Fenomena Flutter Pada Jembatan Bentang P PDF
Fenomena Flutter Pada Jembatan Bentang P PDF
Fenomena Flutter Pada Jembatan Bentang P PDF
1 PENDAHULUAN
Jembatan panjang dengan dimensinya yang lebih panjang atau tinggi memiliki elemen
struktur yang lebih fleksibel dan sensitif terhadap medan aliran angin. Fenomena
perubahan medan aliran angin akibat benda disebut aerodinamik. Istilah aeroelastik
mencakupi fenomena yang terjadi akibat interaksi medan aliran angin dengan benda
yang memiliki kekakuan elastik. Ketika aliran bertemu dengan hambatan berupa benda
elastik, medan aliran sekitar benda tersebut menimbulkan gaya yang akan menimbulkan
getaran. Getaran ini akan kembali merubah medan aliran di sekitar benda,
menyebabkan perubahan gaya dan memperngaruhi getaran pada benda. Interaksi
berkelanjutan antara medan aliran, gaya dan getaran inilah yang disebut fenomena
aeroelastik.
Aliran di sekitar benda dapat diklasifikasi menjadi 2 kategori utama: aliran yang
menimbulkan pemisahan atau separasi aliran dan tidak menimbulkan separasi aliran.
Aliran non-separasi umumnya dipelajari di bidang aeronautika, karena aliran pada airfoil
bersifat non-separasi secara umum. Pada kasus ini, solusi analitis dengan
menggunakan teori aliran potensial bisa digunakan. Sebaliknya, pada elemen struktur
jembatan yang umumnya berbentuk tidak aerodinamis atau banyak terdapat sudut,
medan aliran memiliki separasi yang bisa diikuti dengan penggabungan kembali (flow
reattachment) atau tidak ada penggabungan kembali aliran (non-flow reattachment).
Benda dengan karakter aliran sekitar seperti ini disebut juga bluff body. Ilustrasi aliran di
sekitar benda dirangkum dalam Gambar 1. Pemahaman fenomena aerodinamik ini
sangat penting sebagai dasar untuk mempelajari fenomena aeroelastik pada jembatan
bentang panjang. Pada Gambar 1 juga terlihat bahwa pola aliran di sekitar bluff body
tergantung pada rasio B/D (B: lebar benda, D: tinggi benda).
1
Staf Pengajar, Universitas Bung Hatta-Padang, Email: robby.permata@yahoo.com
2
Profesor, Department of Civil and Earth Resources Engineering, Kyoto University, Email: shirato@bridgeng.gee.kyoto-
u.ac.jp
1
Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”
Gambar 1 Pola Medan Aliran di Sekitar Benda (dari Matsumoto, 2000)
Gambar 2 Fenomena Getaran Akibat Angin pada Jembatan (dari Fujino &
Siringoringo, 2013)
Fenomena aeroelastik paling banyak dikenal adalah flutter, karena keruntuhan jembatan
Tacoma Narrow pada tahun 1940. Kejadian ini menunjukkan bahwa ketidakstabilan
akibat flutter bisa berakibat keruntuhan total struktur jembatan. Fenomena lain yang juga
banyak ditemukan pada jembatan adalah galloping, VIV dan getaran akibat buffeting
(Gambar 2). Makalah ini akan memberikan tinjauan ulang singkat terhadap mekanisme,
analisis dan perkembangan penelitian dan rekayasa terkait mitigasi ketidakstabilan
akibat flutter pada struktur jembatan panjang.
Flutter adalah getaran akibat aliran angin yang diinisiasi oleh gerakan benda tersebut.
Gerakan pada benda benda tidak teredam oleh sistem, malah semakin membesar
karena gaya aerodinamik yang terjadi memberikan energi pada sistem. Seperti pada
galloping, flutter juga merupakan getaran yang bersifat divergen dan bisa menyebabkan
ketidakstabilan elemen struktur, terutama pada dek jembatan. Massa, redaman,
kekakuan, bentuk penampang dan karakteristik aliran (seperti sudut serang) menjadi
faktor yang sangat penting dalam flutter. Fenomena flutter yang umum pada jembatan
adalah torsional flutter (hanya melibatkan gerak torsional) dan coupled flutter
(melibatkan interaksi gerak vertikal dan torsional).
