Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH MIKOLOGI KLINIS

PITYRIASIS VERSIKOLOR

RONALD PRATAMA A. (011514253002)

Pembimbing

ARTHUR POHAN KAWILARANG, dr, MKes, SpMK(K).

S2 ILMU KEDOKTERAN TROPIS

MINAT STUDI KEDOKTERAN TROPIS KLINIS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2015
1
BAB I

PENDAHULUAN

Kondisi geografis Indonesia yang merupakan daerah tropis dengan suhu


dan kelembapan yang tinggi akan memudahkan tumbuhnya jamur. Oleh karena
itu, penyakit kulit yang disebabkan infeksi jamur relatif sering dijumpai dalam
praktek klinis..

Penyakit kulit karena infeksi jamur (Dermatomikosis) secara umum


terbagi atas dua bentuk, bentuk superfisial dan bentuk yang dalam (deep
mycosis). Bentuk superfisial terbagi atas golongan dermatofitosis yang
disebabkan oleh jamur dermatofita (antara lain: Tinea kapitis, tinea korporis,
tinea unguium, tinea cruris, tinea fasialis, tinea barbae, tinea manus, tinea pedis)
dan yang kedua golongan non dermatofitosis (pitiriasis versikolor, piedra, tinea
nigra palmaris, kandidiasis).

Perbedaan antara dermatofitosis dan non dermatofitosis adalah pada


dermatofitosis melibatkan zat tanduk (keratin) pada stratum korneum epidermis,
rambut dan kuku yang disebabkan oleh dermatofit. Sedangkan non
dermatofitosis disebabkan oleh jenis jamur yang tidak dapat mengeluarkan zat
yang dapat mencerna keratin kulit tetapi hanya menyerang lapisan kulit yang
paling luar (Boel T, 2003). Diantara penyakit jamur superfisial yang sering
dijumpai di Indonesia salah satunya adalah pitiriasis versikolor (PV). Pada
penyakit kulit karena infeksi jamur superfisial, seseorang terkena penyakit
tersebut oleh karena kontak langsung dengan benda-benda yang sudah
terkontaminasi oleh jamur atau kontak langsung dengan penderita. Infeksi jamur
yang non dermatofitosis salah satunya pitiriasis versikolor yang disebabkan oleh
jamur malassezia furfur. Penyakit ini menarik karena keluhannya bergantung
pada tingkat ekonomi dari kehidupan penderitanya. Bila penderitanya adalah
orang dengan golongan ekonomi lemah (misalnya: tukang becak, pembantu
rumah tangga) penyakit ini tidak dihiraukan. Tetapi pada penderita dengan
ekonomi menengah keatas yang mengutamakan penampilan maka penyakit ini
dapat menjadi penyakit yang sangat problematik.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi

Pityriasis Versicolor (PV) adalah penyakit jamur superfisial yang kronik,


biasanya asimtomatik, disebabkan oleh Malassezia furfur dengan manifestasi
klinis bercak dengan pigmentasi yang bervariasi. Bercak berwarna putih sampai
coklat kehitaman. Terutama meliputi badan dan kadang-kadang dapat
menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka dan kulit
(Budimulja U, 2003).

Pityriasis Versicolor sering ditemukan di daerah tropis (Budimulja U,


2003). Istilah versicolor mengacu pada akibat yang ditimbulkan jamur ini yaitu
perubahan warna kulit bergantung dari kondisi kulit penderita.

II.2 Etiologi

M. furfur (sebelumnya dikenal dengan nama Pityrosporum ovale, P.


orbiculare) adalah jamur lipofilik yang normal terdapat pada keratin kulit dan
folikel rambut. Jamur ini merupakan organisme oportunistik yang dapat
menyebabkan pityriasis versicolor 1. Jamur ini membutuhkan asam lemak untuk
tumbuh (Baillon, 2007).

Gambar 1. Malassezia furfur (Pewarnaan KOH dan Tinta Parker)


Sumber (www.doctorfungus.com)
3
Kingdom : Fungi

Phylum : Basidiomycota

Class : Hymenomycetes

Order : Tremellales

Family : Filobasidiaceae

Genus : Malassezia.

Selain mengakibatkan PV, Malassezia Furfur juga dapat mengakibatkan


dermatitis seboroik, folikulitis, dan blefaritis. Koloni Malassezia furfur dapat
tumbuh dengan cepat dan matur dalam 5 hari dengan suhu 30-37° C. Warna
koloni Malassezia Furfur adalah kuning krem (Baillon, 2007).

