Anda di halaman 1dari 10

Nama : Satedi Destri Purnomo, SE

NIM : B.312.3819.022
Kelas : MM Sabtu-Minggu
Tugas Manajemen Pemasaran
Dosen : Dr. Berta Bekti R., SE, M.Si

Keberhasilan Strategi Positioning Majalah Tempo

1. Pendahuluan
Media cetak merupakan salah satu media massa yang populer. Media cetak
merupakan media komunikasi yang bersifat tertulis atau tercetak. Ada berbagai macam
media yang tergolong ke dalam media cetak, salah satunya adalah Majalah. Majalah
adalah sebagai kumpulan berita, artikel, cerita, iklan yang dicetak dalam lembaran kertas
ukuran kuarto dan dijilid dalam bentuk buku, yang diterbitkan secara berkala. Sedangkan
yang dimaksud dengan majalah serial itu ialah, majalah yang diterbitkan seminggu sekali,
dua minggu sekali atau sebulan sekali.
Majalah adalah salah jenis dari media massa, majalah terdiri dari sekumpulan kertas
cetakan yang disatukan. Tulisan-tulisan di dalam majalah dibuat bukan oleh tulisan
tangan, namun oleh suatu mesin cetak. Tidak ada ketentuan baku dalam penyusunan isi
sebuah majalah.
Majalah biasanya berisi berbagai macam topik tulisan yang sesuai dengan tujuan dan
topik dari majalah yang bersangkutan. Bukan hanya terdapat tulisan, didalam majalah
juga ada gambar-gambar yang bertujuan sebagai ilustrasi dari tulisan dan juga bertujuan
untuk membuat isi majalah menjadi cantik dan menarik. Gambar-gambar tersebut bisa
berbentuk gambar orang, gambar benda, atau gambar kartun.
Banyak media cetak di Indonesia yang sampai saat ini masih eksis, sebut saja Radar,
Harian Kompas, Majalah tempo, Republika, Harian Indonesia dll. Sebagai salah satu
surat kabar, Majalah Tempo juga menyajikan informasi dan berita yang aktual. Oleh
karena itu penulis tertarik untuk membahas Majalah Tempo yang masih terus eksis
sampai saat ini.

1
2. Pembahasan
2.1. Sejarah Majalah
Dunia cetak-mencetak mulai mengalami kemajuan tak henti-henti sejak
dikembangannya mesin cetak oleh Johannes Guttenberg tahun 1455. Mesin cetak ini
merupakan yang pertama kalinya di Eropa yang menggunakan cetak logam yang dapat
digerakkan (movable metal type). Secara dramatis, penemuan ini meningkatkan kecepatan
produksi barang cetakan, termasuk buku dan majalah. Mesin cetak juga mengurangi
waktu yang digunakan dalam produksi buku dan majalah sebelumnya.
Majalah yang paling awal adalah Erbauliche Monaths – Unterredungen (1663–1668)
diterbitkan oleh Johann Rist, seorang teolog dan penyair dari Hamburg, Jerman. Bentukan
iklan buku dikenalkan sejak tahun 1650, berupa feature yang muncul secara reguler dan
kadang diberi ulasan. Katalog-katalog reguler terbit, seperti Mercurius Librarius atau A
Catalogue of Books (1668-1670). Tetapi, selama abad 17 terbitan semacam itu rata-rata
berumur pendek.
Jenis majalah yang lebih ringan isinya, atau berkala hiburan, pertama kali terbit pada
1672, yaitu Le Mercure Galant yang didirikan oleh seorang penulis bernama Jean
Donneau de Vice yang berisi kisah-kisah kehidupan, anekdot dan mutiara hikmah.
Di awal terbitannya, berbagai majalah didesain hanya untuk kalangan terbatas.
Penerbitnya lebih suka disebut pengelola ”quality” magazines. Sejak 1830-an,
bermunculan majalah-majalah berharga murah, yang ditujukan kepada publik yang lebih
luas. Awalnya berbagai majalah ini menyajikan mater-materi yang bersifat meningkatkan,
mencerahkan, dan menghibur keluarga. Tapi, pada akhir abad 18 berkembang majalah-
majalah populer yang semata-mata menyajikan hiburan.
Di Inggris, Charles Knight menjadi pelopor majalah jenis baru ini. Ia menerbitkan
mingguan Penny Magazine (1832 – 1846) dan Penny Cyclopedia (1833 – 1858). Di
samping majalah populer, muncul pula berbagai penerbitan majalah serially yang
dipenuhi dengan gambar-gambar ilustrasi. Di AS sampai tahun 1850, perkembangan itu
tidak ditemukan. Yang tercatat mengmbangkan penerbitan berskala nasional jangkauan
oplahnya yaitu Saturday Evening Post (1821 – 1869) dan Youth Companion (1827–
1929).
Pada seperempat akhir abad 19, penerbitan majalah mengalami peningkatan pasar.
Masyarakat mendapat limpahan informasi dan hiburan. George Newness menyalurkan
hobinya yang berawal dari kesukaannya menggunting paragraf-paragraf. Pada tahun 1881
menerbitkan Tit-Bits yang terbit secara periodik dan menyebar secara meluas melintasi

