Anda di halaman 1dari 35

TUGAS BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIKA KLINIK

“Merangkum Buku Winter’s Basic Clinical Pharmacokinetics Hal 1-111”

Disusun oleh:

Rizka Merdekawati Rabiultsani Firmansyah 3351191025

Kelas: Apoteker A

Dosen : Prof. Dr. Ahmad Muhtadi., MS., Apt.

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS JENDRAL ACHMAD YANI CIMAHI

2019
BIOAVAIBILITAS

DEFINISI

Bioavaibilitas adalah presentase atau fraksi yang dapat mencapai sirkulasi sistemik dari dosis
yang diberikan ke pasien. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitas adalah
kecepatan disolusi dan karakteristik absorbsi dari bentuk kimiawi (garam, ester) dan bentuk
sediaan (tablet, kapsul) yang diberikan, rute pemberian, stabilitas senyawa aktif dalam sediaan
dalam sistem gastrointestinal (GI), dan bagiamana metabolism obat sebelum mencapai sirkulasi
sistemik. Faktor ketersediaan hayati, biasanya disebut dengan huruf “F”. Contohnya,
ketersediaan hayati dari digoksin diperkirakan bernilai 0,7 untuk pemberian secara oral dalam
bentuk tablet. Ini artinya, jika 250 mcg digoksin diberikan secara oral, maka efektivitas atau
dosis absorbsinya dapat dihitung dengan mengkalikannya oleh F.

Jumlah obat yang diabsorbsi atau mencapai sirkulasi sistemik = (F)(Dosis)

Jumlah obat yang diabsorbsi atau mencapai sirkulasi sistemik = 0,7x250 mcg = 175 mcg

“Dosis dumping” dapat terjadi pada kondisi tertentu pada sediaan sustained release. Selain itu,
ketidaklengkapan absorbsi dari bentuk sediaan sustained release harus dipertimbangkan pada
pasien yang mempunyai waktu transit GI yang sebentar. Waktu transit GI rata-ratanya sekitar 24
sampai 48 jam, namun untuk pasien dengan penyakit usus bisa saja waktu transitnya hanya
beberapa jam. Bioavaibilitas yang lebih rendah daripada rata-rata harus dipertimbangkan pada
pasien ini, terutama ketika durasi absorbsinya diperpanjang.

BENTUK SEDIAAN

Bioavaibilitas dapat bervariasi pada formulasi dan bentuk sediaan yang berbeda-beda.
Contohnya, elixir digoksin memliki bioavaibilitas sekitar 80% (F = 0,8), sedangkan pada bentuk
kapsul gelatin lunak bioavaibilitasnya 100% (F = 1,0) . ini sangat berbeda dengan bentuk sediaan
tablet, dimana bioavaibilitasnya 70% (F = 0,7). Ketika obat diberikan secara parenteral,
bioavaibilitas biasanya dianggap 100% (F = 1,0). Persamaan 1 dapat digunakan untuk
menghitung kesetaraam dosis obat ketika pasien menerima bentuk sediaan yang berbeda dari
senyawa obat yang sama.
𝒋𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒐𝒃𝒂𝒕 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒂𝒃𝒔𝒐𝒓𝒃𝒔𝒊 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒃𝒆𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒔𝒆𝒅𝒊𝒂𝒂𝒏 𝒔𝒂𝒂𝒕 𝒊𝒏𝒊
Dosis obat dengan bentuk sediaan baru = 𝑭 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒃𝒆𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒔𝒆𝒅𝒊𝒂𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒓𝒖

Contohnya, jika pasien yang menerima digoksin 250 mcg dalam bentuk tablet memiliki
bioavaibilitas 0,7 perlu menerima digoksin elixir, dengan dosis yang setara sehingga dapat
dihitung seperti berikut :
(𝟎,𝟕)(𝟐𝟓𝟎 𝒎𝒄𝒈)
Dosis elixir = 𝟎,𝟖
= 219 mcg
Jika digoksin yang diberikan adalah kapsul gelatin lunak, bioavaibilitas atau Fnya akan
menjadi 1,0 sehingga kesetaraan dosisnya adalah 175 mcg.

Bioavaibilitas dari obat yang diberikan secara parenteral dianggap 1,0. Obat yang
diberikan dalam bentuk precursor nonaktif yang harus diubah dulu menjadi produk aktif
dikecualikan dari aturan ini. Jika beberapa precursor nonaktif dieliminasi dari tubuh (diekskresi
melalui ginjal atau dimetabolisme menjadi komponen yang tidak aktif) sebelum diubah menjadi
komponen aktif, maka bioavaibilitasnya menjadi < 1,0. Sebagai contoh, kloramfenikol yang
diberikan dalam bentuk ester suksinat, kloramfenikol ini harus dihidrolisis untuk menjadi
komponen aktifnya. Bioavaibilitas kloramfenikol suksinat yang diberikan secara parenteral
berkisar antara 55%-95%, karena dari 5-55% ester kloramfenikol telah tereliminasi melalui
ginjal sebelum berubah menjadi komponen aktifnya. Umumnya, untuk obat dengan penyerapan
yang hampir lengkap absorbsinya (F = 0,8) biasanya bioavaibiliatasnya konsisten. Untuk obat
dengan bioavaibilitas oral yang rendah (F < 0,5), seringkali terdapat variasi yang besar pada
penyerapannya.

BENTUK KIMIA (S)

Bentuk kimia obat juga menjadi pertimbangan ketika mengevaluasi bioavaibilitas.


Contohnya ketika garam atau ester dari suatu obat diberikan, faktor bioavaibilitasnya (F) harus
dikalikan dengan fraksi total bobot molekul dari bentuk obat aktif yang tersedia. Jika “S”
menggambarkan fraksi dari dosis yang diberikan dimana merupakan obat aktif, maka jumlah dari
obat yang diabsorbsi dari garam atau ester dapat dihitung sebagai berikut :

Jumlah obat yang diabsorbsi atau yang mencapai sirkulasi sistemik = (S)(F)(Dosis)

Ketika obat diberikan dalam bentuk senyawa induknya atau dalam bentuk aktifnya, maka S nya
adalah 1,0.
𝒋𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒐𝒃𝒂𝒕 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒂𝒃𝒔𝒐𝒓𝒃𝒔𝒊 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒃𝒆𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒔𝒆𝒅𝒊𝒂𝒂𝒏 𝒔𝒂𝒂𝒕 𝒊𝒏𝒊
Dosis dari bentuk obat baru = 𝑺.𝑭.𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒃𝒆𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒔𝒆𝒅𝒊𝒂𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒓𝒖

Aminofilin dan teofilin adalah contoh dari prinsip ini. Aminofilin merupakan garam
etilen diamin yang secara sebagian aktif secara farmakologi. 80 sampai 89% (berdasarkan berat)
dari garam ini adalah teofilin, sehingga S bagi aminofilin adalah sekitar 0,8. Tablet aminoflin
yang tidak bersalut diperkirakan memiliki bioavaibilatas lengkap (100%), F untuk bentuk dosis
ini adalah 1,0. Hal ini penting untuk menentukan jumlah teofilin yang terabsorbsi dari tablet
aminofilin. Ketika persamaan 3 diaplikasikan dalam kondisi ini, dapat menunjukan bahwa 160
mg teofilin terabsorbsi dari 1200 mg teofilin tablet.

Dosis dari bentuk obat baru = (0,8)(1)(1200 mg aminofilin) = 160 mg teofilin

Demikian pula, 300 mg Na-fenitoin dengan S 0,92 menggambarkan hanya 276 mg fenitoin yang
mencapai sirkulasi sistemik, dengan asumsi absorbsinya lengkap (F = 1)
Dosis dari bentuk obat baru = (0,92)(1)(300mg Na-fenitoin) = 276 mg fenitoin

Yang penting adalah memahami dan mampu menghitung jumlah dari obat yang tertera
pada label yang akan tersedia dalam tubuh pasien sebagai obat aktif. Untuk melakukannya,
kedua fraksi dari dosis obat yang aktif (S) dan bioavaibilitas atau fraksi dari dosis yang diberikan
yang akan mencapai sirkulasi sistemik (F) perlu digunakan saat menghitung dosis dan regimen
dosis.

FIRST PASS EFFECT

Beberapa obat dapat dimetabolisme secara luas oleh hati sebelum mencapai sirkulasi
sistemik. First pass effect dapat menurunkan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik
dan beserta bioavailabilitasnya.
Propanolol adalah contoh jumlahnya secara signifikan dari dosis diberikan secara oral
yang tidak mencapai sirkulasi sistemik, karena dimetabolisme saat melewati hati berikut
penyerapan dari saluran pencernaan. Karena first pass effect ini, bioavailabilitas secara oral
rendah dan dosis oral yang diberikan jauh lebih besar daripada dosis diberikan secara intravena.
Lidocain adalah contoh dari obat yang mengalami first pass effect begitu besar, rute oral
tidak cocok sebagai rute pemberian untuk menghasilkan efek sistemik yang diinginkan. Selain
itu, beberapa obat yang secara besar dimetabolisme oleh enzim sitokrom, terutama CYP 3A4,
yang terletak di dalam usus. Sebagai contoh, rendahnya jumlah dan variabel ketersediaan hayati
(F ≈0,3) dari siklosporin sebagian disebabkan karena metabolisme oleh CYP 3A4 pada dinding
usus.
KECEPATAN PEMBERIAN (RA)

Kecepatan pemberian merupakan nilai rata-rata absorbsi obat yang mencapai sirkulasi
sistemik. Biasanya dihitung dengan membagi jumlah obat yang terabsorbsi dengan waktu
dimana obat diberikan (interval dosis). Dengan persamaan :
𝑺.𝑭.𝑫𝒐𝒔𝒊𝒔
Kecepatan pemberian = 𝑻

Ketika obat diberikan sebagai infus berkelanjutan, interval dosis dapat digambarkan
dalam unit waktu yang sesuai. Contohnya, kecepatan pemberian teofilin dihasilkan dari infus
aminofilin dengan kecepatan 40 mg/hr yang dihitung berdasarkan :
𝟎,𝟖 𝒙 𝟏 𝒙 𝟒𝟎 𝒎𝒈
Kecepatan pemberian= = 32 mg/jam
𝟏 𝒋𝒂𝒎