2
Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”
Dari penjelasan di atas, diketahui bahwa flutter dipengaruhi oleh 3 hal: karakterisitik
aerodinamik penampang dek, parameter struktur jembatan (kekakuan, massa, redaman)
dan karakteristik aliran. Karena karakteristik aliran merupakan fenomena alam yang tidak
bisa dimodifikasi, maka pendekatan untuk mitigasi flutter dilakukan dengan 2 cara:
pendekatan aerodinamik dengan mencari bentuk dek dengan sifat aerodinamik yang
bagus, serta pendekatan struktur untuk menghasilkan struktur yang lebih kaku.
Fujino dkk (2012) merekomendasikan tahapan analisis flutter seperti pada Gambar 3.
Tahapan analisis ini, meskipun lengkap dan komprehensif, menimbulkan kesulitan pada
akurasi perhitungan deformasi akibat angin statik dan penggabungan hasil analisis
elemen hingga 3D dengan analisis flutter. Perhitungan analisis flutter dengan
memperhitungkan seluruh mode yang ada (Miyata & Yamada, 1990) juga membutuhkan
komputasi yang besar, sehingga analisis multi-mode (Agar, 1989) lebih disarankan. Ge
& Tanaka (2000) memberikan uraian yang lengkap terkait metode multi-mode dan full-
mode untuk analisis flutter.
Persamaan gerak benda terkena aliran angin dengan 2 derajat kebebasan dinyatakan
dalam bentuk:
m. c . k . L(t )
(1)
I . c . k . M (t )
(2)
3
Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”
Gambar 4 Sistem Dinamik dengan 2 Derajat Kebebasan yang Terkena Aliran Angin
Besaran gaya aerodinamik L(t) dan M(t) pada persamaan (1) dan (2) untuk kasus airfoil
dan pelat tipis diturunkan secara analitis oleh Theodorsen, dan dikenal dengan
Theodorsen function:
b.
L ..b 2 U . 2. ..b.U .C (k )U . (3)
2
2 b. b 2 . b.
M . .b U . .b 2 .U .C (k )U . (4)
2 8 2
Scanlan & Tomko (1971) mengusulkan formulasi gaya aerodinamik dengan mengacu
pada formulasi Theodorsen function, tapi menggunakan aerodynamic derivatives yang
didapatkan dari hasil uji terowongan angin atau sekarang ini juga bisa dengan simulasi
numerik Computational Fluid Dynamics (CFD):
L(t ) ..2b .U 2 k.H 1* . k.H 2* .b. k 2 .H 3* . k 2 .H 4* .
1
2 U U b (5)
1
M (t ) . . 2b 2 .U 2 k. A1* . k. A2* .b. k 2 . A3* . k 2 . A4* .
2 U U b (6)
dengan Hi* and Ai* (i=1 to 4) adalah aerodynamic derivatives.
Persamaan (5) dan (6) diselesaikan untuk mendapatkan kecepatan kritis flutter dengan
metode yang umum seperti Complex Eigen Value atau CEV (Ge & Tanaka, 2000).
Metode ini meskipun sangat mudah digunakan, memiliki kelemahan yaitu tidak adanya
penjelasan mengenai mekanisme yang menyebabkan terjadinya ketidakstabilan flutter.
Persamaan (5) dan (6) ditulis ulang dalam bentuk:
m. c . k . .b 2 ..H1* . .b 3 ..H 2* . .b 3 . 2 .H 3* .b 2 . 2 .H 4* . (7)
I . c . k . .b .. A . .b .. A . .b . . A . .b . . A .
3 *
1
4 *
2
4 2 *
3
3 2 *
4 (8)
Persamaan (7) dan (8) bisa ditulis dalam bentuk matriks menjadi:
Di mana:
M
m 0
0 I
4
Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”
c 0 .b 2 ..H 1* .b 3 ..H 2*
C '
0 c .b 3 .. A1*
.b 4 .. A2*
k 0 .b 2 . 2 .H 4* .b 3 . 2 .H 3*
K ' *
0 k .b . . A4 .b . . A3
3 2 * 4 2
u 0 e .t u0 e .t , u u, u 2 u
0
Untuk bisa diselesaikan dengan metode CEV, persamaan (9) dimanipulasi dan ditu;lis
dalam bentuk:
M 2 u C'u K 'u 0 (10)
A Y Y
*
(11)
Di mana:
C ' M 1 K ' 0
A
*
u
Y
u
j: rasio redaman untuk mode-j, j: frekuensi mode-j. Flutter terjadi ketika redaman
logaritmik atau j=0, di mana j=2..j . Dengan kata lain, flutter terjadi jika j bernilai nol
atau negatif.
