Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH PERWALIAN PEMELIHARAAN ANAK DAN STATUS ANAK perwaliannya.

Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Hasyim 2 yaitu


perwalian terhadap anak menurut hukum Islam meliputi perwalian terhadap diri
PEMBAHASAN pribadi anak tersebut dan perwalian terhadap harta bendanya. Perwalian
terhadap diri pribadi anak adalah dalam bentuk mengurus kepentingan diri si
A. Perwalian anak, mulai dari mengasuh, memelihara, serta memberi pendidikan dan
1. Pengertian Perwalian bimbingan agama. Pengaturan ini juga mencakup dalam segala hal yang
Secara etimologi (bahasa), kata perwalian berasal dari kata wali, dan merupakan kebutuhan si anak. Semua pembiayaan hidup tersebut adalah
jamak “awliya”. Kata ini berasal dari kata Arab yang berarti "teman", "klien", menjadi tanggung jawab si wali. Sementara itu, perwalian terhadap harta
"sanak","pelindung". Umumnya kata tersebut menunjukkan arti "sahabat Allah" bendanya adalah dalam bentuk mengelola harta benda si anak secara baik,
dalam frase walīyullah. termasuk mencatat sejumlah hartanya ketika dimulai perwalian, mencatat
Sementara makna perwalian dalam konteks hukum dan kajian perubahan-perubahan hartanya selama perwalian, serta menyerahkan kembali
perkawinan adalah perwalian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 huruf (h) kepada anak apabila telah selesai masa perwaliannya karena si anak telah
Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan bahwa perwalian adalah dewasa dan mampu mengurus diri sendiri.
“Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk 2. Landasan Hukum Perwalian
melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas Dalam konteks sistem hukum Indonesia, landasan hukum perwalian telah
nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, orang tua yang masih hidup, diatur dalam UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI (Kompilasi
tidak cakap melakukan perbuatan hukum.”1 Hukum Islam). Dalam UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan telah diatur
Dari definisi tersebut tedapat beberapa unsur yang harus diperhatikan, dalam pasal 50 ayat (1-2) dinyatakan bahwa:
yaitu : kewenangan, bertindak sebagai wakil, kepentingan anak, tidak (1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum
mempunyai orang tua, orang tua tidak cakap melakukan perbuatan hukum. pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan
Yang dimaksud dengan kewenagan dalam definisi tersebut adalah kewenagan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan perwalian berdasarkan (2) Perwakilan itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta
penetapan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Kemudian bendanya.
dalam definisi tersebut ada kata bertindak sebagai wakil, artinya wali tersebut Kemudian dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) BAB XV mengenai
merupakan sebagai pengganti dari orang sebenarnya, yaitu kedua orang tuanya perwalian Pada Pasal 107 ayat (1-4) dinyatakan bahwa:
dalam melakukan perbuatan hukum untuk kepentingan anak. Lalu dalam (1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum berumur 21 tahun dan atau
definisi terdapat kata “Tidak mempunyai orang tua atau tidak cakap melakukan belum pernah melangsungkan perkawinan
perbuatan hukum” berarti kedua orang tuanya meninggal dunia atau hilang dan (2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaan.
boleh jadi pergi tanpa kabar apapun kepada anaknya, sehingga dapat (3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya,
menelantarkan anak. Yang dimaksud dengan tidak cakap hukum adalah orang maka pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak
tidak berhak dalam melakukan perbuatan hukum. Orang yang tidak cakap sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut,
hukum antara lain : orang gila, anak-anak dan orang dibawah pengampuan. (4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain
Dalam fikih Islam Perwalian terbagi 3 macam, yakni sebagai berikut: yang sudah dewasa, berpikir sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan
a. Perwalian jiwa (diri pribadi) hukum.
b. Perwalian harta Sedangkan Dalam menetapkan hukum dan ketentuan mengenai
c. Perwalian jiwa dan harta perwalian, Islam merujuk kepada firman Allah SWT mengenai pentingnya
Perwalian bagi anak yatim atau orang yang tidak cakap bertindak dalam pemeliharaan terhadap harta, terutama pemeliharaan terhadap harta anak yatim
hukum seperti orang gila adalah perwalian jiwa dan harta. Ini artinya si wali yang telah ditinggalkan oleh orang tuannya. Dalam hal ini Allah berfirman:
berwenang mengurus pribadi dan mengelola pula harta orang di bawah

1 Ahmad Rofiq,Hukum Perdata Islam di Indonesia,Raja Grafindo Persada,2013:Jakarta,hal 2 Abdul Manan Hasyim, Hakim Mahkamah Syariah Provinsi Aceh di download dari
205 http://www.idlo.int/DOCNews/240DOCF1.pdf. 2010.
