Anda di halaman 1dari 24

PRESENTASI KASUS

GUILLAIN BARRE SYNDROME


Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Syaraf di RSUD Salatiga

Disusun oleh :

Disusun Oleh :

Puji Arifianti Ramadhany


20120310090

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan, presentasi kasus dengan judul

GUILLAIN BARRE SYNDROME

Disusun Oleh :

Puji Arifianti Ramadhany

20120310090

Telah dipresentasikan

Hari/tanggal: Januari 2017

Disahkan oleh:

Dokter pembimbing,

dr. Dony Ardianto, Sp. S


BAB I

STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN

Nama : An. E

Umur : 14 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Pelajar

Alamat : Domas
ANAMNESIS

Keluhan Utama

Kaki kiri tiba-tiba terasa lemas

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan kaki kiri tiba-tiba terasa lemas setelah
selesai berenang. Tidak ada riwayat trauma dan tidak demam. Pasien diberikan terapi manitol
namun keadaannya belum membaik. Keesokan hari nya pasien mengeluh kedua kaki nya
tidak bisa digerakkan dan tidak bisa untuk berjalan. Kedua tangan masih bisa digerakkan dan
tidak dikeluhkan lemas oleh pasien. Keluhan sakit kepala, mual, muntah disangkal oleh
pasien. Kemudian pasien diberikan terapi steroid dan keesokan harinya mulai membaik.
Pasien merasakan kaki nya sudah mulai dapat digerakkan. Keluhan kesemutan, kebas, dan
penurunan sensorik disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat keluhan yang sama disangkal oleh pasien. Riwayat demam tinggi dalam jangka
waktu lama disangkal oleh pasien, riwayat sakit asma atau sesak nafas atau batuk pilek dalam
waktu lama disangkal oleh pasien. Riwayat diare atau nyeri perut disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga

Adanya anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama disangkal oleh pasien

Riwayat Personal Sosial

Saat ini pasien tinggal dengan kedua orangtua nya dan masih bersekolah namun tidak
mengikuti kegiatann tambahan dikarenakan orangtua nya mengkhawatirkan kondisi
kesehatan nya.

Anamnesis Sistem

Sistem Serebrospinal : Tidak ada keluhan

Sistem Kardiovaskular : Tidak ada keluhan

Sistem Respirasi : Tidak ada keluhan


Sistem Gastrointestinal : Mual, muntah

Sistem Muskuloskeletal : Tangan dan kaki sebelah kiri terasa lemas

Sistem Integumental : Tidak ada keluhan

Sistem Urogenital : Tidak ada keluhan

PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan Umum : cukup
b. Kesadaran : compos mentis
c. GCS : E4M6V5 = 15
d. Vital Sign : TD 110/60 mmHg
N : 88 x/menit
R : 20 x/menit
S : 36,7 °C
e. Status Generalis
- Kepala : normocephal
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, reflek cahaya (+/+)
- Leher : Trakea di tengah, limfonoduli tidak teraba, JVP tidak meningkat
- Thorax
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba, tidak kuat angkat
Perkusi : Tidak ditemukan cardiomegali
Auskultasi : S1S2 reguler, bising (-), gallop (-)

Pulmo
Inspeksi : Simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-)
Palpasi : Vokal fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : SD : Vesikuler
ST : Tidak ada
- Abdomen
Inspeksi : Tampak datar
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), massa (-), hepar/lien tidak teraba
Perkusi : Timpani seluruh lapangan abdomen
Auskultasi : Bising usus (+) Normal
- Ekstremitas : superior : edema (-) akral hangat
Inferior : edema (-) akral hangat

