Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH INTERAKSI OBAT

“Interaksi obat pada proses distribusi”

DISUSUN OLEH
Kelompok 2:
Intan Dwi Lestari (161.210.007)
Siti Rahayu ( 161.210.016
Tommy Winahyu Puri (161.210.017)

Dosen Penagmpu : Ahmad Irawan,M.Farm.,Apt

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


BORNEO CENDEKIA MEDIKA PANGKALAN BUN
TAHUN AKADEMIK 2018/2019
Alamat : Jl. Sultan Syahrir No.11 Pngkalanbun Kab.Kota Waringin Barat
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-
Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul Interaksi
Obat Pada Proses Distribusi. Penulisan makalah merupakan salah satu tugas
mata kuliah Interaksi Obat S1 Kefarmasian STIKES Borneo Cendikia Medika.
Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan
baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang
kami miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis
harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini. Dalam penulisan
makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga
kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini,
khususnya kepada :
1. Bapak Ahmad Irawan M.Farm.,Apt yang sudah memberikan tugas makalah
Interaksi Obat ini.
2. Teman – teman kelompok 2 S1 Kefarmasian STIKES Borneo Cendikia
Medika.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. semoga
Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan
bantuan, dan Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amiin
Yaa Robbal ‘Alamiin.

Pangkalan Bun, 11-November-2019

Penulis

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................ i
Daftar Isi......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 3
2.1 Definisi ............................................................................................... 3
2.2 Mekanisme Kerja Interaksi Obat ....................................................... 3
BAB III PENYELESAIAN KASUS ........................................................... 8
3.1 Kasus ................................................................................................. 8
3.2 Penyelesaian kasus ......................................................................... 13
BAB IV PENUTUP .................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 17

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat (index drug) berubah
akibat adanya obat lain (precipitant drug), makanan, atau minuman.
Interaksi obat dapat menghasilkan efek yang memang dikehendaki
(Desirable Drug Interaction), atau efek yang tidak dikehendaki
(Undesirable/Adverse Drug Interactions = ADIs) yang lazimnya
menyebabkan efek samping obat dan/atau toksisitas karena meningkatnya
kadar obat di dalam plasma, atau sebaliknya menurunnya kadar obat dalam
plasma yang menyebabkan hasil terapi menjadi tidak optimal. Sejumlah
besar obat baru yang dilepas di pasaran setiap tahunnya menyebabkan
munculnya interaksi baru antar obat akan semakin sering terjadi.1
Beberapa laporan studi menyebutkan proporsi interaksi obat dengan
obat lain (antar obat) berkisar antara 2,2% sampai 30% terjadi pada pasien
rawat-inap dan 9,2% sampai 70,3% terjadi pada pasien-pasien rawat jalan,
walaupun kadang-kadang evaluasi interaksi obat tersebut memasukkan
pula interaksi secara teoretik selain interaksi obat sesungguhnya yang
ditemukan dan terdokumentasi.2 Di Amerika Serikat, insidens interaksi
obat yang mengakibatkan reaksi efek samping sebanyak 7,3% terjadi di
rumah sakit, lebih dari 88% terjadi pada pasien geriatrik di * Puslitbang
Biomedis dan Farmasi, Badan Litbangkes rumah sakit, lebih dari 77%
terjadi pada pasien HIV yang diobati dengan obat-obat penghambat
protease.3 - 5 Sedangkan di Indonesia, data yang pasti mengenai insidens
interaksi obat masih belum terdokumentasi antara lain juga karena belum
banyak studi epidemiologi dilakukan di Indonesia untuk hal tersebut.
Sebagian besar informasi diperoleh dari laporan-laporan kasus terpisah,
uji-uji klinik, dan/atau studi-studi farmakokinetik pada subyek sehat dan
usia muda yang tidak sedang menggunakan obat-obat lainnya, sehingga
untuk menetapkan risiko efek samping akibat suatu interaksi obat pada
seorang pasien tertentu seringkali tidak dapat secara langsung. Profil