2
batas negara. Hal tersebut diikuti oleh the Strand yang menjadi populer karena kisah-
kisah Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle.
Keberadaan majalah sebagai media massa terjadi tidak lama setelah surat kabar.
Sebagaimana surat kabar, sejarah majalah diawali dari negara-negara Eropa khususnya
Inggris, da di benua Amerika diwakili oleh Amerika Serikat. Di Amerika, tahun 1820-
1840-an merupakan zamannya majalah (the age of magazines). Majalah yang paling
pouler saat itu adalah Saturday Evening Post yang terbit tahun 1821 dan Nort American
Review.
Perubahan besar dalam industri majalah terjadi pada tahun 1890-an, ketika S.S.
McClure, Frank Musey, Cyrus Curtis dan sejumlah penerbit lain mulai mengubah industri
penerbitan majalah secara revolusioner. Mereka melihat adanya ratusan ribu calon
pelanggan yang belum terlayani oleh majalah yang ada. Mereka juga melihat bahwa iklan
akan memainkan peranan penting dalam perekonomian AS. Maka, para tokoh ini
menciptakan majalah yang isinya sesuai dengan selera dan kepentingan orang banyak.
Munsey’s dan McClure’s mulai menyajikan liputan olahraga di Harvard yang disusul
dengan artikel olahraga umum, tulisan tentang perang, lagu-lagu populer, para pesohor
(selebritis), dan sebagainya. Curtis lalu menerbitkan majalah khusus kaum ibu, Ladies’
Home Journal, yang kemudian menjadi majalah pertama yang mencapai tiras 1 juta.
Majalah-majalah khusus seni dan arsitektur, kesehatan, dan sebagainya segera ikut
bermunculan. Terjadilah fenomena yang disebut dengan popularisasi dan segmentasi isi.
Para penerbit majalah juga berusaha menekan harga agar bisa terjangkau oleh orang
kebanyakan. Pada tahun 1893, Frank Munsey menjual Munsey’s seharga 10 sen, jauh
lebih murah daripada majalah lain. Iklan menjadi kian penting daripada harga majalah.
Curtis kemudian bahkan menurunkan harga majalahnya menjadi 5 sen, lebih murah
daripada harga kertas majalahnya sendiri. Isi populer dan harga murah itu sukses
menjaring banyak pembeli, sehingga pengiklan pun tertarik.
Kerugian akibat harga yang lebih murah daripada biaya produksi ditutup oleh
penghasilan dari iklan. Redistribusi pendapatan memunculkan kelas menengah yang daya
belinya lebih baik, dan mereka merupakan pasar potensial aneka produk massal yang
dapat dijaring melalui iklan di majalah. Hal ini juga mendorong penerbit untuk berusaha
membidik pembeli yang homogen guna memudahkan segmentasi iklan.
Dulu, untuk mempercepat reproduksi majalah mempekerjakan banyak seniman yang
masing-masing membuat sebagian gambar yang lalu disatukan sebelum digunakan
sebagai materi cetakan. Teknik cetak foto modern jelas serba lebih mudah. Pengiriman

3
foto juga gampang dilakukan sejak adanya kamera saku dan jasa pencetakan dan
pengiriman foto kilat sejak 1935.
Jika sebelumnya produk bacaan (cetak) dan aksesnya hanya tersedia bagi kalangan
tertentu, maka belakangan produk-produk tersebut dapat diproduksi lebih banyak dan
menyebar ke pembaca yang lebih luas. Terbitan koran dan majalah juga termasuk yang
harus berusaha keras menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi baru ini. Banyak majalah
raksasa yang tertekan, Tidak sedikit mingguan atau bulanan yang sudah puluhan tahun
terbit dan berjangkauan luas akhirnya terpaksa tutup.
Majalah yang mampu bertahan umumnya yang bersifat khusus, seperti majalah
khusus wisata (Sunset), olahraga (Sport Illustrated), hobi perahu layar (Yachting),
penggemar acara televisi (TV Guide), atau berita-berita ilmiah (Scientific American).
Majalah-majalah yang meliput segala hal (pusparagam) seperti Collier’s dan Saturday
Evening Post, sudah bukan zamannya lagi, bahkan juga bagi yang awalnya begitu
terkenal seperti Life dan Look. Sekarang adalah zaman majalah-majalah khusus.

