Askep Kolelitiasis
Askep Kolelitiasis
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di negara barat
sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di klinis, sementara publikasi penelitian
batu empedu masih terbatas.
Sekitar 5,5 juta penderita batu empedu ada di Inggris dan 50.000 kolesistektomi dilakukan
setiap tahunnya. Kasus batu empedu sering ditemukan di Amerika, yaitu pada 10 sampai 20%
penduduk dewasa. Setiap tahun beberapa ratus ribu penderita ini menjalani pembedahan. Dua
per tiga dari batu empedu adalah asimptomatis dimana pasien tidak mempunyai keluhan dan
yang berkembang menjadi nyeri kolik tahunan hanya 1-4%. Sementara pasien dengan gejala
simtomatik batu empedu mengalami komplikasi 12% dan 50% mengalami nyeri kolik pada
episode selanjutnya. Risiko penderita batu empedu untuk mengalami gejala dan komplikasi
relatif kecil. Walaupun demikian, sekali batu empedu menimbulkan masalah serangan nyeri
kolik yang spesifik maka resiko untuk mengalami masalah dan penyulit akan terus
meningkat.
Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum diketahui dengan pasti, karena belum ada
penelitian. Banyak penderita batu kandung empedu tanpa gejala dan ditemukan secara
kebetulan pada waktu dilakukan foto polos abdomen, USG, atau saat operasi untuk tujuan
yang lain
Batu empedu umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi batu tersebut dapat
bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu menjadi batu saluran empedu
dan disebut sebagai batu saluran empedu sekunder. Pada beberapa keadaan, batu saluran
empedu dapat terbentuk primer di dalam saluran empedu intra-atau ekstra-hepatik tanpa
melibatkan kandung empedu. Batu saluran empedu primer lebih banyak ditemukan pada
pasien di wilayah Asia dibandingkan dengan pasien di negara Barat.
Perjalanan batu saluran empedu sekunder belum jelas benar, tetapi komplikasi akan lebih
sering dan berat dibandingkan batu kandung empedu asimtomatik.
Pada sekitar 80% dari kasus, kolesterol merupakan komponen terbesar dari batu empedu.
Biasanya batu - batu ini juga mengandung kalsium karbonat, fosfat atau bilirubinat, tetapi
jarang batu- batu ini murni dari satu komponen saja.
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
Menambah pengetahuan mahasiswa tentang konsep teori dan asuhan keperawatan pada klien
dengan kolelitiasis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah alpukat yang terletak tepat
dibawah lobus kanan hati. Empedu yang disekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke
saluran empedu yang kecil di dalam hati. Saluran empedu yang kecil-kecil tersebut bersatu
membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan bawah hati sebagai
duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan bersatu membentuk duktus hepatikus komunis.
Duktus hepatikus komunis bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus.
Pada banyak orang, duktus koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus membentuk
ampula Vateri sebelum bermuara ke usus halus. Bagian terminal dari kedua saluran dan
ampla dikelilingi oleh serabut otot sirkular, dikenal sebagai sfingter Oddi.
Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan empedu. Kandung
empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu yang dihasilkan hati. Empedu yang
dihasilkan hati tidak langsung masuk ke duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus
hepatikus, empedu masuk ke duktus sistikus dan disimpan di kandung empedu. Pembuluh
limfe dan pembuluh darah mengabsorbsi air dan garam-garam anorganik dalam kandung
empedu sehingga cairan empedu dalam kandung empedu akan lebih pekat 10 kali lipat
daripada cairan empedu hati. Secara berkala kandung empedu akan mengosongkan isinya ke
dalam duodenum melalui kontraksi simultan lapisan ototnya dan relaksasi sfingter Oddi.
Rangsang normal kontraksi dan pengosongan kandung empedu adalah masuknya kimus asam
dalam duodenum. Adanya lemak dalam makanan merupakan rangsangan terkuat untuk
menimbulkan kontraksi. Hormone CCK juga memperantarai kontraksi.
Dua penyakit saluran empedu yang paling sering frekuensinya adalah pembentukan batu
(kolelitiasis) dan radang kronik penyertanya (kolesistitis). Dua keadaan ini biasa timbul
sendiri-sendiri, atau timbul bersamaan. (Sjamsuhidajat R, 2005)
2.2 Definisi
Kolelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah kolelitiasis
dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu
merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang
terbentuk di dalam kandung empedu. Batu Empedu adalah timbunan kristal di dalam
kandung empedu atau di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung
empedu disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis
(Nucleus Precise Newsletter, edisi 72, 2011).
