PROPOSAL
OLEH :
DODHY KURNIAWANSYAH
NIM : 2019C08b0155
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit ini diawali
dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek, batuk
kering atau berdahak. ISPA selalu menduduki peringkat pertama dari 10 penyakit terbanyak di
Indonesi (Kemenkes RI,2014). Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi ISPA
ditemukan sebesar 25,0%. Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada
kelompok umur 1-4 tahun yaitu sebesar 25,8%. Pada tahun 2014 kasus ISPA pada balita tercatat
sebesar 657.490 kasus (29,47%). Berdasarkan hasil rekapitulasi Dinas Kesehatan Propinsi Jawa
Tengah, pada tahun 2012 tercatat 4.587 kasus ISPA pada balita yang terdiri dari dua kelompok
umur yaitu kelompok umur < 1 tahun sebanyak 1.615 kasus dan kelompok umur 1-4 tahun
Menurut Riskesdas (2013) penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) masih
menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting untuk diperhatikan, karena
merupakan penyakit akut yang dapat menyebabkan kematian pada balita di berbagai negara
berkembang termasuk Indonesia. ISPA adalah infeksi akut saluran pernapasan atas maupun bawah
yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun reketsia tanpa atau disertai
dengan radang parenkim paru (Wijayaningsih, 2013). ISPA berlangsung sampai 14 hari yang
dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin maupun udara pernafasan yang mengandung
kuman. ISPA diawali dengan gejala seperti pilek biasa, batuk, demam, bersin-bersin, sakit
tenggorokan, sakit kepala, sekret menjadi kental, nausea, muntah dan anoreksia (Wijayaningsih,
2013). Banyak orang tua yang sering mengabaikan gejala tersebut, sementara kuman dan virus
dengan cepat berkembang di dalam saluran pernafasan yang akhirnya menyebabkan infeksi. Jika
telah terjadi infeksi maka anak akan mengalami kesulitan bernafas dan bila tidak segera ditangani,
penyakit ini bisa semakin parah menjadi pneumonia yang menyebabkan kematian (IDAI, 2015).
Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan angka kematian pada balita
di dunia pada tahun 2013 sebesar 45,6 per 1.000 kelahiran hidup dan 15% diantaranya disebabkan
oleh ISPA. Menurut data yang diperoleh dari WHO pada tahun 2012, ISPA atau pneumonia
merupakan penyakit yang paling sering diderita oleh balita yaitu sebanyak 78% balita datang
berkunjung ke pelayanan kesehatan dengan kejadian ISPA. Setiap tahun, jumlah balita yang
dirawat di rumah sakit dengan kejadian ISPA sebesar 12 juta (Tazinya et al, 2018). Insiden ISPA
pada balita di negara berkembang diperkirakan 0,29 anak setiap tahun dan di negara maju
sebanyak 0,05 anak setiap tahun. Penyebab kematian akibat ISPA di negara berkembang lebih
tinggi dibandingkan negara maju yaitu sebesar 10-50 kali (Ramani et al, 2016).
Berdasarkan data Kemenkes tahun 2015, cakupan penemuan ISPA pada balita tahun 2014
berkisar antara 20-30%, sedangkan pada tahun 2015 terjadi peningkatan menjadi 63,45%. Data dari
Buletin Surveilans ISPA Berat di Indonesia (SIBI) pada tahun 2014 yang dilaksanakan di enam
rumah sakit provinsi di Indonesia, didapatkan 625 kasus ISPA berat, 56% adalah laki-laki dan 44%
adalah perempuan. Sementara kejadian ISPA pada balita di Sumatera Barat tahun 2015 sebanyak
11.326 kasus (22,94%) dan pada tahun 2016 meningkat menjadi 13.384 kasus (27,11%) (Dinkes,
2016).
Menurut Riskesdas (2013) ISPA pada balita dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu gizi
yang kurang, status imunisasi yang tidak lengkap, membedong bayi (menyelimuti yang
berlebihan), tidak mendapat ASI yang memadai, defisiensi vitamin A, kepadatan tempat tinggal,
polusi udara, orang tua perokok dan keadaan rumah yang tidak sehat.
Sementara menurut Maryunani (2010) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor individu
anak, faktor lingkungan dan faktor perilaku. Faktor individu anak meliputi: umur anak, berat
badan lahir, status gizi, vitamin A dan status imunisasi. Faktor lingkungan meliputi: pencemaran
udara dan perilaku merokok, ventilasi rumah dan kepadatan hunian. Faktor perilaku, dimana
apabila faktor perilaku merokok pencegahan dan penanggulangan ISPA pada bayi dan balita tidak
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
penyakit menular di dunia. Angka mortalitas ISPA mencapai 4,25 juta setiap tahun di dunia
(Najmah, 2016). ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di
Puskesmas (40%- 60%) dan rumah sakit (15%-30%) (Kemenkes RI, 2012). Tingkat mortalitas
sangat tinggi pada bayi, anak-anak, dan orang lanjut usia, terutama di negara- negara dengan
Salah satu negara berkembang dengan kasus ISPA yang tinggi adalah Indonesia.
