Anda di halaman 1dari 11

Islam Liberal

Definisi

Liberalisme berasal dari bahasa Latin, liber yang artinya “bebas” atau “merdeka”.
Disebut liberal, yang secara harfiah berarti "bebas dari batasan" (free from restraint), karena
liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja. Ini
berkebalikan total dengan kehidupan Barat Abad Pertengahan ketika gereja dan raja
mendominasi seluruh segi kehidupan manusia.

Sejarah
Pemikiran liberal (liberalisme) adalah satu nama di antara nama-nama untuk menyebut
ideologi Dunia Barat yang berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang
menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV).
Awalnya, liberalisme sangat terkait dengan konsep manusia merdeka, baik merdeka
sejak turun temurun atau pun merdeka karena dibebaskan dari budak. Dari sini pula muncul
istilah liberal arts berarti ilmu yang berguna bagi dan sepatutnya dimiliki oleh setiap manusia
merdeka, yaitu Aritmatika, Geometri, Astronomi, dan Musik, serta Gramatika, Logika hingga
Retorika.

Menurut Syamsuddin Arif (2008), pakar sejarah biasanya merujuk pada motto Revolusi
Prancis 1789, liberte, egalite, fraternite (kebebasan, kesetaraan, persaudaraan), sebagai piagam
agung (Magna Charta) liberalisme modern. Prinsip liberalisme yang paling mendasar adalah
pernyataan bahwa tunduk pada otoritas apapun namanya bertentangan dengan hak asasi,
kebebasan, dan harga diri manusia, yakni otoritas yang akarnya, aturannya, ukurannya, dan
ketetapannya ada di luar dirinya. It is contrary to the natural, innate, and inalienable right and
liberty and dignity of man, to subject himself to an authority, the root, rule, measure, and
sanction of which is not in himself.

Pada Awalnya, liberalisme agama berkembang di kalangan Protestan saja, namun


belakangan menyebar di kalangan katolik, dan kini merambah ke dunia Islam yang berhasil
masuk ke kalangan cendekiawan yang konon dianggap sebagai “pembaru” alias mujaddid.

Agama dan Liberalisme

Jika liberalisme disandingkan dengan urusan agama, berarti kebebasan menganut,


meyakini, dan mengamalkan apa saja, sesuai kecenderungan, kehendak, dan selera masing-
masing. Bahkan lebih jauh, liberalisme mereduksi agama dari publik menjadi urusan privat.
Artinya, konsep amar makruf nahi munkar bukan saja dinilai tidak relevan, bahkan dianggap
bertentangan dengan semangat liberalisme.
Contoh paham liberalisme misalnya; Asal tidak merugikan pihak lain, orang berzina tidak boleh
dihukum, apalagi jika dilakukan atas dasar suka sama suka. Karena menggusur peran agama dan
otoritas wahyu dari wilayah politik, ekonomi, maupun sosial, maka tidak salah jika liberalisme
dipadankan dengan sekularisme.

Islam liberal

Islam liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu terhadap Islam dengan landasan
sebagai berikut: a. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam. Islam liberal percaya
bahwa ijtihad atau penalaran rasional terhadap teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang
memungkinkan Islam terus bertahan dalam segala cuaca. b. Mengutamakan semangat religio
etik, bukan makna literal teks. Ijtihad yang dikembangkan adalah upaya menafsirkan Islam
berdasarkan semangat religio-etik al-Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-
mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal dianggap hanya akan
melumpuhkan Islam. Sebaliknya, melalui penafsiran berdasarkan semangat religio-etik, Islam
akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban universal. c.
Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka, dan plural. Islam liberal mendasarkan diri pada
gagasan tentang kebenaran dalam penafsiran keagamaan sebagai sesuatu yang relatif, karena
sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka;
mengandung kemungkinan kesalahan, di samping juga dapat mengandung kebenaran. Bersifat
plural, karena penafsiran keagamaan dalam satu dan lain cara, adalah tercermin dari kebutuhan
seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah. d. Memihak pada yang minoritas
dan tertindas. Islam liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak pada kaum minoritas
yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek
ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini
dipahami dalam makna yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras gender, budaya, politik,
dan ekonomi. e. Meyakini kebebasan beragama, bagi Islam liberal, bahwa urusan beragama dan
tidak beragama adalah hak perseorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam liberal tidak
membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.

