Anda di halaman 1dari 39

BAB I

ILUSTRASI KASUS

Pasien berobat ke IGD RS Guntur tanggal : 26-11-2019

No. Rekam Medik : 0-14-46-49

ANAMNESIS

I. Identitas
Nama : Tn. N

Usia : 40 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Baeud 01/01, DS Samida selawi Garut

Agama : Islam

Pekerjaan : Serabutan

Status pernikahan : Menikah

II. Anamnesis
III. Keluhan Utama
Tidak bisa BAK sejak ± 8 Jam SMRS

IV. Keluhan Tambahan


-

V. Riwayat Penyakit Sekarang

- Pasien tidak bisa BAK sejak ±8 Jam SMRS. Pasien mengaku sebelumnya sering
menahan BAK dan saat itu merasa nyeri pada perut bagian bawah. Sebelumnya pasien
mengeluh suka nyeri saat BAK. Pasien dibawa ke IGD RS Guntur.

- Sesampai di IGD di pasang kateter namun susah masuk dan didapatkan BAK berdarah
(+), tidak keruh, BAK keluar pasir (-), nyeri pinggang (-), demam (-), penurunan BB (-).
- Tidak riwayat infeksi dan trauma pada alat kelamin, tidak riwayat trauma pada tulang
belakang. Tidak ada riwayat infeksi ataupun pembedahan pada sistem urogenitalia

- Pasien mengaku tidak ada penurunan fungsi seksual

- Tidak ada keluhan penurunan berat badan drastis


VI. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sebelum pernah di rawat rumah sakit guntur dengan diagnosa batu saluran
kemih.

Tidak ada riwayat darah tinggi, stroke, penyakit jantung, kencing manis, dan gout artritis.

VII. Riwayat Penyakit keluarga


Tidak ada riwayat darah tinggi, stroke, penyakit jantung, kencing manis dan gout artritis
dalam keluarga, tidak ada riwayat keganasan dikeluarga.

VIII. Riwayat Kebiasaan


Pasien jarang minum air putih dan jumlah tidak diketahui

PEMERIKSAAN FISIK

I. Keadaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis

Kesan sakit : sakit ringan

BB : 53 kg

TB : 160 cm

Kesan gizi : cukup

II. Tanda Vital


Tekanan Darah : 130/80 mmHg

Nadi : 80 X/menit

Pernapasan : 18 X/menit

Suhu : 37 ºC

III. Kepala dan Leher


Bentuk kepala : normocephali
Rambut : hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Wajah : simetris, tidak ditemukan benjolan
Mata
 Conjungtiva anemis -/-, Sclera ikterik -/-, oedem palpebra -/-
 Pupil isokor, 3 mm, kekeruhan pada lensa -/-
Telinga
 Tidak ditemukan kelainan pada preaurikula dextra dan sinistra, Bentuk aurikula
dextra dan sinistra normal, tidak ditemukan kelainan kulit, tidak hiperemis, Tidak
ditemukan kelainan pada retroaurikula dextra dan sinistra
 Dinding meatus aurikularis dextra dan sinistra tidak oedem, tidak hipremis
 Nyeri tekan tragus -/-, Nyeri tekan aurikula -/-, Nyeri tarik aurikula -/-, Nyeri
tekan retroaurikula -/-
Hidung
 Tidak terlihat deformitas
 Nares anterior: sekret -/-, darah -/-, hiperemis -/-
Mulut
 Bentuk mulut normal
 Tidak ditemukan kelainan kulit daerah perioral
 Bibir tidak pucat, tidak kering,tidak sianosis
 Lidah tidak kotor, tidak tremor, tidak hiperemis, tidak kering, tidak nampak
bercak-bercak
 Uvula terletak ditengah, tidak oedem, tidak ada pulsasi, berwarna merah muda,
Faring tidak hiperemis
 Tonsila T1-T1, tidak hiperemis
Leher
 Bentuk leher tidak tampak ada kelainan, tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid,
tidak tampak pembesaran KGB, tidak tampak deviasi trakea
 Tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid, tidak teraba pembesaran KGB leher, kaku
kuduk (-), trakea teraba di tengah
 Pada auskultasi tidak terdengar bruit
 JVP 5-2cmH2O

IV. Thorax
Thorax Anterior

Inspeksi
 bentuk thorax simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada pernapasan yang
tertinggal, pernapasan abdominotorakal
 Pada sela iga tidak terlihat adanya retraksi ataupun bulging
 Tidak ditemukan eflouresensi pada kulit dinding dada,
 Tidak terdapat kelainan tuang iga dan sternum, Tidak terlihat spider navy
 Ictus cordis terlihat pada ics 5, 1 cm medial linea midclavicularis kiri, pulsasi
abnormal (-)
Palpasi
 Pada palpasi secara umum tidak terdapat nyeri tekan dan tidak teraba benjolan
pada dinding dada, Gerak nafas simetris
 Vocal fremitus simetris pada seluruh lapangan paru, friction fremius (-), thrill
(-)
 Teraba ictus cordis pada ics 5, 1 cm medial linea midclavicularis kiri , diameter
2 cm, kuat denyut cukup
 Angulus costae 80º
Perkusi
 Kedua hemithoraks secara umum terdengar sonor
 Batas paru-hepar pada linea midclavicularis kanan ics 6, peranjakan hepar 2 jari
dibawah ics 6
 Batas kanan bawah paru-jantung pada ics 5 linea sternalis kanan, batas kanan
atas paru-jantung pada ics 3 linea sternalis kanan
 Batas paru-lambung pada linea axilaris anterior ics 8
 Batas kiri paru-jantung pada ics 5 linea midcavicularis kiri, batas atas kiri paru-
jatung pada ics 3 linea parasternalis kiri
Auskultasi
 Suara nafas vesikuler, reguler, ronchi -/-, wheezing-/-
 BJ I, BJ II regular, kekuatan cukup, punctum maksimum pada linea
midclavicula kiri ics 5, murmur (-), gallop (-), splitting (-)
Thorax Posterior

Inspeksi
 Bentuk simetris saat dinamis dan saat statis
 tidak terlihat eflouresensi, Tidak terlihat benjolan, Tidak terdapat kelainan
vertebra
Palpasi
 gerak napas simetris, vokal fremitus simetis
 Tidak ditemukan nyeri tekan
Perkusi
 tidak terdapat nyeri ketuk, Perkusi secara umum terdengar sonor
 Batas bawah paru kanan pada ics 10, batas bawah paru kiri pada ics 11
Auskultasi
 suara nafas vesikuler
V. Abdomen
Inspeksi
 distensi, pinggang tampak simetris dari anterior dan posterior
 Eflouresensi (-), Tidak terdapat pelebaran vena-vena superficial
 Tidak terdapat smilling umbilicus
Auskultasi
 Bising usus (+) normal
 Arterial bruit (-), venous hum (-)
Palpasi
 supel, defens muskular umum dan setempat (-), turgor kulit baik, tidak teraba
massa
 Nyeri tekan (+) pada suprapubik
 Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba, Vesika fellea tidak teraba, murphy sign (-
)
Perkusi
 Perkusi secara umum terdengar timpani
 Batas bawah hepar sejajar linea midklavikularis dextra pada ics 7 dan batas atas
hepar pada ics 5 linea midklavikularis dextra.