1
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, 3. Wewenang dan Larangan Bagi Wali
janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan jangalah kamu Dalam sistem hukum Indonesia, wali memiliki tanggung jawab yang
makan harta mereka bersama hartamu, sungguh (tindakan menukar dan bertujuan untuk memelihara akan kesejahteraan dari pada yang diperwalikan,
memakan) itu adalah dosa yang besar”.3 termasuk dalam pemeliharaan harta benda yang dipertinggalkan. Hal ini
Ayat ini menjadi suatu landasan dalam memelihara harta anak yatim yang telah sebagaimana dinyatakan dalam pasal 110-112 KHI7, yaitu:
ditinggalkan orang orang tuanya atau ahli warisnya. Dimana dalam ayat tersebut Pasal 110
secara jelas menyatakan mengenai pemeliharaan dan perlindungan terhadap (1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah
harta sampai mereka telah cakap dalam pengelolaannya (dewasa). Artinya jika perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan
anak-anak yatim tersebut belum cakap hukum, maka pengelolaan harta tersebut agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang
harus dijaga dan dipelihara oleh walinya. Hal ini sebagaimana kemudian berada di bawah perwaliannya.
dijelaskan pada ayat berikutnya.Allah berfirman: (2) Wali dilarang mengikatkan, membebanni dan mengasingkan harta orang
“Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. yang berada dibawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya yang tidak
harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu dapat dihindarkan.
memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) (3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah
tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (diantara perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan
pemeliharaan itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan atau kelalaiannya.
harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta (4) Dengan tidak mengurangi kententuan yang diatur dalam pasal 51 ayat (4)
itu menurut cara yang patut. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu Undang-undang No.1 tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3)
kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu tahun satu kali.
sebagai pengawas”.4 Pasal 111
Selain adanya perintah untuk menjaga anak yatim tersebut, baik dalam (1) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah
konteks penjagaan jiwa dan perkembangan mereka, juga penjagaan terhadap perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah
harta mereka. Dan Allah sangat murka jika orang yang kemudian menjadi wali menikah.
tidak dapat menjaga dan memelihara harta tersebut. Hal ini sebagaimana firman (2) Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang
Allah SWT: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim mengadili perselisihanantara wali dan orang yang berada di bawah
secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya.
akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.5 Pasal 112
Selain itu, dalam berbagai hadis Nabi Saw, juga telah menjelaskan Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya,
mengenai ketentuan dan dasar hukum mengenai perwalian. Nabi saw bersabda: sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma`ruf
“Jauhilah oleh kalian tujuh macam dosa yang membinasakan, para sahabat kalau wali fakir.
bertanya, “Apa sajakah dosa-dosa itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab: Sementara dalam Pasal 51 Undang-Undang No.1 Tahun 1974
“Mempersekutukan Allah, Sihir, Membunuh Jiwa yang diharamkan oleh Allah menyatakan bahwa:
kecuali dengan alasan yang hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari (1) Wali wajib mengurus anak yang berada dibawah kekuasaannya dan harta
dari medan perang, menuduh berzina wanita mukmin yang memelihara bendanya sebaik baiknya dengan menghormati agama kepercayaan anak itu
kehormatannya”.6 (2) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah
kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua peru bahan-
perubahan harta benda anak tersebut

3 QS.An-Nisa; ayat 2
4 QS. An-Nisa; Ayat 6
5 QS. An-Nisa; Ayat 10 7 Ahmad Rofiq,Hukum Perdata Islam di Indonesia,Raja Grafindo Persada,2013:Jakarta,hal
6 HR Abu Hurairah, dalam Ringkasan Shahih Bukhari – Muslim Jilid III, 2008. 209
2
(3) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah Pemeliharaan anak adalah pemenuhan berbagai aspek kebutuhan primer
perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan kesalahan dan kelalaiannya dan sekunder anak. Pemeliharaan meliputi berbagai aspek, yaitu pendidikan,
