Laporan Patologi Ikan PDF
Laporan Patologi Ikan PDF
PATOLOGI IKAN
DISUSUN OLEH:
ARDANA KURNIAJI
C151140261
ILMU AKUAKULTUR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
berkah, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan
Praktikum Patologi ikan. Praktikum Patologi ikan dilaksanakan di Laboratorium
Kesehatan Ikan Departemen BDP Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
keluarga tercinta yang senantiasa mendoakan kesuksesan bagi penulis dalam
penyelesaikan laporan ini. Terimakasih kepada dosen pengampuh mata kuliah
Patologi ikan atas bimbingan dan ilmu yang diberikan selama praktikum, tidak lupa
penulis juga mengucapkan terimakasih untuk seluruh anggota kelompok atas
kerjasamanya dalam praktikum patologi ikan ini.
Penulis sadar jika dalam penyusunan laporan ini masih terdapat banyak sekali
kekurangan dan salah, mohon kiranya dimaafkan dan diilhami sebagai contoh yang
baik agar di kemudian hari tidak di ulangi. Semoga laporan ini dapat memberi
manfaat bagi semua pihak yang membacanya. Terima kasih.
Ardana Kurniaji
C151140261
RIWAYAT HIDUP
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
RIWAYAT HIDUP........................................................................................ iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... v
DAFTAR TABEL.......................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. vii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Tujuan ................................................................................................... 4
B. Pembahasan ............................................................................................. 26
1. Uji Refleks........................................................................................ 26
2. Inventarisasi Parasit.......................................................................... 28
3. Uji Bakteri A. hydrophila menggunakan KIT API 20 E .................. 31
4. Perhitungan Koloni Bakteri (TPC) ................................................... 31
5. Pengamatan Darah............................................................................ 34
6. Uji Histopatologi .............................................................................. 45
7. Uji Potensi Dengan Metode Cracking, PCR, Elektroforesis ............ 48
Gambar Halaman
1 Ikan Lele (Clarias sp.) Uji yang digunakan dalam praktikum .................. 19
Tabel Halaman
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki lahan budidaya ikan dan
udang yang luas sehingga Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan
dan peningkatan hasil produksi budidaya. Untuk memenuhi permintaan pasar yang
terus meningkat baik di pasar lokal maupun pada tingkat internasional sangat perlu
diperhatikan kualitas dan kuantitas hasil budidaya yang akan diproduksi karena
mempengaruhi permintaan konsumen. Usaha perikanan terutama budidaya telah
berkembang pesat dan diusahakan secara intensif dengan ciri padat penebaran yang
tinggi dan lingkungan yang terkontrol. Hal ini memerlukan manajemen yang baik
agar menghasilkan komoditas yang berkualitas. Dalam pengelolaannya, seringkali
terdapat kendala yang berpeluang menghambat kelancaran usaha budidaya. Salah
satu kendala tersebut adalah penyakit yang berimplikasi negatif terhadap produktifitas
komoditas budidaya.
Penyakit ikan disebabkan oleh tiga komponen utama yakni lingkungan,
pathogen dan kondisi organisme itu sendiri. Penyakit yang disebabkan oleh
perubahan parameter lingkungan merupakan penyakit non infeksius yang disebabkan
oleh pola manajemen lingkungan budidaya yang tidak baik, sedangkan penyakit yang
diakibatkan oleh pathogen merupakan penyakit infeksius yang biasanya berasal dari 4
golongan organisme yakni parasit, fungi, bakteri dan virus. Penyakit biasanya
menyebabkan perubahan fungsi fisiologis bagi ikan baik fenotip maupun genotip.
Oleh sebab itu, upaya pencegahan dan pengobatan terus dilakukan sebagai solusi
untuk meminimalkan dampak kerugian dalam budidaya ikan.
Salah satu ikan yang menjadi komoditas dalam budidaya air tawar adalah ikan
lele. Ikan lele (Clarias sp.) adalah ikan air tawar yang telah dibudidayakan secara
tradisional, semi intensif maupun secara intensif. Ikan Lele banyak ditemukan di
Benua Afrika dan Asia Tenggara. Komoditas perikanan ini terhadap perairan umum
yang berair tawar. Penyebaran, yaitu de negara Indonesia, Thailand, Filiphina, dan
China. Ikan Lele di beberapa negara, khususnya di Asia telah diternakkan dan
dipelihara dikolam. Penyebaran nama ikan lele berbagai negara berbeda-berbeda.
Ikan lele ada yang dikenal dengan keli. Habitat atau lingkungan hidup lele banyak
ditemukan perairan air tawar, didaratan rendah sampai sedikit payau. Lele jarang
menampakkan aktifitasnya pada siang hari dan lebih menyukai tempat gelap, agak
dalam dan teduh. Hal ini karena lele adalah binatang nokturnal, yaitu mempunyai
kecendrungan beraktivitas dan mencari makan pada malam hari. Ikan lele relatif
tahan terhadap kondisi lingkungan yang kualitas airnya buruk. Pada kondisi kolam
dengan padat penebaran yang tinggi dan kendungan oksigennya sangat minimpun lele
masih dapat bertahan hidup (Mahyudin 2008).
Dalam pembudidayaan ikan lele, seringkali ditemukan berbagai penyakit yang
timbul. Hal ini diantaranya diakibatkan oleh penyakit-penyakit infeksius. Salah satu
penyakit bacterial yang sering ditemukan adalah penyakit yang diakibatkan oleh
bakteri Aeromonas hidrophylla. Bakteri ini biasanya menyebabkan penyakit Motile
Aeromonas Septicemia (MAS), hemorraghic septicemia, ulcer disease atau red-sore
disease (White 1989 dalam Wahjuningrum dkk. 2013). Bakteri A. hidrophylla hidup
di air tawar yang mengandung bahan organic yang tinggi. Ciri utama adalah
bentuknya yang batang, berukuran 1-4 x 0,4-1 mikron bersifat gram negatif dan
fakultatif aerobik. Bakteri ini bisa bertahan hidup pada suhu lingkungan 15-30oC dan
dengan pH antara 5,5-9.
Bakteri A. hidrophylla menyerang beberapa jenis ikan air tawar. Serangan
bakteri ini seringkali menyebabkan kerugian bagi pembudidaya. berbagai upaya
pencegahan telah dilakukan, baik dengan pemberian antibiotik, aplikasi fitofarmaka
dan probiotik serta penggunaan bahan lainnya. Namun penyakit bacterial ini masih
menjadi hambatan bagi para pembudidaya. Serangan bakteri ini baru terlihat apabila
ketahanan tubuh ikan menurun akibat stress yang disebabkan oleh perubahan
parameter lingkungan, kekurangan pakan, serta penanganan ikan lain yang kurang
baik. Penularan bakteri ini juga terjadi secara cepat melalui air, kontak badan, kontak
dengan peralatan tercemar atau karena pemindahan ikan yang sebelumnya terserang
A. hydrophilla dari suatu tempat ketempat lain. Menurut Kordi (2004) ikan yang
terserang bakteri A. hydrophilla akan memperlihatkan gejala klinis seperti tubuh
berubah menjadi gelap, kemampuan berenang menurun, mata ikan rusak dan agak
menonjol, sisik terkuak, seluruh siripnya rusak, insang berwarna merah keputihan
serta ikan akan nampak selalu dipermukaan karena insangnya rusak sehingga sulit
mendapatkan oksigen.
Berdasarkan uraian tersebut, upaya untuk mengetahui secara langsung kondisi
ikan yang terserang bakteri A. hydrophilla baik dengan mengamati gejala klinis,
mengetahui populasi bakteri yang virulen terhadap ikan dan mengamati jaringan
secara histopatologi perlu untuk dilakukan. Oleh sebab itu, paraktikum ini penting
untuk dilakukan dengan maksud untuk meninjau tingkat virulensi yang disebabkan
oleh bakteri A. hydrophilla pada ikan lele (Clarias sp.).