Matsumoto dkk (2002) menggunakan metode Step-by-step atau SBS untuk menjelaskan
mekanisme flutter dan menyimpulkan bahwa A2*, H1*, A1* dan H3* adalah aerodynamic
derivatives yang penting untuk stabilisasi flutter. A2* terkait dengan stabilitas gerak
torsional, dan H1* terkait dengan stabilitas gerak vertikal. A1* dan H3* berkaitan dengan
coupled flutter pada gerakan 2 derajat kebebasan, di mana A1* terkait besarnya momen
aerodinamik akibat gerakan vertikal dan H3* terkait besarnya gaya angkat aerodinamik
akibat gerakan torsional. Strategi untuk mendapatkan dek yang lebih stabil adalah
dengan memodifikasi aerodynamic derivatives sehingga: A2*, H1* memiliki nilai negatif
(untuk menghindari redaman negatif) dan A1* , H3* memiliki nilai absolut yang rendah
atau mendekati nol (artinya interaksi antar gerakan torsional dan vertikal sangat kecil).
Matsumoto dkk (2007) menyajikan berbagai modifikasi penampang untuk berbagai
usulan dek jembatan dan membuktikan keefektifan nilai A1* dan H3* yang rendah untuk
meningkatkan stabilitas terhadap flutter. Chen & Cai (2003) menjelaskan bagaimana
efek coupling antara getaran vertikal dan torsional yang berbeda frekuensi
menyebabkan terjadinya getaran divergen dengan frekuensi yang sama.
5
Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”
Proses memodifikasi nilai aerodynamic derivatives sangat terkait dengan merubah
medan aliran sekitar benda yang memberikan kestabilan terhadap flutter. Salah satu
teknik untuk mengaitkan nilai aerodynamic derivatives dengan medan aliran sekitar
benda adalah dengan pendekatan unsteady pressure characteristics (Matsumoto &
Hamasaki, 1995; Matsumoto dkk, 2004; Trein & Shirato, 2011; Trein dkk, 2015; Permata
& Shirato, 2014). Dengan memahami pengaruh pengaruh medan aliran terhadap
aerodynamic derivatives dan mengetahui aerodynamic derivatives mana saja yang
penting terhadap stabilitas dek, maka mitigasi ketidakstabilan flutter pada dek jembatan
bentang panjang bisa dilakukan dengan cara yang lebih rasional.
Gambar 5 menjelaskan kerangka kerja yang rasional untuk analisis flutter suatu usulan
penampang baru pada tahap studi awal atau riset. Tahap A adalah mengukur unsteady
pressure characteristics dek dengan uji terowongan angin atau simulasi CFD,
selanjutnya bisa ditampilkan dalam bentuk riwayat waktu tekanan permukaan pada dek
ketika mengalami getaran seperti pada gambar B. Dengan data tekanan permukaan,
maka bisa dikonstruksi perkiraan bentuk medan aliran di sekitar dek seperti pada
gambar C (pendekatan yang lebih valid adalah menggunakan visualisasi aliran). Nilai
aerodynamic derivatives (D) bisa dihitung dengan mengintegrasikan nilai unsteady
pressure characteristics, dengan pengukuran langsung di uji terowongan angin atau
simulasi CFD. Data aerodynamic derivatives bisa digunakan untuk menghitung
kecepatan kritis flutter (E).
Metode CEV ataupun SBS, meskipun bisa digunakan untuk kebutuhan praktis, tetap
membutuhkan data aerodynamic derivatives dari penampang dek yang ditinjau.
Sehingga metode ini tidak bisa digunakan pada tahap awal perencanaan, terutama
ketika bentuk dek yang digunakan belum ada dalam referensi. Selberg pada tahun 1962
mengusulkan formula yang sederhana dan tidak membutuhkan data aerodynamic
derivatives:
f
2
m.r 0
U cr 3.71 f 0 B 1 (13)
.B 3 f
0
Di mana Ucr: kecepatan kritis flutter; r: radius girasi = I ; f0/f0: rasio frekuensi
m
torsional terhadap vertikal; m/I: massa/massa inersia per satuan panjang; B: lebar dek :
kerapatan udara.
