Anda di halaman 1dari 30

PRESENTASI KASUS

ASMA

OLEH :

dr.Mery Asrina

PENDAMPING: dr. Hi.Angga Bernatta

PEMBIMBING :dr.Apri L, Sp.P

RSUD MENGGALA

AGUSTUS 2014

1
ILUSTRASI KASUS

Identitas Pasien

Nama : Tn. Y

Umur : 38 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Sopir

Status : Menikah

Alamat : Menggala

Suku : Lampung

Agama : islam

Masuk RS : 4 Mei 2014 pukul 01.15 WIB

No RM :072863

ANAMNESIS (Autoanamnesis)

Keluhan Utama

Sesak napas

Riwayat Penyakit Sekarang

- Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 2 jam SMRS. Sesak nafas
disertai bunyi ”ngik” . Sesak napas timbul saat malam hari atau sedang hujan.
Sesak nafas berkurang bila pasien duduk, nyeri dada di sangkal. Pasien tidak
dapat berkata-kata saat serangan. Pasien juga mengeluhkan batuk
berdahak,dahak campur buih, berwarna putih, berdarah (-). Pasien pernah
dirawat dengan keluhan yang serupa tanggal 15/4/2014.

Riwayat Penyakit Dahulu


- 1 bulan yang lalu pasien merasakan sesak napas yang serupa
- Riwayat asma sejak usia 5 tahun yang lalu.

2
Riwayat Penyakit Keluarga

- Ibu pasien menderita asma


Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan

- Pasien bekerja sebagai sopir

Pemeriksaan Umum

- Kesadaran : Komposmentis

- Keadaan umum : tampak sakit sedang

- Tekanan Darah : 150/90 mmHg

- Nadi : 127x/menit

- Napas : 40 x/menit

- Suhu : 36 C

Pemeriksaan Fisik

Kepala

 Bentuk : normocephali
 Rambut: hitam, tidak mudah dicabut
 Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat
isokor, diameter 3 mm, reflek cahaya +/+.
 Telinga : simetris, liang lapang, serumen (-)
LEHER
Inspeksi: simetris, trakea ditengah, KGB tidak membesar,
Tonsil: T1-T1, faring tidak hiperemis

Palpasi: tidak ada pembesaran KGB dan kelenjar tiroid

3
THORAKS

- Paru: Inspeksi : bentuk thorax normal, gerakan hemithorax


kanan sama dengan gerakan hemithorax kiri

Palpasi : fremitus taktil dan vokal kiri dan kanan sama

Perkusi : sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi :ekspirasi memanjang, wheezing (+/+), ronkhi (-/-)

- Jantung : Inspeksi : denyut iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba pada sela iga V midclavicula


kiri

Perkusi : Batas atas : sela iga II garis parasternal kiri

Batas kanan : sela iga V garis midklavikula


kanan

Batas kiri : sela iga IV midklavikula kiri

Auskultasi : Bunyi jantung I-II notmal, murmur (-), gallop


(-)

Abdomen

Inspeksi : perut datar

Palpasi :, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : timpani diseluruh lapangan abdomen

Auskultasi : bising usus (+) normal

Ekstremitas

Atas : tidak ada kelainan

Bawah : tidak ada kelainan

4
Pemeriksaan Penunjang:

1. Laboratorium
Darah Rutin

Hb : 11,3 gr/dl

Ht : 34 %

Leukosit : 3800

Hitung jenis

Basofil :0%

Eosinofil :0%

Batang :2%

Segmen : 23%

Limfosit : 72%

Monosit : 3%

Trombosit :161.000/mm

Urine Rutin

Warna : kuning

Berat Jenis : 1.015

pH :5

Leukosit : 1-5

Nitrit : (-)

Protein : ++

Reduksi :+

Keton : (-)

Urobilinogen : (-)

5
Bilirubin : (-)

Eritrosit : 0 / LPB

2.Rontgen

RESUME

Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 2 jam SMRS. Sesak nafas disertai bunyi
”ngik” . Sesak napas timbul saat malam hari atau sedang hujan. Sesak nafas berkurang
bila pasien duduk, nyeri dada di sangkal. Pasien tidak dapat berkata-kata saat serangan.
Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak,dahak campur buih, berwarna putih, berdarah
(-). Pasien pernah dirawat dengan keluhan yang serupa tanggal 15/4/2014. Riwayat asma
sejak usia 5 tahun yang lalu.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan ekspirasi memanjang, suara nafas tambahan yaitu
wheezing.