1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui teknik diagnose ikan dan
menelusuri tingkat virulensi infeksi bakteri A. hydrophilla pada ikan lele (Clarias sp.)
melalui pengamatan reflex ikan, pemeriksaan parasit, pengamatan gambaran darah
pasca injeksi A. hydrophilla, perhitungan bakteri pada organ dan pengamatan
histologi.
II. METODOLOGI
Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah terbagi dalam
setiap tahapan berbeda. Adapaun alat dan bahan pada setiap tahapan adalah sebagi
berikut:
Alat dan bahan yang digunakan dalam laboratorium kesehatan ikan meliputi
perlengkapan untuk pemeriksaan parasit yakni 1 set alat bedah, mikroskop, preparat,
cwan petri, akuades.
Untuk perhitungan bakteri pada organ ikan digunakan alat dan bahan meliputi
ikan lele yang telah diinjeksi A. hydrophilla, alat bedah, timbangan, tabung ependof,
alkohol, larutan fisiologis, media selektif Rhimler Shotts, batang penyebar dan
bunsen, serta inkubator.
Untuk pengamatan darah digunakan alat dan bahan pada setiap tahapan. Pada
tahapan cara pengambilan darah meliputi ikan, antikoagulan (Na-sitrat 3,8%), kapas
beralkohol, suntik (syringe), gelas obyek dan gelas tutup. Pada tahapan diferensiasi
leukosit adalah darah, larutan methanol, pewarna giemsa, kertas penyerap/tissue,
gelas obyek, tabung perendam gelas obyek dan baki. Pada tahap perhitungan
hemoglobin (Hb) menggunakan alat dan bahan yang meliputi darah, larutan HCL 0,1
N, tissue, akuades, seperangkat alat metode sahli dan pipet pasteur. Sedangkan alat
dan bahan yang digunakan dalam perhitungan kadar hematokrit meliputi darah,
crytoceal, alat sentrifugasi, tabung mikrohematokrit (pipa kapiler berlapis/anti
koagulan), penggaris. Untuk perhitungan eritrosit digunakan darah, larutan Hayem’s,
Haemocytometer tipe Nieubair dan untuk perhitungan leukosit digunakan darah,
larutan turk’s, Haemocytometer tipe neubauer, pensil gambar, pensil warna.
Pada pengamatan histologi digunakan alat dan bahan meliputi sampel dua
ikan lele, alat bedah, larutan NBF, alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, 100%, Xylol, Xylol
1, Xylol 2, Xylol 3, phenol dan xylene, parafin (casette), mikrotom, pewarna
Hematoxyline Eosin (HE) dan mikroskop, Tissue Float Bath, Slide Drying Bench,
Larutan fisiologis.
2.3 Prosedur
Uji reflex perlu dilakukan untuk melihat status dasar kesehatan ikan secara
mikroskopis eksternal. Uji reflex ini mencakup reflex renang, pertahanan, ekor dan
mata.
1. Beri kejutan pada ikan minsalnya dengan menepuk dinding akuarium (wdah
pemeliharaaan ikan ) lalu amati apakah ikan tersebut lari atau diam saja.
2. Ambil ikan tersebut dan pegang erat-erat, amati apakah ikan tesebut
memberontak atau diam saja.
3. Pegang bagian kepala dan biarkan posisi badan menggantung, amti sirip ekornya
apakah mengembang atau tidak.
4. Balikan ikan tersebut dengan posisi ventral dibagian atas, amati matanya, amati
pupil matanya bergerak kea rah ventral atau diam saja. Catat hasilnya dan
simpulkan kondisi kesehatan ikan tersebut.
Parameter yang diamati pasca injeksi adalah respon refleksikan uji, respon
terhadap pakan, gejala klinis dan jumlah iakn yang mati. Pengamatan dilakukan
setiap hari dan hasilnya dicatat.
Tujuan dari histologi adalah untuk memperbanyak sayatan tipis dari jaringan
hewan yang selanjutnya dapat diuji dengan dengan bantuan mikroskop cahaya.
Histology dapat dijadikan sebagai langkah awal untuk mendiagnosis suatu penyakit
minsalnya pada molusca dan crustacea. Histology juga dapat berfungsi sebagai
penunjang bagi uji mikrobiologis yang lain. Untuk mendapatkan hasil yang terbaik
maka perlu diperhatikan tentang pemilihan larutan fiksatif yang digunakan; ukuran
jaringan yang akan diuji, durasi untuk proses pembuatan preparat serta reagen untuk
pewarnaan.
Pembuatan preparat histologis dilakukan dengan lima tahap, yakni penentuan
jaringan, fiksasi jaringan, proses perlakuan jaringan (dehidrasi, klining, impregnasi,
embedding dan bloking), pemotongan jaringan dan pewarnaan jaringan. Jaringan
yang diambil adalah jaringan yang terkena luka atau dicurigai terluka, seperti urat
daging, ginjal, limpa dan hati. Organ-organ tersebut dipotong setebal 2 - 3 mm3
(fiksatif Bouin) dan 3 - 4 mm3 atau 4 - 5 mm3 (fiksatif BNF) agar larutan fiksatif
meresap.
Jaringan yang diambil adalah jaringan yang terkena luka atau dicurigai
terluka, seperti urat daging, ginjal, limpa dan hati. Organ - organ tersebut dipotong
setebal 2 - 3 mm3 (fiksatif Bouin) dan 3 - 4 mm3 atau 4 - 5 mm3 (fiksatif BNF) agar
larutan fiksatif meresap. Tujuan fiksasi jaringan adalah agar mendekati atau sama
dengan keadaan asalnya, mencegah kerusakan jaringan baik karena otolisis atau
bakteri pembusukan, mencegah proses osmosis dan penciutan jaringan, melindungi
jaringan pada waktu dilakukan proses, membentuk tekstur jaringan sehingga
memudahkan pemotongan, mengaktifkan jaringan sehingga mudah diwarnai.
Setelah difiksasi, dilakukan proses dehidrasi yang berfungsi untuk
mengeluarkan cairan dalam sel dengan direndam bahan kimia mulai dari konsentrasi
rendah ke konsentrasi tinggi. Bahan kimia yang digunakan berupa alkohol 70%-
100%,. Proses dehidrasi dimulai dari perendaman dengan alkohol 70% selama 2 jam,
dilanjutkan dengan perendaman alkohol 80% selama 2 jam, alkohol 90% selama 2
jam dan alkohol 100% selama 2 jam. Selanjutnya adalah proses clearing bertujuan
untuk mengeluarkan alkohol dan memasukan xylol dalam organ. Proses clearing
diawali dengan perendaman alkohol : xylol (1:1) selama ½ jam, xylol I ½ jam, xylol
II ½ jam dan xylol III ½ jam. Setelah proses clearing dilakukan proses impregnasia
yakni dengan cara merendam sampel dalam parafin pada titik cair 65-70°C dengan
perbandingan xylol dan parafin 1:1 selama ¾ jam. Proses embedding merupakan
proses pemasukan parafin ke dalam sel dengan cara merendam sampel dalam parafin
I selama ¾ jam, parafin II selama ¾ jam dan parafin III selama ¾ jam. Selanjutnya
proses bloking yang bertujuan untuk mencetak jaringan sehingga mudah dipotong.
Pemotongan jaringan dilakukan dengan menggunakan mikrotom. Setelah
dipotong, jaringan dimasukan ke air suam-suam kuku sehingga pita potongan
jaringan mengapung dan bisa dipotong untuk selanjutnya ditata dalam gelas objek.
Terdapat tiga tahap pewarnaan jaringan yakni hidrasi yang berfungsi mengeluarkan
parafin, pewarnaan menggunakan H-E (hemotoksilin-eosin) dan dehidrasi yang
berfungsi untuk mengeluarkan air agar jaringan tidak mudah rusak.
