Anda di halaman 1dari 5

STUDI KASUS DAN ANALISIS

OLEH :

NUR QOMARIA NTEYA


C03418029

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO
2019
Contoh Kasus

Dua orang siswa SMP di Batam dikembalikan ke orang tua. Alasannya, kedua anak yang
tercatat duduk di kelas 8 dan kelas 9 tersebut menolak hormat kepada bendera merah putih dan
menyanyikan lagu Indonesia Raya.
“Mereka pada saat melaksanakan upacara tidak mau hormat bendera dan tidak mau
menyanyikan lagu Indonesia Raya. Jadi memang dengan berat hati kita kembalikan ke orang
tua,” ujar Kepala Dinas Pendidikan Kota Batam, Hendri Arulan, Selasa (26/11/2019)
Hendri menyebut, keputusan itu dilakukan karena gagal membina dan melakukan pendekatan
kepada siswa dan orang tuanya. Keputusan itu, kata Hendri, telah tertuang dalam berita acara
pertemuan pihak sekolah, Dinas Pendidikan, perwakilan Polsek, termasuk Dewan Pendidikan.
Ia menganggap bahwa kedua siswa tersebut telah menyalahi aturan dalam negara. Hendri pun
khawatir perilaku kedua anak tersebut akan memengaruhi murid lainnya.
“Orang tua sudah sering dipanggil, diberi pemahaman. Daripada berpengaruh ke siswa
lain, maka hasil rapat memutuskan seperti itu (mengembalikan ke orang tua),” ujarnya.

Dalam Kasus Ini, Anak Tak Bisa Disalahkan

Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengatakan, kelompok Yehova merupakan
kelompok minoritas yang harus dilindungi. Ia pun mengingatkan bahwa para penganut aliran ini
memiliki hak untuk berkumpul dan hidup di Indonesia. Namun harus ditangani dengan baik bila
melawan hukum.
Dalam peristiwa ini, Halili menekankan bahwa anak tidak bisa disalahkan. Ia
menyampaikan bahwa anak-anak berusia 12 tahun tidak mungkin bertindak tanpa pengaruh
tertentu. Artinya, perilaku tersebut bukan atas kesengajaan mereka.
Halili pun menyampaikan bahwa anak merupakan korban dari sebuah sistem yang lebih
besar.
Ia menyampaikan, jika sekolah dan dinas pendidikan memutuskan untuk mengeluarkan
anak tersebut dari sekolah, maka anak tersebut menjadi korban dua kali. Sebab kata Halili,
pendidikan merupakan hak anak.
“Sekolah seharusnya mampu menangani masalah sendiri dan tidak perlu sampai
mengeluarkan sang anak dari sekolah,” ujar Halili kepada Tirto.
“Anak-anak ini sudah menjadi korban, sekolah seharusnya memberikan misalnya
konseling atau pendampingan kepada yang bersangkutan,” tambahnya.

Sekolah Harus Perhatikan Pola Pendampingan

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) pun mengkritik langkah Dinas Pendidikan Kota
Batam. Wasekjen FSGI, Satriawan Salim menyarankan, sekolah harus mengedepankan mediasi
dan pembinaan.
Meski sekolah telah melakukan pertemuan dengan pihak orang tua, Satriawan juga
meminta kepada sekolah untuk melibatkan rohaniawan. Sebab kata dia, anak yang dikeluarkan
tersebut menganut kepercayaan Yehova.
Satriawan mengatakan, aliran Yehova tak hanya ada di Batam, tetapi juga di luar Batam.
Ia pun menyebut bahwa FSGI Jakarta pernah menerima siswa SMA yang menganut kepercayaan
Yehova. Kata Satriawan, kepercayaan tersebut memang menolak hormat kepada simbol negara.
“Persoalannya bagaimana pola pembinaannya? Yang penting hak-hak anak itu terpenuhi.
Misalnya begini, apakah sudah terjadi mediasi atau pembinaan dari KPAD dan Komisi
Perlindungan Anak Indonesia Daerah, kemudian dari Dinas Pendidikan? Nah, ini termasuk dari
pendeta [pemuka agama],” kata Satriawan kepada reporter Tirto, Jumat (29/11/2019).
Satriawan pun menuturkan, pemerintah harus menjamin hak anak setelah mereka
dikeluarkan dari sekolah. Salah satu solusinya yakni memperkenankan siswa tersebut mengikuti
sekolah mandiri (homeschooling) atau sekolah kejar paket.
“Artinya hak di untuk mendapatkan pendidikan karena hak untuk mendapat pendidikan
merupakan hak asasi manusia yang ada di dalam UUD 1945, itu harus dipenuhi negara terhadap
anak tersebut,” tandasnya.
Dalam UUD 1945, ada beberapa pasal yang menjamin hak warga negara untuk
mendapatkan pendidikan, yakni pasal 28C ayat (1), pasal 28E ayat (1), dan pasal 31.
Berdasarkan UUD 1945 pasal 28C ayat (1), setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan
demi kesejahteraan umat manusia.
Ayat tersebut diperkuat dengan pasal 28E ayat (1) yang berbunyi, “Setiap orang berhak
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Selain itu, hak anak untuk mendapatkan pendidikan juga diatur dalam Undang-Undang
Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlidungan Anak, dalam Pasal 9 ayat (1) tertulis bahwa setiap anak berhak memperoleh
pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya
sesuai dengan minat dan bakat.
Analisis Kasus

Berdasarkan kasus diatas dua orang siswa dikeluarkan dari sekolah lantaran tidak mau
hormat bendera saat upacara di sekolah. Menurut orangtua, anaknya tetap menghormati proses
upacara dengan cara berdiri tegap, namun dalam ajaran pemahaman kepercayaanya hormat
kepada bendera adalah menyembah, sehingga si anak tetap upacara tetapi tidak hormat bendera
saat upacara sekolah.

Jadi, kalau kita lihat dari psikologi agamanya, masalah yang berhubungan dengan
kehidupan batiniah manusia. Agama sebagai bentuk keyakinan, memang sulit diukur secara tepat
dan terperinci.

Berdasarkan sudut pandang teori Humanistik bahwa si anak ini perilaku batiniahnya
seperti persepsi, perasaan, maksud dan juga keyakinan bisa membuat seseorang tampil beda
dengan yang lainnya. Untuk bisa memahami orang lain, maka seseorang harus bisa melihat dunia
yang dimiliki orang lain seperti bagaimana ia merasa dan berpikir.
Referensi

https://tirto.id/anak-tak-mau-hormat-bendera-mestinya-tak-dikeluarkan-dari-sekolah-emDr

Arthur Combs, Abraham Maslow, Carls Rogers. Humanistic Theory

Prof. Dr. H. Jalaluddin. Psikologi Agama. (Jakarta: PT. Rajagrafindo Perasada. 2007) hal. 10-.

Drs. Bambang Syamsul Arifin M.Si. Psikologi Agama. (Bandung: Pustaka Setia, 2008) ISBN 9797307468
hal. 11-.

Anda mungkin juga menyukai