f. Status Neurologis
Pemeriksaan Nervus Cranialis
N I (Olfaktorius) Kanan Kiri
Tidak dilakukan
N II (Optikus)
Daya penglihatan N N
Pengenalan warna N N
Medan penglihatan N N
N III (Okulomotorius)
Ptosis - -
Gerakan bola mata ke
Superior N N
Inferior N N
Medial N N
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Bentuk pupil bulat bulat
Reflek cahaya langsung + +
Reflek kornea + +
N IV (Troklearis)
Gerak bola mata ke lateral bawah N N
Diplopia - -
Strabismus - -
N V (Trigeminus)
Menggigit N N
Membuka mulut N N
N VI ( Abdusens)
Gerakan mata ke lateral N N
N VII (Facialis)
Kerutan kulit dahi N N
Kedipan mata N N
Mengerutkan dahi N N
Mengerutkan alis N N
Menutup mata N N
Sudut mulut N N
N VIII (Akustikus)
Mendengar suara + +
Mendengar detik arloji + +
N IX (Glosofaringeus)
Tidak dilakukan
N X (Vagus)
Denyut nadi 88x/ menit 88x/menit
Bersuara + +
N XI (Asesorius)
Memalingkan kepala + +
Sikap bahu N N
Mengangkat bahu N N
Trofi otot bahu eutrofi eutrofi
N XII (Hipoglosus)
Sikap lidah N N
Tremor lidah - -
Menjulurkan lidah + +
Trofi otot lidah eutrofi eutrofi

ANGGOTA GERAK
Inspeksi :
Ekstremitas superior Ekstremitas inferior
Drop hand : -/- Drop foot : -/-
Pitcher hand : -/- Kontraktur : -/-
Claw hand : -/- Warna :N
Udem : (-)

Ekstremitas superior Ekstremitas inferior


Gerakan B-B-B/B-B-B B-B-B/B-B-B
Kekuatan 5-5-5/5-5-5 5-5-5/4-4-4
Tonus N/N N/N
Sensibilitas N N
Trofi eutrofi eutrofi
Biseps Triseps Radius Ulna Patella Achilles
Reflek Fisiologis +/+ +/ + +/+ +/+ + /+ +/+
Reflek Patologis Kanan Kiri
Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaefer - -
Gonda - -
Hoffmann-Tromner - -
Bing - -
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Sindrom Guillain-Barre adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan

akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut

Bosch, SGB merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai adanya paralisis flasid

yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnyanya

adalah saraf perifer, radiks dan nervus kranialis.1

Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic

Polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious

Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain

Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending Paralysis, dan Landry Guillain Barre

Syndrome.

II. SEJARAH

Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama

kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah Landry ascending paralysis

diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan

kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan

tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan cerebrospinal (CCS)

tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi

sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut

Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain

berdasarkan penyakit klinis, pemeriksaan CCS, juga adanya kelainan pada


pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan

kecepatan hantar saraf pada EMG.

III. EPIDEMIOLOGI

Penyakit ini terjadi diseluruh dunia, kejadian pada semua musim. Dowling dkk

mendapatkan frekuensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur dimana

terjadi peningkatan kasus influenza. Angka kejadian dunia 0.6%-2% kasus/100.000

orang/ tahun, negara barat sekitar 1-2% kasus/ 100.000 orang/tahun. Bisa terjadi

disemua tingkatan usia mulai dari anak anak sampai dewasa,sering pada anak anak

dan remaja (China),dan sering pada orang tua > 70 tahun (pada negara barat). Lebih

sering ditemukan pada kaum pria. Bukan penyakit keturunan .tidak dapat menular

lewat kelahiran ,terinfeksi atau terjangkit dari orang lain yang mengidap GBS, bisa

timbul seminggu atau dua seminggu atau dua minggu setelah infeksi usus atau

tenggorokkan.1

IV. ETIOLOGI

Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti

penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan penyakit yang

mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain: 3,4

1. Infeksi

2. Vaksinasi

3. Pembedahan

4. Kehamilan atau dalam masa nifas

5. Penyakit sistemik

a. Keganasan
b. Systemic Lupus Erithematous

c. Tiroiditis

d. Penyakit Addison

SGB seringkali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insiden kasus

SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56%- 80%, yaitu 1 sampai 4

minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran nafas atas atau infeksi

gastrointestinal.

Telah diketahui bahwa infeksi salmonella typosa dapat menyebabkan SGB.

Kemungkinan timbulnya sindrom guillain barre syndrom pada demam tyfoid perlu

lebih diketahui dan disadari. Khususnya di indonesia dimana demam tyfoid masih

merupakan penyakit menular yang besar.

