084-100
Faculty of Law, Maranatha Christian University, Jalan Prof. Drg.
Surya Sumantri No.65, Sukawarna, Bandung, West Java, 40164.
ISSN: 2085-9945 | e-ISSN: 2579-3520
Open Access at: http://dialogia.maranatha.edu/index.php
L. Heru Sujamawardi
Binmas Polres Mataram
herru_stmikbg@yahoo.co.id
Abstract - This article is examining the implementation of Article 27 (1), Law Number 19 of
2016 on Amandement of Law Number 11 of 2008 on Electronic Information and Transaction
and criminal liability of the offender according to article 27 (1). This article is normative legal
research by using statute, analytical and case approach. The result show that the
implementasion of this article in Police Resort of Mataram mostly based on wheter the crime
fulfiled the elements on article 27 (1) and not based on the information from investigation and
the evidences. The result also show that criminal liability of the offender can be given not only
to the offender as a person but also offender as a corporation.
Keywords: Article 27 (1) of Law Number 19 of 2016; criminal liability; police resort of
Mataram.
84
Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi
Volume 9 Nomor 2 April 2018
dalam dunia maya, sehingga saat ini dunia satu bentuk tindak pidana yang terjadi di
maya tidak hanya sebatas menghadirkan dalam masyarakat adalah tindak pidana
informasi, hiburan, dan pendidikan, tetapi kesusilaan di bidang Informasi dan
sanggup memenuhi sejumlah kebutuhan Transaksi Elektronik.
manusia seperti pertemanan, penghargaan Perkembangan ilmu pengetahuan dan
dan sebagai fasilitas lain untuk teknologi ternyata telah membawa dampak
berkomunikasi. Perkembangan teknologi dalam perkembangan hukum termasuk
informasi dan komunikasi yang demikian hukum pidana, khususnya tentang masalah
pesat telah pula menyebabkan hubungan perbuatan (tindak pidana), dalam
dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan kehidupan dunia modern saat ini tidak
menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dapat terlepas dan bahkan seringkali
dan budaya secara signifikan berlangsung bergantung pada kemajuan teknologi
demikian cepat. Menurut pendapat tokoh canggih/maju (“hitech” atau “advanced
sosiologi yaitu: 1 technology”), khususnya di bidang
“Perkembangan masyarakat yang informasi dan elektronik melalui jaringan
begitu pesat dan meningkatnya internasional (internet). Kemajuan di
kriminalitas, di dalam kehidupan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
bermasyarakat, berdampak kepada
senantiasa diikuti dengan adanya akibat
suatu kecenderuangan dari anggota
masyarakat itu sendiri untuk (dampak), baik secara langsung maupun
berinteraksi satu dengan yang lainnya, tidak langsung.
dalam interaksi ini sering terjadi Salah satu dampak negatif dari
sesuatu perbuatan yang melanggar kemajuan teknologi adalah penyebaran
hukum atau kaidah-kaidah yang telah informasi bermuatan pornografi yang
ditentukan dalam masyarakat, untuk menjadi perhatian serius dari
menciptakan rasa aman, tentram dan
semua pihak, baik pemerintah, aparat
tertib, dalam masyarakat. Dalam hal ini
tidak semua anggota masyarakat mau penegak hukum, akademisi, maupun
untuk menaatinya, dan masih saja ada masyarakat pada umumnya.
yang menyimpang yang pada Oleh karena itu, kehadiran hukum
umumnya perilaku tersebut kurang dengan fungsinya sebagai “a tool
disukai oleh masyarakat.” of social control” sangat diperlukan, yakni
fungsi hukum sebagai alat
Semakin meningkatnya kriminalitas di pengendali sosial”. Dimana menurut
Indonesia mengundang timbulnya berbagai Ronny Hantijo Soemitro:
macam modus operandi dalam terjadinya “Kontrol sosial merupakan aspek
tindak pidana, disamping perkembagannya normatif dari kehidupan social atau
tersebut tidak dibarengi dengan dapat disebut sebagai pemberi
perkembangan pengetahuan masyarakat definisi dari tingkah laku yang
tentang hukum, hal ini yang menyebabkan menyimpang serta akibat-akibatnya
seorang menjadi korban perbuatan pidana seperti larangan-larangan, tuntutan-
tuntutan, pemidanaan dan pemberian
atau seorang pelaku tindak pidana. Salah
ganti rugi.