(4) Wali wajib membuat daftar harta benda yang berada di bawah kekuasaannya biaya hidup, ketentraman, kesehatan, dan segala aspek yang berkaitan dengan
pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan kebutuhannya. Dalam agama Islam diungkapkan bahwa tanggung jawab
harta benda anak atau anak-anak itu. ekonomi berada dipundak suami sebagai kepala rumah tangga, dan tidak
(5) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah menutup kemungkinan tanggung jawab itu berarih kepada istri untuk membantu
perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau suaminya bila suami tidak mampu melaksanakan kewajibannya. Oleh karena
kelalaiannya. itu, amat penting mewujudkan kerja sama dan saling membantu antara suami
Mengenai larangan bagi wali, telah diatur di dalam Pasal. 52 UU No.1 dan istri dalam memelihara anak sampai ia dewasa. Hal dimaksud pada
tahun 1974 menyatakan bahwa wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau prinsipnya adalah tanggung jawab suami istri kepada anak-anaknya. KHI
menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur menjelaskan sebagai berikut:
18 tahun atau belum melakukan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak Pasal 98 KHI
tersebut memaksa. Ketentuan tersebut di atas menjadi landasan hukum yang (1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah
mengikat terhadap kedudukan dan wewenangan seorang wali dalam menjaga 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental
dan atau memelihara baik jiwa dan harta anak yatim. atau belum pernah melangsung perkawinan.
4. Orang-orang yang Berhak Menjadi Wali Nikah (2) Orantuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan
Susunan wali menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagaimana hukum didalam dan diluar pengadilan.
dalam Pasal 21 KHI terdapat empat kelompok wali, yaitu: (3) Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat
Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua
pihak ayah dan seterusnya. orang tuanya meninggal.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki Pasal 98 tersebut memberikan isyarat bahwa kewajiban kedua orang tua
seayah, dan keturunan laki-laki mereka. adalah mengantarkan anak-anaknya, dengan cara mendidik, membekali dengan
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara ilmu pengetahuan untuk menjadi bekal mereka dihari dewasanya. Secara khusus
seayah dan keturunan laki-laki mereka. al-Qur’an mengajari kepada ibu untuk menyusui anaknya secara sempurna
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah (sampai usia dua tahun). Namun, al-Qur’an juga mengisyaratkan kepada ayah
dan keturunan laki-laki mereka. atau ibu suapaya melaksanakan kewajibannya berdasarkan kemampuannya, dan
Pemindahan hak wali dari wali yang paling dekat kekerabatannya dengan al-Qur’an sama sekali tidak menginginkan ayah dan ibunya menderita karena
calon mempelai perempuan kepada wali berikutnya, menurut ketentuan Pasal 22 anaknya. Apabila orang tua tidak mampu memikul tanggung jawab terhadap
KHI adalah karena wali yang paling dekat itu tidak memenuhi syarat sebagai anaknya, maka tanggung jawab dapat dialihkan kepada keluarganya, hal ini
wali nikah, yaitu tidak memilki kebebasan untuk bertindak, tidak berakal sehat, sebagaimana disebut dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 233.
belum baligh dan bukan seorang muslim, atau wali nikah yang paling dekat itu Selain itu, hak anak terhadap orang tuanya adalah anak mendapat
menderita tuna wicara, tuna rungu dan atau sudah udzur. pendidikan, baik menulis maupan membaca, pendidikan keterampilan, dan
Ketentuan Pasal 23 ayat (1) KHI menyatakan bahwa wali hakim baru mendapatkan rezeki yang halal. Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW. Sebagai
dapat bertindak sebagai wali nikah, apabila wali nasab tidak ada atau tidak berikut:
mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib )‫حق الولد علي والد ان يعلمه الكتابة وتاسباحة والرماية وان اليرزقه اال طيبا (رواه البيحقي‬
atau enggan (adhal). Ketentuan ini menunjukan bahwa wali hakim belum dapat Hak seorang anak kepada orang tuanya adalah menulis, berenang,
bertindak sebagai wali nikah, apabila seluruh kelompok wali masih ada dan memanah, dan mendapat rezeki yang halal. (Riwayat Baihaki)
diketahui tempat tinggalnya, kecuali dalam hal adlalnya wali. Berdasarkan hadits tersebut, pasal 45, 46, dan 47 Undang-Undang
B. Pemeliharaan Anak Dan Tanggung Jawab Terhadap Anak Bila Terjadi Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkwinan memuat garis hukum sebagai berikut.