Diagnosis

Asma berat serangan akut

6
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding asma antara lain sbb :
 Penyakit Paru Obstruksi Kronik
 Bronkitis kronik

RENCANA PENATALAKSANAAN

Advice dr.Apri sp.P


- BR, O2 2-3 lpm
- Diet MB
- IVFD RL 20tpm
Mm:/
- Levofloxacin 1x750 mg (iv) (di IGD)
- Ventolin nebu 3x (di IGD)
- Farbivent nebu/8 jam
- Aminofilin drip/8 jam (iv)
- Ranitidine 2x1 amp (iv)
- Metil Prednisolone 1x125mg (iv)
- Aminofilin 1 amp bolus (iv) di IGD
- OBH syr 3xCI (po)
- Obs TTD, bila nadi>130x/m, stop drip aminofilin
Folow up

Tanggal 4-5-2014

Asma berat serangan akut

Keluhan : sesak menurun, batuk(+)

KU : tss

Ksdrn : CM

TD : 100/70 mmhg

RR : 30 X/mnt

Nadi : 100 x/mnt

7
Suhu : 36,5 oC

PF : thorak:

Paru: Inspeksi : bentuk thorax normal, gerakan hemithorax


kanan sama dengan gerakan hemithorax kiri

Palpasi : fremitus taktil dan vokal kiri dan kanan sama

Perkusi : sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi :ekspirasi memanjang, wheezing (-/-), ronkhi (+/


+)

- Jantung : Inspeksi : denyut iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba pada sela iga V midclavicula


kiri

Perkusi : Batas atas : sela iga II garis parasternal kiri

Batas kanan : sela iga V garis midklavikula


kanan

Batas kiri : sela iga IV midklavikula kiri

Auskultasi : Bunyi jantung I-II notmal, murmur (-), gallop


(-)

Terapi : BR, O2 2-3 lpm


Diet MB
IVFD RL 20tpm
Mm:/
- Levofloxacin 1x750 mg (iv)
- Farbivent nebu/8 jam
- Aminofilin drip/12 jam (iv)
- Ranitidine 2x1 amp (iv)
- Metil Prednisolone 1x125mg (iv)
- OBH syr 3xCI (po)

8
- Obs TTD, bila nadi>130x/m, stop drip aminofilin

Tanggal 5-5-2014

Asma berat serangan akut(perbaikan)

Keluhan : sesak (-), batuk(+)

KU : tss

Ksdrn : CM

TD : 110/70 mmhg

RR : 24 X/mnt

Nadi : 100 x/mnt

Suhu : 35,9 oC

PF : thorak:

Paru: Inspeksi : bentuk thorax normal, gerakan hemithorax


kanan sama dengan gerakan hemithorax kiri

Palpasi : fremitus taktil dan vokal kiri dan kanan sama

Perkusi : sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi :vesikuler +/+, wheezing (-/-), ronkhi (+/+)

- Jantung : Inspeksi : denyut iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba pada sela iga V midclavicula


kiri

Perkusi : Batas atas : sela iga II garis parasternal kiri

Batas kanan : sela iga V garis midklavikula


kanan

Batas kiri : sela iga IV midklavikula kiri

9
Auskultasi : Bunyi jantung I-II notmal, murmur (-), gallop
(-)

Terapi : Rencana pulang


Salbutamol 2mg + teofilin 100mg (3xpulv 1)
OBH syr 3xCI

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

10
2.1 Definisi
Asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronis pada saluran nafas yang
melibatkan sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi kronis tersebut
berhubungan dengan hiperresponsif dari saluran pernafasan yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada
terasa berat, dan batuk-batuk terutama pada malam hari atau awal pagi.
Episodik ini berhubungan dengan luas obstruksi saluran pernafasan yang
luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan.
Definisi asma menurut WHO pada tahun 1975, yaitu keadaan kronik yang
ditandai oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen saluran napas
sebagai respon terhadap stimulus yang tidak menyebabkan penyempitan
serupa pada banyak orang.

