Anda di halaman 1dari 13

ETIKA PELAYANAN PUBLIK INDONESIA

Disusun oleh

MUH. ZAMHARIRUDDIN, S.IP

No HP : 087865526058

Email : zamhariruddin.muh@gmail.com

2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesejahteraan masyarakat di negara sedang berkembang seperti Indonesia, sangat
tergantung pada kemampuan mereka mendapat akses dan kemampuan untuk dapat
menggunakan pelayanan publik. Akan tetapi permintaan akan pelayanan tersebut biasanya
jauh melebihi kemampuan pemerintah untuk dapat memenuhinya. Hal ini dikarenakan
pemusatan segala urusan publik hanya kepada negara dan urusan pelayanan publik yang
demikian kompleks mustahil dapat diurus secara menyeluruh oleh institusi negara
(sentralisasi). Oleh karena itulah kemudian dicetuskan ide desentralisasi, yang mencoba
menggugat kelemahan yang ada pada diskursus sentralisasi tersebut.
Kerangka desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada daerah untuk
melaksanakan pemerintahan sendiri selain dipandang positif dari sisi efektifitas manajemen
pemerintahan, pelaksanaan desentralisasi juga dipandang sesuai dengan prinsip-prinsip
demokrasi yang memungkinkan setiap warga negara untuk menentukan sendiri nasib dan
mengapresiasikan keinginannya secara bebas (Setiyono, 2004: 205). Mengingat tujuan
kebijakan desentralisasi sendiri yaitu untuk menciptakan suatu sistem pembagian kekuasaan
antar daerah yang mapan dimana pemerintah pusat dapat meningkatkan kapasitas,
memperoleh dukungan masyarakat, dan mengawasi pembagian sumber daya dengan adil.
Desentralisasi yang juga merupakan bentuk pelaksanaan dari demokrasi lokal dengan
memanfaatkan keefektifitasan pemerintah daerah pada akhirnya juga diharapkan dapat
mendorong pemerintah daerah agar lebih bertanggung jawab dalam mengelola dan
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang ada di daerah.
Namun konsep desentralisasi yang sampai saat ini masih berjalan justru membuka
kesempatan untuk melahirkan “raja-raja kecil” daerah. Sebagai akibatnya, ide desentralisasi
itu tidak lantas memperbaiki kinerja daerah dalam mengelola urusan publiknya, justru malah
cenderung mengabaikannya. Penyelenggaraan urusan publik yang berpindah dari pusat ke
daerah juga memberikan kesempatan terjadinya praktek korupsi di daerah. Ini terlihat dari
banyaknya pejabat daerah baik di birokrasi maupun di non birokrasi (lembaga legislatif) yang
terlibat kasus hukum, politisasi birokrasi merajalela, serta pelayanan di daerah menjadi lahan
rebutan antar daerah sehingga pungutan menjadi berlapis-lapis untuk satu produk barang.
Kinerja birokrasi yang masih kurang baik inilah yang kemudian dinilai sebagai kegagalan
dalam semangat desentralisasi.