85
Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi
Volume 9 Nomor 2 April 2018
86
Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi
Volume 9 Nomor 2 April 2018
87
Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi
Volume 9 Nomor 2 April 2018
2
Ramadhan, anna rahmania, “Pencemaran nama elektronik”, Jurnal IUS (Kajian Hukum dan
baik dalam perspektif Undang-Undang Nomor 11 Keadilan), Tahun 2015.
Tahun 2008 Tentang informasi dan transaksi
88
Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi
Volume 9 Nomor 2 April 2018
89
Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi
Volume 9 Nomor 2 April 2018
Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor batas-batas kesusilaan itu cukup luas dan
11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan dapat, berbeda-beda menurut pandanngan
Transaksi Elektronik. dengan nila-nilai yang berlaku di
Pelanggaran asusila dalam pengertian masyarakat. Pada dasarnya setiap delik
disini adalah suatu tindakan yang atau tindak pidana mengandung
melanggar kesusilaan yang jenis dan pelanggaran terhadap nilai-nilai kesusilaan,
bentuk-bentuk pelanggaran juga sanksinya bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu
telah diatur dalam Pasal 27 ayat (1) sendiri merupakan nilai-nilai kesusilaan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 yang minimal (das recht ist das ethische
Tentang Informasi dan Transaksi minimum).
Elektronik dan KUHP. Ketentuan- Masyarakat secara umum menilai
Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal kesusilaan sebagai bentuk penyimpangan/
27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 kejahatan, karena bertentangan dengan
Tahun 2016 Tentang Informasi dan hukum dan norma-norma yang hidup
Transaksi Elektronik dan KUHP tersebut dimasyarakat.Perkataan, tulisan, gambar,
dengan sengaja telah dibentuk oleh dan perilaku serta produk atau mediamedia
pembentuk undang-undang dengan maksud yang bermuatan asusila dipandang
untuk memberikan perlindungan terhadap bertentangan dengan nilai moral dan rasa
tindakan-tindakan asusila atau ontruchte kesusilaan masyarakat. Sifat asusila yang
handelingen dan terhadap perilaku- hanya menampilkan sensualitas, seks dan
perilaku baik dalam bentuk kata-kata eksploitasi tubuh manusia ini dinilai masih
maupun dalam bentuk perbuatan-perbuatan sangat tabu oleh masyarakat yang masih
yang menyinggung rasa susila karena menjujung tinggi nilai moral.
bertentangan dengan pandangan orang Menurut Simons kriterium eer
tentang keputusan-keputusan dibidang boarheid (kesusilaan) menuntut bahwa isi
kehidupan seksual, baik ditinjau dari segi dan pertunjukan mengenai kehidupan
pandangan masyarakat setempat dimana seksual dan oleh sifatnya yang tidak
kata-kata itu telah diucapkan atau dimana senonoh dapat menyinggung rasa malu
perbuatan itu telah dilakukan, maupun kesusilaan orang lain. Kejahatan terhadap
ditinjau dari segi kebiasaan masyarakat kesusilaan meskipun jumlahnya relatif
setempat dalam menjalankan kehidupan tidak banyak yang jika dibandingkan
seksual mereka. dengan kejahatan terhadap harta benda
Roeslan Saleh mengatakan pengertian (kekayaan) namun sejak dahulu sampai
kesusilaan hendaknya tidak dibatasi pada sekarang sering menimbulkan
pengertian kesusilaan dalam bidang kekhawatiran, khusunya para orang tua.
