Kasus Tugas Hukum Bisnis
Kasus Tugas Hukum Bisnis
Sistem yang mirip tanpa komoditi sama sekali, dipraktekkan ‘Koperasi Insan
Futura Mandiri’ dengan investasi Rp.400.000,- juga dengan kelipatan 3 down-line,
sedangkan ‘Dahita Group’ melakukannya lebih murah dengan investasi Rp.5.000,-
yang diperluas melalui media internet. Ada juga Arisan Multi Level yang
diselenggarakan oleh Executive Business Club, caranya ada daftar berisi 4 nama +
alamat e-mail + account bank yang dikirimkan kepada 10 calon, calon harus mengirim
Rp.20.000,- kepada nama nomor 1, kemudian nama nomor 2 menjadi nomor 1, 3
menjadi 2, dan 4 menjadi 3, sedangkan nama peserta baru menjadi nomor 4. Daftar
baru dikirimkan kepada 10 orang calon peserta baru. Arisan berantai lalu menjadi
‘money-game’ karena dengan tiadanya resiko, setiap orang bisa memulainya sendiri.
Di Indonesia korban money game berkedok arisan berantai dan koperasi simpan pinjam
yang menjadi kasus penipuan di pengadilan, adalah antara lain korban arisan yang
diselenggarakan oleh: Yayasan Keluarga Adil Makmur Ongkowijoyo pada 1987, PT
Sapta Mitra Ekakarya (Arisan Danasonic) 1995, Langrose, dan Pentagono yang
sampai menimbulkan kemarahan puluhan ribu orang yang menimbulkan huruhara
kerusuhan dan pembakaran banyak gedung di kota Pinrang yang disebabkan ulah
‘Koperasi Simpan Pinjam’ (Kospin) yang dengan investasi Rp.10 juta menjanjikan
bonus Rp.30 juta dalam tiga bulan! Marilah kita belajar dari peristiwa itu!
Sedangkan kasus penipuan terbaru di tahun 2008 ini adalah CV. Sukma di
Semarang dan CV Jamina di Tegal. Di mana kedua perusahaan tersebut sama-sama
menjanjikan program pelunasan kredit kendaraan bermotor dengan modus yang hampir
sama yaitu, katakanlah si Paijo bergabung dengan menyetorkan uang sebesar Rp.
700.000 dan tergantung paket yang diambil (istilahnya begitu), kemudian langkah
berikutnya Paijo harus mengajak 2 orang dan 2 orang yang sudah di rekrut Paijo juga
harus mengajak 2 orang lagi. Dengan sistem tersebut, baik CV Sukma maupun CV
Jamina menjanjikan Paijo uang dalam bentuk subsidi sebesar Rp 500.000 setiap bulan
selama 26 bulan berturut-turut kepada nasabah sebagai bantuan kredit motor, bahkan
menjanjikan subsidi Rp 9 juta pada bulan ke-9.
trafficking
Kasus trafficking atau perdagangan manusia kembali merebak di berbagai daerah. Baru-baru ini,
Kepolisan Daerah Kalimantan Barat membongkar sindikat perdagangan perempuan di bawah
umur yang akan dijadikan pemuas nafsu lelaki hidung belang di sejumlah hotel berbintang di
Pontianak (Sinar Harapan, 9 Februari 2012).
Beberapa waktu lalu, Kepolisian Resor Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya juga berhasil
membongkar kasus perdagangan manusia dengan korban delapan orang perempuan (Antara, 27
Desember 2011).
Maraknya kasus trafficking juga dapat dilihat dari data International Organization for Migration
(IOM) yang menyebutkan bahwa Indonesia menempati posisi teratas sebagai negara asal korban
perdagangan manusia (trafficking). Hingga Juni 2011 lalu, sedikitnya tercatat ada 3.909 korban
perdagangan manusia dan sebagian besar korbanya kaum perempuan.
Kasus perdagangan perempuan semacam ini sebenarnya bukan hal baru yang ada di muka bumi
ini. Modus operandinya beragam. Pertama, bisa menggunakan kedok PJTKI atau lembaga
penyalur tenaga kerja.