2.2. Sejarah Perkembangan Majalah Di Indonesia


Sejarah keberadaan majalah sebagai media massa di Indonesia dimulai pada massa
menjelang dan awal kemerdekaan Indonesia. Di Jakarta pada tahun 1945 terbit majalah
bulanan dengan nama Pantja Raja pimpinan Markoem Djojohadisoeparto dengan
prakarsa dari Ki Hadjar Dewantoro, sedang di Ternate pada bulan oktober 1945 Arnold
Monoutu dan dr. Hassan Missouri menerbitkan majalah mingguan Menara Merdeka yang
memuat berita-berita yang disiarkan radio republic Indonesia. Di kediri terbit majalah
berbahasa Jawa Djojobojo, pimpinan Tadjib Ermadi. Para anggota Ikatan Pelajar
Indonesia di Blitar menerbitkan majalah berbahasa jawa, Obor (Suluh).
a. Awal Kemerdekaan
Soemanang, SH yang menerbitkan majalah Revue Indonesia, dalam salah satu
edisinya pernah mengemukakan gagasan perlunya koordinasi penerbitan surat kabar,
yang jumlahnya sudah mencapai ratusan. Semuanya terbit dengan satu tujuan, yakni
menghancurkan sisa-sisa kekuasaan belanda, mengobarkan semangat perlawanan
rakayat terhadap bahaya penjajahan, menempa persatuan nasional untuk keabadian
kemerdekaan bangsa dan penegakan kedaulatan rakyat.

4
b. Zaman Orde Lama
Pada masa ini, perkembangan majalah tidak begitu baik, kaena relatif sedikit
majalah yang terbit. Sejarah mencatat majalah Star Weekly, serta majalah mingguan
yang terbit di Bogor bernama Gledek, namun hanya berumur beberapa bulan saja.
c. Zaman Orde Baru
Awal orde baru, banyak majalah yang terbit dan cukup beragam jenisnya,
diantaranya di Jakarta terbit majalah Selecta pimpinan Sjamsudin Lubis, majalah
sastra Horison pimpinan Mochtar Lubis, Panji Masyarakat dan majalah Kiblat. Hal
ini terjadi sejalan dengan kondisi perekonomian bangsa Indonesia yang makin baik,
serta tingkat pendidikan masyarakat yang makin maju.

2.3. Sejarah Majalah Tempo


Tempo adalah majalah berita mingguan Indonesia yang umumnya meliput berita dan
politik dan diterbitkan oleh Tempo Media Group. Majalah ini merupakan majalah
pertama yang tidak memiliki afiliasi dengan pemerintah.
1970-1980.
Tempo didirikan oleh Goenawan Mohamad dan Yusril Djalinus, dengan edisi
pertamanya terbit pada 6 Maret 1971. Terbitnya edisi tersebut tidak bisa lepas dari peran
prakarsa sekumpulan anak muda pada tahun 1969, antara lain yaitu Goenawan Mohamad,
Fikri Jufri, Christianto Wibisono dan Usamah. Pada awalnya majalah itu bernama
"Ekspres", namun dikarenakan adanya perbedaan prinsip antara jajaran redaksi dan pihak
pemilik modal utama, maka Goenawan dan kelompoknya keluar dari Ekspres pada
tahun 1970.