𝟎,𝟖 𝒙𝟏 𝒙 𝟒𝟎 𝒎𝒈
Kecepatan pemberian = = 0,53 mg/menit
𝟔𝟎 𝒎𝒆𝒏𝒊𝒕

Ketika obat diberikan dalam interval dosis tetap,perhitungan kecepatan pemberian


nilainya akan sesuai dengan rata-rata. Contohnya, rata-rata kecepatan pemberian digoksin yang
dihasilkan dari pemberian dosis oral dari 250 mcg digoksin yang dikonsumsi melalui oral dalam
bentuk tablet perhari akan dihitung dengan :
𝟏𝒙 𝟎,𝟕𝒙 𝟐𝟓𝟎 𝒎𝒄𝒈
Kecepatan pemberian = = 175 mcg/hari
𝒉𝒂𝒓𝒊

𝟏𝒙 𝟎,𝟕𝒙 𝟐𝟓𝟎 𝒎𝒄𝒈


Kecepatan pemberian = = 7,29 mcg/jam
𝟐𝟒 𝒋𝒂𝒎

KONSENTRASI PLASMA YANG DIINGINKAN (C)

Konsentrasi obat dalam plasma menunjukkan bahwa ikatan obat pada protein plasma
ditambah dengan obat yang tidak terikat atau bebas. Obat yang terikat maupun yang bebas harus
seimbang pada reseptor satu sama lainnya, oleh karena itu, secara farmakologi aktif sebagian.
Penyakit dapat mempengaruhi penurunan protein plasma atau penurunan ikatan obat pasa protein
plasma. Pada situasi ini, obat yang memiliki ikatan tinggi terhadap protein memiliki presentase
lebih besar dari obat bebas atau tidak terikat dalam plasma.
𝒌𝒐𝒏𝒔𝒆𝒏𝒕𝒓𝒂𝒔𝒊 𝒐𝒃𝒂𝒕 𝒃𝒆𝒃𝒂𝒔
fu = 𝒌𝒐𝒏𝒔𝒆𝒏𝒕𝒓𝒂𝒔𝒊 𝒐𝒃𝒂𝒕 𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍

𝑪 𝒃𝒆𝒃𝒂𝒔
Fu = (𝑪 𝒕𝒆𝒓𝒊𝒌𝒂𝒕 + 𝑪 𝒃𝒆𝒃𝒂𝒔)

Fraksi dari obat yang tidak terikat (fu) tidak bervariasi pada kebanyakan obat yang secara primer
terikat albumin. Ketika konsentrasi plasma untukberikatan dengan albumin melebihi 25 sampai
50 mg/L, tempat ikatan albumin dapat mulai jenuh. Sebagai hasilnya, fu, atau fraksi dari obat
asam valproat dapat menjenuhkan tempat ikatan protein plasma ketika konsentrasi plasmanya
melebihi 25-50 mg/dL. Konsentrasi plasma protein dan afinitas ikatan obat pada protein plasma
adalah dua faktor utama yang mengontrol fraksi tidak terikat (fu).

KONSENTRASI PROTEIN PLASMA RENDAH

Protein plasma yang rendah akan menurunkan konsentrasi plasma dari obat yang terikat
(Cterikat), namun konsentrasi obat bebas (Cbebas) umumnya tidak mempengaruhi. Oleh
karena itu, fraksi obat yang bebas (fu) meningkat sebagai penurunan konsentrasi protein
plasma. Konsentrasi obat bebas atau tidak terikat meningkat secara signifikan, karena obat
bebas yang dilepaskan ke dalam plasma sekunder sampai pada konsentrasi plasma
protein rendah yang seimbang dengan kompartemen jaringan.

Hubungan antara konsentrasi plasma obat dan plasma protein dapat digambarkan sebagai berikut

𝑪′ 𝑷′
= (𝟏 − 𝒇𝒖) [ ] + 𝒇𝒖
𝑪𝒊𝒌𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒏𝒐𝒓𝒎𝒂𝒍 𝑷𝑵𝑳
Persamaan ini dapat digunakan untuk memperkirakan kadar yang dapat mengubah konsentrasi
protein plasmayang mempengaruhi konsentrasi obat yang diinginkan. C menggambarkan
konsentrasi plasma obat pasien, dan P’ menggambarkan plasma protein pasien.Cikatannormal
adalah konsentrasi plasma obat yang diharapkan jika konsentrasi plasma protein pasien normal.
Perlu dicatat bahwa fu adalah fraksi bebas yang berhubungan dengan “ikatan plasma protein
normal”. Cikatannormal untuk obat apapun yang diberikan dapat dihitung dengan persamaan :

𝑪′
𝑪 𝒊𝒌𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒏𝒐𝒓𝒎𝒂𝒍 =
𝑷′
(𝟏 − 𝒇𝒖) [
𝑷𝑵𝑳] + 𝒇𝒖

Sebagai contoh, pasien dengan serum albumin rendah 2,2 gram/dL (normal albumin 4,4
mg/dL) dan konsentrasi plasma fenitoin tampaknya rendah dari 5,5 mg/L masih memiliki
konsentrasi teraupetik plasma obat yang diterima bila disesuaikan untuk serum
albumin rendah. Ketika fraksi bebas normal (fu) untuk fenitoin dari 0,1 disubstitusikan ke
Persamaan, konsentrasi plasma fenitoin disesuaikan mencapai 10 mg/L dari hasil
perhitungan.

𝟓, 𝟓
𝑪𝒊𝒌𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒏𝒐𝒓𝒎𝒂𝒍 = = 𝟏𝟎 𝒎𝒈/𝒅𝑳
𝟐, 𝟐 𝒈/𝒅𝑳
(𝟏 − 𝟎, 𝟏) [ ] + 𝟎, 𝟏
𝟒, 𝟒 𝒈/𝒅𝑳

Konsentrasi fenitoin yang dilaporkan dari laboratorium, konsentrasi albumin pasien “normal”
akan bernilai 10 mg/L. Perhitungan ini berdasarkan asumsi bahwa fenitoin secara primer terikat
ke albumin dan rata-rata normalnya konsentrasi albumin adalah 4,4 g/dL (rentang : 3,5-5,5
g/dL).

Kebanyakan obat yang secara primer terikat pada globulin daripada terikat albumin. Pengaturan
dari konsentrasi plasma obat untuk obat ini akan berdasarkan pada konsentrasi albumin, namun
tidak akan tepat. Sayangnya, pengaturan untuk perubahan pada ikatan globulin sulit disebabkan
obat biasanya terikat pada globulin spesifik dan itu hanya sebagian kecil dari konsentrasi
globulin total. Umumnya, obat asam (fenitoin) terikat primer ke albumin, obat basic (lidokain
dan kuinidin) terikat lebih banyak ke globulin.

PENINGKATAN KONSENTRASI PROTEIN PLASMA

Peningkatan serum albumin jarang diatur secara klinis, digunakan Banyak obat-
obatan umum terikat pada fase akut protein reaktif, alpha1-asam glikoprotein (AAG).
Protein plasma ini telah dikenal secara signifikan akan menurun dan meningkat dalam
kondisi klinis tertentu. Sebagai contoh, peningkatan konsentrasi plasma kinidin telah
diamati setelah operasi, atau trauma. Perubahan konsentrasi kinidin adalah hasil dari
peningkatan konsentrasi ikatan protein plasma (alpha1-asam glikoprotein) dan peningkatan
konsentrasi terikat kinidin. Sayangnya, konsentrasi alpha1-asam glikoprotein hampir tidak
pernah diuji dalam pengaturan klinis, sehingga sulit untuk mengevaluasi hubungan
antara konsentrasi total obat dan fraksi tidak terikat atau bebas. Sebab itu, evaluasi
tingkat plasma untuk obat dasar yang terikat protein secara signifikan seringkali
sulit.

Pasien dengan sirosis sangat bervariasi dalam karakteristik ikatan protein plasmanya.
Beberapa pasien memiliki kemampuan mengikat yang meningkat secara
signifikan, sementara yang lain mengalami penurunan kemampuan dalam pengikatan. Variasi
ini mungkin mencerminkan kenyataan bahwa beberapa pasien sirosis memiliki stimulus
yang kuatdalam produksi AAGs, dimana keadaan lain dengan penyakit hati yang lebih serius
tidak dapat menghasilkan ikatan protein ini.

AFINITAS IKATAN

Ikatan afinitas protein plasma untuk obat juga dapat mengubah fraksi obat yang bebas
(fu). Sebagai hasilnya, fu untuk fenitoin pada pasien uremia dapat diperkirakan pada rentang 0,2-
0,3 berbeda dengan nilai normal yaitu 0,1. Efektifitas atau konsentrasi obat bebas dapat dihitung
dengan persamaan:

𝑪𝒃𝒆𝒃𝒂𝒔
𝒇𝒖 =
𝑪𝒕𝒆𝒓𝒊𝒌𝒂𝒕 + 𝑪 𝒃𝒆𝒃𝒂𝒔
𝑪 𝒃𝒆𝒃𝒂𝒔 = (𝒇𝒖)(𝑪𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍)

Konsentrasi pada pasien uremia dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami uremia
memiliki konsentrasi plasma fenitoin yang lebih rendah. Pada pasien uremia fu meningkat
karena konsentrasi ikatannya menurun dan hasilnya C total menurun. Pasien uremia dengan fu
0,2 dan dilaporkan konsentrasi fenitoinnya 5 mg/dL akan memiliki konsentrasi obat bebas yang
sama dengan pasien yang fungsi ginjalnya normal yang dilaporkan konsentrasi fenitoinnya 10
mg/dL.
𝒎𝒈 𝒎𝒈
𝑪 𝒃𝒆𝒃𝒂𝒔 𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒑𝒂𝒔𝒊𝒆𝒏 𝒖𝒓𝒆𝒎𝒊𝒂 = 𝟎, 𝟐𝒙 𝟓 =𝟏
𝒅𝑳 𝑳
𝒎𝒈 𝒎𝒈
𝑪 𝒃𝒆𝒃𝒂𝒔 𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒑𝒂𝒔𝒊𝒆𝒏 𝒇𝒖𝒏𝒈𝒔𝒊 𝒈𝒊𝒏𝒋𝒂𝒍 𝒏𝒐𝒓𝒎𝒂𝒍 = 𝟎, 𝟏 𝒙 𝟏𝟎 =𝟏
𝒅𝑳 𝑳

Beberapa faktor yang mengubah ikatan protein menjadi penting secara klinik ketika obat tinggi
ikatannya pada protein (jika fu< 0,1 atau 10% tidak terikat). Contohnya jika fu meningkat dari
0,1 menjadi 0,2 maka konsentrasi obat bebas untuk sejumlah konsentrasi (terikat + bebas) yang
diberikan akan menjadi dua kali lipat dari nilai biasanya, dimana :
𝒎𝒈 𝒎𝒈
𝑪 𝒃𝒆𝒃𝒂𝒔 = 𝟎, 𝟏𝒙 𝟏𝟎 =𝟏
𝒅𝑳 𝑳
vs
𝒎𝒈 𝒎𝒈
𝑪 𝒃𝒆𝒃𝒂𝒔 = 𝟎, 𝟐𝒙 𝟏𝟎 = 𝟏𝟎
𝒅𝑳 𝑳

Jika fraksi obat meningkat dari nilai normal 0,5 (50% bebas) menjadi 0,6 karena penurunan
konsentrasi protein, maka konsentrasi dari obat bebas akan meningkat hanya sebesar 20%.

