Anda di halaman 1dari 6

2.

Apa keterbatasan dan tantangan yang harus dihadapi oleh lemaga-lembaga ini untuk
mencapai tujuannya?
A. PBB / (UNSC)
Pertama, kendala utama untuk melakukan tindakan tegas/ bijak dari PBB adalah kemampuan
negara anggota P5 / pemegang hak veto tunggal yg mengesampingkan keinginan para mayoritas.

Dewan Keamanan adalah yang paling utama dan penting dalam menangani masalah
keamanan sebagaimana ketentuan pasal 24 bahwa anggota PBB menganugerahkan tanggung
jawab utama DK untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Terdapat dua badan
lain yang secara langsung bersinergi dengan DK, yaitu Majelis Umum untuk mengeluarkan
resolusi konflik namun resolusi yg disahkan MU hanya dihitung sebagai sebuah rekomendasi
sehingga resolusi tersebut tidak mengikat. Kemudian, Sekretariat yang tugasnya mengelola operasi
pemeliharaaan perdamaian dan menengahi perselisihan internasional melalui suatu Departemen
(DPKO).

DK memiliki peran utama dalam masalah keamanan. Terdiri dari 15 anggota, terdapat
lima anggota tetap (AS, Prancis, Cina, Rusia, Inggris) mereka memiliki kursi permanen (P5) dan
memiliki kekuatan veto. P5 mampu memveto keputusan besar yang dibuat oleh anggota tidak
tetap. Adanya keistimewaan yang dimiliki anggota P5 kontroversial, sebagian berpendapat itu
diperlukan untuk menjaga kekuatan utama agar kelangsungan panjang organisasi terjaga, negara2
tersebut memiliki pengaruh yang lebih besar untuk mendistribusikan kekuasaan dan sumber daya.
Kritik terhadap P5 yang dianggap tidak demokratis dan tidak legal dan lebih baik di reformasi
untuk dihilangkannya, pendapat itu akan memungkinkan PBB jauh lebih efektif.
Kedua, prinsip-prinsip yang memberi keterbatasan terhadap operasi penjaga perdamaian.

Konsep PKO tidak secara eksplisit disebutkan dalam piagam PBB, sehingga dipahami
bahwa pemeliharaan perdamaian merupakan mekanisme non-militer untuk resolusi konflik yang
ditetapkan dalam Bab VI dan mekanisme militer yg disahkan dalam Bab VII. penjaga perdamaian
adalah suatu teknik yang dirancang untuk menjaga perdamaian dimana pertempuran telah terhenti.
Atau dengan kata lain pemeliharaan perdamaian seharusnya menjadi kegiatan yang terjadi setelah
permusuhan bersenjata berhenti, dan bertujuan untuk melindungi apapun perdamaian yang telah
dicapai.

Terdapat tiga prinsip panduan dalam upaya pemeliharaan perdamaian; 1) Persetujuan dari
pihak-pihak yg terlibat konflik, 2) Ketidakberpihakan (pasukan penjaga/ peacekeepers tidak
memihak / bersikap netral). 3) Tidak menggunakan kekuatan, kecuali untuk membela diri dan
membela mandat. Operasi yang dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip diatas, jelas sangat
membatasi kapan dan dalam keadaan apa penjaga perdamaian dapat terjadi, dan bagaimana
penjaga perdamaian dapat bertindak ketika mereka melakukan PKO.
Jika pasukan penjaga perdamaian dapat beroperasi hanya dengan izin dari mereka yang
terlibat dalam perselisihan, harus mempertahankan sikap netral, dan sangat dibatasi ketika mereka
dapat menggunakan kekuatan, jelas ada batasan besar pada peran yang dapat mereka mainkan
dalam menyelesaikan konflik. Tentu saja, mereka tidak memberikan dasar untuk menghilangkan
perang sama sekali, atau bahkan mungkin kekejaman massal. Sebagian, pembatasan ini
dikembangkan sehingga operasi akan menjadi tidak kontroversial, paling tidak untuk membuat
mereka dapat diterima oleh kedua belah pihak dalam Perang Dingin. Namun, itu juga penting agar
prinsip kedaulatan nasional akan terus dihormati, sebagaimana diabadikan dalam Piagam PBB
sendiri.

