Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA

KEBIJAKAN DAN HUKUM K3

Dosen Pembimbing :
Edi Purwanto, SST., M.Kes

Disusun Oleh :
Andi Akhmal. K
Ayu Kartika
Nina Nurul. C
Widia Putri.P

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN


KALIMANTAN TIMUR JURUSAN KEPERAWATAN
SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik, dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang
“KEBIJAKAN DAN HUKUM K3”. Meskipun masih banyak kekurangan didalamnya.

Dan juga berterima kasih atas beberapa pihak yang telah membantu dan memberi
tugas ini kepada kami. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa
didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu kami
berharap adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.

Samarinda, 12 Jaunari 2020

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i

i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................1
C. Tujuan Penulisan...................................................................................2
D. Sistematika Penulisan............................................................................2
BAB II TINJAUAN TEORI..........................................................................................3
A. UU Kesehatan dan Keselamatan Kerja.................................................3
B. Pasal dalam UU yang mengatur Pemeriksaan Kesehatan.....................8
C. UU yang mengatur kebisingan............................................................15
D. UU yang mengatur vibrasi..................................................................15
E. Peraturan tentang suhu ekstrim...........................................................19
F. Peraturan tentang radiasi.....................................................................20
G. Peraturan tentang illuminasi................................................................21
H. Ratifikasi konvensi ILO......................................................................21
BAB III PENUTUP......................................................................................................28
A. Kesimpulan..........................................................................................28
B. Saran....................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................29

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan suatu pemikiran dan upaya
untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani.
Dengan keselamatan dan kesehatan kerja maka para pihak diharapkan dapat
melakukan pekerjaan dengan aman dan nyaman. Pekerjaan dikatakan aman jika
apapun yang dilakukan oleh pekerja tersebut, resiko yang mungkin muncul dapat
dihindari. Pekerjaan dikatakan nyaman jika para pekerja yang bersangkutan
dapat melakukan pekerjaan dengan merasa nyaman dan betah, sehingga tidak
mudah capek.
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu aspek perlindungan
tenaga kerja yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Dengan
menerapkan teknologi pengendalian keselamatan dan kesehatan kerja,
diharapkan tenaga kerja akan mencapai ketahanan fisik, daya kerja, dan tingkat
kesehatan yang tinggi. Disamping itu keselamatan dan kesehatan kerja dapat
diharapkan untuk menciptakan kenyamanan kerja dan keselamatan kerja yang
tinggi. Jadi, unsur yang ada dalam kesehatan dan keselamatan kerja tidak
terpaku pada faktor fisik, tetapi juga mental, emosional dan psikologi.
Meskipun ketentuan mengenai kesehatan dan keselamatan kerja telah diatur
sedemikian rupa, tetapi dalam praktiknya tidak seperti yang diharapkan. Begitu
banyak faktor di lapangan yang mempengaruhi kesehatan dan keselamatan kerja
seperti faktor manusia, lingkungan dan psikologis. Masih banyak perusahaan
yang tidak memenuhi standar keselamatan dan kesehatan kerja. Begitu banyak
berita kecelakaan kerja yang dapat kita saksikan. Dalam makalah ini kemudian
akan dibahas mengenai permasalahan kesehatan dan keselamatan kerja serta
bagaimana mewujudkannya dalam keadaan yang nyata.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas dapat dirumusan sebagai berikut :
1. Bagaimana UU Kesehatan dan Keselamatan Kerja?
2. Bagaimana Pasal dalam UU yang mengatur Pemeriksaan Kesehatan?
3. Bagaimana UU yang mengatur kebisingan?
4. Bagaimana UU yang mengatur vibrasi?

0
5. Bagaimana peraturan tentang suhu ekstrim?
6. Bagaimana peraturan tentang radiasi?
7. Bagaimana peraturan tentang illuminasi?
8. Bagaimana ratifikasi konvensi ILO?

C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas di dapat tujuannya sebagai berikut :
1. Agar dapat mengerti dan memahami tentang UU Kesehatan dan Keselamatan
Kerja.
2. Agar dapat mengerti dan memahami tentang Pasal dalam UU yang mengatur
Pemeriksaan Kesehatan.
3. Agar dapat mengerti dan memahami tentang UU yang mengatur kebisingan.
4. Agar dapat mengerti dan memahami tentang UU yang mengatur vibrasi.
5. Agar dapat mengerti dan memahami Peraturan tentang suhu ekstrim.
6. Agar dapat mengerti dan memahami Peraturan tentang radiasi.
7. Agar dapat mengerti dan memahami Peraturan tentang illuminasi.
8. Agar dapat mengerti dan memahami tentang Ratifikasi konvensi ILO.

D. Sistematika Penulisan
Sistematika Penulisan Makalah ini, yaitu :
1. Bab I Pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, tujuan penulisan serta
sistematika penulisan.
2. Bab II Tinjauan teori terdiri dari UU Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Pasal dalam
UU yang mengatur Pemeriksaan Kesehatan, UU yang mengatur kebisingan, UU
yang mengatur vibrasi, peraturan tentang suhu ekstrim, peraturan tentang radiasi,
peraturan tentang illuminasi, dan ratifikasi konvensi ILO
3. Bab III Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. UU Kesehatan dan Keselamatan Kerja


Di indonesia, terdapat undang- undang khusus yang memang sengaja dibuat
untuk membahas menegenai kesehatan dan keselamatan kerja yaitu Undang-undang
No.13 Tahun 2003: UU tentang Ketenaga Kerjaan, dalam Pasal 87 ayat 1