1
keamanan suatu obat seringkali baru didapatkan setelah obat tersebut sudah
digunakan cukup lama dan secara luas di masyarakat, termasuk oleh
populasi pasien yang sebelumnya tidak terwakili dalam uji klinik obat
tersebut. Konsekuensinya, diperlukan beberapa bulan atau bahkan tahun
sebelum diperoleh data yang memadai tentang masalah efek samping
akibat interaksi obat. Namun, studi pharmacovigilance dan post marketing
surveilance yang antara lain di kelola oleh industri farmasi diharapkan
berperan cukup besar guna mendapatkan data interaksi dan efeksamping
obat, terutama nntuk obat-obat baru yang semakin banyak muncul dan
beredar di pasaran. Informasi mengenai seberapa sering seseorang
mengalami risiko efek samping karena interaksi obat, dan seberapa jauh
risiko efek samping dapat dikurangi diperlukan jika akan mengganti obat
yang berinteraksi dengan obat alternatif. Dengan mengetahui bagaimana
mekanisme interaksi antar obat, dapat diperkirakan kemungkinan efek
samping yang akan terjadi dan melakukan antisipasi.
1.2. Rumusan masalah
 Apa yang dimaksud dengan interaksi obat ?
 Bagaimana mekanisme kerja interaksi obat ?
1.3. Tujuan penulisan makalah
 Untuk Mengetahui definisi interaksi obat
 Untuk mengetahui mekanisme kerja interaksi obat

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Interaksi obat adalah peristiwa dimana aksi suatu obat di ubah atau
dipengaruhi oleh obat lain yang di berikan bersamaan. Interaksi obat terjadi jika
suatu obat mengubah efek obat lainnya. Kerja obat yang diubah dapat menjadi
lebih atau kurang Aktif2 .
Interaksi obat berarti saling pengaruh antar obat sehingga terjadi perubahan
efek. Di dalam tubuh obat mengalami berbagai macam proses hingga akhirnya
obat di keluarkan lagi dari tubuh. Proses-proses tersebut meliputi, absorpsi,
distribusi, metabolisme (biotransformasi), dan eliminasi. Dalam proses
tersebut, bila berbagai macam obat diberikan secara bersamaan dapat
menimbulkan suatu interaksi. Selain itu, obat juga dapat berinteraksi dengan zat
makanan yang dikonsumsi bersamaan dengan obat.
Interaksi yang terjadi di dalam tubuh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
interaksi farmakodinamik dan interaksi farmakokinetik. Interaksi
farmakodinamik adalah interaksi antar obat (yang diberikan berasamaan) yang
bekerja pada reseptor yang sama sehingga menimbulkan efek sinergis atau
antagonis. Interaksi farmakokinetik adalah interaksi antar 2 atau lebih obat yang
diberikan bersamaan dan saling mempengaruhi dalam proses ADME (absorpsi,
distribusi, metabolisme, dan eliminasi) sehingga dapat meningkatkan atau
menurunkan salah satu kadar obat dalam darah.
2.2 Mekanisme Kerja Interaksi Obat
2.2.1 Interaksi Farmasetik
Interaksi ini adalah interaksi fisika-kimia yang terjadi pada saat obat
diformulasikan/disiapkan sebelum obat digunakan oleh penderita.
Misalnya interaksi antara obat dan larutan infus IV yang dicampur
bersamaan dapat menyebabkan pecahnya emulsi atau terjadi
pengendapan2.
Bentuk interaksi ini ada 2 macam :
1) Interaksi secara fisik, misalnya terjadi perubahan kelarutan

3
2) Interaksi secara khemis, misalnya terjadi reaksi satu dengan yang lain
atau terhidrolisisnya suatu obat selama dalam proses pembuatan
ataupun selama dalam penyimpanan. Beberapa cara untuk menghindari
interaksi farmasetik ini antara lain :
 Jangan memberikan suntikan campuran obat kecuali jika yakin betul
bahwa tidak ada interaksi antar obat.
 Dianjurkan menghindari pemberian obat bersama-sama melalui infus.
 Selalu perhatikan petunjuk pemberian obat dari pembuatnya
(manufacturer leaflet), untuk melihat peringatan pada pencampuran
dan cara pemberian obat (terutama untuk obat-obat parenteral
misalnya injeks infus dan lain-lain).
 Sebelum memakai larutan untuk pemberian infus, intravena atau yang
lain, perhatikan bahwa tidak ada perubahan warna, kekeruhan,
presipitasi dan lain-lain dari larutan.
 Siapkan larutan hanya kalau diperlukan saja. Jangan menimbun terlalu
lama larutan yang sudah dicampur, kecuali untuk obat-obat yang
memang sudah tersedia dalam bentuk larut an seperti metronidazol ,
lidokain dan lain-lain.
 Botol infus harus selalu diberi label tentang jenis larutannya, obat-
obat yang sudah dimasukkan, termasuk dosis dan waktunya.
 Jika harus memberi infus dua macam obat, berikan lewat 2 jalur infus,
kecuali jika yakin tidak ada interaksi. Jangan ragu-ragu konsultasi
kepada apoteker rumah sakit.
2.2.2 Interaksi Farmakokinetika
Interaksi ini adalah akibat perubahan-perubahan yang terjadi pada
absorbsi, metabolisme, distribusi dan ekskresi sesuatu obat oleh obat
lain. Dalam kelompok ini termasuk interaksi dalam hal mempengaruhi
absorbsi pada gastrointestinal, mengganggu ikatan dengan protein
plasma, metabolisme dihambat atau dirangsang dan ekskresi dihalangi
atau dipercepat2.
1. Interaksi pada fase absorpsi3
 Interaksi langsung

