Keluarga Hasan Dahman mengadakan musyawarah keluarga. Hasan Dahman
adalah seorang pendidik dan psikolog. Sedang isterinya, Nadiroh, adalah seorang peneliti di Kementerian Sosial. Musyawarah keluarga yang sudah menjadi tradisi mereka adalah sarana pendidikan bagi anak-anak mereka, agar mereka terbiasa terlibat dalam memikul suatu tanggung jawab, juga untuk lebih menghayati kehidupan. Dan yang penting, mereka sangat rasional dalam segala hal. "Kita sekarang berkumpul untuk membicarakan problema Tahir," kata ibu mengawali bicara. Tahir adalah anak bungsu, kini masih belajar di SLTP, mencintai seorang putri anak sahabat ayahnya. Usianya tidak terpaut jauh dengan Tahir. Karena keluarga sang pacar akan pindah ke Arab Saudi untuk beberapa tahun, maka Tahir berniat melamarnya sebelum pergi. "Menurutku lamaran Tahir ini terlalu dini," kata Samir, anak tertua, seorang mahasiswa fakultas Hukum. "Tahir masih labil jiwanya, menurutku sebaiknya ditunda dulu saja," kata Hida, anak kedua, mahasiswa fakultas Tehnik. Dengan wajah serius, Hasan Dahman berpaling ke Tahir. Aku ingin tahu pendapatmu?," tanya sang ayah. Tahir memandang ke dinding, menghindari tatapan mata ayahnya. Wajahnya sendu. Apa guna berbicara, kalau pada akhirnya per- timbangan rasionallah yang menang," kata Tahir. Musyawarah pun berkepanjangan dan ketika keputusan dihasilkan, akhirnya memang pertimbangan rasionallah yang menang, seperti dikatakan Tahir. "Kita musti rasional," komentar sang ayah atas keputusan yang bijaksana itu. Kata-kata inilah yang dipakai untuk mengakhiri setiap musyawarah. Dan karenanya, Tahir sebenarnya sudah lama bingung dan merasa tertekan, oleh segala hal atas nama rasio. Ia melihat rasio sangat berperan dalam kehidupan keluarganya, bahkan cenderung disembah-sembah. Memang berkat rasio, rumah tangga jadi tertib dan teratur. Bukankah rumah tangga yang tertib harmonis adalah cita-cita semua orang? Bukankah rumah tangga adalah cermin keharmonisan dan keindahan? Waktu makan, bangun pagi, tidur, kerja, istirahat, semuanya terjadwal teratur. "Itu semua berkat rasio, kata sang ayah. Batang korek api yang jatuh berserakan, bising suara kursi yang diseret-seret, suara radio yang melebihi ambang batas adalah hal-hal yang mengganggu yang harus segera diatasi. Setiap anggota keluarga Dahman memiliki agenda dan buku-buku sesuai dengan bidangnya. Trend musik, acara televisi dan radio, biasa mereka diskusikan bersama, Dalam menghadapi masalah-masalah penting, mereka membicarakannya dalam pertemuan keluarga, dan masing-masing berhak mengajukan pendapat. Masalah mereka biasanya menyangkut studi, pergaulan, cinta juga politik. Jarum jam adalah simbol keteraturan, namun mengapa si bungsu Tahir malah menjadi sumber kegelisahan orang tuanya. "Apakah engkau tidak malu menatap dirimu sendiri anakku?," tanya sang ayah. Tetapi Tahir malah memandang ke arah lain dengan tatapan aneh. Dia tidak bergairah sama sekali. Kalau pun toh ia datang ke pertemuan keluarga, itu pun karena terpaksa. Dia sering bersikap menentang, baik ada sebab maupun tidak ada sebab. Suatu saat ia bernafsu sekali untuk makan dan masuk dapur, walaupun belum waktunya. "Ini suatu pelanggaran yang tidak patut engkau lakukan, anakku," tegur sang ayah. Namun tidak terdengar jawaban. "Bukankah engkau masih berpikir untuk melamar?," tanya sang ayah. "Tidak. Kali ini aku lapar. Bukan cinta yang kupikirkan," jawabnya singkat. Setelah Tahir berlalu, Nadiroh, sang ibu membisikkan sesuatu di telinga suaminya. "Dia anak bungsu, pak!, kata ibu. "Apakah kita menerima pembangkangan ini,? tanya sang ayah dengan nada marah. "Tidak. Tetapi masalahnya tidak sesederhana itu," bela ibu. Tahir merasa bahwa prinsip keserba-rasionalan mempengaruhi segala geraknya lahir batin. Ia merasuk hampir ke semua masalah, cinta, kegembiraan dan kesedihan. Keserba-rasionalan merupakan prinsip yang tidak bisa diganggu gugat. Suatu saat ketika menjelang ujian, terjadilah sesuatu. Kala itu Samir dan