ASMA
OLEH :
dr.Mery Asrina
RSUD MENGGALA
AGUSTUS 2014
1
ILUSTRASI KASUS
Identitas Pasien
Nama : Tn. Y
Umur : 38 tahun
Pekerjaan : Sopir
Status : Menikah
Alamat : Menggala
Suku : Lampung
Agama : islam
No RM :072863
ANAMNESIS (Autoanamnesis)
Keluhan Utama
Sesak napas
- Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 2 jam SMRS. Sesak nafas
disertai bunyi ”ngik” . Sesak napas timbul saat malam hari atau sedang hujan.
Sesak nafas berkurang bila pasien duduk, nyeri dada di sangkal. Pasien tidak
dapat berkata-kata saat serangan. Pasien juga mengeluhkan batuk
berdahak,dahak campur buih, berwarna putih, berdarah (-). Pasien pernah
dirawat dengan keluhan yang serupa tanggal 15/4/2014.
2
Riwayat Penyakit Keluarga
Pemeriksaan Umum
- Kesadaran : Komposmentis
- Nadi : 127x/menit
- Napas : 40 x/menit
- Suhu : 36 C
Pemeriksaan Fisik
Kepala
Bentuk : normocephali
Rambut: hitam, tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat
isokor, diameter 3 mm, reflek cahaya +/+.
Telinga : simetris, liang lapang, serumen (-)
LEHER
Inspeksi: simetris, trakea ditengah, KGB tidak membesar,
Tonsil: T1-T1, faring tidak hiperemis
3
THORAKS
Abdomen
Palpasi :, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas
4
Pemeriksaan Penunjang:
1. Laboratorium
Darah Rutin
Hb : 11,3 gr/dl
Ht : 34 %
Leukosit : 3800
Hitung jenis
Basofil :0%
Eosinofil :0%
Batang :2%
Segmen : 23%
Limfosit : 72%
Monosit : 3%
Trombosit :161.000/mm
Urine Rutin
Warna : kuning
pH :5
Leukosit : 1-5
Nitrit : (-)
Protein : ++
Reduksi :+
Keton : (-)
Urobilinogen : (-)
5
Bilirubin : (-)
Eritrosit : 0 / LPB
2.Rontgen
RESUME
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 2 jam SMRS. Sesak nafas disertai bunyi
”ngik” . Sesak napas timbul saat malam hari atau sedang hujan. Sesak nafas berkurang
bila pasien duduk, nyeri dada di sangkal. Pasien tidak dapat berkata-kata saat serangan.
Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak,dahak campur buih, berwarna putih, berdarah
(-). Pasien pernah dirawat dengan keluhan yang serupa tanggal 15/4/2014. Riwayat asma
sejak usia 5 tahun yang lalu.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan ekspirasi memanjang, suara nafas tambahan yaitu
wheezing.
Diagnosis
6
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding asma antara lain sbb :
Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Bronkitis kronik
RENCANA PENATALAKSANAAN
Tanggal 4-5-2014
KU : tss
Ksdrn : CM
TD : 100/70 mmhg
RR : 30 X/mnt
7
Suhu : 36,5 oC
PF : thorak:
8
- Obs TTD, bila nadi>130x/m, stop drip aminofilin
Tanggal 5-5-2014
KU : tss
Ksdrn : CM
TD : 110/70 mmhg
RR : 24 X/mnt
Suhu : 35,9 oC
PF : thorak:
9
Auskultasi : Bunyi jantung I-II notmal, murmur (-), gallop
(-)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
10
2.1 Definisi
Asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronis pada saluran nafas yang
melibatkan sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi kronis tersebut
berhubungan dengan hiperresponsif dari saluran pernafasan yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada
terasa berat, dan batuk-batuk terutama pada malam hari atau awal pagi.
Episodik ini berhubungan dengan luas obstruksi saluran pernafasan yang
luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan.
Definisi asma menurut WHO pada tahun 1975, yaitu keadaan kronik yang
ditandai oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen saluran napas
sebagai respon terhadap stimulus yang tidak menyebabkan penyempitan
serupa pada banyak orang.