𝑪 𝒃𝒆𝒃𝒂𝒔 = (0,5) (10 mg/ L) = 5 mg /L

Vs

𝑪 𝒃𝒆𝒃𝒂𝒔 = (0,6) (10 mg/ L) = 6 mg /L

PEMANTAUAN KONSENTRASI PLASMA BEBAS ATAU TIDAK TERIKAT


Secara teoritis, pemantauan konsentrasi obat tidak terikat memiliki keunggulan klinis, hanya
sedikit bukti yang menunjukkan bahwa pemantauan kadar obat tidak terikat meningkatkan
korelasi antara konsentrasi obat dalam plasma dan efek farmakologi. Jika konsentrasi obat tidak
terikat akan digunakan dalam praktik klinis, klinisi harus menyadari faktor-faktor yang dapat
mengubah hubungan antara karakteristik ikatan plasma in vitrodan in vivo. Pemakaian
pemantauan kadar obat bebas atau tidak terikat dalam plasma bukan merupakan standar praktik
dan hanya digunakandalam sejumlah kondisi klinis tertentu. Jika pengukuran konsentrasi obat
tidak terikat dalam serum jarang dilakukan, hasil pengukuran perlu dievaluasi dengan
seksamadan dibandingkan terhadap kadar obat bebas yang diperkirakan dan respons klinis
pasien. Contohnya mmetode digunakan untuk menilai level obat bebas.

VOLUME DISTRIBUSI (V)


Volume distribusi obat tidak sepenuhnya menunjukkan kompartemen fisiologik tertentu di dalam
tubuh. Parameter itu menunjukkan kompartemen yang diperlukan untuk menghitung total jumlah
obat di dalam tubuh apabila obat berada diseluruh tubuh dengan konsentrasi yang sama dengan
di dalam plasma. Persamaan untuk volume distribusi dinyatakan sebagai berikut:
𝐴𝐵
𝑉= C

Keterangan:

V = volume distribusi nyata

Ab = jumlah totak obat dalam tubuh

C = konsentrasi plasma obat


volume plasma rata-rata orang dewasa adalah sekitar 3 L. oleh karena itu, volume distribusi yang
jelas yang lebih besar daripada kompartemen plasna> 3 L hanya mengindikasikan bahwa obat
tersebut juga terdapat dalam jaringan atau cairan di luar kompartemen plasma. Distribusi yang
aktual tidak dapat ditentukan dari nilai V. Misalnya obat dengan volume distribusi yang mirip
dengan air tubuh total (0,65 L/kg) tidak menunjukkan bahwa obat tersebut diseimbangkan secara
merata di seluruh air total. Obat mungkin terikat atau dikeluarkan atau tidak dari jaringan
tertentu. Namun, pengikatan rata-rata menghasilkan volume distribusi yang jelas yang hampir
sama dengan total air tubuh. Tanpa informasi spesifik tambahan, lokasi sebenarnya dari
distribusi obat adalah fungsi dari kelarutan lipid versus air dan dari sifat pengikatan protein dan
jaringan plasma dari obat tersebut. Faktor-faktor yang cenderung menjaga obat dalam plasma
atau meningkatkan C (seperti kelarutan dalam air yang tinggi, meningkatkan pengikatan protein
plasma, atau mengurangi pengikatan jaringan) cenderung mengurangi volume distribusi yang
jelas. Oleh karena itu, faktor-faktor yang menurunkan C dalam plasma (seperti penurunan ikatan
protein plasma, peningkatan pengikatan jaringan, dan peningkatan kelarutan lemak) cenderung
meningkatkan volume distribusi yang nyata.

LOADING DOSE

Karena volume distribusi adalah faktor yang menjelaskan semua obat dalam tubuh, itu adalah
variabel penting dalam memperkirakan dosis pemuatan yang diperlukan untuk secara cepat
mencapai konsentrasi plasma yang diinginkan:

(𝑉)(𝐶)
𝐿𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝐷𝑜𝑠𝑒 =
(S) (𝐹)

(Persamaan 11)

Dimana V adalah Volume distribusi yang diinginkan

C tigkat plasma yang diinginkan

(S) (F) fraksi dosis yang diberikan yang akan mencapai sirkulasi sistemik

Contoh: Jika seseorang ingin menghitung dosis oral dari digoxin (menggunakan tablet digoxin)
untuk pria yang mempunyai berat badan 70 kg akan menghasilkan konsetrasi plasma 1,5 mcg/L.
Jika S diasumsikan sebagai 1, F menjadi 0,7 dan V menjadi 7,3 /kg. Dosis muatan menjadi
1,095 mcg atau 1095 mg berdasarkan perhitungan berikut:

(𝑉)(𝐶)
𝐿𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝐷𝑜𝑠𝑒 =
(S) (𝐹)
( 7,3 𝐿/𝑘𝑔) (70 𝑘𝑔)(1,5 𝑚𝑐𝑔/𝐿)
=
(1)(0,7)

= 1095 mcg atau 1095 mg

Pendekatan klinis yang biasa adalah dengan memberikan dosis pemuatan dalam dosis terbagi (
0,25 mg per dosis setiap 6 jam) Pasisen diamati dan dievaluasi untuk respon terapi toksisitas dan
toksisitas digoxin sebelum masing-masing dosis efektif diberikan. Selain itu, beberapa dokter
menggunakan faktor biavailabilitas > 0,7 ( misalnya 0,75 atau 0,8) yang selanjutnya akan
mengurangi kemungkinan melebihi konsentrasi obat yang diinginkan. Persamaan 11 dapat
digunakan untuk memperkirakan dosis pemuatan yang akan diperlukan untuk mencapai
konsentrasi plasma yang lebih tinggi daripada konsentrasi saat ini. Formula baru diturunkan
dengan mengganti C dalam persamaan 11 dengan ekspresi yang mewakili peningkatan
konsentrasi plasma yang diinginkan.

(𝑉)(𝐶 𝑑𝑒𝑠𝑖𝑟𝑒𝑑 − 𝐶 𝑖𝑛𝑖𝑡𝑖𝑎𝑙)


𝐼𝑛𝑐𝑟𝑒𝑚𝑒𝑛𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝐷𝑜𝑠𝑒 =
(S) (𝐹)

(Persamaan 12)

Contoh: Jika pasien sebelumnya mempunyai kadar digoxin 0,5 mcg/L dan konsentrasi yang
diinginkannya adalah 1,5 mcg/. Dosis pemuatan tambahannya adalah:

(7,3)(70 𝑘𝑔)(1,5 𝑚𝑐𝑔/𝐿 − 0,5 𝑚𝑐𝑔/𝐿)


𝐼𝑛𝑐𝑟𝑒𝑚𝑒𝑛𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝐷𝑜𝑠𝑒 =
(1) (0,7)

= 730 mcg atau 0,73 mg

FAKTOR-FAKTOR YANG MENGUBAH VOLUME DISTRIBUSI (V)

Faktor apapun yang mengubah olume distribusi secara teoritis akan mempengaruhi dosis
pemuatan.

Pengikatan jaringan yang menurun pada pasien uremik merupakan penyebab umum
berkurangnya volume distribusi yang jelas untuk beberapa agen. Digoksin adalah contoh obat
yang dosis pemuatannya harus dirubah pada pasien uremik. Penurunan ikatan protein plasma, di
sisi lain, cenderung meningkatkan volume distribusi yang jelas karena lebih banyak obat yang
biasanya ada dalam plasma tersedia untuk menyeimbangkan dengan jaringan dan tempat
pengikatan jaringan. Penurunan ikatan protein plasma, bagaimanapun juga meningkatkan fraksi
atau obat aktif sehingga C yang diinginkan yang menghasilkan respon terapeutik yang diberikan
berkurang. Berkurangnya ikatan protein plasma meningkatkan V dan menurunkan C.
( 𝑉)(𝐶 )
𝐿𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝐷𝑜𝑠𝑒 =
(S) (𝐹)

Namun, kadar plasma yang lebih rendah menghasilkan konsentrasi fenitoin yang aktif secara
farmakologis dan bebas yang sama dengan kadar dua kali lebih tinggi pada pasien non-uremik
karena fraksi bebas (fu) meningkat dari 0,1 menjadi 0,2 orang-orang ini, menunjukkan bahwa
target plasma konsentrasi (terikat + bebas) dalam uremik harus sekitar setengah dari konsentrasi
target yang biasa. Volume distribusi meningkat sekitar dua kali lipat (0,65 L/kg menjadi
1,44L/kg) pada individu uremik. Sedangkan Konsentrasi menurun 1/2 nya.

( 2𝑥 𝑉)(1/2 𝑥𝐶 )
𝐿𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝐷𝑜𝑠𝑒 =
(S) (𝐹)

MODEL DUA KOMPARTEMEN

Ada beberapa situasi dimana lebih tepat mengkonseptualisasikan tubuh sebagai dua, dan kadang-
kadang lebih dari dua kompartemen ketika memikirkan distribusi obat, eliminasi, dan efek
farmakologis.Kompartemen satu dapat dianggap sebagai volume yang lebih kecil, cepat
menyeimbangkan, biasanya terdiri dari plasma/darah dan organ-organ atau jaringan yang
memiliki aliran darah tinggi dan berada dalam kesetimbangan cepat dengan darah atau
konsentrasi obat plasma. Kompartemen kesatu memiliki volume yang disebut V atau volume
distribusi. Kompartemen kedua menyeimbangkan dengan obat selama periode yang lebih lama.
Volume ini disebut sebagai V, atau volume jaringan distribusi. Waktu paruh untuk fase distribusi
disebut sebagai waktu paruh alfa dan waktu paruh untuk eliminasi obat dari tubuh disebut
sebagai waktu paruh beta. Jumlah Vi dan Vt adalah volume distribusi yang jelas (V), obat
diasumsikan masuk ke dalam dan dihilangkan dari Vi. Yaitu, setiap obat mendistribusikan ke
jaringan kompartemen (Vt) harus menyeimbangkan kembali menjadi Vi, sebelum di eliminasi.