Kolelitiasis adalah material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk dalam kandung
empedu. Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran dari kolesterol, pigmen empedu,
kalsium dan matriks inorganik. Lebih dari 70% batu saluran empedu adalah tipe batu pigmen,
15-20% tipe batu kolesterol dan sisanya dengan komposisi yang tidak diketahui. Di negara-
negara Barat, komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol, sehingga sebagian batu
empedu mengandung kolesterol lebih dari 80% (Majalah Kedokteran Indonesia, volum 57,
2007).
2.3 Etiologi
Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik dan asam
chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3% protein dan 0,3% bilirubin.
Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun yang paling penting
adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis
empedu dan infeksi kandung empedu. Sementara itu, komponen utama dari batu empedu
adalah kolesterol yang biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh
karena kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan di luar
empedu.
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin
banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya
kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :
3. Kegemukan (obesitas).
4. Faktor keturunan
5. Aktivitas fisik
7. Hiperlipidemia
13. Penyakit lain (seperti Fibrosis sistik, Diabetes mellitus, sirosis hati, pankreatitis dan
kanker kandung empedu) dan penyakit ileus (kekurangan garam empedu)
14. Ras/etnik (Insidensinya tinggi pada Indian Amerika, diikuti oleh kulit putih, baru orang
Afrika)
2.4 Klasifikasi
Menurut Lesmana L, 2000 dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I gambaran makroskopis
dan komposisi kimianya, batu empedu di golongkankan atas 3 (tiga) golongan:
1. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70% kolesterol. Lebih
dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol). Untuk
terbentuknya batu kolesterol diperlukan 3 faktor utama :
1. Supersaturasi kolesterol
2. Hipomotilitas kandung empedu
3. Nukleasi/ pembentukan nidus cepat.
4. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang mengandung <20%
kolesterol. Jenisnya antara lain:
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung
kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu pigmen cokelat terbentuk akibat adanya
faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi
sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu,
khususnya E. Coli, kadar enzim B-glukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi
menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium
bilirubinat yang tidak larut. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat
antara infeksi bakteri dan terbentuknya batu pigmen cokelat. Umumnya batu pigmen cokelat
ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan sisa zat
hitam yang tak terekstraksi. Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada
pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari
derivat polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu
pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril.
Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50% kolesterol.
Gejala klinik kolelitiasis bervariasi dari tanpa gejala hingga munculnya gejala. Lebih dari
80% batu kandung empedu memperlihatkan gejala asimptomatik. Gejala klinik yang timbul
pada orang dewasa biasanya dijumpai gejala dispepsia non spesifik, intoleransi makanan yang
mengandung lemak, nyeri epigastrium yang tidak jelas, tidak nyaman pada perut kanan atas.
Gejala ini tidak spesifik karena bisa terjadi pada orang dewasa dengan atau tanpa kolelitiasis.
Pada anak-anak, gejala klinis yang sering ditemui adalah adanya nyeri bilier dan obstructive
jaundice. Nyeri bilier yang khas pada penderita ini adalah kolik bilier yang ditandai oleh
gejala nyeri yang berat dalam waktu lebih dari 15 menit sampai 5 jam. Lokasi nyeri di
epigastrium, perut kanan atas menyebar sampai ke punggung. Nyeri sering terjadi pada
malam hari, kekambuhannya dalam waktu yang tidak beraturan. Nyeri perut kanan atas yang
berulang merupakan gambaran penting adanya kolelitiasis. Umumnya nyeri terlokalisir di
perut kanan atas, namun nyeri mungkin juga terlokalisir di epigastrium. Nyeri pada
kolelitiasis ini biasanya menyebar ke bahu atas. Mekanisme nyeri diduga berhubungan
dengan adanya obstruksi dari duktus. Tekanan pada kandung empedu bertambah sebagai
usaha untuk melawan obstruksi, sehingga pada saat serangan, perut kanan atas atau
epigastrium biasanya dalam keadaan tegang.
Studi yang dilakukan oleh Kumar et al didapatkan gejala nyeri perut kanan atas yang
berulang dengan atau tanpa mual dan muntah mencapai 75% dari gejala klinik yang timbul,
sisanya meliputi nyeri perut kanan atas yang akut, jaundice, failure to thrive, keluhan perut
yang tidak nyaman. Hanya 10% dijumpai dengan gejala asimptomatik. Mual dan muntah juga
umum terjadi. Demam umum terjadi pada anak dengan umur kurang dari 15 tahun. Nyeri
episodik terjadi secara tidak teratur dan beratnya serangan sangat bervariasi. Pada
pemeriksaan fisik mungkin tidak dijumpai kelainan. Pada sepertiga pasien terjadi inflamasi
mendahului nekrosis, kemudian diikuti perforasi atau empiema pada kandung empedu.