Modus operandi yang kerap dilakukan lembaga ini juga beragam, mulai dari pemalsuan
dokumen-dokumen seperti KTP, ijasah, akta kelahiran, dan surat izin orangtua atau yang berhak.
Jadi sering kali identitas korban trafficking yang terbongkar tidak sama dengan alamat aslinya.
Modus operandi kedua, biasanya para penyalur tenaga kerja tidak menjelaskan isi perjanjian
kontrak kerja antara pihak penyedia dengan pencari kerja. Lebih parahnya lagi, para korban
trafficking ini kerap dijual sebagai pemuas nafsu seksual di tempat-tempat hiburan. Mereka
bukannya ditempatkan di tempat kerja yang dijanjikan pada awalnya.
Apapun kedok dan modus operandinya yang dipakai, lazimnya bermuatan iming-iming kerja
enak, gaji besar, dan masa depan cerah. Pendek kata, semua hanya berupa embusan angin surga
yang bermuatan penipuan.
Namun, dalam kasus ini tentu bukan kategori tindak pidana umum (pidum). Ini melainkan
sebuah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang seharusnya disejajarkan dengan tindak
kejahatan korupsi dan terorisme.
Sebagai sebuah kejahatan luar biasa, sudah sepatutnya sanksi hukum pelaku tindak pidana
trafficking pun harus “luar biasa”, dalam arti hukuman terberat: pidana mati!
Akar Masalah
Selain memberikan hukuman berat pada pelaku tindak trafficking yang sering kali melibatkan
lintas negara dan benua ini, pemerintah juga harus menyelesaikan akar permasalahan terjadinya
trafficking.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab dan bersifat mendasar. Pertama, rendahnya tingkat
sosial ekonomi masyarakat (kemiskinan). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka
kemiskinan hingga September 2011 mencapai 12,36 persen atau sekitar 29,89 juta orang.
Dari sekian banyak jumlah kemiskinan yang ada itu, sebanyak 10,95 juta orang tinggal di
perkotaan. Sisanya, sebanyak 18,94 juta orang tinggal di daerah perdesaan dan berprofesi
sebagai buruh tani serta petani berlahan sempit.
Tingginya tingkat kemiskinan di perdesaan ini disebabkan adanya ketimpangan hak atas
kepemilikan tanah.
Ketimpangan kepemilikan tanah ini setidaknya dapat dilihat dari data BPN-RI yang
menyebutkan, sekitar 56 persen tanah di seluruh Indonesia saat ini hanya dikuasai sekitar 0,2
persen orang saja. Di sisi lain, sekitar 85 persen petani Indonesia adalah petani gurem dan tidak
memiliki tanah alias buruh tani.
Selain itu, tingginya tingkat kemiskinan di perdesaan juga dapat dilihat dari fakta desa tertinggal
yang ada. Dari 65.554 desa yang ada di Indonesia, 51.000 desa masih berstatus desa tertinggal.
Sebanyak 20.633 desa di antaranya adalah desa miskin dan terbelakang.
Kedua, tingginya tingkat pengangguran dan sulitnya mencari pekerjaan juga menjadi persoalan
tersendiri di negeri ini. Agustus 2011 lalu, BPS mencatat sebayak 6,56 persen usia produktif
berstatus sebagai penganggur terbuka. Banyaknya jumlah penganggur di usia produktif ini
sebenarnya dapat diatasi apabila ada pemerataan hak atas penguasan tanah.
Pembaruan Agraria
Untuk dapat menyelesaikan persoalan kemiskinan dan pengangguran, pemerintah harus berani
mencabut akar pokok dari masalah itu. Yakni, merombak total struktur kepemilikan tanah yang
melahirkan ketimpangan.
Ini karena ketimpangan kepemilikan tanah itulah sumber persoalan yang sebenarnya yang
melahirkan kemiskinan, pengangguran, dan maraknya korban trafficking hingga hari ini.
Untuk dapat merombak itu, tentu tak ada cara lain selain menjalankan pembaruan agraria
sebagaimana amanat UUPA No 5 Tahun 1960. Hanya dengan jalan pembaruan agraria,
pemerataan ekonomi yang berbasis pembangunan perdesaan berkelanjutan dapat dijalankan.