- Pengamatan
1. Isikan hasil perhitungan anda ke dalam tabel 4 dibawah ini
2. Berikan kesimpulan dan interpretasi terhadap data tersebut
III. Perhitungan Kadar Hemoglobin (Hb)
1. Darah diisap dengan pipet sahli sampai skla 20 mm3 atau pada skal 0,2 mL,
bersihkan ujung pipet dengan kertas tissue.
2. Pindahkan darah dalam pipet ke dalam tabung Hb-meter yang telah diisi HCL 0.1
N sampai skla 10, aduk selama 3 sampai 5 menit.
3. Tambahkan aquades sampai warna darah dan HCL tersebut seperti warna larutan
standar yang ada dalam Hb meter tersebut
4. Baca skla yaitu dengan melihat permukaan cairan dan dicocokkan dengan skla
tabung sahli yang dilihat pada skla jalur gr % yang berarti banyaknya
hemoglobin dalam gram per 100 ml darah
1. Celupkan salah satu ujung tabung mikrohematokrit ke dalam tabung yang berisi
darah sehingga darah akan merambat secara kapiler sampai mencapai ¾ bagian
tabung.
2. Tutup ujung tabung tersebut yang telah berisi darah dengan cytoceal dengan cara
menancapkan ujung tabung ke dalam cytoceal kira-kira sedalam 1 mm, sehingga
terbentuk sumbat cytoceal.
3. Sentrifugasi tabung mikrohematokrit dengan kecepatan 3000 rpm swlama menit
dengan posisi tabung yang bervolume sam berhadapan dan yang bersumbat ada
di sebelah luar agar putaran sentrifuge seimbang.
4. Nilai kadar hematokrit dengan cara mengukur panjang bagian darah yang
mengendap serta panjang total volume darah yang terdapat di dalam tabung.
Persentasikan panjang bagian endapan disbanding dengan panjang volume darah
dalamtabung tersebut dalam satuan persen (%). Kadar hematokrit ini
mencerminkan banyaknya sel darah (digambarkan dengan padatan/endapan)
dalam cairan darah.
1. Darah dihisap dengan pipet yang berisi bulir pengaduk warna merah sampai
kepala skala 1 (pipet untuk mengukur jumlah sel darah merah).
2. Tambahkan larutan hayem’s sampai skala 101,pengadukan darah didalam pipet
dilakukan dengan mengayunkan tangan yang memegang pipet seperti
membentuk angka delapan selama 3-5 menit sehingga darah tercampur rata.
Larutan hayem’s ini berfungsi untuk mematikan sel-sel darah putih.
3. Buang dua tetes pertama larutan darah dalam pipet, elanjutnya teteskan pada
Haemocytometer tipe Neubauer dan tutup dengan gelas penutup.
4. Hitung jumlah sel darah merah dengan bantuan mikroskop dengan pembesaran
400 kali. Jumlah eritrosit tetap dihitung sebanyak 10 kotak kecildan konversikan
menurut jumlah total kotak kecil sehingga didapatkan sel darah merah per mili
liter.
5. Pengamatan data diisi kedalam tabel dan berikan kesimpulan terhadap data
tersebut
1. Hisap darah dengan pipetyang berisi bulir pengaduk berwarna putih sampai skala
0,5
2. Tambahkan larutan Turk’s sampai skala 11, pipet diayun membentuk angka 8
sama dengan pengadukan untuk penghitungan jumlah sel darah merah selama 3-
5 menit sehingga darah bercampur rata. Larutan Turk’s ini bersifat asam yang
akan mengakibatkan lisisnya sel darah merah sehingga yang tertinggal hanya sel
darah putih.
3. Buang dua tetes pertama larutan darah dari dalam pipet, kemudian teteskan
larutan pada haemocytometer tipe neubaur kemudian ditutup dengan gelas
penutup.cairan akan memenuhi ruang hitung secara kapiler.
4. Hitung jumlah sel darah putih/leukosit total dengan bantuan mikroskop dengan
pembesaran 400X.jumlah leukosit total dihitung dengan cara menghitung sel
yang terdapat dalam 5 kotak besar, lalu konversikan angka tersebut menurut
jumlah total kotak besar sehingga didapatkan jumlah sel darah putih per mili
liter.
5. Diisikan data kedalam tabel dan beri kesimpulan
Persiapan
1. Pembuatan larutan cracking buffer
2. Pembuatan larutan loading cracking buffer
3. Persiapan larutan EDTA 10 mM 10 µL
4. Pembuatan media TSA
IEW 500 µL
Saccharos
e 0.2 g
Vortex hingga
larut
5 M NaOH 40 µL
10 % SDS 50 µL
IEW 410 µL
Prosedur Cracking
a. Siapkan mikrotube sesuai dengan jumlah sampel, kemudian lakukan
penomoran
b. Goreskan bakteri menggunakan tusuk gigi yang telah disterilkan di atas
Bunsen pada setiap mikrotube
c. Selanjutnya, tusuk gigi tersebut langsung digoreskan pada media TSA
sesuai dengan nomor sampel
d. Setelah selesai digores, masukkan :
1. EDTA 10 mM : 10 µL
2. Cracking buffer : 10 µL
e. Teteskan loading cracking buffer secukupnya ( ± 1 µL) pada tutup bagian
dalam
f. Diamkan selama 5 menit
g. Setelah 5 menit mikrotube di spindown dan di vortex, kemudian di
sentrifuge selama 5 menit dengan kecepatan 12.000 rpm
h. Elektroforesis pada 0.7 % agarose
II. PCR
a. Siapkan mikrotube streril 200 µL sesuai dengan jumlah sampel dan beri
penomoran
b. Siapkan mikrotube steril 600 µL sebanyak 1 buah
c. Masukkan Readymix + dye sebanyak 5 µL/sampel ke dalam mikrotube
600 µL (banyaknya jumlah Readymix + dye sesuai dengan jumlah
sampel)
d. Tambahkan Ion Exchange Water (IEW) sebanyak 2 µL/sampel
e. Tambahkan Primer F dan R (masing - masing sebanyak 1 µL/sampel),
kemudian pipetting
f. Pindahkan premix ke dalam masing – masing mikrotube 200 µL sebanyak
9 µL/tube (on ice)
g. Tambahkan sampel sebanyak 1 µL/tube (jumlah setiap tube 10 µL),
kemudian di vortex
h. Masukkan ke dalam mesin PCR
i. Setelah selesai, lakukan pembacaan dengan menggunakan elektroforesis
III. Elektroforesis
a. Siapkan Erlenmeyer sesuai dengan kebutuhan
b. Timbang agarose sebanyak 1 gram
c. Tambahkan 10x TBE + ETBR sebanyak 100 µL
d. Panaskan agarose dalam microwave hingga homogen dan mendidih
e. Dinginkan pada suhu ruang hingga suam kuku
f. Siapkan template agarose
g. Masukkan agarose ke dalam template yang telah disisipkan cetakan
sumur
h. Setelah agar mengeras, masukkan agar kedalam alat elektroforesis
i. Masukkan sampel sebanyak 1 – 1.5 µL ke dalam masing – masing sumur
(dimulai pada sumur ke-2)
j. Masukkan marker sebanyak 1 – 1.5 µL ke dalam sumur pertama
k. Running alat elektroforesis (200 V, 10 mA, 30 menit)
l. Setelah selesai, dokumentasikan hasil elektroforesis
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil yang diperoleh dari praktikum ini dapat dilihat pada tabel yang berbeda
berdasarkan hasil pengujian dan pengamatan.