Efek Model dua kompartemen pada Dosis Muatan dan Konsentrasi Plasma (C)

Dosis pemuatan yang diberikan secara cepat dihitung berdasarkan V (Vi+Vt) akan
menghasilkan C awal yang lebih tinggi dari yang diperkirakan karena volume awal distribusi
(Vi) selalu lebih kecil dari V. Obat-obatan seperti lidokain, fenobarbital, dan teofilin
memberikan efek terapeutik dan toksik pada organ target yang berperilaku seolah-olah berada
pada Vi. Konsentrasi obat yang dikirim ke organ target dapat jauh lebih tinggi dari yang
diharapkan dan menghasilkan toksisitas jika dosis pemuatan tidak diberikan dengan tepat.
Masalah ini dapat diatasi dengan menghitung dosis pemuatan pada tingkat yang cukup lambat
untuk memungkinkan distribusi obat ke dalam (V). Pendekatan ini umum dalam praktek klinis,
dan pedoman dua kompartemen reseptor untuk klinis merespon seolah-olah berada di Vi.
Pendekatan kedua untuk mengelola dosis pemuatan di dosis bolus individu yang cukup kecil
sehingga C dalam Vi, tidak melebihi beberapa konsentrasi kritis yang telah ditentukan. Ketika
kalium diberikan secara intravena, laju pemberian harus dkontrol dengan hati-hati karena
toksisitas jantung yang serius dan kematian dapat terjadi jika pasien mengalami konsentrasi yang
berlebihan dalam plasma (Vi). Sebagai contoh, dokter biasanya menunggu 1 hingga 3 jam
setelah dosis bolus intravena (iv) digoksin sebelum mengevaluasi efeknya dan 4 hingga 6 jam
sebelum mendapatkan konsentrasi digoksin. Penundaan ini memungkinkan digoksin untuk
mendistribusikan ke lokasi aksi (Miokardium) sehingga efek terapi atau toksik dosis penuh dapat
diamati.

Obat-obatan dengan pemodelan dua kompartemen Signifikan dan Tidak Signifikan

Obat-obatan dengan pemodelan dua kompartemen “tidak signifikan” hanya setelah fase atau
distribusi selesai artinya sampel plasma hanya diperoleh untuk pemodelan farmakokinetik
selama fase B atau eliminasi.Obat-obatan dengan pemodelan dua kompartemen “signifikan”
adalah obat-obatan yang dihilangkan sampai tingkat yang signifikan selama fase awal (contoh:
Metotreksat), fase alfa tidak dapat dianggap hanya sebagagai distribusi karena terjadi eliminasi
yang signifikan. Dua obat yang membatasi memiliki pemodelan dua kompartemen yang
signifikan adalah lithium dan lidokain.

Clearance

Clearance dapat dianggap sebagai kemampuan intrinstik tubuh atau organ-organ eliminasi (
biasanya ginjal dan hati) untuk menghilangkan obat dari darah atau plasma. Clearance
dinyatakan sebagai volume per unit waktu. Pada kondisi tunak, tingkat pemberian obat (RA) dan
tingkat eliminasi obat (RE) harus sama (lihat konstanta laju eliminasi (K) dan waktu paruh (t1/2)
Konstanta Tingkat Eliminasi (K).

RA = RE (Persamaan 13)

Clearance dapat dianggap sebagai konstanta proporsional yang membuat tingkat rata-rata tunak
kadar obat dalam plasma sama dengan tingkat pemberian obat (RA):

RA= (Cl) (Css ave)

(Persamaan 14)

Dimana RA adalah (S)(F)(Dosis)/µ dan Css ave adalah rata-rata tunak konsentrasi obat.
Jika rata-rata konsentrasi plasma dan tingkat pemberian obat diketahui, clearance dapat dihitung
dengan mengatur ulang.
( 𝑆) (𝐹)(𝐷𝑜𝑠𝑒/µ)
Cl =
𝐶𝑠𝑠 𝑎𝑣𝑒
(Persamaan 15)

Dosis Pemeliharaan
Jika estimasi untuk clearance diperoleh dari literatur, rumus clearance yang jelas (Persamaan 15)
dapat disusun kembali dan digunakan untuk menghitung tingkat pemberian atau dosis perawatan
yang akan menghasilkan suatu pilihan yang diinginkan.

( 𝐶𝑙) (𝐶𝑠𝑠 𝑎𝑣𝑒)(µ)


Dosis Pemeliharaan =
(𝑆)(𝐹)

Faktor-faktor yang mengubah bersihan (Cl)

Luas Permukaan Tubuh (BSA) : Sebagian besar nilai literatur untuk bersihan dinyatakan
sebagai volume/ 70 kg / waktu. Ada beberapa bukti, bagaimanapun, bahwa pembersihan obat
sebaiknya disesuaikan berdasarkan BSA daripada berat badan. BSA dapat dihitung
menggunakan Persamaan 17 atau dapat diperoleh dari berbagai grafik dan nomogram (lihat
Lampiran II)

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑘𝑔 0.7


BSA dalam m2 = ( ) (1,73 𝑚2)
70 𝑘𝑔

(Persamaan 17)

Pasien Cl = ( Literatur Cl per m2) ( Patient’s BSA) (Persamaan 18)


𝑃𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝐵𝑆𝐴
Pasien Cl = (Literatur Cl per 70 kg) ( ) (Persamaan 19)
1,73 𝑚2
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑘𝑔
Pasien Cl = (Literatur Cl per 70 kg) ( ) (Persamaan 20)
70 𝑘𝑔
Pasien Cl = (Literatur Cl per kg) (Berat badan pasien dalam kg) (Persamaan 21)

Pengikatan Protein Plasma

Untuk obat yang sangat terikat protein, ikatan protein plasma berkurang.Dikaitkan dengan
penurunan konsentrasi obat yang dilaporkan dalam keadaan tunak (total obat bebas tanpa ikatan
plus bebas) untuk setiap dosis dikelola. Menurut persamaan 15 penurunan penyebut, Css ave,
meningkatkan nilai clearance yang dihitung.
( 𝑆) (𝐹)(𝐷𝑜𝑠𝑒/µ)
Cl =
𝐶𝑠𝑠 𝑎𝑣𝑒

ketika dosis harian yang sama dari obat diberikan dengan adanya pengikatan protein yang
menipis, jumlah yang sama dengan dosis itu akan dihilangkan dari tubuh setiap hari pada kondisi
tunak mengeluarkan konsentrasi plasma keadaan tunak yang meredup (ikatan C + C bebas)
dikaitkan dengan penurunan C terikat, tidak ada perubahan dalam C bebas, dan sebagai hasilnya
ada peningkatan fraksi obat yang tidak terikat (fu)
𝐶𝑏𝑒𝑏𝑎𝑠
fu = 𝐶 𝑡𝑒𝑟𝑖𝑘𝑎𝑡+𝐶 𝑏𝑒𝑏𝑎𝑠

Rasio Ekstraksi

Fraksi obat yang diberikan pada organ eliminasi yang dibersihkan pada organ eliminasi yang
dibersihkan setelah melewatu organ tunggal itu. Diperkirakan dengan membagi darah atau
pembersihan plasma obat oleh darah atau aliran plasma ke organ yang mengeliminasi. Jika rasio
ekstraksi melebihi fraksi bebas (fu), maka protein plasma bertindak sebagai sistem transportasi
dan pembersihan tidak akan berubah secara proporsional dengan fu. Jika rasio ekstralso kurang
dari fu, clearance cenderung meningkat dengan proporsi yang sama dengan perubahan fu.

Fungsi Ginjal dan Hati

Clt = Clm + Clr

(Persamaan
23)

Dimana Clt, adalah pembersihan total, Clm pembersihan metabolik atau fraksi yang
dibersihkan oleh metabolisme, dan Clr pembersihan ginjal atau fraksi yang dibersihkan oleh rute
ginjal. Cl dapat diperkirakan dengan adanya gagal ginjal atau hati atau keduanya.

Cl Adjusted = (Clm) +[(Clr) (Fraction of Normal Renal Function Remaining]


(Persamaan 24)

Bersihan yang telah disesuaikan untuk fungsi ginjal dapat digunakan untuk memperkirakan dosis
pemeliharaan untuk pasien dengan fungsi ginjal yang berkurang (lihat persamaan 16). Penurunan
fungsi organ eliminasi paling signifikan karena berfungsi sebagai rute utama eliminasi obat.
Ketika jalur eliminasi terganggu “jalur ranjau menjadi lebih signifikan karena mengasumsikan
proporsisi yang lebih besar dari total pembersihan. Misal obat biasanya 67% dihilangkan oleh
rute ginjal dan 33% oleh rute metabolisme akan menjadi 100% dimetabolisme jika gagal ginjal
lengkap, klirens total, bagaimanapun, hanya akan menjadi sepertiga dari nilai normal. Sebagai
alternatif untuk menyesuaikn Cl, untuk menghitung laju dosis, seseorang dapat mengganti
sebagian kecil dari total bersihan yang bersifat metabolik dan ginjal untuk Clm dan Clr.
Menggunakan teknik persamaan dibawah ini:

Faktor Penyesuaian Laju Dosis:

(Fraksi eliminasi secara metabolik) + [ (Fraksi eliminasi oleh ginjal) (Fraksi sisa fungsi ginjal
normal)]

Curah Jantung

Sangat mempengaruhi metabolisme obat. Kelonggaran hati atau metabolisme untuk beberapa
obat dapat dikurangi 25 % hingga 50 % pada pasien dengan gagal jantung kongestif. Contoh:
Pembersihan metabolik teofilin dan digoksin berkurang sekitar setengah pada pasien dengan
gagal jantung kongestif. Penurunan curah jantung dan kongesti hati yang dihasilkan harus dalam
beberapa cara, menurunkan kapasitas metabolisme intrinsik hati.

KONSTANTA LAJU ELIMINASI DAN t1/2

Sering digunakan untuk memprediksi bagaimana kadar plasma obat akan berubah terhadap
waktu. Untuk obat yang dieliminasi oleh farmakokinetik orde pertama, prediksi ini didasarkan
pada eliminasi bahwa baik clearance dan volume distribusi tidak berubah terhadap dosis
atau konsentrasi

Farmakokinetik orde 1

Farmakokinetik orde 1, peniadaan mengacu pada proses dimana jumlah atau konsentrasi obat di
dalam tubuh berkurang berdasarkan logaritmik dari waktu ke waktu.

Gambar 14. Eliminasi orde 1 antara C terhadap waktu.

Tingkat eliminasi (RE) sebanding dengan konsentrasi obat, oleh karena itu jumlah obat yang
dieliminasi per unit waktu (re) akan bergantung dengan konsentrasi obat.