1
mengamanatkan bahwa: Setiap Perusahaan wajib menerapkan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang terintegrasi dengan Sistem Manajemen
Perusahaan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, yang
memuat ketentuan-ketentuan pokok mengenai penerapan dan pelaksanaan syarat-
syarat K3. Peraturan Pemerintah RI No.50 Tahun 2012, tentang Penerapan Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Dalam Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2
menyatakan bahwa: Setiap Perusahaan wajib menerapkan SMK3 bagi Perusahaan
Mempekerjakan pekerja / buruh paling sedikit 100 (seratus) orang atau Mempunyai
tingkat potensi bahaya tinggi. Permenaker No.5 Tahun 1996 tentang Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Dengan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) organisasi dapat mengelola Kesematan dan
Kesehatan Kerja dengan mengontrol setiap kegiatan bisnis organisasi. Sebuah sistem
yang praktis dan masuk kedalam struktur organisasi, aktifitas perencanaan, tugas dan
tanggung jawab, proses dan sumber daya yang dikembangkan, penerapan, pencapaian,
peninjauan dan pemeliharaan Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja organisasi.
Berbagai kebijakan di bidang K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) dari berbagai
sumber yang disusun sesuai hirarki peraturan perundangan di Indonesia sebagai
berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
2. Undang-undang No.3 tahun 1969 tentang Persetujuan Konvensi ILO No.120
mengenai Hygiene dalam Perniagaan dan Kantor-kantor
3. Undang-undang No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
4. Undang-undang No.2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
5. Undang-undang No.3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
6. Undang-undang No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan
7. Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
8. Undang-undang No.21 tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention mengenai
Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan
9. Undang-undang No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
10. Peraturan Pemerintah No.25 tahun 1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri
Sipil
11. Peraturan Pemerintah No.67 tahun 1991 tentang Asuransi Sosial Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia

2
12. Peraturan Pemerintan No.69 tahun 1991 tentang Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan bagi PNS, Penerima Pensiun Sipil dan TNI/Polri, Veteran, Perintis
Kemerdekaan beserta Anggota Keluarganya
13. Peraturan Pemerintah No.14 tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja beserta perubahannya
14. Peraturan Pemerintah No.22 tahun 1993 tentang Daftar Jenis Penyakit yang
Timbul Karena Hubungan Kerja
15. Peraturan Pemerintah No.25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemeintah dan
Kewenangan Daerah Otonom di bidang Ketenagakerjaan (pasal 2 ayat 3)
16. Peraturan Pemerintah No.28 tahun 2003 tentang Subsidi dan Iuran Pemerintah
dalam Penyelenggaraan Asuransi Kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil dan
Penerima Pensiun
17. Peraturan Pemerintah No.84 tahun 2010 tentang Perubahan Ketujuh atas
Peraturan Pemerintah No.14 tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja
18. Peraturan Pemerintah No.101 tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran
19. Peraturan Pemerintah No.84 tahun 2013 tentang Perubahan Kesembilan atas
Peraturan Pemerintah No.14 tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja
20. Peraturan Presiden No.12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
21. Peraturan Presiden No.86 tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi
Administratif kepada Pemberi Kerja selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang
selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam
Penyelenggaraan Jaminan Sosial
22. Peraturan Presiden No.108 tahun 2013 tentang Bentuk dan Isi Laporan
Pengelolaan Program Jaminan Sosial
23. Peraturan Presiden No.32 tahun 2014 tentang Pengelolaan Dana Kapitasi JKN
24. Kepres RI No.22 tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul Karena Hubungan Kerja
25. Kepres RI No.101 tahun 2003 tentang Perubahan atas Kepres No.20/2002 tentang
Pembentukan Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional
26. Peraturan Bersama (PB) Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri
No.138/Menkes/2009 dan No.12/2009 tentang Pedoman Tarif Pelayanan
Kesehatan Peserta PT Askes (Persero) dan Anggota Keluarganya di Puskesmas,
Balai Kesehatan Masyarakat, dan Rumah Sakit Daerah

3
27. Permenkes No.474 tahun 2009 tentang Perubahan atas PMK No.
518/Menkes/Per/VI/2008 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan Bagi Peserta PT
Askes (Persero) dan Anggota Keluarganya di Balai Kesehatan Masyarakat dan
Rumah Sakit Vertikal
28. Permenkes No.416 tahun 2011 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan bagi Peserta PT
Askes (Persero)
29. Permenkes No.69 tahun 2013 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan pada
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat
Lanjutan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan
30. Permenkes No.71 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan
Kesehatan Nasional
31. Peraturan Menteri Perburuhan/Tenaga Kerja/Transmigrasi/Koperasi
32. Permen Perburuhan No.7 tahun 1964 tentang Syarat Kesehatan, Kebersihan serta
Penerangan dalam Tempat Kerja
33. Permenakertranskop RI No 1 Tahun 1976 tentang Kewajiban Latihan Hiperkes Bagi
Dokter Perusahaan
34. Permenakertrans RI No 1 Tahun 1978 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
dalam Pengangkutan dan Penebangan Kayu
35. Permenakertrans RI No 3 Tahun 1978 tentang Penunjukan dan Wewenang Serta
Kewajiban Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Ahli
Keselamatan Kerja
36. Permenakertrans RI No 1 Tahun 1987 tentang Kewajiban Latihan Hygiene
Perusahaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja bagi Tenaga Paramedis Perusahaan
37. Permenakertrans RI No 2 Tahun 1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga
Kerja Dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja
38. Permenakertrans RI No 1 Tahun 1981 tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat
Kerja
39. Permenakertrans RI No 3 Tahun 1982 tentang Pelayanan Kesehatan Tenaga Kerja
40. Permenaker RI No 3 Tahun 1985 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pemakaian Asbes
41. Permenaker RI No 4 Tahun 1987 tentang Panitia Pembina Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Serta Tata Cara Penunjukan Ahli Keselamatan Kerja
42. Permenaker RI No 2 Tahun 1992 tentang Tata Cara Penunjukan, Kewajiban dan
Wewenang Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja

4
43. Permenaker RI No 4 Tahun 1995 tentang Perusahaan Jasa Keselamatan dan
Kesehatan Kerja
44. Permenaker RI No 5 Tahun 1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja.
45. Permenaker RI No 1 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Pemeliharaan
Kesehatan Bagi Tenaga Kerja dengan Manfaat Lebih Dari Paket Jaminan
Pemeliharaan Dasar Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
46. Permenaker RI No 4 Tahun 1998 tentang Pengangkatan, Pemberhentian dan tata
Kerja Dokter Penasehat.
47. Permenaker No.05/Men/1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja
48. Permenakertrans No.23 tahun 2006 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia
49. Permenakertrans No.24 tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar
Hubungan Kerja
50. Permenakertrans No.12 tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran
Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan, dan Pelayanan Jaminan
Sosial Tenaga Kerja
51. Permenakertrans No.20 tahun 2007 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia
52. Permenakertrans No.24 tahun 2007 tentang Pedoman Penyelenggaraan Jaminan
Sosial bagi Tenaga Kerja yang Bekerja di Luar Hubungan Kerja (TKLHK)
53. Permenakertrans No.07 tahun 2010 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia
54. Keputusan Bersama Menteri
55. Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Kesehatan
No.235/Menaker/1985 dan 114/Menkes/1985 tentang Penyelenggaraan
Pemeriksaan Kesehatan bagi Tenaga Kerja
56. Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan Umum RI No
174 Tahun 1986 No 104/KPTS/1986 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
pada Tempat Kegiatan Konstruksi
57. Kepmenaker RI No 155 Tahun 1984 tentang Penyempurnaan keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep 125/MEN/82 Tentang Pembentukan,
Susunan dan Tata Kerja Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional, Dewan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Wilayah dan Panitia Pembina Keselamatan dan
Kesehatan Kerja

5
58. Kepmenaker RI No 1135 Tahun 1987 tentang Bendera keselamatan dan Kesehatan
Kerja.
59. Kepmenaker RI No 333 Tahun 1989 tentang Diagnosis dan Pelaporan Penyakit
Akibat Kerja.
60. Kepmenaker RI No 245 Tahun 1990 tentang Hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Nasional.
61. Kepmenakertrans RI No 147 Tahun 1998 tentang Pemanfaatan Pelayanan
Kesehatan Kerja bagi Program JPK Jamsostek
62. Kepmenakertrans RI No.157 tahun 2003 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia
63. Kepmenakertrans RI No 235 Tahun 2003 tentang Jenis-jenis Pekerjaan yang
Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak.
64. Kepmenakertrnas RI No 68 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan
HIV/AIDS di Tempat Kerja.
65. Kepmenakertrans No.280 tahun 2006 tentang Penetapan Konsorsium Asuransi
Tenaga Kerja Indonesia yang Diketuai oleh PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero)
dengan Anggota PT Asuransi Jiwa Askrida, PT Asuransi Tripakarta, PT Asuransi
Bosowa Persikop, PT Asuransi Bumiputera Muda 1967, PT Asuransi Bumi Asih Jaya,
dan PT Asuransi Parolamas sebagai Penyelenggara Program Asuransi Tenaga Kerja
Indonesia dan PT Grasia Media Utama sebagai Pialang Asuransi Konsorsium
Asuransi Tenaga Kerja Indonesia
66. Surat Edaran Menkes No.31 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Standar Tarif
Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama dan
Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan
Kesehatan
67. Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan
Ketenagakerjaan No 311 Tahun 2002 tentang Sertifikasi Kompetensi Keselamatan
dan Kesehatan Kerja Teknisi Listrik.
68. Pergub DKI No.109 tahun 2009 tentang Pencabutan Peraturan Gubernur No 82
tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Jaminan Kecelakaan Diri dan
Kematian dalam Hubungan Kerja untuk di Luar Jam Kerja
69. Pergub DKI No.136 tahun 2009 tentang Pelaksanaan Program Jaminan Sosial
dalam Hubungan Kerja di Luar Jam Kerja

6
B. Pasal dalam UU yang mengatur Pemeriksaan Kesehatan
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI No. Per.02/MEN/1980
TENTANG PEMERIKSAAN KESEHATAN TENAGA KERJA DALAM PENYELENGGARAAN
KESELAMATAN KERJA. MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

Menimbang :

a. bahwa keselamatan kerja yang setinggi-tingginya dapat dicapai bila antara


lain kesehatan tenaga kerja berada dalam taraf yang sebaik-baiknya.
b. bahwa untuk menjamin kemampuan fisik dan kesehatan tenaga kerja yang
sebaik-baiknya perlu diadakan pemeriksaan kesehatan yang terarah.

Mengingat :

1. Undang-undang No. 1 Tahun 1970;


2. Keputusan Presiden RI No.44 Tahun 1974 dan No.45 Tahun 1974;
3. Keputusan Presiden R.I No.47 Tahun 1979;
4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Transkop No. Kepts. 79/Men/1977;
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Transkop No. Per. 0l/Men/1976;
6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.71/MEN/1978.

MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG
PEMERIKSAAN KESEHATAN TENAGA KERJA DALAM PENYELENGGARAAN KESELAMATAN
KERJA.

Pasal 1
Yang dimaksud dengan:
(a) Pemeriksaan Kesehatan sebelum kerja adalah pemeriksaan kesehatan yang
dilakukan oleh dokter sebelum seorang tenaga kerja diterima untuk melakukan
pekerjaan.
(b) Pemeriksaan kesehatan berkala adalah pemeriksaan kesehatan pada waktu-waktu
tertentu terhadap tenaga kerja yang dilakukan oleh dokter.
(c) Pemeriksaan Kesehatan Khusus adalah pemeriksaan kesehatan yang dilakukan
oleh dokter secara khusus terhadap tenaga kerja tertentu.
(d) Dokter adalah dokter yang ditunjuk oleh Pengusaha dan telah memenuhi syarat
sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi No. Per
10/Men/1976 dan syarat-syarat lain yang dibenarkan oleh Direktur Jenderal
Pembinaan Hubungan Perburuhan dan Perlindungan Tenaga Kerja.
(e) Direktur ialah pejabat sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Tenaga
Kerja Transmigrasi dan Koperasi No. Kepts. 79/Men/1977. PER .02/MEN/1980