Ketiga, berdasar dari keluhan umum para komandan di lapangan adalah bahwa mandat yang DK-
PBB berikan untuk beroperasi terlalu lemah atau tidak jelas; seperti saat menentukan kapan
kekuatan diizinkan dan sifat serta tujuan yg tepat; kemudian sumber daya pasukan dan peralatan
tidak memadai; dan kurangnya kemauan dan kesepakatan internasional tentang perlunya
intervensi.

Operasi PBB dianggap telah gagal baik ketika melakukan intervensi seperti di Bosnia dan
Somalia, maupun ketika tidak melakukan intervensi di Rwanda. sepanjang 1990an penggunaan
intervensi kemanusiaan sangat kontroversial. Hal ini dikarenakan dalam praktiknya PBB tidak
memiliki sikap yang kuat, baik dalam mencegah dan menyelsaikan konflik atau melindungi warga
sipil dari bahaya. Sehingga, PBB secara luas dinilai telah gagal, terlepas dari perdebatan tentang
kemanusiaan.

Keempat, R2P belum berhasil dalam menciptakan konsesnus tentang gagasan intervensi
kemanusiaan.

R2P (Responsibility to Protect) dibentuk oleh Komisi Internasional untuk Intervensi dan
Kedaulatan Negara (ICISS), yg bertugas “untuk memeriksa seluruh jajaran masalah yg berkaitan
dengan intervensi kemanusiaan…” R2P terlepas dari kekuatan dan kelemahannya sebagai sebuah
doktrin, tampak jelas bahwa ia belum berhasil menciptakan konsensus yg diharapkan oleh para
pencetusnya tentang gagasan intervensi kemanusiaan. Contoh: R2P dianggap digunakan untuk
membenarkan tindakan invasi US ke Afganistan dan Irak, NATO ke Libya. Resolusi yg ditujukan
untuk melindungi warga sipil pada akhirnya digunakan oleh NATO untuk perubahan rezim.
Kritik terhadap R2P:

1. Beberapa pihak berpendapat bahwa ruang lingkupnya terlalu terbatas –mengapa tanggung
jawab harus dibatasi hanya pada empat keadaan yg ditentukan; (genosida, kejahatan
perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan)
2. Kriteria R2P tidak menempatkan batas yg cukup pada pelanggaran yg diwakilinya, dan
berpotensi disalahgunakan.
3. Apakah R2P alat imperialisme Barat? – yaitu untuk membenarkan negara-negara kuat
untuk melakukan intervensi di negara-negara yg lebih lemah.
4. Apakah penerapannya dengan cara selektif? – Negara P5 kemungkinan tidak akan pernah
membiarkan R2P bertentangan/menghalangi kepentingan mereka sendiri.

B. NATO
Sejak dibentuk perselisihan antara negara anggota NATO tentang masalah kedaulatan negara,
persaingan kepentingan nasional antar negara anggota, dan masalah pemilihan opsi terbaik untuk
memenuhi ancaman yang dihadapi.
Pertama, masalah kedaulatan negara.

a. Prancis yang menarik diri dari struktur militer NATO karena ingin mempertahankan
Kebijakan Pertahanan Independen mereka sendiri mencakup pengembangan senjata nuklir.
b. Pembentukan Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Umum (CFSP) dan pembentukan
‘EuroCorps’ oleh Prancis dan Jerman serta kesepakatan dimana WEU melakukan operasi
sendiri, meskipun itu merupakan hak keadulatan masihng-masing negara Eropa namun
kondisi ini dikhawatirkan mengancam masa depan NATO.
Kedua, persaingan kepentingan nasional antar negara anggota NATO.