VI. Extremitas
Ektremitas atas
Inspeksi
 Tangan kiri dan kanan simetris, tidak terlihat deformitas, tidak terdapat
eflouresensi, tidak ada ptechiae, tidak terdapat palmar eritem, distribusi rambut
normal
 Kuku tidak tampak pucat, tidak sianosis, Tidak ditemukan clubbing finger
 Tidak tampak pembengkakan sendi, kedua extremitas atas dapat bergerak aktif
dan bebas, Tidak ada gerakan involunter, tidak ada tremor
Palpasi
 tidak terdapat nyeri tekan, akral hangat dan kering
 pitting oedem (-)
 kekuatan otot normal 5555 5555

Ekstremitas bawah

Inspeksi
 Tungkai kiri dan kanan simetris, tidak terlihat deformitas, tidak terdapat
eflouresensi, tidak ada ptechiae, distribusi rambut normal
 Kuku tidak tampak pucat, tidak sianosis, Tidak ditemukan clubbing finger
 Tidak tampak pembengkakan sendi, kedua extremitas bawah dapat bergerak
aktif dan bebas, Tidak ada gerakan involunter
Palpasi
 tidak terdapat nyeri tekan, akral hangat dan kering
 pitting oedem (-)
 kekuatan otot normal
5555 5555

STATUS LOKALIS

Regio Suprapubik

• Inspeksi : Tampak menonjol


• Palpasi : Nyei tekan (+)
• Perkusi : Redup
Regio Flank

• Nyeri tekan CVA : -/-


• Massa : -/-
• Ballotement : -/-
Regio Genitalia Eksterna

• Inspeksi : Tidak tampak massa, tidak tampak pembesaran scrotum


• Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, tidak teraba masa, tidak teraba pengerasan pada
bagian ventral penis.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN PENUNJANG

Laboratorium darah

 GDS : 108mg/dl (< 140 mg/dl)


 Ureum : 25 mg/dl (11-55 mg/dl)
 Kreatinin : 1 mg/dl (0,9-1,30 mg/dl)
 SGOT : 32U/L (10-40)
 SGPT : 41 U/L (10-50)
 Hb : 13.6 g/dl (13-18 g/dl)
 Leukosit : 11.200 /mm3 (4500-10000 /mm3)
 Trombosit : 232.000 /mm3 (150000-400000 /mm3)
 Ht : 40.8%

EKG

Normal

DIAGNOSIS KERJA
Retensio Urine Akut ec Suspek uretrolihiasis + suspek striptur uretra + hematuri
DIAGNOSIS BANDING
Retensio Urine Akut ec Vesikolithiasis

RENCANA PEMERIKSAAN TAMBAHAN


USG abdomen

PENATALAKSANAAN

 IVFD Asering 20 tpm


 Pasang kateter urin
 Vit K 3x1 (iv)
 Kalnex 3x1 (iv)
 Teranol 2x1 (iv)
 Blast pungsi

FOLLOW UP
Tgl 27 November 2019
S/ Nyeri didaerah bekas operasi (+}
BAK (+) melalui kateter dan berwarna merah keruh

O/ KU Kes TD Nd Nfs T
Sdg CMC 10/80 88x/i 14x/i 37,20C

Status lokalis

Regio Suprapubik

• Inspeksi : Tampak terpasang kassa , rembesan (-)dan kateter

Regio Genitalia Eksterna

• Inspeksi : Tidak tampak inflamasi, Pendarahan (-)

A/ Post operasi cystostomi + uretroplasti a/i retensio urine ec stiptur uretra + hematuria
P/ observasi TTV
Infus RL : D5% 2:1 20 tpm
Cefiksime 2x1 (po)
Provenid Supp 3x1
Dekketoproven 1 amp + Ketorolac 1 Amp ( drip dalam 20 tpm)

Tgl 28 November 2019


S/ Nyeri didaerah bekas operasi (+} menimal
BAK (+) melalui kateter dan berwarna kuning

O/ KU Kes TD Nd Nfs T
Sdg CMC 120/80 80x/i 18x/i 36,80C

Status lokalis

Regio Suprapubik

• Inspeksi : Tampak terpasang kassa , rembesan (-)dan kateter

Regio Genitalia Eksterna

• Inspeksi : Tidak tampak inflamasi, Pendarahan (-)