Pasal 2

7
(1) Pemeriksaan Kesehatan sebelum bekerja ditujukan agar tenaga kerja yang
diterima berada dalam kondisi kesehatan yang setinggi-tingginya, tidak
mempunyai penyakit menular yang akan mengenai tenaga kerja lainnya, dan
cocok untuk pekerjaan yang akan dilakukan sehingga keselamatan dan kesehatan
tenaga kerja yang bersangkutan dan tenaga kerja yang lain-lainnya dapat dijamin.
(2) Semua perusahaan sebagaimana tersebut dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang
No. 1 tahun 1970 harus mengadakan Pemeriksaan Kesehatan Sebelum Kerja.
(3) Pemeriksaan Kesehatan Sebelum Kerja meliputi pemeriksaan fisik lengkap,
kesegaran jasmani, rontgen paru-paru (bilamana mungkin) dan laboratorium rutin,
serta pemeriksaan lain yang dianggap perlu.
(4) Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu perlu dilakukan pemeriksaan yang sesuai
dengan kebutuhan guna mencegah bahaya yang diperkirakan timbul.
(5) Pengusaha atau pengurus dan dokter wajib menyusun pedoman pemeriksaan
Kesehatan Sebelum Kerja yang menjamin penempatan tenaga kerja sesuai dengan
kesehatan dan pekerjaan yang akan dilakukannya dan pedoman tersebut harus
mendapatkan persetujuan terlebih dahulu oleh Direktur.
(6) Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Sebelum Kerja dibina dan dikembangkan
mengikuti kemampuan perusahaan dan kemajuan kedokteran dalam keselamatan
kerja.
(7) Jika 3 (tiga) bulan sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh dokter
yang dimaksud pasal 1 (sub d), tidak ada keraguan-raguan PER .02/MEN/1980

Pasal 3
(1) Pemeriksaan Kesehatan Berkala dimaksudkan untuk mempertahankan derajat
kesehatan tenaga kerja sesudah berada dalam pekerjaannya, serta menilai
kemungkinan adanya pengaruh-pengaruh dari pekerjaan seawal mungkin yang
perlu dikendalikan dengan usahausaha pencegahan.
(2) Semua perusahaan sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (2) tersebut di atas harus
melakukan pemeriksaan kesehatan berkala bagi tenaga kerja sekurang-kurangnya
1 tahun sekali kecuali ditentukan lain oleh Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan
Perburuhan dan Perlindungan Tenaga Kerja.
(3) Pemeriksaan Kesehatan Berkala meliputi pemeriksaan fisik lengkap, kesegaran
jasmani, rontgen paru-paru (bilamana mungkin) dan laboratoriuin rutin serta
pemeriksaan lain yang dianggap perlu.
(4) Pengusaha atau pengurus dan dokter wajib menyusun pedoman pemeriksaan
kesehatan berkala sesuai dengan kebutuhan menurut jenis-jenis pekerjaan yang
ada.
(5) Pedoman Pemeriksaan kesehatan berkala dikembangkan mengikuti kemampuan
perusahaan dan kemajuan kedokteran dalam keselamatan kerja.

8
(6) Dalam hal ditemukan kelainan-kelainan atau gangguan-gangguan kesehatan pada
tenaga kerja pada pemeriksaan berkala, pengurus wajib mengadakan tindak lanjut
untuk memperbaiki kelainan-kelainan tersebut dan sebab-sebabnya untuk
menjamin terselenggaranya keselamatan dan kesehatan kerja.
(7) Agar pemeriksaan kesehatan berkala mencapai sasaran yang luas, maka pelayanan
kesehatan diluar perusahaan dapat dimanfaatkan oleh pengurus menurut
keperluan. PER .02/MEN/1980
(8) Dalam melaksanakan kewajiban pemeriksaan kesehatan berkala Direktur Jenderal
Pembinaan Hubungan Perburuhan dan Perlindungan Tenaga Kerja dapat
menunjuk satu atau beberapa Badan sebagai penyelenggara yang akan membantu
perusahaan yang tidak mampu melakukan sendiri pemeriksaan kesehatan berkala.

Pasal 4
Apabila Badan sebagaimana dimaksud pasal 3 ayat (8) didalam melakukan
pemeriksaan kesehatan berkala menemukan penyakit-penyakit akibat kerja, maka
Badan tersebut harus melaporkan kepada Ditjen Binalindung Tenaga Kerja melalui
Kantor Wilayah Ditjen Binalindung Tenaga Kerja.

Pasal 5
(1) Pemeriksaan Kesehatan khusus dimaksudkan untuk menilai adanya pengaruh-
pengaruh dari pekerjaan tertentu terhadap tenaga kerja atau golongan-golongan
tenaga kerja tertentu.
(2) Pemeriksaan Kesehatan Khusus dilakukan pula terhadap:
a. tenaga kerja yang telah mengalami kecelakaan atau penyakit yang
memerlukan perawatan yang lebih dari 2 (dua minggu).
b. tenaga kerja yang berusia diatas 40 (empat puluh) tahun atau tenaga kerja
wanita dan tenaga kerja cacat, serta tenaga kerja muda yang melakukan
pekerjaan tertentu.
c. tenaga kerja yang terdapat dugaan-dugaan tertentu mengenai gangguan-
gangguan kesehatannya perlu dilakukan pemeriksaan khusus sesuai dengan
kebutuhan.
(3) Pemeriksaan Kesehatan Khusus diadakan pula apabila terdapat keluhan-keluhan
diantara tenaga kerja, atau atas pengamatan pegawai pengawas keselamatan dan
kesehatan kerja, atau atas penilaian Pusat Bina Hyperkes dan Keselamatan dan
Balai-balainya atau atas pendapat umum dimasyarakat.
(4) Terhadap kelainan-kelainan dan gangguan-gangguan kesehatan yang disebabkan
akibat pekerjaan khusus ini berlaku ketentuan-ketentuan Asuransi Sosial Tenaga
Kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 6

9
(1) Perusahaan-perusahaan yang diwajibkan melakukan pemeriksaan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada pasal 2, 3, dan 5 wajib membuat rencana
pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja, berkala dan pemeriksaan kesehatan
khusus.
(2) Pengurus wajib membuat laporan dan menyampaikan selambat-lambatnya 2 (dua)
bulan sesudah pemeriksaan kesehatan dilakukan kepada Direktur Jenderal Bina-
lindung Tenaga Kerja melalui Kantor Wilayah Ditjen Binalindung Tenaga Kerja
setempat.
(3) Pengurus bertanggung jawab terhadap ditaatinya Peraturan ini. PER .
02/MEN/1980 halaman 4 dari 5
(4) Peranan dan fungsi paramedis dalam pemeriksaan kesehatan kerja ini akan
ditetapkan lebih lanjut oleh dokter sebagaimana tersebut pasal 1 sub (d).