Ciri pemikiran Islam Liberal berdasarkan Koran Fokus 25 - 28 ZULHIJAH 1435 / 20 - 23 OKTOBER
2014 Harakah : Rasionalisme dan sekularisme, Penolakan terhadap Shariah, Pluralisme Agama,
Penolakan terhadap autoriti keagamaan, Kebebasan mentafsirkan teks-teks agama, Tiada
dakwaan kebenaran, Mempromosikan nilai-nilai Barat, Pembebasan wanita, Mendukung penuh
demokrasi liberal.

Tokoh-tokoh Liberal Dunia: Rifa’ah at-Tahtawi (1801-1873), Qasim Amin (1863-1908), dan
Ali Abdurraziq (1888-1966) dari Mesir, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) dari India,
Fazlurrahman, Mohammad Arkoum, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Sharour (Mengenal dan
Menangkal Liberalisme. Ilham Kadir.2016. media muslim cerdas)
Tokoh-Tokoh Islam Liberal Indonesia (Handrianto, Budi.2007. 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia:
Pengusung Ide Sekularisme) : Soekarno dan Hatta. Abdurrahman Wahid, Ahmad Wahib, Djohan
Effendi, Harun Nasution, M. Dawam Raharjo, Munawir Sjadzali, Nurcholish Madjid, Ulil
Abshar Abdalla, Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, Budhy Munawar Rahman, Abdul Mukti Ali.

Contoh produk dari islam liberal adalah adanya faham pluralisme.

Budi Munawar-Rachman menganggap pluralisme adalah suatu keyakinan yang


mengakui semua agama adalah sama-sama otentik, valid, benar, dan memiliki nilai untuk
mengubah watak manusia kepada keselamatan.

Ulil Abshar Abdalla menyatakan bahwa semua agama adalah tepat berada dalam jalan
itu, jalan panjang menuju Yang Maha Benar. Dengan demikian semua agama adalah benar
dengan variasi, tingkatan dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan
religius itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama, yaitu keluarga pencinta
jalan menuju kebenaran yang tidak pernah ada ujungnya. Maka tugas yang harus di emban oleh
umat Islam adalah berlomba-lomba dalam menghayati jalan religius itu. Sejalan pendapat di atas,
pluraisme agama menurut Budi Munawar Rachman (kontributor kelompok Islam Libeeral)
adalah suatu keyakinan yang mengakui semua agama adalah sama-sama otentik, valid, benar,
dan memiliki nilai untuk mengubah watak manusia kepada keselamatan. Harus diakui bahwa
semua agama adalah jalan keselamatan yang baik, yang dianugrahkan Tuhan, sehingga harus
dihargai dan tidak boleh ada diskriminasi.

Fatwa-fatwa tokoh-tokoh Islam Liberal

Nurcholish Madjid:

 “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan
merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial
yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia
merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya
merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda
itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Filsafat perenial
juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu Agama
berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level
esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah "Satu Tuhan Banyak Jalan".”

(Buku Tiga Agama Satu Tuhan, Mizan, Bandung, 1999, hal. xix.)

Ulil Abshar Abdalla:

 Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling
benar.” (Majalah GATRA, 21 Desember 2002).
Budhy Munawar Rahman: Dosen Paramadina

 “Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah Pluralisme antar
agama, yakni pandangan bahwa siapa pun yang beriman – tanpa harus melihat
Agamanya apa – adalah sama di hadapan Allah. Karena, Tuhan kita semua adalah
Tuhan Yang Satu.” (Artikel “Basis Teologi Persaudaraan Antar-Agama” dalam buku
Wajah Liberal Islam di Indonesia, hal. 51-53).

Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan:

Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan
yang satu itu sendiri, terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk
tiap Agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan
pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat
agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini kerjasama dan dialog
pemeluk berbeda agama jadi mungkin. (Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan
Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002, hal. 44)

Lalu bagaimana Pandangan dari setiap agama mengenai fatwa para tokoh liberal diatas?