1
Data yang disampaikan oleh Ease Of Doing Business (2011) sebagaimana yang
dikutip dari Bappenas (2011) menyatakan bahwa posisi Indonesia dalam Kemudahan
Melakukan Bisnis pada tahun 2011 menurun dibandingkan tahun 2010. Selama setahun
terakhir, Indonesia telah melakukan tiga reformasi positif di tiga kriteria, yaitu pendirian
usaha (pengurangan biaya dan waktu pembuatan akte pendirian usaha), pengurangan tarif
pajak penghasilan serta pengurangan waktu ekspor dengan NSW. Tetapi indonesia masih
buruk dalam pelaksanaan kontrak (dari segi jumlah prosedur, waktu serta biaya). Secara
umum kemudahan usaha di Indonesia masih jauh di bawah rata-rata (masih di bawah
Vietnam).
Dari gambaran di atas dapat kita ketahui bahwa kinerja birokrasi Indonesia memang
masih mengecewakan. Dalam survey yang dilakukan oleh Dwiyanto, dkk bahkan dijelaskan
nilai capaian kinerja birokrasi dalam hal produktifitas kualitas layanan, responsivitas,
responsibilitas, dan akuntabilitas birokrasi kita juga masih sangat rendah. Bahkan
sebagaimana dikutip oleh Dwiyanto dkk, menurut The World Competitiveness Yearbook
tahun 1999, tingkat indeks competitiveness birokrasi kita berada pada urutan terendah dari
segi kualitas pelayanan publik dibandingkan dengan 100 negara lain di dunia. Hal ini terbukti
dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa dari segi orientasi pelayanan birokrasi, kita
masih cenderung tidak sepenuhnya mencurahkan waktu dan tenaga untuk menjalankan tugas
melayani rakyat. Hampir 40% birokrat yang menjadi responden dalam penelitian itu
menyatakan bahwa mereka memiliki pekerjaan lain di luar pekerjaaannya sebagai aparatur
negara. Kondisi ini otomatis mengurangi konsentrasi mereka dalam bekerja sehingga tidak
fokus mengerjakan tugas-tugasnya (Setiyono, 2004: 131). Hal ini tentu saja menambah daftar
panjang buruknya birokrasi (selain prosedur birokrasi yang berbelit-belit, lama, kurang peka
terhadap tuntutan masyarakat, dll.) di negeri ini yang membuat masyarakat juga semakin
tidak percaya kepada kinerja aparat untuk dapat memenuhi tuntutan-tuntutan publik tersebut.
Menarik untuk diketahui, pada Hari Air Sedunia yang diadakan di alun-alun Kabupaten
Pacitan, Jawa Timur beberapa waktu yang lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menyatakan kegeramannya terhadap kebiasaan para pejabat dan instansinya yang sering
melakukan pemborosan. Akibatnya negara terbebani oleh pembiayaan yang meliputi kerja
tidak produktif aparat hingga Rp 7 triliun per bulannya. Hal ini menambah daftar panjang
dari kinerja birokrasi yang buruk dan krisis kepercayaan masyarakat terhadap sistem
birokrasi di Indonesia.

2
B. Rumusan Masalah
Di bidang administrasi negara di Indonesia khususnya, masalah etika dalam birokrasi
dan pelayanan publik menjadi keprihatinan yang sangat besar, karena perilaku birokrasi
mempengaruhi bukan hanya dirinya, tetapi masyarakat banyak. Selain itu, birokrasi juga
bekerja atas dasar kepercayaan, karena seorang birokrat bekerja untuk negara dan berarti juga
untuk rakyat. Wajarlah apabila rakyat mengharapkan adanya jaminan bahwa para birokrat
yang dibiayainya harus mengabdi kepada kepentingan umum menurut standar etika yang
selaras dengan kedudukannya.
Dari uraian dan kenyataan di atas, maka rumusan masalah ini yakni :
1) Bagaimanakah sejarah etika pelayanan publik di Indonesia ?

2) Apakah pentingnya etika dalam pelayanan publik ?

3) Bagaimanakah etika pelayanan publik Indonesia ?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi persyaratan daftar pascasarjana
program studi magister administrasi publik di universitas terbuka.

