Anda di halaman 1dari 20

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian.

Berbagai persoalan yang terjadi dalam hal pelayanan dan

perawatan terhadap narapidana tidak mudah begitu saja ditangani

oleh pihak Lembaga Permasyarakatan. Terlalu lemah pengamanan

bisa menyebabkan narapidana kabur, namun terlalu ketat akan

dimaknai sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia untuk

mendapatkan hidup yang layak. Persoalan ini akan semakin

bertambah rumit bila melihat ruang bagi narapidana yang tidak

memperhitungkan kepadatan (density), satu ruang tahanan diisi lebih

dari 5 orang. Padahal situasi yang padat dan crowded akan

meningkatkan agresivitas yang mengarah pada violence atau

kekerasan antara sesama tahanan. Apalagi sebagian besar Rutan

atau Lapas tidak memiliki jumlah petugas yang memadai sesuai

dengan kuantitas penghuninya, sehingga akan menyulitkan dalam

proses pengawasan pada persoalan masing-masing narapidana.

Keterbatasan petugas dibandingkan penghuninya akan menyulitkan

untuk mengendalikan proses interaksi negative dari para narapidana,

seperti konflik antar penghuni, relasi seksual yang negative

(homoseksual/lesbian), dan permasalahan lainnya.


2

Kondisi di dalam Lembaga Pemasyarakatan yang serba

terbatas tersebut memang bisa memberikan efek jera bagi para

penghuninya. Namun demikian di sisi lain akan memberi dampak

psikologis yang berat pula bagi mereka. Para penghuni tentu berharap

setelah mereka keluar dari kawah Candradimuka tersebut akan

mendapatkan kebebasan dan merasakan kembali sebagai manusia

yang penuh dengan harap akan diterima di lingkungannya kembali.

Namun demikian tidak semua harapan akan sesuai dengan realitas

yang diinginkan. Para mantan narapidana lebih banyak mendapatkan

reaksi negative dari lingkungan sekitarnya. Padahal dukungan sosial

dari teman dan keluarga mutlak dibutuhkan mereka. Empati dan

memberi dukungan emosional, arahan untuk tidak putus asa,

penerimaan yang menyenangkan, dukungan informasi tentang lahan

pekerjaan, dukungan materi, tidak memandang dengan rasa kasihan,

memberikan peran yang sama di dalam lingkungan tempat tinggal,

akan menjadi obat mujarab yang bisa menyembuhkan para mantan

narapidana untuk berperilaku normal seperti masyarakat pada

umumnya, yang patuh dan taat akan norma yang melingkupinya.

Lembaga Pemasyarakatan sebagai salah satu institusi

pemerintah yang memiliki tugas dan fungsi dibidang pelayanan publik

kepada masyarakat merupakan implikasi dari fungsi aparat negara

sebagai pelayan masyarakat sehingga kedudukan aparatur

pemerintah dalam pelayanan umum (public services) sangat strategis


3

karena akan menentukan sejauhmana pemerintah mampu

memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat dan

sejauhmana negara telah menjalankan perannya dengan baik sesuai

dengan tujuan pendiriannya.

Perkembangan kehidupan masyarakat yang sangat dinamis

seiring dengan tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik,

merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat.

Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan apa yang menjadi hak

dan kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara. Masyarakat semakin berani untuk

mengajukan tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah.

Masyarakat semakin kritis dan semakin berani untuk melakukan

kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintahnya. Kesadaran

akan hak-hak sipil yang terjadi di masyarakat tidak lepas dari

pendidikan politik yang terjadi selama ini.

Pelayanan publik oleh aparatur pemerintah dewasa ini masih

banyak dijumpai kelemahan sehingga belum dapat memenuhi kualitas

yang diharapkan masyarakat. Hal ini ditandai dengan masih adanya

berbagai keluhan masyarakat yang disampaikan melalui media

massa, sehingga dapat menimbulkan citra yang kurang baik terhadap

aparatur pemerintah. Mengingat fungsi utama pemerintah adalah

melayani masyarakat maka pemerintah perlu terus berupaya

meningkatkan kualitas pelayanannya.


4

Narapidana merupakan manusia ciptaan Tuhan memiliki

kedudukan tertinggi yang mempunyai akal dan pikiran. Narapidana

menerima pembinaan dan bimbingan agar ia dapat menyesali segala

perbuatan yang dilakukan, sehingga bisa merubah diri dan dapat

diterima kembali dalam masyarakat (reintegrasi). Untuk itu petugas

Pemasyarakatan harus memiliki tahapan pembinaan yang benar-

benar tepat terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Ketidaktepatan

pembinaan yang dilakukan kepada narapidana mengakibatkan

ketidakefektifan dalam proses pembinaan dan bimbingan.