Dalam agama Hindu dikenal dengan istilah “mokhsa” sebagai tujuan dan cita-cita akhir
bagi semua pengikut agama Hindu, yakni menyatunya ruh (union of soul) dengan Brahma
setelah terbebas dari proses reinkarnasi (death and rebirth) yang berulang-ulang kali (tanasukh
al-arwah). Sedangkan dalam agama Budha terdapat istilah “nirvana” yang dapat diartikan
pencerahan rohani (spiritual enlightenment) setelah terbebas secara sempurna dari penderitaan
(dukkha), yang tidak bisa dicapai kecuali mengikuti ajaran-ajaran Budha yang dikenal dengan
“the Middle Path” (ajaran jalan tengah).

Agama Yahudi tidak mengakui Tuhan kecuali Yahweh, yang diyakini sebagai Tuhan
khusus untuk golongan Yahudi. Dalam keyakinan Yahudi yang talmudik dan rasis, kaum non-
Yahudi tak ada bedanya beriman atau tidak beriman yakni tidak mungkin mereka keluar dari
sebutan gentiles yang kedudukannya tidak lebih tinggi dari hewan. Dalam Kristen terdapat
doktrin bahwa penyaliban Isa al-Masih sebagai penghapus dosa umat manusia, yang darinya
lahir doktrin dikenal dalam Katolik dengan ungkapan “tidak ada keselamatan di luar Gereja
(extra ecclesiam nulla salus) dan dalam Protestan dikenal dengan ungkapan tidak ada
keselamatan di luar Kristen (Extra Christos nula salus).

Dalam agama Hindu dikenal dengan istilah “mokhsa” sebagai tujuan dan cita-cita akhir
bagi semua pengikut agama Hindu, yakni menyatunya ruh (union of soul) dengan Brahma
setelah terbebas dari proses reinkarnasi (death and rebirth) yang berulang-ulang kali (tanasukh
al-arwah). Sedangkan dalam agama Budha terdapat istilah “nirvana” yang dapat diartikan
pencerahan rohani (spiritual enlightenment) setelah terbebas secara sempurna dari penderitaan
(dukkha), yang tidak bisa dicapai kecuali mengikuti ajaran-ajaran Budha yang dikenal dengan
“the Middle Path” (ajaran jalan tengah).

Dalam Islam, termaktub dalam nash al-Qur’an bahwa:

“sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam…” (QS. Ali Imran: 19), juga
disebutkan: Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah dapat
diterima (agama itu) dari padanya, dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali
Imran: 85).

Dari konsepsi agama-agama di atas, dapat dipahami bahwa setiap agama mengajarkan
penganutnya untuk bersikap eksklusif terhadap agamanya. Bahkan semua agama baik yang
mengakui Tuhan maupun yang mengakui Tuhan, termasuk aliran-aliran ideologi modern.
Mempunyai konsekuensi membentuk psikologi pengikutnya meyakini agamanya adalah yang
paling afdhal dan paling benar secara absolut dan universal.

Pemikiran Islam liberal yang dijelaskan di atas menimbulkan kontroversi, karena


mendapat penolakan secara tegas bahwa pluralisme di larang, sperti MUI yang mengeluarkan
fatwa bahwa sekulerisme, liberalisme dan pluralisme adalah haram. Karena pluralisme memiliki
kecendrungan menganggap semua agama benar. Tetapi menerima pluralitas atau keberbedaan.

KH Atiyan Ali M Da’i juga mengharam hal itu. Menurutnya pluralisme yang
dikembangkan oleh pemikir Islam, yang menampilkan Islam dalam beberapa konteks historis
dan lokal, seperti kontek Melayu, Arab, Afrika dan negaranegara lainnya. Ini menunjukan
ketidakjelasan dan cendrung mengaburkan Islam itu sendiri. Karena menurutnya orang yang
mengkotak-kotakan Islam dalam konteks tertentu adalah keliru, Islam itu hadir dengan risalah
yang jelas dengan pedoman yang nyata diwariskan oleh Rasulullah kepada umat Islam yaitu; al-
Qur’an dan Sunnahya. Sebab kalau Qur’an dan Hadist di wariskan Rasulullah untuk membuat
sekian banyak presepsi atau membuat berbeda-beda berarti sama dengan menuduh Rasulullah
belum selesai menyampaikan risalahnya. Karena Islam yang disampaikan melalui Rasulullah
saw itu sudah sempurna. Sebagaimana ditegaskan pada pidato perpisahan saat haji wada, kalau
orang berpegang teguh terhadap penjelasan itu, tidak akan keliru. Karena tidak ada Islam begini
dan Islam begitu. pemahaman yang mengatakan semua agama adalah baik dan benar menurut
Atiyan, ini jelas menyalahi al-Qur’an surat al-Imran ayat 19 dan 85, yaitu:

“Sesungguhnya agama yang diridhai Allah adalah Islam dan barangsiapa mencari agama selain
agama Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi”.