Perceraian Pasal 45
1. Pemeliharaan Anak (1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya

3
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud ayat (1) pasal ini berlaku Demikian uraian mengenai ketentuan pemeliharaan anak dan batas-
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku batasnya yang menjadi tanggung jawab orang tua terutama ayah selaku kepala
terus meskipun perkawinan antara orang tua putus. rumah tangga dan pelindung keluarga, bagi istri dan anaknya.
Pasal 46 2. Tanggung Jawab Terhadap Anak Bila Terjadi Perceraian
(1) Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak Pada dasarnya orang tua bertanggung jawab atas pemeliharaan anak-
mereka yang baik. anaknya, baik orang tua dalam keadaan rukun ataupun sudah dalam keadaan
(2) Jika anak lebih dewasa, ia wajib memelihara menurut bercerai.
kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila Pemeliharaan anak bisa disebut hadanah dalam kajian fiqh. Hadanah
mereka itu memerlukan bantuannya. adalah memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang
Pasal 47 meliputi pendidikan dan segala sesuatu yang diperlukan baik dalam bentuk
(1) Anak yang belum mencaoai umur 18 (delapan belas) atau belum melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat
pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya merusaknya. Hal ini dirumuskan garis hukumnya dalam pasal 41 Undang-
selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya. Undang perkawunan sebagai berikut.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum Pasal 41 UUP
didalam dan diluar pengadilan Akibat putusnya perkawinan karena perceraian
Selain kewajiban kewajiban di atas, kewajiban lain yang menjadi a. Baik ibu atau ayah tetap berkewajiban memelihara dan
tanggung jawab orang tua, yaitu hak kebendaan. Pasal 106 KHI mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak
mengungkapkan garis hukum sebagai berikut. bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan
Pasal 106 KHI memberikan keputusannya
(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan
anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampuan, dan tidak dan pendidikan yang diperlukan anak itu: bilamana bapak dalam
diperbolehkan memindahkan atau mengadaikan kecuali karena keperluan kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat
yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan sang anak itu menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
menghendaki atau kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi. c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban
karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1) bagi bekas istri.
Selain KHI tersebut, pasal 48 Undang-Undang perkawinan menegaskan Garis hukum yang terkandung dalam pasal 41 Undang-Undang
bahwa orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan Perkawinan tersebut, tampak tidak membedakan antara tanggung jawab
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan pemeliharaan yang mengandung nilai materiil dengan tanggung jawab
belas) tahun atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila pengasuhan anak yang mengandung nilai nonmateriil atau yang mengandung
kepentingan anak itu menghendakinya. nilai kasih sayang. Undang-Undang perkawinan penekanannya berpokuskan
Kalau seorang bayi disusukan oleh orang yang bukan melahirkannya, kepada nilai materiilnya, sedangkan pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang
maka perempuan yang menyuusui bai tersebut ditanggung oleh ayah dari bayi penekanannya meliputi kedua aspek tersebut, yakni sebagai berikut.
yang disusuinya itu. Hal ini diatur oleh Pasal 104 KHI sebagai berikut. Pasal 105 KHI
Pasal 104 KHI Dalam hal ini terjadi perceraian
(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur
ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan 12 tahun adalah hak ibunya
dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada
ayahnya atau walinya anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun dan dapat pemeliharaanya.
dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya
ayah ibunya.

4
Ketentuan KHI tersebut, tampak bahwa tanggung jawab seorang ayah (1) Sepertiga gaji untuk pegawai negeri sipil pria yang
kepada anaknya tidak dapat gugur walaupun ia sudah cerai dengan istrinya atau bersangkutan
ia sudah kawin lagi. Dapat juga dipahami ketika anak itu masih kecil (belum (2) Sepertiga gaji untuk bekas istrinya
baligh) maka pemeliharaannya merupakan hak ibu, namun biaya ditanggung (3) Sepertiga gaji untuk anaknya yang diterimakan kepada pegawai
oleh ayahnya. Selain itu, anak yang belum mumayyiz maka ibu mendapat negeri sipil pria yang bersangkutan
prioritas utama untuk mengasuh anaknya. Apabila anak sudah mumayyiz maka d. Apabila sebagian anak mengikuti pegawai negeri sipil yang
anak dapat memilih apakah ia memilih ayahnya atau ibunya untuk bersangkutan dan dan sebagian lagi mengikuti bekas istri, maka 1/3
memeliharanya. Lain halnya bila orang tua lalai dalam melaksanakan tanggung (sepertiga) gaji yang menjadi hak anak itu dibagi menurut jumlah anak.