Hida sibuk mempersiapkan ujian. Bapak menulis makalah dan ibu membaca- baca majalah Amerika. Tahir menangis terisak-isak di beranda. Dia sudah tidak tahan lagi menahan beban batinnya. Dia merasa sudah tidak ada gunanya lagi hidup. Ia geletakkan buku-buku di atas rak dan berlalu dengan tatapan kosong. Dia tampak sangat sedih. Air mata tak lagi bisa ia bendung. Dia berusaha menyembunyikan tangisnya, agar tak terdengar siapa pun. Namun ia tidak bisa menyembunyikan air mata. Ia tidak tahan untuk tidak meledakkan tangisnya. Orang-orang terhenyak. Sang ibu membawa air dan mengusap wajahnya. Namun ia masih tetap mena- ngis, meski tanpa isak dan tetes air mata. Ia rebahkan kepalanya ke dada ibu. Ia membelainya dengan penuh kasih. Sang ibu bertanya-tanya mungkinkah selama ini ia melampaui batas dalam menerapkan prìnsip keserba-rasionalan, sampai pun ke masalah cinta. "Ada apa sebenarnya Tahir?," tanya ibu sambil mendekat. "Tidak ada apa-apa," jawabnya tanpa memandang siapa pun. Jawaban Tahir membuatnya penasaran. "Katakanlah apa yang membuatmu sedih?," desak Samir. "Kita harus tahu sebabnya," kata Hida panas. Tapi sang ayah melarang dan menyuruh keduanya keluar. Dengan lembut ayahnya bertanya. "Apa yang terjadi, anakku?" "Aku bilang tidak ada apa-apa." "Saat-saat ujian memang sering membuat stress" "Tidak. Aku baik-baik saja." Ayah meninggalkan kamar dan memberikan kesempatan kepada ibu untuk bertanya. Tapi Tahir tetap tidak mengatakan sesuatu. Tak ada tambahan keterangan baik pada malam itu atau pada hari-hari berikutnya. Di saat-saat senggang, ayah berjalan-jalan dan menasehatinya panjang lebar. Dan menganggap apa yang terjadi adalah masalah stres biasa. Semua sudah melupakan kejadian itu. Sampai suatu hari Hasan Dahman berkata. "Aku mengundang direktur kita yang baru untuk bertandang sejenak di taman ini." Lalu ibu berdiri dan berkata kepada anak-anaknya. "Kita harus menjaga penampilan kita. Aku berharap kalian bersedia menemuinya sejenak, lalu kalian boleh belajar lagi. Tergantung sambutan kalianlah pesta ini berhasil." "Papa. Apakah dia sahabat papa?," tanya Tahir. Ayah berpikir, berpaling dan menjawab. "Persahabatan adalah kenikmatan tiada tara. Direktur ayah kini adalah partner kerja, tetapi suatu saat ia akan menjadi sahabat papa. Kehidupan social menuntut kita dengan kewajiban-kewajiban tertentu. Kalau kita ingin memperluas pergaulan, kita harus banyak sahabat." Tahir berkata dalam hati, "Ini baru rasional." Konon direktur baru itu jidatnya lebar dan kepalanya botak. Bicaranya lamban. Tahir senang sekali memperhatikannya, terutama kalau kebetulan dia ketawa: lucu. Dia heran melihat Hida dan ibu berdandan lain dari keseharian mereka dan bisa suntuk mendengarkan pembicaraan. Tahir mendengar ayahnya sering mengutip sebait puisi dalam pembicaraan dan kadang ibunya mengomentari keluhan direktur karena sering lupa. "Itu pertanda jenius, tuan," katanya. Samir dan Hida beranjak meninggalkan ruang tamu, namun Tahir belum juga beringsut, meski sudah diberi isyarat oleh ibunya. "Sekarang kau boleh pergi, anakku," kata ayah setelah memperhatikan Tahir terkesiap memandang direktur. "Bolehkah akų membacakan sebaris puisi, papa?," sela Tahir. Ayahnya akan memotong, tapi direktur keburu bertanya. "Apakah engkau penyair?" "Sama sekali bukan. Tapi aku hapal sebaris puisi." "Coba baca. Aku ingin melihat apresiasimu." Dengan bangga Tahir mengucapkan sebaris puisi: "Berani hidup. tak takut mati.." "Wow, puisi yang cukup terkenal." "Kata orang puisi itu biasa dibaca saat pelaksanaan hukum gantung." Direktur tertawa. "Puisinya bagus, tapi momennya menyedihkan," kata direktur. Tahir tertawa. Namun di balik itu, Tahir merasakan hidup yang semakin menekan. Dunia terasa hampa. Wajahnya tampak sangat murung. Tiba-tiba meledaklah tawanya. Sang ayah segera menggamit lengannya keluar dari ruang tamu. Di tengah malam, Hasan Dahman dan isterinya membicarakan Tahir panjang lebar. Mereka sepakat segera melakukan