Berfikir Kritis
Berfikir Kritis
http://file.upi.edu/Direktori/SPS/PRODI.PENDIDIKAN_IPA/194909271978032-
LILIASARI/BERPIKIR_KRITIS_Dlm_Pembel_09.pdf
Desti Haryani
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
dengan tema ” Kontribusi Pendidikan Matematika dan Matematika dalam Membangun
Karakter Guru dan Siswa" pada tanggal 10 November 2012 di Jurusan Pendidikan
Matematika FMIPA UNY
http://eprints.uny.ac.id/7512/1/P%20-%2017.pdf
Melihat perkembangan kekinian, mahasiswa perlu dibekali dengan kemampuan untuk mengkaji
setiap masalah secara kritis, sebagaimana Wahab (1990: 56) mengemukakan bahwa ada empat
alasan mengapa mahasiswa perlu dibiasakan mengembangkan kemampuan berpikir kritis, yaitu
sebagai berikut:
1. Tuntutan zaman, kehidupan kita dewasa ini menuntut setiap warga negara
dapat mencari, memilih dan menggunakan informasi untuk kehidupan dalam
masyarakat dan bernegara.
2. Setiap warganegara senantiasa berhadapan dengan berbagai masalah dan pilihan sehingga
dituntut mampu berpikir kritis dan kreatif.
3. Kemampuan memandang sesuatu hal dengan cara baru dalam memecahkan masalah.
4. Merupakan aspek dalam memecahkan permasalahan secara kreatif agar mahasiswa kita
disatu pihak bisa bersaing dengan fair, dilain pihak bisa bekerjasama dengan bangsa-bangsa
lain.Mahasiswa perlu dibantu untuk kritis terhadap bahan perkuliahan dan masalah yang
dihadapi. Keterampilan berpikir merupakan keterampilan yang sangat penting dimiliki oleh
mahasiswa. Dengan keterampilan ini diharapkan mahasiswa mempunyai cara terbaik dalam
menyelesaikan masalah dengan menggunakan berbagai pengetahuan ataupun teori yang telah ia
pelajari, baik masalah yang bersifat intrapersonal maupun interpersonal. Meningkatkan dan
mengembangkan kemampuan berpikir kritis itu tidak bisa hanya diceramahkan atau dijelaskan
saja, akan tetapi harus banyak melatih dan mempraktekkan keterampilan itu. Berdasar pada hal
tersebut, maka harus dilakukan suatu upaya untuk membiasakan mahasiswa menganalisis dan
mencari upaya pemecahan masalah disekitarnya, salah satunya dengan menggunakan metode
studi kasus dalam perkuliahan karena metode studi kasus merupakan metode yang
mengkomparasikan materi perkuliahan untuk menganalisa permasalahan yang sedang terjadi
Ennis (dalam Costa, 1988: 54 – 57) membagi indikator keterampilan berfikir kritis menjadi lima
kelompok, yaitu: 1) memberikan penjelasan sederhana (elementary clarification); 2) membangun
keterampilan dasar (basic support); 3) membuat inferensi (inferring); 4) membuat penjelasan
lebih lanjut (advanced clarification); 5) mengatur strategi dan taktik (strategies and tactics).
PENERAPAN METODE STUDI KASUS DALAM UPAYA
MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MAHASISWA
PADA MATA KULIAH HUBUNGAN INTERNASIONAL
Oleh :
Leni Anggraeni, S.Pd., M.Pd.
ejournal.undiksha.ac.id/index.php/MKFIS/article/download/462/380
oleh L Anggraeni - 2012
Manusia tidak dilahirkan dengan kemampuan berpikir kritis, atau dapat dimiliki dengan
sendirinya. Berpikir kritis merupakan suatu kemampuan belajar yang harus dilatih
Critical thinking dapat diajarkan dalam kurikulum fakultas dengan memasukan dalam materi
belajar aktif berupa diskusi-diskusi kelompok kecil yang di fasilitasi oleh seorang fasilitator.
repository.unand.ac.id
DETTY IRYANI
MEDICAL EDUCATION UNIT (MEU) FK-UNAND
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah SWT sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan lanjut
dan bumi (seraya berkata), “Ya Robb kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci
Engkau, maka dipeliharalah kami dari siksa neraka.” (QS.3:190-191)
At Tabari dari Ibnu Hatim meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas ra, bahwa orang-orang Quraisy
mendatangi kaum Yahudi dan berkata: "Bukti-bukti kebenaran apakah yang dibawa Musa
kepadamu?"