Jadi Islam Tidak pernah mengajarkan harus mengakui semua agama itu sama. Kebenaran
itu tetap mutlak tunggal, tidak mungkin ada dua. Tidak mungkin Allah menurunkan beberepa
kebenaran agama dengan ajaran yang berbedabeda. Tapi tidak boleh mengatakan bahwa hanya
dirinya yang akan masuk surga yang lain akan masuk neraka.

Pluralisme vs Toleransi

Jika doktrin pluralisme agama mengajarkan bahwa pada hakikatnya agama-agama itu sama,
tentunya pewacanaannya sebagai prinsip toleransi menuai pertanyaan yang krusial, karena
sejatinya toleransi merupakan sikap yang menenggang atau menghargai, membiarkan, dan
membolehkan pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb yang
berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Post-Tradisionalisme

Istilah post-tradisionalisme pertama kali muncul ketika ISIS (Institute for Social and
Institutional Studies), sebuah LSM yang dikelola oleh anak-anak muda NU di Jakarta,
menyelenggarakan diskusi untuk mengamati kemunculan gairah baru intelektual di kalangan
anak muda NU pada Maret 2000 di Jakarta.

Gema dari wacana ini terus meluas, terutama ketika LKiS menjadikan “postra” sebagai
landasan ideologinya dalam strategis planning pada Mei 2000 di Kaliurang Yogyakarta. Ideologi
itu pula yang kemudian menjadi judul buku terjemahan Ahmad Baso atas sejumlah artikel
Muhammad Abed al-Jabiri.

Sampai di sini, meskipun kata postra sudah tersebar, namun belum ada tanggung jawab
ilmiah sama sekali mengenai basis epistemologis istilah tersebut. Buku terjemahan Ahmad Baso,
meskipun memakai kata “Post-Tradisionalisme Islam”, namun di dalamnya tidak menjelaskan
sama sekali apa sebenarnya makna istilah postra itu sendiri.

Beberapa bulan kemudian, dua aktifis ISIS, Muh Hanif Dhakiri dan Zaini Rahman
memberikan sedikit muatan dengan menerbitkan buku berjudul Post-Tradisionalisme Islam,
Menyingkap Corak dan Gerakan PMII, (Jakarta: Isisindo Mediatama, 2000). ISIS kemudian
menerbitkan sebuah bulletin yang diberi nama “Postra”. Wacana postra semakin matang ketika
Lakpesdam NU melakukan kajian yang agak serius mengenai tema ini dalam jurnal Taswirul
Afkar No. 9 tahun 2000. Setelah itu, postra telah benar-benar menjadi wacana public dan banyak
diperbincangkan orang dalam berbagai diskusi, seminar dan juga liputan media masa (Majalah
Tempo, edisi 19-25 November 2001).

Dalam wacana pemikiran Islam kontemporer, post-tradisionalisme Islam pertama-tama


harus dilihat sebagai sebuah gerakan “lompatan tradisi”. Gerakan ini berangkat dari sebuah
tradisi yang terus menerus berkembang, diasah dengan sedemikian rupa, diperbaharui, dan
kemudian didialogkan dengan modernitas. Intinya adalah mencoba melakukan kontekstualisasi
tradisi Islam klasik pada ranah kondisi dan konteks kekinian. Sehingga menjadi mungkin
terjadinya pembaruan tradisi yang tentunya sama sekali berbeda dengan tradisi sebelumnya.

Post-tradisionalisme Islam menjadikan tradisi sebagai basis epistemologinya, yang


ditransformasikan secara meloncat, yakni membentuk tradisi baru yang berakar pada tradisi
miliknya dengan jangkauan yang sangat jauh untuk memperoleh etos progresif dalam
transformasi dirinya.

Tradisi di sini adalah sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita, yang berasal dari
masa lalu, baik itu masa lalu kita (muslim) ataupun masa lalu orang lain (non muslim).

