NIM : 16252996
Kelas : Perpetaan
Namibia memiliki sekitar 4000 lahan pertanian komersial dan hamper 1000
diantaranya dimiliki oleh masyarakat Namibia yang sebelumnya kurang beruntung
sejak kemerdekaan, yang mana beberapa melalui transaksi pribadi dan beberapa
melalui pinjaman yang difasilitasi oleh pemerintah. Hingga tahun 2020, 15 juta hektar
lahan pertanian komersial akan ditransfer ke orang kulit hitam (penduduk Namibia)
dan sepertiga dari daerah tersebut ditujukan untuk permukiman kembali.
Mengingat Namibia pernah menjadi jajahan Negara Eropa sejak tahun 1884.
Oleh Kanselir Bismark, ia menyatakan bahwa Namibia saat itu berada dibawah
“perlindungan” jerman dan menjadikan Negara tersebut dalam ras kolonial. Dengan
tujuan untuk menjadikan Namibia sebagai tempat yang nantinya akan dibuka
perusahaan-perusahaan milik Eropa. Sebagian besar modal diinvestasikan ke sektor
pertambangan, dan sebagian lagi dijadikan lahan pertanian oleh petani asing dengan
pembelian tanah mereka dengan harga yang sangat rendah. Masyarakat Namibia
dipaksa menjadi pekerja upahan di bekas tanah mereka sendiri guna memenuhi
kebutuhan ekonomi kolonial. Pada tahun 1905 penduduk asli Namibia diperbolehkan
memiliki tanah di Zona Polisi, yakni wilayah yang didominasi oleh pemukim kulit putih.
Dengan sebelumnya terlebih dahulu memperoleh iin dari Gubernur Jerman dan izin
pertama diberikan pada tahun 1912.
Zaman kolonial Jerman ini tidak dapat dianggap sebagai satu-satunya
penjelasan pola kepemilikan tanah saat itu. Bahkan setelah era kolonial Jerman,
Namibia harus bertahan hidup lebih keras dibawah kekuasaan Afrika Selatan. Pada
tahun 1990, akhirnya Namibia diberikan kemerdekaan dan status politik sebagai
Negara yang bebas dan demokratis, dengan 42% lahan pertanian Namibia berada
dibawah kendali para kulit putih. Orang kulit putih, sementara mewakili proporsi yang
sangat kecil dari total populasi, memiliki lebih dari 34 juta hektar lahan, terutama yang
dikhususkan untuk peternakan. Sebaliknya, orang kulit hitam, yang merupakan lebih
dari 90 persen populasi, memiliki 40 persen dari semua lahan pertanian, terutama
berorientasi pada pertanian subsisten di bawah sistem penguasaan adat. Pada tahun
1990, petani kulit hitam memiliki kurang dari satu juta hektar lahan komersial
(Kementerian Pertanian, Air dan Pembangunan Pedesaan [MAWRD], 1991).
Reforma agrarian di Namibia pun didasarkan pada dua pernyataan hukum utama
yakni Undang-Undang Reforma Agraria-Komersial dan Undang-Undang Reforma
Agraria-Komunal.
Hal lain yang mengejutkan adalah, tidak adanya kerangka hukum (kepastian
hukum) yang mengatur penerima manfaat dalam mendapatkan hak atas tanah yang
dialokasikan kepada mereka, walaupun orang-orang yang ikut berpartisipasi pada
skema permukiman kembali baik secara individu ataupun kolektif mendapatkan
akses ke sebidang tanah.
Bagi sebagian penduduk Namibia, yang tidak hanya memandang dari persepsi
sosial dan ekonomi, namun juga dari persepsi psikologis yangmana mereka
beranggapan seolah-olah Negara mereka sendiri tidak berada dibawah kendali
mereka, karena mereka melihat sebagian besar tanah dikuasai oleh petani kulit putih.
Hal lain yang perlu diketahui adalah bagi orang Namibia, menjadi petani bukanlah hal
yang utama. Memiliki ternak adalah menjadi suatu keharusan juga karena merupakan
budaya yang tidak hanya berlaku untuk masyarakat pedesaan melainkan juga
masyarakat perkotaan. Fenomena ini seperti diungkapkan oleh salah seorang
masyarakatnya “Tidak memiliki kawanan (ternak) di Namibia berarti menjadi miskin
diantara yang miskin”. Hal ini yang menjadi dasar, pentingnya tanah di Namibia tidak
hanya untuk bertani namun juga berternak sehingga diperlukannya reformasi tanah
yang komprehensif di negara ini.