Bagi bangsa Indonesia, gagasan pembaruan agraria atau land reform sebenarnya juga bukan
sesuatu hal baru. Ini karena sejak muda, Presiden RI pertama Soekarno sudah menyebutkan soal
agraria dalam tulisannya pada 1933 dan menyinggung tentang buku “Die Agrarfrage” sebagai
persoalan kaum tani.
Setelah Indonesia Merdeka, melalui pidato kenegaraan pada 17 Agustus 1960, secara tegas Bung
Karno pun mengatakan bahwa, “Melaksanakan land reform berarti melaksanakan satu bagian
yang mutlak dari Revolusi Indonesia.
Gembar-gembor tentang Revolusi, Sosialisme Indonesia, Masyarakat Adil dan Makmur, Amanat
Penderitaan Rakyat, tanpa melaksanakan land reform, adalah gembar-gembornya tukang penjual
obat di Pasar Tanah Abang atau Pasar Senen.”
Meminjam kalimat Bung Karno itu, jika pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) berkehendak ingin mengentaskan kemiskinan dan pengangguran, namun tidak mau
melaksanakan pembaruan agraria sejati sebagaimana amanat UUPA No 5 Tahun 1960, tentu
dapat disebut sebagai “gembar-gembornya” tukang penjual obat yang tidak bermakna apa-apa.
Hanya dengan jalan pembaruan agraria sejati, pemerataan pembangunan ekonomi nasional yang
berkeadilan dapat diatasi.
Kasus trafficking atau perdagangan manusia kembali merebak di berbagai daerah. Baru-baru ini,
Kepolisan Daerah Kalimantan Barat membongkar sindikat perdagangan perempuan di bawah
umur yang akan dijadikan pemuas nafsu lelaki hidung belang di sejumlah hotel berbintang di
Pontianak (Sinar Harapan, 9 Februari 2012).
Beberapa waktu lalu, Kepolisian Resor Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya juga berhasil
membongkar kasus perdagangan manusia dengan korban delapan orang perempuan (Antara, 27
Desember 2011).
Maraknya kasus trafficking juga dapat dilihat dari data International Organization for Migration
(IOM) yang menyebutkan bahwa Indonesia menempati posisi teratas sebagai negara asal korban
perdagangan manusia (trafficking). Hingga Juni 2011 lalu, sedikitnya tercatat ada 3.909 korban
perdagangan manusia dan sebagian besar korbanya kaum perempuan.
Kasus perdagangan perempuan semacam ini sebenarnya bukan hal baru yang ada di muka bumi
ini. Modus operandinya beragam. Pertama, bisa menggunakan kedok PJTKI atau lembaga
penyalur tenaga kerja.
Modus operandi yang kerap dilakukan lembaga ini juga beragam, mulai dari pemalsuan
dokumen-dokumen seperti KTP, ijasah, akta kelahiran, dan surat izin orangtua atau yang berhak.
Jadi sering kali identitas korban trafficking yang terbongkar tidak sama dengan alamat aslinya.
Modus operandi kedua, biasanya para penyalur tenaga kerja tidak menjelaskan isi perjanjian
kontrak kerja antara pihak penyedia dengan pencari kerja. Lebih parahnya lagi, para korban
trafficking ini kerap dijual sebagai pemuas nafsu seksual di tempat-tempat hiburan. Mereka
bukannya ditempatkan di tempat kerja yang dijanjikan pada awalnya.
Apapun kedok dan modus operandinya yang dipakai, lazimnya bermuatan iming-iming kerja
enak, gaji besar, dan masa depan cerah. Pendek kata, semua hanya berupa embusan angin surga
yang bermuatan penipuan.
Namun, dalam kasus ini tentu bukan kategori tindak pidana umum (pidum). Ini melainkan
sebuah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang seharusnya disejajarkan dengan tindak
kejahatan korupsi dan terorisme.