a. Menurunnya kontribusi Eropa terhadap pendanaan di NATO, terlebih saat terjadi krisis
ekonomi 2008 banyak negara Eropa yang memperketat anggaran mereka dan berimplikasi
pada jatuhnya pendanaan di NATO. Keadaan tersebut terjadi karena faktor kepentingan
nasional beberapa negara di Eropa yang berfokus pada ekonomi dibanding keamanan
militernya di NATO.
b. Upaya NATO untuk menyatukan anggotanya untuk melawan tantangan baru dari Rusia
mengalami dilema. Meskipun, pada prinsipnya negara nggota NATO menentang tindakan
Rusia tetapi terdapat perbedaan sejauh mana mereka bersedia untuk menegakkan
keamanan kolektif dan elemen kompromi yang akan digunakan. Hal tersebut dikarenakan
beberapa anggota NATO yang merupakan bagian dari Uni Eropa tampaknya lebih bersedia
untuk berkompromi dengan Rusia mengingat mereka bergantung pada impor gas dan
minyak. Kondisi ini terlihat dari tindakan UE yang lebih soft terhadap Rusia dibandingkan
AS, melihat dari kondisi geografis yang sama (Eropa) sehingga UE tidak ingin menghadapi
masalah yang langsung berimplikasi pada mereka, yang mana masalah tersebut tidak akan
dihadapi oleh AS (karena kondisi geografis yg jauh).
c. Sebagian negara Eropa seperti Jerman tetap resisten terhadap penggunaan kekuatan
militernya. Ketika Invasi Irak 2003, Inggris mendukung kepentingan AS, namun Prancis
dan Jerman menentang invasi tersebut, dan Turki menolak memberi izin pasukan darat AS
untuk melintasi wilayahnya ke Irak. Pada kasus Libya hanya delapan dari 28 sekutu NATO
yang melakukan serangan udara ke Libya, dan Jerman memilih abstain pada resolusi PBB
yang mengesahkan misi AS.
Ketiga, masalah pemilihan opsi terbaik untuk memenuhi ancaman yang dihadapi.

a. Dalam kasus Libya terjadi perpecahan dalam sekutu NATO di Eropa seperti Jerman dan
Turki yang hanya ingin melindungi warga sipil dengan zona larangan terbang, sementara
yang lain seperti Inggris dan Prancis ingin memainkan peran yang lebih aktif dalam
menyerang Khaddafi.
b. Kurangnya kohesi dalam pendekatan NATO merupakan hambatan bagi dijalannya tujuan
NATO, seperti tanggapan NATO terhadap munculnya terorisme internasional dimana
negara-negara anggota telah mengadopsi pendekatan yang berbeda terhadap ancaman
keamanan baru dan tidak adanya kesepakatan mengenai persepsi ancaman bersama antara
AS dan Eropa.
c. Mengenai memutuskan prioritas aliansi (NATO), ketika NATO mampu mengadaptasikan
diri ke lingkungan keamanan yg baru dengan beralih dari aliansi militer yg dirancang untuk
menghalangi musuh spesifik menjadi berkomitemen pada pemeliharaan perdamaian dan
keamanan di seluruh penjuru dunia. Terjadi perbedaan kecenderungan bahwa anggota yang
lebih tua (lama bergabung) menghargai ekspansi NATO karena menganggap ini berharga,
sementara anggota baru lebih tertarik pada NATO yg meyediakan sarana keamanan atas
Rusia karena dikhawatirkan akan bangkit kembali di masa depan.
d. Ketika NATO ingin melancarkan misi ekspansi, salah satu caranya dengan menciptakan
keanggotaan “Partnership for Peace” yang diikuti oleh sebagian besar negara Eropa Timur
bekas Soviet. Hal ini menimbulkan sengketa antar negara anggota NATO, yaitu ketika
Jerman mengadvokasi penerimaan negara-negara pos-komunis ke dalam aliansi, Inggris
dan Prancis kurang menyukai gagasan itu. Misi ekspansi itu dikhawatirkan oleh beberapa
anggota Eropa menghilangkan fokus trans-altantik NATO dan tidak efektif, dan NATO
hanya akan menjadi alat untuk militer AS dalam kepentingan hegemoninya.

C. EU (European Union)
Sebagai institusi regional, Uni Eropa belum memiliki aspek keamanan khususnya dalam konteks
militer di dalam kerangka institusinya secara independen, sehingga masih bergantung pada NATO.
Uni Eropa merupakan organisasi regional yang didesain untuk mengakomodasi kepentingan-
kepentingan politik dan keamanan negara-negara anggotanya. Uni Eropa berawal dari organisasi
regional ECSC, sehingga bisa dikatakan bahwa fokus dan tujuan UE yakni mewujudkan kerjasama
dan kesejahteraan ekonomi negara-negara anggotanya.