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Etika Pelayanan Umum (Publik)
Etika merupakan seperangkat nilai sebagai pedoman, acuan, referensi, penuntun apa
yang harus dilakukan dalam menjalankan tugasnya, tapi juga sekaligus berfungsi sebagai
standar untuk menilai apakah sifat, perilaku, tindakan atau sepak terjangnya dalam
menjalankan tugas dinilai baik atau buruk. Oleh karenanya, dalam etika terdapat sesuatu nilai
yang dapat memberikan penilaian bahwa sesuatu tadi dikatakan baik, atau buruk.
Pemikiran tentang etika kaitannya dengan pelayanan publik mengalami
perkembangan sejak tahun 1940-an melalui karya Leys (dalam Keban, 1994: 50-51). Leys
berpendapat: “bahwa seorang administrator dianggap etis apabila ia menguji dan
mempertanyakan standard-standard yang digunakan dalam pembuatan keputusan, dan tidak
mendasarkan keputusannya semata-mata pada kebiasaan dan tradisi yang sudah ada”.
Kemudian Tahun 1950-an, muncul perkembangan pemikiran baru. Hal ini terlihat dalam
karya Anderson (dalam Keban, 1994: 51) menyempurnakan aspek standard yang digunakan
dalam pembuatan keputusan. Karya Anderson menambah suatu point baru, bahwa standard-
standard yang digunakan sebagai dasar keputusan tersebut sedapat mungkin merefleksikan
nilai-nilai dasar dari masyarakat yang dilayani. Di tahun 1960-an, muncul lagi pemikiran baru
lewat tulisan Golembiewski (dalam Keban, 1994: 51) menambah elemen baru yaitu standar
etika mungkin mengalami perubahan dari waktu-kewaktu dan karena itu administrator harus
mampu memahami perkembangan dan bertindak sesuai standard-standard perilaku tersebut.
Pada permulaan tahun 1970-an, beberapa tulisan merefleksikan kecenderungan baru, tulisan
Hart (dalam Keban, 1994) mempromosikan nilai-nilai social equity sebagai pedoman dasar
administrasi negara, dan menyarankan teori keadilan dan rawls sebagai pedoman etika bagi
masyarakat maupun administrator sebagai individu. Kecenderungan baru juga terlihat pada
tulisan Henry (dalam Keban, 1994) yang menekankan tanggung jawab atau keharusan
administrator publik untuk memperhatikan aspek etika, dan tidak hanya melekat pada aspek
efesiensi, ekonomi, dan prinsip-prinsip administrasi. Menurut Henry, teori rawls tentang
justice al fanicres sangat bermanfaat untuk dipertimbangkan dalam praktek administrasi
negara. Dengan demikian aspek yang ditambahkan dalam permulaan tahun 1970-an ini
adalah aspek keadilan dan tanggung jawab.
Sejak permulaan tahun 1970-an ada beberapa tokoh penting yang sangat
mempengaruhi etika administrator publik, dua diantaranya adalah John Rohr dan Terry
L.Cooper. Rohr (dalam Keban,1994: 51-52) menyarankan agar administrator dapat

4
menggunakan regime norms yaitu nilai-nilai keadilan, persamaan, dan kebebasan sebagai
pengambilan keputusan terhadap berbagai alternatif kebijaksanaan dalam pelaksanaan tugas-
tugasnya. Dengan cara demikian, administrator negara dapat menjadi etis (being ethical).
Namun, menurut Cooper (dalam Keban,1994: 51) etika sangat melibatkan substantive
reasoning tentang kewajiban, konsekwensi dan tujuan akhir; dan bertindak etis (doing ethics)
adalah melibatkan pemikiran yang sistematis tentang nilai-nilai yang melekat pada pilihan-
pilihan dalam pengambilan keputusan. Pemikiran Cooper menunjukkan administrator yang
etis adalah administrator yang selalu terikat pada tanggung jawab dan peranan organisasi,
sekaligus bersedia menerapkan standard etika secara tepat pada pembuatan keputusan
administrasi.
B. Pentingnya Etika Dalam Pelayanan Publik
Alasan mendasar mengapa pelayanan publik harus diberikan adalah adanya public
interest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah karena pemerintahlah
yang memiliki “tanggung jawab” atau responsibility. Dalam memberikan pelayanan ini
pemerintah diharapkan secara profesional melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan
politik secara tepat mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dsb.
Padahal, kenyataan menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan atau pegangan
kode etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak
yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak
selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga,
kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorang
birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki “independensi”
dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada “otonomi dalam beretika”. Alasan lain
lebih berkenaan dengan lingkungan didalam birokrasi yang memberikan pelayanan itu
sendiri. Desakan untuk memberi perhatian kepada aspek kemanusiaan dalam organisasi
(organizational humanism) telah disampaikan oleh Denhardt. Dalam literature tentang aliran
human relations dan human resources, telah dianjurkan agar manajer harus bersikap etis,
yaitu memperlakukan manusia atau anggota organisasi secara manusiawi. Alasannnya adalah
bahwa perhatian terhadap manusia (concern for people) dan pengembangannya sangat
relevan dengan upaya peningkatan produktivitas, kepuasan dan pengembangan kelembagaan.
Alasan berikut berkenaan dengan karakteristik masyarakat publik yang terkadang begitu
variatif sehingga membutuhkan perlakuan khusus. Mempekerjakan pegawai negeri dengan
menggunakan prinsip “kesesuaian antara orang dengan pekerjaannya” merupakan prinsip
yang perlu dipertanyakan secara etis, karena prinsip itu akan menghasilkan ketidakadilan,