Sebagai sebuah kejahatan luar biasa, sudah sepatutnya sanksi hukum pelaku tindak pidana
trafficking pun harus “luar biasa”, dalam arti hukuman terberat: pidana mati!
Akar Masalah
Selain memberikan hukuman berat pada pelaku tindak trafficking yang sering kali melibatkan
lintas negara dan benua ini, pemerintah juga harus menyelesaikan akar permasalahan terjadinya
trafficking.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab dan bersifat mendasar. Pertama, rendahnya tingkat
sosial ekonomi masyarakat (kemiskinan). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka
kemiskinan hingga September 2011 mencapai 12,36 persen atau sekitar 29,89 juta orang.
Dari sekian banyak jumlah kemiskinan yang ada itu, sebanyak 10,95 juta orang tinggal di
perkotaan. Sisanya, sebanyak 18,94 juta orang tinggal di daerah perdesaan dan berprofesi
sebagai buruh tani serta petani berlahan sempit.
Tingginya tingkat kemiskinan di perdesaan ini disebabkan adanya ketimpangan hak atas
kepemilikan tanah.
Ketimpangan kepemilikan tanah ini setidaknya dapat dilihat dari data BPN-RI yang
menyebutkan, sekitar 56 persen tanah di seluruh Indonesia saat ini hanya dikuasai sekitar 0,2
persen orang saja. Di sisi lain, sekitar 85 persen petani Indonesia adalah petani gurem dan tidak
memiliki tanah alias buruh tani.
Selain itu, tingginya tingkat kemiskinan di perdesaan juga dapat dilihat dari fakta desa tertinggal
yang ada. Dari 65.554 desa yang ada di Indonesia, 51.000 desa masih berstatus desa tertinggal.
Sebanyak 20.633 desa di antaranya adalah desa miskin dan terbelakang.
Kedua, tingginya tingkat pengangguran dan sulitnya mencari pekerjaan juga menjadi persoalan
tersendiri di negeri ini. Agustus 2011 lalu, BPS mencatat sebayak 6,56 persen usia produktif
berstatus sebagai penganggur terbuka. Banyaknya jumlah penganggur di usia produktif ini
sebenarnya dapat diatasi apabila ada pemerataan hak atas penguasan tanah.
Pembaruan Agraria
Untuk dapat menyelesaikan persoalan kemiskinan dan pengangguran, pemerintah harus berani
mencabut akar pokok dari masalah itu. Yakni, merombak total struktur kepemilikan tanah yang
melahirkan ketimpangan.
Ini karena ketimpangan kepemilikan tanah itulah sumber persoalan yang sebenarnya yang
melahirkan kemiskinan, pengangguran, dan maraknya korban trafficking hingga hari ini.
Untuk dapat merombak itu, tentu tak ada cara lain selain menjalankan pembaruan agraria
sebagaimana amanat UUPA No 5 Tahun 1960. Hanya dengan jalan pembaruan agraria,
pemerataan ekonomi yang berbasis pembangunan perdesaan berkelanjutan dapat dijalankan.
Bagi bangsa Indonesia, gagasan pembaruan agraria atau land reform sebenarnya juga bukan
sesuatu hal baru. Ini karena sejak muda, Presiden RI pertama Soekarno sudah menyebutkan soal
agraria dalam tulisannya pada 1933 dan menyinggung tentang buku “Die Agrarfrage” sebagai
persoalan kaum tani.
Setelah Indonesia Merdeka, melalui pidato kenegaraan pada 17 Agustus 1960, secara tegas Bung
Karno pun mengatakan bahwa, “Melaksanakan land reform berarti melaksanakan satu bagian
yang mutlak dari Revolusi Indonesia.
Gembar-gembor tentang Revolusi, Sosialisme Indonesia, Masyarakat Adil dan Makmur, Amanat
Penderitaan Rakyat, tanpa melaksanakan land reform, adalah gembar-gembornya tukang penjual
obat di Pasar Tanah Abang atau Pasar Senen.”
