LAPORAN KASUS Status Epileptikus and Epi
LAPORAN KASUS Status Epileptikus and Epi
Oleh :
Fania Liahsani
(2013730142)
Pembimbing :
1
BAB I
LAPORAN KASUS
Nama : An. A
Usia : 4 tahun
No RM : 82-83-XX
No. Kamar :3
1.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama
b. Keluhan Tambahan
os datang ke IGD RSIJCP dengan keluhan kejang berulang >2x, lamanya >10 detik ketika
dirumah. Berdasarkan cerita ibunya os kejang meghentak-hentakkan tangan dan kaki
dengan mata mendelik keatas 2 jam smrs. Setelah kejang os berlangsung lemas. Lalu
sampai di IGD kejang berhenti dan langsung demam tinggi.
Os sudah mempunyai riwayat epilepsi dari umur 1 tahun 3 bulan dan masih pengobatan
epilepsi sampai sekarang. Os mengalami kejang seperti ini awalnya karena imunisasi
DPT3 umur 3 bulan yang vaksinnya menyebabkan demam. Semenjak dari situ ketika os
demam pasti disertai dengan kejang. Pada saat umur 3 bulan os disarankan untuk EEG
2
tetapi OT os belum mau setelah 9 bulan baru os dilakukan pemeriksaan EEG dan dikatakan
hasilnya ada kelainana EEG di parsial kanan yang menunjukkan benar adanya riwayat
epilepsi.
Setelah os umur 9 bulan kejang sudah mulai timbul dan sering berulang lagi setiap kali demam
maupun tidak demam. Ditambah os dulunya pernah dapat pengobatan TB saat umur 1
tahun dan pengobatan lengkap selama 6 bulan.
Ibu os mengatakan kejang pada kali ini berbeda dengan kejang sebelumnya karena lama
serangan kejangnya >10detik dan berulang sebanyak 2x dan sudah tidak membaik dengan
pemberian stesolid. Saat ini os disertai batuk pilek dan demam sejak 2 hari yang lalu smrs.
Pada saat sudah sampai bangsal os mengalami kejang berulang secara mendadak berlangsung
>10 menit dan berulang sampai ±40 menit sebanyak 3x durasi kejang. Dengan gerakan
menghentak-hentakkan kedua tangan dan kaki, serta dengan bola mata yang mendelik
keatas dan lidah yang tergigit lalu langsun diberikan 2 stesolid supp dan injeksi diazepam
dan masih tidak berhenti kejang kemudian segera dibawa ke Ruang perawatan intensive /
PICU.
f. Riwayat Pengobatan
g. Riwayat Alergi
Ibu An. rutin ANC di dokter, selama hamil tidak pernah sakit.
3
BB lahir = 2800 gram
PB lahir = 48 cm
k. Riwayat Perkembangan
OS selama sakit sulit untuk bersosialisasi di lingkungan sekitar dan teman sebayanya
l. Riwayat Imunisasi
BCG 1x
DPT 3x
Hepatitis B 3x
Polio 3x
Campak 1x
m. Riwayat Psikososial
Os tinggal bersama orangtuanya dan aktif bermain jika anak sehat. Sirkulasi udara di
lingkungan rumah baik.