Pasal 7
(1) Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebagaimana dimaksud
dalam Undangundang No. 1 tahun 1970 melakukan pengawasan terhadap
ditaatinya pelaksanaan peraturan ini.
(2) Untuk menilai pengaruh pekerjaan terhadap tenaga kerja Pusat Bina Hyperkes dan
Keselamatan Kerja beserta Balai-balainya menyelenggarakan pelayanan dan
pengujian di perusahaan.
(3) Bentuk/formulir permohonan sebagai dokter Pemeriksa Kesehatan, pelaporan dan
bentuk/formulir lain yang diperlukan pelaksanaan Peraturan Menteri ini
ditetapkan oleh Direktur.

Pasal 8
(1) Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai hasil pemeriksaan kesehatan
berkala, dan pemeriksaan kesehatan khusus, maka penyelesaiannya akan
dilakukan oleh Majelis Pertimbangan Kesehatan Daerah.
(2) Apabila salah satu pihak tidak menerima putusan yang telah diambil oleh Majelis
Pertimbangan Kesehatan Daerah, maka dalam jangka waktu 14 hari setelah
tanggal pengambilan keputusan tersebut pihak yang bersangkutan dapat
mengajukan persoalannya kepada Majelis Pertimbangan Kesehatan Pusat.
(3) Pembentukan susunan keanggotaan serta tugas dan wewenang Majelis
Pertimbangan Kesehatan Pusat dan Daerah ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pembinaan Hubungan Perburuhan dan Perlindungan Tenaga Kerja.

Pasal 9
Pengurus bertanggung jawab atas biaya yang diperlukan terhadap pemeriksaan
kesehatan berkala atau pemeriksaan kesehatan khusus yang dilaksanakan atas perintah

10
baik oleh Pertimbangan Kesehatan Daerah ataupun oleh Majelis Pertimbangan
Kesehatan Pusat.

Pasal 10
Pengurus yang tidak mentaati ketentuan-ketentuan dalam Peraturan ini diancam
dengan hukuman sesuai dengan pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-undang No.1 Tahun
1970 tentang Keselamatan Kerja. PER .02/MEN/1980 halaman 5 dari 5

Pasal 11
Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

11
C. UU yang mengatur kebisingan
Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau
kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan
gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan.
Baku tingkat kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan
yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau kegiatan
sehingga tidak menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan
kenyamanan lingkungan. Berikut adalah peraturan tentang tingkat
kebisingan yang berisi tentang baku mutu kebisingan dan cara pengukuran
kebisingan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-48/MENLH/11/1996 TENTANG BAKU TINGKAT
KEBISINGAN

D. UU yang mengatur vibrasi


Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 49 Tahun 1996
Tentang : Baku Tingkat Getaran
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang :
1. bahwa untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup agar dapat
bermanfaat bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya,
setiap usaha atau kegiatan perlu melakukan upaya pengendalian
pencemaran dan atau perusakan lingkungan;
2. bahwa salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat
mengganggu kesehatan manusia, makhluk lain dan lingkungan adalah
akibat tingkat getaran yang dihasilkan;
3. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Tingkat
Getaran;
Mengingat :
1. Undang-undang gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926, Stbl.
Nomor 226, setelah diubah dan ditambah terakhir dengan Stbl. 1940
Nomor 450;

12
2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 831);
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
(Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2918);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
(Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3274);
7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3459);
8. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3501);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor
84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993
tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang
Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan
Organisasi Staf
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU TINGKAT
GETARAN
Pasal 1

13
(1) Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Getaran adalah gerakan bolak-balik suatu massa melalui keadaan seimbang
terhadap suatu titik acuan;
2. Getaran mekanik adalah getaran yang ditimbulkan oleh sarana dan peralatan
kegiatan manusia;
3. Getaran seismik adalah getaran tanah yang disebabkan oleh peristiwa alam
dan kegiatan manusia;
4. Getaran kejut adalah getaran yang berlangsung secara tiba-tiba dan sesaat;
5. Baku tingkat getaran mekanik dan getaran kejut adalah batas maksimal
tingkat getaran mekanik yang diperbolehkan dari usaha atau kegiatan pada
media padat sehingga tidak menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan
dan kesehatan serta keutuhan bangunan;
6. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah
Khusus Ibukota atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa.
7. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup;

Pasal 2
(1) Baku tingkat getaran mekanik dan getaran kejut untuk kenyamanan dan
kesehatan, getaran berdasarkan dampak kerusakan, getaran berdasarkan jenis
bangunan, adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran I, II, III dan IV Keputusan
ini.
(2) Metoda pengukuran dan analisis tingkat getaran adalah sebagaimana tersebut
dalam Lampiran V Keputusan ini.

Pasal 3
Menteri menetapkan baku tingkat getaran untuk usaha atau kegiatan diluar
peruntukan kawasan/lingkungan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
Keputusan ini setelah memperhatikan masukan dari instansi teknis yang bersangkutan.

Pasal 4
(1) Gubernur dapat menetapkan baku tingkat getaran lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila Gubernur belum menetapkan baku tingkat getaran maka berlaku
ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.

Pasal 5
(1) Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi usaha atau kegiatan
mensyaratkan baku tingkat getaran lebih ketat dari ketentuan dalam Lampiran
(2) Keputusan ini, maka untuk usaha atau kegiatan tersebut berlaku baku tingkat
getaran sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 6
(1) Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan wajib:

14
1. mentaati baku tingkat getaran yang telah dipersyaratkan;
2. memasang alat pencegahan terjadinya getaran;
3. menyampaikan laporan hasil pemantauan tingkat getaran sekurangkurangnya
3 (tiga) bulan sekali kepada Gubernur, Menteri, Instansi yang bertanggung
jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan dan instansi teknis yang
membidangi kegiatan yang bersangkutan serta instansi lain yang dipandang
perlu.
4. Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam izin
yang relevan untuk mengendalikan tingkat getaran bagi setiap usaha atau
kegiatan yang bersangkutan.

Pasal 7
(1) Bagi usaha atau kegiatan yang telah beroperasi:
1. baku tingkat getaran lebih longgar dari ketentuan dalam Keputusan ini, wajib
disesuaikan dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) tahun terhitung sejak
ditetapkan Keputusan ini.
2. baku tingkat getaran lebih ketat dari Keputusan ini, dinyatakan tetap berlaku.