Meminjam kalimat Bung Karno itu, jika pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) berkehendak ingin mengentaskan kemiskinan dan pengangguran, namun tidak mau
melaksanakan pembaruan agraria sejati sebagaimana amanat UUPA No 5 Tahun 1960, tentu
dapat disebut sebagai “gembar-gembornya” tukang penjual obat yang tidak bermakna apa-apa.
Hanya dengan jalan pembaruan agraria sejati, pemerataan pembangunan ekonomi nasional yang
berkeadilan dapat diatasi.
Suhaimi, pengurus Lembaga Studi Bantuan Hukum (LSBH) Nusa Tenggara Barat (NTB),
mengatakan, tujuh bulan lalu penyidik Polda NTB memeriksa empat orang pedagang VCD/DVD
bajakan dari Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Barat. Pemeriksaan polisi itu didasarkan
pada laporan seorang produser musik dan film yang mengadukan maraknya perdagangan
VCD/DVD bajakan.
Laporan polisi itu mengacu kepada Pasal 72 ayat 1 Undang Undang Nomor 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta, Pasal 40 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, junto
Pasal 282 KUHP.
Hanya saja, kata Suhaimi, penyidik tidak melaksanakan kewajibannya sebagai aparat penegak
hukum yang memproses kasus VCD/DVD bajakan itu, dan hanya mengenakan wajib lapor
kepada empat orang pedagang yang diperiksa. "Mereka (pedagang) hanya dikenakan wajib lapor,
bahkan ada yang diajak jalan-jalan ke lembaga pemasyarakatan seolah-olah ingin menakut-
nakuti dengan tujuan tertentu. Makanya kami datang ke sini," ujarnya.
Bahkan, rumah pedagang terperiksa itu sempat digeledah oleh oknum aparat kepolisian yang
hendak mencari bukti hukum.
Suhaimi menduga penyidik kesulitan memproseshukumkan kasus perdagangan VCD/DVD
bajakan itu, karena belum memiliki data pembanding. Apalagi, secara fisik keping VCD dan
DVD bajakan itu sama dengan keping yang diklaim asli oleh produser yang mengadu ke Polda
NTB.
Menanggapi hal itu, Lalu Syamsir selaku salah seorang pimpinan DPRD NTB berjanji akan
menjembatani penyelesaian masalah tersebut. "Surat yang masuk ke DPRD juga agak terlambat,
tetapi kami akan jembatani penyelesaian masalah ini. Pekan depan kami coba panggil pimpinan
Polda dan pedagang yang merasa menjadi korban sewenang-wenang ini untuk berdialog,"
ujarnya.
Menurut pengakuan korban, Septin Watimena dan Deby, mereka dijanjikan menjadi guru saat mereka di
Ambon oleh pelaku, ET. Pada 7 Februari lalu kedua korban tiba di Bandara Manokwari dan dijemput
oleh anak pelaku, HT. Mereka langsung dibawa ke Kecamatan Warmare, sekitar 60 kilometer dari Kota
Manokwari.
Namun harapan menjadi guru pupus. Karena setibanya di Warmare, korban dipertemukan dengan
beberapa pria yang akan dijadikan suami mereka. Pelaku juga mengancam korban agar tidak
menghubungi saudara dan kerabat mereka. Telepon seluler korban pun diambil.
Beruntung dua dari tiga korban berhasil melarikan diri dan diselamatkan seorang tokoh agama. Kasus ini
langsung dilaporkan ke Polres Manokwari. Sementara satu orang korban lagi, Fresye Picauli, hingga kini
masih disekap.
Menurut korban, lebih dari sepuluh wanita asal Ambon telah diperjualbelikan oleh pelaku ET dan
anaknya HT. Pihak polres setempat kini masih memburu pelaku serta menyelidiki kasus perdagangan
perempuan ini, yang baru pertama kali terjadi di Manokwari, Papua Barat.(DNI)
Share:
IMANUEL MORE GHALE Charlie M. Sianipar (kemeja merah), terdakwa kasus penjualan
iPad, saat menanggapi pertanyaan Jaksa Samadi Budisayam mengenai sertifikasi dan petunjuk
penggunaan (manual) iPad dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu
(21/12/2011).