Gambar 2. Koloni Malassezia Furfur

Sumber (www.doctorfungus.com)

Malassezia furfur memiliki fragmen hifa dengan gambaran


seperti sphagetti atau meatball saat dilihat dengan mikroskop. Sel jamur terdiri
dari 2 bentuk (Ellis D, 2011):

1. Bentuk Hifa (pseudo hifa) yang merupakan bentuk vegetatif,

2. Bentuk spora yang merupakan bagian jamur untuk bertahan hidup.

4
II.3 Faktor Predisposisi

Suhu yang tinggi, kulit berminyak, hiperhidrosis, faktor herediter,


pengobatan dengan glukokortikoid, dan defisiensi imun. Pemakaian minyak
seperti minyak kelapa merupakan predisposisi terjadinya PV pada anak-anak
(Wolff K, Johnson RA, Suurmond D, 2007).

Faktor predisposisi lain adalah (Brannon H, 2004):

1. Pengangkatan glandula adrenal

2. Penyakit Cushing

3. Kehamilan

4. Malnutrisi

5. Luka bakar

6. Terapi steroid

7. Supresi sistem imun

8. Kontrasepsi oral

9. Suhu Panas

10. Kelembapan

II.4 Patogenesis

Malassezia berubah dari bentuk blastospore ke bentuk mycelial. Hal ini


dipengaruhi oleh beberapa faktor predisposisi. Malassezia memiliki enzim
oksidasi yang dapat merubah asam lemak pada lipid yang terdapat pada
permukaan kulit menjadi asam dikarboksilat. Asam dikarboksilat ini
menghambat tyrosinase pada melanosit epidermis dan dapat mengakibatkan
hipomelanosit (Wolff K, Johnson RA, Suurmond D, 2007). Tirosinase adalah
enzim yang memiliki peranan penting dalam pembentukan melanin (Fitrie AA,
2004). Malassezia Furfur dapat menginfeksi individu yang sehat maupun
individu yang immunocompromised, misalnya pada pasien kanker atau AIDS.

5
II.5 Gejala Klinis

Biasanya tidak ada keluhan (asimtomatis), tetapi dapat dijumpai gatal


pada keluhan pasien. Pasien yang menderita PV biasanya mengeluhkan bercak
pigmentasi dengan alasan kosmetik. Predileksi pitiriasis vesikolor yaitu pada
tubuh bagian atas, lengan atas, leher, abdomen, aksila, inguinal, paha, genitalia
(Wolff K, Johnson RA, Suurmond D, 2007).

Bentuk lesi tidak teratur, berbatas tegas sampai difus dengan ukuran lesi
dapat milier, lentikuler, numuler sampai plakat. Ada dua bentuk yang sering
dijumpai (Boel T, 2003):

1. bentuk makuler: berupa bercak yang agak lebar, dengan skuama


halus diatasnya, dan tepi tidak meninggi.

2. bentuk folikuler: seperti tetesan air, sering timbul disekitar rambut.

Gambar 3. Pityriasis versicolor menunjukkan lesi hiperpigmentasi


dalam lesi pada Ras Kaukasia (kiri) dan hipopigmentasi dalam Ras
Aborijin Australia (kanan).

Sumber (www.micologyonline.com), (A.D.A.M, www.about.com)

II.6 Diagnosis Banding

Vitiligo, pityriasis alba, postinflammatory hypopigmentation, tuberculoid


leprosy

6
II.7 Penegakan Diagnosis

1. Diagnosis ditegakkan dengan gejala klinis, penemuan klinis berupa makula,


berbatas tegas, bulat atau oval dengan ukuran yang bervariasi.

2. Mikroskopi langsung. Kerokan kulit diambil dari bercak pityriasis versicolor,


atau dengan menggunakan cellotape yang ditempel pada bercak. Setelah
diambil diletakkan di atas gelas objek kemudian ditetesi KOH 10-20% atau
campuran 9 bagian KOH 10-20% dengan 1 bagian tinta Parker blue black
superchrome X akan lebih memperjelas pembacaan karena memberikan
tampilan warna biru yang cerah pada elemen-elemen jamur. Kemudian
dipanaskan sebentar diatas lampu bunsen untuk memfiksasi, dan dilihat di
bawah mikroskop dengan pembesaran 40 kali (Budimulja U, 2003).

- Hasil Positif: hifa pendek, lurus, bengkok (seperti huruf i.v.j) dan
gerombolan sporabudding yeast yang berbentuk bulat mirip
seperti sphagetti with meatballs.