Lewatnya batu pada kandung empedu menyebabkan obstruksi kandung empedu, kolangitis
duktus dan pankreatitis. Manifestasi pertama gejala kolelitiasis sering berupa kolesistitis akut
dengan gejala demam, nyeri perut kanan atas yang dapat menyebar sampai ke skapula dan
sering disertai teraba masa pada lokasi nyeri tersebut. Pada pemeriksaan fisik dijumpai nyeri
tekan pada perut kanan atas yang dapat menyebar sampai daerah epigastrium. Tanda khas
(Murphy’s sign) berupa napas yang terhenti sejenak akibat rasa nyeri yang timbul ketika
dilakukan palpasi dalam di daerah subkosta kanan.
2.6 Patofisiologi
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan empedu yang
supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3) berkembang karena
bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting
dalam pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan
kolesterol terjadi bila perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan
kolesterol turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media
yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid
yang mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam
empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah,
atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik.
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan kolesterol.
Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari larutan membentuk suatu
nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin
bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan untuk
dipakai sebagai benih pengkristalan. (Schwartz S 2000).
Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari keempat anion ini :
bilirubinat, karbonat, fosfat dan asam lemak. Pigmen (bilirubin) pada kondisi normal akan
terkonjugasi dalam empedu. Bilirubin terkonjugasi karena adanya enzim glokuronil
tranferase bila bilirubin tak terkonjugasi diakibatkan karena kurang atau tidak adanya enzim
glokuronil tranferase tersebut yang akan mengakibatkan presipitasi/pengendapan dari
bilirubin tersebut. Ini disebabkan karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air tapi
larut dalam lemak.sehingga lama kelamaan terjadi pengendapan bilirubin tak terkonjugasi
yang bisa menyebabkan batu empedu tapi ini jarang terjadi.
↓
Akibat berkurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase
Presipitasi / pengendapan
Batu tersebut tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan jalan operasi
Radiologi
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur diagnostik pilihan
karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan akurat, dan dapat digunakan pada
penderita disfungsi hati dan ikterus. Disamping itu, pemeriksaan USG tidak membuat pasien
terpajan radiasi inisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil yang paling akurat jika pasien
sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya berada dalam keadan
distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan
kembali. Pemeriksan USG dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus
koleduktus yang mengalami dilatasi.
Radiografi: Kolesistografi
Kolesistografi digunakan bila USG tidak tersedia atau bila hasil USG meragukan.
Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji kemampuan
kandung empedu untuk melakukan pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi serta
mengosongkan isinya. Oral kolesistografi tidak digunakan bila pasien jaundice karena liver
tidak dapat menghantarkan media kontras ke kandung empedu yang mengalami obstruksi.
(Smeltzer dan Bare, 2002).
Sonogram
Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah dinding kandung empedu telah
menebal. (Williams 2003)
Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang hanya dapat dilihat
pada saat laparatomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat optik yang fleksibel ke
dalam esofagus hingga mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanula dimasukan ke
dalam duktus koleduktus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikan ke
dalam duktus tersebut untuk menentukan keberadaan batu di duktus dan memungkinkan
visualisassi serta evaluasi percabangan bilier.
Pemeriksaan Laboratorium
2) Kenaikan fosfolipid
6) Penurunan urobilirubin
8) Peningkatan serum amilase, bila pankreas terlibat atau bila ada batu di duktus utama
(Normal: 17 - 115 unit/100ml)
1.
2.8 Penatalaksanaan
Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan non bedah dan
bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada tidaknya gejala yang menyertai kolelitiasis,
yaitu penatalaksanaan pada kolelitiasis simptomatik dan kolelitiasis yang asimptomatik.
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan
istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik, analgesik dan antibiotik. Intervensi bedah
harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evalusi yang lengkap dapat dilaksanakan,
kecuali jika kondisi pasien memburuk (Smeltzer,SC dan Bare,BG 2002).
Manajemen terapi :
2. Disolusi medis
Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan pemberian obat-obatan oral.
Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam pengobatan daripada chenodeoxycholic karena efek
samping yang lebih banyak pada penggunaan chenodeoxycholic seperti terjadinya diare,
peningkatan aminotransfrase dan hiperkolesterolemia sedang
Pemberian obat-obatan ini dapat menghancurkan batu pada 60% pasien dengan kolelitiasis,
terutama batu yang kecil. Angka kekambuhan mencapai lebih kurang 10%, terjadi dalam 3-5
tahun setelah terapi. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi nonoperatif
diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung
empedu baik dan duktus sistik paten. Pada anak-anak terapi ini tidak dianjurkan, kecuali pada
anak-anak dengan risiko tinggi untuk menjalani operasi.
3. Disolusi kontak
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan batu kolesterol
dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam kandung empedu melalui kateter
perkutaneus melalui hepar atau alternatif lain melalui kateter nasobilier. Larutan yang dipakai
adalah methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan dengan suatu alat khusus ke dalam
kandung empedu dan biasanya mampu menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam.
Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus dengan batu yang
kolesterol yang radiolusen. Larutan yang digunakan dapat menyebabkan iritasi mukosa,
sedasi ringan dan adanya kekambuhan terbentuknya kembali batu kandung empedu
Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut berulang (Repeated Shock Wave)
yang diarahkan pada batu empedu didalam kandung empedu atau duktus koledokus dengan
maksud memecah batu tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen. (Smeltzer,SC dan
Bare,BG 2002).
ESWL sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu. Analisis biaya-manfaat pada saat
ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar
dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis
simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus
biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini
kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris
rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini sekitar
90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris dibuang
dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5%
untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan paru. Kandung
empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut.
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut.
Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini
pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis
keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi
perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja,
nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah keamanan
dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang
mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparoskopi.
2.9 Komplikasi
1. Asimtomatik
2. Obstruksi duktus sistikus
3. Kolik bilier
4. Kolesistitis akut
5. Perikolesistitis
6. Peradangan pankreas (pankreatitis)
7. Perforasi
8. Kolesistitis kronis
9. Hidrop kandung empedu
12. Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali dan batu empedu
muncul lagi)
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari
kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap
asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus
koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan
pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada bagian tersempit
saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi
2.10 Prognosis
Untuk penderita dengan ukuran batu yang kecil, pemeriksaan serial USG diperlukan
untuk mengetahui perkembangan dari batu tersebut. Batu bisa menghilang secara spontan.
Untuk batu besar masih merupakan masalah, karena merupakan risiko terbentuknya
karsinoma kandung empedu (ukuran lebih dari 2 cm). Karena risiko tersebut, dianjurkan
untuk mengambil batu tersebut. Pada anak yang menderita penyakit hemolitik, pembentukan
batu pigmen akan semakin memburuk dengan bertambahnya umur penderita, dianjurkan
untuk melakukan kolesistektomi.
2.11 WOC
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas
Kolelitiasis merupakan batu pada kandung empedu yang banyak terjadi pada individu yang
berusia di atas 40 tahun dan semakin meningkat pada usia 75 tahun. Dan wanita mempunyai
resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria.
1. Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat pengkajian. Biasanya
keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen pada kuadran kanan atas, dan mual
muntah.
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode PQRST, paliatif atau
provokatif (P) yaitu focus utama keluhan klien, quality atau kualitas (Q) yaitu bagaimana
nyeri/gatal dirasakan oleh klien, regional (R) yaitu nyeri/gatal menjalar kemana, Safety (S)
yaitu posisi yang bagaimana yang dapat mengurangi nyeri/gatal atau klien merasa nyaman
dan Time (T) yaitu sejak kapan klien merasakan nyeri/gatal tersebut.
Klien sering mengalami nyeri di ulu hati yang menjalar ke punggung , dan bertambah berat
setelah makan disertai dengan mual dan muntah.
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah di riwayat
sebelumnya. Klien memiliki Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam
kandung empedu pun tinggi.
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit kolelitiasis. Penyakit
kolelitiasis tidak menurun, karena penyakit ini menyerang sekelompok manusia yang
memiliki pola makan dan gaya hidup yang tidak sehat. Tapi orang dengan riwayat keluarga
kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibanding dengan tanpa riwayat keluarga.
1. Riwayat psikososial
Pola pikir sangat sederhana karena ketidaktahuan informasi dan mempercayakan sepenuhnya
dengan rumah sakit. Klien pasrah terhadap tindakan yang dilakukan oleh rumah sakit asal
cepat sembuh. Persepsi diri baik, klien merasa nyaman, nyeri tidak timbul sehubungan telah
dilakukan tindakan cholesistektomi.
1. Riwayat lingkungan
1. Keadaan Umum
Mengkaji tentang keadaan abdomen dan kantung empedu. Biasanya pada penyakit ini
kantung empedu dapat terlihat dan teraba oleh tangan karena terjadi pembengkakan pada
kandung empedu.