Uji refleks dilakukan untuk melihat status dasar kesehatan ikan secara
makroskopis eksternal. Uji refleks mencakup refleks gerak, pertahanan, ekor dan
mata. Berdasarkan hasil pengamatan uji refleks, ikan lele yang digunakan dalam
kondisi sehat. Adapun hasil pengujian refleks ikan dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai
berikut:
Tabel 1. Hasil Uji Refleks Ikan Lele
No. Parameter Hasil
1 Refleks Gerak Gerak aktif saat ikan diangkat
2 Pertahanan Ikan berusaha melepaskan diri/berontak
3 Ekor Digerakkan kencang saat ikan diangkat
4 Mata Pupil mata bergerak
5 Tingkah Laku Menghindar saat akuarium ditepuk
Adapun gambaran ikan yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 1 sebagai
berikut:
Gambar 1 Ikan Lele (Clarias sp.) Uji yang digunakan dalam praktikum
3.1.2 Hasil Inventarisasi Parasit
Hasil pengamatan pemeriksaan parasit pada praktikum dapat dilihat pada
Tabel 2 sebagai berikut:
Hasil pengamatan pengujian bakteri pada praktikum dapat dilihat pada Tabel
3 sebagai berikut:
Tabel 3. Hasil pengamatan pada pengujian bakteri
Hasil pengamatan perhitungan koloni pada praktikum dapat dilihat pada Tabel
4 sebagai berikut:
10-4 0 - 35 7 x 106
10-5 0 - 2 -
10-6 0 - 2 -
10-7 1 - 0 -
Hasil pengamatan pengamatan ikan pasca injeksi pada praktikum dapat dilihat
pada Tabel 5 sebagai berikut:
Parameter darah ikan lele yang diinjeksi bakteri A. hydrophila yang diamati
pada praktikum ini meliputi: hemoglobin, hematokrit, sel darah merah, sel darah
putih, aktivitas fagositik, dan diferensial leukosit. Adapun hasil pengamatan pada
gambaran darah ikan lele kontrol dapat dilihat pada tabel 6 sebagai berikut:
Tabel 6 Hasil pengamatan darah ikan lele kontrol
SDM SDP Diferensial Leukosit (%)
Hb Ht AF
No Hari (x105 (x105
(g/%) (%) (%) Limfosit Neutrofil Monosit
sel/mm3) sel/mm3
1 H0 9 30,30 38,7 1,78 34 61 21 18
2 H3 8 34,37 28,5 2,90 28 77 15 8
3 H6 5 25,53 27,0 6,26 36 72 18 10
4 H9 5 17,50 8,95 3,55 43 58 28 14
5 H12 6 17,39 39,9 5,80 34 62 25 13
Adapun hasil pengamatan pada gambaran darah ikan lele injeksi dapat dilihat
pada tabel 7 sebagai berikut:
A B
Gambar 2 (A) otot kontrol, (B) otot setelah diinjeksi. perbesaran masing-masing 10x.
jaringan mengalami perubahan patologis yakni (V) Vakuolisasi adalah
volume hepatosit membesar, nukleus rata-rata hanya satu terletak di
tengah sel
2. Pengamatan pada Jaringan Ginjal
A B
Gambar 3 Jaringan ginjal (A) kontrol, (B) pasca injeksi. perbesaran 10x. (A)
Menunjukkan ginjal ikan lele dalam keadaan normal, Tubulus distal (T)
dan Jaringan Hematopoetik (JH) dalam kondisi normal. (B)
Menunjukkan ginjal ikan paska infeksi, bagian Tubulus distal (T) dan
jaringan hematopoetik (JH), terjadi perubahan patologi berupa artropi
(A), yaitu ketidaknormalan jumlah dan volume sel atau penyusutan sel,
tubulus distal mengalami kerusakan degenerasi hialin
Gambar 4 Insang (A) kontrol, (B) pasca injeksi. (A). Menunjukkan arcus insang
dalam kondisi normal. (B) menunjukkan kondisi arcus insang pasca
infeksi yang menunjukkan terjadinya hemoragi (pendarahan dari dinding
vaskula) terjadi pada jaringan konektif dan jaringan otot pada arcus
insang
4. Pengamatan pada Jaringan Hati
A j B
Gambar 5 Hati (A) kontrol, (B) pasca injeksi, jaringan mengalami perubahan
patologis yakni (N) Nekrosis yakni kematian sel dan (H) Hemoragi atau
keluarnya darah dari kardio vaskuler
M 5 5’ 6 6’ -
Keterangan
M : Marker (KAPPA® DNA Ladder)
300 bp 5 : Sampel Ginjal I
5’ : Sampel Ginjal II
6 : Sampel Darah
6’ : Sampel Darah II
- : Kontrol Negatif
Ikan lele (Clarias sp.) adalah ikan yang termasuk dalam golongan catfish.
Ikan lele mudah beradaptasi meskipun dalam lingkungan yang kritis, misalnya
perairan yang kecil kadar oksigennya dan sedikit air. Ikan lele juga termasuk ikan
omnivor, yaitu pemakan segala jenis makanan tetapi cenderung pemakan daging atau
karnivora. Secara alami ikan lele bersifat nokturnal, artinya aktif pada malam hari
atau lebih menyukai tempat yang gelap, tetapi dalam usaha budidaya ikan lele dibuat
beradaptasi menjadi diurnal. Dalam praktikum ini, ikan lele yang normal diinjeksikan
bakteri pathogen A. hyrophilla yang akan menunjukkan sejauh mana virulensi dan
tingkat perubahan patologis yang ditimbulkan serangan bakteri pada ikan lele.
Diketahui bersama bahwa bakteri A. hydrophilla merupakan salah satu bakteri
pathogen yang menyebabkan penyakit pada ikan air tawar seperti ikan lele. Bakteri
ini dapat menyebabkan penyakit motile aeromonas septicaemia pada ikan lele.
Ikan yang sehat mengindikasikan kondisi yang normal dengan lingkungan dan
organisme patogen di lingkungannya. Timbulnya serangan wabah penyakit tersebut
pada dasarnya sebagai akibat terjadinya gangguan keseimbangan dan interaksi antara
ikan, lingkungan yang tidak menguntungkan ikan dan berkembangnya patogen
penyebab penyakit. Kemungkinan lainnya adalah adanya atau masuknya agen
penyakit ikan obligat yang ganas (virulen) meskipun kondisi lingkungannya relatif
baik. Serangan bakteri A. hydrophila pada budidaya ikan mas di Indonesia terjadi
sejak tahun 1980. Ikan sehat dan ikan sakit dapat dibedakan berdasarkan warna tubuh
ikan, tingkah laku ikan atau kelainan fungsi tubuh ikan dan respon refleks ikan. Jika
dilihat dari warna tubuh, perbedaan ikan yang sehat dengan yang sakit akan terlihat
jelas. Dimana ikan yang sehat warna tubuhnya akan terang sedangkan yang sakit akan
berubah menjadi pucat atau berubah warna dari warna aslinya. Tingkah laku ikan atau
kelainan fungsi tubuh juga dapat menentukan perbedaan ikan sehat dan sakit yaitu
ikan sehat biasanya lebih aktif gerakannya dibandingkan ikan sakit. Apabila
seharusnya ikan sebut memiliki tingkah laku aktif tiba-tiba berubah menjadi tidak
aktif bisa dimungkinkan ikan tersebut sakit.
Ada beberapa refleks ikan yang dapat dipakai untuk mentukan apakah ikan
tersebut sehat atau sakit dalam suatu populasi. Adapun refleks ikan yang biasa
diperiksa yaitu :
Refleks ekor
Pemeriksaan ikan menggunakan refleks ekor yaitu dengan memegang ikan
terbaring pada satu sisinya, maka ekor dari ikan yang sehat akan mengembang tegak
berdiri seperti kipas, sedangkan ikan yang sakit ekornya lemas dan terkulai ke bawah.
Refleks lari
Pemeriksaan ikan menggunakan refleks lari yaitu dengan menepuk
permukaan air, bila setelah air ditepuk-tepuk dan ikannya dapat lari, maka ikan
tersebut sehat, tetapi bila ikan diam saja di tempat, ada kemungkinan ikan tersebut
sakit. Selain itu dapat menggunakan hentakan kaki pada air kolam serta senter atau
lampu sorot pada malam hari secara mendadak.