Persentasi jumlah obat di dalam tubuh (Ab) yang dieliminasi setiap saat, akan tetap konstan dan
tidak bergantung dengan dosis atau konsentrasi.
Persamaan yang menggambarkan eliminasi orde 1 dari tubuh :

Ab = (Ab0)(e-kt) atau C =(C0)(e-kt)

Tipe analisis grafik penurunan konsentrasi obat di dalam plasma sering digunakan untuk
menentukan apakah obat dieliminasi dengan proses orde pertama. Kunci utamanya adalah
penurunan konsentrasi obat akan membentuk kurva cekung bila diplot sebagai C versus waktu
(gambar 14) dan membentuk garis lurus bila diplot sebagai log C versus waktu (gambar 15).
Tidak ada obat tambahan yang diabsorpsi atau dimasukkan ke dalam tubuh selama proses
penurunan konsentrasi. Karena obat-obat orde pertama memiliki volume distribusi dan klirens
yang konstan (diasumsikan tidak ada perubahan status klinis pasien).

Gambar 15. Eliminasi orde 1 antara log C terhadap waktu

Nilai Konstanta Eliminasi (K)

Tingkat eliminasi konstata, K, adalah fraksi atau persentase dari jumlah total obat yang
dikeluarkan dalam tubuh per unit waktu dan merupakan fungsi dari clearance dan volume
distribusi:

𝑪𝒍
𝑲=
𝑽
Misalnya :

Obat dengan Clearance 10L/hari dan V=100 L akan memiliki kontanta laju eliminasi 0,1 hari-1.

10𝐿/ℎ𝑎𝑟𝑖
𝐾=
100 𝐿
= 0,1 hari-1

Persamaan yang digunakan untuk menghitung K untuk pasien spesifik.

𝑪𝟏
𝐥𝐧(𝑪𝟐)
𝑲=
𝒕
Misalnya :
C1 = 5 mg/L dan C2 = 2 mg/L, t = 8 jam, memiliki konstanta laju eliminasi 0,115 jam-1
𝐶1
ln(𝐶2)
𝐾=
𝑡
5 𝑚𝑔/𝐿
ln( )
2 𝑚𝑔/𝐿
=
8 𝑗𝑎𝑚

= 0.115 jam-1

Waktu paruh

Waktu paruh (t1/2) suatu obat adalah waktu yang dibutuhkan oleh jumlah total obat di dalam
tubuh atau konsentrasi obat di dalam plasma untuk berkurang sebanyak setengahnya.
𝟎, 𝟔𝟗𝟑
𝒕𝟏/𝟐 =
𝑲
Jika Vd dan Clearance dari obatnya diketahui untuk mencari t1/2 dapat digunakan rumus.
𝟎, 𝟔𝟗𝟑(𝑽𝑰)
𝒕𝟏/𝟐 =
𝑪𝒍
t1/2 dan K tergantung pada V dan Cl karena Vd dan Cl dapat berubah secara independen satu
sama lain. Sehingga dari persamaan diatas didapatkan rumus:

Cl=(K)(V)
Aplikasi Klinis Konstanta Laju Eliminasi (K) dan waktu paruh (t1/2)
Aplikasi klinis konstanta laju eliminasi (K) dan waktu paruh (t1/2) diantaranya waktu
untuk mencapai keadaan tunak dan waktu eliminasi obat. Contoh waktu untuk mencapai keadaan
tunak dimana jika diberikan terus-menerus, obat akan berakumulasi di dalam tubuh hingga
jumlah obat yang diberikan pada periode waktu tertentu (dosis pemeliharaan) sama dengan
jumlah obat yang dieliminasi pada periode yang sama, dengan kata lain, laju masuk sama dengan
laju keluar. Ketika hal ini terjadi, konsentrasi obat di dalam plasma akan stabil dan akan menjadi
keadaan tunak (steady state). Waktu yang dibutuhkan oleh konsentrasi obat untuk mencapai
keadaan tunak ditentukan oleh waktu paruh obat.
Waktu paruh dapat juga digunakan untuk menentukan berapa lama waktu yang
dibutuhkan untuk mengeliminasi seluruh obat secara efektif dari dalam tubuh setelah pemberian
obat dihentikan. Dibutuhkan satu waktu paruh untuk mengeliminasi 50%, dua waktu paruh untuk
mengeliminasi 75%, tiga waktu paruh untuk mengeliminasi 87,5%, 3,3 waktu paruh untuk
mengeliminasi 93,75% jumlah total obat didalam tubuh. Dapat diasumsikan bahwa seluruh obat
dieliminasi secara efektif setelah tiga hingga lima waktu paruh.
Prediksi Kadar Plasma Mengikuti Inisiasi dari Infus
Berguna untuk memperkirakan konsentrasi plasma yang akan dicapai pada periode tertentu.
Konsentrasi plasma rata-rata pada kondisi tunak (Css ave) dapat dihitung dengan :
𝒅𝒐𝒔𝒊𝒔
(𝑺)(𝑭)( 𝝉 )
𝑪𝒔𝒔 𝒂𝒗𝒆 =
𝑪𝒍
Persamaan baru untuk konsentrasi plasma C1 jika t1 diturunkan
𝒅𝒐𝒔𝒊𝒔
(𝑺)(𝑭)( )
𝑪𝟏 = 𝝉
(𝟏 −e-kt)
𝑪𝒍
𝒅𝒐𝒔𝒊𝒔
(𝑺)(𝑭)( )
𝟐 𝝉
𝑪 = (𝟏 −e-kt)
𝑪𝒍

Jika konsentrasi plasma obat (C1) telah diperoleh sebelum steady-state konsentrasi tercapai,
konsentrasi steady-state perkiraan yang akhirnya harus dicapai dapat diperkirakan melalui :
𝑪𝟏
𝑪𝒔𝒔 𝒂𝒗𝒆 =
(𝟏 − 𝐞−𝐤𝐭 )
Prediksi Tingkat Plasma Setelah Pemutusan dari Infusion
Konsentrasi plasma (C2) setiap saat (t2) setelah sebuah infus dihentikan adalah sebagai berikut:
𝒅𝒐𝒔𝒊𝒔
(𝑺)(𝑭)( )
𝑪𝟐 = 𝝉
(𝟏 −e-kt1)(e-kt2)
𝑪𝒍

Steady-state teofilin diharapkan konsentrasi infus yang dihasilkan dari teofilin dari 80 mg/jam
untuk pasien dengan clearance teofilin 2,8 L/jam dan diasumsikan S dan F dari 1 dapat dihitung
menggunakan persamaan :
𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠
(𝑆)(𝐹)( 𝜏 )
𝐶𝑠𝑠 𝑎𝑣𝑒 =
𝐶𝑙
80 𝑚𝑔
(1)(1)( )
1 ℎ𝑎𝑟𝑖
= 2.8 𝐿/ℎ𝑎𝑟𝑖

= 28.6 mg/L
Konsentrasi diharapkan setelah 16 jam infus (t1) dapat dihitung menggunakan persamaan:
𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠
(𝑆)(𝐹)( )
𝜏
𝐶𝑠𝑠 𝑎𝑣𝑒 = (1 − e-kt1)
𝐶𝑙

= 28.6mg/L (1-e-(0.087 hr-1)(16 hari))


= 28.6mg/L(1-e-(1.392)
= 28.6mg/L(1-0.25)
= 21.45mg/L
Konsentrasi diharapkan 8 jam setelah akhir infus dapat dihitung dengan menggunakan :
C2= (𝐶1 − e-kt2)
𝑚𝑔
C2= 21.45 𝐿 (e(-0.087 hr-1)(8hari))
C2= 21.45( e-0.696)
𝑚𝑔
C2= 21.45 𝐿 (0.5)
C2= 10.7 𝑚𝑔/𝐿

Interval dosis (τ)


Waktu paruh juga dapat digunakan untuk memperkirakan dosis interval yang sesuai atau tau (τ)
untuk terapi pemeliharaan ketika obat diberikan sebentar-sebentar dan penyerapan atau masukan
ke dalam tubuh relatif cepat. Dosis pemeliharaan dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan :
(𝑪𝑰)(𝑪𝒔𝒔 𝒂𝒗𝒆)(𝝉)
𝑴𝒂𝒊𝒏𝒕𝒆𝒕𝒂𝒏𝒄𝒆 𝑫𝒐𝒔𝒆 =
(𝑺)(𝑭)

MAKSIMUM DAN MIMINUM KONSENTRASI DALAM PLASMA


Estimasi konsentrasi obat maksimum (Css maks atau puncak) dan konsentrasi obat
minimum (Css min atau palung) dalam plasma yang dihasilkan oleh suatu dosis obat tertentu di
dalam interval pendosisan pada keadaan tunak sering kali sangat penting ditentukan. Untuk obat-
obat yang memiliki indeks terapeutik sempit, tingkat fluktuasi konsentrasi obat dalam plasma
yang terjadi antar dosis sebaiknya ditentukan. Hal ini terutama sangat pentinng dilakukan jika
interval pendosisan lebih lama daripada waktu paruh (fluktuasi akan besar) dan kadar Css min
digunakan untuk memantau terapi. Sampel plasma untuk pengujian obat sering kali diambil pada
kadar palung atau tepat sebelum dosis berikutnya diberikan karena kadar Css min merupakan
parameter yang paling reprodusibel. Konsentrasi obat dalam plasma yang dilaporkan untuk
sampel ini sering dianggap sebagai konsentrasi rata-rata pada keadaan tunak (Css ave). Akan
tetapi, apabila interval pendosisan mendekati atau melebihi waktu paruh obat, parameter
farmakokinetik pasien dapat diestimasi lebih akurat dengan menggunakan persamaan yang
menggambarkan Css min.
a) Konsentrasi Obat maksimum dalam plasma (Css maks)
Konsentrasi obat maksimum dalam plasma dapat dihitung dari Persamaan dibawah ini,
jika dosis obat yang diberikan, bentuk garam (S), bioavailabilitas (F), volume distribusi (V), dan
konstanta laju eliminasi (K) diketahui :
𝚫𝑪
Css maks = 𝐅𝐫𝐚𝐤𝐬𝐢 𝐎𝐛𝐚𝐭 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐡𝐢𝐥𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝛕
atau
(𝑺)(𝑭)(𝑫𝒐𝒔𝒊𝒔)
𝑽
Css maks = 𝟏− 𝒆− 𝑲𝒓
dengan Δ C dan (S) (F) (dosis)/ V menyatakan perubahan konsentrasi obat yang terjadi
selama interval pendosisan dan (1-e-Kt) menyatakan fraksi obat yang dieliminasi pada
interval pendosisan. Sehingga persamaan Css maks adalah sebagai berikut.
(𝑺)(𝑭)(𝑫𝒐𝒔𝒊𝒔) 𝟏
Css maks = { } {𝟏−𝒆𝑲𝒕}
𝑽
Apabila obat diberikan secara oral, perhatian utama adalah pada fase absorpsi karena
komponen distribusi yang berkaitan dengan model dua kompartemen umumnya dapat diabaikan.
Sebagian besar obat oral yang diberikan dalam bentuk produk lepas-segera membutuhkan waktu
1-2 jam setelah pemberian untuk mencapai konsentrasi puncak.
b) Konsentrasi obat minimum dalam plasma (Css Min)
Konsentrasi obat minimum dalam plasma dapat diestimasi dengan mengurangi ΔC atau
perubahan konsentrasi plasma dalam satu interval pendosisan dari konsentrasi maksimum dalam
plasma :
(𝑺)(𝑭)(𝑫𝒐𝒔𝒊𝒔)
Css min = Css maks – ΔC atau Css min = Css maks – ( ) atau Css min =
𝑽
Css maks (e-Kt).
Jika dosis, konstanta laju eliminasi (K), volume distribusi (V), bentuk garam (S), dan
bioavailabilitas (F) diketahui maka dapat menggunakan persamaan sebagai berikut.
(𝑺)(𝑭)(𝑫𝒐𝒔𝒊𝒔)