A/ Post operasi cystostomi + uretroplasti a/i retensio urine ec stiptur uretra


P/ Boleh Pulang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Retensio Urin
1.1. Definisi
Beberapa pengertian tentang retensio urin adalah1:
a. Retensi urine adalah suatu keadaan penumpukan urine di kandung kemih dan tidak
mempunyai kemampuan untuk mengosongkannya secara sempurna.
b. Retensio urin adalah suatu keadaan ketikmampuan atau kegagalan pengosongan
kandung kemih secara komplit. Volume PVR (Post Voiding Residu) melebihi 75-100
ml umumnya dipakai sebagi kriteria penentuan retensio urine. Volume residu urin
normal adalah maksimal 25 % dari total volume vesika urinaria. Kapasitas kandung
kemih normal orang dewasa adalah ± 1000 ml. Namun keadaan over distensi dapat
mencapai volume + 2000-3000 ml. Fungsi berkemih dikatakan masih normal bila
volume urin minimal 0,5 - 1 ml/kgBB /jam2
c. Retensio urine adalah kesulitan miksi karena kegagalan urine dari vesika urinaria
(Kapita Selekta Kedokteran).
d. Retensio urine adalah tertahannya urine di dalam kandung kemih, dapat terjadi secara
akut maupun kronis (Depkes RI Pusdiknakes 1995).
e. Retensio urine adalah ketidakmampuan untuk melakukan urinasi meskipun terdapat
keinginan atau dorongan terhadap hal tersebut. (Brunner & Suddarth).1
Retensio urine dapat dibagi menjadi 2 tipe akut dan kronik. Retensio urine akut adalah
ketidakmampuan tiba-tiba dan lengkap untuk mengeluarkan urine di kandung kemih dan ada
(sensasi dorongan) keinginan untuk buang air kecil. Sedangkan retensio urine kronik ditandai
oleh ketidakmampuan berkelanjutan untuk mengosongkan kandung kemih melalui kencing.
Dalam banyak kasus, pasien tetap bisa sebagian buang air kecil dengan kontraksi detrusor atau
perut mengejan (bantalan atau manuver Valsava), tetapi dalam beberapa kasus orang tersebut
adalah benar-benar tidak dapat buang air kecil.2

1.2.Etiologi
Beberapa etiologi retensio urin adalah1:
a. Supra vesikal, berupa kerusakan pada pusat miksi di medulla spinalis. Kerusakan saraf
simpatis dan parasimpatis baik sebagian ataupun seluruhnya, misalnya pada operasi
miles dan mesenterasi pelvis, kelainan medulla spinalis,misalnya miningokel, tabes
doraslis, atau spasmus sfinkter yang ditandai dengan rasa sakit yang hebat.
b. Vesikal, berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, atoni pada pasien DM
atau penyakit neurologist, divertikel yang besar.
c. Infravesikal, berupa pembesaran prostat, kekakuan leher vesika, batu kecil dan tumor.
d. Beberapa obat mencakup preparat antikolinergik antispasmotik (atropine), preparat
antidepressant antipsikotik (Fenotiazin), preparat antihistamin
(Pseudoefedrinhidroklorida = Sudafed), preparat penyekat β adrenergic (Propanolol),
preparat antihipertensi (hidralasin).

1.3.Patofisiologi
Pada retensio urine, penderita tidak dapat miksi, buli-buli penuh disertai rasa sakit
yang hebat di daerah suprapubik dan hasrat ingin miksi yang hebat disertai mengejan. Retensio
urine dapat terjadi menurut lokasi, faktor obat dan faktor lainnya seperti ansietas, kelainan
patologi urethra, trauma dan lain sebagainya. Berdasarkan lokasi bias dibagi menjadi supra
vesikal berupa kerusakan pusat miksi di medulla spinalis menyebabkan kerusakan simpatis dan
parasimpatis sebagian atau seluruhnya sehingga tidak terjadi koneksi dengan otot detrusor yang
mengakibatkan tidak adanya atau menurunnya relaksasi otot sfingter internal, vesikal berupa
kelemahan otot detrusor karena lama teregang, intravesikal berupa hipertrofi prostat, tumor
atau kekakuan leher vesika, striktur, batu kecil menyebabkan obstruksi urethra sehingga urine
sisa meningkatdan terjadi dilatasi bladder kemudian distensi abdomen. Faktor obat dapat
mempengaruhi proses BAK, menurunkan tekanan darah, menurunkan filtrasi glumerolus
sehingga menyebabkan produksi urine menurun. Faktor lain berupa kecemasan, kelainan
patologi uretra, trauma dan lain sebagainya yang dapat meningkatkan tensi otot perut, peri anal,
sfingter anal eksterna tidak dapat relaksasi dengan baik.1
Dari semua faktor di atas menyebabkan urine mengalir lambat kemudian terjadi poliuria
karena pengosongan kandung kemih tidak efisien. Selanjutnya terjadi distensi bladder dan
distensi abdomen sehingga memerlukan tindakan, salah satunya berupa kateterisasi uretra.1

1.4.Tanda dan Gejala1


a. Diawali dengan urine mengalir lambat.
b. Kemudian terjadi poliuria yang makin lama menjadi parah karena pengosongan
kandung kemih tidak efisien.
c. Terjadi distensi abdomen akibat dilatasi kandung kemih.
d. Terasa ada tekanan, kadang terasa nyeri dan merasa ingin BAK.
e. Pada retensi berat bisa mencapai 2000-3000 cc.

1.5.Pemeriksaan Diagnostik1
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada kasus retensio urine adalah
pemeriksaan specimen urine. Pada pemeriksaan ini diambil hasil dari1 :
a. Pengambilan: steril, random, midstream.
b. Penagambilan umum: pH, BJ, kultur, protein, glukosa, Hb, keton, nitrit.
c. Sistoskopi, IVP.

1.6.Penatalaksanaan1
a. Kateterisasi urethra.
b. Drainage suprapubik/pungsi vesika urinaria

2. Hiperplasia Prostat
2.1. Anatomi dan Fisiologi
Kelenjar prostate adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-
buli dan membungkus uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu
uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urin keluar dari buli-buli.
Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ±20 gram. McNeal
(1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain: zona perifer, zona sentral,
zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona periuretra (gambar 1). Sebagian besar
hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional; sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat
berasal dari zona perifer.3

Gambar 1. Pembesaran prostat benigna menyebabkan penyempitan uretra posterior, A. Skema


anatomi zona kelenjar prostat normal, B. Hiperplasia prostat terjadi pada zona transisional
menyebabkan penyempitan lumen uretra posterior.
Sumber: Dasar-Dasar Urologi Edisi Kedua, 2009.

Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon testosteron, yang di dalam
sel-sel kelenjar prostat. Hormon ini akan dirubah menjadi metabolit aktif dihidrotestosteron
(DHT) dengan bantuan 5α-reduktase (Gambar 2). Dihidrotestosteron inilah yang secara
langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth
factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat.3
Pada usia lanjut beberapa pria menagalami pembesaran prostat benigna. Keadaan ini
dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun.
Pembesaran kelenjar prostat mengakibatkan terganggunya aliran urin sehingga menimbulkan
gangguan miksi. 3

2.2. Insiden dan Epidemiologi


Di seluruh dunia, hampir 30 juta pria yang menderita gejala yang berkaitan
dengan pembesaran prostat, di USA hampir 14 juta pria mengalami hal yang sama.BPH
merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah batusaluran
kemih.1,4 Sebagai gambaran hospital prevalence, di RS Cipto Mangunkusumoditemukan 423
kasus pembesaran prostat jinak yang dirawat selama tiga tahun (1994-1997) dan di RS Sumber
Waras sebanyak 617 kasus dalam periode yang sama.Penduduk Indonesia yang berusia tua
jumlahnya semakin meningkat,diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria di Indonesia
berusia 60 tahun ataulebih dan 2,5 juta pria diantaranya menderita gejala saluran kemih bagian
bawah(Lower Urinary Tract Symptoms/LUTS) akibat BPH. BPH mempengaruhi
kualitaskehidupan pada hampir 1/3 populasi pria yang berumur > 50 tahun.3

2.3. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia prostat;
tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostaterat kaitannya dengan
peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah3:
a. Teori dihidrotestoteron
b. Adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
c. Interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat
d. Berkurangnya kematian sel (apoptosis)
e. Teori stem sel

a. Teori Dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat oleh enzim
5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH (Gambar 2). DHT yang telah terbentuk
berikatan dengan respetor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan
selanjutnya terjadi sintesi protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan prostat.3

Gambar 2. Perubahan testosterone menjadi dihidrotestosteron oleh enzim 5α-reduktase.


Sumber: Dasar-Dasar Urologi Edisi Kedua, 2009.

Pada berbagaipenelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda
dengn kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5α-reduktase dan
jumlah respetor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada
BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan
dengab prostat normal.3

b. Ketidakseimbangan antara Estrogen –Testosteron


Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan kadar estrogen relatif tetap
sehingga perbandingan antara estrogen: testosteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa
estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat
dengancara meningkatkan sensitivitas sel-sel porstat terhadap rangsangan hormon androgen,
meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apoposis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentukya sel-
sel baru akibat rangsangan testosteron menurun, tetapi se-sel prostat yang telah ada mempunyai
umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar.3

c. Interaksi Stroma-Epitel
Cunha (1973) membuktikanbahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak
langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah
sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu
growth factor yang selanjutya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin
danautokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan
terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.3
d. Berkurangnya Kematian Sel Prostat
Program kematian sel (apoptopsis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk
mempertahan homeostatsis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi
sel yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di
sekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom.3
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan
kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan
jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah
sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyeabkan jumlah sel-sel prostar secara
keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat.3
Sampai sekarang belum dapat diterangkan secarapasti faktor-faktor yang menghambat
proses apoptosis. Diduga hormon androgen berperan dalam menghambat proses kematian sel
karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat.
Estrogen diduga mampu memperpanjang usiasel-sel prostat, sedangkan faktor pertumbuhan
TGFβ berperan dalam proses apoptosis.3

e. Teori Stem Sel


Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel baru. Di
dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan
berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat bergantung pada keberadaan hormon
androgen, sehingga jika hormon ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi
menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan
sebagai ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel sroma
maupun sel epitel.3

2.4. Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat
aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat
megeluakan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi
yang terus-menerus ini menyebabkan perubahananatomik buli-buli berupa hipertrofi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan pada
struktur buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah
bawah atau Lower Urinary Tract Symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala
prostatismus.3
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskanke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali
pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik
urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung
terus akanmengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam
gagal ginjal (gambar 3 dan 4).3

Gambar 3. Bagan pengaruh hiperplasia prostat pada saluran kemih.


Sumber: Dasar-Dasar Urologi Edisi Kedua, 2009.

Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna tidak hanya disebabkan
oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga disebabkan oleh tonus
otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul prostat dan otot polos pada leher buli-buli. Otot
polos itu dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus.3
Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap epitel. Kalau pada
prostat normal rasio stroma dibanding dengan epitel adalah 2: 1, pada BPH rasionya meningkat
menjadi 4:1, hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan tonus otot polos prostat
dibandingkan dengan prostat normal. Dalam hal ini massa prostat yang menyebabkan obstruksi
komponen statik sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik sebagai
penyebab obstruksi prostat.3

2.5.Gambaran Klinis
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar
saluran kemih. 3

a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah


Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah (LUTS) terdiri atas gejala obstruksi dan gejala
iritatif seperti terlihat pada tabel 1. 3
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah bawah,
beberapa ahli/organisasi urologi membuat sistem skoring yang secara subyektif dapat diisi dan
dihitung sendiri oleh pasien. Sistem skoring yang dianjurkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia
(WHI) adalah Skor Internasional Gejala Prostat atau I-PSS (International Prostatic Symptom
Score), seperti terlihat pada gambar 4. 3
Tabel 1. Gejala Obstruksi dan Iritasi
Obstruksi Iritasi

 Hesitansi  Frekuensi
 Pancaran miksi lemah  Nokturi
 Intermitensi  Urgensi
 Miksi tidak puas  Disuri
 Menetes setelah miksi
Sumber: Dasar-Dasar Urologi Edisi Kedua, 2009.
Gambar 4. Skor Internasional Gejala Prostat.
Sumber: Panduan Penatalaksanaan klinis BPH (2015)

Sistem skoring I-PSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan
miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap
pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai dari 0 sampai dengan 5,
dengan keluhan yang menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga 7. 3

Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu3:
 Ringan : skor 0-7
 Sedang : skor 8-19
 Berat : skor 20-35
Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli untuk
mengeluakan urin. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami kepayahan (fatique) sehingga
jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut. 3

Faktor pencetus

Kompensasi Dekompensasi
(LUTS) Retensi urin
Inkontinensi paradoksa
Skema 1. Manifestasi kompensasi dan dekompensasi
Sumber: Dasar-Dasar Urologi Edisi Kedua, 2009.