Tradisi ini mencakup: 1) tradisi maknawi, yang berupa tradisi pemikiran dan budaya; 2) tradisi
material, seperti monument dan benda-benda masa lalu; 3) tradisi kebudayaan, yakni segala
sesuatu yang kita miliki pada masa lalu; 4) tradisi kemanusiaan universal, yaitu segala sesuatu
yang hadir ditengah kita, namun berasal dari masa lalu orang lain (al-jabiri, 2000: 25).

Sikap kritis terhadap tradisi menjadi sangat penting agar terhindar dari keterbelengguan
dan kekangan orotitas tradisi. Hal itu dilakukan dengan “mengobyektivisme” dan
“merasionalisasi” atas tradisi. Obyektivisme berarti menjadikan tradisi lebih kontekstual dengan
dirinya sendiri. Sedangkan merasionalisasi berarti menjadikan tradisi lebih kontektual dengan
kondisi kekinian.

Contoh yang bias dijadikan sebagai lompatan tradisi ini adalah usulan Masdar F. Mas’udi
untuk menambahkan pelaksanaan ibadah haji setahun lebih dari sekali. Sehingga, tidak hanya
pada bulan Dzulhijjah. Tetapi, ibadah haji juga bisa dilaksanakan pada bulan-bulan lain, sesuai
dengan kesepakatan negara-negara terkait, semenjak 1 Syawal hingga 10 Dzulhijjah. Ini di
usulkannya berkaitan dengan pertimbangan perkembangan keadaan, dimana jumlah umat Islam
dari seluruh penjuru dunia yang akan menunaikan ibadah haji terus meningkat. Sementara
tempat untuk melaksanakan ibadah tersebut sangat terbatas. Akibatnya, selain tidak tertampung
seluruh jama’ah, juga kerap kali terjadi kecelakaan akibat penuh berdesak-desakan. Usulan
semacam ini tidak memiliki rujukan tradisi pemikiran sebelumnya, tetapi cara dan metodologi
yang digunakan untuk mengusulkan tetap berangkat dan tidak keluar dari pakem-pakem tradisi
pemikiran masa lalu, yang secara genealogis tradisionalis.

Usulan kontroversial ini dikemukakan kembali pada 30 Mei 2000 dalam suatu Semianar
"Menacari Format Ideal Pelaksanaan Haji" di Hotel Menara Peninsula Jakarta.
"Pelaksanaan ibadah haji itu mestinya bisa berkali-kali dalam setahun. Karena, sesuai dengan
firman Allah al-kajju asyhuru main-mat itu artinya musim haji selama beberapa bulan,
yakni antara 1 Syawal hingga 10 Dzulmjjah", katanya. Secara teknis, menurut Masdar,
ibadah haji minimal bisa dua atau tiga kali diselenggarakan selama musim haji. Musim haji
pertama yaitu akhir bulan Syawal, lantas pertengahan bulan berikutnya, dan ketiga, seperti
selama ini berlangsung, mulai awal Dzulmjjah hingga selesai. Pelaksanaan ibadah haji
beberapa kali dalam setahun itu tidak dilarang baik oleh nosh al-Qur'an maupun hadits
RasulillahSAW Adapun hadits yang berbunyi al-Hajju 'Arafah, menurut Masdar, hanya
menunjuk tempat bahwa wukuf itu hanya di 'Arafah. Sedangkan persoalan waktunya, tetap
harus memegangi ayat al-Qur'an al-hajju asyhuru 'malumat (waktu pelaksanaan haji adalah
beberapa bulan yang sudah maklum). Yang berarti, bahwa wukuf bisa dilaksanakan di luar
tanggal 9 Dzulhijjah. Dengan demikian, yang adil menurut Masdar adalah bahwa hadits al-hajju
'arafah cukup dipahami bahwa "puncak ibadah haji adalah wukuf di Arafah".
Sementara pada hari mana atau tanggal berapa haji dengan puncaknya berupa wukuf di
Arafah itu bisa dilaksanakan adalah tersedia dalam kurun waktu tiga bulan musim haji:
Syawwal, Dzulqa'dah, dan Dzulhijjah. Usulan terakhir ini sempat menjadi bahan polemik
di Harian MEDIA INDONESIA (30,31 Mei 2000). Lebih jelasnya, baca Masdar F. Mas'udi,
"Keharusan Meninjau Kembali Waktu Pelaksanaan Ibadah Haji". Makalah, tidak
dipublikasikan.