5
dimana calon yang dipekerjakan hanya berasal dari daerah tertentu yang relatif lebih maju.
Kebijakan affirmative action dalam hal ini merupakan terobosan yang bernada etika karena
akan memberi ruang yang lebih luas bagi kaum minoritas, miskin, tidak berdaya, dsb., untuk
menjadi pegawai atau menduduki posisi tertentu. Ini merupakan suatu pilihan moral (moral
choice) yang diambil oleh seorang birokrat pemerintah berdasarkan prinsip justice – as –
fairness sesuai pendapat John Rawls yaitu bahwa distribusi kekayaan, otoritas, dan
kesempatan sosial akan terasa adil bila hasilnya memberikan kompensasi keuntungan kepada
setiap orang, dan khususnya terhadap anggota masyarakat yang paling tidak beruntung.
Kebijakan mengutamakan “putera daerah” merupakan salah satu contoh yang populer saat
ini. Alasan penting lainnya adalah peluang untuk melakukan tindakan yang bertentangan
dengan etika yang berlaku dalam pemberian pelayanan publik sangat besar. Pelayanan publik
tidak sesederhana sebagaimana dibayangkan, atau dengan kata lain begitu kompleksitas
sifatnya baik berkenaan dengan nilai pemberian pelayanan itu sendiri maupun mengenai cara
terbaik pemberian pelayanan publik itu sendiri. Kompleksitas dan ketidakmenentuan ini
mendorong pemberi pelayanan publik mengambil langkah-langkah profesional yang
didasarkan kepada “keleluasaan bertindak” (discretion). Dan keleluasaan inilah yang sering
menjerumuskan pemberi pelayanan publik atau aparat pemerintah untuk bertindak tidak
sesuai dengan kode etik atau tuntunan perilaku yang ada.
Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran moral dan
etika dapat diamati mulai dari proses kebijakan publik (pengusulan program, proyek, dan
kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain organisasi pelayanan publik
(pengaturan struktur, formalisasi, dispersi otoritas) yang sangat bias terhadap kepentingan
tertentu, proses manajemen pelayanan publik yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari
perencanaan teknis, pengelolaan keuangan, SDM, informasi, dsb.), yang semuanya itu
nampak dari sifat-sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak adil, dsb. Dan
tidak dapat disangkal, semua pelanggaran moral dan etika ini telah diungkapkan sebagai
salah satu penyebab melemahnya pemerintahan kita. Alasan utama yang menimbulkan
tragedi tersebut sangat kompleks, mulai dari kelemahan aturan hukum dan
perundangundangan kita, sikap mental manusia, nilai-nilai sosial budaya yang kurang
mendukung, sejarah dan latarbelakang kenegaraan, globalisasi yang tak terkendali, sistim
pemerintahan, kedewasaan dalam berpolitik, dsb. Bagi Indonesia, pembenahan moralitas
yang terjadi selama ini masih sebatas lip service tidak menyentuh sungguh-sungguh substansi
pemenahan moral itu sendiri. Karena itu pembenahan moral merupakan “beban besar” di

6
masa mendatang dan apabila tidak diperhatikan secara serius maka proses “pembusukan”
terus terjadi dan dapat berdampak pada disintegrasi bangsa.