Timbulnya dekompesasi buli-buli biasanya didahului oleh beberapa faktor pencetus


antara lain3:
a) Volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin,
menahan kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau
minuman yang mengandung diuretikum (alcohol, kopi), dan minum air
dalam jumlah yang berlebihan,
b) Massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas
seksual atau mengalami infeksi prostat akut, dan
c) Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi
detrusor atau yang dapat mempersempit leher buli-buli, antara lain:
golongan antikolinergik atau adrenergik alfa.
Gambar 5. Penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih.
Sumber: Dasar-Dasar Urologi Edisi Kedua, 2009.

b. Gejala pada saluran kemih bagian atas


Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas berupa gejala
obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari
hidronefrosis) atau demam yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis.3

c. Gejala di luar saluran kemih


Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis atau
hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering megejan pada saat miksi sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdominal.3
Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan teraba
massa kistus di daerah supra sifisis akibat retensi urin. Kadang-kadang didapatkan urin yang
selalu menetes tanpa disadari oleh pasien yaitu merupakan pertanda dari inkontinensia
paradoksa. Pada colok dubur diperhatikan2:
 Tonus sfingter ani/refleks bulbokavenosus untuk menyingkirkan adanya
kelainan buli-buli neurogenik
 Mukosa rektum
 Keadaan postat, antara lain: kemungkinan adanya nodul, krepitasi konsistensi
prostat, simteri antar lobus dan batas prostat.
Colok dubur pada pembesaran prostat benigna menunjukkan konsistensi prostat kenyal
seperti meraba ujung hidung, lobus kanandan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul;
sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi prostat keras/teraba nodul dan mungkin
diantara lobus prostat tidak simetri.3

2.6.Pemeriksaan Penunjang4
i. Urinalisis

Pemeriksaan urinalisis dapat menentukan adanya leukosituria dan hematuria. Apabila


ditemukan hematuria, maka perlu dicari penyebabnya. Bila dicurigai adanya infeksi saluran
kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine.

ii. Pemeriksaan fungsi ginjal

Obstruksi infravesika akibat BPH dapat menyebabkan gangguan pada saluran kemih
bagian atas. Gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%.
Pemeriksaan faal ginjal berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan
pencitraan pada saluran kemih bagian atas.

iii. Pemeriksaan PSA

PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan
cancerspecific.Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada
keradangan,setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine
akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua.

Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH; dalam
hal ini jika kadar PSA tinggi berarti:
(a) pertumbuhan volume prostat lebih cepat,

(b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan

(c) lebih mudah terjadi retensi urine akut


Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA.
Semakin tinggi kadar PSA, maka semakin cepat laju pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan
volume prostat rata‐rata setiap tahun pada kadar PSA 0,2- 1,3 ng/dl adalah0,7 mL/tahun,
sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl adalah 2,1 mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl
adalah 3,3 mL/tahun.9 Serum PSA dapat meningkat pada saat terjadi retensi urine akut dan
kadarnya perlahan‐lahan menurun terutama setelah 72 jam dilakukan kateterisasi.
Pemeriksaan PSA bersama dengan colok dubur lebih superior daripada pemeriksaan
colok dubur saja dalam mendeteksi adanya karsinoma prostat. Oleh karena itu, pada usia di
atas 50 tahun atau di atas 40 tahun (pada kelompok dengan risiko tinggi) pemeriksaan PSA
menjadi sangat penting guna mendeteksi kemungkinan adanya karsinoma prostat. Apabila
kadar PSA >4 ng/ml, biopsi prostat dipertimbangkan setelah didiskusikan dengan pasien.

iv. Uroflowmetry
Uroflowmetry adalah pemeriksaan pancaran urine selama proses
berkemih.Pemeriksaan non-invasif ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran
kemih bagian bawah. Dari uroflowmetry dapat diperoleh informasi mengenai volume
berkemih, laju pancaran maksimum (Qmax), laju pancaran rata-‐rata (Qave), waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai laju pancaran maksimum, dan lama pancaran. Pemeriksaan ini
dipakai untuk mengevaluasi gejala obstruksi infravesika, baik sebelum maupun setelah
terapi.1

Hasil uroflowmetry tidak spesifik menunjukkan penyebab terjadinya kelainan


pancaran urine. Pancaran urine yang lemah dapat disebabkan obstruksi saluran kemih bagian
bawah atau kelemahan otot detrusor. Terdapat hubungan antara nilai Qmax dengan
kemungkinan obstruksi saluran kemih bagian bawah (BOO). Pada batas nilai Qmax sebesar
10 mL/detik memiliki spesifisitas sebesar 70%, positive predictive value (PPV) sebesar 70
%, dan sensitivitas sebesar 47% untuk mendiagnosis BOO. Sementara itu, dengan batas nilai
Qmax sebesar 15 mL/detik memiliki spesifisitas sebesar 38%, PPV sebesar 67%, dan
sensitivitas sebesar 82% untuk mendiagnosis BOO.1

Sebaiknya, penilaian ada tidaknya obstruksi saluran kemih bagian bawah tidak hanya
dinilai dari hasil Qmax saja, tetapi juga digabungkan dengan pemeriksaan lain. Kombinasi
pemeriksaan skor IPSS, volume prostat, dan Qmax cukup akurat dalam menentukan adanya
obstruksi saluran kemih bagian bawah.13 Pemeriksaan uroflowmetry bermakna jika volume
urine >150 mL.1

Gambar 6. Hasil uroflowmetry normal


Gambar 7. Hasil uroflowmetry LUTS

v. Residu urine

Residu urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine di kandung
kemih setelah berkemih. Jumlah residu urine pada pria normal rata-rata 12 mL.

Pemeriksaan residu urine dapat dilakukan dengan cara USG, bladder scan atau
dengan kateter uretra. Pengukuran dengan kateter ini lebih akurat dibandingkan USG, tetapi
tidak nyaman bagi pasien, dapat menimbulkan cedera uretra, infeksi saluran kemih, hingga
bakteremia.

Peningkatan volume residu urine dapat disebabkan oleh obstruksi saluran kemih
bagian bawah atau kelemahan kontraksi otot detrusor. Volume residu urine yang banyak pada
pemeriksaan awal berkaitan dengan peningkatan risiko perburukan gejala. Peningkatan
volume residu urine pada pemantauan berkala berkaitan dengan risiko terjadinya retensi
urine.
vi. Pencitraan
a. Saluran Kemih Bagian Atas
Pencitraan saluran kemih bagian atas hanya dikerjakan apabila terdapat
hematuria,infeksi saluran kemih, insufisiensi renal, residu urine yang banyak, riwayat
urolitiasis, dan riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran urogenitalia.
Pemeriksaan USG direkomendasikan sebagai pemeriksaan awal pada keadaan-
keadaan tersebut.

b. Saluran Kemih Bagian bawah


Pemeriksaan uretrosistografi retrograd dilakukan jika dicurigai adanya striktur
uretra.