Pertanyaan itu dijawab: "Tongkatnya dan tangannya yang putih bersinar bagi yang memandangnya".
Sesudah itu mereka pergi mendatangi kaum Nasrani dan berkata: "Bagaimana halnya Isa?".
Pertanyaan itu dijawab: "Isa itu menyembuhkan mata yang buta sejak lahir dan penyakit sopak serta
menghidupkan orang yang sudah mati".
Selanjutnya mereka mendatangi Rasulullah saw dan berkata: "Mintalah dari Tuhanmu supaya bukti
Safa' itu jadi emas untuk kami".
Maka berdoalah Nabi Muhammad saw kepada Allah dan turunlah ayat tersebut di atas yangi intinya
mengajak supaya mereka memikirkan langit dan bumi tentang kejadiannya, hal-hal yang
menakjubkan di alamnya, seperti bintang-bintang, bulan dan matahari serta peredarannya laut,
gunung-gunung, pohon-pohon, buah-buahan, binatang-binatang, tambang-tambang dan sebagainya
di bumi ini.
Memikirkan pergantian siang dan malam. mengikuti terbit dan terbenamnya matahari, siang lebih
lama dari malam dan sebaliknya. Semuanya itu menunjukkan atas kebesaran dan Kekuasaan
Penciptanya bagi orang-orang yang berakal.
Diriwayatkan dari 'Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw berkata: "Wahai 'Aisyah saya pada malam ini
beribadah kepada Allah SWT ".
Jawab Aisyah ra: "Sesungguhnya saya senang jika Rasulullah berada di sampingku. Saya senang
melayani kemauan dan kehendaknya" Tetapi baiklah! Saya tidak keberatan.
Maka bangunlah Rasulullah saw dari tempat tidurnya lalu mengambil air wudu, tidak jauh dari
tempatnya itu lalu shalat sunah. Di waktu shalat Beliau menangis sampai-sampai air matanya
membasahi kainnya, karena merenungkan ayat Al-Quran yang dibacanya. Setelah shalat Beliau
duduk memuji-muji Allah SWT dan kembali menangis tersedu-sedu. Kemudian beliau mengangkat
kedua belah tangannya berdoa dan menangis lagi dan air matanya membasahi tanah.
Setelah Bilal datang untuk azan subuh dan melihat Nabi saw menangis ia bertanya: "Wahai
Rasulullah! Mengapakah Rasulullah menangis, padahal Allah SWT telah mengampuni dosa
Rasulullah baik yang terdahulu maupun yang akan datang".
Nabi menjawab: "Apakah saya ini bukan seorang hamba yang pantas dan layak bersyukur kepada
Allah SWT SWT? Dan bagaimana saya tidak menangis? Pada malam ini Allah SWT telah
menurunkan ayat kepadaku. Selanjutnya beliau berkata: "Alangkah rugi dan celakanya orang-orang
yang membaca ini dan tidak memikir dan merenungkan kandungan artinya"
Suatu ketika, selepas shalat berjamaah di masjid, Rasulullah saw. berkumpul bersama para
sahabatnya. Kemudian beliau meminta sahabat Ibnu Mas'ud membacakan ayat-ayat Al-Qur'an. Pada
awalnya Ibnu Mas'ud menolak halus karena ia merasa Rasulullah jauh lebih memahami Al-Qur'an
daripada dirinya. Namun sesungguhnya Rasulullah mengetahui kelebihan masing-masing dari para
sahabatnya. Dan Ibnu Mas'ud ini, meskipun tubuhnya kecil dan sedikit cacat kakinya (pincang
jalannya), namun ia memiliki suara yang merdu dan bacaannya bagus. Sehingga ketika Rasulullah
memintanya kembali, Ibnu Mas'ud pun menurutinya. Ketika itu Ibnu Mas'ud membaca ayat-ayat Al-
Qur'an surah Ali Imran. Dan ketika sampai pada ayat 190-191(seperti di atas), terdengar isak tangis
Rasulullah, sehingga Ibnu Mas'ud menghentikan bacaannya. Para sahabat pun merasa heran melihat
Rasulullah menangis, sehingga meraka bertanya seperti pertanyaan yang diajukan Bilal kepada
Rasulullah ketika ayat tersebut baru saja turun pada kisah asbabun nuzul di atas. Rasulullah
bersabda : "Celakalah bagi orang yang membaca ayat ini, namun tidak memahami maknanya".
