Anda di halaman 1dari 8

NAMUN SEDIKITNYA ADA 15 SALAH PERSEPSI TENTANG PROGRAM

INKLUSIF atau SEKOLAH INKLUSI

Berikut pemahaman yang masih belum tepat tentang pengelolaan sekolah inklusi (inklusif)
maupun program inklusif :

1. Program Inklusif adalah program yang terpisah dari program reguler. Jadi seperti
program tambahan.

Tidak benar. Pendidikan inklusif artinya program bagi siswa inklusi bergabung dengan
program embelajaran bagi siswa reguler.

Melebur menjadi satu, meski dibantu dengan tim atau tenaga pengajar tambahan berupa guru
pendamping khusus (GPK) atau tenaga terapis.

2. Mutu sekolah akan turun karena nilai NEM rata-rata turun berakibat rangking
sekolah di wilayah juga menurun.

Sekolah yang berbasis nilai akademik tentu keberatan dengan siswa-siswa yang relatif
'bodoh'. Cenderung menolak siswa yang berkecerdasan kurang atau memiliki kendala belajar.

Memang, dengan adanya siswa yang kurang berprestasi secara akademik, maka rerata nilai
NEM atau prestasi akademik sekolah akan turun, yang akhirnya menentukan peringkat
sekolah di wilayah juga melorot.

Beruntung sekarang pemerintah telah menerapkan sistem zonasi sekolah, sehingga siswa
tidak dilihat dari nilai NEM untuk masuk SMP/SMA, atau kemampuan calistung untuk
diterima masuk SD. Namun ada faktor pertimbangan lain semisal jarak rumah-sekolah,
prestasi non-akademik, serta berasal keluarga miskin.
3. Anggapan siswa ABK akan menularkan penyakit mental atau fisik kepada siswa
normal.

Entah kenapa, ada orangtua yang mendapat info yang salah tentang ABK. Keterbatasan atau
kendala belajar pada siswa ABK bersifat individual karena masalah fisik/fisiologis siswa
tersebut. Ini bukanlah semacam virus atau wabah yang menular.

100% siswa ABK adalah anak yang sehat. Namun mereka memiliki kendala misalnya dalam
fokus belajar, kehilangan konsentrasi, gangguan berfikir, kesulitan berkomunikasi, dan daya
respon yang rendah.

Justru disini terjadi pengayaan nilai-nilai kehidupan, saat siswa reguler berinteraksi dengan
siswa ABK, akan tumbuh rasa kepedulian dan toleransi yang lebih tinggi, sehingga menjadi
manusia yang lebih lembut, toleran, saling menyayangi. Sekolah otomatis terjauhkan dari
bullying.

4. Penanganan siswa ABK hanya menjadi urusan guru pendamping khusus (GPK) atau
shadow teacher.

Kondisi ini kerap terjadi saat sebuah sekolah mengawali program inklusi. Beranggapan,
sudah ada petugas atau guru yang bertanggungjawab khusus terhadap siswa ABK dan
program individual ABK. Tapi ini sifatnya di awal saja.

Yang perlu dibentuk adalah sekolah inklusif, artinya seluruh warga sekolah tanpa kecuali
peduli, paham, dan ikut serta mensukseskan program inklusif tersebut.

Untuk itu, diperlukan sosialisasi terus menerus ke seluruh unit sekolah, sehingga timbul
kesamaan visi dalam penanganan anak ABK di sekolah inklusif tersebut. Sosialisasi juga
terhadap para orangtua siswa reguler, sehingga tetap merespon positif bilamana ada kasus-
kasus yang terkait dengan siswa inklusif.

5. Sekolah (dapat) menerima semua tingkatan hambatan belajar siswa ABK.

Sebaiknya sekolah inklusif membatasi diri dengan tingkat kesulitan yang bisa dikelola.
Sebab, setiap anak ABK membutuhkan terapi dan tipe pendampingan yang berbeda.
Dengan makin matangnya program inklusif di sekolah, tentu dimungkinkan sekolah
menerima siswa ABK dengan kesulitan penanganan yang lebih tinggi.

Masalah ini terjadi lantaran kelonggaran proses penerimaan. Diperlukan pencermatan melalui
wawancara orangtua, pemeriksaan psikologis, assesment atau test pemeriksaan terhadap
calon siswa.

Sebaiknya sekolah tidak memberi harapan terlalu tinggi kepada para orangtua bilamana
belum siap mengelola berbagai tingkat kesulitan tersebut.

6. Penerimaan siswa cukup dengan penjelasan orangtua tentang kondisi anak, tanpa
assesment oleh terapis/psikolog/ahli.

Di beberapa kesempatan, ditemui sekolah menggampangkan penerimaan siswa ABK


berdasarkan keterangan/penjelasan dari orangtua tentang kondisi anak.

Adakalanya, agar siswa dapat diterima, orangtua memberi penjelasan yang tidak lengkap,
menyembunyikan atau mengurangi tingkat kendala anak belajar. Sehingga, terkesan mudah.
Data pemeriksaan psikologis atau tes-tes yang pernah dilakukan, tak dilampirkan.