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Faktor genetik
 Hiperreaktivitas
 Atopi/Alergi bronkus
 Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
 Jenis Kelamin
 Ras/Etnik

2. Faktor lingkungan
 Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,
alternaria/jamur)
 Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
 Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,
makanan laut, susu sapi, telur)
 Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-
blocker dll)
 Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
 Ekspresi emosi berlebih
 Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
 Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
 Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktivitas tertentu

11
 Perubahan cuaca

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma:


 Pemicu: Alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang
berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi, serta
pajanan asap rokok.
 Pemacu: Rhinovirus, ozon, pemakaian β2 agonist.
 Pencetus: Infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu binatang,
alergen dalam rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal aeroalergen
seperti serbuk sari, asap rokok, polusi udara, pewangi udara, alergen di
tempat kerja, udara dingin dan kering, olahraga, menangis, tertawa,
hiperventilasi, dan kondisi komorbid (rinitis, sinusitis, dan gastroesofageal
refluks).

Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut:

Hiperaktivitas bronkus obstruksi

Faktor Genetik
Sensitisasi inflamasi Gejala Asma

Faktor Lingkungan
Gen kandidat yang diduga berhubungan dengan penyakit asma, serta penyakit
yang terkait denganPemicu (inducer)
penyakit Pemacu
asma sangat (enhancer)
banyak. Gen MHCPencetus
manusia(trigger)
yang
terletak pada kromosom 6p, khususnya HLA telah dipelajari secara luas dan
sampai saat ini masih merupakan kandidat gen yang banyak dipelajari dalam
kaitannya dengan asma. HLA-DR merupakan MHC (major histocompatibility
complex) klas II, suatu reseptor permukaan sel yang disandikan oleh kompleks
antigen leukosit manusia (HLA/ Human Leukocyte Antigen) yang terletak pada
kromosom 6 daerah 6p21.31.

12
2.3 Epidemiologi
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS (2003),
prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak
(jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah
dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang mengalami serangan lebih banyak
daripada lelaki. WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian
akibat asma. Sedangkan berdasarkan laporan NCHS (2000) terdapat 4487
kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu populasi.
Asma adalah penyakit kronik yang umum menyebabkan peningkatan angka
kesakitan. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari data statistik pusat
nasional Amerika Serikat pada tahun1998, terdapat 8,65 juta anak-anak
dilaporkan menderita asma dan 3,8 juta anak pernah mengalami episode
serangan asma dalam waktu 12 bulan. Asma pada anak-anak di Amerika
Serikat dianggap sebagai penyebab tersering adanya kunjungan ke Instalasi
Gawat Darurat (867,000 kasus), rawat inap (166,000 kasus) dan tidak masuk
sekolah (10.1 juta kasus) Walaupun asma tidak sering menyebabkan kematian,
namun dilaporkan 164 kematian anak akibat asma pada tahun 1998.

2.4 Patofisiologi Asma


2.4.1 Obstruksi saluran respiratori
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat disebabkan
oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkial
yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi
seperti histamin, triptase, prostaglandin D2, dan leukotrien C4 yang
dikeluarkan oleh sel mast, neuropeptidase yang dikeluarkan oleh saraf
aferen lokal dan asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post ganglionik.
Akibat yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas adalah
hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta terjadi deposisi
matriks pada saluran nafas. Namun,dapat juga timbul pada keadaan dimana
saluran nafas dipenuhi sekret yang banyak, tebal dan lengket pengendapan
protein plasma yang keluar dari mikrovaskularisasi bronkial dan debris
seluler.
Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh
penyempitan saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur pohon

13
trakeobronkial. Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan
saluran nafas adalah kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi
untuk mendapatkan volume yang lebih besar, yang kemudian dapat
menimbulkan hiperinflasi toraks. Perubahan ini meningkatkan kerja
pernafasan agar tetap dapat mengalirkan udara pernafasan melalui jalur yang
sempit dengan rendahnya compliance pada kedua paru. Inflasi toraks
berlebihan mengakibatkan otot diafragma dan interkostal, secara mekanik,
mengalami kesulitan bekerja sehingga kerjanya menjadi tidak optimal.
Peningkatan usaha bernafas dan penurunan kerja otot menyebabkan
timbulnya kelelahan dan gagal nafas.