Css min = 𝑽
𝒆− 𝑲𝒕
𝟏− 𝒆− 𝑲𝒕
Apabila laju absorpsi yang lambat secara signifikan mengurangi kurva konsentrasi obat
dalam plasma versus waktu (misalnya bentuk sediaan lepas-berkelanjutan). Css min biasanya
dapat diasumsikan mendekati konsentrasi rata-rata pada keadaan tunak (Css ave), dengan
persamaan :
(𝑺)(𝑭)(𝑫𝒐𝒔𝒊𝒔)/𝝉
Cl = 𝑪𝒔𝒔 𝒂𝒗𝒆
Persamaan tersebut dapat digunakan untuk menghitung parameter farmakokinetik pasien.
Bila interval pendosisan jauh lebih pendek daripada waktu paruh, kadar plasma puncak dan
palung kurang lebih sama dengan konsentrasi rata-rata. Oleh karena itu, kadar plasma puncak
dan palung terutama ditentukan oleh klirens.

MEMILIH PERSAMAAN YANG TEPAT


Muatan Dosis atau Bolus Dosis
Bila muatan dosis atau bolus obat telah diberikan, konsentrasi plasma awal (C) dapat ditentukan
dengan mengatur kembali "muatan dosis" pada persamaan :
(𝑺)(𝑭)(𝑳𝒐𝒂𝒅𝒊𝒏𝒈 𝒅𝒐𝒔𝒆)
Cl = 𝑽
Tingkat plasma berikutnya (C)setiap saat (t) setelah dosis diberikan dihitung menggunakan:
(𝑺)(𝑭)(𝑳𝒐𝒂𝒅𝒊𝒏𝒈 𝒅𝒐𝒔𝒆)
Cl = 𝒆− 𝑲𝒕
𝑽
Infus Kontinyu Sampai Keadaan Tunak

Kurva konsentrasi plasma terhadap waktu yang dihasilkan oleh infus kontinyu yang telah
diberikan sampai keadaan tunak

MEMILIH PERSAMAAN YANG TEPAT

Suatu teknik yang digunakan untuk menghindari penggunaan persamaan yang tidak tepat
adalah dengan menarik gambaran grafis dari konsentrasi obat plasma terhadap kurva waktu
yang akan diharapkan berdasarkan regimen dosis pasien. Setelah grafik ditarik dan konsentrasi
plasma divisualisasikan, persamaan matematika yang menggambarkan perilaku farmakokinetik
obat yang dipilih.

MUATAN DOSIS ATAU BOLUS DOSIS

Bila muatan dosis atau bolus obat telah diberikan, konsentrasi plasma awal (C) dapat ditentukan
dengan mengatur kembali "muatan dosis" pada persamaan :

(S)(F)(Loading Dose)
C =
𝑣
Level plasma berikutnya (C), setiap waktu (t), setelah dosis diberikan dapat dihitung dengan
menggunakan variasi dari persamaan yang menggunakan eliminasi orde pertama.

C2 = (C1)(e–Kt1)

(S)(F)(Loading Dose)
Dimana C1 digantikan oleh C = dan C2 digantikan oleh C1
𝑣

(S)(F)(Loading Dose)
C1 = (e–Kt1)
𝑣

(Persamaan 50)
INFUSI BERKELANJUTAN UNTUK KEADAAN STABIL

Konsentrasi rata-rata pada keadaan yang stabil (Css ave) yang akan diproduksi oleh infusi
dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :

(S)(F)(Dose/T)
Css ave =
𝐶𝑙
(Persamaan 35)

PENGHENTIAN INFUSI SETELAH KEADAAN STABIL

Kurva mewakili perubahan konsentrasi plasma setelah infusi telah dihentikan. Konsentrasi (C2)
diproduksi setiap waktu (t2) setelah infusi dihentikan dapat dihitung dengan menggunakan
variasi dari eliminasi persamaan orde pertama. Dimana C1 digantikan oleh Css ave, dan t1 oleh
t2

C2 = (Css ave) (e–Kt2)

Atau
(S)(F)(Dose/T)
C2 = (e–Kt1)
𝐶𝑙

INISIASI DAN PENGHENTIAN INFUSI SEBELUM KEADAAN STABIL

Ketika suatu infusi dimulai dan dihentikan sebelum keadaan stabil tercapai (< 3 sampai 5 t½).
Dalam situasi ini, konsentrasi (C1) yang terjadi setiap waktu (t1) setelah infusi telah dimulai dan
konsentrasi (C2) yang terjadi setiap waktu (t2) setelah infusi dapat dihentikan.
(S)(F)(Dose/T)
C1 = (1 −e–Kt1)
𝐶𝑙

(S)(F)(Dose/T)
C2 = (1 − e–Kt1) (e–Kt2)
𝐶𝑙

Model infus atau bolus digunakan untuk penyerapan obat kedalam tubuh tergantung hubungan
antara durasi input obat relatif terhadap waktu paruh obat. Jika waktu input obat kurang dari
sepersepuluh masa paruhnya, maka dapat dianggap sebagai dosis bolus. Namun jika waktu input
obat lebih besar dari setengah waktu paruhnya, lebih tepat menggunakan model infus. Ketika
durasi input obat turun antara sepersepuluh dan setengah dari waktu paruh, dapat dipilih antara
dosis bolus dan model infus.
(S)(F)(Dose/tln)
C1 = (1 −e–Ktln)
𝐶𝑙

Persamaan tersebut digunakan ketika dosis diberikan dalam waktu yang relatif singkat misalnya
antibiotik aminoglikosida.
Setiap konsentrasi obat berikutnya (C2) dapat dihitung dengan mengalikan konsentrasi pada
akhir infus (C) dengan fraksi yang tersisa pada setiap interval waktu sejak akhir infus (t2).
(S)(F)(Dose/tln)
C1 = (1 −e–Ktln) (e–Kt2)
𝐶𝑙

DOSIS AWAL DIIKUTI DENGAN INFUS

Konsentrasi plasma (C1) setiap saat (t1) dapat dihitung dengan cara menjumlahkan persamaan
yang menggambarkan konsentrasi yang dihasilkan oleh dosis muatan pada t1 (persamaan 50) dan
konsentrasi yang dihasilkan oleh infus pada t1 (persamaan 37)

INTERMITEN ADMINISTRASI SECARA BERKALA KE STEADY STATE

Bila obat dikelola pada interval dosis teratur sampai dicapai steady state (setidaknya 3-5 waktu
paruh), konsentrasi rata-rata steady state dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 35:

(S)(F)(Dose/T)
Css ave =
𝐶𝑙
Dengan asumsi penyerapan relatif cepat terhadap waktu paruh, steady state maksimum dan
konsentrasi minimum dapat diperkirakan dengan menggunakan persamaan :

SERANGKAIAN DOSIS INDIVIDU

Pada saat serangkaian dosis individu dikelola dan konsentrasi steady state harus dihitung. Salah
satu pendekatan adalah dengan menjumlahkan kontribusi tiap dosis individu. Hal ini dilakukan
dengan konsentrasi puncak membusuk dosis setiap waktu dimana konsentrasi plasma harus
diperkirakan.

Gambar berikut menunjukan serangkaian tiga dosis yang dihitung dan kemudian dijumlahkan
untuk memperkirakan konsentrasi total plasma yang ada pada beberapa titik waktu setelah dosis
ketiga. Persamaan penjumlahan dapat memprediksi konsentrasi dari satu dosis ke dosis
berikutnya atau kontribusi setiap dosis ke konsentrasi akhir atau Csum. Pendekatan perhitungan
konsentrasi dari dosis ke dosis berguna ketika pola akumulasi obat dan potensi efek obat pada
setiap titik waktu menarik. Jika setiap dosis dan interval antara dosis sama, mungkin lebih mudah
untuk mengalikan Css maks atau konsentrasi puncak yang dicapai pada kondisi steady state.
Konsentrasi (Csum) dapat dihitung menggunakan persamaan :
(𝑆)(𝐹)(𝐷𝑜𝑠𝑒)/𝑣
CSS2 = (1-e –K(N)T)(e-Kt2)
1−𝑒−𝑘𝑇

Dimana N adalah jumlah dosis yang telah diberikan, T adalah interval antara setiap dosis, dan t
adalah jumlah jam sejak dosis terakhir.