seksual, tetapi juga meliputi hal-hal yang Delik kesusilaan menutut D. Simons orang
termasuk dalam penguasaan norma-norma yang telah kawin yang melakukan
keputusan bertingkahlaku dalam pergaulan perzinahan dengan orang yang telah kawin
masyarakat.Menurut Barda Nawawi Arief pula, tidak dapat dihukum sebagai turut
mengatakan bahwa delik kesusilaan adalah melakukan dalam perzinahan yang
delik yang berhubungan dengan (masalah) dilakukan oleh orang yang tersebut
kesusilaan.Sedangkan pengertian dan terakhir. Delik kesusilaan diatur dalam bab
90
Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi
Volume 9 Nomor 2 April 2018
XIV buku II KUHP dengan judul terbuka berbagai macam tafsir dari
“kejahatan terhadap kesusilaan” yang ketidakjelasan maksud “informasi
dimulai dengan Pasal 281 KUHP sampai elektronik atau dokumen elektronik yang
dengan Pasal 297 KUHP. memiliki muatan yang melanggar
Merusak kesusilaan di depan umum, kesusilaan.”Mengutip pendapatnya Barda
menurut Mr. J.M Van Bemmelen, Nawawi bahwa Undang-Undang Khusus
mengatakan “pelanggaran kehormatan seyogyanya tidak hanya merumuskan
kesusilaan di muka umum adalah tindak pidananya saja, tetapi juga membuat
terjemahan dari “outtrange public a la aturan umum yang dapat menjadi aturan
pudeur” dalam Pasal 330 Code Penal. Hal payung.Namun terkait dengan pemidanaan
ini dapat ditafsirkan sebagai “tidak ada terhadap tindak pidana kesusilaan di dunia
kesopanan di bidang seksual”. Jadi sopan maya terlihat bahwa pemerintah hanya
ialah tindakan atau tingkah laku untuk apa memikirkan bagaimana aturannya
seseorang tidak usah malu apabila orang dirumuskan, tetapi tidak memberikan
lain melihatnya atau sampai penjelasan tentang apa yang diatur.
mengetahuinya dan juga oleh karenanya Terkait dengan keberadaan tindak
orang lain umumnya tidak akan terperanjat pidana kesusilaan di dunia maya ini,
apabila melihat atau sampai seharusnya pilihan yang dilakukan oleh
mengetahuinya. pemerintah adalah melakukan proses
Sekilas dari rumusan Pasal 27 ayat (1) harmonisasi atau sinkronisasi internal
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 dengan cara menambahkan ketentuan
Tentang Informasi dan Transaksi umum di dalam Buku I KUHP dengan
Elektronik, tidak akan menimbulkan memasukkan ruang lingkup dunia maya
permasalahan, karena tiap unsur yang perlu (internet), sehingga dengan sendirinya
dalam sebuah rumusan tindak pidana sudah ketentuan tentang kesusilaan yang ada di
terpenuhi. Namun jika dicermati dengan dalam KUHP tetap bisa digunakan untuk
seksama, maka akan timbul pertanyaan menjerat perbuatan yang melanggar nilai
terhadap objek perbuatan yang dilarang kesusilaan yang dilakukan di dunia maya.