Gambar 3. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik

2.4.2 Hiperaktivitas saluran respiratori


Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang
menyebabkan penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui,
namun dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran nafas yang
terjadi sekunder serta berpengaruh terhadap kontraktilitas ataupun

14
fenotipnya. Sebagai tambahan, inflamasi pada dinding saluran nafas yang
terjadi akibat kontraksi otot polos tersebut
Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada
pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg%
didapatkan penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang
merupakan kharakteristik asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang
lainnya seperti Chronic Obstruction Pulmonary Disease (COPD), fibrosis
kistik dan rhinitis alergi. Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun
adenosin, tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos saluran
nafas (tidak seperti histamin dan metakolin). Stimulus tersebut akan
merangsang sel mast, ujung serabut dan sel lain yang terdapat disaluran
nafas untuk mengeluarkan mediatornya.

2.4.3 Otot polos saluran respiratori


Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus.
Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada
bagian elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya.
Peningkatan kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan
peningkatan kecepatan pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti
bahwa perubahan pada struktur filamen kontraktilitas dari sel otot polos
dapat menjadi etiologi hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik
Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui melalui
hipotesis pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot polos saluran
nafas mengalami kekakuan bila dalam waktu yang lama tidak
direnggangkan sampai pada tahap akhir, yang merupakan fase terlambat,
dan menyebabkan penyempitan saluran nafas yang menetap atau persisten.
Kekakuan dari daya kontraksi, yang timbul sekunder terhadap inflamasi
saluran nafas, kemudian menyebabkan timbulnya edema adventsial dan
lepasnya ikatan dari tekanan rekoil elastis
Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase dan
protein kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos
untuk berkontraksi, sama seperti mediator inflamasi yang lainnya seperti
histamin. Keadaan inflamasi ini dapat memberikan efek ke otot polos
secara langsung ataupun sekunder terhadap geometri saluran nafas

15
2.4.4 Hipersekresi mukus
Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada
saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas
merupakan karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat
penumpukan mukus saluran nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang
fatal dan menjadi penyebab ostruksi saluran nafas yang persisten pada
serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan dengan
bronkodilator.
Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa
peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas.
Penebalan dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan
produksi musin saja tetapi terdapat juga penumpukan sel epitel,
pengendapan albumin yang bersal dari mikrovaskularisasi bronkial,
eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis.
Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu
mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia
dan mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi.
Degranulasi sel Goblet yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan,
diperkirakan terjadi karena adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau
aktivitas jalur refleks kolinergik. Kemungkinan besar yang lebih penting
adalah degranulasi yang diprovokasi oleh mediator inflamasi, dengan
aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase, kimase sel mast,
leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease.
2.5 Anamnesis
dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan gejala batuk
dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan batuk
dijumpai sesak nafas dari ringan sampai berat. Pada serangan asma gejala
yang timbul bergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan,
gejala yang timbul tidak terlalu berat. Pasien masih lancar berbicara dan
aktifitasnya tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah
berat anak sulit mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat, gejala

16
sesak dan sianosis dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat
mengucapkan kata-kata

2.6 Pemeriksaan fisik


Gejala dan serangan asma tergantung pada derajat serangannya. Pada
serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara lancar, tidak dijumpai
adanya retraksi baik di sela iga maupun epigastrium. Frekuensi nafas
masih dalam batas normal. Pada serangan sedang dan berat dapat dijumpai
adanya wheezing terutama pada saat ekspirasi, retraksi, dan peningkatan
frekuensi nafas dan denyut nadi bahkan dapat dijumpai sianosis. Berbagai
tanda atau manifestasi alergi, seperti dermatitis atopi dapat ditemukan(11).
Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus akibat adanya inflamasi
kronik saluran respiratorik. Akibatnya timbul hipersekresi lender, udem
dinding bronkus dan konstriksi otot polos bronkus. Ketiga mekanisme
patologi diatas mengakibatkan timbulnya gejala batuk, pada auskultasi
dapat terdengar ronkhi basah kasar dan mengi.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah
analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-
posterior. Pada AGD dapat dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan
rendahnya PO2 (hipoksemia). Pemeriksaan penunjang lain yang
diperlukan adalah uji fungsi paru bila kondisi memungkinkan. Pada
pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya penurunan FEV1 yang mencapai
<70% nilai normal
Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eosinofil total dapat
membantu penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan
eusinofil total umum dijumpai pada pasien asma. Untuk memastikan
diagnosis, dilakukan pemeriksaan uji provokasi dengan histamin atau
metakolin. Bila uji provokasi positif, maka diagnosis asma secara definitiF
dapat ditegakkan.