Pasal 8
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

E. Peraturan tentang suhu ekstrim

Berdasarkan PERATURAN KEPALA BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN


GEOFISIKA NOMOR : KEP. 009 TAHUN 2010
TENTANG PROSEDUR STANDAR OPERASIONAL PELAKSANAAN PERINGATAN DINI,
PELAPORAN, DAN DISEMINASI INFORMASI CUACA EKSTRIM, Suhu Udara Ekstrim
adalah kondisi suhu udara yang mencapai 3º C (tiga derajat celcius) atau lebih di atas
nilai normal setempat.\

PERATURAN
KEPALA BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA
NOMOR : KEP. 009 TAHUN 2010
TENTANG
PROSEDUR STANDAR OPERASIONAL PELAKSANAAN PERINGATAN DINI,
PELAPORAN, DAN DISEMINASI INFORMASI CUACA EKSTRIM

15
Menimbang :
bahwa dalam rangka penyampaian informasi cuaca ekstrim yang cepat, tepat, akurat,
dan mudah dipahami, maka perlu ditetapkan Peraturan Kepala Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika tentang Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan
Peringatan Dini, Pelaporan, Dan Diseminasi Informasi Cuaca Ekstrim;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 139, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5058);\
2. Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2008 tentang Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika;
3. Keputusan Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika Nomor KEP.005 Tahun 2004 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar Meteorologi dan Geofisika, Stasiun Meteorologi,
Stasiun Klimatologi, dan Stasiun Geofisika sebagaimana diubah dengan Peraturan Kepala
Badan Meteorologi dan Geofisika Nomor: 007/ PKBMG.01/2006;
4. Peraturan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Nomor KEP.03 Tahun
2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika;
5. Peraturan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Nomor KEP. 10 Tahun
2009 tentang Penyesuaian Penyebutan Peraturan Perundang-undangan Badan Meteorologi
dan Geofisika Menjadi Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika;
F. Peraturan tentang radiasi

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 58 TAHUN 2015
TENTANG
KESELAMATAN RADIASI DAN KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN
ZAT RADIOAKTIF
Menimbang:
1. bahwa untuk menata kembali penatalaksanaan pengangkutan zat radioaktif
perlu adanya penyesuaian persyaratan keselamatan radiasi dan keamanan
dalam pengangkutan zat radioaktif terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan hukum masyarakat;
2. bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan
Pengangkutan Zat Radioaktif belum mengatur secara tegas dan ketat
mengenai persyaratan keselamatan radiasi dalam pengangkutan zat

16
radioaktif serta belum mengatur mengenai persyaratan keamanan dalam
pengangkutan zat radioaktif;
3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Keselamatan
Radiasi dan Keamanan dalam Pengangkutan Zat Radioaktif.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 23, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3676).

G. Peraturan tentang illuminasi

H. Ratifikasi konvensi ILO

ILO Merupakan badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dengan tanggung jawab


internasional khusus mengenai ketenagakerjaan, serta berkantor pusat di Jenewa.
Konvensi ILO merupakan perjanjian-perjanjian internasional, tunduk pada ratifiksi
negara-negara anggota. Indonesia merupakan Negara pertama diAsia ke-5 di dunia
yang telah meratifikasi seluruh konvensi pokok ILO.
Sejak tahun 1950, Indonesia telah terdaftar menjadi anggota International Labour
Organization (ILO), yang merupakan badan resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Selama kurun waktu sampai sekarang, Indonesia telah merativikasi 8 Konvensi Inti ILO
(Core ILO Convention) yang merupakan hak-hak mendasar pekerja.
Namun demikian, ratifikasi konvensi ILO yang dalam hukum Indonesia dimasukan
dalam Undang-Undang, tidak berarti pelaksanaannya telah berjalan dengan baik.
Berbagai pelanggaran atas undang-undang perburuhan masih banyak terjadi dan
dalam konteks ini, maka fungsi serikat buruh menjadi sangat penting untuk mengawasi
dan mendorong pelaksanaan dengan baik konvensi-konvensi tersebut. Berikut adalah
konvensi yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia:
1. Konvensi ILO No: 19/1925 tentang Perlakuan yang Sama bagi Pekerja Nasional dan
Asing dalam hal Tunjangan Kecelakaan Kerja (Equality of Treatment for National
And Foreign Workers as Regards to Workmen’s Compensation for Accident).

17
Konvensi ini diratifikasi pada tahun 1927 dan dinyatakan berlaku bagi Indonesia
dengan Indonesia staatsblad 1929 No: 53
2. Konvensi ILO No: 27/1929 tentang Pemberian Tanda Berat Pada Pengepakan
Barang-Barang Besar yang Diangkut Dengan Kapal (The Marking at The Weight On
Heavy Packages Transported By Vessels) diratifikasi pada tahun 1933 Nederland
staatsblad 1932 No: 185, Nederland staatblad 1933 No: 34 dan dinyatakan berlaku
untuk Indonesia dengan Indonesia staatblad 1933 No: 117.
3. Konvensi ILO No: 29/1930 tentang Kerja Paksa atau Kerja Wajib (Forced or
Compulsory Labour) diratifikasi pada tahun 1933 (Nederland staatsblad 1933 No:
26 jo 1933 No: 236) dan dinyatakan berlaku bagi Indonesia dengan Indonesia
staatsblad 1933 No: 261
4. Konvensi ILO No: 45/1935 tentang Memperkerjakan Perempuan di Bawah Tanah
dalam Berbagai Macam Pekerjaan Tambang (The Employnment of Women on
Underground Work in Mines of All Kind), diratifikasi pada tahun 1937 (Nederland
staatsblad 1937 No: 15) dan dinyatakan berlaku bagi Indonesia dengan Indonesia
Staatsblad 1937 No: 219
5. Konvensi ILO No: 69/1946 tentang Sertifikasi Juru Masak Kapal (Certification of
Ship’s Cook) dibuat pada tahun 1946 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden
No: 4 tahun 1992
6. Konvensi ILO No: 81/1947 tentang Inspeksi Ketenagakerjaan (Labour Inspection)
dibuat pada tahun 1947
7. Konvensi ILO No: 87/1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan atas
Hak Berorganisasi (Freedom of Association and Protection of Right to Organize)
dibuat pada tahun 1948 dan diratifikasi pada tahun 1998
8. Konvensi ILO No: 88/1948) tentang Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja
(Institute for Employment Service) dibuat pada tahun 1948
9. Konvensi ILO No: 98/1949) tentang Penerapan Azas-azas Hak untuk Berorganisasi
dan Berunding Bersama (The Aplication of The Principles of The Right to Organize
and to Bargain Collectively) dibuat pada tahun 1949 dan diratifikasi dengan
Undang-undang nomor 18 tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi
Perburuhan Internasional No: 98 mengenai Berlakunya Dasar-dasar dari pada Hak
untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama (Lembaran Negara No: 42
tahun 1956)
10. Konvensi ILO No: 100/1951 tentang Pengupahan yang Sama bagi Pekerja Laki-laki
dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya (Equal Remuneration for Men and
Women Workers for Work of Equal Value) diratifikasi dengan Undang-undang
nomor 80 tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan

18
Internasional No: 100 mengenai Pengupahan bagi Pekerja Laki-laki dan Wanita
untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya (Lembaran Negara No: 171 tahun 1957)
11. Konvensi ILO No: 105/1957 tentang Penghapusan Kerja Paksa (Abolition of forced
labour) diratifikasi pada tahun 1999
12. Konvensi ILO No: 106/1957 tentang Istirahat Mingguan dalam Perdagangan dan
Kantor-kantor (Weekly Rest In Commerce and Offices) dibuat pada tahun 1957 dan
diratifikasi dengan Undang-undang nomor 3 tahun 1961 tentang Persetujuan
Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No: 106 mengenai Istirahat
Mingguan dalam Perdagangan dan Kantor-kantor (Lembaran Negara No: 14 tahun
1961)
13. Konvensi ILO No: 111/1958 tentang Diskriminasi dalam Kerja dan jabatan
(Discrimination in Respect of Employment and Occupation) dibuat pada tahun
1958 dan diratifikasi pada tahun 1999
14. Konvensi ILO No: 120/1964 tentang Kebersihan di Tempat Dagang dan Kantor
(Hygiene in Commerce and Offices) diratifikasi dengan Undang-undang nomor 3
tahun 1969 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional
No: 120 Mengenai Hygiene dalam Perdagangan dan Kantor-Kantor (Tambahan
Lembaran Negara No: 2889 tahun 1969)
15. Konvensi ILO No: 138/1973) tentang Batas Usia Minimum untuk Bekerja
(Minimum Age for Admission to Employment) dibuat pada tahun 1973 dan
diratifikasi pada tahun 1999
16. Konvensi ILO No: 144/1976) tentang Konsultasi Tripartit untuk Mempromosikan
Pelaksanaan Standar Perburuhan Internasional (Tripartite Consultations to
Promote the Implementation of International Labour Standards), dibuat pada
tahun 1976 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No: 26 tahun 2006
17. Konvensi ILO No: 182/1999) tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan
Terburuk untuk Anak (Elimination of the Worst Forms of Child Labour) dibuat pada
tahun 1999 telah diratifikasi pemerintah pada tahun 2000
18. Konvensi ILO No: 185 tentang Dokumen Identitas Pelaut (Seafarers’ Identity
Documents/SID) diratifikasi pada tahun 2008

Berikut adalah 8 Konvensi Inti ILO yang telah diratifikasi oleh pemerintah
Indonesia;

1. Konvensi ILO No. 29 Tentang Penghapusan Kerja Paksa, meminta semua


negara anggota ILO melarang semua bentuk kerja paksa atau wajib kerja
kecuali melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan wajib militer, wajib
kerja dalam rangka pengabdian sebagai warga negara, wajib kerja menurut

19
keputusan pengadilan, wajib melakukan pekerjaan dalam keadaan darurat
atau wajib kerja sebagai bentuk kerja gotong royong.

Dalam penerapan Konvensi No. 29 Tahun 1930 tersebut ditemukan


berbagai bentuk penyimpangan. Oleh sebab itu dirasakan perlu menyusun
dan mengesahkan konvensi yang secara khusus melarang siapapun
mempekerjakan seseorang secara paksa dalam bentuk mewajibkan tahanan
politik untuk bekerja, mengerahkan tenaga kerja dengan dalih untuk
pembangunan ekonomi, mewajibkan kerja untuk mendisiplinkan pekerja,
menghukum pekerja atas keikutsertaannya dalam pemogokan atau
melakukan diskriminasi atas dasar ras, sosial, kebangsaan, atau agama.

2. Konvensi ILO No. 105 Tentang Penghapusan Semua Bentuk Kerja Paksa.
Konferensi Ketenagakerjaan Internasional keempat puluh tanggal 25 Juni
1957 di Jenewa, Swiss, telah menyetujui ILO Convention No. 105
concerning the Abolition of Forced Labour (Konvensi ILO mengenai
Penghapusan Kerja Paksa). Dan di dalam peraturan nasional tertuang dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 1999 tentang
Pengesahan ILO Convention No. 105, mengenai Penghapusan Kerja Paksa.
3. Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak
untuk Berorganisasi, tertuang dalam Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 83 tahun 1998. Setelah disidangkan di San Fransisco oleh
Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional, dan setelah mengadakan
sidangnya yang ketiga puluh satu pada tanggal 17 Juni 1948. Memutuskan
untuk menerima dalam bentuk Konvensi beberapa usul tertentu tentang
kebebasan untuk berserikat dan perlindungan atas hak untuk berorganisasi
yang menjadi agenda sidang.

Namun, selama ini belum ada peraturan yang secara khusus mengatur
pelaksanaan hak berserikat bagi pekerja/buruh sehingga serikat
pekerja/serikat buruh belum dapat melaksanakan fungsinya secara
maksimal. Maka pada tahun 2000, pemerintah Indonesia membuat Undang-
Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

20
4. Konvensi ILO No. 98 Tentang Hak Berorganisasi dan Melakukan
Perundingan Bersama diatura dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 18 tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan
Internatsional Nomor 98 mengenai berlakunya dasar-dasar daripada hak
untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama.