Akibat-akibat yang timbul apabila salah dalam menerapkan

tahapan pembinaan mengakibatkan narapidana mengalami gangguan

jiwa atau depresi,sikap atau perilaku narapidana yang menjadi lebih

buruk dari sebelumnya sehingga dapat mengakibatkan adanya

pengulangan tindak pidana (recidive), narapidana tidak dapat

berintegrasi dengan masyarakat.

Masalah hak asasi manusia belakangan ini menjadi sesuatu

yang hangat dibicarakan. Hal ini berkaitan dengan semakin

menguatnya tuntutan perlindungan hak-hak asasi dari warga

masyarakat yang menyangkut berbagai kepentingan mereka.

Menguatnya tuntutan akan perlindungan hak asasi manusia itu tidak

terlepas dari pengaruh perkembangan global, yaitu dengan

munculnya berbagai kesepakatan-kesepakatan internasional yang


5

menjamin perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi

manusia dalam berbagai dimensi.

Seiring dengan hangatnya masalah-masalah yang menyangkut

hak asasi manusia di Indonesia, masyarakat kita semakin kritis dalam

melihat pelaksanaan hak asasi manusia di negara kita, termasuk

perlakuan terhadap narapidana dan pelayanan hak-hak narapidana.

Masyarakat telah mengetahui dan menyadari bahwa keadaan dan

masalah yang menyangkut perlakuan terhadap narapidana

merupakan salah satu pencerminan tingkat peradaban manusia serta

martabat suatu bangsa.Setiap manusia harus dijamin hak asasi

manusianya karena hak asasi manusia merupakan hak dasar yang

melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai

anugerah Tuhan Yang Maha Esa sejak manusia dilahirkan.

Pernyataan ini sesuai dengan ungkapan yang menjadi dasar dari isu

tentang hak asasi manusia, yaitu “All Men Are Born Free and Equal “,

yang artinya bahwa setiap manusia sejak ia dilahirkan memiliki

kebebasan dan hak untuk diperlakukuan sama tanpa diskriminasi

apapun.

Jaminan hak asasi manusia di Indonesia secara yuridis telah

diatur dalam peraturan perundang-undangan No. 39 Tahun 1999.

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 telah memuat pernyataan-pernyataan dan

pengakuan yang menjunjung tinggi harkat dan martabat serta nilai-


6

nilai kemanusiaan yang sangat luhur dan asasi. Antara lain ditegaskan

hak setiap bangsa akan kemerdekaan, yang artinya setiap bangsa

bebas untuk memilih hidup dan menentukan nasib sendiri tanpa

tekanan dan penjajahan dari negara lain. Lebih jelas lagi dalam Pasal

28A sampai 28J Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen telah

memuat jaminan tentang hak dan kewajiban dalam hak asasi

manusia. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan

bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Menurut

Subekti (1984:10) hal ini berarti :

“Negara Republik Indonesia menjunjung tinggi hak asasi


manusia dan menjamin segala warga negaranya bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib
menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya”.

Suatu negara dikatakan sebagai negara hukum apabila negara

tersebut memberikan jaminan perlindungan dan penghargan terhadap

hak-hak asasi manusia, karena salah satu ciri negara hukum menurut

H.A. Abu Ayyub Saleh (2006:72) ialah adanya pengakuan dan

perlindungan terhadap hak asasi manusia yang merupakan hak dasar

(natural right) bagi setiap orang.

Menempatkan pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi

manusia sebagai ciri negara hukum, menunjukkan bahwa di dalam

negara hukum, hak-hak asasi manusia harus diberikan prioritas

utama. Dalam penjelasan Butir dua KUHAP ditegaskan bahwa

penghayatan, pengamalan dan pelayanan hak-hak asasi manusia


7

maupun hak lainnya serta kewajiban negara untuk menegakkan

keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga negara, setiap

penyelenggara negara, setiap lembaga kenegaraan dan lembaga

kemasyarakatan.

Dari hal-hal tersebut diatas jelas bahwa hak asasi manusia

berlaku secara universal dan setiap orang harus dijamin hak asasinya

sebagai warga negara, tidak terkecuali narapidana sekalipun yang

sedang menjalani hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan.