c. Prostat
Pemeriksaan pencitraan prostat merupakan pemeriksaan rutin yang bertujuan untuk
menilai bentuk dan besar prostat, dengan menggunakan ultrasonografi
transabdominal (TAUS) atau ultrasonografi transrektal (TRUS).
Pengukuran besar prostat penting dalam menentukan pilihan terapi invasif, seperti
operasi terbuka, teknik enukleasi, TURP, TUIP, atau terapi minimal invasif
lainnya. Selain itu, hal ini juga penting dilakukan sebelum pengobatan dengan 5-
ARI.
d. Uretrosistoskopi
Uretrosistoskopi dikerjakan pada pasien dengan riwayat hematuria, striktur
uretra,uretritis, trauma uretra, instrumentasi uretra, riwayat operasi uretra, atau
kecurigaan kanker kandung kemih.

e. Urodinamik
Pemeriksaan urodinamik merupakan pemeriksaan opsional pada evaluasi pasien
BPH. Indikasi pemeriksaan urodinamik pada BPH adalah: pasien berusia kurang dari
50 tahun atau lebih dari 80 tahun, volume residu urine >300 mL, Qmax >10 ml/detik,
setelah menjalani pembedahan radikal pada daerah pelvis, setelah gagal dengan terapi
invasif, atau kecurigaan adanya kelainan buli-buli neurogenik. Urodinamik saat ini
merupakan pemeriksaan yang paling baik dalam menentukan derajat obstruksi
saluran kemih bawah dan mampu memprediksi hasil tindakan invasif. Pemeriksaan
ini mempunyai sensitivitas 87%, spesifisitas 93%, dan nilai prediksi positif sebesar
95%.

2.6 Terapi
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah memperbaiki kualitas hidup pasien.
Terapi yang didiskusikan dengan pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan
pasien, serta ketersediaan fasilitas setempat. Pilihannya adalah: (1) konservatif
(watchful waiting), (2) medikamentosa, (3) pembedahan
a.

Konservatif

Terapi konservatif pada BPH dapat berupa watchful waiting yaitu pasien tidak
mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya tetap diawasi oleh dokter.
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu
keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pada watchful waiting ini, pasien diberi penjelasan mengenai segala sesuatu hal
yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya:

(1) jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam,

(2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada
kandung kemih (kopi atau cokelat),
(3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin,

(4) jangan menahan kencing terlalu lama.


(5) penanganan konstipasi

Pasien diminta untuk datang kontrol berkala (3-6 bulan) untuk menilai perubahan
keluhan yang dirasakan, IPSS, uroflowmetry, maupun volume residu urine. Jika keluhan
berkemih bertambah buruk, perlu dipikirkan untuk memilih terapi yang lain.

b. Medikamentosa
Terapi medikamentosa diberikan pada pasien dengan skor IPSS >7. Jenis obat yang
digunakan adalah:

i. α1-‐blocker
Pengobatan dengan α1-‐blocker bertujuan menghambat kontraksi otot polos prostat
sehingga mengurangi resistensi tonus leher kandung kemih dan uretra. Beberapa obat α1-‐
blocker yang tersedia, yaitu terazosin, doksazosin, alfuzosin, dan tamsulosin yang
cukupdiberikan sekali sehari.

Obat golongan ini dapat mengurangi keluhan storage symptom dan voiding symptom
dan mampu memperbaiki skor gejala berkemih hingga 30-45% atau penurunan 4-6 skor IPSS
dan Qmax hingga 15-30%.1-4 Tetapi obat α1-blocker tidak mengurangi volume prostat
maupun risiko retensi urine dalam jangka panjang.
Masing-masing α1-blocker mempunyai tolerabilitas dan efek terhadap sistem
kardiovaskuler yang berbeda (hipotensi postural, dizzines, dan asthenia) yang seringkali
menyebabkan pasien menghentikan pengobatan. Penyulit lain yang dapat terjadi adalah
ejakulasi retrograd. Salah satu komplikasi yang harus diperhatikan adalah
intraoperativefloppy iris syndrome (IFIS) pada operasi katarak dan hal ini harus
diinformasikan kepadapasien.
ii.5α-reductase inhibitor
5α-reductase inhibitor bekerja dengan menginduksi proses apoptosis sel epitelprostat
yang kemudian mengecilkan volume prostat hingga 20-30%. 5a-reductase inhibitor juga
dapat menurunkan kadar PSA sampai 50% dari nilai yang semestinya sehingga perlu
diperhitungkan pada deteksi dini kanker prostat. Saat ini, terdapat 2 jenis obat 5α-
reductaseinhibitor yang dipakai untuk mengobati BPH, yaitu finasteride dan dutasteride.
Efek klinisfinasteride atau dutasteride baru dapat terlihat setelah 6 bulan.

Finasteride digunakan bila volume prostat >40 ml dan dutasteride digunakan bila
volume prostat >30 ml. Efek samping yang terjadi pada pemberian finasteride atau
dutasteride ini minimal, di antaranya dapat terjadi disfungsi ereksi, penurunan libido,
ginekomastia, atau timbul bercak-bercak kemerahan di kulit.

iii. Antagonis Reseptor Muskarinik


Pengobatan dengan menggunakan obat-obatan antagonis reseptor muskarinik
bertujuan untuk menghambat atau mengurangi stimulasi reseptor muskarinik sehingga akan
mengurangi kontraksi sel otot polos kandung kemih. Beberapa obat antagonis reseptor
muskarinik yang terdapat di Indonesia adalah fesoterodine fumarate, propiverine HCL,
solifenacin succinate, dan tolterodine l-tartrate

Penggunaan antimuskarinik terutama untuk memperbaiki gejala storage LUTS.


Analisis pada kelompok pasien dengan nilai PSA <1,3 ng/ml (≈volume prostat kecil)
menunjukkan pemberian antimuskarinik bermanfaat.1 Sampai saat ini, penggunaan
antimuskarinik pada pasien dengan BOO masih terdapat kontroversi, khususnya yang
berhubungan dengan risiko terjadinya retensi urine akut. Oleh karena itu, perlu dilakukan
evaluasi rutin keluhan dengan IPSS dan sisa urine pasca berkemih. Sebaiknya, penggunaan
antimuskarinik dipertimbangkan jika penggunaan α-blocker tidak mengurangi gejala
storage.