2.8 Diagnosis
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk,
sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan

17
cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah
dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti
kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.

2.8.1 Riwayat penyakit / gejala :


 Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
 Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
 Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
 Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
 Respons terhadap pemberian bronkodilator

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :


 Riwayat keluarga (atopi)
 Riwayat alergi / atopi
 Penyakit lain yang memberatkan
 Perkembangan penyakit dan pengobatan
2.8.2 Pemeriksaan Jasmani

Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat


normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah
mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar
normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat
penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran
napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai
kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk
mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan
dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada
serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun
demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat
berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar
bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas
2.8.3 Faal Paru

18
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai
asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan
mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain
untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter objektif
menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
 obstruksi jalan napas
 reversibiliti kelainan faal paru
 variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan
napas

Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah
diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan
spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).

Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP 1) dan kapasiti vital
paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang
standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita
sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita.
Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang
reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio
VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi

Arus Puncak Ekspirasi (APE)

Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan


yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter)
yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin
tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun
instalasi gawat darurat. Manfaat APE dalam diagnosis asma :
 Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE
 15% setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator
oral
10-14 hari, atau respons terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)

19
 Variabiliti, menilai hiperresponsif dari saluran pernapasan, dilakukan
dengan variabiliti APE harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat
digunakan menilai derajat berat penyakit .
.
Peran Pemeriksaan Lain untuk Diagnosis

Uji fungsi paru yang sederharna dengan peak flow meter, atau yang lebih
lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamine,
metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan dingin,atau dengan
salin hipertonis sangat menunjang diagnosis.pemeriksaan ini berguna untuk
mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya:
1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%
2. Kenaikan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi
bronkodilator.
3. Penurunan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.

Tabel 1. Klasifikasi derajat asma menurut PDPI

parameter Asma Asma Asma Asma


klinis intermitten persisten persisten persisten
Kebutuhan ringan Sedang berat
obat,
dan faal paru
1.Frekuensi <1x 1x seminggu, Gejala Gejala terus
serangan seminggu, > 2x sebulan setiap menerus,
> 2x sebulan hari,.1x sering
seminggu kambuh
2.diantara Tanpa gejala Sering ada Gejala Gejala terus
serangan gejala setiap hari menerus
3.Tidur dan Tidak Bisa terganggu Sangat Aktivitas
aktivitas terganggu terganggu fisik
terbatas
4.Pemeriksaan Normal, Mungkin Tidak Tidak
fisis tidak terganggu pernah pernah
diluar serangan ditemukan (ditemukan normal normal
kelainan kelainan)
5.Uji faal paru PEF/FEV1 PEF/FEV1 PEF/FEV1 PEF/FEV1
(di luar 60% -80% 60-80% < 60%
60% - 80%
serangan0 Variabilitas
20-30%
6.variabilitas < 20% 20%- 30% >30% > 30%
APE

20
Tabel 2. Penentuan Derajat Serangan Asma

Parameter klinis, Ringan Sedang Berat Ancaman


Fungsi paru, henti napas
Laboraturium
Sesak (breathless) Berjalan Berbicara Istirahat

Posisi Bisa berbaring Duduk Duduk


membungkuk
Bicara Kalimat Penggal Kata-kata
kalimat
Kesadaran Mungkin Gelisah gelisah mengantuk
Gelisah
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Wheezing Akhir Akhir ekspirasi Inspirasi dan Sulit /
ekspirasi paksa ekspirasi Tidak terdengar
Penggunaan otot Tidak Ya Ya Gerakan
Bantu respiratorik paradox
Torako-
Abdominal
Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, Dangkal/
Retraksi ditambah ditambah Hilang
Interkosta Retraksi Napas cuping
Suprasternal Hidung
Frekuensi napas < 20x/ menit 20-30x/ menit >30x/ menit Tak terhingga
Pulsus paradoksus Tidak ada Ada Ada ada
<10 mmHg 10-20 mmHg >20 mmHg tanda kelelahan
Otot
respiratorik
Variabilitas APE
>80% 60-80% <60%
SaO2 % >95% 91-95% ≤90%
PaO2 Normal >60 mmHg < 60 mmHg
PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg

2.6 DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding asma antara lain sbb :
 Penyakit Paru Obstruksi Kronik
 Bronkitis kronik
 Gagal Jantung Kongestif

21
 Batuk kronik akibat lain-lain
 Disfungsi laring
 Obstruksi mekanis (misal tumor)
 Emboli Paru

2.7.Tatalaksana Asma
Tujuan tatalaksana saat serangan :
- Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
- Mengurangi hipoksemia
- Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
- Rencana reevaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah
kekambuhan.

2.7.1. Tatalaksana Medikamentosa


Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda
(reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk
meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan
sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi
digunakan atau diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat
pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini
digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik
saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus
diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya
diturunkan pelan-pelan yaitu 25 % setiap penurunan setelah tujuan
pengobatan asma tercapai 6 – 8 minggu

Obat – obat Pereda (Reliever)


1. Bronkodilator
a. Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada
anak. Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan,
alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan
pankreas.

22
Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan
ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas
yang menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti
peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan
berkurangnya pelepasan mediator sel mast.
 Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada β2
agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1, β2,
dan α sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah,
palpitasi, takiaritmia, tremor, dan hipertensi.
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek
bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping,
terutama pada jantung dan CNS.
 β2 agonis selektif
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum
5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 –
0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).
Dosis terbutalin neulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek
puncak dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek
puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat karena pada
keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan
napas. Efek samping takikardi lebih sering terjadi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1
mcg/kgBB setiap 15 menit, dosis maksimal 4
mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit,
dilanjutkan dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam
dengan infuse kontinu.

23
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala,
agitasi, palpitasi, dan takikardi.

b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi, tapi
karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat
ini diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan
antikolinergik.
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap
reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian
teofilin IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang
lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat
kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya
absorpsi. Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta
dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolism hati,
sebagian besar dieksresi bersama urin.

2. Antikolinergik
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan
nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik.
Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam.
Efek sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut.
Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka
panjang pada anak.

3. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan :
 Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai
perbaikan yang cukup lama.
 Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan
kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.
 Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat
sebelumnya.

Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk


mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24

24
jam. Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau
triamsinolon dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari
selama 3 – 5 kali sehari.

Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat


ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin,
menghambat sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan basofil,
eosinofil dan leukosit lain di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas
vascular.

Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi


kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek
mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan
adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis Hidrokortison IV 4
mg/kgBB tiap 4 – 6 jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB
dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 – 8 jam.

Obat – obat Pengontrol


1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling
efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur.
Intervensi awal dengan penggunaan inhalasi budesonide berhubungan
dengan perbaikan dalam pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan
obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan dengan inhalasi
glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-gejala asma,
mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah
sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif
bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan

2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)


Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan
mungkin hasilnya lebih baik. Keuntungan memakai LTRA adalah sebagai
berikut :
 LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil
leukotriane;

25
 Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap
bronkokonstriktor;
 Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction
 Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per
hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati;
sayangnya preparat montelukast ini belum ada di Indonesia;
 Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan
meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan
transforming growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan
terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan
mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.

3. Long acting β2 Agonist (LABA)


Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol.
Pemberian ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari
frekuensi serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral,,
menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi ICS dan
LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate
dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort).
Seretide dalam MDI sedangkan Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini
mempermudah penggunaan obat dan meningkatkan kepatuhan memakai
obat.

4. Teofilin lepas lambat


Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid
yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis
pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah
daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi
ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang,
perdarahan lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih dari
10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada dosis inisial
5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.

