Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling
sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada
mereka yang menurun sistem imunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi
jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang
sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik
atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut
merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsil. Di
Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per
tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.15

Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher
dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi,
mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana
yang terlibat. Gejala dan tanda klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan.
Abses peritonsil (Quinsy) merupakan salah satu dari Abses leher dalam dimana
selain itu abses leher dalam dapat juga abses retrofaring, abses parafaring, abses
submandibula dan angina ludovici (Ludwig Angina) . 6

Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada
bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah
peritonsil. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah
pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior.15

Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri


penginfeksi tenggorokan kesalah satu ruangan areolar yang longgar disekitar
faring menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul
tonsil tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
2.1.1. Anatomi Tonsil

Tonsil palatina adalah massa jaringan limfoid yang terletak didalam fosa
tonsillaris pada dinding lateral orofaring. Tonsil palatina merupakan bagian dari
cincin waldeyer. Jaringan limfoid yang mengelilingi faring, pertama kali
digambarkan anatominya oleh Heinrich von Waldeyer, seorang ahli anatomi
Jerman. Jaringan limfoid lainnya yaitu adenoid (tonsil pharingeal), tonsil lingual,
pita lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa
Rossenmuler, dibawah mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium
tuba eustachius (tonsil Gerlach’s).10

Faring dibagi menjadi nasofaring, orofaring dan laringofaring. Nasofaring


merupakan bagian dari faring yang terletak diatas pallatum molle, orofaring yaitu
bagian yang terletak diantara palatum molle dan tulang hyoid, sedangkan
laringofaring bagian dari faring yang meluas dari tulang hyoid sampai ke batas
bawah kartilago krikoid. Orofaring terbuka ke rongga mulut pada pilar anterior
faring. Pallatum molle (vellum palati) terdiri dari serat otot yang ditunjang oleh
jaringan fibrosa yang dilapisi oleh mukosa. Penonjolan di median membaginya
menjadi dua bagian. Bentuk seperti kerucut yang terletak disentral disebut uvula.5

2
Gambar 1. Anatomi rongga mulut

Tonsil palatina terdiri dari9:

 Korteks : Di dalam nya terdapat germinating folikel, tempat


pembentukan limfosit, plasma sel.

 Medula : Terdiri dari jaringan ikat yang merupakan kerangka


penyokong tonsil & berhubungan dengan kripta.

Batas-batas tonsil palatina9:

 Lateral : Kapsul fibrous yang berhubungan dengan fasia pharingo-


basilaris yang menutupi m. konstriktor pharing superior. Masuk ke
dalam parenkim tonsil akan membentuk septa dan membawa pembuluh
darah dan saraf.

 Medial : Mukosa yang dibentuk oleh epitel selapis gepeng, kripta, dan
mikrokripta.

 Posterior : Pilar posterior yang dibentuk oleh palatopharingeus yang


berjalan dari bagian bawah pharing menuju aponeurosis palatum molle.

 Anterior : Pilar anterior yang dibentuk oleh palatoglossus yang berjalan


dari permukaan bawah lidah menuju aponeurosis palatum molle.

3
Palatoglosus mempunyai origo seperti kipas di permukaan oral palatum
mole dan berakhir pada sisi lateral lidah. Palatofaringeus merupakan otot yang
tersusun vertikal dan diatas melekat pada palatum mole, tuba eustachius dan dasar
tengkorak. Otot ini meluas kebawah sampai kedinding atas esofagus. Otot ini lebih
penting daripada palatoglosus dan harus diperhatikan pada operasi tonsil agar tidak
melukai otot ini. Kedua pilar bertemu diatas untuk bergabung dengan paltum mole.
Di inferior akan berpisah dan memasuki jaringan pada dasar lidah dan lateral
dinding faring.

Plika triangularis (tonsilaris) merupakan lipatan mukosa yang tipis, yang


menutupi pilar anterior dan sebagian permukaan anterior tonsil. Plika semilunaris
(supratonsil) adalah lipatan sebelah atas dari mukosa yang mempersatukan kedua
pilar. Fossa supratonsil merupakan celah yang ukurannya bervariasi yang terletak
diatas tonsil diantara pilar anterior dan posterior. Celah atau ruangan ini terjadi
karena tonsil tidak mengisi penuh fossa tonsil. Tonsil palatina lebih padat
dibandingkan jaringan limfoid lain, berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm,
Permukaan sebelah dalam tertutup oleh membran epitel skuamosa berlapis yang
sangat melekat. Permukaan lateral-nya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan
medial terdapat kripta. Kripta tonsil berbentuk saluran tidak sama panjang dan
masuk ke bagian dalam jaringan tonsil yang mengandung jaringan limfoid dan
disekelilingnya terdapat jaringan ikat. Ditengah kripta terdapat muara kelenjar
mukus. Permukaan kripta ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel permukaan
medial tonsil. Umumnya berjumlah 8-20 buah untuk masing-masing tonsil,
kebanyakan terjadi penyatuan beberapa kripta. Saluran kripta ke arah luar biasanya
bertambah luas. Secara klinik kripta dapat merupakan sumber infeksi, baik lokal
maupun umum karena dapat terisi sisa makanan, epitel yang terlepas, kuman.10