TERKAIT:
JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah menerima vonis bebas dari majelis hakim di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan, Rabu (14/3/2012), Charlie Mangapul Sianipar (45) mengaku tidak jera
untuk menggeluti kembali bisnis yang sempat membuatnya terjerat kasus hukum.
"Saya tetap jualan iPad. iPad 3 sudah keluar dan iPad yang dijual sekarang sudah ada manual
book berbahasa Indonesia," ujar Charlie dengan wajah sumringah kepada wartawan seusai
sidang pembacaan vonis di PN Jaksel, Rabu (14/3/2012).
Charlie tak lupa berterima kasih kepada hakim yang telah memvonis bebas dirinya dari tuntutan
jaksa penuntut umum (JPU). Pria kelahiran Sidikalang, Sumatera Utara itu sebelumnya dituntut
karena dianggap menjual iPad tanpa sertifikasi Ditjen Pos dan Telekomunikasi, sertifikasi izin
edar, manual berbahasa Indonesia, dan kartu garansi.
Namun, dalam sidang hari ini Charlie dinyatakan terbukti tidak bersalah dari tuntutan JPU.
Putusan tersebut membuat ikhtiarnya untuk kembali menggeluti bisnis penjualan iPad dan
perangkat teknologi informatika kembali menggebu.
"Saya berterima kasih kepada Tuhan dan bangga kepada hakim, kita masih mempunyai hakim
yang memiliki prinsip dan melihat bukti-bukti dan fakta-fakta di persidangan," lanjut Charlie.
Ia mengatakan tidak berniat mengurungkan niatnya berbisnis meskipun sejak selama 1,5 tahun
(sejak November 2010) harus berurusan dengan pihak berwajib yang menilai penjualan iPad
yang dilakukannya melanggar hukum.
"Saya tetap menjual iPad dan ponsel. Bisnis ini telah saya geluti puluhan tahun dan tetap akan
saya teruskan," tutur mantan pewarta foto ini.
Charlie juga mengaku gembira dengan putusan hakim yang mewajibkan JPU mengembalikan
barang bukti berupa 14 unit iPad yang disita dari toko Charlie.
Tweet
BANDUNG, (PRLM).- Sebanyak 19 orang tersangka terjaring jajaran Kepolisian Daerah Jawa
Barat pada Operasi Bunga Lodaya 2012. Pada operasi yang dilaksanakan pada 9 Februari hingga
18 Februari itu, dimaksudkan untuk pemberantasan penyelundupan dan perdagangan manusia
(trafficking) di wilayah hukum Polda Jabar.
“Pengungkapan kasus pada Operasi Bunga Lodaya 2012, dimaksud untuk meberantas trafficking
yang ada di wilayah hukum Polda Jabar. Dan, pada operasi yang dilakukan selama sembilan hari,
berhasil diungkap sejumlah kasus di sejumlah daerah,” tutur Kepala Bidang Hubungan
Masyarakat Polda Jabar Komisaris Besar Martinus Sitompul, Rabu (22/2/12).
Sementara tersangka dan korban lainnya berasal dari sejumlah tempat hiburan dan pabrik. (A-
195/A-88)***
Jepang Inginkan WTO Tuntaskan Masalah Mineral Langka China
Tweet
TOKYO, (PRLM).- Menteri Sekretaris Kabinet Jepang Osamu Fujimura mengatakan Jepang
akan mengupayakan perbaikan dalam ekspor logam mineral langka China sejalan dengan aturan
Organisasi Perdagangan Dunia, WTO.
Hal ini disampaikan Fujimura pada hari ini dengan mengacu kepada pengumuman yang
menyebutkan bahwa Jepang tengah mengajukan sebuah kasus perdagangan terhadap masalah
mineral langka China, bersama dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Menurut Fujimura, Jepang menerima lebih banyak porsi impor logam mineral langka China
dibandingkan dengan Amerika Serikat atau Uni Eropa.