Refleks mata
Pemeriksaan ikan menggunakan refleks mata yaitu dengan memegang ikan
dibagian tubuhnya sedemikian rupa sehingga perutnya menghadap ke atas. Perhatikan
pupil matanya, ikan yang sehat pupil mata akan bergerak dan melihat ke atas (kearah
ventral tubuh ikan), tetapi pada ikan yang sakit maka pupil matanya tetap diam saja
tidak bergerak.
Refleks pertahanan
Isolasi dan identifikasi bakteri pada saat ini tidak hanya dilakukan dengan cara
konvensional, tetapi telah digunakan metode yang lebih modern yaitu dengan KIT.
Kit yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah KIT API 20E. Kit API 20 E
adalah kit komersial yang biasa digunakan untuk mengidentifikasi bakteri
Enterobacteriaceae dan beberapa spesies bakteri gram negatif lainnya. Penggunaan
KIT dalam karakterisasi bakteri dinilai lebih cepat dibanding metode konvensional
karena dalam KIT telah tersedia reagen-reagen yang dapat digunakan langsung dalam
karakterisasi, sementara hal itu tidak didapat pada metode konvensional. Hasil yang
didapat pun relatif lebih akurat daripada metode konvensional. Namun, karena
kelengkapannyalah harga KIT di pasaran masih relatif mahal disbanding metode
konvensional (Astuti 2009). Adapun hasil yang diperoleh berdasarkan tabel di atas
dapat diketahui bahwa taraf kepercayaan 89,8% merupakan bakteri A. hydrophila.
Hasil pengamatan distribusi bakteri A. hydrophila pada organ ginjal ikan lele
pasca injeksi menunjukkan bahwa distribusi bakteri tertinggi terdapat pada
pengamatan hari ke-3 pasca injeksi dengan jumlah koloni bakteri A. hydrophila tidak
bisa untuk dihitung, lalu kemudian menurun pada hari ke-10 sebanyak 35 koloni
bakteri
Berdasarkan hasil pengamatan, total koloni bakteri yang diperoleh pada hari
ke-3 paska injeksi menunjukkan keseluruhan koloni pada media baik pada
pengenceran 10-2, 10-3, 10-4, 10-5 tidak bisa untuk dihitung (TBUD), baik pada kontrol
maupun pada injeksi (perlakuan). Hal ini menunjukkan bahwa populasi bakteri yang
menginfeksi ikan uji dapat dikatakan masih tinggi. Menurut Wulandari dkk. (2014)
bahwa semakin tinggi konsentrasi bakteri yang digunakan maka semakin cepat pula
gejala klinis yang ditimbulkan. Tingginya kepadatan populasi bakteri pada kontrol
diduga karena kontaminasi air yang diguakan mengandung bakteri A. hydrophilla,
sehingga menyebabkan kematian 2 ikan pada hari ke-4 (SR=80%). Serangan bakteri
pada ikan kontrol ini diduga karena pada saat persiapan dan pemindahan ikan, ikan
mengalami stress yang menyebabkan menurunnya sistem imun. Namun pada hari
berikutnya ikan kembali normal, sehingga ikan yang berhasil hidup adalah ikan yang
memiliki sistem imun tinggi untuk melawan tingkat serangan bakteri.
Pada perlakuan injeksi populasi bakteri menurun, diikuti dengan terjadinya
kematian ikan (SR=60%). Pada hari ke-10 populasi bakteri menurun. Hal ini dapat
dilihat pada hasil pengamatan di media tumbuh yang menunjukkan koloni bakteri
pada kontrol adalah 6,2 x 103 cfu/ml dan pada injeksi 7,0 x 106 cfu/ml. Kepadata
populasi bakteri pada kontrol lebih rendah dibandingkan injeksi karena terlihat dari
pengamatan patogenitas, dimana ikan kontrol masih tampak sehat dan sebaliknya
ikan injeksi tampak sakit. Kondisi demikian terjadi karena ikan-ikan pada kontrol
hanya dipengaruhi oleh bakteri pathogen dari lingkungan sehingga meskipun terdapat
ikan yang mati karena tidak mampu melawan serangan pathogen, namun ikan-ikan
lain mampu bertahan hidup dengan kondisi sehat. Sedangkan pada perlakuan injeksi,
bakteri yang menyerang adalah bakteri yang diinjeksi masuk ke dalam tubuh,
sehingga tingkat patogentiasnya semaki tinggi diikuti dengan peningkatan populasi
bakteri hingga hari ke-10. Berdasarkan uraian data tersebut, populasi bakteri pada
ikan injeksi menyebabkan persentase kematian hingga 40%, hal ini didukung oleh
hasil penelitian Mangunwardoyo dkk. (2010) bahwa kepadatan populasi bakteri pada
106 akan menyebabkan kematian hingga 45,83%, sedangkan pada kepadatan bakteri
A. hydrophilla 103 dapat menyebabkan kematian hingga 16,67%.
60
50
Jumlah Hb (g/%)
40
30
kontrol
20 injeksi
10
0
H0 H3 H6 H9 H12
Waktu Pemeliharaan (H: Hari ke-)
b. Hematokrit (Ht)
Kadar hematokrit adalah persentase volume sel darah merah dalam darah
yang diperoleh dari sampel darah total yang ada di tabung kapiler. Seiring
meningkatnya jumlah eritrosit maka nilai hematokrit ikut meningkat pula.
Pengukuran hematokrit ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kesehatan ikan,
hal ini karena kadar hematokrit dan hemoglobin dalam cairan darah berhubungan
juga dengan hormone ikan. Berdasarkan data hasil pengamatan, kadar hematokrit
(Ht) juga mengalami penurunan pada ikan kontrol yakni dari 30,30% pada hari
pertama menjadi 17,39% pada hari ke-12, sedangkan pada ikan injeksi kadar Ht juga
mengalami penurunan dari 38,46% pada hari pertama menjadi 37,50% pada hari ke-
12.
60
50
Presentasi (%)
40
30
kontrol
20 injeksi
10
0
H0 H3 H6 H9 H12
Waktu Pemeliharaan (H: Hari ke-)
Sel darah merah (eritrosit) ikan mempunyai inti, umumnya berbentuk bulat
dan oval tergantung pada jenis ikannya. Inti sel eritrosit terletak sentral dengan
sitoplasma terlihat jernih kebiruan dengan pewarnaan giemsa (Chinabut et al. 1991).
Jumlah eritrosit berbeda-beda pada berbagai spesies dan juga sangat dipengaruhi oleh
suhu, namun umumnya berkisar antara 1 - 3 juta sel/mm3. Sel darah merah yang
matang sangat mudah dikenali disebabkan oleh morfologinya yang unik. Pada
keadaan normal, bentuk sel darah merah adalah dwicekung dengan diameter purata
8µm, ketebalan 2µm dan volumenya sekitar 90fL. Ia tidak mempunyai nukleus atau
mitokondria, dan 33% daripada kandungannya terdiri daripada protein tunggal yaitu
hemoglobin. Tanpa nukleus dan jalur metabolik protein, sel ini mempunyai masa
hidup yang singkat yaitu selama 100-120 hari. Tetapi, struktur sel darah merah
matang yang unik ini memberikan daya lenturan yang maksimal saat sel ini melewati
pembuluh darah yang sempit.
Gambar 9 Sel Darah Merah
Eritrosit berperan dalam pengikatan oksigen yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Swenson (1984) bahwa Eritrosit mengandung
hemaglobin dan berfungsi sebagai transpor oksigen. Eritrosit berbentuk bikonkaf
dengan lingkaran tepi tipis dan tebal ditengah, eritrosit kehilangan intinya sebelum
masuk sirkulasi. Pembentukan sel darah merah (”erithropoiesis”) terjadi di sum-sum
tulang. Pada fetus eritrosit dibentuk juga di dalam hati dan limpa. Eritrhopoiesis
merupakan suatu proses yang kontinu dan sebanding dengan tingkat pengrusakan sel
darah merah. Erithtopoiesis diatur oleh mekanisme umpan balik dimana prosesnya
dihambat oleh peningkatan level sel darah merah yang bersirkulasi dan dirangsang
oleh anemia.