C. Etika Pelayanan Publik Indonesia


Faktor utama dalam keterpurukan pelayanan publik di Indonesia adalah lemahnya
etika sumber daya manusia (SDM), yaitu birokrat yang bertugas memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Etika pelayanan publik harus berorientasi kepada kepentingan
masyarakat berdasar asas transparansi (keterbukaan dan kemudahan akses bagi semua pihak)
dan akuntabilitas (pertanggungjawaban sesuai dengan peraturan perundang-undangan) demi
kepentingan masyarakat.
Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran moral dan
etika dapat kita amati mulai dari proses kebijakan publik yaitu (pengusulan program, proyek,
dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain organisasi pelayanan publik
(pengaturan struktur, formalisasi, dispersi otoritas) yang sangat bias terhadap kepentingan
tertentu, proses manajemen pelayanan publik yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari
perencanaan teknis, pengelolaan keuangan, sumber daya manusia, informasi,dsb.) yang
semuanya itu nampak dari sifat-sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak
adil, dsb, sehingga tidak dapat memberikan kualitas pelayanan yang unggul kapada
masyarakat.
Sudah sepantasnnya pelayanan umum dilakukan secara beretika agar tidak adanya
kekecewaan dalam suatu masyarakat. Etika yang sewajarnya ada kini sudah mulai luntur oleh
tindakan kurang terpuji dari pihak aparatur negara. Tindakan-tindakan tidak terpuji tersebut
diantaranya adalah :
1. Aparat belum memberikan informasi yang jelas dan benar kepada pengguna jasa,
terkadang terkesan berbelit-belit dan akhirnya para aparatur berkesempatan untuk
mendapatkan uang lebih dari tawarannya yang menguntungkan, misalkan dapat
menyelesaikan pembuatan KTP dengan cepat, namun dengan sedikit imbalan atas usaha yang
dilakukannya.

2. Aparat belum menunjukkan sikap ramah, sopan, dan santun pada pengguna jasa. Sikap
semena-mena yang ditunjukkan sebagian aparatur terkesan seperti merajai atau menggurui,
meskipun dengan orang yang lebih tua. Sikap tersebut dikarenakan oleh derajat yang dia
miliki dia rasakan sebagai derajat yang paling tingggi, meski sebenarnya dia tahu bahwa dia
merupakan pelayan bagi masyarakat.

7
3. Masih ada pegawai yang tidak berada pada tempat kerjanya atau mejanya kosong disaat
pengguna jasa membutuhkan pelayanan. Adanya „Bolos‟ kerja yang dilakukan aparatur
membuat masyarakat merasa dirugikan, tak jarang masyarakat yang ingin meminta bantuan
jasa merupakan masyarakat yang datang dari jauh dan ternyata setelah sampai ditempat
pelayanan, para pelayan masyarakat sedang tidak ada ditempat.

4. Masih ada pegawai yang mementingkan kepentingan pribadi dan terlalu tunduk dengan
apa yang diperintahkan pimpinan. Pekerjaan seharusnya tidak boleh dicampur dengan urusan
pribadi agar tidak adanya kekacauan dalam pekerjaan terhadap mayarakat. Jika pelayan
masyarakat terlalu tunduk dengan atasan maka tak jarang pekerjaan untuk melayani
masyarakat menjadi terbengkalai, karena dia lebih menjadi pelayan pimpinan daripada
pelayan masyarakat.
5. Aparat belum tanggap terhadap keluhan pengguna jasa.