4
Gambar 2. Anatomi Tonsil Palatina dan jaringan sekitarnya.

Bagian luar tonsil terikat pada m.konstriktor faringeus superior, sehingga


tertekan setiap kali menelan, m. palatoglusus dan m. palatofaring juga menekan
tonsil. Selama masa embrio, tonsil terbentuk dari kantong pharyngeal kedua sebegai
tunas dari sel endodermal. Singkatnya setelah lahir, tonsil tumbuh secara irregular
dan sampai mencapai ukuran dan bentuk, tergantung dari jumlah adanya jaringan
limphoid.5

Struktur di lateral terdapat kapsul yang dipisahkan dari m.konstriktor faring


superior oleh jaringan areolar longgar. V. palatina externa berjalan turun dari
palatum molle dalam jaringan ikat longgar ini, untuk bergabung dengan pleksus
venosus pharyngeus. Lateral terhadap m.konstriktor faring superior terdapat m.
styloglossus dan lengkung a.facialis. A. Carotis interna terletak 2,5 cm di belakang
dan lateral tonsilla.8

Tonsilla palatina mendapat vaskularisasi dari ramus tonsillaris yang


merupakan cabang dari arteri facialis, cabang – cabang a. lingualis, a. palatina
ascendens a. pharyngea ascendens. Sedangkan inervasinya diperoleh dari n.
glossopharyngeus dan n. palatinus minor. Pembuluh limfe masuk dalam nl.
cervicales profundi. Nodus paling penting pada kelompok ini adalah nodus
jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibulae.10
5
Ruang Peritonsiler3,12

Ruang peritonsil letaknya berbatasan sebelah medial dengan kapsul tonsil


palatine, sebelah lateral dengan muskulus kontriktor faring superior, sebelah
anterior dengan pilar anterior dan sebelah posterior dengan pilar posterior.

Akumulasi nodus berlokasi di antara kapsul tonsil palatinus dan otot-otot


konstriktor pharynx. Pillar anterior dan posterior, torus tubarius (superior), dan sinus
piriformis (inferior) membentuk batas-batas potential peritonsillar space.

2.1.2. Fisiologi

Faring

Fungsi faring terutama untuk pernapasan, menelan, resonansi suara


dan artikulasi. Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama, gerakan
makanan dari mulut ke faring secara volunter. Tahap kedua, transport
makanan melalui faring, dan tahap ketiga, jalannya bolus melalui esofagus,
keduanya secara involunter. Langkah yang sebenarnya adalah: pengunyahan
makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah. Elevasi lidah dan palatum
mole mendorong bolus ke orofaring. Otot suprahioid berkontraksi, elevasi
tulang hioid dan laring dan dengan demikian membuka hipofaring dan sinur
piriformis. Secara bersamaan otot laringis intrinsik berkontraksi dalam
gerakan seperti sfingter untuk mencegah aspirasi. Gerakan yang kuat dari
lidah bagian belakang akan mendorong makanan ke bawah melalui
orofaring, gerakan dibantu oleh kontraksi otot konstriktor faringis media dan
superior. Bolus dibawa melalui introitus esofagus ketika otot konstriktor
faringis inferior berkontraksi dan otot krikofaringeus berelaksasi. Peristaltik
dibantu oleh gaya berat, menggerakkan makanan melalui esofagus dan
masuk ke lambung.6

Laring

Walaupun laring biasanya dianggap sebagai organ penghasil suara,


namun ternyata mempunyai tiga fungsi utama, yaitu proteksi jalan napas,
respirasi, dan fonasi. Kenyataannya, secara filogenetik, laring mula-mula
6
berkembang sebagai suatu sfingter yang melindungi saluran pernapasan,
sementara perkembangan suara merupakan peristiwa yang terjadi
belakangan.