Indonesia selalu menempati urutan pertama penyebab kematian ISPA pada kelompok bayi dan
balita (Najmah, 2016). ISPA disebabkan karena bakteri, virus, jamur dan rickettsia (Najmah,
2016). Bakteri yang dapat menyebabkan ISPA paling banyak ialah Haemophilus influenza dan
Streptoccocus pneumonia. Selain itu, terjadinya ISPA juga dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu, gizi buruk; polusi udara dalam ruangan (indoor air pollution); BBLR; kepadatan penduduk;
kurangnya imunisasi campak; dan kurangnya pemberian ASI eksklusif (Kemenkes RI, 2012).
menjadi isu penting yang menjadi pembicaraan di setiap pertemuan internasioanal. Emisi karbon
menjadi penyebab utama dari masalah yang sudah berkembang menjadi bencana global (UNFCC,
2007). Asap pabrik industry dan kerusakan hutan di negara berkembang menjadi penyumbang
utama dari total emisi karbon dunia (Kementrian Lingkungan Hidup RI, 2012). Indonesia
merupakan negara yang masuk dalam 10 besar negara yang memiliki hutan terluas didunia, dan
Indonesia merupakan pemilik hutan tropis kedua terbesar didunia setelah brazil (Media
Indonesia, 2014). Pada tahun 2010, Indonesia Tercatat memiliki hutan selua 45,56% dari total
luas wilayah daratan, atau sekitar 847,522 km2. Dengan luas hutan yang dimiliki Indonesia
menjadi salah satu paru-paru dunia, dan keadaan hutan Indonesia ini mempengaruhi iklim global
secara signifikan.
Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan Asia Tenggara dengan percepatan
pembangungan dan pertumbuhan yang cepat sepanjang dekade 90-an, tetapi pembangunan dan
pertumbuhan tersebut bukan tanpa akibat buruk dari segi lingkungan. Kerusakan lingkungan
khususnya akibat pembangunan dan pertumbuhan, salah satunya ditunjukkan dengan adanya
pengalihan fungsi lahan dengan cara membakar lahan. Berdasarkan data pemantauan satelit
teridentifikasi sejumlah titik api yang tersebar di Kalimantan Tengah. Hal tersebut memberikan
indikasi kuat masih dilakukannya aktivitas pembukaan lahan dengan cara membakar, karena
lebih dari 45% titik api terjadi di areal perkebunan kelapa sawit yang tertutup hutan Kebakaran
hutan di Indonesia diperkirakan sudah terjadi semenjak tahun 1960, yaitu di wilayah Sumatera
dan diikuti kebakaran pertama pada tahun 1980 di wilayah Kalimantan. Kebakaran hutan di
wilayah Indonesia terus-menerus terjadi setiap tahunnya hingga tahun 2015. Pada tahun 2007,
Indonesia tercatat sebagai negara dengan emisi gas rumah kaca terbesar ketiga setelah Amerika
dan Cina, yang disebabkan oleh deforestasi, konversi lahan dan kebakaran hutan ( Green Peace
Indonesia, 2014).
Pada tahun 2008, Indonesia masuk ke dalam catatan Guiness Book of World Records,
sebuah otoritas global pemecahan rekor, di mana Indonesia tercatat sebagai negara dengan laju
kerusakan hutan tercepat di dunia dengan laju kerusakan seluas 1.8 juta ha per tahun, semenjak
tahun 2000-2005, atau 2% per tahunnya, atau setara dengan 51 km2 per harinya (ibid, 2013).
Kebakaran hutan telah menjadi peristiwa tahunan yang sangat merugikan negara dan
rakyat Indonesia. Selain kehilangan hutannya, Indonesia juga mengalami kerugian di berbagai
bidang akibat kebakaran ini. Kerugian tersebut meliputi bidang pertanian yaitu terbunuhnya
beberapa satwa dan rusaknya ekosistem, di bidang kesehatan yaitu menyebabkan meningkatnya
penderita ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut), di bidang transportasi yaitu terganggunya
transportasi udara dan laut karena jarak pandang, di bidang pariwisata yaitu ditutupnya sementara
Dari latar belakang diatas peneliti tertarik untuk mengkaji tentang “Gambaran Tingkat
Pengetahuan Ibu Dengan Upaya Pencegahan Kejadian Ispa Pada Balita Akibat Kabut Asap Di
Wilayah Kerja Puskesmas Kalampangan Tahun 2019”, karena melihat maraknya polusi udara
Palangka Raya, dikarenakan agar peneliti dapat mengambil sampel lebih banyak untuk hasil
B. Rumusan Masalah
Bagaiman Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Dengan Upaya Pencegahan Kejadian ISPA Pada
C. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Secara umum penulisan proposal ini adalah untuk mengetahui Gambaran Tingkat
Pengetahuan Ibu Dengan Upaya Pencegahan Kejadian ISPA Pada Balita Akibat Kabut Asap
b. Tujuan Khusus
3. Untuk mengidentifikasi Pengetahuan ibu tentang cara penanganan penyakit ISPA pada
Balita.
D. Manfaat Penelitian
a. Bagi Responden
Hasil penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan pengetahuan bagi masyarakat
Hasil Penelitian ini diharapkan bisa menambah masukan bagi masyarakat agar lebih
c. Bagi Institusi
Tingkat Pengetahuan Ibu Dengan Upaya Pencegahan Kejadian ISPA Pada Balita
d. Bagi Peneliti
Sebagai sarana mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan dan