BENTUK SUSTAINED-RELEASE

Bentuk dosis sustained release dirancang untuk menghasilkan konsentrasi yang sedikit
berfluktuasi dalam interval dosis. Oleh karena itu, konsentrasi sebagian besar kasus yang
diproduksi oleh produk rilis yang berkelanjutan dapat diestimasi dengan menggunakan
persamaan yang menggambarkan konsentrasi rata-rata steady state yang stabil :

(S)(F)(Dose/T)
Css ave =
𝐶𝑙
Penggunaan formula Css ave untuk produk-produk sustained release didasarkan pada asumsi
bahwa waktu yang diperlukan untuk penyerapan sama dengan interval dosis (T)
ALGORITMA UNTUK MEMILIH PERSAMAAN YANG SESUAI

Algoritma pada Gambar 28 menawarkan pendekatan bertahap untuk proses mengikuti aturan
yang digariskan dalam teks. Pertama, kita harus mempertimbangkan apakah tunak telah dicapai,
kemudian model yang sesuai dipilih untuk memprediksi atau menghitung konsentrasi obat.
1.9 Interpretasi Konsentrasi Obat dalam Plasma

Jika sampel plasma diperoleh sebelum distribusi obat ke jaringan yang lengkap (misalnya,
digoxin), konsentrasi plasma akan lebih tinggi dari yang diperkirakan berdasarkan dosis dan
respon. puncak (Css max). Meskipun konsentrasi serum puncak untuk obat 1-2 jam setelah dosis
diberikan. Oleh karena itu, sampel plasma harus dibuat sebagai palung atau sebelum dosis
berikutnya (Css min) saat menentukan konsentrasi obat rutin dalam plasma. Tingkat ini
cenderung dipengaruhi oleh penyerapan dan masalah distribusi.

Jika dosis obat yang meningkat atau menurun berdasarkan konsentrasi obat yang telah dihitung
sementara obat masih dikumpulkan, konsekuensi yang tidak diinginkan dapat terjadi. Sebagai
contoh, parameter farmakokinetik untuk obat diberikan pada pasien sakit berat dapat berubah
begitu cepat sehingga ekstrapolasi dari konsentrasi plasma dilaporkan mungkin tidak berlaku
dari satu hari ke hari lain. Demikian pula, jika ada alasan untuk mencurigai bahwa parameter
farmakokinetik pada pasien yang diberikan cenderung berbeda secara substansial dari yang
dilaporkan dalam literatur (misalnya, lidokain pada pasien dengan gagal jantung kongestif) atau
proses akumulasi yang berkepanjangan karena t1/2 yang panjang (misalnya, fenobarbital),
mungkin wajar untuk mendapatkan sampel plasma sebelum keadaan stabil untuk menghindari
akumulasi berlebihan atau konsentrasi subterapeutik yang tidak perlu berkepanjangan dari dosis
saat ini. Jika mungkin, sampel plasma harus diambil setelah minimal dua paruh karena nilai
klirens dihitung dari tingkat obat yang diperoleh kurang dari satu paruh setelah regimen telah
dimulai sangat sensitive terhadap perbedaan kecil dalam volume distribusi

MEREVISI PARAMETER FARMAKOKINETIK

Sampel plasma tunggal yang diperoleh pada waktu yang tepat dapat menghasilkan informasi
yang baik untuk merevisi volume distribusi atau klirens, tapi tidak keduanya. konsentrasi obat
yang diukur dari sampel yang tidak tepat waktu dapat terbukti tidak berguna dalam
memperkirakan nilai V atau Cl pasien. Parameter farmakokinetik yang direvisi banyak berkaitan
dengan waktu sampel dan profil farmakokinetik obat. Tujuan dalam revisi farmakokinetik tidak
hanya untuk mengenali parameter farmakokinetik mana yang dapat direvisi, tetapi juga ketepatan
atau kepercayaan seseorang pada parameter farmakokinetik revisi atau pasien tertentu.

Volume distribusi

Konsentrasi plasma yang telah diperoleh setelah pemberian bolus awal terutama oleh dosis yang
diberikan dan volume distribusi. Hal ini menggambarkan bahwa fase penyerapan dan distribusi
telah dihindari. Digambarkan oleh persamaan 50.
(S)(F)(Loading Dose)
C1 = (e–Kt1)
𝑣

Ketika e-Kt1 mendekati 1 (yaitu ketika t1 lebih kecil dari t%) konsentrasi plasma (C) terutama
fungsi dari dosis yang diberikan dan volume distribusi yang jelas. Volume distribusi pasien
biasanya diperkirakan jika fase penyerapan dan distribusi dihindari dan t, atau interval antara
pemberian dan waktu pengambilan sampel kurang dari atau sama dengan sepertiga dari waktu
paruh obat. Saat t melebihi sepertiga dari waktu paruh, konsentrasi yang diukur semakin
dipengaruhi oleh pembersihan. Karena lebih banyak obat yang dihilangkan, maka sulit
memperkirakan V pasien. Jika Klirens sangat bervariasi dan tidak pasti, interval waktu kurang
dari sepertiga dari waktu paruh akan diperlukan untuk merevisi volume distribusi. Disisi lain,
jika nilai spesifik pasien untuk pembersihan telah ditentukan, maka t dapat melebihi sepertiga
dari waktu paruh dan estimasi volume distribusi yang akurat dapat diperoleh. Parameter
farmakokinetik yang mempengaruhi konsentrasi obat tidak ditentukan oleh model untuk
mewakili tingkat obat. Jika dosis dimodelkan sebagai infus pendek, volume distribusi masih
dapat menjadi parameter penting yang mengendalikan konsentrasi plasma. V tidak didefinisikan
dengan jelas dalam persamaan, namun demikian dimasukkan ke dalam konstanta laju eliminasi
(K).
(S)(F)(Dose/tln)
C1 = (1 −e–Ktln) (e–Kt2)
𝐶𝑙

Hubungan antara konsentrasi dan volume obat yang dilayani tidak diubah selama total waktu
yang telah berlalu (tin + t2) tidak melebihi sepertiga dari waktu paruh.

Clearance

Konsentrasi obat plasma yang telah diperoleh pada kondisi tunak dari pasien yang menerima
infus obat konstan ditentukan dengan pembersihan.

(S)(F)(Dose/T)
Css ave =
𝐶𝑙
Konsentrasi plasma steady state rata-rata tidak dipengaruhi oleh volume distribusi. Oleh karena
itu, konsentrasi plasma dapat digunakan untuk memperkirakan nilai kliren pasien, tetapi tidak
dapat digunakan untuk memperkirakan volume distribusi pasien.

Analisis Sensitivitas

Saat ini sulit untuk memastikan seseorang dapat menguji sensitivitas atau respons dari
konsentrasi plasma yang diprediksi terhadap suatu parameter dengan mengubah salah satu
parameter sambil menahan konstanta lainnya. Sebagai contoh, persamaan 37 merupakan
konsentrasi plasma (C1) pada suatu interval waktu (t1) setelah infus pemeliharaan telah dimulai.
(S)(F)(Dose/T)
C1 = (1 −e–Kt1)
𝐶𝑙

Jenis analisis sensitivitas ini berguna untuk memperkuat konsep bahwa revisi yang paling dapat
diandalkan dalam parameter farmakokinetik dibuat ketika konsentrasi obat yang diprediksi
berubah sekitar persentase yang sama dengan parameter farmakokinetik yang mengalami revisi.

Konsentrasi Obat dalam plasma


Konsentrasi obat maksimum dalam plasma dapat dihitung dari Persamaan dibawah ini,
jika dosis obat yang diberikan, bentuk garam (S), bioavailabilitas (F), volume distribusi (V), dan
konstanta laju eliminasi (K) diketahui :

(𝑺)(𝑭)(𝑫𝒐𝒔𝒊𝒔)
𝑽
Css maks = 𝟏− 𝒆− 𝑲𝒓
dengan Δ C dan (S) (F) (dosis)/ V menyatakan perubahan konsentrasi obat yang terjadi
selama interval pendosisan dan (1-e-Kt) menyatakan fraksi obat yang dieliminasi pada
interval pendosisan. Sehingga persamaan Css maks adalah sebagai berikut.

(𝑺)(𝑭)(𝑫𝒐𝒔𝒊𝒔) 𝟏
Css maks = { } {𝟏−𝒆𝑲𝒕}
𝑽

Konsentrasi obat minimum dalam plasma dapat diestimasi dengan mengurangi ΔC atau
perubahan konsentrasi plasma dalam satu interval pendosisan dari konsentrasi maksimum dalam
plasma :
(𝑺)(𝑭)(𝑫𝒐𝒔𝒊𝒔)
Css min = Css maks – ΔC atau Css min = Css maks – ( ) atau Css min =
𝑽

Css maks (e-Kt).


Jika dosis, konstanta laju eliminasi (K), volume distribusi (V), bentuk garam (S), dan
bioavailabilitas (F) diketahui maka dapat menggunakan persamaan sebagai berikut.
(𝑺)(𝑭)(𝑫𝒐𝒔𝒊𝒔)

Css min = 𝑽
𝒆− 𝑲𝒕
𝟏− 𝒆− 𝑲𝒕

Apabila laju absorpsi yang lambat secara signifikan mengurangi kurva konsentrasi obat
dalam plasma versus waktu (misalnya bentuk sediaan lepas-berkelanjutan). Css min biasanya
dapat diasumsikan mendekati konsentrasi rata-rata pada keadaan tunak (Css ave), dengan
persamaan :
(𝑺)(𝑭)(𝑫𝒐𝒔𝒊𝒔)/𝝉
Css ave = 𝑪𝒍

Konstanta Kecepatan Eliminasi dan Waktu Paruh

a. Konstanta kecepatan eliminasi


Konstanta kecepatan eliminasi disimbolkan dengan (K).Konstanta kecepatan
eliminasi adalah fraksi atau persentase dari jumlah total obat di dalam tubuh yang
dikeluarkan per satuan waktu dan merupakan fungsi klirens dan volume distribusi.
Dengan persamaan berikut :
𝑪𝒍
K= 𝑽
Konstanta kecepatan eliminasi termasuk di dalamnya contoh obat-obat yang
dieliminasi dengan farmakokinetika orde pertama. Farmakokinetika eliminasi orde
pertama merupakan suatu proses berkurangnya jumlah atau konsentrasi obat di dalam
tubuh secara logaritmis seiring dengan berjalannya waktu. Laju eliminasi sebanding
dengan konsentrasi obat. Oleh sebab itu,jumlah obat yang dikeluarkan per satuan waktu
akan bervariasi berbanding lurus dengan konsentrasi obat. Fraksi dari jumlah total obat di
dalam tubuh yang dikeluarkan setiap menitnya harus tetap konstan dan tidak bergantung
pada dosis atau konsentrasi. Berikut persamaan eliminasi orde pertama
Ab = (Ab°) (e-Kt) atau C = (C-0) (e-Kt)