Perlindungan jalan napas selama aksi menelan terjadi melalui


berbagai mekanisme berbeda. Aditus laringis sendiri tertutup oleh kerja
sfingter dari otot tiroaritenoideus dalam plika ariepiglotika dan korda vokalis
palsu, di samping aduksi korda vokalis sejati dan aritenoid yang ditimbulkan
oleh otot intrinsik laring lainnya. Elevasi laring di bawah pangkal lidah
melindungi laring lebih lanjut dengan mendorong epiglotis dan plika
ariepiglotika ke bawah menutup aditus. Struktur ini mengalihkan makanan
ke lateral, menjauhi aditus laringis dan masuk ke sinus piriformis,
selanjutnya ke introitus esofagi. Relaksasi otot krikofaringeus yang terjadi
bersamaan mempermudah jalan makanan ke dalam esofagus sehingga tidak
masuk ke laring. Di samping itu, respirasi juga dihambat selama proses
menelan melalui suatu refleks yang diperantarai reseptor pada mukosa
daerah supraglotis. Hal ini mencegah inhalasi makanan atau saliva.

Pada bayi posisi laring yang lebih tinggi memungkinkan kontak


antara epilglotis dengan permukaan posterior palatum mole. Maka bayi-bayi
dapat bernapas selama laktasi tanpa masuknya makanan ke jalan napas.

Selama respirasi, tekanan intratoraks dikendalikan oleh berbagai


derajat penutupan korda vokalis sejati. Perubahan tekanan ini membantu
sistem jantung seperti juga ia mempengaruhi pengisian dan pengosongan
jantung dan paru. Selain itu, bentuk korda vokalis palsu dan sejati
memungkinkan laring berfungsi sebagai katub tekanan bila menutup,
memungkinkan peningkatan tekanan intratorakal yang diperlukan untuk
tindakan-tindakan mengejan, misalnya mengangkat berat atau defekasi.
Pelepasan tekanan secara mendadak menimbulkan batuk yang berguna
untuk mempertahankan ekspansi alveoli terminal dari paru dan
membersihkan sekret atau partikel makanan yang berakhir dalam aditus
laringis, selain semua mekanisme proteksi lain yang disebutkan di atas.

7
Namun, pembentukan suara agaknya merupakan fungsi laring yang
paling kompleks dan paling baik diteliti. Korda vokalis sejati yang terduksi,
kini diduga berfungsi sebagai suatu alat bunyi pasif yang bergetar akibat
udara yang dipaksa antara korda vokalis sebagai akibat kontraksi otot-otot
ekspirasi. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai
cara. Otot intrinsik laring (dan krikotiroideus) berperan penting dalam
penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujung-ujung
bebas korda vokalis sejati dan tegangan korda itu sendiri. Otot ekstralaring
juga dapat ikut berperan. Semuanya ini dipantau melalui suatu mekanisme
umpan balik yang terdiri dari telinga manusia dan suatu sistem dalam laring
sendiri yang kurang dimengerti. Sebaliknya, kekerasan suara pada hakekata
proporsional dengan tekanan aliran udara subglotis yang menimbulkan
gerakan korda vokalis sejati. Di lain pihak, berbisik diduga terjadi akibat
lolosnya udara melalui komisura posterior di antara aritenoid yang
terabduksi tanpa getaran korda vokalis sejati

Tonsil

Tonsil dan adenoid adalah jaringan limfoid pada faring posterior di


area cincin Waldeyer. Fungsinya adalah untuk melawan infeksi.

2.2 Definisi
Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian
kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsilar.
Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah pillar tonsil
anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior.

Abses Peritonsil (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus


(nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang
terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.

Abses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasi di spatium
peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat di antara tonsil dengan m. kontriktor
8
superior, biasanya unilateral dan didahului oleh infekrsi tonsilopharingitis akut 5-7
hari sebelumnya.

2.3 Epidemiologi
Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering
terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka
yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan
napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama
antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau
percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan
predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsiler. Di Amerika
insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun,
dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.

2.4 Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber
dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama
dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.

Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah


Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus
aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan
adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium,dan
Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan
karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobic.

2.5 Patogenesis
Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling
banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis eksudatif pertama

9
menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang sebenarnya
(frank abscess formation).

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat


longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering
menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses
peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada stadium
permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang
hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-
kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan
terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan
di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga
timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.