Penggunaan antimuskarinik dapat menimbulkan efek samping, seperti mulut kering


(sampai dengan 16%), konstipasi (sampai dengan 4%), kesulitan berkemih (sampai dengan
2%), nasopharyngitis (sampai dengan 3%), dan pusing (sampai dengan 5%).

iv. Phospodiesterase 5 inhibitor


Phospodiesterase 5 inhibitor (PDE 5 inhibitor) meningkatkan konsentrasi dan
memperpanjang aktivitas dari cyclic guanosine monophosphate (cGMP) intraseluler,
sehingga dapat mengurangi tonus otot polos detrusor, prostat, dan uretra.1 Di Indonesia, saat
ini ada 3 jenis PDE5 Inhibitor yang tersedia, yaitu sildenafil, vardenafil, dan tadalafil. Sampai
saat ini, hanya tadalafil dengan dosis 5 mg per hari yang direkomendasikan untuk pengobatan
LUTS.

Tadalafil 5 mg per hari dapat menurunkan nilai IPSS sebesar 22-37%. Penurunan
yang bermakna ini dirasakan setelah pemakaian 1 minggu. Pada penelitian uji klinis acak
tanpa meta-‐analisis, peningkatan Qmax dibandingkan plasebo adalah 2,4 ml/s dan tidak
didapatkan perbedaan yang bermakna pada residu urine. Data meta-analisis menunjukkan
PDE 5 inhibitor memberikan efek lebih baik pada pria usia lebih muda dengan indeks massa
tubuh yang rendah dengan keluhan LUTS berat.
v. Terapi Kombinasi

• α1-blocker+5α-reductase inhibitor

Terapi kombinasi α1-blocker (alfuzosin, doksazosin, tamsulosin) dan 5α-‐


reductaseinhibitor (dutasteride atau finasteride) bertujuan untuk mendapatkan efek sinergis
denganmenggabungkan manfaat yang berbeda dari kedua golongan obat tersebut, sehingga
meningkatkan efektivitas dalam memperbaiki gejala dan mencegah perkembangan penyakit.

Waktu yang diperlukan oleh α1-blocker untuk memberikan efek klinis adalah
beberapa hari, sedangkan 5α-reductase inhibitor membutuhkan beberapa bulan untuk
menunjukkan perubahan klinis yang signifikan. Data saat ini menunjukkan terapi kombinasi
memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan monoterapi dalam risiko terjadinya retensi
urine akut dan kemungkinan diperlukan terapi bedah. Akan tetapi, terapi kombinasi juga
dapat meningkatkan risiko terjadinya efek samping.

Terapi kombinasi ini diberikan kepada orang dengan keluhan LUTS sedang-berat dan
mempunyai risiko progresi (volume prostat besar, PSA yang tinggi (>1,3 ng/dL), dan usia
lanjut). Kombinasi ini hanya direkomendasikan apabila direncanakan pengobatan jangka
panjang (>1 tahun).

• α1-blocker + antagonis reseptor muskarinik

Terapi kombinasi α1-blocker dengan antagonis reseptor muskarinik bertujuan untuk


memblok α1-adrenoceptor dan cholinoreceptors muskarinik (M2 dan M3) pada saluran
kemih bawah. Terapi kombinasi ini dapat mengurangi frekuensi berkemih, nokturia, urgensi,
episode inkontinensia, skor IPSS dan memperbaiki kualitas hidup dibandingkan dengan α1-
blocker atau plasebo saja. Pada pasien yang tetap mengalami LUTS setelah
pemberianmonoterapi α1-blocker akan mengalami penurunan keluhan LUTS secara
bermakna dengan pemberian anti muskarinik, terutama bila ditemui overaktivitas detrusor
(detrusoroveractivity).

Efek samping dari kedua golongan obat kombinasi, yaitu α1-blocker dan antagonis
reseptor muskarinik telah dilaporkan lebih tinggi dibandingkan monoterapi. Pemeriksaan
residu urine harus dilakukan selama pemberian terapi ini.

vi. Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-‐tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk memperbaiki
gejala, tetapi data farmakologik tentang kandungan zat aktif yang mendukung mekanisme
kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Di antara fitoterapi yang
banyak dipasarkan adalah: Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix
urtica, dan masih banyak lainnya4.

c. Pembedahan

Indikasi tindakan pembedahan, yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi,
seperti:

(1) retensi urine akut;

(2) gagal Trial Without Catheter (TwoC);

(3) infeksi saluran kemih berulang;

(4) hematuria makroskopik berulang;

(5) batu kandung kemih;

(6) penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH;

(7) dan perubahan patologis pada kandung kemih dan saluran kemih bagian atas.

Indikasi relatif lain untuk terapi pembedahan adalah keluhan sedang hingga berat,
tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi non bedah, dan pasien yang menolak
pemberian terapi medikamentosa.

i. Invasif Minimal

1. Transurethral Resection of the Prostate (TURP)

TURP merupakan tindakan baku emas pembedahan pada pasien BPH dengan volume
prostat 30-80 ml. Akan tetapi, tidak ada batas maksimal volume prostat untuk tindakan ini di
kepustakaan, hal ini tergantung dari pengalaman spesialis urologi, kecepatan reseksi, dan alat
yang digunakan. Secara umum, TURP dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90% dan
meningkatkan laju pancaran urine hingga 100%.

Penyulit dini yang dapat terjadi pada saat TURP bisa berupa perdarahan yang
memerlukan transfusi ( 0-9%), sindrom TUR (0-5%), AUR (0-13,3%), retensi bekuan darah
(0-‐ 39%), dan infeksi saluran kemih (0-22%).. Sementara itu, angka mortalitas perioperatif
(30 hari pertama) adalah 0,1. 1 Selain itu, komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi
meliputi inkontinensia urin (2,2%), stenosis leher kandung kemih (4,7%), striktur urethra
(3,8%), ejakulasi retrograde (65,4%), disfungsi ereksi (6,5-14%), dan retensi urin dan UTI.

2. Laser Prostatektomi
Terdapat 5 jenis energi yang dipakai untuk terapi invasif BPH, yaitu: Nd:YAG,
Holmium:YAG, KTP:YAG, Green Light Laser, Thulium:YAG (Tm:YAG), dan diode.
Kelenjar prostat akan mengalami koagulasi pada suhu 60-‐650C dan mengalami vaporisasi
pada suhu yang lebih dari 1000C.