- Hasil Negatif: bila tidak ada lagi hifa, maka berarti bukan pityriasis
versicolor walaupun ditemukan spora.

3. Pemeriksaan dengan Wood's Lamp

Penyakit kulit yang disebabkan oleh golongan Malassezia dapat dideteksi


dengan lampu wood dimana akan timbul fluoresensi berwarna kuning
keemasan.

II.8 Pengobatan

Agen Topikal. Karena koloni jamur ini pada permukaan kulit, maka
pengobatan topikal sangat efektif. Lotion atau sampo Selenium sulfide (2.5%)
dioleskan pada bercak selama 10-15 menit, kemudian dicuci, digunakan selama
satu minggu. Sampo ketokonazol digunakan sama seperti penggunaan selenium
sulfide. Krim Azole (ketoconazole, econazole, micronazole, clotrimazole)
dioleskan selama 2 minggu. Solusio Terbinafine 1% solution dioleskan selama
7 hari (Wolff K, Johnson RA, Suurmond D, 2007). Topikal Terbinafine efektif
pada pitriasis versikolor, dengan penggunaan satu atau dua kali sehari selama
dua minggu, terbukti dapat menyembuhkan dari penelitian terhadap lebih dari
80% pasien pitiriasis versikolor, tinea pedis, tinea corporis/cruris (McClellan
KJ,1999).
Terapi Sistemik. Ketokonazol termasuk kelas antijamur imidazoles.
Ketokonazol bekerja dengan memperlambat pertumbuhan jamur yang
7
menyebabkan infeksi. Obat ini diminum satu kali sehari. Sediaan tablet
ketokonazol adalah 200 mg. Dosis Ketokonazol 400 mg (diminum satu jam
sebelum makan). Flukonazol 400 mg. Itrakonazol 400 mg (Wolff K, Johnson
RA, Suurmond D, 2007). Adapun efek samping ketokonazol adalah nausea,
dispepsia, sakit perut, dan diare.
Profilaksis Sekunder. Sampo ketokonazol digunakan satu atau dua kali
seminggu. Selain itu juga dapat digunakan losion atau sampo selenium sulfide,
Salicylic acid/sulfur bar Pyrithione zinc ketokonazol 400 mg peroral sebulan
sekali (Wolff K, Johnson RA, Suurmond D, 2007).
Disamping pengobatan, penting juga memberikan edukasi atau nasehat
kepada penderita agar:
- memakai pakaian yang tipis
- memakai pakaian yang berbahan cotton
- tidak memakai pakaian yang terlalu ketat.

II.9 Prognosis

Prognosis baik bila pengobatan dilakukan menyeluruh, tekun, dan


konsisten. Pengobatan harus diteruskan 2 minggu setelah fluoresensi negatif
dengan pemeriksaan lampu wood dan sediaan langsung negatif.

Meskipun jamur telah dieradikasi dengan pengobatan, tetapi


hipopigmentasi menetap selama beberapa minggu sampai melanosit memulai
untuk memproduksi melanin lagi (Brannon H, 2004).

8
DAFTAR PUSTAKA

Baillon, 2007. Diambil dari www.doctorfungus.com. Tanggal akses 2 Juli 2011


Boel T, 2003. Mikosis Superfisial. Fakultas kedokteran Gigi USU. Diambil dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1174/1/fkg-trelia1.pdf
diakses tanggal 5 Juli 2011.
Brannon H, 2004. Tinea Versicolor. Diambil
dari www.about.com/Dermatology. diakses tanggal 2 Juli 2011.
Budimulja U, 2003. Ilmu penyakit Kulit dan kelamin, edisi ketiga : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Ellis D, 2011. www.micologyonline.com. Universitas Adelaide. Tanggal akses
2 Juli 2011.
Fitrie AA, 2004. Histologi dari Melanosit. Fakultas Kedokteran Bagian
Histologi Universitas Sumatera Utara. Diambil dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1929/1/histologi-
alya2.pdf tanggal akses 6 Juli 2011.
McClellan KJ,1999. Terbinafine. An update of its use in superficial mycoses.
58(1):179-202. NCBI. New Zealand. Tanggal akses 2 Juli 2011.
Wolff K, Johnson RA, Suurmond D, 2007. Fitzpatrick’s, The Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology, fifth edition. E-book : The McGraw-Hill
Companies.

Anda mungkin juga menyukai