2.6 Gejala
Abses peritonsil akan menggeser kutub superior tonsil ke arah garis tengah dan
dapat diketahui derajat pembengkakan yang ditimbulkan di palatum molle. Terdapat
riwayat faringitis akut, tonsillitis, dan rasa tidak nyaman pada tenggorokan atau
faring unilateral yang semakin memburuk. Keparahan dan progresivitasnya
ditunjukkan dari trismus. Kebanyakan pasien menderita nyeri hebat.13
Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain panas sub febris, disfagia dan
odinofagia yang menyolok dan spontan, “hot potato voice”, mengunyah terasa sakit
karena m. masseter menekan tonsil yang meradang, nyeri telinga (otalgia)
ipsilateral, foetor ex orae, perubahan suara karena hipersalivasi dan banyak ludah
yang menumpuk di faring, rinolalia aperta karena udem palatum molle (udem dapat
terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotis = udem perifokalis),
trismus (terbatasnya kemampuan untuk membuka rongga mulut) yang bervariasi,
tergantung derajat keparahan dan progresivitas penyakit, trismus menandakan
adanya inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna, sehingga
menimbulkan spasme muskulus tersebut. Akibat limfadenopati dan inflamasi otot,
pasien sering mengeluhkan nyeri leher dan terbatasnya gerakan leher (torticolis).9,15

10
Gambar 3. tonsillitis akut (sebelah kiri) dan abses peritonsil (sebelah kanan).

Gambar 4. Abses peritonsiler

2.7 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring sampai
dehidrasi dan sepsis. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional.
Pada pemeriksaan kavum oral terdapat eritema, asimetri palatum mole, eksudasi
tonsil, dan pergeseran uvula kontralateral. Dan pada palpasi palatum molle teraba
fluktuasi..6 Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan pada
pasien yang mengalami kesulitan bernapas, untuk melihat ada tidaknya epiglotitis
dan supraglotis.14,15

11
2.8 Pemeriksaan penunjang
PTA biasanya unilateral dan terletak di pole superior dari tonsil yang terkena,
di fossa supratonsillar. Mukosa di lipatan supratonsillar tampak pucat dan bahkan
seperti bintil – bintil kecil.

Palpasi daerah palatum mole terdapat fluktuasi. Nasofaringoskopi dan


laringoskopi fleksibel direkomendasikan untuk penderita yang mengalami
gangguan pernafasan.13

Prosedur diagnosis yaitu dengan melakukan aspirasi jarum. Tempat yang akan
dilakukaan aspirasi dibius atau dianestesi menggunakan lidokain dan epinephrine
dengan menggunakan jarum besar (berukuran 16–18) yang biasa menempel pada
syringe berukuran 10cc. Aspirasi material yang purulen merupakan tanda khas, dan
material dapat dikirim untuk dibiakkan untuk mengetahui organisme penyebab
infeksi demi kepentingan terapi antibiotika.

Pada penderita PTA perlu dilakukan pemeriksaan:


1. Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit
(electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures). Karena
pasien dengan abses peritonsil seringkali dalam keadaan sepsis dan
menunjukkan tingkat dehidrasi yang bervariasi akibat tidak tercukupinya asupan
makanan.

2. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan


tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif,
penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function
tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.

3. “Throat culture” atau “throat swab and culture”: diperlukan untuk identifikasi
organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik
yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik.

12
4. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views)
dari nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan
diagnosis abses retropharyngeal.

5. Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan


hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan “peripheral
rim enhancement”. Gambaran lainnya termasuk pembesaran asimetrik tonsil dan
fossa sekitarnya.

6. Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography merupakan teknik


pencitraan yang simpel dan non-invasif, dapat membedakan selulitis dan abses.

2.9 Komplikasi
Komplikasi abses peritonsil dapat berupa edema laring akibat tertutupnya rima
glotis atau edema glotis akibat proses perluasan radang ke bawah. Keadaan ini
membahayakan karena bisa menyebabkan obstruksi jalan napas. Abses yang pecah
secara spontan terutama waktu tidur dapat mengakibatkan aspirasi pneumonia dan
piemia. Abses yang ruptur spontan biasanya pecah dari pilar anterior. Penjalaran
infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga dapat terjadi abses parafaring.
Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis. Bila
terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus
kavernosus, meningitis, dan abses otak. Sekuele poststreptokokus
(glomerulonefritis, demam rhematik) apabila bakteri penyebab infeksi adalah
streptococcus Grup A. Kematian, walaupun jarang dapat terjadi akibat perdarahan
atau nekrosis septik ke selubung karotis atau carotid sheath. Dapat juga terjadi
peritonsilitis kronis dengan aliran pus yang berjeda.Komplikasi juga terjadi akibat
tindakan insisi pada abses akibat perdarahan yang terjadi pada arteri supratonsilar.

Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA diabaikan.
Beratnya komplikasi tergantung dari progresivitas penyakit. Untuk itulah diperlukan
penanganan dan intervensi sejak dini.