jawab, baik dalam merawat dan mengembangkan harta anaknya. Orang tua Umpamanya seorang pegawai negeri sipil bercerai dengan istrinya, pada
tersebut dapat ducabut atau dialihkan kekuasannya bila ada alasan-alasan yang waktu perceraian terjadi mereka mempunyai 3 (tiga) orang anak, yang
menuntut pengadilan tersebut. Hal ini berdasarkan pada pasal 49 Undang- seorang mengikuti pegawai negeri sipil yang bersangkutan dan yang 2
Undang perkawinan yang berbunyi sebagai berikut. (dua) orang mengikuti bekas istri. Dalam hal ini demikian, maka gaji
Pasal 49 UUP yang menjadi hak anak itu dibagi sebagai berikut
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya (1) 1/3 (sepertiga) dari 1/3 (sepertiga) gaji = 1/9 (sepersembilan)
terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas gaji diterimakan kepada pegawai nengeri sipil yang bersangkutan
permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas (2) 2/3 (dua pertiga) dari 1/3 (sepertiga) gaji = 2/9 (dua
dan saudara kandung yang sudah dewasa atau pejabat yang berwenang persembilan) gaji diterimakan kepada bekas istrinya
dengan keputusan pengadilan dalam: Ketentuan diatas tidak berlaku apabila perceraian terjadi atas kehendak
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak istri yang bersangkutan, kecuali istri meminta cerai karena dimadu maka
b. Ia berkelakuan buruk sekali sesudah perceraian terjadi bekas istri tersebut berhak atas bagian gaji tersebut.
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap Selain itu, apabila bekas itri yang bersangkutan kawin lagi, pebayaran bagian
berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut. gaji dihentikan terhitung mulai bulan berikutnya bekas istri yang dimaksud
Kalau perceraian dilakukan olleh pegawai negeri, orang tua terikat dalam kawin lagi. Demikian juga bekas istri yang bersangkutan kawin lagi, sedangkan
pelaksanaan tanggung jawab terhadap anaknya. Hal ini ditur oleh pemerintah semua anak ikut kepada kepada bekas istri tersebut, maka 1/3 gaji tetap menjadi
melalui surat Edaran Kepala Badan Adminidtrasi Kepegawaian Negara hak anak yang diterimakan kepada bekas istri yang bersangkutan. Lain halnya,
(BAKN) Nonor 08/SE/1983 pada poin 19 yang menyatakan. pada waktu perceraian sebagian nak mengikuti pegawai negeri sipil dan
Apabila perceraian terjadi atas kehendak pegawai negeri sipil pria, maka sebagian lagi mengikuti bekas istri dan bekas istri kawin lagi dan anak tetap
ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak- mengikutinya, maka bagian gaji yang hak anak itu tetap diterimakan kepada
anaknya, dengan ketentuan sebagai berikut. bekas istri yang dimaksud.
a. Apabila anak mengikuti bekas itri, maka pembagian gaji Aturan diatas diberlakukan kepada pegawai negeri sipil, muatan
ditetapkan sebagai berikut. ketentuannya dapat juga diberlakukan kepada suami istri yang bercerai bila
(1) Sepertiga gaji untuk pegawai negeri sipil pria yang mereka mempunyai anak. Karena masa depan anak adalah tanggung jawab dari
bersangkutan kedua orang ruanya.
(2) Sepertiga gaji untuk istrinya
(3) Sepertiga gaji untuk anaknya yang diterimakan kepada bekas C. Asal Usul Anak
istrinya Asal usul anak merupakan dasar untuk menunjukan adanya hubungan
b. Apabila perkawinan tidak menghasilkan anak, maka gaji dibagi kemahraman (nasab) dengan ayahnya. Demikian yang diyakini dalam fiqh Sunni.
dua, yaitu setengah untuk pegawai negeri sipil pria yang bersangkutan Para ulama sepakat bahwa anak zina atau anak li’an, hanya mempunyai hubungan
dan setengah untuk istrinya nasab kepada ibu dan saudara ibunya. Berbeda dengan pemahaman ulama syi’ah
c. Apabila anak mengikuti pegawai negeri sipil pria yang
bersangkutan maka pembagian gaji ditetapkan sebagai berikut.