Dalam etika pelayanan publik ada seperangkat nilai yang dapat digunakan sebagai
acuan, referensi, dan penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya, yakni :
1. Efisiensi, nilai efisiensi artinya tidak boros. Sikap, perilaku dan perbuatan birokrasi publik
dikatakan baik jika mereka efisien (tidak boros). Menurut Darwin (1999) mereka akan
menggunakan dana publik (public resources) secara hati-hati agar memberikan manfaat/hasil
yang sebesar-besarnya bagi publik. Efisiensi dapat dicapai manakala setiap anggota
organisasi dapat memberikan kontribusi kepada organisasi. Karena itu, perlu ditegakkan
sebuah prinsip “janganlah bertanya apa yang saudara dapatkan dari organisasi, tapi
bertanyalah apa yang dapat saudara berikan kepada organisasi”.
2. Membedakan milik pribadi dengan milik kantor, nilai ini dimaksudkan supaya birokrasi
yang baik dapat membedakan mana milik kantor dan mana milik pribadi. Artinya milik
kantor tidak digunakan untuk kepentingan pribadi.
3. Impersonal, nilai impersonal maksudnya adalah dalam melaksanakan hubungan antara
bagian satu dengan bagian yang lain, atau kerjasama antara orang yang satu dengan lainnya
dalam kerjasama kolektif diwadahi oleh organisasi, dilakukan secara formal. Maksudnya
hubungan impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari unsur perasaan daripada unsur
rasio dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada dalam
organisasi. Siapa yang salah harus diberi tindakan, dan yang berprestasi selayaknya mendapat
penghargaan.

8
4. Merytal system, nilai ini berkaitan dengan rekrutmen atau promosi pegawai, hendaknya
menggunakan “merytal system, artinya dalam penerimaan pegawai atau promosi pegawai
tidak didasarkan atas kekerabatan, namun berdasarkan pengetahuan (knowledge), ketrampilan
(skill), kemampuan (capable), dan pengalaman (experience), sehingga dengan sistem ini akan
menjadikan yang bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung
jawab, dan bukan “spoil system”.
5. Responsible, nilai ini berkaitan dengan pertanggungjawaban birokrasi publik dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya. Menurut Friedrich dalam Darwin (1988),
responsibilitas merupakan konsep berkenaan dengan standar profesional dan kompetensi
teknis yang dimiliki administrator (birokrasi publik) dalam menjalankan tugasnya. Untuk bisa
menilai perilaku, sikap, dan sepak terjang administrator harus memiliki standar penilaian
sendiri yang bersifat administratif atau teknis, dan bukan politis. Disamping itu,
pertanggungjawaban administratif menuntut administrator harus bertindak berdasarkan
moral. Dalam hal ini birokrasi publik perlu bersikap adil, tidak membedakan client, peka
terhadap ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat, atau memegang teguh kode etik
sebagai pelayan publik. Sehingga dengan demikian diharapkan birokrasi yang responsible
akan mampu memberikan layanan publik yang baik dan profesional.
6. Accountable, nilai accountable menurut Harty (1977) merupakan suatu istilah yang
diterapkan untuk mengukur apakah dana publik telah digunakan secara tepat dan tidak
digunakan secara ilegal. Sedangkan Herman Finner (1941) dalam Muhadjir (1993) nilai
accountable merupakan konsep yang berkenaan dengan standar eksternal yang menentukan
kebenaran suatu tindakan oleh birokrasi publik. Karenanya akuntabilitas ini disebut
tanggungjawab yang bersifat objektif, sebab birokrasi dikatakan accountable bilamana
mereka dinilai objektif oleh orang (masyarakat atau melalui wakilnya) dapat
mempertanggungjawaban segala macam perbuatan, sikap, dan sepak terjangnya kepada pihak
mana kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki itu berasal. Sehingga birokrasi publik dapat
dikatakan akuntabel manakala mereka mewujudkan apa yang menjadi harapan publik
(pelayanan publik yang profesional dan dapat memberikan kepuasan publik).
7. Responsiveness, nilai ini berkaitan dengan daya tanggap dari birokrasi publik dalam
menanggapi apa yang menjadi keluhan, masalah, dan aspirasi masyarakat. Mereka cepat
memahami apa yang menjadi tuntutan publik, dan berusaha untuk memenuhinya. Mereka
tidak suka menunda-nunda waktu, memperpanjang jalur pelayanan, atau mengutamakan
prosedur tetapi mengabaikan substansi. Dengan demikian birokrasi publik dapat dikatakan