4
Kesadaran : somnolen
Tanda-tanda Vital :
Suhu Tubuh : 38 ⁰C
Nadi : 105 kali/menit,
RR : 25 kali/menit
Antropometri:
BB sebelum sakit : 14 kg
BB saat sakit : 14 kg
PB : 88 cm
LK : 51 cm
Status Gizi
STATUS GENERALIS
Kepala
Kepala Normocephal
Ubun-ubun Kecil Menutup Sempurna
Warna Hitam distribusi merata
Kondisi Tidak mudah dicabut
Mata
Konjungtiva anemis - -
Sclera icterus - -
Edema palpebra - -
Mata cekung - -
Mata merah dan berair - -
Hidung
Pernapasan cuping hidung -
Deviasi septum -
Sekret (-/-)
Perdarahan (-/-)
Nyeri tekan (-/-)
Telinga
Normotia - -
Serumen - -
Nyeri tekan - -
Mulut
5
Mukosa bibir Kering
Sianosis -
Stomatitis -
Tonsil T1/T1
Faring Hiperemis (-)
Bercak perdarahan pada mukosa faring (-)
dan mukosa buccal
Leher
Pembesaran KGB - -
Pembesaran Kelenjar Thyroid - -
Thorax
Inspeksi Gerak dada simetris
Perkusi Sonor/sonor
Palpasi Vokal fremitus simetris, nyeri tekan (-/-)
Auskultasi Bunyi paru vesikular (+/+), ronkhi basah halus(+/+),
wheezing (-/-)
Bunyi jantung I dan II murni, regular, murmur (-), gallop
(-)
Abdomen
Inspeksi Abdomen datar, Distensi (-), Scar (-)
Auskultasi BU (+) normal
Perkusi Tymphani pada seluruh kuadran abdomen
Palpasi supel, nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-),
massa (-)
Turgor Kulit Baik, Kembali dalam waktu < 2 detik
Ekstremitas
Superior Kanan Kiri
Akral Hangat Hangat
Edema - -
Sianosis - -
CRT < 2 detik < 2 detik
Tonus otot Meningkat Meningkat
Pergerakan Fleksi Fleksi
6
Inferior Kanan Kiri
Akral Hangat Hangat
Edema - -
Sianosis - -
CRT < 2 detik < 2 detik
Tonus otot Meningkat Meningkat
Pergerakan Ekstensi Ekstensi
7
Natrium (Na) darah 142 mEq/L 135-147
Kalium (K) darah 3.4 mEq/L 3.5-5.0
Tanggal 1 November
2017
KIMIA KLINIK
Analisa gas darah 38.5
Temperatur (AGD)
pH 7.453 7.370 – 7.450
pCO2 35.7 mmHg 33-44
pO2 55.4 mmHg 71-104
Saturasi O2 89.40 % 94.00 – 98.00
HCO3 (act) 25.2 Mmol/L 21-28
1.5 Resume
An. A Laki-laki 4 tahun datang dengan keluhan kejang berulang >2x, lamanya >10 detik
ketika dirumah. Berdasarkan cerita ibunya os kejang meghentak-hentakkan tangan dan
kaki dengan mata mendelik keatas 2 jam smrs. Setelah kejang os berlangsung lemas. Lalu
sampai di IGD kejang berhenti dan langsung demam tinggi. os disertai batuk pilek dan
demam sejak 2 hari yang lalu smrs.
1.6 Assesment
8
1.7 Diagnosa Kerja
1.8 Terapi
1.9 Follow Up
Hari/ S O A P
tanggal
1 Demam dari semalam KU: sakit sedang extra proris sup I
Novemb (+) Kes : CM ISPA infus asering loading
er 2017 Kejang 3x siang dan S: 37.9’C 100 cc
lama >10 menit (+) RR : 35 x/m KDK injeksi kalmetason 3 x
(18.00) Batuk kering (+), pilek N: 100 x/m 2.5 mg
(+) p. Panas ->
Kejang berulang >3x Status proris ceweble 150
durasi ±40 menit. Kejang epileptikus mg
bersifat tonik klonik Diazepam 1.5 mg
dengan mata mendelik Riwayat Equal
dan setelah kejang terjadi Kejang pada Alco dmp syr 3 x 1
penurunan kesadaran epilepsi cdo
Diazepam injeksi 5 mg
(kecepatan 2
mg/menit)
9
Dilantin 200 mg
(dalam Nacl 100 cc
habis dalam 30 menit)
Terapi 12 jam kemudian
diberikan
Fenitoin rumatan
(dilantin) 2x35 mg
Ceftriaxon 3 x 500 mg
2 Pasien telah terpasang KU : kesadaran KDK Modus ventilator
Novemb ETT + ventilator dengan menurun : sakit berat diubah : RR 30 PEEP
er 2017 PC 15 RR 30 PEEP 5 Kes: stupor Kejang 5 PC 15