perawatan serius. Keduanya sepakat untuk menunda waktu perawatan hingga usai ujian. ____ Suatu hari Hida berteriak seperti minta tolong. "Mama, kesinilah! Lihatlah apa yang dilakukan Tahir!," teriaknya. Bergegaslah semua orang ke kamar Tahir. Mereka terkejut melihat kamarnya. Mereka melihat pemandangan yang tak pernah terbayangkan. Kasur terpuruk di meja belajar. Buku-buku dan kertas-kertas berserakan di ranjang. Almari terjungkir dan daun pintunya menyobek tembok. Bangku-bangku jungkir balik. Sajadah dibiarkan tergelantung di kabel listrik. "Ya Tuhan. Ini keterlaluan!," teriak ayahnya. Mereka semua memberondong pertanyaan kepada Tahir. Namun Tahir hanya berdiri terpaku, diam dan tersenyum-senyum. "Mengapa tidak?," dia malah balik bertanya. "Kamu telah melukai hatiku," teriak sang ibu. "Sangat disesalkan memang," kata Tahir. "Ini tidak masuk akal. Tidak masuk akal, ayahnya menyesali. "Mengapa tidak, papa? Selama ini aku menjadi kelinci percobaan. Meski kalian semua mencintaiku, tapi itu semua karena pertimbangan rasional." Tahir beranjak dari kamar lalu ke beranda. Ayahnya mengikutinya. Tahir memandang ke langit dengan mata tak berkedip. Ayahnya juga memandang ke langit. Ia tidak melihat sesuatu. Ia penasaran lalu bertanya dengan lembut. "Lehermu nanti pegal. Mengapa engkau memandang terus ke langit?" Tahir tidak menghiraukannya. Ayahnya mengulangi pertanyaan. Tahir menjawab dengan perasaan mendongkol. "Aku membenci kebebasan yang papa berikan. "Tetapi itu prinsip dasar keteraturan dalam hidup. Prinsip yang tak akan keliru," sergah ayah mengingatkan. Tahir tidak terima. Matanya menyorot tajam. "Apakah engkau tidak menyukai keteraturan?" "Aku tidak menyukai sesuatu yang diulang dua kali," kata Tahir. "Itu egois, anakku!" "Malah baik, kan?," kata Tahir geram. Kedua orang tua itu berembug. Keduanya sepakat untuk sesegera mungkin menangani kelainan Tahir. Tak perlu tunggu waktu. Tak jadi soal, meski sekolahnya harus terlambat satu tahun, Langkah pertama mereka akan mendatangi seorang kiai. Kemudian ke dokter saraf, kalau kiai menghendaki begitu. Bahkan kalau mungkin, mereka juga akan mendatangi seorang psikolog. ____ Ketika kedua orang tua itu menerima tamu, sedang Samir dan Hida lagi asyik belajar, orang-orang mendengar hiruk pikuk di jalan. Orang-orang berlarian di dalam rumah dan para pembantu berteriak-teriak. Ada kebakaran di lantai atas. Mereka semua keluar dari kamar. Seorang pembantu membopong Tahir keluar. Regu pemadam kebakaran berdatangan. Api bisa dipadamkan sebelum menjalar dan membesar. Ketika ditanya Tahir menjawab seperti tak sadar. "Ya, akulah yang menuang minyak dan menyulut api.” "Mengapa?" "Aku tidak ingat," jawab Tahir pendek lalu diam. Sebuah ambulan mengangkut Tahir. Dengan tangan dan kaki terbalut, ia diapit kedua orang tuanya. Seorang perawat rumah sakit duduk di depan mereka. Tahir tertolong sesudah ada usaha gigih. Tatapan beku terbayang di mata sang ayah. Sedang ibu air matanya mengalir tak terbendung. "Banyak korban yang lebih parah dari ini, kemudian mereka bisa sembuh seperti sedia kala," kata perawat. Hasan Dahman ingin mengatakan, "Kehilangan akal sehat adalah bencana terburuk bagi manusia. Namun ia urung mengungkapkannya. Ia malah bertanya kepada diri sendiri. "Apakah arti semua ini? Apakah kesalahanku?" Karena sejak dulu hingga kini, keluarganya dikenal tertib dan rasional banyak hal. Bagaimana mungkin tersusupi "penyakiť"? Hati Hasan Dahman terasa pedih. Batinnya menjerit. Ia iri melihat isterinya yang kelihatan tenang. Ketika melirik anaknya, ia melihat Tahir memejamkan mata. Ia hanya mengigit bibir. "Rumah sakit adalah tempat terbaik baginya saat ini. Janganlah Anda berdua bersedih karena luka-luka yang memang harus ia derita," kata perawat mencoba mencairkan suasana sedih. Hasan Dahman tidak bergairah menjawab. Tapi ia ingin menyenangkan hati perawat sebisanya. Di puncak kesedihannya, Hasan Dahman berkata," Anda benar, tuan. Ini memang rasional.