Tabel 1. Jenis-Jenis Infeksi yang Sering menjadi Penyebab SGB

Infeksi Definite Probable Possible


Virus CMV HIV Influenza
EBV Varicella – Zooster Measles
Vaccinia/ smallpox Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo
Bakteri Campylobacter Typhoid Borrella B
jejuni Paratyphoid
Mycoplasma Brucellosis
pneumonia Chlamydia
Legionella
Listeria
V. PATOLOGI

Secara makroskopik tidak ditemukan adanya perubahan pada saraf pasien

penderita SGB. Namun secara mikroskopik tampak adanya infiltrasi sel mononuclear di

perivenula dan ditemukan adanya demielinisasi segmental di susunan saraf tepi.

Meskipun penyakit ini sering didahului oleh bermacam-macam penyakit, namun patologi

yang ditemukan sama pada semua pasien GBS. Infiltrasi perivenula terdiri atas limfosit

berukuran kecil sampai sedang, makrofag dan sedikit sel PMN pada stadium awal

penyakit. Namun pada stadium lanjut ditemukan adanya sel plasma dan sedikit sel mast.

Limfosit yang berukuran kecil sampai sedang akan mudah untuk keluar dari vena masuk

ke dalam parenkim saraf. Limfosit yang berukuran besar akan mengalami transformasi

secara aktif melalui fagositosis oleh makrofag.5

Daerah yang terinflamasi akan diinfiltrasi sel mononuclear kemudian akan terjadi

demielinisasi segmental. Pada mulanya yang terlihat hanya limfosit saja, tapi setelah 2-3

minggu, dengan berkembangnya penyakit, yang mendominasi adalah sel makrofag.

Makrofag berperan penting dalam terjadinya destruksi myelin. Makrofag menyebabkan

lamella myelin terpisah dan mencerna membran yang terpisah. Destruksi myelin

berlangsung progresif ke arah lokasi sentral nucleus sel schwann. Dengan mikroskop

cahaya dapat terlihat myelin yang terputus dan berbentuk ovoid juga makrofag yang

mencerna myelin.5

Peningkatan aktivitas asam posphatase dan asam proteinase menandakan aktivasi

lisosom dalam makrofag. Lesi inflamasi yang hebat menyebabkan terjadinya

demielinisasi sampai mengakibatkan terputusnya akson dan degenerasi wallerian.

Leukosit PMN juga tampak pada lesi yang hebat, mungkin sebagai respons dari jaringan

yang nekrotik. Pada kasus dengan degenerasi wallerian yang luas, dalam sel cornu
anterior dapat terlihat central chromatolysis. Sedang pada keadaan degenerasi axonal

dapat terlihat atrofi serabut otot akibat denervasi.

VI. PATOGENESIS

Patogenesis Sindrom Guillain-Barre sampai saat ini masih belum jelas. Tetapi

beberapa penelitian mempunyai kecenderungan peranan dasar patogenesa yang

bersifat imunologik,1-3 Infeksi viral atau infeksi gabungan virus dan bakteri yang

mendahului penyakit ini sering memberi kesan adanya respons yang diperantarai oleh

sel. Patologi SGB yaitu inflamasi sel T di perivenula, mendukung patogenesis SGB

diperantarai sel. Respons yang diperantarai sel dimulai dengan presentasi antigen

spesifik dan berhubungan dengan kompleks major histocompatibility – antigens. Sel

T tidak dapat berproliferasi atau mengaktivasi makrofag tanpa adanya antigen.

Kompleks MHC – antigen mengaktifkan T helper untuk menghasilkan gamma

interferon dan TNF yang akan mengaktifkan makrofag, dengan akibat destruksi sel

schwann. T-helper juga menghasilkan interleukin-2 yang mengaktivasi pertumbuhan

sel B sehingga menghasilkan antibodi. Kompleks antigen dan antibodi tersebut akan

mengaktivasi komplemen sehingga menyebabkan lisisnya sel schwann, aktivasi dan

kemotaksis makrofag, peningkatan permeabilitas vaskuler dan degranulasi sel mast.

Jadi dalam keadaan ini aktivasi komplemen berpartisipasi secara langsung atau secara

tidak langsung dalam merusak myelin.5

Bukti-bukti bahwa imunopatogenesis merupakan mekanisme yang

menimbulkan jejas saraf tepi pada sindrom ini adalah :

1. Didapatnya antibodi atau adanya respons kekebalan seluler terhadap agen

infeksi pada saraf tepi.