(03.00) FiO2 85% S:38.4 C riwayat FiO2 diturunkan
RR :43 x/m epilepsi pelan-pelan
HR: 146 x/m Volume tidak tidak
SaO2 : 91 % boleh lebih dari 80
Program lanjutan
Antibiotik
2 S : demam (+) KU : sakit berat nafas Observasi pola nafas
Novemb BAK ada, BAB ada dengan bantuan Bersihkan jalan napas
er 2017 Malam ini tidak ada Ventilator modus PE Riwayat Observasi TTV
(06.50) kejang (-) batuk (+) Infus terpasang Kejang pada
sesak (+) muntah (+) RR :FiO2 30 epilepsi Lanjutkan terapi
Terpasang NGT : coklat PEEPS 5
10
Balance S: 38.5 C Bronkopneu Cefotaxim 3x250 mg
Intake 1000 cc/kg RR : 51 x/m moni Kalmetason 3 x 2.5 mg
HR: 124 x/m Dilantin 2 x 35 mg
Pf: ronkhi basah kasar Sibital 3 x 35 mg
(+/+) Antrain 3x200 mg
Cor pulmo pada foto Omeprazol 2 x 20 mg
rontgen thorax
didapatkan infiltrat
difus.
Akral hangat nadi kuat
Trombosit : 168.000
3 Tangisan kuat, nafas KU: sakit sedang Kejang pada Terapi depaken syr
Novemb spontan, minuman 30 Kes : CM epilepsi lanjutkan :
er 2017 ml/3jam, toleransi S : 36’6 C P. panas oral 3x1
(06.00) minum baik, muntah HR : 119x/menit Bronkopneu Depaken oral 2x5ml
tidak ada. Demam sudah RR : 20x/m monia p.Batuk oral 3x1 bks
turun (-) batuk (+) sesak SPO2 : 99%
(-) Observasi nafas pasien
Infus tangan kanan dan Lab : Observasi TTV+SPO2
kiri Hb :10.6 Observasi tanda-tanda
Leukosit : 15.950 infeksi
Ht : 31
Trombosit : 179000
Eritrosit : 3.730
MCV/MCH/MCHC :
82/28/35
3 diBadar KU: cemas epilepsi Infus 700cc/jam
Novemb demam (-), kejang (-) Kes : somnolen Inj. Cefotaxim 3x250
er 2017 batuk (+) HR: 115x/m Bronkopneu mg
(10.00) os sulit untuk diajak RR: 23x/m monia Inj. Kalmetason 3x2.5
berbicara dan mg
berinteraksi Delayed Inj. Dilantin 2x35 mg
development Inj. Sibital 2x35 mg
Depaken syr 2 x 5 cc
11
3 (Dietisien) Intake enteral Pantau NGT
Novemb Risiko malnutrisi inadekuat Pantau TTV
er 2017 BB: 14 kg Pantau intake
()6.00) BB/U : Target intake 51%
Kebutuhan cairan: kebutuhan
1200cc/jam
Infus 700 cc/24jam
500cc/24jam (enteral)
3 Kejang (-) demam (-) KU: sakit sedang epilepsi Inhalasi 3x/hari
Novemb Bab dan bak normal Kes: cm Diet cair 8x60 menit
er 2017 NGT (+) Bronkopneu Inj. Dilantin 2 x25 mg
(12.00) monia Inj. Sibital 2 x25 mg
Inj. Kalmetason 3x2
mg
Alco dmp syr
12
6 Ot mengakan anaknya KU : sakit sedang epilepsi terapi lanjutkan
Novemb batuk (+) lemas (+) Kes : CM
er 2017 demam naik turun. Os Suhu : 37,6’C Bronkopneu
ketika diajak berinteraksi Nadi: 110 x/m monia
dapat mengeluarkan Rr: 24x/m
suara tetapi tidak dapat Delayed
membentuk kata. development
7 (Fisioterapi) Berdiri (-), bicara (-), Delay speech stimulasi bahasa bicara
Novemb Os dengan riwayat kemampuan oral oral facial stimulation
er 2017 kejang meniup (-) menghisap
(-)
Os muncul kata-kata
“aku gak mau”
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Status Epileptikus
Sampai saat ini, belum terdapat keseragaman mengenai definisi status epileptikus (SE)
karena International League Againts Epilepsy (ILAE) hanya menyatakan bahwa SE adalah
kejang yang berlangsung terus menerus selama periode waktu tertentu atau berulang tanpa
disertai pulihnya kesadaran diantara kejang. Kekurangan definisi menurut ILAE tersebut
adalah batasan lama kejang tersebut berlangsung. Oleh sebab itu, sebagian para ahli membuat
kesepakatan batasan waktunya adalah selama 30 menit.