5
bahwa anak zina tidak mempunyai hubungan nasab dengan ibu atau bapak zinanya, berdasarkan hukum Islam Madzhab Syafi’i. Sebagai mana bunyi dari Pasal 42
karena itu pula anak zina tidak bisa mewarisi keduanya8 menyebutkan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
Di dalam Fikh Islam, tidak ditemukan definisi yang jelas dan tegas berkenaan sebagai akibat perkawinan yang sah “.
dengan anak yang sah, namun berangkat dari definisi ayat-ayat Al-Qur’an dan Memperhatikan pasal tersebut, didalamnya memberi toleransi hukum kepada
Hadits, dapat diberikan batasan, anak yang sah adalah anak yang lahir oleh sebab anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, meskipun jarak antara perkawinan dan
dan di dalam perkawinan yang sah. Selain itu, disebut sebagai anak zina (walad al- kelahiran anak kurang dari batas waktu minimum usia kandungan. Jadi, selama bayi
zina) yang hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya. yang dikandung itu lahir pada saat ibunya dalam ikatan perkawinan yang sah, maka
Secara Implisit Al-Qur’an, Surat Al-Mu’minun ayat 5-6 menyatakan : “ Dan anak itu adalah anak yang sah. Undang undang tidak mengatur batas minimal usia
orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau kandungan, baik dalam pasal-pasalnya maupun dalam penjelasannya.
budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela”. Adapun Pasal 43 yang berbunyi:
Selanjutnya didalam surat al-isyra’ayat 32 juga dijelaskan: “Jangan kamu dekati 1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
zina,sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji dan seburuk- buruk jalan”. perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Larangan-Larangan Al-Qur’an di atas, tidak saja dimaksudkan saja agar 2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam
setiap orang menjaga kehormatan dirinya, tetapi juga yang lebih penting Peraturan Pemerintah
menghindarkan dampak terburuk dari pelanggaran larangan itu. Lahirnya anak zina, Pasal 44:
sebenarnya adalah akibat dari pelanggaran larangan-larangan Allah tersebut. 9 1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh
Selanjutnya, fiqh Islam tidak memberikan defini yang tegas tentang anak yang sah, istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan
namun para ulama ada mendefinisikan anak zina sebagai kontra anak yang sah.” anak itu akibat dari perzinaan tersebut.
Anak zina adalah anak yang dilahirkan ibunya dari hubungan yang tidak sah. Dan 2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya atas permintaan
anak li’an adalah anak anak yang secara hukum tidak dinasabkan kepada bapaknya, pihak yang bersangkutan.
setelah suami isrti saling meli’an dengan sifat tuduhan yang jelas”. Definisi di atas Kalau memperhatikan pasal-pasal di atas, dapat dipahami bahwa anak yang
membicarakan anak zina dan anak li’an. Jika ada seorang laki-laki menikah dengan lahir dari ikatan perkawinan yang sah maka anak itu adalah anak yang sah. Namun
seorang perempuan. Dan perkawinan tersebut dengan perkawinan yang sah. Lalu si tidak dijelaskan mengenai status bayi yang dikandung dari akibat perzinaan atau
istri mengandung anak. Suami dapat mengingkari bahwa anak yang dikandung atau akad nikah dilaksanakan pada saat calon mempelai wanita itu hamil. Anak yang
yang dilahirkan oleh istrinya bukanlah anak yang sah nya itu apabila istri melahirkan lahir sesudah dilangsungkannya akad nikah maka status anak itu adalah anak yang
anak sebelum masa kehamilan maksudnya, istri melahirkan anak yang masa sah. Demikian pula status anak berdasarkan Kompilasi Hukum Islam.11
kehamilannya kurang dari minimal usia kandungan kalau dihitung dari awal Pasal 99 KHI
pernikahan dan atau apabila jika si istri melahirkan anak setelah lewat batas batas Anak yang sah adalah :
maksimal masa kehamilan dari perceraian.10 1) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
Batas minimal usia bayi dalam kandungan adalah 6 bulan dihitung dari saat 2) Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh
akad nikah dilangsungkan. Ketentuan itu diambil dari firman Allah dalam Surat Al- istri tersebut.
