan Tahir
terkesiap memandang direktur.
"Bolehkah akų membacakan sebaris puisi, papa?," sela Tahir. Ayahnya akan
memotong, tapi direktur keburu bertanya.
"Apakah engkau penyair?"
"Sama sekali bukan. Tapi aku hapal sebaris puisi."
"Coba baca. Aku ingin melihat apresiasimu." Dengan bangga Tahir
mengucapkan sebaris puisi:
"Berani hidup. tak takut mati.."
"Wow, puisi yang cukup terkenal." "Kata orang puisi itu biasa dibaca saat
pelaksanaan hukum gantung."
Direktur tertawa.
"Puisinya bagus, tapi momennya menyedihkan," kata direktur.
Tahir tertawa. Namun di balik itu, Tahir merasakan hidup yang semakin
menekan. Dunia terasa hampa. Wajahnya tampak sangat murung. Tiba-tiba
meledaklah tawanya. Sang ayah segera menggamit lengannya keluar dari ruang
tamu. Di tengah malam, Hasan Dahman dan isterinya membicarakan Tahir panjang
lebar. Mereka sepakat segera melakukan perawatan serius. Keduanya sepakat
untuk menunda waktu perawatan hingga usai ujian.
____
Suatu hari Hida berteriak seperti minta tolong.
"Mama, kesinilah! Lihatlah apa yang dilakukan Tahir!," teriaknya.
Bergegaslah semua orang ke kamar Tahir. Mereka terkejut melihat kamarnya.
Mereka melihat pemandangan yang tak pernah terbayangkan. Kasur terpuruk di
meja belajar. Buku-buku dan kertas-kertas berserakan di ranjang. Almari terjungkir
dan daun pintunya menyobek tembok. Bangku-bangku jungkir balik. Sajadah
dibiarkan tergelantung di kabel listrik.
"Ya Tuhan. Ini keterlaluan!," teriak ayahnya. Mereka semua memberondong
pertanyaan kepada Tahir. Namun Tahir hanya berdiri terpaku, diam dan
tersenyum-senyum.
"Mengapa tidak?," dia malah balik bertanya. "Kamu telah melukai hatiku,"
teriak sang ibu.
"Sangat disesalkan memang," kata Tahir.
"Ini tidak masuk akal. Tidak masuk akal, ayahnya menyesali.
"Mengapa tidak, papa? Selama ini aku menjadi kelinci percobaan. Meski
kalian semua mencintaiku, tapi itu semua karena pertimbangan rasional." Tahir
beranjak dari kamar lalu ke beranda. Ayahnya mengikutinya. Tahir memandang ke
langit dengan mata tak berkedip. Ayahnya juga memandang ke langit. Ia tidak
melihat sesuatu. Ia penasaran lalu bertanya dengan lembut.
"Lehermu nanti pegal. Mengapa engkau memandang terus ke langit?"
Tahir tidak menghiraukannya. Ayahnya mengulangi pertanyaan. Tahir
menjawab dengan perasaan mendongkol.
"Aku membenci kebebasan yang papa berikan.
"Tetapi itu prinsip dasar keteraturan dalam hidup. Prinsip yang tak akan
keliru," sergah ayah mengingatkan.
Tahir tidak terima. Matanya menyorot tajam.
"Apakah engkau tidak menyukai keteraturan?"
"Aku tidak menyukai sesuatu yang diulang dua kali," kata Tahir.
"Itu egois, anakku!"
"Malah baik, kan?," kata Tahir geram.
Kedua orang tua itu berembug. Keduanya sepakat untuk sesegera mungkin
menangani kelainan Tahir. Tak perlu tunggu waktu. Tak jadi soal, meski sekolahnya
harus terlambat satu tahun, Langkah pertama mereka akan mendatangi seorang
kiai. Kemudian ke dokter saraf, kalau kiai menghendaki begitu. Bahkan kalau
mungkin, mereka juga akan mendatangi seorang psikolog.
____
Ketika kedua orang tua itu menerima tamu, sedang Samir dan Hida lagi asyik
belajar, orang-orang mendengar hiruk pikuk di jalan. Orang-orang berlarian di
dalam rumah dan para pembantu berteriak-teriak. Ada kebakaran di lantai atas.
Mereka semua keluar dari kamar. Seorang pembantu membopong Tahir keluar.
Regu pemadam kebakaran berdatangan. Api bisa dipadamkan sebelum menjalar
dan membesar. Ketika ditanya Tahir menjawab seperti tak sadar.
"Ya, akulah yang menuang minyak dan menyulut api.”
"Mengapa?" "Aku tidak ingat," jawab Tahir pendek lalu diam.
Sebuah ambulan mengangkut Tahir. Dengan tangan dan kaki terbalut, ia
diapit kedua orang tuanya. Seorang perawat rumah sakit duduk di depan mereka.
Tahir tertolong sesudah ada usaha gigih. Tatapan beku terbayang di mata sang
ayah. Sedang ibu air matanya mengalir tak terbendung.
"Banyak korban yang lebih parah dari ini, kemudian mereka bisa sembuh
seperti sedia kala," kata perawat.
Hasan Dahman ingin mengatakan, "Kehilangan akal sehat adalah bencana
terburuk bagi manusia. Namun ia urung mengungkapkannya. Ia malah bertanya
kepada diri sendiri. "Apakah arti semua ini? Apakah kesalahanku?" Karena sejak
dulu hingga kini, keluarganya dikenal tertib dan rasional banyak hal. Bagaimana
mungkin tersusupi "penyakiť"? Hati Hasan Dahman terasa pedih. Batinnya
menjerit. Ia iri melihat isterinya yang kelihatan tenang. Ketika melirik anaknya, ia
melihat Tahir memejamkan mata. Ia hanya mengigit bibir.
"Rumah sakit adalah tempat terbaik baginya saat ini. Janganlah Anda berdua
bersedih karena luka-luka yang memang harus ia derita," kata perawat mencoba
mencairkan suasana sedih. Hasan Dahman tidak bergairah menjawab. Tapi ia ingin
menyenangkan hati perawat sebisanya. Di puncak kesedihannya, Hasan Dahman
berkata," Anda benar, tuan. Ini memang rasional.

Anda mungkin juga menyukai