9
baik apabila mereka dinilai memiliki responsif (daya tanggap) yang tinggi terhadap tuntutan,
masalah, keluhan serta aspirasi masyarakat.
Karena pentingnya pelayanan bagi kehidupan manusia, ditambah kompleksnya
kebutuhannya, maka bentuk pelayanan yang diperlukan lebih banyak, dapat berupa
kombinasi dari pelayanan lisan, pelayanan melalui tulisan dan pelayanan dengan perbuatan.
Apalagi pelayanan publik pada sebuah kantor pemerintahan. Disamping itu pola pelayanan
lain yang diharapkan dalam etika pelayanan publik adalah pelayanan yang menukik pada
pendekatan deontologi, yaitu pelayanan yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip nilai
moral yang harus ditegakkan karena kebenaran yang ada dalam dirinya dan tidak terkait
dengan akibat atau konsekuensi dari keputusan yang diambil. Dengan pelayanan seperti ini
diharapkan agar birokrasi selalu melakukan kewajiban moral untuk mengupayakan agar
sebuah kebijakan menjadi karakter masyarakat. Bila hal ini melembaga dalam diri pejabat
publik dan masyarakat, maka birokrasi patut menjadi teladan. Mereka tidak melakukan
sesuatu yang merugikan negara dan masyarakat, misalnya korupsi, kolusi, dan nepotisme.

10
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Isu tentang etika dalam pelayanan publik di Indonesia kurang dibahas secara luas dan
tuntas sebagaimana terdapat di negara maju, meskipun telah disadari bahwa salah satu
kelemahan dasar dalam pelayanan publik di Indonesia adalah masalah moralitas. Etika sering
dilihat sebagai elemen yang kurang berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal, dalam
literatur tentang pelayanan publik dan administrasi publik, etika merupakan salah satu elemen
yang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan organisasi
pelayanan publik itu sendiri.
Elemen ini harus diperhatikan dalam setiap fase pelayanan publik mulai dari
penyusunan kebijakan pelayanan, desain struktur organisasi pelayanan, sampai pada
manajemen pelayanan untuk mencapai tujuan akhir dari pelayanan tersebut. Dalam konteks
ini, pusat perhatian ditujukan kepada aktor birokrasi yang terlibat dalam setiap fase, termasuk
kepentingan aktor-aktor tersebut – apakah para aktor telah benar-benar mengutamakan
kepentingan publik diatas kepentingan-kepentingan yang lain.
Karena pentingnya pelayanan bagi kehidupan manusia, ditambah kompleksnya
kebutuhannya, maka bentuk pelayanan yang diperlukan lebih banyak, dapat berupa
kombinasi dari pelayanan lisan, pelayanan melalui tulisan dan pelayanan dengan perbuatan.
Apalagi pelayanan publik pada sebuah kantor pemerintahan. Disamping itu pola pelayanan
lain yang diharapkan dalam etika pelayanan publik adalah pelayanan yang menukik pada
pendekatan deontologi, yaitu pelayanan yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip nilai
moral yang harus ditegakkan karena kebenaran yang ada dalam dirinya dan tidak terkait
dengan akibat atau konsekuensi dari keputusan yang diambil. Dengan pelayanan seperti ini
diharapkan agar birokrasi selalu melakukan kewajiban moral untuk mengupayakan agar
sebuah kebijakan menjadi karakter masyarakat. Bila hal ini melembaga dalam diri pejabat
publik dan masyarakat, maka birokrasi patut menjadi teladan. Mereka tidak melakukan
sesuatu yang merugikan negara dan masyarakat, misalnya korupsi, kolusi, dan nepotisme.

11
DAFTAR PUSTAKA
Bappenas, 2011 (Edisi III), Perkembangan Perdagangan dan Investasi, Jakarta.
Dwiyanto, Agus dkk., 2003, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah,
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Kartasasmita, Ginandjar, 2004, Administrasi Pembangunan, Jakarta: LP3ES.
Denhardt, Kathryn G. 1988. The ethics of Public Service. Westport, Connecticut: Greenwood
Press.

12

Anda mungkin juga menyukai