Ahqaf ayat 15 yanga artinya “mengandung dan menyapihnya adalah tiga puluh Pada pasal 99 KHI ini mengandung pembaharuan mana kala ada
bulan (dua setengah tahun)”. Berarti bahwa menyusui lalu mnyapihnya itu selama 2 kemungkinan bayi tabung, yaitu proses ovulasi yang direkayasa di luar rahim,
tahun atau 24 bulan. 30 bulan- 24 bulan = 6 bulan. Maka 6 bulan itu adalah masa melalui tabung yang disiapakn untuk itu kemudian dimasukkan lagi kedalam
minimal bayi dalam kandungan. Penduduk yang mayoritas merndiami negara rahim istri, dan dilahirkan pula oleh rahim istri tersebut . jadi tetap dibatasi
Republik Indonesia beragama islam yang bermadzhab Imam Syafi’i, sehingga pasal antara suami dan istri yang terikat oleh perkawinan yang sah.
42,43,44 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur asal – usul anak Pasal 100 KHI
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab
8 Ahmad Rofiq,Hukum Perdata Islam di Indonesia,Raja Grafindo dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Persada,2013:Jakarta,hal177 Pasal 101 KHI
9 Amir Nuruddin dan Azhari akmal Tarigan,Hukum Perdata Islam di
Indonesia,Kencana,2006:Jakarta,hal.277
10 Ibid,hal.278 11 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,Sinar Grafinda,2014:Jakarta,hal.63
6
Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedangkan istri tidak 4) Apabila tata cara yang a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka
menyangkalnya, dapat meneguhkannya dengan li’an. diangkap tidak terjadi li’an.
Pasal 102 KHI Pasal 128 KHI
(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, Li’an hanya sah apabila dilakukan dihadapan sidang Pengadilan Agama.
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari Menurut pasal 128 tersebut menjelakan bahwa Li’an harus di hadapan
sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah pengadilan ini untuk mewujudkan adanya kemaslahatan.dan Kemaslahatannya itu
suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat sangat besar baik yang bersangkutan maupun bagi kepentingan pembinaan
yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama. kesadaran hukum masyarakat maka upaya tersebut ditempuh. Mengapa KHI
(2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu terebut tidak dapat memiliki tata cara tersebut ? karena secara teknis hukum islam tidak menjelaskan
diterima secara konkret bahwa tata cara li’an harus di depan Pengadilan Agama.
Dalam pasal 101 dan 102 diatas membahas tentang li’an suami kepada istri, Adapun status anak Li’an adalah sama dengan anak zina yaitu dinasabkan
atau bisa disebut juga bahwa istri telah berzina, dan menyangkal bahwa anak yang kepada ibunya dan keluarga ibunya demikian kesepakatan para ulama’.Dan ini
dikandung oleh istri bukan lah anak sah nya. Akan tetapi, anak tersebut adalah hasil merujuk kepada suatu hadits yakni:12
zina istri dengan laki-laki lain. Dan tidak dijelaskan batas umur bayi dalam ّ ‫ان رجال ال عن امراته في زمن النّب‬
‫ي صلمم والحق الولد بالمرأة (روه‬ ّ ‫عن ابن عمر رضي هللا عنه‬
kandungan si istri dalam hal suami menyangkal sah tidaknya anak tersebut. Cuma )‫البخاري وابو داود‬
dijelaskan bahwa, jika suami ingin menyangkal anak tersebut batas waktu untuk “Riwayat dari Ibn Umar r.a bahwa seorang laki-laki telah meli’an istrinya
mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama adalah 180 hari sesdudah lahirnya atau pada zaman Nabi SAW. Dan beliau menafikan anak istrinya tersebut. Maka Nabi
360 hari. Itu tidak menunjukan batasan usia kandungan si istri tetapi batas suami SAW. Menceraikan antara keduanya dan mempertemukan nasab anaknya kepada
bisa mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama. ibunya”. (Riwayat Al-Bukhori dan Abu Dawud)
Mengenai masalah anak li’an terkadung di dalam Al-Qur’an Surat An-Nur Adapun pembuktian asal-usul anak diatur didalam Pasal 55 UUP Nomor 1
ayat 6 dan 7. Demikian juga jika si Istri menolak tuduhan dari suaminyadijelaskan Tahun 1974 jo Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi:
oleh Allah tata cara penolakan tuduhan didalam Surat An-Nur ayat 8 dan 9. Hal 1) Asal-Usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran
inilah yang dijadikan dasar Pasal 125, 126, 127, 128 KHI. yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