6
Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”
A B
C D
E
Model F
frequency
4.5 6
4
Ucr=9.8 m/s
3.5
Ur cr=7.39 5
3
4
2.5
2 3
1.5
1 2
0.5
1
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16
-0.5
0
-1 0 2 4 6 8 10 12 14 16
Gambar 5 Studi Ketahanan Dek Terhadap Flutter (Kasus Prisma dengan B/D=20)
(Dimodifikasi dari Permata, 2014)
Formula Selberg diturunkan dari aerodinamik pelat tipis atau sesuai Theodorsen
function. Matsumoto dkk (2001) menunjukkan bahwa data struktur jembatan panjang
yang ada saat ini berada pada rentang dimana formula Selberg masih valid. Perhitungan
yang dilakukan penulis (Permata, 2014) menunjukkan bahwa formula Selberg terlalu
konservatif jika diaplikasikan pada dek dengan karakterisik aerodinamik yang bagus (A2*
negatif, A1* dan H3* absolut mendekati nol), dan sebaliknya tidak bisa memprediksi
torsional flutter pada kecepatan rendah yang terjadi pada dek dengan sifat aerodinamik
buruk (A2* positif). Hal ini menegaskan bahwa penggunaan formula Selberg memang
hanya terbatas pada kasus dimana aerodynamic derivatives dek tersebut mirip dengan
pelat tipis atau hasil Theodorsen function.
Sejarah penelitian dan pemahaman terhadap fenomena flutter berjalan seiring dengan
perkembangan jembatan suspension. Scott (2001) dan Kawada (2010) memberikan
uraian yang lengkap mengenai keterkaitan perkembangan jembatan suspension dengan
flutter.
7
Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”
Analisis flutter untuk jembatan mulai dipelajari sejak keruntuhan Jembatan Tacoma
Narrow. Jembatan ini didesain untuk sanggup menahan beban angin statik sampai 54
m/detik, tapi runtuh pada saat angin mencapai 19 m/detik setelah mengalami getaran
torsional flutter. Beberapa referensi, seperti beberapa buku teks Fisika untuk
mahasiswa, salah menginterpretasikan kejadian ini sebagai contoh kasus resonansi
(Billah & Scanlan, 1991). Keruntuhan adalah hasil dari kombinasi kurangnya kekakuan
dek dan sifat aerodinamik penampang yang buruk. Reaksi pertama dari para perencana
jembatan pada saat itu adalah menggunakan dek rangka baja yang kaku. Dek tipe ini
digunakan pada pembangunan ulang Jembatan Tacoma Narrow yang selesai pada
tahun 1950.
Dek rangka baja kaku menjadi satu-satunya pilihan pada pembangunan jembatan
suspension bentang panjang di Amerika Serikat di periode 1950-1960. Pada tahun
1960an, tren baru muncul di Eropa. Jembatan Severn di Inggris (988 m) dibuka pada
tahun 1966. Jembatan ini menggunakan dek single box girder yang. Dimensinya yang
lebih ramping memberikan pengurangan biaya yang besar dibandingkan dengan dek
rangka baja kaku.
8
Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”
Sehingga pendekatan modifikasi penampang untuk menghasilkan dek dengan sifat
aerodinamik yang bagus tetap menjadi arah studi untuk jembatan bentang panjang di
masa depan.
Gambar 7 Konsep Dek Jembatan Messina (Kiri) dan Jembatan Bentang Panjang di
Jepang (Kanan)
Penggunaan sistem redaman mekanis tambahan atau damper telah dipelajari oleh
berbagai peneliti. Sistem passive damper seperti TMD (tuned mass damper) dan MTMD
(multiple tuned mass damper) dianggap tidak cocok untuk dek jembatan bentang
panjang karena membutuhkan ruang dan dimensi yang besar. Sistem AMD (active mass
damper), meskipun memiliki kinerja yang bagus tetapi membutuhkan pasokan tenaga
yang besar (Li dkk, 2015).
9
Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”
Analisis flutter yang umum –seperti CEV atau SBS- adalah pada domain frekuensi
(frequency domain). Sistem kontrol aktif ataupun pasif, berbeda dengan analisis flutter
yang dibahas sebelumnya, membutuhkan analisis pada domain waktu (time domain
analysis). Rational function approximation (RFA) dibutuhkan untuk memformulasikan
gara aerodinamik dalam persamaan yang memiliki domain waktu (Omenzetter dkk,
2000).