2. Faktor lingkungan
Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,
alternaria/jamur)
Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,
makanan laut, susu sapi, telur)
Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-
blocker dll)
Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
Ekspresi emosi berlebih
Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktivitas tertentu
11
Perubahan cuaca
Faktor Genetik
Sensitisasi inflamasi Gejala Asma
Faktor Lingkungan
Gen kandidat yang diduga berhubungan dengan penyakit asma, serta penyakit
yang terkait denganPemicu (inducer)
penyakit Pemacu
asma sangat (enhancer)
banyak. Gen MHCPencetus
manusia(trigger)
yang
terletak pada kromosom 6p, khususnya HLA telah dipelajari secara luas dan
sampai saat ini masih merupakan kandidat gen yang banyak dipelajari dalam
kaitannya dengan asma. HLA-DR merupakan MHC (major histocompatibility
complex) klas II, suatu reseptor permukaan sel yang disandikan oleh kompleks
antigen leukosit manusia (HLA/ Human Leukocyte Antigen) yang terletak pada
kromosom 6 daerah 6p21.31.
12
2.3 Epidemiologi
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS (2003),
prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak
(jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah
dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang mengalami serangan lebih banyak
daripada lelaki. WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian
akibat asma. Sedangkan berdasarkan laporan NCHS (2000) terdapat 4487
kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu populasi.
Asma adalah penyakit kronik yang umum menyebabkan peningkatan angka
kesakitan. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari data statistik pusat
nasional Amerika Serikat pada tahun1998, terdapat 8,65 juta anak-anak
dilaporkan menderita asma dan 3,8 juta anak pernah mengalami episode
serangan asma dalam waktu 12 bulan. Asma pada anak-anak di Amerika
Serikat dianggap sebagai penyebab tersering adanya kunjungan ke Instalasi
Gawat Darurat (867,000 kasus), rawat inap (166,000 kasus) dan tidak masuk
sekolah (10.1 juta kasus) Walaupun asma tidak sering menyebabkan kematian,
namun dilaporkan 164 kematian anak akibat asma pada tahun 1998.
13
trakeobronkial. Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan
saluran nafas adalah kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi
untuk mendapatkan volume yang lebih besar, yang kemudian dapat
menimbulkan hiperinflasi toraks. Perubahan ini meningkatkan kerja
pernafasan agar tetap dapat mengalirkan udara pernafasan melalui jalur yang
sempit dengan rendahnya compliance pada kedua paru. Inflasi toraks
berlebihan mengakibatkan otot diafragma dan interkostal, secara mekanik,
mengalami kesulitan bekerja sehingga kerjanya menjadi tidak optimal.
Peningkatan usaha bernafas dan penurunan kerja otot menyebabkan
timbulnya kelelahan dan gagal nafas.
14
fenotipnya. Sebagai tambahan, inflamasi pada dinding saluran nafas yang
terjadi akibat kontraksi otot polos tersebut
Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada
pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg%
didapatkan penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang
merupakan kharakteristik asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang
lainnya seperti Chronic Obstruction Pulmonary Disease (COPD), fibrosis
kistik dan rhinitis alergi. Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun
adenosin, tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos saluran
nafas (tidak seperti histamin dan metakolin). Stimulus tersebut akan
merangsang sel mast, ujung serabut dan sel lain yang terdapat disaluran
nafas untuk mengeluarkan mediatornya.
15
2.4.4 Hipersekresi mukus
Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada
saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas
merupakan karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat
penumpukan mukus saluran nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang
fatal dan menjadi penyebab ostruksi saluran nafas yang persisten pada
serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan dengan
bronkodilator.
Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa
peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas.
Penebalan dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan
produksi musin saja tetapi terdapat juga penumpukan sel epitel,
pengendapan albumin yang bersal dari mikrovaskularisasi bronkial,
eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis.
Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu
mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia
dan mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi.