ISU-ISU KONTEMPORER

1. Musyawarah Islam vs Demokrasi

Demokrasi yang oleh sebagian kaum muslimin hampir diidentikan dengan musyawarah
secara terbuka. Tapi sebetulnya sesuai dengan Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 159 Allah
menyuruh kita untuk bermusyawarah, maka dari itu didalam Islam tidak ada yang namanya
demokrasi.

Prinsip-Prinsip Dasar Musyawarah: Memelihara amanat Allah dengan sebaik-baiknya,


menyampaikan hak kepada ahlinya dan mengakui segala hak dengan penuh. 2). Menegakkan
keadilan dalam segala urusan ekonomi, sosial, dan politik, baik terhadap diri sendiri, keluarga
atau masyarakat. 3). Taat dan patuh pada undang-undang yang telah ditetapkan.

Dari tiga prinsip tadi timbul yang lebih fundamental azaz yang mutlak diperlukan dalam
penyelanggaran pemerintahan, yaitu: Syura harus dilaksanakan dalam hal-hal yang menyangkut
kepentingan umum, Keadilan umum wajib dilaksanakan oleh seluruh aparat pemerintahan,
Bantuan dari orang-orang kuat dan jujur perihal yang perlu dimintakan bantuannya oleh imam

Teokrasi dan demokrasi


Suara mayoritas dalam musyawarah bukanlah tolak ukur kebenaran menurut konsep
Islam, karena dalam berbagai ayat dan surat dalam al-Qur’an jelas tidak membenarkan asumsi
bahwa suara mayoritas mutlak kebenarannya, Melainkan dalam konteks teokrasi model
kekuasaan ada di tangan Allah, Sementara demokrasi sebagai ideologi adalah konsepsi produk
manusia yang merelatifkan pandangan dogmatis serta absolut dan senantiasa mengasumsikan
proses tawar menawar antara sesama manusia secara horizontal.

Titik Temu Demokrasi

Islam yang diturunkan Allah kepada manusia maknanya teraktualisasi dan terwujud pada
saat Islam dipahami, dihayati, dan diprakteka dalam realitas budaya. Dari hasil kebudayaan
tersebut mulai berkembang proses pemikiran manusia sehingga dari hasil pemikiran tersebut
melahirkan demokrasi.

Demokrasi dan Muslim Indonesia

Dalam pancasila prinsip demokrasi itu terungkap dalam sila keempat. Menurut
Notonegoro pancasila itu adalah monodualisme perpaduan antar nilai-nilai spiritual dan
pemuasan material yang ukhrawi dan yang duniawi. Disini ada keunikan pancasila dalam
kekuasaan yang diletakan dibawah Tuhan dan rakyat. Tuhan dan rakyat harus dibaca dengan satu
dengan sebutan teodemokrasi namun istilah yang dimunculkan ini kemudian tidak dikenal
dinegri ini kecuali yang populer yang dikenal dengan demokrasi pancasila.

2. Konsep Gender

Di Indonesia kata gender atau (jender) dipinjam dari bahasa Inggris yang sebenarnya
sulit mencari padanan kata untuk istilah ini. Dalam bahasa Indonesia, istilah pria/wanita dipakai
untuk kedua konsep tersebut sangatlah berbeda dengan konsep gender. Istilah jenis kelamin
mengacu pada jenis organ biologis seperti rahim, payudara, vagina, untuk wanita serta penis
dan sperma untuk pria.

Sebagai respon atas konsep-konsep gender, Rebeka Harsono di Indonesia meminjamkan konsep
ANN OAKLEY berpendapat bahwa hubungan yang berdasarkan gender merupakan :

a. Hubungan anatara manusia yang berjenis kelamin berbeda dan itu merupakan hubungan
hirarkis yang bisa menimbulkan masalah sosial.

b. Gender merupakan explanatoris tentang tingkah laku, kedudukan sosial, dan pengamalan
konsep yang cenderung diskriminatif daripada anatar pria – wanita

c. Gender memformulasikan bahwa hubungan asimetris pria – wanita sebagai natural order
atau normal (Harsono, 1997 : 284)
Keadilan Gender

Konsep keadilan dalam gender menurut Islam, bahwa Islam mengakui kesamaan
martabat laki-laki dan perempuan tanpa membedakan jenis kelamin. Keduanya
mempunyai hak dan kewajiban yang sejajar dalam berbagai bidang. Konsep kesejajaran
yang mencerminkan keadilan tampak secara normatif ditegaskan dalam QS 33 : 35, 3 :
195, 2 : 187, 33 : 73, dll.