- Peran AS yang dominan dalam NATO melalui intervensi dalam traktat keamanan regional
tersebut. Terdapat sebuah deklarasi kebijakan yang mengikat antara dua organisasi regional
ini yaitu EU-NATO Declaration on European Security and Defence Policy (ESDP).
- Ancaman eksternal yaitu Rusia, dapat dikatakan menjadi alasan mengapa NATO masih
dibutuhkan dalam menopang Uni Eropa yang secara kapabilitas tidak didesain untuk
menghadapi masalah-masalah keamanan dan perdamaian. Secara kepentingan ekonomi
UE dan Rusia bergantung terkait perdagangan gas alam Rusia Gazprom yang distribusinya
ke seluruh Eropa, namun secara militer hal tersebut menjadi kewaspadaan tersendiri bagi
UE sehingga masih membutuhkan NATO sebagai komponen utama pertahanan dan
keamanan regionalnya.
- Peran AS yang sangat besar terhadap UE yg belum mampu membentuk regionalisme
keamanannya sendiri dan tekanan besar Rusia sebagai salah satu ancaman dalam regional
yang dapat menghancurkan sendi-sendi vital perekonomian dan kesejahteraan masayarakat
di negara-negara anggota UE menjadi hambatan dan tantangan dalam pembangunan Uni
Eropa untuk mencapai tujuannya membentuk aliansi keamanan sendiri.
- Melihat bagaimana NATO bekerja dan tanpa tujuan, membuat UE mendapat rekomendasi
untuk membentuk regionalisme keamanan yang jauh lebih independen, sarat dengan
kepentingan UE untuk menjamin stabilitas keamanan regional yang lebih independen dan
memastikan tidak ada negara yg memeiliki kepentingan berlebih.

D. ASEAN
Pertama, yang menjadi salah satu keterbatasan dalam mencapai tujuan ASEAN dan terlaksananya
pilar pertama yaitu Komunitas Politik dan Keamanan ASEAN adalah prinsip ASEAN yang
dikenal dengan non-interefernce, yaitu kewajiban bagi setiap negara yang berdaulat untuk tidak
campur tangan dalam urusan domestik negara lain. Terkait prinsip ini, beberapa pihak berpendapat
sudah tidak relevan lagi dan hanya dijadikan tameng untuk tidak mencampuri urusan internal
negara di kawasan, hal ini menjadikan sulitnya ASEAN memiliki sikap yang tegas dalam
menangani konflik dan krisis kemanusiaan di beberapa negara kawasan tersebut. Kasus konflik
Rohingya terindikasi terjadi pelanggaran HAM sistematis yang dilakukan oleh pemerintah
Myanmar, namun belum ada tindakan yang tegas secara hukum dari ASEAN maupun negara
anggota. Kondisi tersebut karena terhalang adanya prinsip yang telah disebutkan sebelumnya,
sehingga pendekatan yang digunakan negara lain melalui misi kemanusiaan untuk etnis muslim
Rohingya.

Kedua, kesenjangan di antara negara nggota masih tetap signifikan meskipun pembangunan di
negara-negara anggota ASEAN berjalan dengan baik. Oleh karena itu, perlunya upaya bersama
untuk meningkatkan pertumbuhan yang lebih cepat di ASEAN dan meningkatkan pemerataan
hasil dari pertumbuhan kepada negara-negara anggota ASEAN. Singapura merupakan salah satu
negara anggota ASEAN yang tergolong negara paling maju diantara negara lainnya. Kemampuan
ekonomi Singapura menjadikan negara tersebut dipercaya sebagai penanggung jawab pilar kedua
yaitu Komunitas Ekonomi ASEAN. Tidak tercapainya konsensus Timor Leste untuk bergabung
dengan ASEAN karena penolakan Singapura, dikarenakan negara tersebut cenderung melihat sisi
negatif yang akan didapat dari ASEAN. Timor Leste dianggap akan membuat ASEAN dalam
posisi uncertainty terkait keterbatasan kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia d Timor
Leste.
Referensi:
Peter Hough, et al. (2015), International Security Studies, Theory and Practice, Ch. 20, 21, 22.

Porobo Darono, (2016), Kebutuhan Uni Eropa terhadap Institusi Keamanan: Peran NATO di Era
Kontemporer, Airlangga University.

Zegi Dias, (2017), Penyebab Penolakan Singapura Terhadap Konsensus Keanggotaan Timor
Leste di ASEAN. Universitas Airlangga.

Tony Yuri, (2017), Prinsip Non-Intervensi Bagi ASEAN Ditinjau Dari Perspektif HAM.
Kemenkum dan HAM: Pusat Penelitian dan Pengembangan HAM. Vol. 8, (2).

Riva Dessthania, (2016), Konflik Rohingya di Balik Tameng Prinsip Non-Intervensi ASEAN. CNN.
[https://m.cnnindonesia.com/internasional/20161207085341-106-177873/konflik-rohingya-di-
balik-tameng-prinsip-non-intervensi-asean] (diakses pada 24 November 2019).

Anda mungkin juga menyukai