tersebut, yaitu “informasi elektronik atau Disisi lain, mengutip pendapatnya
dokumen elektronik yang memiliki muatan Muladi terkait dengan metode pendekatan
yang melanggar kesusilaan.” Dalam dalam kebijakan kriminalisasi dan
penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU ITE, penalisasi, sebaiknya terkait dengan tindak
disebutkan “cukup jelas”, selain itu dalam pidana kesusilaan di dunia maya dilakukan
aturan umumnya pun tidak ada penjelasan berdasarkan metode evolusioner
apa yang dimaksud dengan muatan yang (evolotionary approach), yaitu dengan
melanggar kesusilaan. Tidak ada memberikan perbaikan, penyempurnaan
penjelasan apapun yang dapat digunakan dan amandemen terhadap peraturan-
untuk menemukan maksud norma yang peraturan yang sudah lama ada dalam
diatur dalam Pasal 27 ayat (1) tersebut. KUHP. Hal ini tentu dapat dilakukan
Rumusan Pasal 27 ayat (1) jelas dapat berhubung tindak pidana dengan muatan
menimbulkan tafsir yang banyak, atau melanggar kesusilaan di dunia maya
setidak-tidaknya dapat disebutkan bahwa bukanlah merupakan bentuk kriminalisasi
91
Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi
Volume 9 Nomor 2 April 2018
baru, melainkan tindak pidana lama yang dalam praktiknya tidak sama di dunia
sudah diatur di dalam KUHP, hanya saja teknologi informasi (TI) dan dunia
ruang dan yurisdiksinya yang diperluas. nyata.
Dengan telah adanya kebijakan 2. Tidak ada diketentuan umum dan
kriminal atas perbuatan asusila dalam dipenjelasan pasal demi pasal apa
KUHP, maka tidaklah perlu ada kebijakan yang dimaksud dengan Dokumen
kriminal dalam Undang-Undang ITE Elektronik yang memiliki muatan
terkait dengan tindakan asusila dalam yang melanggar kesusilaan.
dimensi dunia maya.Pengaturan ulang atas 3. Tidak jelas mana yang menjadi
suatu perbuatan yang telah dipidana, bagian inti (bestanddeel), apakah
merupakan duplikasi yang jelas telah “mendistribusikan, mentransmisikan,
melanggar prinsip lex certa dan lex scricta dan/atau membuat dapat diaksesnya”
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam atau “Dokumen Elektronik yang
Pasal 5 Undang-Undang No. 12 Tahun memiliki muatan yang melanggar
2011 Tentang Pembentukan Peraturan kesusilaan.”
Perundang-Undangan. 4. Frasa “Kesusilaan” dalam UU ITE,
Sudah sepantasnya muatan asusila mengeneralisir bentuk-bentuk Delik
dalam UU ITE tidak lagi perlu ada Kesusilaan yang dikenal dalam Bab
pengaturan. Selain itu, jika dirumuskan XIV KUHP yakni kejahatan terhadap
berdasarkan prinsip tindak pidana kesusilaan.
berdasarkan doktrin hukum pidana3, maka
terlihat jelas bahwa tindak pidana dalam Pada tahap penuntutan terhadap
Pasal 27 ayat (1) tidak tidak memenuhi perkara pidana yang melanggar kesusilaan
prinsip lex certa dan lex stripta yaitu (pornografi) melalui internet menurut UU
rumusan tindak pidana harus jelas (memuat ITE merupakan wewenang khusus dari
unsur-unsur baik perbuatan, keadaan jaksa penuntut umum.Ketentuan hukum
maupun akibat) dan rumusan tindak pidana pasal 43 angka 7 UU ITE menegaskan
itu haruslah ketat, tidak bersifat karet dan bahwa apapun hasil penyidikan selanjutnya
tidak multitafsir. harus diserahkan kepada Penuntut
Ketidakjelasan unsur perbuatan, Umum.Terkait dengan perbuatan pidana
keadaan dan akibat serta terbukanya tafsir, pornografi melalui internet, pada umumnya
bisa dilihat dari unsur Pasal 27 ayat (1): jaksa penuntut umum menggunakan
1. Tidak ada diketentuan umum dan ketentuan hukum pasal 27 ayat (1) UU
dipenjelasan pasal demi pasal apa ITE.Penggunaan ketentuan hukum tersebut
yang dimaksud dengan didasarkan pada pertimbangan adanya
mendistribusikan, mentransmisikan, sarana internet yang digunakan untuk
dan/atau membuat dapat diaksesnya. menampilkan atau menyebarluaskan
istilah mendistribusikan dan informasi elektronik yang berkonten
transmisi adalah istilah teknis yang pornografi.