Epidemiologi
Insidens SE pada anak diperkirakan sekitar 10-58 per 100.000 anak. Status epileptikus
lebih sering terjadi pada anak usia muda, terutama usia kurang dari 1 tahun dengan estimasi
insidens 1 per 1000 bayi.
Etiologi
Faktor risiko
Berikut adalah beberapa kelompok pasien yang berisiko mengalami status epileptikus:
1. Epilepsi Sekitar 10-20% penderita epilepsi setidaknya akan mengalami satu kali episode
status epileptikus dalam perjalanan sakitnya. Selain itu, SE dapat merupakan manifestasi
epilepsi pertama kali pada 12% pasien baru epilepsi.
2. Pasien sakit kritis Pasien yang mengalami ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), trauma
kepala, infeksi SSP, penyakit kardiovaskular, penyakit jantung bawaan (terutama post-
operatif), dan ensefalopati hipertensi.
14
Patofisiologi
Tata laksana
Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC) harus
dilakukan seiring dengan pemberian obat anti-konvulsan. Pemilihan jenis obat serta dosis
anti-konvulsan pada tata laksana SE sangat bervariasi antar institusi. Berikut ini adalah
algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus berdasarkan Konsensus UKK
Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Keterangan:
Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit.
Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.
15
Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan yang
sama
Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis yang
diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan teteskan pada
buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan kelompok usia;
• 5 mg (usia 1 – 5 tahun)
• 10 mg (usia ≥ 10 tahun)
Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah
pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap dengan
kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.
Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan tidak
kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan dengan
pemberian rumatan bila diperlukan.
EPILEPSI
Definisi
Terjadi dua atau lebih bangkitan kejang tanpa provokasi yang dipisahkan oleh interval
lebih dari 24 jam yang bersifal lokal/parsial maupun general/umum.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for
Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang
ditandai oleh adanya faktor predisposis yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, dan psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya.
Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya.
Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi, sekitar
lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi lebih tinggi di
negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100.000, sementara
di negara berkembang mencapai 100/100.000.
16
Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan pengobatan
apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibanding kan dengan perempuan.
Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan usia
lanjut diatas 65 tahun (81/100.000 kasus). Menurut Irawan Mangunatmadja dari Departemen
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta angka kejadian epilepsi pada anak cukup tinggi, yaitu pada
usia 1 bulan sampai 16 tahun berkisar 40/100.000 kasus.
Etiologi
1. Epilepsi idiopatik
Penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari penderita epilepsi anak dan umumnya
mempunyai predisposis genetik, awitan biasanya pada usia >3 tahun.
2. Epilepsi simptomatik
Disebabkan oleh kelainan/ lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya : post trauma kapitis,
infeksi susunan saraf pusat, gangguan metabolik, malformasi otak kongenital, asfiksia
neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat),
kelainan neurodegeneratif.
3. Epilepsi kriptogenik
Dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini adalah
sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik.
Klasifiksi
17
Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan berkembang
menjadi kejang umum.
1. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)
Lena/ absens
Mioklonik
Tonik
Klonik
Tonik-klonik
Atonik
2. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan
18
A. Patofisiologi
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan tranmisi pada
sinaps. Ada 2 jenis neurotransmitter, yaitu neurotransmitter eksitasi yang memudahkan
depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap
penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga
sel nauron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Diantara neurotransmitter-
neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepilefrin dan asetilkolin.
Sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA)
dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls
atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu
dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran
neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau menggangu
fungsi membran neuron sehingga memran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan
ekstra ke intraseluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas
muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh
sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat
khas serangan epilepsi adalah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses
inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain
itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinapik yang menjamin agar neuron-neuron tidak
terus menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadan lain yang dapat menyebabkan
suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang
penting untuk fungsi otak..
B. Gejala
1. Kejang parsial simpleks
Kejang dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan menglami gejala berupa :
Deja vu : perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya.
Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat
dijelaskan.
Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian
tubuh tertentu.
Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu.
Halusinasi.
2. Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih
lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan
mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi :
Gerakan seperti mencucur atau mengunyah.
Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang.
19
Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam
keadaan seperti bingung.
Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
3. Kejang tonik-klonik
Merupakan kejang yang paling sering. Dimana terdapat 2 tahap : tahap tonik atau
kaku diikuti tahap klonik atau kelojotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya
mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasanya didahului dengan
aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan, dapat berupa : merasa
sakit perut, baal, kunang-kunag, telinga berdengung. Pada tahap klonik pasien dapat :
kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot yang
menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah.
Pada saat fase klonik : terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, pasien
tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur
setelah serangan semacam ini.
C. Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis.
1. Anamnesis
Anamnesis menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran,
meningitis encefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan penggunaan
obat-obatan tertentu.
Anamnesis meliputi ;
Pola/bentuk serangan
Lama serangan
Gejala sebelum, selama dan pasca serangan
Frekuensi serangan
Faktor pencetus
Ada/tidak penyakit lain yang diderita sekarang
Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembanga
Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga.
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperi taruma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya
serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada
anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal
gangguan pertumbuhan otak unilateral.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium tidak rutin dilakukan hanya atas indikasi
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis, ditunjukkan untuk
20
menyingkirkan adanya penyebab kejang ekstrakranial. Pemeriksaan yang
dilakukakan dapat meliputi darah tepi lengkap, gula darah, elektrolit, kalsium
serum, magnesium dan BUN. Pemeriksaan kadar obat antikonvulsan mungkin
diperlukan pada kecurigaan ketidakpatuhan pasien terhadap regimen
pengobatan.
Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk menegakkan
diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard untuk
diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya
kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural
diotak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG
dikatakan abnormal :
- Asimetris irama dan voltae gelombang pada daerah yang sama pada kesua
hemisfer otak
- Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
- Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), dan gelombang lambat yang
timbul secara paroksismal.
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging. Bertujuan untuk
melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT
scan maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci.
MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta
untuk membantu terapi pembedahan.
D. Penatalaksanaan
Tujuan terapi epilepsi adalah :
Obat Anti Epilepsi (OAE) mulai diberikan bila diagnosis apilepsi sudah dipastikan,
terdapat minimal 2 kali bangkita dalam setahun, pasien dan keluarga telah mengetahui
tujuan pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya.
Strategi pengobatan. Dimulai dengan monoterapi OAE lini pertama sesuai dosis,
kemudian ditingkatkan dosisnya sampai bangkitan teratasi/ didapat hasil yang optimal
dan konsentrasi plasma OAE pada kadar yang maksimal. Jika bangkitan masih tidak
teratasi, secara bertahap ganti ke OAE lini kedua sebelum pemberian politerapi.
Konseling. Beritahukan kepada keluarga dan pasien bahwa penggunaan OAE jangka
lama tidak akan menimbulkan perlambatan mental permanen dan pencegahan kejang
untuk 1-2 tahun dapat menurunkan kemungkinan bangkitan berulang..