Sebagai orang yang sedang menjalani pidana, bukan berarti

narapidana kehilangan semua hak-haknya sebagai manusia atau

bahkan tidak mempunyai hak apapun. Dalam menjalani pidananya,

hak dan kewajiban narapidana telah diatur dalam Sistem

Pemasyarakatan, yaitu suatu sistem pemidanaan baru yang

menggantikan sistem kepenjaraan.Perubahan sistem

kepada sistem pemasyarakatan pertama kali dicetuskan oleh

Sahardjo pada tanggal 27 April 1964. Perubahan ini merupakan suatu

karya besar dalam memperlakukan narapidana. Kepenjaraan yang

identik dengan penjeraan dan prinsip balas dendam (retribution) telah

digantikan dengan cara-cara pembinaan (treatment) dalam proses

pengintegrasian narapidana ke masyarakat.

Pada awal perubahan sistem tersebut pemasyarakatan belum

mempunyai Peraturan Perundang-undangan sebagai dasar hukum

dalam pelaksanaan sistem tersebut. Saat itu dasar hukum yang


8

digunakan ialah Reglement Penjara yang merupakan peraturan

peninggalan pemerintah Hindia Belanda. Selain itu untuk membantu

pelaksanaannya digunakan Surat Edaran dari Direktorat Bina Tuna

Warga, yaitu nama untuk direktorat pemasyarakatan saat itu, dan

Keputusan Menteri Kehakiman serta Peraturan Menteri Kehakiman.

Setelah tiga puluh satu tahun kemudian secara yuridis formal

pemasyarakatan mempunyai Undang-Undang sendiri, sesudah

disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun

1995 tentang Pemasyarakatan (UU No.12 tahun 1995), yang

diundangkan pada tanggal 30 Desember 1995, Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 13641.

Dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 Pasal 1 butir 2

dikatakan bahwa sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan

mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan

pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan dilaksanakan secara

terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk

meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari

kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi kejahatan yang

telah dilakukannya sehingga dapat diterima kembali dalam

masyarakat (reintegrasi), dapat berperan aktif dalam pembangunan

dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan

bertanggung jawab.
9

Pernyataan diatas telah menempatkan narapidana bukan

hanya sebagai obyek pembinaan tetapi juga sebagai subyek

pembinaan selain masyarakat dan pembina yang dalam hal ini adalah

petugas pemasyarakatan. Bahkan disini narapidana mendapatkan

perhalusan istilah dengan disebutkannya narapidana sebagai warga

binaan pemasyarakatan. Hal tersebut menunjukan kemajuan yang

cukup berarti dalam perlakuan terhadap narapidana. Perubahan

sistem pidana penjara kepada sistem pemasyarakatan membawa

tujuan yang lebih baik dari tujuan pidana penjara itu sendiri. Seperti

yang dikatakan oleh Sahardjo (1963:21) :

“Tujuan pidana penjara kami rumuskan disamping menimbulkan


rasa derita pada terpidana karena dihilangkannnya
kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat,
mendidik supaya ia menjadi anggota masyarakat Indonesia
yang berguna”.

Pendapat diatas mengandung makna bahwa narapidana juga

merupakan anggota masyarakat yang harus dibimbing, dididik, dibina

dan hanya dicabut kebebasan bergeraknya, atau dibatasi ruang

geraknya.

Selain sebagai anggota masyarakat, secara pribadi narapidana

merupakan manusia yang harus diperlakukan manusiawi seperti yang

dikatakan oleh Sahardjo (1963:22) :

“Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai


manusia, meskipun ia telah tersesat ; tidak boleh selalu
ditujukan pada narapidana bahwa ia itu penjahat, sebaliknya ia
10

harus selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan


sebagai manusia”.

Pendapat diatas yang mengatakan bahwa narapidana juga

merupakan manusia dan harus diperlakukan manusiawi mengandung

konsekuensi logis bahwa narapidana juga masih mempunyai hak-hak

lain yang harus diberikan kepadanya sebagaimana mestinya seperti

manusia lainnya. Pendapat tersebut sejalan dengan isi Pasal 10

Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yaitu :

“Semua orang yang kehilangan kebebasannya diperlakukan


secara berperikemanusiaan dan dengan rasa hormat mengenai
martabat perasaan insani bawaannya. Sistem penjara harus
didasarkan pada perlakuan tahanan-tahanan yang esensiilnya
adalah reformasi dan rehabilitasi sosial”.

Menurut prinsip-prinsip untuk perlindungan orang yang berada

dibawah bentuk apapun dari penahanan dan pemenjaraan (Body of

Principles For The Protection of All Persons Unders Any Form of

Detention or Imprisonment) yang dikeluarkan oleh Majelis Umum

Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 9 Desember 1988 dengan

Resolusi 43/173, mengatakan tidak boleh ada pembatasan atau

pelanggaran terhadap setiap hak-hak asasi manusia dari orang-orang

yang berada dibawah bentuk penahanan atau pemenjaraan harus

dilakukan secara manusiawi dengan menghormati martabat pribadi

manusia yang melekat.