3
Ratnadewi, Ni Nyoman Ernita, “Pelaksanaan
Transaksi e-commerce berdasarkan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008”, Jurnal IUS
(Kajian Hukum dan Keadilan), Tahun 2014.
92
Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi
Volume 9 Nomor 2 April 2018
Untuk perbuatan yang jelas melakukan bukti yang sah di depan persidangan.
pelanggaran terhadap pasal 27 ayat (1) UU
ITE dapat digunakan bentuk dakwaan Pertanggungjawaban pidana pelaku
tunggal, sebagaimana surat dakwaan yang tindak pidana kesusilaan Pasal 27 Ayat
dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum pada (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun
Perkara Penyebaran Foto Bugil melalui 2016 tentang perubahan atas Undang-
akun Facebook dengan terdakwa AK pada Undang 11 Tahun2008 tentang
Putusan Nomor 124/Pid/SUS/2013/PN.Srg Informasi dan Transaksi Elektronik
tertanggal 29 Agustus 2013. Selain itu Pertanggungjawaban pidana terletak pada
penggunaan bentuk dakwaan alternatif setiap orang yang merupakan subjek
dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum hukum, sebagaimana yang dimaksud dalam
manakala menangani pornografi melalui Pasal 1 angka 21 yaitu bahwa subjek
internet yang dapat ditunjukkan di muka hukum yang dimaksud adalah orang
umum atau dilakukan sebagai mata perorangan, baik warga negara asing,
pencaharian. maupun badan hukum. Sehingga bagi para
Kasus Perbuatan mengirimkan SMS pelaku asusila yang menggukanan media
(short messages services) yang berisikan elektronikharus dapat
percakapan aktivitas seksual pada berkas mempertanggungjawabkan perbuatannya,
Putusan Nomor 393/Pi.B/2014/PN.Pdg karena tindakan yang dilakukan dengan
tertanggal 10 September 2014 dituntut sengaja dan melawan hukum.
dengan Dakwaan Kesatu, Pasal 27 ayat (1) Sebagaimana kita ketahui,
jo. Pasal 36 jo. Pasal 45 UU ITE Dakwaan pertanggungjawaban pidana dipandang
Kedua, pasal 282 ayat (1), ayat (3) KUHP. tidak ada, kecuali ada alasan penghapusan
Kedua bentuk surat dakwaan tersebut pidana tersebut. Dengan kata lain, criminal
sekali lagi sangat bergantung pada perkara liability dapat dilakukan sepanjang
pornografi melalui internet yang ditangani pembuat tidak memiliki niat untuk
oleh jaksa penuntut umum, tentu saja melakukan suatu tindak pidana. Dalam
dengan tetap mendasarkan diri pada posisi lapangan Hukum Acara Pidana hal ini
kasus dan alat bukti yang ada. Tahap berarti seorang terdakwa dipandang
pemeriksaan di sidang Pengadilan, bertanggungjawab atas tindak pidana yang
merupakan bagian dari pelaksanaan hukum dilakukannya, jika tidak dapat
pembuktian yang berlaku dalam KUHAP. membuktikan bahwa dirinya mempunyai
UU ITE sendiri tidak memberikan niat atau kehendak ketika melakukan
pengaturan secara khusus tentang tindak pidana.Konsep demikian ini
pemeriksaan perkara pidana informasi dan membentuk keseimbangan antara hak
transaksi elektronik oleh karenanya sebagai mendakwa dan menuntut dari Penuntut
konsekuensi dari pelaksanaan pasal 41 UU Umum, dan hak menyangkal dan
ITE berlakulah model pembuktian yang mengajukan pembelaan dari terdakwa.
diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Tujuan Penuntut Umum berhak untuk
dari pemeriksaan di sidang pengadilan mendakwa dan menuntut seseorang karena
tidak lain untuk mengumpulkan fakta melakukan tindak pidana. Untuk itu,
hukum yang diperoleh berdasarkan alat Penuntut Umum berkewajiban
93
Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi
Volume 9 Nomor 2 April 2018
membuktikan apa yang didakwakan dan tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini
dituntut itu, yaitu membuktikan hal-hal bahwa memang pada tempatnya meminta
yang termuat dalam rumusan tindak pertanggungjawaban atas tindak pidana
pidana. Sementara itu, terdakwa dapat yang dilakukan.Pertanggungjawaban
mengajukan pembelaan atas dasar adanya pidana merupakan keadaan yang ada pada
alasanalasan penghapusan pidana.Untuk diri pembuat ketika melakukan tindak
menghindari dari pengenaan pidana, pidana.Kemudian pertanggungjawaban
terdakwa harus dapat membuktikan bahwa pidana juga berarti menghubungkan antara
dirinya mempunyai alasan penghapusan keadaan pembuat tersebut dengan
pidana ketika melakukan tindak pidana. perbuatan dan sanksi yang sepatutnya
Mempertanggungjawabkan seseorang dijatuhkan.Dengan demikian, pengkajian
dalam hukum pidana, harus terbuka dilakukan dua arah.Pertama
kemungkinan bagi pembuat untuk pertanggungjawaban pidana ditempatkan
menjelaskan mengapa dia berbuat dalam konteks sebagai syarat–syarat
demikian. Jika sistem hukum tidak faktual dari pemidanaan karena pengemban
membuka kesempatan demikian, maka aspek preventif.
dapat dikatakan tidak terjadi proses yang Kedua, pertanggungjawaban pidana
wajar dalam mempertanggungjawabkan merupakan akibat hukum dari keberadaan
pembuat tindak pidana. Pada gilirannya, syarat faktual tersebut, sehingga
hal ini akan berhadapan dengan merupakan bagian dari aspek represif
prinsipprinsip keadilan. hukum pidana.Jadi pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban pidana 4 harus pidana pada dasarnya adalah berhubungan
dapat dihubungkan dengan fungsi preventif dengan keadaan yang menjadi syarat
hukum pidana.Pada konsep tersebut harus adanya pemidanaan dan konsekuensi
terbuka kemungkinan untuk sedini hukum atas adanya hal itu.
mungkin pembuat menyadari sepenuhnya Di dalam rancangan KUHP, dimana
tentang konsekuensi hukum Rancangan KUHP menggunakan
perbuatannya.Dengan demikian, pendekatan campuran.Sebagaian hal–hal
konsekuensi atas tindak pidana merupakan yang berkaitan dengan
resiko yang sejak awal dipahami oleh pertanggungjawaban pidana dirumuskan
pembuat.Bagi masyarakat pencelaan yang secara negatif.Demikian halnya seperti
sejak awal dipahami oleh pembuat. Bagi terlihat dalam Pasal 38, 39, 40, 41, 42, 43.
masyarakat pencelaan hanya dapat Rancangan KUHP. Sementara sebagian
dilakukan setelah kemungkinan pembuat yang lain justru dirumuskan secara positif.
untuk berbuat lain sama sekali tertutup, Seperti Pasal 35, 36, 44, 45 dan 47
sehingga terjadilah tindak pidana. Rancangan KUHP. Perumusan dalam
Mempertanggungjawabkan seseorang pasal-pasal yang disebutkan terakhir ini
dalam hukum pidana bukan hanya berarti sifatnya bukan pengecualian dari dapat
menjatuhkan pidana terhadap orang itu, dipertanggungjawabkannya seseorang.
4
Bambang Poenomo, Asas-asas Hukum Pidana,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 2012.
