Anda di halaman 1dari 5

Nama : Nurdin Eko Pambudi Wiyono

NIM : 16252996
Kelas : Perpetaan

REFORMA AGRARIA DI NAMIBIA

Landreform merupakan topik politik dan ekonomi yang penting di Negara


Namibia. Yang mana terdiri dari dua strategi yang dilakukan antara lain: Transmigrasi
dan pembagian tanah pertanian yang layak secara komersial. Transmigrasi di klaim
dapat meningkatkan taraf kehidupan warga Negara Namibia yang kehilangan atau
tidak memiliki tempat tinggal. Pemerintah membagikan tanah-tanah perkebunan
kepada masyarakat agar dapat digunakan sebagai permukiman, walaupun
pengalihan lahan perkebunan atau pertanian ini tidak dilakukan secara langsung oleh
pemerintah.

Namibia memiliki sekitar 4000 lahan pertanian komersial dan hamper 1000
diantaranya dimiliki oleh masyarakat Namibia yang sebelumnya kurang beruntung
sejak kemerdekaan, yang mana beberapa melalui transaksi pribadi dan beberapa
melalui pinjaman yang difasilitasi oleh pemerintah. Hingga tahun 2020, 15 juta hektar
lahan pertanian komersial akan ditransfer ke orang kulit hitam (penduduk Namibia)
dan sepertiga dari daerah tersebut ditujukan untuk permukiman kembali.

Mengingat Namibia pernah menjadi jajahan Negara Eropa sejak tahun 1884.
Oleh Kanselir Bismark, ia menyatakan bahwa Namibia saat itu berada dibawah
“perlindungan” jerman dan menjadikan Negara tersebut dalam ras kolonial. Dengan
tujuan untuk menjadikan Namibia sebagai tempat yang nantinya akan dibuka
perusahaan-perusahaan milik Eropa. Sebagian besar modal diinvestasikan ke sektor
pertambangan, dan sebagian lagi dijadikan lahan pertanian oleh petani asing dengan
pembelian tanah mereka dengan harga yang sangat rendah. Masyarakat Namibia
dipaksa menjadi pekerja upahan di bekas tanah mereka sendiri guna memenuhi
kebutuhan ekonomi kolonial. Pada tahun 1905 penduduk asli Namibia diperbolehkan
memiliki tanah di Zona Polisi, yakni wilayah yang didominasi oleh pemukim kulit putih.
Dengan sebelumnya terlebih dahulu memperoleh iin dari Gubernur Jerman dan izin
pertama diberikan pada tahun 1912.
Zaman kolonial Jerman ini tidak dapat dianggap sebagai satu-satunya
penjelasan pola kepemilikan tanah saat itu. Bahkan setelah era kolonial Jerman,
Namibia harus bertahan hidup lebih keras dibawah kekuasaan Afrika Selatan. Pada
tahun 1990, akhirnya Namibia diberikan kemerdekaan dan status politik sebagai
Negara yang bebas dan demokratis, dengan 42% lahan pertanian Namibia berada
dibawah kendali para kulit putih. Orang kulit putih, sementara mewakili proporsi yang
sangat kecil dari total populasi, memiliki lebih dari 34 juta hektar lahan, terutama yang
dikhususkan untuk peternakan. Sebaliknya, orang kulit hitam, yang merupakan lebih
dari 90 persen populasi, memiliki 40 persen dari semua lahan pertanian, terutama
berorientasi pada pertanian subsisten di bawah sistem penguasaan adat. Pada tahun
1990, petani kulit hitam memiliki kurang dari satu juta hektar lahan komersial
(Kementerian Pertanian, Air dan Pembangunan Pedesaan [MAWRD], 1991).

Sektor agrarian di Namibia sangat mencerminkan kondisi ekonominya, dengan


ditandai oleh dualisme yang mencolok antara sektor komersial dan sektor komunal.
Hal ini tandai dengan dua konsepsi pertanian dan lingkungan pedesaan yang sangat
berbeda, yang mana pertanian komersial dicirikan oleh sistem pertanian bermodal
besar, terutama berorientasi pada pemeliharaan ternak, sedangkan di sektor
komunal, pertanian pedesaan yang bergantung pada produksi pertanian dasar yang
sebatas berorientasi pada konsumsi rumah tangga.

Reforma agrarian di Namibia pun didasarkan pada dua pernyataan hukum utama
yakni Undang-Undang Reforma Agraria-Komersial dan Undang-Undang Reforma
Agraria-Komunal.

Undang-Undang Reforma Agraria-Komersial ini diperkenalkan pada tahun 1995,


yang menetapkan kerangka hukum guna akuisisi tanah oleh Negara untuk tujuan
permukiman kembali dengan prinsip “sukarela pembeli”. Bersamaan dengan hal ini,
ditetapkan juga pajak tanah yang diperkenalkan pada April 2002 yang tujuannya
menghukum para petani yang tanahnya tidak produktif lagi sehingga mereka akan
menjual tanah tersebut dan kemudian akan dibeli pemerintah tentunya setelah
melalui pertimbangan pada kesesuaian untuk tujuan peruntukan permukiman.
Undang-undang tersebut diamandemen pada juli 2003 dengan pemerintah
mengambil alih tanah berdasarkan azas “untuk kepentingan umum” dan tunduk pada
peraturan “pembayaran kompensasi yang adil”.