Pada persamaan diatas untuk mengetahui jumlah total obat didalam tubuh pada
awal dan akhir interval waktu. Tipe analisis grafik penurunan konsentrasi obat di dalam
plasma sering diguakan untuk menentukan apakah obat dieliminasi dengan proses orde
pertama. Kunci utamanya adalah penurunan konsentrasi obat akan membentuk kurva
cekung bila diplot sebagai C versus waktu dan membentuk garis lurus bila diplot sebagai
log C versus waktu. Yang terpenting adalah tidak ada obat tambahan yang diabsorpsi atau
dimasukkan ke dalam tubuh selama proses penurunan konsentrasi. Karena obat-obat orde
pertama memiliki volume distribusi dan klirens yang konstan (diasumsikan tidak ada
perubahan status klinis pasien).Pada persamaan diatas dapat dilanjutkan dengan
menghitung C2 dengan rumus:
C2 = (C1) (e-Kt1)

b. Waktu paruh
Konstanta laju eliminasi sering juga dinyatakan dalam bentuk waktu paruh
obat.Waktu paruh lebih cocok diaplikasikan pada ruang lingkup klinis. Waktu paruh (t1/2)
suatu obat adalah waktu yang dibutuhkan oleh jumlah total obat di dalam tubuh atau
konsentrasi obat di dalam plasma untuk berkurang sebanyak setengahnya. Waktu paruh
terkadang dilambangkan dengan β t1/2 untuk membedakannya dari waktu paruh distribusi
(α t1/2) dalam model dua kompartemen.Waktu paruh merupakan fungsi konstanta laju
eliminasi.
𝟎,𝟔𝟗𝟑
t1/2 = 𝑲
Aplikasi klinis konstanta laju eliminasi (K) dan waktu paruh (t1/2) diantaranya :
waktu untuk mencapai keadaan tunak dan waktu eliminasi obat. Contoh waktu untuk
mencapai keadaan tunak dimana jika diberikan terus-menerus, obat akan berakumulasi di
dalam tubuh hingga jumlah obat yang diberikan pada periode waktu tertentu (dosis
pemeliharaan) sama dengan jumlah obat yang dieliminasi pada periode yang sama, dengan
kata lain, laju masuk sama dengan laju keluar. Ketika hal ini terjadi, konsentrasi obat di
dalam plasma akan stabil dan akan menjadi “keadaan tunak” (steady state) waktu yang
dibutuhkan oleh konsentrasi obat untuk mencapai keadaan tunak ditentukan oleh waktu
paruh obat.
Untuk waktu eliminasi obat dimana waktu paruh dapat juga digunakan untuk
menentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengeliminasi seluruh obat secara
efektif dari dalam tubuh setelah pemberian obat dihentikan. Dibutuhkan satu waktu paruh
untuk mengeliminasi 50%, dua waktu paruh untuk mengeliminasi 75%, tiga waktu paruh
untuk mengeliminasi 87,5%, 3,3 waktu paruh untuk mengeliminasi 93,75% jumlah total
obat didalam tubuh. Dapat diasumsikan bahwa seluruh obat dieliminasi secara efektif
setelah tiga hingga lima waktu paruh.

Kreatinin Klirens (Cl)

Klirens dapat dinyatakan sebagai kemampuan intrinsik tubuh atau organ eliminasi
tubuh (biasanya ginjal dan hati) mengeluarkan obat dari darah atau plasma.Klirens dinyatakan
sebagai volume per satuan waktu.Klirens bukan indicator jumlah obat yang dikeluarkan,
klirens hanya menunjukkkan volume teoritis darah atau plasma yang dibersihkan dari obat
secara sempurna dalam periode tertentu. Jumlah obat yang dikeluarkan bergantung pada
konsentrasi obat dalam plasma dan klirens.
Pada keadaan tunak (Steady state), laju pemberian obat (RA) sama dengan laju
eliminasi obat (RE)

RA = RE
Klirens (Cl) paling tepat dinyatakn sebagai konstanta kesebandingan yang menyebabkan
kadar obat rerata dalam plasma pada keadaan tunak sama dengan laju pemberian obat (RA):

RA= (Cl) (Css rerata)

RA=(Cl) (Css rerata)


RA adalah (S)(F)(Dosis)/τ dan Css rerata adalah konsentrasi obat rerata dalam tunak.
Jika konsentrasi plasma rerata dalam tunak pada keadaan tunak dan laju
pemberian obat diketahui, klirens dapat dihitung dengan:

(𝑺)(𝑭)(𝑫𝒐𝒔𝒊𝒔/𝝉
Cl=
𝑪𝒔𝒔 𝒓𝒆𝒓𝒂𝒕𝒂

a. Faktor Yang Mempengaruhi Klirens(Cl)


1. Luas Permukaan tubuh
Nilai klirens dalam literature dinyatakan dalam satuan volume/kg/waktu atau
volume/70 kg/waktu, beberapa bukti menunjukkan bahwa kllirens obat lebih tepat
apabila ditentukan berdasarkan luas permukaan tubuh (LPT) dan bukan berdasarkan
berat badan.

𝑩𝒆𝒓𝒂𝒕 𝑩𝒂𝒅𝒂𝒏 𝒑𝒂𝒔𝒊𝒆𝒏 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒌𝒈 0.7


LPT dalam m2 = ( ) (1,73
𝟕𝟎 𝒌𝒈
m2)

Nilai berat badan pasien dibagi 70 dan dipangkatkan 0,7 merupakan pendekatan
untuk menentukan skala atau menentuka skala atau ukuran pasien dibandingkan
individu rata-rata, yaitu individu rata-rata yaitu 1,73 m2 atau 70 kg. Berat badan dibagi
70 dan dipangkatkan 0,7 tidak memiliki satuan dan harus dianggap sebagai fraksi dari
ukuran orang rata-rata.

Estimasi Klirens Kreatinin Berdasarkan Konsentrasi Kreatinin Dalam Serum Pada


Keadaan Tunak

Peningkatan kadar kreatinin serum pada keadaan tunak terbanding terbalik dengan penurunan

klirens kreatinin.
1𝑚𝑔/𝑑𝐿
ClCr Baru = (120 mL/menit) 𝑆𝐶𝑅𝑠𝑠

Penyesuaian dengan Ukuran Tubuh : Berat atau Luas Permukaan Tubuh (LPT)

Untuk menghitung adanya perubahan produksi dan klirens kreatinin yang disebabkan
oleh perbedaan ukuran tubuh. Persamaan 68 dapat dimodifikasi untuk mengkonpensasi
setiap deviasi luar permukaan tubuh (LPT) / Body Surface Area (BSA) pada pasien dengan
berat badan 70 kg (1,73 m2).

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 𝑃𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 (𝐾𝑔) 0,7


LPT dalam m2 = ( ) (1,73 m2)
70 𝐾𝑔

Atau dihitung dari persamaan berikut ini:

LPT dalam m2 = (W 0,425) (H0,725) 0,007184

Sebagai pedoman klinis , salah satu pendekatan yang digunakan adalah melakukan
penyesuaian BBI. Jika berat badan pasien sesungguhnya lebih dari 129% dari BBI pasen itu.

Pasien yang memiliki berat badan jauh dibawah BBI –Mnya atau kurus juga
memerlukan pertimbangan khusus ketika mengestimasi fungsi fungsi ginjalnya, walaupun
mungkin tampak berlawanan, klirens kreatinin yang dihitung untuk subjek yang kurus
dengan menggunakan berat badan pasien juga cenderung memberikan nilai klirens
kreatinin pasien yang lebih ttinggi dari yang sebenarnya.

Estimasi Waktu Untuk Mencapai Kadar Kreatinin Serum Pada Keadaan Tunak

Semua metode estimate Clcr yang telah dijelaskan membutuhkan konsentrasi kreatinin
serum pada keadaan tunak. Ketika fungsi ginjal pasien tiba-tiba berubah, dibutuhkan
waktu tertentu untuk mencapai konsentrasi kreatinin serum pada keadaan tunak yang
baru pada situasi ini. Waktu yang dibutuhkan oleh SCr untuk mencapai keadaan tunak
harus dapat ditentukan jika nilai kreatinin serum yang meningkat digunakan pada
salah satu persamaan yang telah dijelaskan, estimasi klirens kreatinin pasien akan lebih
tinggi dari yang sebenarnya.
Estimasi Klirens Kreatinin Berdasarkan Konsentrasi Kreatinin Serum Pada
Keadaan Tidak Tunak

Klirens kreatinin sulit ditentukaan dengan menggunakan nilai kreatinin serum pada
keadaan tidak tunak. Beberapa pendekatan telah dikemukakan. Penulis menggunakan
persamaan untuk mengestimasi klirens kreatinin apabila keadaan tunak belum tercapai.

𝑚𝑔 (𝑆𝐶𝑟2−𝑆𝐶𝑟1)(𝑉𝑐𝑟)
𝐾𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑖𝑛( )− (10𝑑𝐿/𝐿 100 𝑚𝑙/𝐿
ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑡
Clcr ml/min = ( ) x (1440 𝑚𝑖𝑛/ℎ𝑎𝑟𝑖)
(𝑆𝐶𝑟2)(10𝑑/𝐿)

Evaluasi Klirens Kreatinin Pengumpulan Urine

Akurasi klirens kreatinin yang dilaporkan bergantung pada pengumpulan urine yang lengkap
dan kaurat dalam waktu 12 jam atau 24 jam. Kesalahan dalam proses pengumpulan
harus selalu dipertimbangkan. Prediksi jumlah kreatinin yang dihasilkan atau
dieksresikan untuk pasien (dengan mempertimbangkan usia, gender, berat badan, dan
perawakan) harus dibandingkan dengan jumlah kreatinin sesungguhnya yang
dikumpulkan dalam sampel urine. Pada keadaan tunak, laju masuk (produksi kreatinin)
sama dengan laju keluar (eksresi kreatinin). Jika jumlah yang dikumpulkan sangat
berbeda dar produksi yang diprediksikan untuk pasien, klirens kreatinin yang
dilaporkan cenderung tidak akurat. Usia, gender, dan massa otot pasien harus
dpertimbangkan ketika mengestimasi jumlah kreatinin yang diproduksi. Bertambahnya usia
dan berkurangnya massa otot akan mengurangi jumlah produksi kreatinin diharapkan.

Estimasi Laju Filtrasi Glomerulus

Ketika mengestimasi fungsi ginjal untuk menentukan dosis obat-obat yang dieliminasikan
melalui ginjal, banyak klinisi mengestimasi fungsi ginjal pasien dengan
menggunakan persamaan Cockcroft dan Gault dan persamaan MDPG, lalu membandingkan
kedua persamaan tersebut. Pada kebanyakan kasus, kedua estimasi tersebut akan
memberikan hasil yang mirip, jika dilakukan penyesuaian persamaan MDGP, dalam
mL/menit/1,73m3, untuk ukuran pasien dengan menggunakan metode yang mirip dengan
yang digunakan untuk pasien pediatrik.

Anda mungkin juga menyukai