Gambar 8 Konsep Kontrol Pasif pada Dek untuk Mitigasi Flutter (Omenzetter dkk,
2002)
5 KESIMPULAN
Fenomena ketidakstabilan flutter pada jembatan bentang panjang menjadi salah satu
kriteria yang dominan dalam perencanan. Beberapa hal yang penting dalam usaha
memitigasi flutter adalah:
1. Pemahaman terhadap proses fisik aerodinamik dan aeroelastik yang terjadi:
medan aliran sekitar benda dan dinamika akibat interaksi struktur-aliran.
2. Mitigasi flutter bisa dilakukan dengan 3 pendekatan: pendekatan struktural,
pendekatan aerodinamik dan pendekatan kontrol mekanis.
3. Meskipun proses validasi usaha mitigasi getaran dilakukan dengan uji
terowongan angin, analisis dengan pemodelan matematis sangat membantu
untuk tahap awal perencanaan dan menghindari proses trial & error yang
berlebihan.
4. Pendekatan aerodinamik akan tetap menjadi alternatif solusi untuk mengatasi
flutter pada jembatan panjang saat sekarang atau beberapa tahun ke depan.
Namun untuk bentang super panjang (> 3000 m) di masa depan, pendekatan
kontrol menjadi pilihan yang masih dikaji kelayakannya.
10
Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”
Tabel 1 Perkembangan Dek Jembatan Bentang Panjang dan Perencanaannya Terhadap Fenomena Aeroelastik
Jembatan Great East (Denmark), 1642 m, 1998 Dek : single box girder dengan fairings
1. Dari pengalaman jembatan sebelumnya di Denmark, telah
Tambahan : diketahui bahwa pembangunan dan perawatan jembatan
1. Penahan angin dengan tinggi 2.4 m dengan dek single box girder akan lebih murah daripada
pilihan dek tipe lain (Larsen & Gimsing, 1992), sehingga sejak
dan 50% porositas
awal perencanaan jembatan ini telah fokus pada studi dek
2. Guide vanes single box girder (Gimsing, 1998).
2. Pada akhir masa konstruksi, getaran dengan amplitudo besar
Kec. Kritis flutter : 70 – 75 m/detik
muncul pada kecepatan angin rendah sekitar 5-10 m/detik.
Studi dan modifikasi dilakukan menambahkan guide vanes
B/D : 7.75
pada bagian bawah jembatan (Larsen dkk., 2000)
2
Berat dek : 0.40 ton/m
Jembatan Akashi Kaikyo (Jepang), 1991 m, 1998 1. Dek single box girder tidak memenuhi persyaratan stabilitas
flutter. Dek double box girder dengan celah di tengah bisa
memenuhi persyaratan stabilitas flutter, tetapi masalah VIV
muncul pada kecepatan angin relatif rendah. Selain itu,
Dek: rangka baja kaku volume baja yang dibutuhkan lebih besar daripada pilihan
dek rangka baja kaku. Bentuk dek single box girder yang
Tambahan : tidak seragam (dimensi lebih besar pada daerah dekat pylon)
1. Grating atau kisi-kisi pada tengah memenuhi persyaratan stabilitas flutter dan ekonomis. Tetapi
metode konstruksinya lebih rumit karena membutuhkan
dek dan posisi bahu jalan
penutupan sementara selat Akashi untuk lifting segmen dek.
2. Stabilizer vertikal di tengah dek (di Dengan pertimbangan ini, akhirnya dek rangka baja kaku
bawah grating) dipilih (Miyata dkk, 1992).
2. Berdasarkan uji terowongan angin full model, timbul
Kec. Kritis flutter: 80 m/s deformasi lateral yang besar akibat beban angin statik.
Besarannya ekivalen dengan deformasi 30 m dengan rotasi
B/D : 2.5 0
4 pada kecepatan angin 74 m/detik (Miyata & Yamaguchi,
2 1993). Hal ini disebabkan oleh nilai koefisien seret (drag)
Berat dek: 0.85 ton/m yang besar dan menjadi kelemahan dek rangka baja dengan
dimensi relatif besar. Deformasi dan rotasi yang besar akibat
beban angin statik ini mempengaruhi kecepatan kritis flutter
(Matsumoto, 2010).