60
Presentasi (x105 sel/mm3)
50
40
30
kontrol
20 injeksi
10
0
H0 H3 H6 H9 H12
Waktu Pemeliharaan (H: Hari ke-)
Moyle dan Cech (1988) menjelaskan bahwa jumlah sel darah putih lebih
rendah dibandingkan dengan sel darah merah yaitu berkisar 20.000 sel/mm3– 150.000
sel/mm3. Perubahan nilai leukosit total dan persentase jenis leukosit sering dijadikan
petunjuk keadaan fisiologi ikan atau indikator keberadaan penyakit pada tubuh ikan.
Perbedaan sel darah putih dengan eritrosit adalah leukosit selalu mempunyai inti sel
dan sitoplasma serta mampu bergerak bebas. Jumlah leukosit lebih sedikit dari
eritrosit. Leukosit diklasifikasikan berdasarkan ada tidaknya granula di dalam
sitoplasma dibagi menjadi granulosit dan agranulosit. Granulosit terdiri dari netrofil,
basofil dan eosinofil, sedangkan agranulosit atas limposit dan monosit (Swenson,
1984).
Gambar 11 Sel Darah Putih
50
Presentasi (%)
40
30
kontrol
20 injeksi
10
0
H0 H3 H6 H9 H12
Waktu Pemeliharaan (H: Hari ke-)
Jika ditinjau secara kuantitatif, ikan injeksi memiliki kadar leukosit yang lebih
tinggi dibandingkan ikan kontrol, hal ini menunjukkan bahwa ikan injeksi lebih
banyak memproduksi leukosit sebagai upaya untuk melawan populasi pathogen yang
tinggi. Karena pada dasarnya kadar sel darah putih akan meningkat dengan tingginya
tingkat patogenitas, hal ini ditegaskan oleh Guyton and Hall (1997) bahwa sel darah
putih merupakan sel imun yang akan merespon kehadiran pathogen atau benda asing
yang masuk ke dalam tubuh, semakin tinggi patogenitas, maka tubuh akan semakin
banyak memproduksi sel darah putih. Selain itu menurut Muiswinkel and Vervoorn
(2006) bahwa leukosit memiliki bermacam-macam fungsi, erat kaitannya untuk
menghilangkan benda asing (termasuk mikroorganisme patogen). Faktor-faktor yang
mempengaruhi jumlah leukosit adalah kondisi dan kesehatan tubuh ikan. Infiltrasi
granulosit muncul 12-24 jam setelah diinjeksi oleh bakteri pada ikan. Setelah itu
persentase granulosit dan makrofag akan meningkat hingga 2-4 hari. Berdasarkan
hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa bentuk sel darah putih adalah lonjong
hingga bulat. Leukosit terdiri dari agranulosit (monosit dan limfosit) dan granulosit
(heterofil, eosinofi dan basofil).
Diketahui bersama bahwa sistem imun non spesifik didukung oleh dua
komponen utama yaitu respon selular dan respon humoral (Irianto 2005). Respon
selular imun non spesifik meliputi beberapa tipe mekanisme: inflamasi, fagositosis,
fagositosis sebagai penyaji antigen (antigen presenting cells) dan non spesific
citotoxic cells. Inflamasi merupakan upaya proteksi reaksi restoratif dari tubuh sejak
ikan berusaha menjaga kondisi kestabilan sistem dari pengaruh lingkungan yang
kurang baik. Inflamasi ditandai dengan rasa sakit, pembengkakan, kulit memerah atau
peradangan, suhu tubuh naik atau kehilangan fungsi-fungsi fisiologis. Hal tersebut
merupakan respon protektif awal tubuh dalam upaya menghalangi patogen dan
menghancurkannya. Oleh sebab itu, pengukuran indeks fagositik penting untuk
meninjau seberapa jauh aktifitas fagositik dalam menghadapi pathogen.
60
50
Presentasi (%)
40
30
kontrol
20 injeksi
10
0
H0 H3 H6 H9 H12
Waktu Pemeliharaan (H: Hari ke-)
f. Diferensiasi Leukosit
Gambar 14 Sel darah ikan mas strain Sinyonya: 7a. Limfosit (L), 7b. Eritrosit (Er),
7c. Heterofil (H), 7d. Monosit (M), 7e. Eosinofil (Eo) (Ornella 2008).
Persentase sel neutrofil mengalami peningkatan yakni dari 21% pada hari
pertama menjadi 25% pada hari ke-12, sedangkan pada ikan injeksi dari 14% menjadi
29 pada hari ke-12. Netrofil ikan berbentuk bulat dengan inti dapat memenuhi
sebagian ruang sitoplasma (diamaeter 9-13 μm) dan terdapat granula dalam
sitoplasmanya (Chinabut et al. 1991). Seperti halnya monosit, sel netrofil berperan
pula dalam respon nonspesifik dengan melakukan fagositosis untuk menyingkirkan
mikroorganisme penyerang (Kresno 2001). Jumlah netrofil berkisar antara 2 – 10 %
dari total leukosit (Svobodova dan Vyukusova 1991).
Persentase Monosit pada ikan kontrol mengalami fluktuasi, yakni dari 18%
pada hari pertama, menurun menjadi 8% pada hari ke-3, kemudian menjadi 13% pada
hari ke-12. Sedangkan pada ikan injeksi, mengalami peningkatan, dari 13% pada hari
pertama menjadi 21% pada hari ke-12. Monosit ikan berbentuk bulat oval, intinya
terletak ditengah sel dengan sitoplasmanya tidak bergranula (Takashima dan Hibiya
1995). Monosit dihasilkan dari jaringan haemapoietik dalam ginjal yang siap untuk
melakukan fungsinya dalam jaringan, kisaran jumlah monosit sebesar 3 - 5 % dari
jumlah leukosit (Svobodova & Vyukusova 1991). Monosit berkemampuan masuk ke
jaringan dan berdiferensiasi menjadi sel makrofag. Peran monosit sangat penting,
sebagai sel fagosit utama untuk menghancurkan berbagai patogen penyerang dan
berperan pula sebagai antigen presenting cells (APC) yang fungsinya untuk
menyajikan antigen kepada sel limfosit (Kresno 2001).
Pada pengamatan jaringan organ ginjal, Nampak bahwa jaringan ginjal (A)
kontrol normal dan jaringan (B) pasca injeksi dengan perbesaran 10x bagian Tubulus
distal (T) dan jaringan hematopoetik (JH), terjadi perubahan patologi berupa artropi
(A), yaitu ketidaknormalan jumlah dan volume sel atau penyusutan sel, tubulus distal
mengalami kerusakan degenerasi hialin Menurut Takashima dan Hibaya (1995)
dalam Asniatih dkk. (2013) mengemukakan bahwa degenerasi hialin terjadi pada
jaringan konektif, dan serat halus akan berangsur-angsur menebal, sehingga akhirnya
menjadi substansi esinopilik homogen. Fibriosit biasanya menghilang dan sel-sel
parenkim mengalami artropi ketika jaringan konektif terdegradasi. Menurut Plumb
(1994) bahwa artropi yang terjadi pada ginjal pasca infeksi A. hydrophila yaitu
penyusutan sel-sel hematopoetik. Atropi merupakan berukurangnya jumlah sel pada
jaringan atau kitidaknormalan jumlah sel yang biasa juga disebut penyusutan sel.
Ginjal terdiri dari sel-sel yang banyak dengan glomeruli yang berkembang dengan
baik dan sistem tubulus. Segmen proksimal ditutupi oleh sel epitel kolumnar dengan
inti basal dan terletak di sepanjang apices sel. Segmen distal dipenuhi dengan
kolumnar sel epitel. Diameter glomerulus lebih besar di bandingkan dengan dari
segmen distal, yang mengandung sel-sel epitel kolumnar dengan inti basal (Peebua et
al., 2006).