Pasal 125 KHI 2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) tidak ada, Pengadilan dalam
Li’an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri selama untuk mengeluarkan penetapan asal–usul seorang anak setelah diadakan
selama-lamanya. pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti
Pasal 126 KHI 3) atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) ini, maka instansi
Li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang
anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya. Sedangkan istri bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut. Ketentuan hukum tentang perlunya akta kelahiran sebagai bukti autentik asal
Pasal 127 KHI usul anak, meski sudah diupayakan sejak lama. Didalam hukum islam, asal usul
Tata Cara Li’an diatur sebagai berikut: anak dibuktikan dengan adanya ikatan perkawinan yang sah, dipertegas dengan
1) Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau batasan minimal atau maksimal yang lazim usia janin dalam kandungan, maka
pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata ”laknat pembuktian secara formal, kendati ini bersifat administratif, asal-usul anak dengan
atas dirinya atas tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta” akta kelahiran atau surat kelahiran. Penentuan perlunya akta kelahiran tersebut
2) Istri menolak tuduhanj dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah didasarkan atas prinsip maslahah mursalah, yaitu merealisasikan kemaslahatan bagi
empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”. anak. Selain anak tersebut bisa mengetahui secara persis siapa kedua orang tuanya,
diikuti dengan sumpak kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya bila dan juga jika ada permasalahan, dengan bantuan akta anak tersebut dapat melakukan
tuduhan atau pengingkaran tersebut benar”. upaya hukum.
3) Tata cara pada huruf a dan b tersebut merupakan satu-kesatuan yang tak
terputuskan.

12 Ahmad Rofiq,op.cit,hal.186
7
Manfaat lain dari akta kelahiran atau yang sejenis, adalah sebagai identitas
resmi yang akan digunakan, misalnya untuk keperluan sekolah, pengurusan paspor,
dan lain-lain. Jadi secara internal, akta kelahiran merupakan identitas dan asal usul
anak, secara eksternal ia merupakan identitas dari diri yang bersangkutan.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dapat kita ambil kesimpulan dari penjelasan diatas bahwa dalam konteks hukum
dan kajian perkawinan adalah perwalian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 huruf (h)
Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan bahwa perwalian adalah “Perwalian
adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan
hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua
orang tua, orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Pemeliharaan anak adalah pemenuhan berbagai aspek kebutuhan primer dan
sekunder anak. Pemeliharaan meliputi berbagai aspek, yaitu pendidikan, biaya hidup,
ketentraman, kesehatan, dan segala aspek yang berkaitan dengan kebutuhannya. Dalam
agama Islam diungkapkan bahwa tanggung jawab ekonomi berada dipundak suami sebagai
kepala rumah tangga, dan tidak menutup kemungkinan tanggung jawab itu berarih kepada
istri untuk membantu suaminya bila suami tidak mampu melaksanakan kewajibannya.
Asal usul anak merupakan dasar untuk menunjukan adanya hubungan
kemahraman (nasab) dengan ayahnya. Demikian yang diyakini dalam fiqh Sunni. Para
ulama sepakat bahwa anak zina atau anak li’an, hanya mempunyai hubungan nasab kepada
ibu dan saudara ibunya. Berbeda dengan pemahaman ulama syi’ah bahwa anak zina tidak
mempunyai hubungan nasab dengan ibu atau bapak zinanya, karena itu pula anak zina
tidak bisa mewarisi keduanya.

DAFTAR PUSTAKA

UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.


Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Al Qur’an dan Hadist
Abdul Manan Hasyim, Hakim Mahkamah Syariah Provinsi Aceh di download dari
http://www.idlo.int/DOCNews/240DOCF1.pdf. 2010 Diakses pada 20 april 2015
Ahmad Rofiq,Hukum Perdata Islam di Indonesia,Raja Grafindo Persada,2013:Jakarta
Amir Nuruddin dan Azhari akmal Tarigan,Hukum Perdata Islam di
Indonesia,Kencana,2006:Jakarta
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,Sinar Grafinda,2014:Jakarta

Anda mungkin juga menyukai