Jembatan Tsing Ma (Hongkong/Cina), 1377 m, 1997 Dek: Rangka baja dengan double deck 1. Penggunaan double deck dengan penambahan penutup pada
dan fairings sisi dek menghasilkan jembatan yang tetap bisa beroperasi
saat cuaca buruk.
Tambahan :
1. Permukaan dek yang terbuka dan 2. Hasil pengujian terowongan angin menunjukkan bahwa
11
Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”
dipasang grating pada sisi atas dan kecepatan angin di dek bawah tidak melebihi 40% dari
bawah kecepatan angin di luar dek.
B/D : 5.39
Airport Railway
2
Berat dek: 0.55 ton/m
Longitudinal truss
Jembatan Runyang (Cina), 1490 m, 2005 Dek : single box girder with fairings
1. Merupakan jembatan dengan dek single box girder terpanjang
Tambahan : di dunia saat ini.
1. Stabilizer vertikal di tengah dek 2. Stabilizer vertikal di tengah dek meningkatkan stabilitas
terhadap flutter. Peningkatan tersebut cukup besar pada
pengujian penampang dek, di mana untuk kasus sudut serang
0
Kec. Kritis flutter: 55 m/s +3 , kecepatan kritis flutter meningkat dari 50.8 m/detik
menjadi 64.9 m/detik. Tetapi dari hasil pengujian full model,
B/D: 12.1 peningkatan kecepatan kritis untuk kasus yang sama hanya
dari 52.5 m/detik menjadi 55.1 m/detik (Ge & Xiang, 2009).
Berat dek: -
Jembatan Xihoumen (China), 1650 m, 2009 Dek : twin box girder dengan fairings dan
celah dengan b/B = 0.17 1. Dari pengujian penampang dek, didapatkan bahwa single box
Tambahan : girder dengan stabilizer vertikal memenuhi persyaratan
0
1. Tepi bagian dalam box stabilitas flutter. Tetapi untuk kasus sudut serang +3 ,
0 kecepatan kritis flutter sangat sensitif terhadap tinggi stabilizer
menggunakan chamfer 45
vertikal tersebut (Ge & Xiang, 2009) :
2. Posisi rel untuk inspeksi dan
perawatan pada bagian bawah dek Single box girder Uc=48 m/detik
dioptimasi terhadap efek
aerodinamik Dengan tinggi stabilizer 1.2 m Uc=37 m/detik
Dengan tinggi stabilizer 1.7 m Uc=43 m/detik
Kec. Kritis flutter: 89 m/s
Dengan tinggi 2.2 m Uc=88 m/detik
B/D : 10.6 2. Stabilitas dek lebih konsisten jika menggunakan double box
girder
2
Berat dek : 0.76 ton/m
12
Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”
6 REFERENSI
13
Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”
Matsumoto, M., Taniwaki, Y., Shijo, R. (2002) „Frequency Characteristics in Various
Flutter Instabilities of Bridge Girders‟, Journal of Wind Engineering and Industrial
Aerodynamics, 90, pp. 1973-1980.
Matsumoto, M., Shijo, R., Eguci, A., Hikida, T., Tamaki, H., and Mizuno. K. (2004) „On
The Flutter Characteristics of Separated Two Box Girders‟, Wind and Structures,
7(4), pp. 281-291.
Matsumoto, M., Mizuno, K., Okubo, K., Ito, Y., and Matsumiya, H. (2007) „Flutter
Instability and Recent Development in Stabilization of Structures‟, Journal of Wind
Engineering and Industrial Aerodynamics, 95, pp. 888-907.
Miyata, T., Yamada, H. (1990) „Coupled Flutter Estimate of A Suspension Bridge‟,
Journal of Wind Engineering and Industrial Aerodynamics, 33 (1-2), pp. 341-348.
Miyata, T., Matsumoto, H., Yasuda, M. (1992) ‘Circumstances of Wind Resistant Design
Examinations for Very Long Span Suspension Bridge‟, Journal of Wind
Engineering and Industrial Aerodynamics, 41-44, pp. 1371-1382.
Miyata, T., and Yamaguchi, K. (1993) „Aerodynamic of Wind Effects on the Akashi
Kaikyo Bridge‟, Journal of Wind Engineering and Industrial Aerodynamics, 48, pp.