13
2.10 Penatalaksanaan
Meskipun abses peritonsil merupakan komplikasi tersering dari tonsilitis
akut, penatalaksanaan dari abses peritonsil masih kontroversial.
Penatalaksanaan yang umum dikenal untuk abses peritonsil adalah insisi,
drainase dan terapi antibiotika, diikuti oleh tonsilektomi beberapa minggu
kemudian. Rawat inap mungkin diperlukan, terutama pada pasien anak-anak.
Namun, orang dewasa dan anak-anak yang lebih tua dengan abses peritonsil
ringan dapat dirawat sebagai pasien rawat jalan setelah dilakukan drainase dan
bila dapat mengkonsumsi obat oral dan hidrasi.
• Terapi Antibiotik
Salah satu faktor yang masih merupakan kontroversi dalam penanganan
abses peritonsil adalah pemilihan antibiotik sebelum dan sesudah pembedahan.
Antibiotik pada gejala awal diberikan dalam dosis tinggi disertai obat
simptomatis, kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres hangat pada
leher.
Dengan mengutamakan pemeriksaan kultur dan sensitifitas, pemberian
antibiotik ditujukkan pada jenis bakteri mana yang lebih banyak muncul.
Penisilin dan sefalosporin generasi pertama, kedua atau ketiga umumnya
merupakan antibiotik pilihan.
Penisilin dapat digunakan pada penderita abses peritonsil yang diperkirakan
disebabkan oleh kuman Staphylococcus. Metronidazol merupakan antibiotik
yang sangat baik untuk infeksi anaerob. Tetrasiklin merupakan antibiotik
alternatif yang sangat baik bagi orang dewasa, meskipun klindamisin saat ini
dipertimbangkan sebagai antibiotik pilihan untuk menangani bakteri yang
memproduksi beta laktamase.
• Insisi dan Drainase
Insisi dan drainase pada abses peritonsil dapat disebut juga intraoral
drainase. Tujuan utama tindakan ini adalah mendapatkan drainase abses yang
adekuat dan terlokalisir secara cepat. Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi
pada pembengkakan didaerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah paling
berfluktuasi.

14
Pada penderita dengan keadaan sadar, tindakan dapat dilakukan dengan
posisi duduk menggunakan anestesi lokal. Pada penderita yang memerlukan
anestesi umum, posisi penderita saat tindakan adalah kepala lebih rendah atau
posisi Trendelenberg menggunakan pipa endotrakeal. Anestesi lokal dapat
dilakukan pada cabang tonsilar dari nervus glossofaringeus atau N. IX yang
memberikan inervasi sensoris mayoritas pada daerah ini, dengan menyuntikkan
lidokain melalui mukosa ke dalam fosa tonsil. Insisi menggunakan pisau skalpel
no.11. Lokasi insisi dapat diidentifikasi pada pembengkakan di daerah pilar-
pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah yang paling fluktuatif, pada titik yang
terletak dua pertiga dari garis khayal yang dibuat antara dasar uvula dengan
molar terakhir, pada pertengahan garis horizontal antara pertengahan basis uvula
dan M3 atas, pada pertemuan garis vertikal melalui titik potong pinggir medial
pilar anterior dengan lidah dengan garis horizontal melalui basis uvula, pada
pertemuan garis vertikal melalui pinggir medial M3 bawah dengan garis
horizontal melalui basis uvula. Insisi diperdalam dengan klem dan pus yang
keluar langsung dihisap dengan menggunakan alat penghisap.
Tindakan menghisap pus ini penting dilakukan untuk mencegah aspirasi
yang dapat mengakibatkan timbulnya pneumonitis. Biasanya bila insisi yang
dibuat tidak cukup dalam, harus lebih dibuka lagi dan diperbesar. Setelah cukup
banyak pus yang keluar dan lubang insisi yang cukup besar, penderita kemudian
disuruh berkumur dengan antiseptik dan diberi terapi antibiotika. Umumnya
setelah drainase terjadi, rasa nyeri akan segera berkurang. Pus yang keluar juga
sebaiknya diperiksakan untuk tes kultur dan sensitifitas, biasanya diambil saat
aspirasi (diagnosis).
Tonsilektomi merupakan penanganan yang terbaik untuk mencegah
rekurensi abses peritonsil. Waktu pelaksanaan tonsilektomi sebagai terapi abses
peritonsil bervariasi, yaitu: 1) Tonsilektomi a chaud: dilakukan
segera/bersamaan dengan drainase abses, 2) Tonsilektomi a tiede: dilakukan 3-
4 hari setelah insisi dan drainase, 3)Tonsilektomi a froid: dilakukan 4-6 minggu
setelah drainase.
Saat ini tampaknya dibenarkan bahwa tonsilektomi pada abses peritonsil,
dilakukan dalam anestesi umum, melalui tonsilektomi secara diseksi dan dalam
15
perlindungan terapi antibiotika adalah suatu operasi yang memberikan resiko
yang sama dengan tonsilektomi abses pada fase tenang (cold tonsillectomy).
Pada umumnya insisi dan drainase diikuti dengan tonsilektomi 6-12 minggu
kemudian adalah prosedur terapi abses peritonsil. Pasien harus dilakukan operasi
2-3 hari setelah infeksi terkontrol jika ukuran luka pada abses yang pecah
spontan kurang dari 2,5 cm. Namun, bila ukuran luka pada abses yang pecah
spontan lebih dari 2,5 cm maka tindakan operasi harus dilakukan segera dengan
tetap memperhatikan kondisi umum dan komplikasi sistemik pada pasien.
Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang
dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal
intravenous dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti secara
signifikan mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours hospitalized), nyeri
tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan
kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.