3. Pengamatan pada Jaringan Insang
Koi herpes virus (KHV) merupakan virus yang memiliki kapsid berbentuk
simetri icosahedral dengan diameter 100-110 nm, sementara virion matangnya
memiliki amplop yang longgar sehingga ukuran diameternya menjadi 170-230 nm.
Selain itu juga terdapat benang-benang penyangga seperti struktur tegument pada
permukaan inti yang mirip dengan kelompok herpesvirus. Patogenisitas KHV sangat
tinggi dan penyebarannya sangat cepat, sehingga dianggap sebagai salah satu
penyakit yang paling serius dalam budidaya ikan air tawar (Nuryati dkk. 2007).
Beberapa komponen yang penting yang dibutuhkan dalam reaksi PCR adalah DNA
target, primer, enzim Taq DNA polymerase, deoksinukleoside triphosphat dan larutan
penyangga (buffer). Molekul DNA yang targetnya akan dilipat gandakan jumlahnya
dapat berupa untai tunggal atau untai ganda. Dalam menentukan jumlah ini, dapat
pula dilakukan uji coba dengan berbagai ukuran, misalnya 10, 100, atau 1000
pikogram sehingga diperoleh kualitas PCR yang paling baik. Apabila target yang
digunakan berupa total DNA genom, sebaiknya DNA tersebut dipotong terlebih
dahulu dengan enzim tertentu sehingga potongan DNA yang dihasilkan masih
berukuran cukup besar, misalnya enzim Sal I atau Not I yang mempunyai sedikit situs
pemotongan di dalam total DNA genom. Primer atau oligonukleotida sebaiknya
berukuran paling pendek 16 basa dan biasanya berkisar antara 18-24 basa (Muladno
2002).
Hasil praktikum menunjukkan bahwa pada uji interaksi vaksin DNA anti-
KHV dengan A. hydrophilla tidak ditemukan adanya pita plasmid vaksin GP-25 pada
sampel 5 dan 5’ (ginjal) yang menandakan bahwa tidak ada interaksi perpindahan
plasmid pada bakteri. Sedangkan pada sampel 6 dan 6’ (darah) tampak adanya pita
DNA plasmid anti vaksin anti-KHV pada panjang 300 bp. Pita DNA pada sampel
darah I dan darah II sejajar dengan pita DNA pada kontrol positif. Gen penyandi
KHV berukuran 300 bp, sementara pada pita DNA sampel ginjal sejajar dengan
kontrol negatif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Irianto (2006) bahwa sampel
dikatakan terinfeksi positif ringan KHV tatkala pada sampel tersebut menunjukkan
pita 290 pada foto hasil PCR. Hal ini berarti bahwa pada ikan tersebut terdapat virion
didalam organ yang terinfeksi, namun dalam jumlah yang sedikit, para peneliti sering
menggolongkan ikan tersebut sebagai carrier.
Ikan yang bersifat karier biasanya tidak menunjukkan gejala klinis, namun telah
membawa bahan genetic dari virus sehingga sewaktu-waktu bisa aktif dan menyerang
ikan tersebut. Menurut Masri (2013) bahwa Ikan yang tidak menunjukkan gejala
klinis adanya serangan KHV merupakan ikan yang terinfeksi ringan. Ikan yang tidak
memperlihatkan ciri yang jelas terinfeksi KHV namun dari hasil PCR terbentuk pada
band 290 bp maka dapat diindikasikan ikan tersebut adalah positif carrier (pembawa
yang dapat menulari). Terbentuknya pita pada posisi 300 bp mengindikasikan bahwa
adanya virion yang terdapat di sampel dan adanya kesesuaian basa oligonukleotida
yang dihasilkan berdasarkan primer yang digunakan dan sequencing DNA virus yang
terdapat pada ikan yang terinfeksi, hanya saja virion tersebut dalam jumlah yang
sedikit sehingga tidak terlalu memperlihatkan ciri infeksi.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
a. Hasil uji refleks dan pengamatan paska injeksi menunjukkan ikan sehat memiliki
refleks lari yang cepat, berusaha melepaskan diri saat dipegang, bergerak aktif,
normal dan tidak ada perubahan morfologi, sedangkan ikan yang sakit tampak
tampak lemas, pergerakan tidak normal, nafsu makan menurun dan terjadi
perubahan morfologi berupa borok pada kulit ikan.
b. Hasil inventarisasi parasit diperoleh jenis ektoparasit dari jenis Trichodina sp.
yang terdapat di lendir dan insang dengan intensitas 3 ind./ekor, jenis
Dactylogyrus sp. yang ditemukan pada bagian insang ikan lele dan mas dengan
intensitas 2 ind./ekor dan Argulus sp. pada lendir ikan mas dengan intensitas 1
ind./ekor serta prevalensi diperoleh 100%.
c. Hasil pengujian KIT API 20E diketahui bahwa taraf kepercayaan 89,8%
merupakan bakteri A. hydrophila. Sedangkan distribusi bakteri pada ginjal ikan
lele injeksi (7,0 x 106 cfu/ml) lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kontrol (6,2
x 103 cfu/ml), dengan SR pada ikan kontrol 80% dan ikan injeksi 60%.
d. Hasil pengamatan darah menunjukkan pola penurunan jumlah sel darah merah
pada ikan injeksi lebih tinggi dibandingkan ikan kontrol, penurunan sel darah
merah berbanding lurus dengan Hb dan Ht. sedangkan sel darah putih
menunjukkan pola kenaikan lebih tinggi pada ikan injeksi dibandingkan dengan
ikan kontrol dan kadar limfosit, monosit, neutrofil serta aktifitas fagositik
berbanding lurus dengan jumlah sel darah putih.
e. Hasil pengamatan histologi pada otot menunjukkan perubahan patologis yakni
(V) Vakuolisasi. Pada ginjal terjadi perubahan patologi berupa artropi, pada
insang menunjukkan kondisi arcus insang pasca infeksi yang menunjukkan
terjadinya hemoragi (pendarahan dari dinding vaskula), dan pada hati
menunjukkan gejala nekrosis.
f. Hasil pengujian potensi dengan cracking menunjukkan sampel ginjal keduanya
negatif dengan tidak terbentuknya pita DNA pada berat molekul 300 bp
sedangkan pada sampel darah menunjukkan hasil positif ditandai denga
terbentuknya pita DNA pada berat molekul 300 bp. Sehingga pemberian vaksin
DNA memiliki potensi untuk cracking DNA bakteri yang akan menimbulkan
resistemsi.
4.2 Saran
Agustina, Saptiani, G., Rabiyanti dan Nohon, R. 2013. Suplementasi vitamin c dalam
pakan sebagai upaya peningkatan kesehatan ikan mas (cyprinus carpio
l.) Dalam menghadapi infeksi bakteri aeromonas hydrophila. Jurnal
Ilmu Perikanan Tropis, 19 (1); 45-53
Amlacher, E. 1970. Textbook of Fish Disease. Conroy D.A., R.L. Herman (eds) TFH
Publ. Neptune. New York. 302p.
Anderson, D.P. 1974. Fish Immunology. TFH Publication Ltd Hongkong. 239 p.
Asniatih, Idris M., Sabilu, K. 2013. Studi Histopatologi pada Ikan Lele Dumbo
(Clarias gariepinus) yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila
Pathological Change of African Catfish (Clarias gariepinus) Infected by
Aeromonas Hydrophila. Jurnal Mina Laut Indonesia. 03 (12); 13 – 21.
Astuti DD. 2009. Karakterisasi Fisiologi dan Identifikasi Molekuler Isolat-Isolat
Bakteri Metanotrof Asal Sawah Wilayah Bogor dan
Sukabumi.Skripsi.Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor.
Astuti, N. F. 2012 Identifikasi Parasit Ikan Kerapu Sunu (Plectropomus Leopardus)
Pada Karamba Jaring Apung Di Pesisir Mata Kecamatan Kendari Kota
Kendari. Skripsi. FPIK Universitas Haluoleo. Kendari. 63 hal.