5
Dalam waktu yang kurang lebih sama, Harjoko Trisnadi sedang mengalami masalah.
Majalah Djaja, milik Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) , yang dikelolanya
sejak 1962 macet terbit. Menghadapi kondisi tersebut, karyawan Djaja menulis surat
kepada Gubernur DKI saat itu, Ali Sadikin, meminta agar Djaja diswastakan dan
dikelola Yayasan Jaya Raya, sebuah yayasan yang berada di bawah Pemerintah DKI.
Lalu terjadi rembugan tripartite antara Yayasan Jaya Raya, yang dipimpin Ir.
Ciputra orang-orang bekas majalah Ekspres dan orang-orang bekas majalah Djaja.
Disepakatilah berdirinya majalah Tempo di bawah PT. Grafiti Pers sebagai penerbitnya.
Pada tahun 1971, dengan peran serta dari Harjoko Trisnadi, Fikri Jufri, Lukman
Setiawan dan Bur Rasuanto, Goenawan yang kemudian dianggap sebagai "pendiri",
menerbitkan majalah Tempo untuk pertama kalinya.
Pemakaian nama Tempo, tidak lepas dari saran dari para pengecer. Di mana kata ini
mudah untuk diucapkan dan memiliki jarak penerbitan yang cukup longgar, yakni
mingguan. Selain itu, namanya, dianggap mirip-mirip dengan majalah terkenal
dari Amerika, Time. Dengan rata-rata umur pengelola yang masih 20-an, ia tampil beda
dan diterima masyarakat. Dengan mengedepakan peliputan berita yang jujur dan
berimbang, serta tulisan yang disajikan dalam prosa yang menarik dan jenaka, majalah ini
diterima masyarakat.

6
1981-2000
Pada tahun 1982, untuk pertama kalinya majalah ini dibredel, karena dianggap terlalu
tajam mengkritik rezim Orde Baru dan kendaraan politiknya, Golkar. Saat itu tengah
dilangsungkan kampanye dan prosesi Pemilihan Umum. Tapi akhirnya diperbolehkan
terbit kembali setelah menandatangani semacam "janji" di atas kertas segel dengan Ali
Moertopo, Menteri Penerangan saat itu ( zaman Soeharto ada Departemen Penerangan
yang fungsinya, antara lain mengontrol pers).
Makin sempurna mekanisme internal keredaksiannya, makin mengental semangat
jurnalisme investigasinya. Maka makin tajam pula daya kritik Tempo terhadap
pemerintahan Soeharto yang sudah sedemikian melumut. Puncaknya, pada Juni 1994,
untuk kedua kalinya majalah ini dibredel oleh pemerintah, melalui Menteri
Penerangan Harmoko. Ia dinilai terlalu keras mengkritik Habibie dan Soeharto ihwal
pembelian kapal kapal bekas dari Jerman Timur. Laporan ini dianggap membahayakan
"stabilitas negara", di mana laporan utama membahas keberatan pihak militer terhadap
impor oleh Menristek BJ Habibie. Sekelompok wartawan yang kecewa pada
sikap Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang menyetujui pembredelan Tempo, Editor
dan Detik, kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Selepas Soeharto lengser pada Mei 1998, mereka yang pernah bekerja di Tempo dan
tercerai berai akibat dibredel akhirnya berembuk ulang. Mereka bicara ihwal perlu-
tidaknya majalah Tempo terbit kembali. Hasilnya, Tempo harus terbit kembali. Maka,
sejak 12 Oktober 1998, majalah Tempo hadir kembali.
Untuk meningkatkan skala dan kemampuan penetrasi ke bisnis dunia media, maka
pada tahun 2001, PT. Arsa Raya Perdanago public dan menjual sahamnya ke publik dan
lahirlah PT Tempo Inti Media Tbk. (PT.TIM) sebagai penerbit majalah Tempo yang baru.
Pada tahun yang sama (2001), lahirlah Koran Tempo yang berkompetisi di media harian.
2001-Sekarang
Sebaran informasi di bawah bendera PT TIM Tbk, terus berkembang dengan
munculnya pproduk-produk baru seperti majalah Tempo edisi bahasa Inggris,
Travelounge (2009) dan Tempo Interaktif, yang kemudian menjadi tempo.co serta Tempo
News Room (TNR), kantor berita yang berfungsi sebagai pusat berita media Group
Tempo. Tempo juga mencoba menembus bisnis televisi dengan mendirikan Tempo TV,
kerja sama dengan kantor berita radio KBR68H.

7
Yang juga penting di dalam naungan Kelompok Tempo Media adalah kehadiran
percetakan PT Temprint. Percetakan ini mencetak produk-produk Kelompok Tempo dan
produk dari luar.