4
Interaksi secara fisik/kimiawi antar obat dalam saluran
pencernaan sebelum absorpsi dapat mengganggu proses
absorpi. Interaksi ini dapat dihindari dengan cara obat yang
berinteraksi diberikan dengan jarak waktu yang berbeda
(minimal 2 jam).
 Perubahan pH cairan saluran pencernaan
Sebelum dijelaskan lebih lanjut, kita asumsikan bahwa obat
yang akan dibahas di sini adalah obat yang absorbsinya
cenderung diabsorbsi di usus, bukan dilambung.
2. Interaksi pada fase distribusi3
 Interaksi dalam ikatan protein plasma.
Jenis ini sering kali membahayakan. Bila suatu obat dilepaskan
dari ikatan proteinnya oleh suatu precipitant drug, maka
konsentrasiobject drug akan meningkat dan dapat
menimbulkan efek toksik. Hipoglikemik oral (klor propamid)
yang diberikan bersama-sama dengan sulfonamide,
menyebabkan terlepasnya klor propamid dari ikatan
proteinnya sehingga efek hipoglikemik meningkat.
Tolbutamid diberikan bersamaan dengan fenil butazon atau
salisilat akan menyebabkan efek hipoglikemik
meningkat.substansi endogen dapat pula tergeser dari nikatan
proteinnya pada penggunaan beberapa obat. Misalnya
bilirubin dapat tergeser dari ikatan proteinnya dan dapat
menyebabkan korniuterus pada neonates yang diberikan
salisilat atau preparat sulfa.
Beberapa sifat obat yang akan menyebabkan terjadinya
interaksi ini antara lain :
a. Mempunyai ikatan yang kuat dengan protein plasma dan
volume distribusi yang kecil.
b. Mempunyai batas keamanan yang sempit, sehingga dapat
meningkatkan kadar obat bebas.

5
c. Efek toksik yang serius sebelum kompensasi terjadi
misalnya terjadinya pendarahan pada antikoagulan oral atau
hipoglikemia pada antidiabetik oral.
d. Eliminasinya mengalami kejenuhan seperti fenitoin,
sehingga peningkatan kadar obat bebas tidak disertai
dengan peningkatan kecepatan eliminasinya.
 Interaksi dalam ikatan jaringan.
Kompetisi untuk ikatan dalam jaringan terjadi misalnya antar
digoksin dan kuinidin yang akan mengakibatkan terjadinya
peningkatan kadar plasma digoksin.
 Interaksi pada reseptor.
Apabila dua atau lebih obat diberikan bersamaan mungkin
salah satu obat akan menduduki reseptor obat lain, sedemikian
rupa sehingga tidak ada respons. Misalnya reseptor alfa pada
pembuluh darah yang meberikan respons bila dikenai obat
norepineprin tetapi bila diberikan bersamaan dengan
fenetrazin, pentolamin, maka obat ini akan menduduki
reseptor tersebut dan tidak akan memberikan respons.
3. Interaksi pada fase metabolisme
Hal ini dapat terjadi bila metabolisme object drug dirangsang atau
dihambat oleh precipitant drug. Perangsang atau penghambat
enzim metabolisme sudah lama dikenal. Perangsangan atau
induction ini terjadi karena reticulum endoplasmik di hepatosit dan
sitokrom P450 yang merupakan enzim metabolik obat bertambah.
Hasil induksi ini mengakibatkan metabolisme obat kian aktif dan
konsentrasi plasma object drug berkurang, sehingga efektivitasnya
menurun. Contoh: pemberian rifampisin pada akseptor kontrasepsi
oral dapat menyebabkan kehamilan5.
4. Interaksi pada fase ekskresi
Kompetisi pada sekresi tubulus ginjal adalah mekanisme yang
penting dalam interaksi ini.