287-315.
Miyata, T., Yamada, H., Katsuchi, H., and Suangga, M. (2001) „Optimum Suspension
Bridge Configuration Against Flutter and Construction Cost‟, EASEC 8, Singapore,
December 5-7 2001.
Naudascher, E., Rockwell, D. (1994), „Flow-induced vibration: an engineering guide‟, A.
A Balkema, Rotterdam.
Omenzetter, P., Wilde, K., Fujino, Y. (2000) „Suppression of Wind-Induced Instabilities of
A Long Span Bridge by A Passive Deck-Flaps Control System – Part I:
Formulation‟, Journal of Wind Engineering and Industrial Aerodynamics, 87, pp.
61-79.
Omenzetter, P., Wilde, K., Fujino, Y. (2002) „Study of Passive Deck-Flaps Flutter Control
System on Full Bridge Model – I: Theory‟, Journal of Engineering Mechanics, 128
(3), pp. 264-279.
Omenzetter, P., Wilde, K., Fujino, Y. (2002) „Study of Passive Deck-Flaps Flutter Control
System on Full Bridge Model – II: Results‟, Journal of Engineering Mechanics, 128
(3), pp. 280-286.
Ostenfeld, K. H., Larsen, A. (1992) „Bridge Engineering and Aerodynamics‟, Proceeding
of the First international Symposium on Aerodynamics of Large Bridges,
Copenhagen, Denmark.
Permata, R. (2014), Flutter Stabilization of Long Span Suspension Bridges with Slender
Deck: Study on The Improvement of Aerodynamic Properties from Unsteady
Pressure Characteristics Point of View, Dissertation, Kyoto University, Kyoto,
Japan.
Permata, R., Shirato, H. (2014) „Instabilitas Flutter pada jembatan Suspensi Bentang
Panjang dengan Dek Tipis: Studi Modifikasi Sifat Aerodinamik Penampang dengan
Pendekatan Unsteady Pressure Characteristics’, KNPTS 2014, Bandung, 21
November 2014.
Piesold, D. D. A, Corney, J. M. (1999) „Active Aerofoil Stabilization of Cable-Supported
Bridge Decks‟, Proc. Instn Civ. Engrs Structs & Bldgs, 134, pp. 67-76.
Sato, H., Hirahara, N., Fumoto, K., Hirano, S., and Kusuhara, S. (2002) „Full Aeroelastic
Model Test of A Super Long-Span Bridge with Slotted Box Girder‟, Journal of Wind
Engineering and Industrial Aerodynamics, 90, pp. 2023-2032.
Scanlan, R. H., and Tomko, J. J. (1971) „Airfoil and Bridge Deck Flutter Derivatives‟,
Journal of Engineering Mechanic Division, ASCE 97, EM6, pp. 1717-1737.
Scott, R. (2001) „In the Wake of Tacoma Bridge : Suspension Bridges and The Quest for
Aerodynamic Stability’, ASCE Press.
14
Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”
Trein, C. A., Shirato, H. (2011) „Coupled Flutter Stability from The Unsteady Pressure
Characteristics Point of View’, Journal of Wind Engineering and Industrial
Aerodynamics, 99, pp. 114-122.
Trein, C. A., Shirato, H., Matsumoto, M. (2015) „On The Effects of The Gap on The
Unsteady Pressure Characteristics of Two-Box Bridge Girders‟, Engineering
Structures, 82, pp. 121-133.
Ueda, T., Tanaka, H., Matsushita, Y. (1998), „Aerodynamic Stabilization for Super Long
Span Suspension Bridges‟, IABSE Symposium Report vol. 79, Kobe, Japan.
Wilde, K., Fujino, Y. (1998) „Aerodynamic Control of Bridge Deck Flutter by Active
Surfaces‟, Journal of Engineering Mechanics, 124 (7), pp. 718-727.
Wilde, K., Fujino, Y., Kawakami, T. (1999) „Analytical and Experimental Study on Passive
Aerodynamic Control of Flutter of A Bridge Deck‟, Journal of Wind Engineering and
Industrial Aerodynamics, 80, pp. 105-119.
Xiang, H. F., and Ge, Y. J. (2007) „Aerodynamic Challenges in Span Length of
Suspension Bridges‟, Front. Archit. Civ. Eng. China, 1(2), pp. 153-162.
15
Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”