Disusun untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu
Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Penyakit Saraf
di RSUD H. Soewondo Kendal
Disusun Oleh:
Zain Kholishotul Ma’rufah
30101507585
Pembimbing:
dr. Rahayu Andiyani, Sp.S
BAB 1
PENDAHULUAN
Guillain–Barré syndrome (GBS) merupakan sekumpulan gejala dengan onset akut yang
merupakan penyakit yang diperantarai oleh sistem kekebalan tubuh yang menyerang sistem saraf
perifer. Kasus terbanyak disebabkan oleh serangan autoimun pada mielin saraf- saraf motor yang
kebanyakan dipicu oleh infeksi. Penyebab infeksi terbanyak yang telah diidentifikasi adalah
Campylobacter jejuni, Cytomegalovirus, Eipstein-Barr virus, Mycoplasma pneumonia, dan
Haemophilus influenza. Penyebab lain GBS yang jarang adalah vaksinasi.
Penyakit GBS jarang ditemukan namun dalam beberapa tahun terakhir angka kejadian
penyakit ini kurang lebih 1-2 setiap 100.000 penduduk. Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia (PERDOSSI) bahwa GBS dapat dialami pada semua usia mulai anak- anak
sampai orang tua, tapi puncaknya adalah pada pasien usia produktif (15-35 tahun). Proses
terjadinya infeksi, vaksinasi atau faktor lain yang berhubungan dengan faktor presipitasi
terjadinya demielinisasi akut pada GBS masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli
membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi adalah melalu mekanisme imunologi.
Guillain-Barre Syndrome berhubungan dengan respon system imun terhadap benda asing (seperti
agen infeksius atau vaksin) tetapi targetnya yaitu pada jaringan saraf inang. Target yang diserang
sistem imun menjadi gangliosida, yaitu komplek glikosfingolipid yang ada dalam jumlah yang
banyak pada jaringan saraf manusia, terutama nodus ranvier.
Guillain–Barré syndrome menimbulkan paralisis akut yang dimulai dengan rasa baal,
parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisis keempat ekstremitas yang
bersifat ascendens. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral. Diagnosa GBS selain berdasarkan
gejala klinis, pemeriksaan CSS, adanya kelainan pada pemeriksaan EMG, MRI juga dapat
membantu menegakkan diagnosa. Diagnosis banding SGB sangat luas, beberapa diantaranya
adalah poliomyelitis dan miastenia gravis. Komplikasi yang dapat ditemui antara lain
kelumpuhan permanen, kesulitan bernafas, kontraktur atau cacat sendi, deep vein thrombosis.
95% pasien dengan GBS dapat bertahan hidup dengan 75% diantaranya sembuh total.
Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan postural tremor masih mungkin terjadi
pada sebagian pasien
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit di mana sistem kekebalan seseorang
menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan apabila parah bisa terjadi
kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi yang menghubungkan otak dan sumsum
belakang dengan seluruh bagian tubuh kita rusak. Kerusakan sistem syaraf tepi menyebabkan
sistem ini sulit menghantarkan rangsang sehingga ada penurunan respon sistem otot terhadap
kerja sistem syaraf. Guillain Barre Syndrome ditandai dengan kelemahan saraf motoric (kadang
sensorik dan otonom) bersifat progresif, simetris dengan penurunan reflek fisiologis. Penyakit ini
mempunyai nama lain Acute idiophatic polineuritis atau polineuritis idiopatik akut. Idiopatik
berasal dari kata “idiot” atau “tidak tahu” karena pada awalnya penyakit ini belum diketahui
penyebabnya.
2.2 Epidemiologi
Penyakit GBS jarang ditemukan namun dalam beberapa tahun terakhir angka kejadian
penyakit ini kurang lebih 1-2 setiap 100.000 penduduk. Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia (PERDOSSI) bahwa GBS dapat dialami pada semua usia mulai anak- anak
sampai orang tua, tapi puncaknya adalah pada pasien usia produktif (15-35 tahun). Bentuk yang
paling umum dari GBS adalah Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculopathy (AIDP)
yang menyumbang 85-90% kasus.
2.3 Etiologi
Penyakit GBS dapat dipicu oleh infeksi mikroorganisme Campylobacter Jejuni,
Haemophilus Influenza, dan Cytomegalovirus. GBS juga sering berhubungan dengan Infeksi
saluran pernapasan atas, infeksi gastrointestinal. Campylobacter Jejuni (penyebab
Gastroenteritis) adalah organisme paling sering diidentifikasi. Selain itu, operasi, kanker,
kehamilan, penyakit autoimun dan vaksinasi (misalnya vaksin flu babi 1976) termasuk salah satu
penyebab AIDP.