6
2.2.3 Interaksi Farmakodinamik
Interaksi ini terjadi bila sesuatu obat secara langsung merubah aksi
molekuler atau kerja fisiologis obat lain. Kemungkinan-kemungkinan
yang dapat terjadi3 :
1) Obat-obat tersebut menghasilkan kerja yang sama pada satu organ
(sinergisme).
2) Obat-obat tersebut kerjanya saling bertentangan ( antagonisme ).
3) Obat-obat tersebut bekerja independen pada dua tempat terpisah.
Kebanyakkan interaksi obat diakibatkan terjadinya perubahan
adsorbsi, distribusi, metabolisme dan elkresi obat. Akibat yang dapat
ditimbulkan oleh interaksi obat : Potensiasi, Kerusakan dan Toksik /
efek samping.

7
BAB III
PENYELESAIAN KASUS

3.1 Kasus : Interaksi obat dalam proses distribusi


1) Peran lisosom dalam distribusi obat seluler.
Berdasarkan studi distribusi mereka dengan obat klasikuin dibasic,
MacIntyre dan Cutler (1988a, b) mengusulkan penggunaan lisosomal
(lisosomal trapping) sebagai faktor utama yang menentukan distribusi obat
lipofilik dasar. Hipotesis mereka mengatakan bahwa basa lemah dalam
membran permeat nonionisasi dan terakumulasi dalam interior asam lisosom,
di mana mereka terprotonasi dan dengan demikian menjadi tidak dapat
berdifusi kembali menjadi sitosol, yang mengarah pada akumulasi obat.
Mereka juga menunjukkan bahwa klorokuin dapat digunakan sebagai zat
penanda untuk menentukan volume kompartemen asam dalam sel / jaringan.
Karena memiliki afinitas yang relatif lemah terhadap phospolipid membran,
distribusi selulernya terutama tergantung pada perangkap lisosom. Studi kami
mengkonfirmasi hipotesis di atas dengan menunjukkan pengambilan jaringan
total tertinggi dan perangkap lisosom chloroquine di paru-paru, hati dan
ginjal, yaitu, di organ yang dikenal berlimpah di lisosom (Daniel et al., 1995).
Proses perangkap lisosom dapat saturable, tergantung energi dan
membutuhkan integritas seluler. Oleh karena itu, dapat dibedakan dari ikatan
jenuh ke reseptor spesifik atau dari transpor aktif. Ketika dua obat dasar
lipofilik terperangkap secara simultan oleh lisosom, terjadi peningkatan yang
lebih besar pada pH internal organel dibandingkan dengan ketika hanya satu
obat yang terperangkap dari sitoplasma. Akibatnya, proses perangkap
lisosom lebih jenuh dan dapat menyebabkan penurunan penyerapan jaringan
kedua obat. Pada tingkat sel, ini akan menunjukkan penurunan tingkat obat
intralysosomal dan peningkatan konsentrasi membran dan sitoplasma.
Interaksi semacam ini diamati dalam kasus obat lysosomotropic yang berbeda
pada makrofag alveolar kelinci, fibroblas manusia yang terbentuk dan neuron
yang dikultur dari otak kecil tikus (Vestal et al., 1980; Honegger et al., 1983;
Novelli et al 1987 ; Ishizaki et al., 1996).