2. Adanya auto antibodi atau kekebalan seluler terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatnya penimbunan kompleks antigen antibodi pada pembuluh saraf tepi

yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi.2

VII. KLASIFIKASI

1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)

Yang merupakan jenis GBS yang paling banyak ditemukan, dan sering

disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang

membrane sel schwann.

2. Acute motor axonal neurophaty (AMAN)

Atau sindroma paralitik Cina: menyerang nodus motorik ranvier dan sering terjadi

di cina dan meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang

aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan dapat

berlangsungdengan cepat. Didapati antibody Anti GD1a, sementara antibody anti-

GD3 lebih sering ditemukan pada AMAN.


3. Acute moyor sensory axonal neurophaty (AMSAN)

Mirip dengan AMAN , juga menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga

menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang berat. Penyembuhan

lambat dan sering tidak sempurna.

4. Fisher’s syndrome (MFS)

Merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan bermanifestasi sebagai paralysis

desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang biasa terjadi. Umumnya mengenai

otot otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala yakni: oftalmoplegia,

ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibody Anti GQ1b pada 90% kasus.

5. Acute panautonomia

Merupakan varian GBS yang paling jarang: dihubungkan dengan angka kematian

yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskuler dan disritmia.

6. Ensefalitis batang otak Bickerstaff (BBE)

Ditandai oleh onset akut oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran,

hiperrefelksia atau refleks babinski. Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun

diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan irregular terutama pada batang otak

seperti pons, midbrain, dan medulla spinalis. Meskipun gejalanya berat namun

prognosis BBE cukup baik.

VIII. GEJALA KLINIS

Gangguan autonom terlihat pada lebih dari 50%, gangguan otonomik biasanya

bermanifestasi sebagai takikardi tetapi bisa menjadi gangguan yang lebih serius yaitu

disfungsi saraf otonomik termasuk aritmia, hipotensi, hipertensi, dan dismotilitas

sistem gastrointestinal. 1-3,8


Kriteria diagnosis yang umum dipakai adalah kriteria dari National Institute of

Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS) yaitu,

a. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis

- Terjadinya kelemahan yang progresif

- Hiporefleksi

b. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB

- Progresifitas : gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,

maksimal 4 minggu , 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80%

dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.

- Relative simetris

- Gejala gangguan sensibilitas ringan

- Gejala saraf cranial + 50% terjadi parese N.VII dan sering

bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang

mempersarafi lidah dan otot otot ektraokuler atau saraf otak lain.

- Pemulihan : dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti,

dapat memanjang sampai beberapa bulan

- Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,

hipertensi dan gejala vasomotor

- Tidak ada demam saat onset gejala neurologist.

c. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:

- Protein CSS. Meningkat setelah gejala 1 mgg atau terjadi

peningkatan pada LP serial

- Jumlah sel CSS < 10 MN /mm3

- Varian : tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu

gejala dan Jumlah sel CSS : 11 – 50 MN/ mm3


d. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis

- Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus.

Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal

Diagnosis SGB terutama ditegakkan secara klinis. SGB ditandai dengan

timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks refleks tendon dan

didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi

sitoalbumin pada liquor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.2-4,8

IX. KRITERIA DIAGNOSTIK

Kelemahan ascenden dan simetris. Anggota gerak bawah terjadi lebih dulu dari

anggota gerak atas. Kelemahan otot paroximal lebih dulu terjadi dari otot distal,

kelemahan otot trunkal, bulbar dan otot pernapasan juga terjadi.

Kelemahan terjadi akut dan progresif bisa ringan sampai tetraplegi dan gangguan

nafas. Penyebaran hiporefleksia menjadi gambarn utama, pasien SGB biasanya

berkembang dari kelemahan nervus cranial, seringkali kelemahan nervus fasial atau

faringeal. Kelemahan diafragma sampai nervus phrenicus sudah biasa. Sepertiga

pasien SGB inap membutuhkan ventilator mekanik karena kelemahan otot respirasi

atau orofaringeal.

a. Puncak defisit dicapai 4 minggu

b. Recovery biasanya dimulai 2 – 4 minggu

c. Gangguan sensorik biasanya ringan bisa paresthesi, baal, atau sensasi sejenis.

d. Gangguan Nn. cranialis: facial drop, diplopia, disartria, disfagis (N.