Adakalanya justru para orangtua kurang paham kondisi anak sebenarnya. Tidak menganggap
serius, karena secara fisik sang anak kelihatan baik dan sehat.

Disarankan agar sekolah melakukan prosedur standar penerimaan siswa, sehingga siswa
dikenali kondisi dan kebutuhannya.

Hal ini diperlukan untuk cara penanganannya, terapi yang diperlukan, dan program individual
(IEP - individual education program) yang disusun untuknya.

Di beberapa sekolah inklusif, memiliki arah untuk memandirikan anak, dengan mengurangi
pendampingan mulai di kelas tinggi (4,5, atau 6) secara bertahap, agar anak dapat lebih
leluasa dan banyak berinteraksi secara sosial dan akademik dengan teman sebaya dan guru.
Karena itu, kondisi awal siswa sangat penting untuk merancang program inklusif baginya.
7. Program inklusif adalah semacam program SLB di sekolah umum.

Siswa inklusif memiliki kemampuan untuk belajar dan berlatih. Karena itu, dia dapat
bergabung di kelas reguler.

Praktek yang salah, meski pun bergabung di kelas reguler, tapi anak inklusi dipisahkan dalam
kelas, misalnya diletakkan di pojok kelas, atau tidak dilibatkan dalam kegiatan kelas dengan
alasan memperlambat proses belajar.

Justru dengan memasukkannya ke kelas reguler, diharapkan terjadi interaksi yang


menstimulasi siswa ABK. Guru harus berupaya untuk melibatkan siswa dalam kegiatan di
kelas. Hanya itulah satu-satunya cara agar siswa ABK dapat tumbuh mandiri dan
bersosialisasi dengan baik.

Bilamana guru mengajar aktif menyenangkan (active learning), maka lebih banyak
kesempatan bagi siswa ABK untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan kelas baik di dalam
maupun di luar ruang kelas.

8. Program inklusif ditujukan terutama untuk anak Autis.

Beberapa tahun terakhir penyandang kendala Autisme memang meningkat nyata jumlahnya.
Itu sebabnya seolah sekolah inklusif dipersepsikan terutama untuk anak dengan autisme
(berbagai sprektrum).

Padahal, program inklusif ini terbuka untuk berbagai kendala belajar sejauh sekolah mampu
mengelolanya. Jika kondisinya terlalu berat, ananda tentu akan disarankan melanjutkan
pendidikan ke sekolah luar biasa, yang memiliki sarana-prasarana lebih lengkap untuk siswa
berkebutuhan khusus tertentu seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras,
dan cacat ganda.

9. SEKOLAH INKLUSI adalah sejenis dengan SLB. Sekolah inklusi rasa SLB.

Perlakuannya begini: siswa ABK dikelola atau terkumpul di kelas khusus, yang terpisah dari
kegiatan reguler.

Mereka terus-menerus belajar di kelas khusus tersebut, tanpa bersinggungan dengan teman-
teman regulernya.
Hal ini disebabkan oleh kekurangmampuan tim inklusi / guru pendamping khususu
mengelola siswa ABK. Sehingga, kehadiran siswa ABK menjadi 'gangguan' bagi temannya.
Seperti, memukul, berteriak-teriak, mondar-mandir, (maaf) BAB di celana, hingga merusak
dan mengamuk.

Akibat sering timbul 'gangguan' seperti itu, akhirnya guru 'menyerah' dan mengelola siswa
ABK dalam suatu lokal terpisah untuk terus-menerus menjalani terapi.

Dengan kondisi seperti ini, justru siswa ABK kehilangan kesempatan untuk bersosialisi
dengan teman sebaya, berinteraksi secara natural/normal, dan menumbuhkan
kemandiriannya.

Solusinya adalah dengan mengatur porsi kehadiran di kelas reguler. Misal 25% reguler : 75%
kelas terapis. Nanti secara bertahap jam kelas reguler ditambah sesuai kemajuan siswa.
Metode ini disebut pull out, artinya siswa ditarik dari kelas reguler untuk menjalani terapi di
kelas khususnya.

10. Apapun type ABK, dapat diterima bersekolah di sekolah reguler

Range atau jangkauan kesulitan belajar siswa yang sangat beragam menyulitkan guru
pendamping dan terapis yang terbatas jumlah dan kemampuannya.

Sebaiknya, di awal pengelolaan program inklusi menerima anak dengan kategori yang sama
terlebih dahulu, baru kemudian sekolah meningkatkan skill ketrampilannya untuk mengelola
siswa ABK dengan tingkat kendala yang lebih sulit. Misalnya, melalui berbagai pelatihan
tentang pengelolaan anak inklusif.

Ini seiring dengan makin banyaknya guru reguler yang trampil menangani anak, serta adanya
penambahanA guru pendamping khusus, serta kelengkapan sarana-prasarana media belajar.

11. Dapat menerima siswa ABK melebihi rasio siswa inklusif per kelas.

Di sekolah swasta, biaya siswa ABK memang jauh lebih tinggi ketimbang siswa reguler.