2.11 Prognosis
Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan
tonsilektomi, maka ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat
tersebut peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan
granulasi pada saat operasi.

16
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : An. N
Umur : 14 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Telaga murni blok D4/5
Agama : Islam
Suku : Betawi
Tanggal Masuk RS : 14 April 2019
Tanggal Periksa : 15 April 2019
Rekam Medis : 83-67-22-00

3.2 ANAMNESA

Anamnesis : Autoanamnesis
Keluhan Utama : Nyeri menelan

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan nyeri menelan sejak 7 hari yang lalu. Pasien
merasa nyeri menelan tersebut semakin lama semakin mengganggu menjalar hingga
ke telinga dan hidung, akibatnya telinga kanan terasa nyeri. Pasien merasa tidurnya
mengorok, demam (+) dirasakan sejak nyeri menelan tetapi demam tidak terlalu
tinggi. Pasien mengatakan saat makan dan minum nyeri menelan semakin terasa,
pasien sering minum air dingin, makan es krim, dan makanan pedas. Pasien juga
merasakan mulut berbau tidak enak, saat berbicara seperti orang yang sedang
bergumam, serta sulit membuka mulut, pasien hanya bisa membuka mulut sekitar
kurang lebih 1 jari. Pasien menyangkal adanya batuk dan pilek, gigi bolong.

17
Riwayat penyakit terdahulu

2 tahun yang lalu, pasien mengalami keluhan yang sama, dilakukan tindakan insisi
pada tanggal 27/ 08/ 2017

Riwayat keluarga

Pasien mengatakan keluarga tidak mempunyai keluhan yang sama

Riwayat pengobatan

2 tahun yang lalu, pasien sempat dirawat dengan keluhan yang sama.
Pasien sudah berobat di klinik dan diberi antibiotic, antipiretik, analgetik (tetapi
psien lupa nama obatnya) selama 3 hari tapi tidak membaik

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


• Keadaan umum : Tampak sakit sedang
• Kesadaran : Komposmentis
• GCS : E4 V5 M6
• Tekanan Darah : 110/70 mmHg
• Nadi : 90 x/menit
• Napas : 22 x/menit
• Suhu : 36,7 oC
Status Generalisata
• Kepala
Normocephali, UUB datar.
• Mata :
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor 3mm/3mm,
refleks cahaya (+/+)
• Telinga :
Bentuk normal simetris, secret (-/-), nyeri tekan (-/-)
18
• Hidung :
Napas cuping hidung (-), keluar cairan (-)
• Mulut
Tonsil: kemerahan (+), detritus (+), T4/T2, infiltrate (+), fluktuatif (-), uvula
terdorong ke kiri, kriptus melebar (+), faring hiperemis (+), debris +/+,
pseudomembran (-)
• Leher
Pembesaran KGB (-), benjolan (-), nyeri tekan (+) di leher kanan
• Toraks
Pulmo :
a. Inspeksi : bentuk dinding dada simetris, ukuran normal, pergerakan dinding
dada simetris, retraksi sela iga (-),.
b. Palpasi : Pergerakan dinding dada simetris
c. Perkusi : sonor pada kedua lapang atas, tengah dan bawah paru.
d. Auskultasi : Suara nafas vesikuler pada lapangan paru kanan dan kiri,
wheezing -/-, ronkhi (-/-), stridor (-/-)
Cor :
BJ I – II regular, gallop (-), murmur (-)
• Abdomen
a. Inspeksi : Distended (-)
b. Auskultasi : bising usus (+) normal
c. Perkusi : timpani
d. Palpasi : Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba, turgor N
• Ekstremitas : akral hangat (+), edema (-), sianosis (-), deformitas (-)