8
Efek seluler utama dari basa acidotropik yang lemah terhubung dengan
konsentrasi tinggi dalam kompartemen asam (terutama lisosom) dan dengan
peningkatan pH vakuolar. Sebagai contoh, degradasi lisosomal oleh hidrolase
asam terhambat, dan endositosis dan eksositosis dipengaruhi (Mellman et al.,
1986). Setelah perawatan kronis dengan obat-obatan dari kelas ini
(antidepresan, neuroleptik dan antiaritmik), fosfolipidosis dan
mucopolysaccharidosis diamati (Hein et al., 1990; Kodavanti dan Mehendale,
1990).
2) Distribusi obat psikotropika
Lysosomotropisme senyawa membutuhkan amfifisitas,karakter dasar
dan nilai pKa yang cukup tinggi (> 8). . Sejak sebagian besar obat
psikotropika adalah senyawa dengan dasar lipofilik dan nilai pKa yang
melebihi delapan. kami mempelajari kontribusi perangkap lisosom dan
fosfolipid mengikat total penyerapan jaringan ini obat dengan melakukan
percobaan pada irisan yang berbeda organ, dengan tidak adanya dan adanya
‘‘ inhibitor lisosomal 'seperti senyawa amonium senyawa lisosomotropik
klorida atau monensin Na + / H + -ionofor, yang meningkatkan pH
intralysosomal.
Perangkap lisosom adalah mekanisme penting dari distribusi dan
interaksi farmakokinetik antara obat-obatan psikotropika. Namun, distribusi
jaringan promazin neuroleptik fenotiazin aliphatic-type, antidepresan trisiklik
(TAD: imipramine, desipramine, amitriptyline) dan serotonin reuptake
inhibitor selektif (SSRI: fluoxetine, sertraline) lebih tergantung pada ikatan
fosfolipid daripada pada perangkap lisosom (Daniel et al.,1995; Daniel dan
Wo'jcikowski, 1997a, b), sedangkan dalam kasus piperidine fenotiazin tipe
neuroleptik thioridazine dan perazine tipe piperazine, perangkap lisosom
sama pentingnya untuk serapan jaringan seperti halnya pengikatan fosfolipid
(Daniel dan Wo'jcikowski, 1999a, b).
Farmakokinetik thioridazine in vivo berbeda dari bahwa promazine dan
banyak neuroleptik fenotiazin lainnya. Rasio konsentrasi otak / plasmanya
sangat besar lebih rendah (Tsuneizumi et al., 1992; Daniel et al., 1997), yang
menegaskan kontribusi fosfolipid yang relatif lebih kecil mengikat (pada

9
kontribusi lisosom yang relatif lebih tinggi trapping) ke distribusi jaringan
obat ini. Di atas Sifat-sifat lysosomotropic dari obat-obatan psikotropika
sangat penting secara resmi diucapkan dalam organ kaya lisosom seperti
paru-paru, hati dan ginjal tetapi kurang begitu di otak (secara vertikal) potong
irisan otak). Kontribusi lysosomal yang relatif rendah terhadap total
pengambilan jaringan psikotropika di Indonesia paru-paru yang kaya lisosom
mungkin karena afinitas yang tinggi obat ini untuk surfaktan paru, suatu
kompleks dari fosfolipid dan protein (Miles et al., 1985; Haagsman dan van
Golde, 1991; Williams et al., 1991). Itu menunjukkan bahw kontribusi relatif
dari perangkap lisosom terhadap total penggunaan jaringan obat lipofilik
dasar tidak hanya bergantung pada kepadatan lisosom dalam suatu jaringan
tetapi juga pada kuantitasnya dan kualitas fosfolipid yang berbeda pada
khususnya jaringan (de Duve et al., 1974; Moor et al., 1988). . Menurut untuk
studi Lu¨llmann dan Wehling (1979), pengikatan obat untuk lipid polar yang
berbeda dapat bervariasi tergantung pada sifat fisikokimia obat dan lipid.
3) Interaksi distribusi antara antidepresan dan neuroleptik.
Antidepresan dan neuroleptik diberikan bersama untuk pasien psikiatris
dalam terapi depresi psikotik, depresi karena penyakit skizofrenia atau
depresi 'resisten terhadap pengobatan'. Antidepresan menghambat SSRI
secara selektif yang ditambahkan dengan terapi neuroleptic untuk
melemahkan gejala skizofrenik negatif (Silver dan Nassar, 1992).
Penggabungan kedua obat tersebut mengakibatkan peningkatan plasma dan
konsentrasi otak, yang dapat meningkatkan risiko kardiotoksisitas dan efek
samping antikolinergik yang disebabkan oleh TAD, atau sedasi dan gejala
ekstrapiramidal diproduksi oleh neuroleptic.
Namun, hasil penelitian terbaru kami menunjukkan hal itu interaksi
farmakokinetik pada tingkat distribusi seluler antara obat-obatan ini juga
dimungkinkan, karena keduanya neuroleptik fenotiazin, TAD, dan SSRI
adalah obat lipofilik dasar yang distribusinya terutama tergantung pada
pengikatan fosfolipid dan lisosom. organ adalah situs utama interaksi obat
pada tingkat tersebut dari perangkap lisosom (Tabel 1). Neuroleptik dan
antidepresan saling menghambat penyerapan lisosomalnya (Daniel dan