VII,VI,V,IX, dan X)

e. Banyak pasien mengeluh nyeri punggung dan tungkai


Menurut Maria Belladonna terdapat beberapa tanda abnormalitas :

a. Abnormalitas motorik (kelemahan)

Mengikuti gejala sensorik , khas : mulai dari tungkai , ascenden ke lengan – 10%

dimulai dengan kelemahan lengan – walaupun jarang, kelemahan bisa dimulai

dari wajah (cervical – pharyngeal – brachial) kelemahan wajah terjadi pada

seridaknya 50% pasien dan biasanya bilateral – reflek: hilang/pada sebagian besar

kasus.

b. Abnormalitas sensorik

Klasik : parestesi terjadi 1-2 hari sebelum kelemahan , glove & stocking sensation,

simetris, tak jelas batasnya – nyeri bisa berupa mialgia otot panggul, nyeri

radikuler, manifes sebagai sensori terbakar, kesemutan, tersetrum – ataksia

sensorik krn propioseptif terganggu – variasi : parestesi wajah & trunkus.

c. Disfungsi otonom

- hipertensi – hipotensi – sinus takikardi/bradikardi

- aritmia jantung – illeus - refleks vagal

- retensi urin

Gambar 1. Fase Perjalanan Klinis


Fase-fase serangan SGB Maria Belladonna

a. Fase prodromal : Fase sebelum gejala klinis muncul

b. Fase laten

- Waktu antara timbul infeksi/prodromal yang mendahuluinya sampai

timbulnya gejala klinis.

- Lama : 1-28 hari, rata rata 9 hari.

c. Fase progresif

- Fase defisit neurologis (+)

- Beberapa hari – 4 minggu, jarang >8 minggu

- Dimulai dari onset (mulai terjadi kelumpuhan yang bertambah berat sampai

maksimal

- Perburukan >8 minggu disebut chronic inflamatory demyelinating

polyradiculoneurophatty (CIDP)

d. Fase plateau

- Kelumpuhan telah maximal dan menetap

- Fase pendek : 2 hari, > 3 minggu, jarang > 7 minggu

e. Fase penyembuhan

- Fase perbaikan kelumpuhan motorik

- Beberapa bulan.

X. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. LCS

 Disosiasi sitoalbumin

Pada fase akut terjadi peningkatan protein LCS > 0,55 gr/L , tanpa

peningkatan dari sel < 10 limfosit/mm3.


b. EMG

 Gambaran poliradikuloneuropati

 Test elektrodiagnostik dilakukan untuk mendukung klinis bahwa paralisis

motorik akut disebabkan oleh neuropati perifer

 Pada EMG kecepatan hantar saraf melambat dan respon F dan H abnormal

c. Ro: CT atau MRI

Untuk mengeksklusi diagnosis lain seperti mielopati.

XI. DIAGNOSIS BANDING

1. Polineuropati Defisiensi Vitamin

Perjalanan penyakit progresif lambat (berbulan – bulan), gejala sensorik yang

menonjol, kelemahan otot bagian distal, jarang mengenai otot pernafasan, saraf

kranialis atau saraf otonom. Pada LP tidak ada kenaikan protein liquor.2

2. Miastenia Gravis

Kelemahan otot terutama yang sering digunakan seperti otot bola mata, otot –

otot untuk menelan, berbicara. Tidak ada keluhan sensorik. Tes prostigmin membaik.

Didapatkan pembesaran tymus.2

3. Paralisis Periodic Hipokalemia

Kelemahan otot pada pagi hari sehabis bangun tidur. Tidak ada keluhan

sensorik yang diakibatkan oleh kadar kalium serum yang rendah. Dengan infuse KCl

dalam larutan elektrolit akan membaik gejalanya.2

4. Transverse Myelitis

Kelemahan otot terjadi setinggi lesi ke bawah dan tidak pernah mengenai otot

wajah dan orofaring. Biasanya refleks menghilang bila terjadi spinal shock. Gejala
sensoris biasanya segmental sesuai dengan lesi. Terjadi inkontineasia urin yang

persisten. Tetapi jarang terjadi gangguan pernafasan.8

5. Antibiotic Induced Paralysis

Terjadi beberapa jam sampai beberapa hari setelah minum obat. Ganguan

pernafasan terjadi sebelum timbulnya kelemahan otot. Juga sering terjadi ptosis dan