Memperhatikan hadits Rasulullah saw tersebut setiap kita baca Al-Qur’an henddaknya memahami isi
dan merenungkan maknanya (tafakur). Bagi mereka yang memiliki pemikiran luas dan mendalam
atau berinteligensi tinggi, maka seluruh apa yang ada di langit dan di bumi yang tercipta itu
merupakan kenyataan ontologis, sebagai ayat kauniyyah Allah SWT untuk dipelajari. Demikian pula
tentang pergantian waktu malam dan siang memberikan makna tertentu, paling tidak dapat
menimbulkan pertanyaan yang semakin mendalam, kemudian menyimpulkan secara sederhana
bahwa ada fenomena alam yang penuh keteraturan dan ke-ajeg-an, sebagai suatu hukum alam yang
berlaku atau sunnatullah. Dan kunci tabir sunnatullah tersebut tersirat dalam Al-Qur'an bagi orang
yang memperhatikan dan memahaminya.
Banyak di antara kita yang pandai membaca Al-Qur'an, bahkan mengerti artinya. Namun umumnya
kita tidak pandai membaca ayat-ayat kauniyyah yang ada di alam ini, sehingga kita tidak menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi. Atau sebaliknya, banyak di antara kita yang menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi tetapi jauh dari tuntunan Al-Qur'an. Sehingga kemudian terjadi dikotomi
antara petunjuk Al-Qur'an dan ilmu pengetahuan, bahkan dalam beberapa hal saling bertentangan.
Oleh karenanya, Allah SWT akan mengangkat derajat seorang muslim yang mau belajar dan
berusaha dengan sungunh-sungguh (mujahadah) memahai dan melaksanakan petunjuk-petunjuk
(hidayah) Allah di dalam Al-Qur'an dan ilmu pengetahuan sebagai pembuktian akan ke-Esa-an, ke-
Agung-an dan ke-Benaran Allah SWT, dimana dalam beberapa firmanNya orang tersebut diberi
predikat sebagai Ulul Albab (QS Ali Imran 190-191 dan Ar Ra'd 19-22)
Istilah Ulul Albab diambil dari bahasa Al-Quran sehingga untuk memahaminya diperlukan kajian
terhadap nash-nash yang berbicara tentang Ulul Albab, karena itu agar diperoleh pemahaman yang
utuh mengenai istilah tersebut, maka diperlukaan kajian mendalam terhadap ayat-ayat yang
berkaitan dengan Ulul Albab, baik dari segi lughawi (bahasa) maupun dari kandungan makna yang
dibangun dari pemahaman terhadap pesan, kesan, dan keserasian (munasabah) antara ayat yang
satu dengan ayat-ayat sebelumnya.
Menurut Prof . Dr. M. Qurash Shihab (1993) seorang ahli tafsir di Indonesia menjelaskan bahwa
kata Albab adalah bentuk jamak dari kata lubb yang berarti saripati sesuatu. Kacang misalnya,
memiliki kulit yang menutupi isinya, maka isi kacang itulah yang disebut dengan lubb. Dengan
demikian, Ulul Albab adalah orang-orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak diselubungi
oleh kulit atau kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berfikir sebagaimana terungkap
dalam Al-Quran Surat Ali Imran ayat 190-191. Dalam kaitannya dengan Al-Quran surat Ali Imran
ayat di atas, ia menjelaskan bahwa orang yang berdzikir dan berfikir (secara murni) atau
merenungkan tentang fenomena alam raya, maka akan dapat sampai pada bukti yang sangat nyata
tentang keesaan dan kekuasaan Allah SWT.
Dalam ayat 191, diterangkan karakteristik Ulil Albab, yaitu selalu melakukan aktivitas dzikir dan
fikir sebagai metode memahami alam, baik yang ghaib maupun yang nyata.
Dzikir, secara bahasa berasal dari kata dzakara , tadzakkara, yang artinya menyebut, menjaga,
mengingat-ingat. Secara istilah dzikir artinya tidak pernah melepaskan Allah SWT dari ingatannya
ketika beraktifitas. Baik ketika duduk, berdiri, maupun berbaring. Ketiga hal itu mewakili aktifitas
manusia dalam hidupnya. Jadi,dzikir merupakan aktivitas yang harus selalu dilakukan dalam
kehidupan. Ada dua dimensi dalam melaksanakan dzikir; (1) bi al-bathin dan (2) bi al-dhahir. Dzikir
dengan batin atau dengan hati artinya kalbu manusia harus selalu thawaf kepada Allah SWT,
disebabkan adanya cinta, takut, dan harap kepada-Nya yang berhimpun di hati (qalbu al-dzakir).