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium tanggal 15 April 2019
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Laju endap darah 13 Mm 0-15
Hemoglobin 14,1 g/dL 11-16
19
Jumlah Hematokrit 41,6 % 40-48
Jumlah Leukosit 16,1 Ribu/L 5-10
Jumlah Trombosit 445 Ribu/L 150-400
Gula darah 99 mg/dl <170
sewaktu
Hitung eritrosit 5,41 juta/μL 4-5
MCV 76,9 fl 82-92
MCH 26,1 pg 27-31
MCHC 33,9 g/dL 32-36
Hitung Jenis
Basofil 0 % 0-1
Eosinofil 1 % 1-3
Batang 2 % 2-6
Segmen 80 % 50-70
Limfosit 14 % 20-40
Monosit %
3 2-8
Golongan darah O
Rhesus positif
Masa perdarahan 3 Menit 1-6
Masa pembekuan 15 Menit 9-15

3.5 DIAGNOSIS KERJA


Diagnosis klinis : Abses peritonsilar dextra infiltrat

3.6 PENATALAKSANAAN
Rencana Penatalaksanaan
Non Medikamentosa
• IVFD RL 500 cc / 8 jam
Medikamentosa
• Ceftriaxone 1x2 gr iv

20
• Metronidazole 3 x 500 mg iv
• Ketorolac 2x 30 mg iv
• Metylprednisolon 2x125 mg iv

3.7 PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : Dubia Ad bonam

Quo Ad functionam : Dubia Ad bonam

Quo Ad sanationam : Dubia Ad bonam

3.8 Follow Up Tanggal 15 April 2019 jam 14.30


Subjective Nyeri menelan
Objective KU : tampak sakit sedang
KS : komposmentis
Tekanan darah: 110/70
Nadi : 90x/m
Pernapasan : 20 x/m
Suhu : 36,5 c
Mata : konjungtiva anemis -/-
Mulut :Tonsil: kemerahan (+), detritus (+), T4/T2, infiltrate (+),
fluktuatif (-), uvula terdorong ke kiri, kriptus melebar (+), faring
hiperemis (+), debris +/+, pseudomembran (-)
Leher : KGB tidak membesar
Pulmo : vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-
Cor : Bj I-II reguler, gallop – murmur-
Abdomen : BU+, supel, nyeri tekan epigastrium (-)
Ekstremitas : akral hangat
Assesment Abses peritonsilar dextra infltrat
Planning  IVFD RL 500cc/8 jam
 Ceftriaxone 1x2 gr iv
 Metronidazole 3 x 500 mg iv

21
 Ketorolac 2x 30 mg iv
 Metylprednisolon 2x125 mg iv
 Rencana operasi insisi besok pukul 16.00 wib

Tanggal 16 April 2019 jam 17.20


Subjective Nyeri menelan (-), sudah keluar cairan berupa nanah sejak
semalam, tetapi saat ini sudah tidak ada keluhan, demam (-), suara
normal, sesak (-)
Objective KU : tampak sakit sedang
KS : komposmentis
Tekanan darah: 120/90
Nadi : 80x/m
Pernapasan : 20 x/m
Suhu : 36,6c
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Mulut :Tonsil: kemerahan (+), T2/T2, uvula ditengah, pus (-),
faring hiperemis (+)
Leher : KGB tidak membesar
Pulmo : vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-
Cor : Bj I-II reguler, gallop – murmur-
Abdomen : BU+, supel, nyeri tekan epigastrium (+)
Ekstremitas : akral hangat
Assesment Abses peritonsilar dextra perbaikan
Planning  Boleh pulang
 Terapi:
 Cefixime 2 x 100 mg
 Metronidazole 3x500 mg
 Metiprednisolone 3x 4 mg
 Paracetamol 3 x 1