Jangan sampai, karena alasan ekonomis untuk meningkatkan pendapatan sekolah, dengan
alasan meningkatnya biaya operasional untuk guru pendamping khusus, terapis, psikolog, dan
sebagainya; sekolah menerima siswa inklusif berlebihan.
Untuk kenyamanan belajar, sebaiknya mengikuti perbandingan (rasio) jumlah siswa ABK
terhadap siswa reguler yang proporsional. Rasio yang terbaik, dalam sebuah kelas reguler
berisikan sekitar 25-30 anak, dapat menerima 2-3 orang siswa ABK dengan guru
pendamping.

Meski pun permintaan orangtua yang begitu tinggi untuk menyekolahkan anaknya, pihak
sekolah sebaiknya membatasi rasio ini agar suasana belajar tetap kondusif bagi siswa reguler.

Beberapa orangtua terkadang sampai menangis menghadapi kenyataan penolakan dari


sekolah, karena anaknya sudah tidak dapat diterima lantaran kapasitas sekolah untuk siswa
ABK telah penuh. Sekolah terpaksa menutup pendaftaran siswa ABK lantaran mematuhi
rasio tersebut. Sudah saatnya makin banyak sekolah di Indonesia menjadi sekolah yang
inklusif, betapapun sulit memulainya.

12. Sekolah Inklusif dapat mengelola siswa inklusi sebanyak-banyaknya tanpa kuota.

Dengan mengelompokkan siswa pada lokal khusus, maka seolah sekolah dapat menerima
sejumlah siswa ABK dalam jumlah daya tampung lokal tersebut. Kegiatan lebih terfokus
pada terapi.

Kurang tepat, karena program inklusif bukanlah memisahkan siswa dari kegiatan reguler
sekolah.

Ini terjadi karena juga ada ketidak-pahaman tentang program inklusif. Dan lebih banyak
didorong alasan ekonomi menambah income sekolah (swasta).

13. Tujuan belajar siswa ABK adalah agar anak jadi pintar atau meningkatkan
kecerdasannya.

Umumnya siswa ABK memiliki kecerdasan rerata di bawah rata-rata, dengan berbagai
kesulitan belajarnya.

Karena itu, lebih bijaksana andai orangtua untuk secara bertahap mengevaluasi
perkembangan siswa, dan menetapkan harapan yang sesuai dengan kondisi anak.
Sekecil apapun peningkatan pencapaian anak ABK, sesuatu yang harus disyukuri. Sebab,
untuk mendapatkan pencapaian itu, seorang siswa ABK harus melalui berbagai proses terapi
dan sosialisasi yang panjang.

Setahap demi setahap melewati peningkatan-peningkatan kecil, siswa ABK kelak mengalami
perubahan atau pencapaian signifikan yang berharga dan bermanfaat bagi dirinya :
kecerdasan akademik, sikap sosial, dan life-skill.

Bagi anak yang telah mandiri, dan ternyata memang memperlihatkan potensi bakat minat
khusus semisal di bidang matematika (kecerdasan logic matematik), komputer - grafis,
desain, art (naturalis), cookery, menari dan bermusik (music), spiritual, ataupun berbahasa
asing (linguistik), tentu sekolah wajib mengembangkan potensi kecerdasan yang ada agar
menjadi bekal bagi siswa di jenjang pendidikan berikutnya. Pengertian pintar di sini adalah
bagian dari kecerdasan majemuk yang dimiliki anak.

14. Siswa inklusi urusan guru pendamping, bukan tanggung jawab kelas atau bidang
studi.

Tugas guru kelas sudah berat menangani anak reguler, jadi tidak mau ditambah lagi dengan
urusan ABK meski cuma 2 atau 3 anak.

Ketambahan siswa ABK seolah menjadi tambahan tugas yang merepotkan, misal mesti
membuat soal yang berbeda dengan siswa reguler, atau ikut memberikan kesimpulan evaluasi
belajar.

Berarti, di sini, para guru reguler atau guru kelas belum memahami, bahwa menjadi sekolah
inklusif itu adalah komitmen seluruh warga sekolah, bukan unit inklusif saja.

Setiap guru atau warga sekolah harus aktif berkontribusi mendampingi siswa atau temannya
yang berkebutuhan khusus.

15. Penilaian raport atau evaluasi belajar siswa inklusi adalah tanggung jawab guru
pendamping.

Kondisi seperti ini kurang baik bagi sekolah inklusif.

Guru kelas atau wali kelas wajib ikut serta memberikan penilaian atau evaluasi belajar.
Catatannya akan akan digabungkan dengan penilaian dari unit terapi, sehingga menjadi satu
laporan perkembangan belajar yang komprehensif. Para orangtua dapat berkonsultasi baik
pada sang wali kelas maupun dengan guru pendamping, sehingga mendapat gambaran
integratif.

Hal ini tidak mudah bagi sebagian besar sekolah. Namun dengan berlalunya waktu dan
bertambahnya pengalaman, maka para guru akhirnya menyadari bahwa tugas mereka
mengajar dan mengevaluasi siswa tanpa melihat perbedaan kemampuan dan keterbatasan.

Anda mungkin juga menyukai