Penggunaan laser pada terapi pembesaran prostat jinak dianjurkan khususnya pada
pasien yang terapi antikoagulannya tidak dapat dihentikan.

3. Lain-lain
Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) atau insisi leher kandung kemih (bladder neck
insicion) direkomendasikan pada prostat yang ukurannya kecil (kurang dari 30 ml) dan tidak
terdapat pembesaran lobus medius prostat.2,14 TUIP mampu memperbaiki keluhan akibat BPH
dan meningkatkan Qmax meskipun tidak sebaik TURP.

Thermoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan >45oC sehingga menimbulkan nekrosis


koagulasi jaringan prostat. Gelombang panas dihasilkan dari berbagai cara, antara lain adalah
Transurethral Microwave Thermotherapy (TUMT), Transurethral Needle Ablation

(TUNA), dan High Intensity Focused Ultrasound (HIFU). Semakin tinggi suhu di dalam
jaringan prostat, semakin baik hasil klinik yang didapatkan, tetapi semakin banyak juga efek
samping yang ditimbulkan. Teknik thermoterapi ini seringkali tidak memerlukan perawatan
di rumah sakit, tetapi masih harus memakai kateter dalam jangka waktu lama. Angka terapi
ulang TUMT (84,4% dalam 5 tahun) dan TUNA (20-‐50% dalam 20 bulan).

Stent dipasang intraluminal di antara leher kandung kemih dan di proksimal verumontanum,
sehingga urine dapat melewati lumen uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer
atau permanen. Stent yang telah terpasang bisa mengalami enkrustasi, obstruksi,
menyebabkan nyeri perineal, dan disuria.

ii. Operasi Terbuka

Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal (Hryntschack atau Freyer)


dan retropubik (Millin). Pembedahan terbuka dianjurkan pada prostat yang volumenya lebih
dari 80 ml.
Prostatektomi terbuka adalah cara operasi yang paling invasif dengan morbiditas
yang lebih besar. Penyulit dini yang terjadi pada saat operasi dilaporkan sebanyak 7-14%
berupa perdarahan yang memerlukan transfusi. Sementara itu, angka mortalitas perioperatif
(30 hari pertama) adalah di bawah 0,25%. Komplikasi jangka panjang dapat berupa
kontraktur leher kandung kemih dan striktur uretra (6%) dan inkontinensia urine (10%).

d. Lain-‐Lain
1. Trial Without Catheterization (TwoC)

TwoC adalah cara untuk mengevaluasi apakah pasien dapat berkemih secara spontan
setelah terjadi retensi. Setelah kateter dilepaskan, pasien kemudian diminta dilakukan
pemeriksaan pancaran urin dan sisa urin. TwoC baru dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian α1-blocker selama minimal 3-7 hari. TwoC umumnya dilakukan pada pasien
yang mengalami retensi urine akut yang pertama kali dan belum ditegakkan diagnosis pasti.

2. Clean Intermittent Catheterization (CIC)

CIC adalah cara untuk mengosongkan kandung kemih secara intermiten baik
mandirimaupun dengan bantuan. CIC dipilih sebelum kateter menetap dipasang pada
pasien-‐ pasien yang mengalami retensi urine kronik dan mengalami gangguan fungsi ginjal
ataupun hidronefrosis. CIC dikerjakan dalam lingkungan bersih ketika kandung kemih
pasien sudah terasa penuh atau secara periodik.

3. Sistostomi
Pada keadaan retensi urine dan kateterisasi transuretra tidak dapat dilakukan, sistostomi
dapat menjadi pilihan. Sistostomi dilakukan dengan cara pemasangan kateter khusus
melalui dinding abdomen (supravesika) untuk mengalirkan urine.

4. Kateter menetap
Kateterisasi menetap merupakan cara yang paling mudah dan sering digunakan untuk
menangani retensi urine kronik dengan keadaan medis yang tidak dapat menjalani tidakan
operasi.

2.7.Kontrol Berkala
Setiap pasien hiperplasia prostat yang telah mendapatkan pengobatan perlu kontrol
secara teratur untuk mengetahui perkembangan penyakitnya. Jadwal kontrol tergantung pada
tindakan apa yang sudah dijalaninya.2
Pasien yang hanya mendapatkan pengawasan (watchfull waiting) dianjurkan kontrol
setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui apakah terjadi perbaikan klinis.
Penilaian dilakuakan dengan pemeriksaan skor IPSS, uroflometri, dan residu urin pasca miksi.2
Pasien yang mendapatkan terapi penghambat 5α-reduktase harus dikontrol pada
minggu ke-12 dan bulan ke-6 untuk menilai respon terhadap terapi. Kemudian setiap tahun
untuk menilai perubahan gejala miksi. Pasien yang menjalani pengobatan penghambat 5α-
adrenergik haus dinilai respon terhadap pengobatan setelah 6 minggu dengan melakukan
pemeriksaan IPSS, uroflometri, dan residu urin pasca miksi. Kalau terjadi perbaikan gejala
tanpa menunjukkan penyulit yang berarti, pengobatan dapat diterukan. Selanjutnya kontrol
dilakukan setelah 6 bulan dan kemudian setiap tahun. Pasien setelah menerima pengobatan
secara medikamentosa dan tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan perlu dipikirkan tindakan
pembedahan atau terapi intervensi yang lain.2
Setelah pembedahan, pasien harus menjalani kontrol paling lambat 6 minggu pasca
operasi untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyulit. Kontrol selanjutnya setelah 3
bulan untuk mengetahui hasil akhir operasi.2
Pasien yang mendapatkan terapi invasif minimal harus menjalani kontrol secara teratur
dalam jangka waktu lama, yaitu setelah 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan setiap tahun. Pada
pasien yang mendapatkan terapi invasif minimal, selain dilakukan penilaian terhadap miksi,
dilakukan pemeriksan kultur urin.2

DAFTAR PUSTAKA

1. Citra, Dewi. 2009. Benign Prostate Hyperplasia. FK Unri.


2. K. Diane. 2014. Managing urinary retention In the acute care setting. Research Investigator
Senior Adjunct Associate Professor of Surgery, Perelman School of Medicine, University
of Pennsylvania
3. Purnomo, Basuki B.2009. Dasar-Dasar Urologi, Edisi Kedua. Jakarta: Sagung Seto.
4. Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran Prostat Jinak. 2015. IAUI

Anda mungkin juga menyukai