94
Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi
Volume 9 Nomor 2 April 2018
95
Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi
Volume 9 Nomor 2 April 2018
96
Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi
Volume 9 Nomor 2 April 2018
disimpan dalam data base paket dunia maya tersebut yang kemudian
lokal. akan diterukan lagi oleh packager.
6. Prosedur adalah seseorang yang
bertanggungjawab secara umum Untuk pelaku yang bekerja sebagai
terhadap seluruh pelaksanaan penyuplai gambar-gambar porno tersebut,
produksi. Bila diibaratkan dalam dalam konteks ini yang bersangkutan bisa
dunia perfilman, produksi yang dimasukan ke dalam kategori author dan
dimaksud biasanya berkaitan atau produser, gambar tulisan ataupun
dengan produk audio visiual antara cerita-cerita jorok yang telah ditulis atau
lain produksi siaran radio, rekaman dibuat oleh pembuatnya telah
musik atau lagu, film, iklan dan diseberluaskan dalam dunia informasi
program TV. Dalam hal website global yang bernama internet.
cyberporn, produser adalah orang Di dunia maya lalu lintas informasi
yang secara umum bergerak dengan sangat cepat (information
bertanggungjawab atas adanya superhighway), gambar, tulisan dan cerita-
produksi web ceberporn tersebut. cerita jorok terbang kesegala penjuru
Secara umum fungsi produser mencari pengakses yang ingin melihat atau
diberbagai bidang ini berbeda satu membaca, bahkan mengunduh informasi
sama lainnya. Dalam produksi tersebut. Dalam hal ini gambar, atau
siaran radio misalnya, produser tulisan, atau cerita jorok itu sebenarnya ada
kerap kali melakukan pekerjaan di depan mata kita dalam gelombang bit-bit
bersifat teknis mulai dari yang tidak terlihat oleh mata seperti jauh
pengumpulan bahan siaran tetapi sebenarnya dekat. Kemudian di
sehingga meramunya menjadi satu pihak lain, yang mungkin dapat dinyatakan
program layak siar. Untuk bidang bertanggungjawab adalah pihak penyedia,
televisi dan film fungsi produser pelenggara, pemilik server yang
bila dibilang serupa. Dalam menyebarkan informasi yang dikirimkan
produksi televisi seorang produser oleh produser dan atau author. Berarti
lebih terlibat pada saat pra pihak pemilik server juga dapat diseret di
produksi. Sebenarnya fungsi pengadilan.
produser dan sutradara hampir Sebenarnya apa yang terlihat atau
sama. Hanya saja yang terpampang dilayar monitor telah
membedakan ialah seorang memenuhi unsur-unsur yang terdapat
produser lebih terlibat saat produksi dalam delik pornografi, tetapi peraturan
dan sutradara itu pada saat hukum pidana kita tidak dapat menjangkau
pelaksanaan produksi. kesana hal ini disebabkan karena
7. Author adalah pencipta, penyedia, penafsiran yang ada dalam pasal tersebut
pemilik dari website porno tersebut. masih terkungkung dengan makna tentang
Dalam hal web cyberporn ini atuhor pornografi, perosalan ini merupakan
bekerja sebagai pemasok, penyedia persoalan yang muncul pada tahap teoritis
ataupun penyuplai bahan-bahan yang berimplikasi pada tahap praktis
yang berbau pornografi dalam dimana aparat penegak hukum belum atau
97
Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi
Volume 9 Nomor 2 April 2018
tidak dapat bergerak jika tidak ada hingga tanggung jawab ditentukan oleh
legitimasi dari pada akemedisi di samping undang-undang.