Konvensi ILO No.98 mengenai Berlakunya Dasar-dasar Daripada Hak


Untuk Berorganisasi dan Untuk Berunding Bersama sudah diratifikasi oleh
Indonesia menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan nasional.
Namun, selama ini belum ada peraturan yang secara khusus mengatur
pelaksanaan hak berserikat bagi pekerja/buruh sehingga serikat
pekerja/serikat buruh belum dapat melaksanakan fungsinya secara
maksimal. Maka pada tahun 2000, pemerintah Indonesia membuat Undang-
Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

5. Konvensi ILO No. 100 tentang Pemberian Upah Yang Sama Bagi Para
Pekerja Pria dan Wanita. Diratifikasi oleh pemerintah Indonesia yang
tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 87 tahun 1957
tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor
100 mengenai Pengupahan Yang Sama Bagi Buruh Laki-Laki dan Wanita
Untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya.
6. Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan.
Konvensi ini dalam perundang-undangan di Indonesia tertuang dalam UU
Nomor 21 Tahun 1999 Tentang Pengesahan ILO Convention No. 111
Concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation
(Konvensi ILO mengenai diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan)

Konferensi Ketenagakerjaan Internasional dalam sidangnya yang ke-42,


tanggal 25 Juni 1958, telah menyetujui ILO Convention No. 111 mengenai
Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan. Ketentuan itu selaras dengan
keinginan bangsa Indonesia untuk secara terus menerus menegakkan dan
meningkatkan pelaksanaan hak-hak dasar pekerja dalam kehidupan
berbangsa, dan bernegara.

21
7. Konvensi ILO No. 138 Tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan
Bekerja. Konferensi Ketenagakerjaan Internasional yang kelima puluh
delapan tanggal 26 Juni 1973, Swiss, telah menyetujui ILO Convention
No.138 concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi
ILO mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja).

Pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi tersebut yang tertuang dalam


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 1999 tentang
Pengesahan ILO Convention Concerning Minimum Age for Admission to
Employment (Konvensi ILO mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan
Bekerja).

8. Konvensi ILO No. 182 Tentang Pelarangan dan Tindakan Segera


Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. Konferensi
Ketenagakerjaan Internasional yang kedelapan puluh tujuh tanggal 17 Juni
1999, telah menyetujui Pengesahan ILO Convention No. 182 concerning
The Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst
Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan
Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk
Anak).

Dan kemudian ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 2000


tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk
Pekerjaan Terburuk untuk Anak.

Konvensi-konvensi ILO yang berkaitan dengan K3


Pada tahun 2003, Indonesia masih belum meratifikasi Konvensi-konvensi ILO yang
berkaitan dengan K3 kecuali Konvensi ILO No 120/ 1964 tentang Higiene (Komersial
dan Perkantoran). Tetapi hingga tahun 2000, Indonesia sudah meratifikasi seluruh
Konvensi Dasar ILO tentang Hak Asasi Manusia yang semuanya berjumlah delapan.
Karena Indonesia mayoritas masih merupakan negara agraris dengan sekitar 70%
wilayahnya terdiri dari daerah pedesaan dan pertanian, Konvensi ILO yang terbaru,
yaitu Konvensi No. 184/ 2001 tentang Pertanian dan Rekomendasinya, dianggap
merupakan perangkat kebijakan yang bermanfaat. Tetapi secara luas Indonesia
dipandang tidak siap untuk meratifikasi Konvensi ini karena rendahnya tingkat

22
kesadaran K3 di antara pekerja pertanian. Tingkat pendidikan umum pekerja pertanian
di Indonesia juga rendah, rata-rata hanya 3 sampai 4 tahun di sekolah dasar
(Markkanen, 2004 : 16).

23
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari tulisan diatas dapat disimpulkan bahwa kesehatan dan keselamatan kerja
adalah suatu usaha dan upaya untuk menciptakan perlindungan dan keamanan
dari resiko kecelakaan dan bahaya baik fisik, mental maupun emosional terhadap
pekerja, perusahaan, masyarakat dan lingkungan. Jadi kesehatan dan
keselamatan kerja tidak melulu berkaitan dengan masalah fisik pekerja, tetapi
juga mental, psikologis dan emosional.
Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu unsur yang penting
dalam ketenagakerjaan. Oleh karena itulah sangat banyak berbagai peraturan
perundang-undangan yang dibuat untuk mengatur nmasalah kesehatan dan
keselamatan kerja. Meskipun banyak ketentuan yang mengatur mengenai
kesehatan dan keselamatan kerja, tetapi masih banyak faktor di lapangan yang
mempengaruhi kesehatan dan keselamatan kerja yang disebut sebagai bahaya
kerja dan bahaya nyata. Masih banyak pula perusahaan yang tidak memenuhi
standar keselamatan dan kesehatan kerja sehingga banyak terjadi kecelakaan
kerja.
Oleh karena itu, perlu ditingkatkan sistem manajemen kesehatan dan
keselamatan kerja yang dalam hal ini tentu melibatkan peran bagi semua pihak.
Tidak hanya bagi para pekerja, tetapi juga pengusaha itu sendiri, masyarakat dan
lingkungan sehingga dapat tercapai peningkatan mutu kehidupan dan
produktivitas nasional.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka dapat diberikan saran sebagai berikut :
Bagi pihak perusahaan disarankan untuk menekankan seminimal mungkin
terjadinya kecelakaan kerja, dengan jalan antara lain meningkatkan dan
menerapkan keselamatan dan kesehatan kerja (k3) dengan baik dan tepat.
Bagi karyawan lebih mementingkan program keselamatan dan kesehatan
kerja ( K3) dengan bekerja secara disiplin dan berhati-hati serta mengikuti
proses.

24
DAFTAR PUSTAKA

Ade. 2016. Kebijakan Bidang K3.


http://adeheryana.weblog.esaunggul.ac.id/2016/10/22/kebijakan-bidang-
k3/ᄃ (diakses pada tanggal 11 Jaunari 2020)

Nurul.2013. Permenkes Tentang Pemeriksaan Kesehatan.


https://nuruddinmh.files.wordpress.com/2013/08/13-permen-no-02-tahun-
1980-pemeriksaan-kesehatan-tenaga-kerja.pdf ᄃ
(diakses pada tanggal 11 Jaunari 2020)

Sahar. 2016. Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja.


http://saharkesmas.blogspot.com/2016/12/kebijakan-kesehatan-dan-
keselamatan.html ᄃ (diakses pada tanggal 11 Jaunari 2020)

25

Anda mungkin juga menyukai