1. Nutrisi
1. Aktivitas
Dikaji tentang aktivitas sehari-hari, kesulitan melakukan aktivitas dan anjuran bedrest
1. Aspek Psikologis
1. Aspek penunjang
1. Hasil pemeriksaan Laboratorium (bilirubin,amylase serum meningkat).
2. Obat-obatan satu terapi sesuai dengan anjuran dokter
3.2 Analisa Data
DO : nyeri tekan di
epigastrium
Infeksi
Nyeri
DS : - Penurunan peristaltik karena Penurunan volume cairan
efek kolelitiasis
DO : pasien lemah, mata
cowong, turgor kulit buruk
Mual / muntah
DO : Distensi abdomen
Makanan tertahan di dalam
lambung
Mual / muntah
Nyeri berhubungan dengan agen cedera biologis: obstruksi/spasme duktus, proses inflamasi,
iskemia jaringan/nekrosis.
Intervensi Rasional
Observasi dan catat lokasi, beratnya
(skala 0-10) dan karakter nyeri
(menetap, hilang timbul, kolik). Membantu membedakan penyebab
Tingkatkan tirah baring, biarkan pasien nyeri dan memberikan informasi
melakukan posisi yang nyaman. tentang kemajuan/perbaikan penyakit,
Kolaborasi : Pertahankan status puasa, terjadinya komplikasi, dan keefektifan
masukan / pertahankan penghisapan intervensi.
NG sesuai indikasi. Meningkatkan istirahat, memusatkan
Kolaborasi : Berikan obat sesuai kembali perhatian, dapat
indikasi; antikolinergik. meningkatkan koping.
Tirah baring pada posisi fowler rendah
menurunkan tekanan intraabdomen.
Membuang secret gaster yang
merangsang pengeluaran
kolesistokinin dan kontraksi kandung
empedu.
Menghilangkan reflex
spasme/kontraksi otot halus dan
membantu dalam manajemen nyeri.
Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah, distensi, dan
hipermotilitas gaster.
Intervensi Rasional
Pertahankan masukan dan haluaran akurat, Memberikan informasi tentang status
perhatikan haluaran kurang dari masukan, cairan/volume sirkulasi dan kebutuhan
peningkatan berat jenis urine. Kaji membrane penggantian.
mukosa/kulit, nadi perifer, dan pengisian
kapiler. Muntah berkepanjangn, aspirasi gaster, dan
Awasi tanda / gejala peningkatan/berlanjutnya pembatasan pemasukan oral dapat
mual/muntah, kram abdomen, kelemahan, menimbulkan deficit natrium, kalium dan
kejang, kejang ringan, kecepatan jantung tak klorida.
teratur, parestesia, hipoaktif atau tak adanya
bising usus, depresi pernapasan. Menurunkan sekresi dan motilitas gaster.
Intervensi Rasional
Kaji distensi abdomen, sering bertahak, Tanda non-verbal ketidaknyamanan
berhati-hati, menolak bergerak. berhubungan dengan gangguan pencernaan,
nyeri gas.
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
6.2 Saran
Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan masyarakat pada umumnya dan
mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui lebih dalam tentang penyakit
kolelitiasis. Kepada para perawat, kami sarankan untuk lebih aktif dalam memberikan
penyuluhan untuk mengurangi angka kesakitan penyakit kolelitiasis. Dengan tindakan
preventif yang dapat dilakukan bersama oleh semua pihak, maka komplikasi dari kolelitiasis
akan berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
Andessa, 2011, Asuhan Keperawatan Kolelitiasis, diakses tanggal 4 Oktober 2011 pukul
12.00 WIB. http://hesa-andessa.blogspot.com/2011/01/asuhan-keperawatan-kolelitiasis.html
Anonim, 2009, Asuhan Keperawatan pada kolelitiasis, diakses pada tanggal 1 Oktober 2011
pukul 10.00 WIB <http://keperawatankita.wordpress.com/2009/02/11/kolelitiasis-definisi-
serta-askepnya/>
Anonim, 2009, Asuhan Keperawatan pasien kolelitiasis, diakses tanggal 2 Oktober 2011
pukul 10.30 WIB <perawatpskiatri.blogspot.com/2009/04/asuhan-keperawatan-pasien-
dengan.html>
Dr. H. Y. Kuncara Aplikasi klinis patofisiologi: Pemeriksaan dan manajemen, edisi 2: 2009;
Buku kedokteran EGC
Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2005. 570-579.