22
BAB IV
PEMBAHASAN
ANALISA KASUS

PENGKAJIAN MASALAH
Untuk menegakkan diagnosis ini perlu ditinjau dari pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang untuk mendapatkan terapi yang sesuai juga.
Pada kasus ini, pasien An N mengeluh nyeri menelan sejak 7 hari yang lalu,
hal ini sesuai dengan epidemiologi yang didapatkan bahwa abses peritonsil bisa
didapatkan pada usia 10-60 tahun. Gejala yang dirasakan berupa nyeri menelan hal
ini sesuai teori ditemukannya disfagia, pasien juga merasa nyeri telinga kanan terasa
nyeri seperti teori yang mengatakan adanya ipsi lateral, demam (+) dirasakan sejak
nyeri menelan tetapi demam tidak terlalu tinggi. Pasien mengatakan saat makan dan
minum nyeri menelan semakin terasa, pasien sering minum air dingin, makan es
krim, dan makanan pedas. Pasien juga merasakan mulut berbau tidak enak, saat
berbicara seperti orang yang sedang bergumam, serta sulit membuka mulut, pasien
hanya bisa membuka mulut sekitar kurang lebih 1 jari. Pasien menyangkal adanya
batuk dan pilek, gigi bolong. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa
adanya demam subfebris, foetor ex orae, odinofagia, hot potato voice, adanya
trismus.
Pemeriksaan fisik yang didapatkan berupa adanya nyeri tekan di leher bagian
kanan, pada area tonsil didapatkan kemerahan (+), detritus (+), T4/T2, infiltrate (+),
fluktuatif (-), uvula terdorong ke kiri, kriptus melebar (+), faring hiperemis (+),
debris +/+, seuai dengan teori yaitu asimetri faring pembesaran dan nyeri tekan pada
kelenjar regional. Palpasi palatum molle teraba fluktuasi. Pada pemeriksaan kavum
oral didapatkan:
• Eritem
• asimetri palatum mole
• eksudasi tonsil
• pergeseran uvula kontralateral

23
Pada terapi pasien ini diberikan IVFD RL 500 cc/8 jam, untuk cairan
rumatan pasien. Lalu pasien diberikan obat ceftriaxone injeksi 1x2 gr yang
merupakan antibiotik golongan sefalosprorin generasi ke III sebagai antibiotik
pilihan untuk kasus ini, lalu pasien juga dierikan metronidazole injeksi 3x 500 mg,
sebagaimana yag kita ketahui bahwa metronidazole dapat digunakan untuk
mengatasi kuman anaerob seperti Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas,
Fusobacterium,dan Peptostreptococcus spp. Ketorolac injeksi 2x 30 mg diberikan
untuk mengurangi nyeri pada abses ini. Sedangkan pemberian kortikosteroid pada
pasien ini yaitu pemberian metilprednisolon injeksi 2 x 125 mg untuk mengurangi
waktu opname di rumah sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain),
demam, dan trismus.
Pasien ini direncanakan untuk insisi, sebagaimana yang kita ketahui bahwa
insisi agar mendapatkan drainase abses yang adekuat dan terlokalisir secara cepat.
Tetapi pada hari berikutnya, abses pada pasien pecah, dan tidak ditemukan tanda-
tanda aspirasi pneumonia seperti adanya sesak, adanya mengi, nyeri dada, batuk dll.
Maka pasien dibolehkan pulang karena keadaan sudah membaik dan sudah bisa
menelan sedikit demi sedikit.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Adrianto, Petrus. 1986. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, 296,


308-309. EGC, Jakarta

2. Anonim. Abses Peritonsiler. Available from :


http://www.docstoc.com/docs/23337423/Abses-Peritonsiler. diakses pada
tanggal : 31 Maret 2011

3. Bailey, Byron J, MD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In :


Head and Neck Surgey-Otolaryngology 2nd Edition. Lippincott_Raven
Publisher. Philadelphia. P :1224, 1233-34

4. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Applied anatomy and physiology


mouth and pharynx. In: Richard AB (ed). Ear, Nose and Throat Disease, a
pocket reference. 2nd rev.ed. New York: Thieme Flexibook 1994:307 -315

5. Efendi H: Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies,


Buku Ajar Penyakit THT Edisi VI, EGC, Jakarta, 1997. Hal 333

6. Fachruddin, Darnila. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu


Kesehatan, Telinga-Hidung-Tenggorokan Edisi V, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, 2006. Hal. 185

7. Gray RF, Hawthrorne M. Anatomy of the mouth and pharynx. In: Synopsis
of Otolaryngology. 5th.ed. Singapore: Butterworth Heinemann 1992: 288
– 304.

8. Hasibuan R, A.H. Sp THT. Pharingologi, Jala Penerbit, Jakarta, 2004. hal.


38, 55-8

9. Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993.


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hal : 19-21.

25
10. Iskandar H.N; Mangunkusumo E.H; Roezin A.H: Penyakit, Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher, Binarupa Aksara, Jakarta, 1994.
Hal 350-52

11. Preston, M. 2008. Peritonsillar Abscess (Quinsy). accessed:


http://www.patient.co.uk/showdoc/40000961/

12. Steyer, T. E. 2002. Peritonsillar Abscess: Diagnosis and Treatment.


accessed:http://www.aafp.org/afp/20020101/93.html

13. Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses Peritonsiler, Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga, Hidung dan Tenggorokan, Jakarta: FKUl, 2000; 185-
89.

26
27

Anda mungkin juga menyukai