Penanganan jangka panjang. Teruskan pengobatan OAE sampai pasien bebas bangkitan
sekurang-kurangnya 1-2 tahun.
21
Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk memulai terapi bila
kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila : dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG,
terdapat riwayat epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala disertai penurunan
kesadaran.
Jika sudah jelas diagnosis epilepsi obat anti epilepsi (OAE) dapat diberikan sesuai jenis
dan klasifikasi epilepsi. Sesuai kesepakatan dokter neurologi anak IDAI terapi dimulai jika
interval antara 2 episode kejang kurang dari 6 bulan. Prinsip pengobatan epilepsi adalah
monoterapi dengan dosis yang bisa memberantas kejang. Mulai dengan dosis kecil terlebih
dahulu, naikkan secara bertahap jika masih terdapat kejang. Obat anti epilepsi dapat dinaikkan
sampai dosis maksimal, jika dengan dosis 2 OAE kejang sudah terkontrol OAE pertama dapat
dicoba diturunkan secara bertahap. Jika dengan monoterapi kedua kejang kembali ada maka
tetap diberikan politerapi dengan 2 OAE. Lama pemberian OAE sampai 2 tahun bebas kejang,
EEG ulang dilakukan untuk evaluasi jika hasil EEG normal OAE dapat diturunkan bertahap
selama 3-4 bulan. Jika EEG abnormal, OAE dianjurkan sampai 3 tahun bebas kejang, setelah
itu dilakukan evaluasi EEG ulang.
Selama pengobatan jika masih ada kejang, sebelum menaikkan dosis OAE atau
menambah OAE dinilai dahulu kepatuhan minum obat, adakah faktor pencetus kejang.
Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah 2 tahun
bebas serangan.
Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan
dalam jangka waktu 3-6 bulan.
Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan
utama.
22
Fenitoin Epilepsi fokal Mioklonik 5-7 mg/kg/hari
dibagi 2 dosis
23
Medikamentosa
Jika pasien datang dalam keadaan kejang, penghentian kejang harus segera dilakukan
tanpa menunggu anamnesis dan pemeriksaan fisis lengkap
Bila diagnosis epilepsi telah ditegakkan, ditentukan regimen terapi antikonvulsan sesuai
jenis epilepsi. Terapi antikonvulsan diberikan sampai pasien bebas kejang selama 2 tahun.
Edukasi
Edukasi mengenai penyakit dan pengobatannya, termasuk kepatuhan minum obat dan
efek samping obat.
Edukasi mengenai fungsi dalam kehidupan sehari-hari :
Pasien dapat beraktivitas normal seperti anak-anak lain seusianya, termasuk
berolahraga
Pada aktivitas fisik tertentu, seperti berenang sebaiknya pasien ditemani orang lain.
Aktivitas fisik yang ekstrem, kurang tidur, stress psikis sebaiknya dihindari.
Pemantauan
Pemantauan dilakukan untuk mengetahui kepatuhan minum obat, respon terhadap obat
dan timbulnya efek samping obat (bila perlu dilakukan pemeriksaan darah tepi dan fungsi
hati) juga perlu dilakukan evaluasi neurologik ulang secara berkala.
E. Prognosis
Terkadang pasien mengalami perjalanan penyakit yang memburuk sejak permulaan penyakit
dan mungkin meninggal dalam beberapa tahun sejak pertama kali timbul gejala.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2 FK UI. Jakarta : Info Medika Jakarta
2. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 1. Jakarta: EGC.
3. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 vol 2. Jakarta: EGC
4. PERDOSSI. Pedoman tatalaksana epilepsi. Ed: 3. Jakarta. 2008
5. Price dan wilson. 2006. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Ed: 6.
Jakarta: EGC
6. Tjahjadi, dkk. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In: Kapita Selekta Neurologi.
Yogyakarta; gadjah Mada University Press. 2005
25