Mengenai hal tentang perlakuan terhadap narapidana termasuk

hak-haknya, pada bulan November 1993 di Universitas Indonesia

telah diadakan Seminar Nasional mengenai Pemasyarakatan


11

Terpidana II yang membahas tentang hak-hak terpidana saat

menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan. Kaitannya dengan itu,

Dr. Petrus Panjaitan dan Simorangkir (1995:73) mengatakan :

“Perlunya dipermasalahkan hak-hak narapidana ini merupakan


hal yang penting bagi negara hukum seperti Indonesia yang
menjunjung dan menghargai hak asasi manusia. Narapidana
sebagai warga masyarakat harus diayomi walau telah
melanggar hukum”.

Narapidana mempunyai hak yang sama dengan masyarakat

diluar Lapas, terkecuali hak kebebasan bergerak, atau menurut istilah

pemasyarakatan dikatakan hilang kemerdekaannya untuk sementara.

Karena narapidana adalah orang yang sedang menjalani pidana

hilang kemerdekaannya di Lapas, maka hak-haknya perlu dibatasi

dan disesuaikan dengan pola-pola pembinaan yang ada di Lapas.

Hak-hak narapidana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12

tahun 1995 tentang pemasyarakatan dan pelaksanaannya didasarkan

pada Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 (PP Nomor 32

tahun 1999) tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga

Binaan Pemasyarakatan.

Hak-hak narapidana secara jelas diatur dalam Pasal 14

Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995. Hak-hak narapidana secara

garis besar dapat dibagi menjadi dua. Pertama yaitu hak-hak umum

yang secara langsung dapat diberikan kepada narapidana di Lembaga

Pemasyarakatan tanpa syarat-syarat tertentu yang bersifat khusus.

Kedua yaitu hak-hak khusus yang hanya diberikan kepada narapidana


12

di Lembaga Pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan

tertentu yang bersifat khusus yakni persyaratan substantif dan

administratif. Adapun hak-hak yang bersifat umum tersebut ialah hak

melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya, hak

mendapatkan bimbingan rohani dan jasmani, hak mendapatkan

pendidikan dan pengajaran, hak mendapatkan pelayanan kesehatan

dan makanan yang layak, hak menyampaikan keluhan, hak

mendapatkan bahan bacaan dan siaran media massa yang tidak

dilarang, hak mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang

dilakukan, hak menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau

orang tertentu lainnya. Hak-haknya yang khusus ialah hak

mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), hak mendapatkan

kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga, hak

mendapatkan pembebasan bersayarat, dan hak mendapatkan cuti

menjelang bebas. Selain memaparkan hak-hak narapidana, sebagai

penyeimbang bahwa narapidana juga mempunyai kewajiban seperti

yang terdapat dalam Pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12

tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yaitu bahwa narapidana wajib

mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu.

Mengenai pelaksanaannya didasarkan pada Peraturan Pemerintah

Nomor 31 tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga

Binaan Pemasyarakatan.
13

Terlaksananya hak-hak narapidana dalam sistem

pemasyarakatan merupakan suatu implementasi dari penegakan

hukum yang menjunjung tinggi dan menghormati hak asasi manusia.

Selain itu, dengan terlaksananya hak-hak narapidana akan membantu

menciptakan situasi dan suasana yang kondusif di Lembaga

Pemasyarakatan dalam melaksanakan serangkaian proses

pembinaan narapidana yang berdasarkan sistem pemasyarakatan.

Sebaliknya jika hak-hak narapidana diabaikan dan tidak dilakukan

dengan baik, maka kemungkinan yang akan muncul ialah gejolak para

narapidana di Lapas yang cenderung kearah pemberontakan. Tentu

saja hal ini menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban di

Lapas yang pada akhirnya menjadi penghambat dalam proses

pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan.

Secara normatif, hak-hak narapidana memang telah ada di

dalam sistem pemasyarakatan dan berlaku sama pada setiap Unit

Pelaksana Teknis (UPT) pemasyarakatan yang dalam hal ini Lembaga

Pemasyarakatan namun pada kenyataannya pelaksanaannya tidak

selamanya sesuai dengan harapan. Di Indonesia terdapat lebih dari

400 UPT pemasyarakatan dan setiap Lembaga Pemasyarakatan

tidaklah sama secara kualitas dalam pelaksanaannya walaupun

secara umum Lapas diseluruh Indonesia telah melaksanakannya.