10
Wo'jcikowski, 1997b, 1999a, b). Penurunan konsentrasi obat intralysosomal
in vivo mengarah ke perubahan dari obat dari organ yang berlimpah di
lisosom (yaitu, paru-paru, hati dan ginjal) bagi mereka yang miskin di organel
ini,mis., hati. Setelah interaksi distribusi di organ kaya akan lisosom, obat
diangkut oleh darah terlebih dahulu jantung dan kemudian ke jaringan lain.
Konsekuensinya, obat meninggalkan organ kaya lisosom melewati jantung
konsentrasi tertinggi, diambil oleh perfusi yang baik organ (Wo'jcikowski dan
Daniel, 2000). Interaksi seperti itu antara TAD dan thioridazine mungkin
sangat penting untuk efek kardiotoksik dan antikolinergik dari ini narkoba.
Karena organ dan jaringan yang terlibat di dalamnya interaksi distributif
merupakan bagian utama dari organisme dan mengambil sebagian besar dari
total obat dalam tubuh,interaksi yang terjadi di dalamnya dapat meningkat
secara substansial konsentrasi obat di jantung Sebuah studi in vivo dari
interaksi neuroleptik-antidepresan mendukung hipotesis di atas dengan
menunjukkan bahwa obat yang diteliti saling meningkatkan rasio konsentrasi
obat jantung / plasma dan jaringan yang kaya jantung / lisosom (Tabel 2),
yaitu jantung / paru-paru, jantung / hati dan jantung / ginjal rasio (Daniel dan
Wo'jcikowski, 1999a; Wo'jcikowski dan Daniel, 2000). Hasil serupa
diperoleh dengan otot lysosomepoor. Interaksi distributif antara thioridazine
dan imipramine dapat berkontribusi — terpisah dari yang lain jenis interaksi
— terhadap efek samping kardiotoksik yang dihasilkan oleh pemberian
bersama thioridazine dan imipramine pada pasien. . Heiman (1977)
melaporkan kasus aritmia ventrikel yang mengancam jiwa pada pasien yang
pernah tertelan kombinasi thioridazine dan imipramine atau amitriptyline,
mengingatkan dokter akan risiko penggunaan thioridazine baik dalam dosis
tinggi dan dalam kombinasi dengan TAD. Sifat interaksi berbahaya semacam
itu mungkin keduanya farmakodinamik (penjumlahan efek kardiotoksik dari
obat kombinasi) dan farmakokinetik (penghambatan obat metabolisme dan
perubahan distribusi obat). Luasnya kontribusi masing-masing mekanisme
terhadap konsekuensi klinis interaksi ini sulit untuk dievaluasi in vivo.
Interaksi distributif yang diamati secara in vivo mungkin juga melibatkan
metabolit obat yang merupakan senyawa lipofilik dasar. Karena metabolit