Kemudian Undang-Undang Reformasi Agraria-Komunal, yang terinspirasi oleh


Undang-Undang Tanah Adat Botswana. Secara umum, undang-undang tersebut
mengatur tentang “Dewan Tanah” yang mendemokratisasi semua prosedur yang
berhubungan dengan peralihan tanah di daerah-daerah komunal dan memfasilitasi
para petani di daerah tersebut dengan tingkat penguasaan tanah yang lebih tinggi.
Kedua instrumen hukum ini, yang mendukung reformasi agrarian di Namibia adalah
Persetujuan Skema Pinjaman yang diterapkan oleh Agribank Namibia. Pada
dasarnya, skema ini terdiri dari pemberian pinjaman bersubsidi kepada petani
komunal yang ingin memberi tanah pertanian di area komersial. Selain berkontribusi
pada pencapaian keseimbangan rasial baru dalam zona komersial, ruang lingkup
utama skema pinjaman adalah untuk mengurangi tekanan di daerah-daerah komunal
yang terlalu padat (Agribank Namibia, 2001).

Kementerian Pertanahan (MLRR), yang merupakan bagian dari Reforma Agraria


Komersial menunjukkan beberapa kelemahan dari skema permukiman kembali.
Salah satunya adalah kurangnya keterampilan teknis dari manajer proyek yang
ditunjuk oleh MLRR untuk mengelola tanah pertanian. Sehingga menyebabkan
kegagalan proyek untuk produksi pertanian. Mereka tidak cukup terlatih untuk
mencapai hasil dari pertanian dasar. Situasi ini menjadi lebih serius ketika, mereka
yang seharusnya oleh MLRR dijadikan tanahnya sebagai peruntukan permukiman,
tidak mendapatkan cukup kualifikasi dibandingkan dengan mereka “orang Namibia
yang sebelumnya kurang beruntung” yang tinggal di daerah yang padat penduduk,
untuk memenuhi syarat sebagai kualifikasi wilayah atau tempat permukiman kembali.

Hal lain yang mengejutkan adalah, tidak adanya kerangka hukum (kepastian
hukum) yang mengatur penerima manfaat dalam mendapatkan hak atas tanah yang
dialokasikan kepada mereka, walaupun orang-orang yang ikut berpartisipasi pada
skema permukiman kembali baik secara individu ataupun kolektif mendapatkan
akses ke sebidang tanah.

Bagi sebagian penduduk Namibia, yang tidak hanya memandang dari persepsi
sosial dan ekonomi, namun juga dari persepsi psikologis yangmana mereka
beranggapan seolah-olah Negara mereka sendiri tidak berada dibawah kendali
mereka, karena mereka melihat sebagian besar tanah dikuasai oleh petani kulit putih.
Hal lain yang perlu diketahui adalah bagi orang Namibia, menjadi petani bukanlah hal
yang utama. Memiliki ternak adalah menjadi suatu keharusan juga karena merupakan
budaya yang tidak hanya berlaku untuk masyarakat pedesaan melainkan juga
masyarakat perkotaan. Fenomena ini seperti diungkapkan oleh salah seorang
masyarakatnya “Tidak memiliki kawanan (ternak) di Namibia berarti menjadi miskin
diantara yang miskin”. Hal ini yang menjadi dasar, pentingnya tanah di Namibia tidak
hanya untuk bertani namun juga berternak sehingga diperlukannya reformasi tanah
yang komprehensif di negara ini.

Reforma agrarian yang dilaksanakan di Namibia memiliki kecenderungan untuk


mencapai reformasi dalam perspektif sosial politik dibandingkan dengan alasan
ekomoni. Hal ini dapat dilihat dari orang-orang Namibia yang termasuk ke dalam
masyarakat yang “kurang beruntung” beranggapan bahwa mereka tidak akan
menjadi pemilik negara mereka sampai mereka memiliki tanah untuk mereka sendiri.
Karena memang sebagian besar penguasaan tanah yang ada di Namibia didominasi
oleh kepemilikan tanah dari bangsa Eropa yakni orang-orang kulit putih.

Dibandingkan dengan reforma agraria di Indonesia, reforma agraria di Naminia


seperti dipengaruhi oleh kondisi geografis di negara tersebut. Di Indonesia yang
mana merupakan negara yang dikenal sebagai negara tropis sehingga mudah untuk
melakukan cocok tanam sehingga disebut negara agraris yang kemudian
masyarakatnya menjadikan tanah sebagai sumber penghidupan melalui kegiatan
pertanian. Sedangkan negara Namibia yang memanfaatkan tanah tidak hanya untuk
bertani, juga berkebun serta sebagai lahan untuk berternak, sehingga negara ini
memiliki tujuan reforma agraria yang berbeda dengan negara Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Garcia, C. Tapia, Land reform in Namibia: economic versus socio-political rationale,


dilihat pada 21 Oktober 2019, http://www.fao.org/3/y5639t/y5639t05.htm

Wikipedia 2019, Land reform in Namibia, dilihat pada 21 Oktober 2019,


https://en.wikipedia.org/wiki/Land_reform_in_Namibia

Anda mungkin juga menyukai