internal ophthalmoplegia. Protein LCS biasanya normal.8

6. Polymyositis

Sering terjadi kelemahan pada leher dan tubuh,namun tidak dijumpai adanya

gangguan sensorik. Refleks biasanya normal tapi bisa sedikit menurun. Tidak

ditemukannya disfungsi otonom juga jarang melibatkan saraf cranial. Sering dijumpai

fenomena Raynauds dan terjadi rash. Tidak ada kenaikan protein LCS. Pada EMG

ditemukan fibrilasi.8

7. Vasculitis Neuropathy

Terjadi demam, gejala sensoris yang terjadi asimetris begitu juga kelemahan

yang terjadi asimetris. Jarang mengenai saraf cranial, tapi bila mengenai saraf tersebut

biasanya asimetris. Tidak ada kenaikan protein dalam LCS.8

8. Poliomyelitis

Kelemahan otot tidak simetris dan sering terdapat atrofi otot. Dijumpai adanya

demam tapi jarang terjadi gangguan sensorik. Pada LCS ditemukan pleositosis.8

9. Rabies

Ada demam dan gangguan sensoris biasanya unilateral. Otot kaki lemas tetapi

asimetris. Refleks pada tangan normal. Paresis bulbar tipe spasme, asimetris dan

terjadi hydrophobia. Sering terjadi gangguan pernafasan dengan tipe pernafasan

periodic, irregular. Pada LCS ditemukan pleositosis.8


XII. PENATALAKSANAAN

Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum

bersifat simtomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri,

perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa)

cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah

mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem

imunitas (imunoterapi).6,8

a. Kortikosteroid

Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid

tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS.

b. Plasmafaresis

Plasmafaresis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor

autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada GBS

memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat,

penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang

lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml

plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila

diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).

c. Pengobatan imunosupresan

Imunoglobulin IV (IVIg). Pengobatan dengan gamma globulin intervena

lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek

samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari

selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap

15 hari sampai sembuh.

d. Obat sitotoksik. Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:


- 6 merkaptopurin (6-MP)

- azathioprine

- cyclophosphamid

Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit

kepala.4,6,8

XIII. PROGNOSIS

Pada umumnya, sekitar 3% sampai 5% pasien tidak dapat bertahan dengan

penyakitnya, tetapi pada sebagian kecil penderita dapat bertahan dengan gejala sisa.

95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan

antara lain pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal, mendapat terapi

plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset, progresifitas penyakit lambat dan

pendek, dan terjadi pada penderita berusia 30-60 tahun. 1,4,5

Faktor yang mempengaruhi buruknya prognosis :

 Penurunan hebat amplitudo potensial aksi berbagai otot

 Umur tua

 Kebutuhan dukungan ventilator

 Perjalanan penyakit progresif dan berat

Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian

kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa.95% terjadi

penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain:

 Pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal

 Mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset

 Progresifitas penyakit lambat dan pendek

 Pada penderita berusia 30-60 tahun.


DAFTAR PUSTAKA

1. Howard, L.Werner, Lowrence P. Levitt. Buku Saku Neurologi, Edisi ke V, Jakarta :


EGC, 2001.

2. Stoll BJ, Kliegman RM. Behrman-Nelson Pediatric Textbook. Pennsylvania :


Saunders inc, 2004.

3. Mardjono M, Sidharta P, Neurologi Klinis Dasar, Edisi VIII, Jakarta : Dian Rakyat,
2000.

4. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of Neurology 8th Ed. USA : McGraw
Hill, 2005.

5. Menkes JH, Sarnat HB, Moser FG. Child Neurology 6th Ed. London : Williams &
Wilkins, 2000.

6. Davids HR. Guillain-Barre Syndrome. Available from : URL :


http://emedicine.medscape.com/article/315632-overview. [diakses tanggal 16
Desember 2016]. Last Update ; 2012.

7. Lewis RA. Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy. Available


from : URL : http://emedicine.medscape.com/article/1172965-overview. [diakses
tanggal 16 Desember 2016]. Last update ; 2009.

8. Mumenthaler and Mattle. Fundamental of Neurology. Thieme. 2006. Page 146-147.

Anda mungkin juga menyukai