Keadilan Gender dalam Keluarga

Al-Quran mengunggulkan laki-laki atas perempuan dalam QS 4 : 34 adalah karena sebab


kesadaran perempuan pada zaman itu rendah dan berkewajiban perempuan untuk
melakukan pekerjaan domestik.

Realita yang dialami dunia bisnis kita saat ini banyak kaum perempuan yang mandiri
secara ekonomi dan bahkan menjadi tulang punggung keluarga. Karena itu keunggulan
para lelaki bersifat kontekstual.

Hak Talak

Dalam konsep Islam tentang talak atau perceraian suami istri diakui adanya hak cerai
dari istri yang disebut khulu.

Selain itu bentuk perceraian lain yang memihak kaum perempuan adalah talaq tafwid.
Maksudnya pendelegasian kuasa untuk menceraikan yaitu memberikan hak cerai kepada istri.

Waris

Secara keseluruhan hak waris itu bila terjadi kesepakatan antara para ahli waris baik
pembagian secara normatif maupun substansial dapat dilakukan secara sama rata maupun
proporsional sesuai kesepakatan karena ada dua hal yang dapat diperhatikan, yaitu: Ketika
diturunkannya ajaran ini perempuan tidak mendapat waris

Jumlah pembagian waris perempuan hanya setengah dari pembagian laki-laki dapoat
dilihat dari sudut pandang ekonomi di masa itu, yakni beban keluarga atau nafkah sepenuhnya
menjadi tanggung jawab laki- laki.

Daftar Pustaka

Pemikiran Politik Islam Liberal dan Perkembangannya Di Indonesia Dewasa Ini.


Prayudi. 202 Politica Vol. 4 No. 2 November 2013
Kontroversi Pemikiran Islam Liberal Tentang Pluralisme Agama-Agama di Indonesia.
Jurnal al-Tsaqafa Volume 14, No. 01, Januari 2017. 206

Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir (Political Ideology Today), Penerjemah Ali
Noerzaman, (Yogyakarta : Penerbit Qalam, 2004), hlm. 20.

Mengenal dan Menangkal Liberalisme. Ilham Kadir.2016. media muslim cerdas

Nong Darol Mahmada dan Burhanuddin, “Jaringan Islam Liberal (JIL): Pewaris
Pemikiran Pembaruan Islam di Indonesia”, dalam Imam Tholkhah dan Neng Dara Affiah,
Gerakan KeIslaman Pasca Orde Baru: Upaya Merambah Dimensi Baru Islam, Badan Litbang
Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama, Jakarta Cetakan ke II, 2007, h. 310-312

Koran Fokus 25 - 28 ZULHIJAH 1435 / 20 - 23 OKTOBER 2014 Harakah


Mengenal dan Menangkal Liberalisme. Ilham Kadir.2016. media muslim cerdas

Handrianto, Budi.2007. 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia: Pengusung Ide Sekularisme,


Pluralisme dan Liberalisme. Hujjah Press (kelompok Penerbit Al Kautsar).

Adian Husaini & Nuim Hidayat, Islam Liberal : Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan
Jawabannya, (Jakarta : : Gema Insani Press, 2002),hlm. 34.

Rachman, Budi Munawar (2016), (ed), Membela Kebebasan Agama Jilid I (Jakarta:
The Asia Foundation
Ulil Abshar Abdalla I, op.cit, h.4.

Budi Munawar-Rachman, (ed), Membela Kebebasan Agama Jilid I (Jakarta: The Asia
Foundation,2016) h. xIi,

Thoha, Anis Malik. 2007. Tren Pluralisme Agama; Tinjauan Kritis. Jakarta: Perspektif;
Kelompok Gema Insani hal 28

Majelis Ulama Indonesia Fatwa tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekulerisme tahun
2005.
Atiyan Ali M Dai (Januari 2002), Islam Liberal Rentan Daimampaatkan Rezim. Dalam
Kiblat. Edisi No X. ha. 44
Atiyan Ali, op. cit dan Ulil Abshar Abdalla , op. cit, h. 205

Kamus Besar Bahasa Indonesia, disusun oleh: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 1538.

Anda mungkin juga menyukai