Austin B. dan D.A. Austin. 2007. Bacterial Fish Pathogens. Disease in Farmed and
Wild Fish. Fourth edition. Ellis Horword limited. Chichester: England.
235-300pp.
Chinabut, S, Limsuwan C, Kitsawat P. 1991. Histology of The Walking Catfish
Clarias batrachus. Departement of Fisheries Thailand. Thailand. 96p
Dana, D., Effendi, K. Sumawidjaja dan Hadiroseyani, Y. 2002. Parasit Trichodina
Pada Benih Ikan Betutu (Oxyeleotris Marmorata) Trichodinid
(Ciliophora: Peritrichida) Ectoparasites Of Sand Goby (Oxyeleotris
Marmorata) Fry. Jurnal Akuakultur Indonesia, 1 (1); 5-8.
Gillund F, Dalmo R, Tonheim TC, Seternes T and Mhyr AI. 2008. DNA vaccination
in aquaculture, Expert judgments of impacts on environment and fish
health. . Elsevier. Journal of Aquaculture 284 : 25-34.
Guyton AC, Hall JE, 1997, “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”. Setiawan I, Tengadi
KA, Santoso A, penerjamah; Setiawan I, editor. Jakarta: EGC.
Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology.
Hardi, E. H., Pebrianto, C. A., Hidayanti, T. dan Handayani, R. T. Infeksi
Aeromonas Hydrophila Melalui Jalur Yang Berbeda Pada Ikan Nila
(Oreochromis Niloticus) Di Loa Kulu Kutai Kartanegara Kalimantan
Timur. Jurnal Kedokteran Hewan. 8 (2) 130.
Hartadi, D., Sumardi, Isnanto, R. R. 2004. Simulasi Penghitungan Jumlah Sel Darah
Merah. Jurnal Transmisi. 8 (2): 1 – 6.
Hibiya T and Takashima F. 1995. An Atlas of Fish Histology Normal and
Pathological Feature. Second Edition. Takashima F. Kodansha Ltd
Tokyo. 195 hlm.
Hudaida, S. 2006. Inventarisasi Penyakit pada Budidaya Ikan Kerapu Lumpur
(Epinephelus tauvina). Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat, Bandar Lampung, November 2006. 8 Hal
Irianto A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gajah Mada Universitas Press, Yogyakarta.
256 hlm.
Irianto, A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Kordi, K. M. G. H. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Penerbit Rineka
Cipta. Jakarta. 190 hal.
Kresno SB. 2001. Imunologi Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi ketiga.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Lagler KF, Bardach JE, Miller RR and Paxino DRM. 1963. Ichtyology. Jhon Willey
and Sons inc. New York. 295 ps.
Mahyudin. 2007. Panduan Lengkap Agrobisnis Lele. Penebar Swadaya. Jakarta.
McArdle, J. F. 1984. Trichodina as a cause of mortalities in cange reared rainbow
trout (Salmo gairdneri) and salmon (Salmo salar). Bull. Eur. Ass. Fish.
Pathol.,4(l): 3-6.
Mcmillan, B. D. 2007. Fish Histology. Springer. London.603 p.
Moyle PB and Chech JJ. 1988. Fishes: An Introduction to Ichtyology. Prentice- Hall
Inc. A Division of Salmon and Schuster Englewood Cliffs, New Jersey.
597 ps.
Muladno. 2002. Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Pustaka Wirausaha Muda dan
USESE Foundation, Bogor. 123 halaman
Nitimulyo, H, Triyanto, S. dan Kamiso, H.N. 1993. Vaksinasi Lele Dumbo (Clarias
gariepinus). Fakultas Pertanian. Universitas Gajah Mada. 72hlm.
Nourina dan Martiadi. 2002. Inventarisasi Parasit Pada Tubuh Ikan. PT. Rineka
Cipta. Jakarta. 130 hal.
Nuryati, S., Kuswardani dan Hadiroseyani, Y. 2006. Pengaruh Pemberian Resin
Lebah Terhadap Gambaran Darah Ikan Koki Carassius Auratus Yang
Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila. Jurnal Akuakultur Indonesia,
5(2): 191-199.
Nuryati, S., Puspitaningtyas, D. dan Wahjuningrum, D. 2007. Potensi Ekstrak
Bawang Putih Allium Sativum Untuk Menginaktifasi Koi Herpesvirus
(Khv) Pada Ikan Mas (Cyprinus Carpio) Potency Of Garlic Extract
Against Koi Herpesvirus (Khv) In Common Carp. Departemen
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor. Jurnal Akuakultur Indonesia, 6(2): 147–154.
Ornella, V. 2008. Gambaran Darah Ikan Mas (Cyprinus carpio linn) Strain Sinyonya
yang Berasal Dari Daerah Ciampea-Bogor. Skripsi. Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor.
Peebuaa P.; Kruatrachuea M.; Pokethitiyooka P. & Kosiyachindaa P. (2006).
Histological Effects of Contaminated Sediments in Mae Klong River
Tributaries, Thailand, on Nile tilapia, Oreochromis niloticus. Science
Asia,32, 143-150.
Plumb., J.A. 1994. Health Maintenance of Cultured Fishes, Principal Microbial
Diseases. CRC press. Amerika. 239 p.
Sari, S. D., Wardiyanto, Setyawan, A. 2014. Profil Histopatologi Kerapu Tikus
(Cromileptes Altivelis) Yang Distimulasi Jintan Hitam (Nigella Sativa)
Dan Diinfeksi Viral Nervous Necrosis (VNN). Jurnal Aquasains.
Sarjito. O.K. Radjasa, S. Hutabarat, dan S.B. Prayitno, 2007. Casuative Agent
Vibriosis pada Kerapu Bebek (Cromileptes Altivelis) dari Karimunjawa
I. Patogenesitas pada Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus).
Ilmu Kelautan, 12(3): 173-180.
Sugianti, B. 2005. Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional dalam Pengendalian
Penyakit. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Svobodova Z, Vyukusova B. 1991. Diagnostik, Prevention and Therapy of Fish
Disease and Intoxication. Research Institute of fish Culture and
Hydrobiology Vodnany Czechoslovakia.
Swenson, M.J.1984. Dukes Physiologi of Domestic Animals, 10th ed. Ithaca. Cornel
University Press.
Tizard I. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Ed ke-2. Partodirejo M, Hardjosworo
S, penerjemah; Surabaya: Airlangga University Press. Terjemahan dari:
An Introduction to Veterinary Immunology.
Van Muiswinkel WB, Vervoorn VDWB. 2006. The Immune System of Fish. Di
dalam: Woo PTK, Bruno DW, editor. Fish Disease and Disorders. Vol
3. Ed ke-2. UK: CABI Publishing. hlm 678-695.
Wahjuningrum, D., Astrini, R., Setiawati, M. 2013. Pencegahan Infeksi Aeromonas
hdrophilla pada Benih Ikan Lele Clarias sp. yang Berumur 11 hari
Menggunakan Bawang Putih Allium sativum dan meniran Phyllanthus
niruri. Jurnal Akuakultur Indonesia, 12 (1); 94-104.
Wulandari, D. A., Prayitno, S. B. dan Sarjito. 2014. Patogenisitas Isolat K14 Yang
Diisolasi Dari Lele Dumbo (Clarias Gariepinus)tang Berasal Dari
Demak. Journal of Aquaculture Management and Technology, 3 (2);
143-149.
Yuasa, K. 2003. Panduan Diagnosa Penyakit Ikan. Tehnik Diagnosa Penyakit Ikan
Budidaya Air Tawar. Balai Budidaya Air Tawar Jambi dan Japan
International Cooperation Agency. 54 hal.
LAMPIRAN
H 6-H30:
Pembuat
an dan
H0: pengama
H-14: Injeks H6: H10 tan
Adapt i Gamba : preparat
asi bakte ran TPC histopat
Ikan ri Darah 2 ologi
a. Persiapan Wadah
b. Pemeriksaan Parasit
c. Pemeriksaan Darah
d. Pembuatan Preparat Histologi