2.4 Klasifikasi
Klasifikasi dari Guillain Barre Syndrome adalah sebagai berikut :
Bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi
pada sindroma ini adalah :
1. Adanya antibody atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity)
terhadap agen infeksious pada saraf tepi
2. Adanya auto antibody terhadap sistem saraf tepi
3. Adanya penimbunan kompleks antigen antibody dari peredaran pembuluh darah saraf
tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Kelemahan dan paralisis dari GBS disebabkan karena hilangnya myelin yaitu material
pembungkus saraf yang menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut lambat atau
berhenti sama sekali.. Hilangnya myelin ini disebut proses demyelinisasi. Proses
demyelinisasi saraf tepi pada GBS dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan humoral.
Pada saraf tepi, antigen yang masuk akan dikenalkan dengan limfosit T (CD4) dan
mengaktifkan sel T helper untuk mengaktifkan makrofag. Makrofag akan mensekresikan
protease yang dapat merusak myelin.
Guillain-Barre syndrome berhubungan dengan respon system imun terhadap benda asing
(seperti agen infeksius atau vaksin) tetapi targetnya yaitu pada jaringan syaraf inang. Target
yang diserang system imun adalah gangliosida, yaitu komplek glikosfingolipid yang ada
dalam jumlah yang banyak pada jaringan saraf manusia, terutama nodus ranvier. Misalnya,
gangliosida GM1, yang mempengaruhi sebanyak 20 – 50% kasus, khususnya pada orang
yang didahului infeksi Campylobacter jejuni. Contoh yang lain adalah gangliosida GQ1b,
yang merupakan target varian sindrom miller fisher.
Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase, Fase progresif dimulai dari onset penyakit, dimana
selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase ini
berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu. Segera setelah
fase progresif diikuti oleh fase plateau, dimana kelumpuhan telah mencapai maksimal dan
menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari, paling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang
melebihi 7 minggu. Fase rekonvalesen (Perbaikan) ditandai oleh timbulnya perbaikan
kelumpuhan ektremitas yang berlangsung selama beberapa bulan. Seluruh perjalanan
penyakit GBS ini berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.
2.6 Manifestasi Klinis
Guillain–Barré syndrome menimbulkan paralisis akut yang dimulai dengan rasa baal,
parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisis keempat ekstremitas yang
bersifat ascendens. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral.
1. Kelemahan
Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending dan simetris secara natural.
Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai atas. Otot- otot
proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih distal. Tubuh, bulbar, dan otot
pernapasan dapat terpengaruh juga. Kelemahan otot pernapasan dengan sesak napas mungkin
ditemukan, berkembang secara akut dan berlangsung selama beberapa hari sampai minggu.
Keparahan dapat berkisar dari kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan
ventilasi.
2. Keterlibatan saraf kranial
Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan GBS. Saraf kranial III-VII dan
IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin termasuk sebagai berikut; wajah
droop (bisa menampakkan palsy Bell), Diplopias, Dysarthria, Disfagia, Ophthalmoplegia,
serta gangguan pada pupil. Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh
dan tungkai yang terkena. Varian Miller-Fisher dari GBS adalah unik karena subtipe ini
dimulai dengan defisit saraf kranial.
3. Perubahan Sensorik
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori cenderung
minimal dan variabel. Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa, atau perubahan
sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului kelemahan. Parestesia umumnya dimulai
pada jari kaki dan ujung jari, berproses menuju ke atas tetapi umumnya tidak melebar keluar
pergelangan tangan atau pergelangan kaki. Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan
nyeri distal dapat hadir.
4. Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan GBS, 89% pasien melaporkan nyeri
yang disebabkan GBS pada beberapa waktu selama perjalanannya. Nyeri paling parah dapat
dirasakan pada daerah bahu, punggung, pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan dengan
sedikit gerakan. Rasa sakit ini sering digambarkan sebagai sakit atau berdenyut. Gejala
dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama perjalanan penyakit mereka.
Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa terbakar, kesemutan, atau sensasi shocklike dan
sering lebih umum di ekstremitas bawah daripada di ekstremitas atas. Dysesthesias dapat
bertahan tanpa batas waktu pada 5-10%pasien. Sindrom nyeri lainnya yang biasa dialami oleh
sebagian pasien dengan GBS adalah sebagai berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit
yang terkait dengan kondisi imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus dekubitus).
5. Perubahan otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan parasimpatis
dapat diamati pada pasien dengan GBS. Perubahan otonom dapat mencakup sebagai berikut;
Takikardia, Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi paroksimal, Hipotensi ortostatik. Retensi
urin karena gangguan sfingter urin, karena paresis lambung dan dismotilitas usus dapat
ditemukan.
6. Pernapasan
Empat puluh persen pasien GBS cenderung memiliki kelemahan pernafasan atau orofaringeal.
Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai berikut ; Dispnea saat aktivitas,
Sesak napas, Kesulitan menelan, Bicara cadel. Kegagalan ventilasi yang memerlukan
dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga sepertiga dari pasien di beberapa waktu
selama perjalanan penyakit mereka.
2.7 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat difus dan
paralisis. Reflex tendon menurun atau bahkan menghilang. batuk yang lemah dan aspirasi
mengindikasikan adanya kelemahan pada otot- otot intercostal. Tanda rangsang meningeal
seperti Kernig sign dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Reflek patologis seperti refleks
babinsky tidak ditemukan.
2.9 Diagnosis
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah kriteria dari National Institute of Neurological
and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:
a. Steroid
Pasien dengan progresivitas cepat dapat diberi obat steroid. Namun ada pihak yang
mengatakan steroid tidak memberikan hasil apapun juga karena steroid tidak
mengurangi paralisis yang terjadi maupun mempercepat penyembuhan
b. Plasma exchange therapy (PE)
Terapi ini telah dibuktikan dapat memperpendek lamanya paralisa dan mempercepat
terjadinya penyembuhan. Waktu paling efektif untuk melakukan PE adalah 2 minggu
setelah munculnya gejala. Regimen standart terdiri dari 5 sesi (40-50 ml/kgBB)
dengan saline dan albumin sebagi penggantinya. Kontraindikasi dari PE adalah
perdarahan aktif, ketidakstabilan hemodinamik berat dan septicemia
c. Intravenous infusion of human Imunoglobulin (IVIg)
Terapi ini dapat menetralisasi autoantibodi atau menekan produksi autoantibody
tersebut. IVIg mempercepat katabolisme IgG yang kemudian menetralisir antigen
dari virus dan bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk. Pemberian
dilakukan 2 minggu setelah muncul gejala dengan dosis 0,4g/kgBB/ hari selama 5
hari.
d. NSAID
Analgesik sederhana atau obat NSAID (nonsteroidal anti-inflammatory) dapat
digunakan namun tidak dapat memberikan efek analgesik yang cukup. Dalam sebuah
penelitian kecil, penggunaan gabapentin atau carbamazepine di unit perawatan
intensif untuk manajemen selama fase akut dari GBS telah didukung
e. Fisioterapi
Dapat dilakukan untuk meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas otot setelah paralisis
Kebanyakan fungsi pasien dengan GBS kembali normal. 95% pasien dengan GBS dapat
bertahan hidup dengan 75% diantaranya sembuh total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti
dropfoot dan postural tremor masih mungkin terjadi pada sebagian pasien Sekitar 20- 25%
pasien memerlukan ventilasi mekanis, dan 5% meninggal. Dahulu sebelum adanya ventilasi
buatan lebih kurang 20% penderita meninggal oleh karena kegagalan pernafasan. Sekarang ini
kematian berkisar antara 2-10 %, dengan penyebab kematian oleh karena kegagalan pernafasan,
gangguan fungsi otonom, infeksi paru dan emboli paru. Sebagian besar penderita (60-80 %)
sembuh secara sempurna dalam waktu enam bulan. Sebagian kecil (7-22 %) sembuh dalam
waktu 12 bulan dengan kelainan motorik ringan dan atrofi otot-otot kecil di tangan dan kaki. 3
% pasien dengan GBS dapat mengalami relaps yang lebih ringan beberapa tahun setelah onset
pertama.
BAB III
KESIMPULAN
Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang
menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengankarekterisasi berupa kelemahan atau
arefleksia dari saraf motorik yang sifatnyaprogresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf
sensoris, otonom,maupun susunan saraf pusat. GBS merupakan Polineuropati akut, bersifat simetris dan
ascenden, yang,biasanya terjadi 1 – 3 minggu dan kadang sampai 8 minggu setelah suatu infeksi akut.
Pada Sindrom ini sering dijumpai adanya kelemahan yang cepat atau bisa terjadi paralysis dari
tungkai atas, tungkai bawah, otot-otot pernafasan dan wajah. Gejala klinis GBS berupa
kelemahan, gangguan saraf kranial, perubahan sensorik, nyeri, perubahan otonom, gangguan
pernafasan.
Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk GBS, pengobatan terutama secara
simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala, mengobati komplikasi,
mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya. Penderita pada stadium awal perlu
dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan observasi tanda-tanda vital. Penderita dengan gejala
berat harus segera di rawat di rumah sakit untuk memdapatkan bantuan pernafasan, pengobatan
dan fisioterapi Pemeriksaan penunjang untuk Sindroma Guillain-Barre adalah pemeriksaan
LCS, EMG dan MRI. Penyakit ini memiliki prognosis yang baik. Komplikasi yang dapat
menyebabkan kematian adalah gagal nafas dan aritmia.
DAFTAR PUSTAKA