Bukan hati berkata “Allah SWT… Allah SWT.. Allah SWT..” namun qalbu benar-benar hadir di
hadapan Allah SWT SWT. Dari sini tumbuh keimanan yang kokoh, kuat dan mengakar di hati.
Bahkan dari “qalbu al-dzakir” ini berimplikasi atau menjadikan efek pada gerak-gerik seluruh tubuh
dan fikiran, yang kita bisa sebut dengan (2)“dzikir bi al-dhahir”. Bila manusia telah dimampukan
hatinya senantiasa thawaf kepada Allah SWT (qalbu al-dzakir) maka seluruh tindakan dan fikirannya
berdasarkan petunjuk (hidayah) dari Allah SWT. Bisa kita artikan juga bahwa menggunakan seluruh
anggota badan dalam kegiatan yang sesuai dengan aturan Allah SWT atau yang diridhai Allah SWT.
Secara reflek pun lisan kita akan berucap hamdallah ketika mendapatkan nikmat, ketika memulai
suatu pekerjaan mengucapkan basmalah, ketika takjub mengucapkan tasbih. Refleksi lisan yang
demikian biasa kita sebut dengan “dzikru al-lisan” yang masih bagian dari “dzkir bi al-dhahir”.
Fikir, secara bahasa adalah fakara, tafakkara yang artinya memikirkan, mengingatkan, teringat.
Dalam pembahasan ayat ini berpikir berarti memikirkan proses kejadian alam semesta dan berbagai
fenomena yang ada di dalamnya sehingga mendapatkan manfaat daripadanya dan teringat atau
mengingatkan kita kepada sang Pencipta alam, Allah SWT. Dengan kalimat sederhana begitu melihat
makhluk fikiran dan hati reflek ingat (dzikir) kepada Allah SWT.
Keberhasilan hidup bagi penyandang Ulul Albab bukan terletak pada jumlah kekayaan, kekuasaan,
sahabat, dan sanjungan yang diperoleh, melainkan terletak pada ke-ridha-an Allah SWT. Selalu
memilih jenis dan cara kerja yang shaleh artinya mereka bekerja dengan cara yang benar, lurus,
ikhlas, dan profesional.
Dari uraian diatas, menurut penulis bentuk operasional suatu alat ukur sebagaimana terkandung
dalam 16 ayat Al-Quran, ditemukan adanya 16 ciri khusus yang selanjutnya disarikan ke dalam 4
(empat) ciri utama, yang menjadi konsep Ulul Albab yaitu:
1) Kedalaman spiritual yaitu karunia (fadlal) Allah SWT yang dianugerahkan kepada manusia
berupa kesadaran terhadap kehadiran Allah SWT kapan dan di mana saja berada, dan dalam kondisi
apa pun.
2) Keagungan akhlak yaitu kemampuan berperilaku mulia sesuai dengan ajaran Islam sehingga
perilaku tersebut menjadi ciri dari kepribadiannya.
3) Keluasan ilmu yaitu kualitas seseorang yang dicirikan dengan kepintaran dan kecerdikan
dalam menyelesaikan masalah. Selalu kreatif, inofatif dan responsif dalam melihat persoalan,
terutama persoalan yang mencakup masyarakat atau umat.
4) Profesional yaitu kemampuan seseorang untuk bekerja dan berperilaku sebagai seorang
profesional dibidangnya. Kemampuan ini dicirikan dengan adanya kesediaan untuk menyampaikan
ilmu, kesediaan berperan serta dalam memecahkan masalah umat, dan kebiasaan untuk bertindak
sesuai dengan konsep ilmiah dan islami.
Dari ke 4 (empat) ciri dan konsep Ulul Albab tersebut, penulis menggaris bawahi bahwa akibat atau
efek dari ciri dan konsep yang no 1 (pertama)-lah kemudian melahirkan ciri-ciri dan konsep-konsep
Ulul Albab berikutnya. Karena hati yang telah sadar akan hadirnya Allah SWT kapan dan di mana
saja berada dan dalam kondisi apa pun akan menuntun akal pikiran sikap dan tingkah laku menjadi
penuh nilai kemuliaan dan kehormatan yang hakiki, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Ingatlah dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik maka akan
baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi bila rusak niscaya akan rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal
daging itu bernama qolbu”.