2.4. Kontroversi Majalah Tempo


a. Perseteruan dengan Polri
Pada bulan Juni 2010, Majalah Tempo menerbitkan edisi 28 Juni-4
Juli 2010 dengan sampul berjudul "Rekening Gendut Perwira Polisi" yang
menggambarkan seorang polisi sedang menggiring celengan babi. Edisi ini
menceritakan beberapa jenderal polisi yang memiliki rekening berisi uang miliaran
rupiah. Polri memprotes sampul tersebut,[7] dan meminta Majalah Tempo meminta
maaf.
Pada 8 Juli 2010, kedua belah pihak akhirnya sepakat untuk berdamai di luar
jalur pengadilan. Pertemuan yang dimediasi oleh Dewan Pers dilakukan di Gedung
Dewan Pers, di mana pihak Polri diwakili oleh Kadiv Humas Mabes Polri Irjen
Pol Edward Aritonang, sementara Tempo diwakili oleh Pemred Tempo, Wahyu
Muryadi.
b. Jokowi Pinokio

8
Karikatur Jokowi Pinokio sebagai cover majalah yang berjudul Janji Tinggal
Janji cukup kontroversial. Masih dalam majalah yang sama, Tempo menuliskan
beberapa tudingan beberapa pegiat antikorupsi kepada Presiden Jokowi perihal
penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi yang dinilai sebagai bentuk ingkar janji.
Mengapa harus Pinokio? Melihat dari masalah yang terjadi yaitu polemik
revisi UU KPK maka mungkin karikatur Pinokio lebih tepat menggambarkan Jokowi
yang tengah dalam masalah yang cukup kompleks. Pro-kontra revisi UU KPK,
pemberian mandat ketua KPK kepada presiden dan lain sebagainya.
Relawan Jokowi dan PDIP tersinggung atas cover majalah Tempo tersebut.
Pasalnya, karikatur Jokowi seperti Pinokio dianggap sebagai hinaan kepada presiden.
Akibatnya, majalah Tempo dilaporkan kepada dewan pers yang dianggap telah
melanggar kode etik pers.

3. Kesimpulan
Era digital memang membuatnya semua model bisnis berubah, termasuk model bisnis
di media seperti media cetak. Sejatinya, media adalah salah satu industri yang paling
berdampak atas tren digital yang berujung pada disruption. Terbukti, tak sedikit media
cetak yang harus gulung tikar, alias rontok di tengah jalan.
Tetap eksis di tengah era disruption seperti sekarang tentu saja bukan perkara mudah.
Dibutuhkan strategi yang tepat dalam mengelola sekaligus mempertahankan bisnis di
media cetak. Lantas, seperti apa seharusnya media cetak mengelola bisnis di tengah era
disruption? Berikut ini empat strategi Majalah Tempo, dalam menghadapi era disruption.
a. Kenali competitive advantage yang membuat majalah itu unik. Jangan tiru media lain
yang sudah memiliki kompetensi sendiri. Jangan sampai setelah go
digital, uniqueness itu bergeser. Tempo karena sudah kuat di berita indepth,
investigasi dan identitas independensi, maka harus dicari bagaimana
agar competitive advantate itu tetap bisa dipahami dan dijual.
b. Era digital tidak cukup mengandalkan wartawan hebat, butuh membuka pintu redaksi
untuk orang-orang dengan keahlian baru. Makanya perlu dibiasakan terus menerus
bekerja dengan orang-orang berlatar belakang digital. Redaksi sudah tidak bisa
memonopoli newsroom, keputusan-keputusan harus mempertimbangkan apa yang
dikehendaki user. Mereka juga harus bisa melakukan engagement dengan user.
Untuk keperluan tersebut, sudah dua tahun ini Tempo merekrut manajer media sosial.

9
c. Patut diperhatikan, di era sekarang tugas wartawan tidak berhenti ketika
memasukkan naskah ke desain. Itu justru baru mulai. Mereka harus mengimbangi
dengan interkasi horisontal untuk engage dengan user. Oleh karena itu perlu bagi
setiap wartawan untuk melakukan personal branding di media sosial
dengan personal value yang tetap sejalan dengan value korporat.
d. Harus dikenali siapa pembaca dan sesuaikan dengan demografi mereka. Karena user
media digital adalah gen milenial yang berbeda denagn user majalah cetak, seluruh
mindset model bercerita wartawan harus ditinjau ulang. Selain tidak terlau panjang,
juga dibuat bagaimana agar orang tidak bosan saat menyimak,. Misalnya dengan
infografis, dengan kartu atau video. Tidak hanya mengandalkan tekt dan foto. Siap-
siap juga jika mereka lebih suka membaca bukan dari web tapi melalui media sosial.
Untuk setiap format tersebut, harus tetap dipastikan agar pembaca tetap mendapatkan
user experience terbaik, meski dia berada di halaman orang lain yaitu media sosial.

Referensi
 https://id.wikipedia.org/wiki/Tempo_(majalah)
 https://twitter.com/tempodotco/status/1103101695091863552
 https://www.dosenpendidikan.co.id/
 http://eprints.ums.ac.id/

10

Anda mungkin juga menyukai