11
thioridazine dan TAD aktif secara biologis dan dapat berdampak pada potensi
efek samping, konsentrasi kedua senyawa induk dan metabolitnya harus
dipertimbangkan dalam interpretasi akhir dari hasil interaksi distributif.
Namun, salah mengambil kesimpulan dari yang absolut nilai konsentrasi
obat, sejak — terlepas dari a interaksi distributif — jenis farmakokinetik
lainnya interaksi dapat terjadi secara in vivo. Dalam kasus antidepresan dan
neuroleptik, interaksi metabolik terjadi (Syrek et al., 1997; Daniel et al.,
1999a, b, 2000a, b, 2001a), yang menyebabkan peningkatan konsentrasi
kedua neuroleptic dan antidepresan dalam organisme. Karena itu, evaluasi
perubahan relatif dalam konsentrasi obat orang tua, yaitu,rasio konsentrasi
jaringan / plasma dan lisosom-miskin / Jaringan kaya lisosom, merupakan
pendekatan yang tepat untuk estimasi sejauh mana interaksi distributif in
vivo.
Mempertimbangkan interaksi distributif dan metabolism antara
thioridazine dan antidepresan, serta efek samping berbahaya dari obat ini,
kombinasi obat tersebut harus didekati sehubungan dengan modifikasi dosis
yang tepat, karena sulit untuk menentukan konsentrasi obat dalam jantung
pada saat mereka pemberian bersama bahkan jika tingkat plasma mereka
dipantau.
4) Distribusi obat-obatan psikotropika di otak
Otak yang mengandung fosfolipid beberapa kali lebih banyak
Dibandingkan jaringan lain (Moor et al., 1988), tetapi jumlah yang lebih
rendah Lisosom, menunjukkan akumulasi dasar lipofilik dasar Psikotropika,
dan efek ‘‘ inhibitor lisosomal ’adalah Tidak signifikan dalam kasus
promazine dan fluoxetine (Daniel et al., 2001b). Studi kami dilakukan secara
vertical Memotong irisan otak menunjukkan bahwa sifat lysosomotropic dari
Obat psikotropika lebih jarang diucapkan daripada di irisan Paru-paru, hati
atau ginjal. Namun, otak bukanlah Organ homogen, mis., pola fosfolipid dan
kepadatan lisosom dapat bervariasi di wilayah yang berbeda. Oleh karena itu,
kontribusi relatif dari dua mekanisme (perangkap lisosom dan pengikatan
jaringan) terhadap total penggunaan obat Berbeda di daerah otak. Sistem saraf
pusat mamalia mengandung tiga Jenis utama sel, yaitu neuron, astroglia dan

12
oligodendroglia, yang membentuk materi abu-abu dan putih dari Otak.
Perbedaan antara materi abu-abu dan putih adalah Terkait terutama dengan
adanya badan sel saraf dan Serat tidak bermielin dalam materi abu-abu, dan
sebagian besar Serat mielin dan sebagian besar sel glial dalam Materi putih.
Astrosit yang ditemukan dalam materi abu-abu tidak Hanya memainkan
'peran pendukung' tetapi juga memodulasi transmisi sinaptik interneuronal;
sejumlah tipe reseptor adalah diekspresikan pada astrosit (Ho¨li dan Ho¨li,
1993; Tembumi Dan Jacob, 2001). Hirsch (1968, 1969) menunjukkan bahwa
aktivitas tersebut Enzim penanda lisosom, asam fosfatase, berwarna abu-abu
materi 2 - 10 kali lebih tinggi dari pada materi putih otak pada manusia,
monyet, tikus dan kelinci percobaan. Freysz et al. (1979) menemukan bahwa
aktivitas spesifik hidrolase lisosom (arylsulfatases A, B dan C; b-
galaktosidase dan asam fosfatase) pada neuron kelinci 10 - 25 kali lebih tinggi
daripada di oligodendroglia dan 5 kali lebih tinggi daripada di astroglia.
Kepadatan lisosom tertinggi dalam neuron dan area neuronal otak seperti
korteks otak.
3.2 Penyelesaian Kasus
1) Peran lisosom dalam distribusi obat seluler
 Klorokuin merupakan obat anti malaria kelompok 4- amionokuinolin,
merupakan anti malaria utama dan paling banyak digunakan dalam
pengobatan malaria.
 sedangkan yang diserap lisosom sebagai faktor utama dalam
menentukan distribusi obat dasar lipofilik. basis yang lemah dalam
keadaan tidak terionisasi kemudian menembus membran dan menumpuk
di bagian dalam Lisosom, di mana mereka diprotonasi dan dengan
demikian menjadi Tidak dapat berdifusi kembali menjadi sitosol, yang
mengarah pada akumulasi obat.
 serapan tertinggi pada total jaringan dan lisosom chloroquine yaitu di
paru-paru, hati, dan ginjal atau di organ yang diketahui memiliki banyak
lisosom
 Jadi klorouin diserap oleh lisosom dari makromolekul menjadi molekul
yang lebih kecil kemudian dikeluarkan ke dalam sitoplasma.