26
Derajat asma Asma intermitten Asma persisten Asma persisten Asma persisten
sedang
ringan berat

pengobatan pelega: (agonis pelega: (agonis pelega: (agonis pelega:(agonis


beta 2 kerja beta 2 kerja beta 2 kerja beta 2 kerja
singkat) singkat) singkat) singkat)
Pengontrol: - Pengontrol;Glukok Pengontrol:Gluk Pengontrol:Gluk
ortikosteroid okortikosteroid okortikosteroid
inhalasi (200-400 inhalasi(400-800 inhalasi(> 800
mikrogram/hari) mikrogram) mikrogram)
dan agonis beta 2 ditambah agonis ditambah agonis
kerja lama beta 2 kerja lama beta 2 kerja
oral/ leukotrine lama oral/
modifiers/teofilin leukotrine
lepas lambat modifiers/teofili
n lepas lambat

BAB 3

PENUTUP

27
3.1 Kesimpulan

Asma merupakan penyakit yang cukup banyak dijumpai pada anak-anak.


Asma didefenisikan sebagai wheezing dan/atau batuk dengan karakteristik
sebagai berikut : timbul secara episodik dan/atau kronis, cenderung pada
malam hari (nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktifitas
fisik, dan bersifat reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan,
serta adanya riwayat asma atau atopi pada pasien/keluarganya. Karena asma
merupakan penyakit yang berhubungan dengan imunologi, maka penderita
asma dapat mengalami serangan berulang. Asma dapat diklasifikasikan
sebagai asma episodik jarang, episodik sering, dan asma persisten. Sedangkan
jika terjadi serangan, dapat diklasifikasikan sebagai asma serangan ringan,
sedang, dan berat. Serangan asma yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
terjadinya apnea. Oleh karena itu, penatalaksanaan serangan asma tergantung
kepada derajat serangannya. Serangan asma ditanggulangi dengan pemberian
bronkodilator, baik secara oral, parenteral, maupun inhalasi.

Tatalaksana asma diluar serangan dapat dilakukan dengan menghindari faktor


pencetus asma serta penggunaan obat pengendali (controller). Diharapkan
dengan dilakukannya tatalaksana asma jangka panjang dapat mengurangi
terjadinya serangan asma, sehingga dapat meningkatkan quality of life dari
penderita asma.

3.2 Saran

1. Perlunya pemahaman mengenai gejala klinis dan kriteria diagnosis agar


tidak terjadi kesalahan dalam penegakan diagnosis sehingga penangannya
menjadi lebih tepat dan adekuat.
2. Perlunya pemahaman mengenai penatalaksanaan asma pada saat serangan
dan tidak serangan sehingga dapat meningkatkan quality of life pasien.
3. Perlunya informasi mengenai asma kepada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

28
1. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan
RI ;2009; 5-11.

2. Friedman, Lawrence S. Tierney, Lawrence M. et all (editor) (2004). Asthma.


International Edition. 43 rd Edition. Lange Medical Books/McGraw Hill. USA.

3. Harrison’s. Manual of Medicine, 16 th Edition, Mc Graw-Hill, Medical Publishing


Division.

4. Kumpulan Makalah Satelit Simposium. (2001). Strategi Penanggulangan Asma


Mutakhir, Bali.

5. Price, Sylvia & Wilson Lorraine. 2006. Buku Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC

6. Nurjihad Andi. (2001). ”Hubungan Penyakit Saluran Napas Atas dan Asma”,
Jurnal Respirologi Indonesia, No.2, vol 21, Jakarta, hal 78-82.

7. Rosenstreich, David L et al. Asthma and the Environment (24-29). Journal


Of Asthma Editor David G. Tinkelman, M. D etc. Vol. 40 2003

8. Suherman SK. Ascobat P. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid,


Analog Sintetik dan Antagonisnya. dalam: Gunawan SG, penyunting.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. h.
496-500.

9. Wilson Lorraine M. Penyakit Pernapasan Obstruktif In Price Sylvia A. (1995).


Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 4, EGC, Jakarta, hal 689-692.

10. WHO Workshop Report. (2002). Global Strategy for Asthma, NH Publication,
USA.

11. Wray, Betty B. and McCann, William. 1-4, Bronchial Asthma---“The


Plumbing” Journal Of Asthma Editor David G. Tinkelman, M. D etc. Vol.
40 2003

29
30

Anda mungkin juga menyukai