Degranulasi sel Goblet yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan,
diperkirakan terjadi karena adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau
aktivitas jalur refleks kolinergik. Kemungkinan besar yang lebih penting
adalah degranulasi yang diprovokasi oleh mediator inflamasi, dengan
aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase, kimase sel mast,
leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease.
2.5 Anamnesis
dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan gejala batuk
dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan batuk
dijumpai sesak nafas dari ringan sampai berat. Pada serangan asma gejala
yang timbul bergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan,
gejala yang timbul tidak terlalu berat. Pasien masih lancar berbicara dan
aktifitasnya tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah
berat anak sulit mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat, gejala
16
sesak dan sianosis dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat
mengucapkan kata-kata
2.8 Diagnosis
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk,
sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan
17
cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah
dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti
kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
18
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai
asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan
mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain
untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter objektif
menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
obstruksi jalan napas
reversibiliti kelainan faal paru
variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan
napas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah
diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan
spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).
Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP 1) dan kapasiti vital
paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang
standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita
sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita.
Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang
reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio
VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi
19
Variabiliti, menilai hiperresponsif dari saluran pernapasan, dilakukan
dengan variabiliti APE harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat
digunakan menilai derajat berat penyakit .
.
Peran Pemeriksaan Lain untuk Diagnosis
Uji fungsi paru yang sederharna dengan peak flow meter, atau yang lebih
lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamine,
metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan dingin,atau dengan
salin hipertonis sangat menunjang diagnosis.pemeriksaan ini berguna untuk
mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya:
1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%
2. Kenaikan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi
bronkodilator.
3. Penurunan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.
20
Tabel 2. Penentuan Derajat Serangan Asma
21
Batuk kronik akibat lain-lain
Disfungsi laring
Obstruksi mekanis (misal tumor)
Emboli Paru
2.7.Tatalaksana Asma
Tujuan tatalaksana saat serangan :
- Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
- Mengurangi hipoksemia
- Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
- Rencana reevaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah
kekambuhan.
22
Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan
ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas
yang menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti
peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan
berkurangnya pelepasan mediator sel mast.
Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada β2
agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1, β2,
dan α sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah,
palpitasi, takiaritmia, tremor, dan hipertensi.
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek
bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping,
terutama pada jantung dan CNS.
β2 agonis selektif
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum
5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 –
0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).
Dosis terbutalin neulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek
puncak dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek
puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat karena pada
keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan
napas. Efek samping takikardi lebih sering terjadi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1
mcg/kgBB setiap 15 menit, dosis maksimal 4
mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit,
dilanjutkan dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam
dengan infuse kontinu.
23
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala,
agitasi, palpitasi, dan takikardi.
b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi, tapi
karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat
ini diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan
antikolinergik.
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap
reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian
teofilin IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang
lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat
kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya
absorpsi. Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta
dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolism hati,
sebagian besar dieksresi bersama urin.
2. Antikolinergik
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan
nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik.
Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam.
Efek sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut.
Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka
panjang pada anak.
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan :
Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai
perbaikan yang cukup lama.
Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan
kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.
Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat
sebelumnya.
24
jam. Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau
triamsinolon dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari
selama 3 – 5 kali sehari.
25
Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap
bronkokonstriktor;
Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction
Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per
hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati;
sayangnya preparat montelukast ini belum ada di Indonesia;
Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan
meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan
transforming growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan
terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan
mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.
26
Derajat asma Asma intermitten Asma persisten Asma persisten Asma persisten
sedang
ringan berat
BAB 3
PENUTUP
27
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
28
1. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan
RI ;2009; 5-11.
5. Price, Sylvia & Wilson Lorraine. 2006. Buku Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC
6. Nurjihad Andi. (2001). ”Hubungan Penyakit Saluran Napas Atas dan Asma”,
Jurnal Respirologi Indonesia, No.2, vol 21, Jakarta, hal 78-82.
10. WHO Workshop Report. (2002). Global Strategy for Asthma, NH Publication,
USA.
29
30