13
 Sitoplasma merupakan tempat menyimpan obat/zat untuk proses
metabolisme.
2) Distribusi obat psikotropika
 Lysosomotropisme senyawa membutuhkan amfifisitas, karakter dasar
dan nilai pKa yang cukup tinggi yakni (> 8). Sebagian besar obat
psikotropika adalah senyawa dengan dasar lipofilik dan nilai pKa yang
melebihi delapan.
 lisosom adalah mekanisme penting dari distribusi dan interaksi
farmakokinetik diantaranya obat-obatan psikotropika. Namun, distribusi
jaringan obat promazin neuroleptik fenotiazin aliphatic-type,
antidepresan trisiklik (TAD: imipramine, desipramine, amitriptyline) dan
serotonin reuptake inhibitor selektif (SSRI: fluoxetine, sertraline) lebih
bergantung pada ikatan fosfolipid dari pada penyerapan oleh lisosom.
 Sifat-sifat lysosomotropic dari obat-obatan psikotropika sangat penting
dalam organ yang banyak akan lisosom seperti paru-paru, hati dan ginjal.
3) Interaksi distribusi antara antidepresan dan neuroleptik.
 Antidepresan dan neuroleptik diberikan bersama untuk pasien psikiatris
dalam terapi depresi psikotik, depresi karena penyakit skizofrenia atau
depresi 'resisten terhadap pengobatan'.
 Antidepresan menghambat SSRI secara selektif yang ditambahkan
dengan terapi neuroleptic untuk melemahkan gejala skizofrenik.
 Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs). Jenis ini umumnya
menjadi pilihan utama untuk mengobati depresi karena risiko efek
samping yang rendah. Mekanisme SSRIs bekerja dengan cara menekan
penyerapan kembali serotonin di dalam otak. Contoh obat golongan SSRI
adalah fluoxetine, fluvoxamine, dan escitalopram.
 TAD dan SSRI adalah obat yang bersifat lipofilik yang
pendistribusiannya bergantung pada pengikatan jaringan fosfolipid dan
lisosom.
 Antidepresan dan neuroleptic saling menghambat penyerapan lisosom.
 Setelah dihati obat diangkut terlebih dahulu oleh darah melewati
jantung menuju kejaringan lain, akibatnya pada saat melewati jantung,

14
obat tersebut dalam keadaan kadar konsentrasi yang tinggi sehingga
menyebabkan terjadinya efek kardiotoksik.
 Solusi : disarankan untuk memilih salah satu obat antidepresan.
4) Distribusi obat-obatan psikotropika di otak
 Otak yang mengandung fosfolipid beberapa kali lebih banyak
Dibandingkan lisosom atau jaringan lain tetapi jumlah yang lebih rendah
Lisosom, menunjukkan akumulasi dasar lipofilik dasar Psikotropika, dan
efek ‘‘ inhibitor lisosomal ’adalah Tidak signifikan dalam kasus
promazine dan fluoxetine
 Kemudiaan lisosom pada daerah otak yang terdapat banyak lisosom yaitu
pada daerah korteks otak.

15
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Interaksi obat adalah peristiwa dimana aksi suatu obat di ubah atau
dipengaruhi oleh obat lain yang di berikan bersamaan.
2. lisosom merupakan mekanisme penting dari distribusi psikotropika dasar
obat-obatan, seperti TAD, SSRI dan neuroleptik fenotiazin.
3. Di otak, interaksi lisosom dan interaksi psikotropika terjadi terutama di
neuron.
4. Distribusi interaksi antara antidepresan dan neuroleptik dapat menyebabkan:
(a) penurunan konsentrasi obat intralysosomal
(b) pergeseran obat dari organ yang banyak akan lisosom ke organ yang
sedikit lisosom, mis., jantung, yang dapat meningkatkan efek samping
kardiotoksik obat.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Fradgley, S., 2003, Interaksi Obat dalam Aslam, M., Tan., C., K., dan
Prayitno, A., Farmasi Klinis, 119-130, Penerbit PT. Elex Media
Komputindo kelompok Gramedia, Jakarta
2. Harkness, R. 1989, Interaksi Obat, diterjemahkan oleh Goeswin Agoes dan
mathilda S. Widianto, Institut Teknologi Bandung, Bandung 9-10.
3. Mutschler, E., 1991, Dinamika Obat, Edisi V, 88, Penerbit ITB, Bandung.
4. Setiawati, A., 2007, Interaksi Obat dalam Gunawan, S.G, 2007,
Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, hal 862-873, Bagian Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.
5. Suryawati, S., 1995, Efek Samping Obat Edisi kedua. Pusat Studi
Farmakologi Klinik dan Kebijakan Obat UGM, PT. Karipata, Yogyakarta,
hal 245-270.

17

Anda mungkin juga menyukai