kemampuan yang berisaft teknis dari Kesulitan dalam menentukan
teknologi informasi. Selanjutnya pertanggungjawaban terhadap pornagrafi
penyelenggara jasa (internet service melalui internet bisa disebabkan ada
provider) yang juga bisa dimintakan sejumlah perilaku yang dipandang ”tidak
pertanggungjawaban atas keselenggaranya baik” atau ”bahkan buruk” dalam
pornografi internet. Pemilik situs juga masyarakat, akan tetapi karena tingkat
dapat ditarik ke depan pengadilan. Dalam ancamanannya pada masyarakat dipandang
kasus tersebut dapat diungkap adanya tidak terlalu besar, maka perilaku tersebut
pihak lain yang mungkin tidak dirumuskan sebagai suatu tindak
bertanggungjawab dalam pelanggaran pidana.Sebaliknya, sekali perbuatan
susila. ditetapkan sebagai tindak pidana, maka
Meskipun pada prakteknya tindakan hukum memandang perbuatan-perbuatan
para penyelenggara pornografi internet 5 tersebut sebagai tercela.
dilakukan secara bersama-sama tetap saja Hukum bahkan mengharapkan sistem
yang bertanggungjawab atas pelanggaran moral dapat mengikutinya.Artinya,
kejahatan itu adalah pribadi sesuai masyakarat diarahkan juga untuk mencela
perannya masing-masing. Situs atau berbuatan tersebut.Dengan demikian,
penyelengara jasa internet tentunya celaan yang ada pada tindak pidana yang
didasari atas dasar kepemilikan atau sebenarnya lebih pada celaan yang bersifat
kepengurusan, ibarat sebuah yuridis, diharapkan suatu saat mendapat
perusahaan.Mungkin di sini bisa digunakan tempat sebagai celaan dari segi moral.Jadi
ajaran tentang pertanggungjawaban tindak pidana pornografi melalui internet
korporasi yang menjelaskan bahwa tingkah dapat saja dilepaskan dari masalah
laku perusahaan merupakan kumpulan dari moralitas masyarakat, tetapi justru hasilnya
tingkah laku individu. Berdasarkan pada sebaliknya.
contractual liablility, kerjasama atau Setiap tindak pidana adalah perbuatan
pernyertaan para pihak dalam penyajian yang tercela di mata hukum.Jika hukum
situs pornografi dapat dijadikan batasan memandang suatu perbuatan sebagai
untuk menentukan kompentensi para tercela, maka pada hakikatnya demikian
pihak.Hal ini penting karena agak sulit bila pula seharusnya dari segi moral.Jadi
meminta pertanggungjawaban pada hukum merupakan gejala yang timbul dan
perusahaan atau situs penyelenggara hanya dapat dimengerti dari perkembangan
pornografi internet. Diterimannya peradaban manusia.Dengan demikian,
korporasi sebagai subjek hukum maka pada dasarnya ditetapkannya suatu
menjadikan korporasi dapat bertindak perbuatan sebagai tindak pidana
seperti manusia, keberadaan dan ihwal merupakan cerminan penolakan moral
korporasi seperti hak, kewajiban tindakan masyarakat terhadap perbuatan tersebut.
5
Agus Raharjo, Cybercrime, Pemahaman dan
Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.
98
Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi
Volume 9 Nomor 2 April 2018
99
Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi
Volume 9 Nomor 2 April 2018
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Agus Raharjo, Cybercrime, Pemahaman
dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2002.
Bambang Poenomo, Asas-asas Hukum
Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia,
2012.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu
Penggantar, Jakarta: Rajawali Pers,
2011.
Jurnal
Ramadhan, anna rahmania, “Pencemaran
nama baik dalam perspektif Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang informasi dan transaksi
elektronik”, Jurnal IUS (Kajian Hukum
dan Keadilan), Tahun 2015.
Ratnadewi, Ni Nyoman Ernita,
“Pelaksanaan Transaksi e-commerce
berdasarkan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008”, Jurnal IUS (Kajian
Hukum dan Keadilan), Tahun 2014.
Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2006
tentang perubahan atas Undang-undang
Nomor 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
100