Menurut Fujimura, Jepang akan melanjutkan pembicaraan dengan didasarkan pada peraturan
WTO dan ia memperkirakan masalah ini akan dibahas sepenuhnya lewat prosedur penyelesaian
sengketa WTO. (nhk/A-88)***
Kam
01631355678522 UTF-8
Home
Nasional
Nusantara
Politik
Ekonomi
Internasional
Olahraga
E-Tainment
Teknologi
Index
NUSANTARA - PAPUA
Sabtu, 25 Februari 2012 , 13:15:00
Diancam Seumur Hidup, Keluarga Terdakwa Kasus Senpi Menangis
New Delhi mengatakan, perjanjian tersebut adalah atas perintah perusahaan multinasional yang takut
akan persaingan dari obat yang lebih murah diproduksi di India.
China, Brazil, Bangladesh, Thailand dan Equador juga mendukung kekhawatiran India bahwa perjanjian
perdagangan anti-pemalsuan, atau ACTA, melampaui Trips - perjanjian multilateral tentang kekayaan
intelektual.
ACTA ditandatangani oleh sepuluh negara WTO termasuk Australia, Kanada, Korea, Meksiko, Selandia
Baru, Jepang, Maroko, Singapura, Amerika Serikat dan Swiss pada Oktober tahun lalu untuk memeriksa
perdagangan global barang palsu dan bajakan serta bajakan karya cipta yang dilindungi melalui
penegakan ketat undang-undang.
Uni Eropa, dan 22 negara anggotanya, menandatangani perjanjian plurilateral pada Januari tahun ini,
tetapi negara-negara kunci termasuk Jerman, Polandia dan Belanda telah menolak untuk bergabung
dengan perjanjian dengan alasan bahwa itu melanggar kebebasan berbicara dan privasi.
Uni Eropa bisa meratifikasi perjanjian hanya jika semua negara penyusunnya berada di kesepakatan itu.
Perjanjian, yang bermaksud untuk meningkatkan penegakan hak kekayaan intelektual di negara-negara
yang berpartisipasi dengan menetapkan standar internasional atas bagaimana pelanggaran hak cipta
ditangani, juga telah dikritik karena memberikan untuk penegakan kriminal dan penangkapan-
penangkapan.
India mengatakan ACTA dapat merusak Perjanjian Trips, yang memiliki perlindungan untuk memastikan
bahwa perdagangan yang sah pada obat generik antara dua negara tidak dapat dihambat, bahkan jika
melewati negara ketiga yang memiliki rezim ketat properti domestik intelektual.
Mengutip kasus penangkapan oleh pabean di pelabuhan Eropa atas obat-obat generik yang diekspor oleh
India ke negara-negara berkembang lainnya, India mengatakan ACTA akan melegitimasi tindakan seperti
itu.(Ant/X-12)
Hal itu diungkapkan Kasubdit IV Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, AKBP Audie S
Latuheru, di Mapolda Metro Jaya, Kamis (23/2). "Pengungkapan kasus ini berawal dari
penyamaran petugas yang memesan enam gadis ABG kepada mucikari berinisial YM alias Ina,"
ungkapnya.
Ina (22 tahun) melalui SMS dari nomor 08567859xxx, kata dia, menawarkan gadis di bawah
umur yang berstatus pelajar dengan tarif per orangnya sekitar Rp 800 ribu hingga Rp 1,5 juta.
Sebagai mucikari, Ina meminta bayaran sebesar Rp 200 ribu dari setiap ABG yang dipesan untuk
diajak kencan.
Polisi yang menyamar, memesan enam gadis ABG dan berjanji bertemu di sebuah hotel di
kawasan Pasar Minggu. Pelaku dan enam gadis tersebut kemudian ditangkap dan dibawa ke
Mapolda Metro Jaya. Berdasarkan hasil pemeriksaan, dalam melakukan aksinya, pelaku
menawarkan gadis ABG untuk diperdagangkan melalui media SMS dan mengirimkan foto-foto
gadis ABG melalui Facebook.
Dari pelaku, petugas menyita barang bukti 10 buah HP, 36 lembar uang kertas pecahan Rp 50
ribu, dua pasang pakaian dalam wanita, dua bungkus alat kontrasepsi, dan tiga lembar tagihan
hotel. Menurut Audie, pelaku dijerat UU Perlindungan Anak.