Untuk itulah penulis ingin mengetahui sejauh mana hak-hak

narapidana yang ada dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12


14

tahun 1995 dilaksanakan pada salah satu UPT pemasyarakatan

diwilayah DKI Jakarta yaitu Lembaga Pemasyarakatan Kelas I

Cipinang Jakarta.

B. Identifikasi Masalah.

Karena narapidana juga manusia, mereka juga memiliki hak

asasi manusia, seberat apa pun kejahatan yang telah mereka perbuat.

Hak asasi narapidana yang dapat dirampas hanyalah kebebasan fisik

serta pembatasan hak berkumpul dengan keluarga dan hak

berpartisipasi dalam pemerintahan. Namun dalam kenyataannya, para

narapidana tidak hanya kehilangan kebebasan fisik, tapi juga

kehilangan segala hak mereka. Penyiksaan, bahkan pembunuhan, di

dalam penjara dan tahanan bukan cerita langka. Hak-hak asasi

mereka, baik di bidang sipil, politik, maupun ekonomi, sosial, dan

budaya sering dirampas.

Sejarah menunjukkan narapidana sering mendapat perlakuan

kejam dan tidak manusiawi. Karena keprihatinan atas kondisi penjara

dan tahanan, 26 Juni 1987 Perserikatan Bangsa-Bangsa

memberlakukan Konvensi 1948 Menentang Penyiksaan dan

Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam dan Perlakuan Tidak

Manusiawi Lainnya. Konvensi yang lazim disingkat dengan Konvensi

Antipenyiksaan ini juga diratifikasi Indonesia pada 1998.


15

Intinya, Konvensi Anti penyiksaan melarang penyiksaan

tahanan dan narapidana, di samping menyerukan penghapusan

semua bentuk hukuman yang keji dan merendahkan martabat.

Dengan demikian, penyiksaan, apalagi pembunuhan, terhadap

tahanan atau narapidana merupakan kejahatan terhadap hak asasi

manusia.

Instrumen-instrumen hak asasi manusia internasional juga

menetapkan standar minimum bagi perlindungan hak asasi manusia

narapidana dan tahanan. Standar minimum tersebut meliputi tidak

boleh menyiksa ataupun menyakiti mereka dengan alasan apa pun.

Untuk mencegah penyiksaan dan perbuatan menyakiti narapidana,

maka penjara dan tempat-tempat tahanan harus terbuka bagi

pemantau independen seperti komisi hak asasi manusia, palang

merah internasional, ataupun lembaga-lembaga swadaya masyarakat.

Selain itu, prosedur pendaftaran harus benar-benar

memperhatikan hak asasi narapidana dan tahanan. Semua

pemenjaraan dan penahanan harus didasari dasar hukum yang kuat

beserta surat perintah resmi. Semua narapidana dan tahanan harus

didaftar.Tidak boleh ada tahanan “titipan”. Aturan besuk tidak boleh

membatasi hak narapidana dan tahanan untuk bertemu keluarga dan

penasihat hukumnya. Kondisi kesehatan mereka juga harus selalu

terpantau. Khusus tahanan dan narapidana asing, harus juga diberi

akses untuk berhubungan dengan perwakilan negara mereka.


16

Khusus narapidana perempuan, harus mendapat perlindungan

khusus terutama berkaitan dengan pelecehan seksual oleh Petugas

ataupun narapidana pria.Selain itu, instrumen hak asasi manusia juga

mewajibkan pengelola penjara dan tahanan untuk memberi makanan

yang cukup dan layak. Pemberian makanan yang tidak layak

merupakan pelanggaran hak dasar mereka, termasuk hak

melangsungkan hidup dan hak atas kesehatan. Karena itu, harus ada

kesempatan bagi narapidana untuk melakukan aktivitas di halaman

terbuka. Mereka juga harus diberi fasilitas kebersihan untuk toilet dan

kamar mandi.

Penjara dan tempat tahanan harus memberikan ruang yang

cukup. Tidak boleh terlalu sesak. Ruang tahanan yang terlalu sesak

juga melanggar hak dasar narapidana. Bahkan, di Eropa, penjara

harus menyediakan ruang tidur sendiri-sendiri bagi setiap

penghuni.Hak atas privasi bagi narapidana dan tahanan juga harus

dijamin. Sensor terhadap surat-surat dari keluarga tidak di benarkan.

Bahkan, menurut standar Eropa, narapidana dan tahanan dijamin

haknya menggunakan telepon genggam. Penjara-penjara di sana

harus juga menyediakan telepon umum.

Di beberapa negara, narapidana dan tahanan wajib

menggunakan seragam. Namun, ada pula yang tidak mewajibkan

perempuan menggunakan seragam. Kewajiban menggunakan

seragam hanya dibenarkan bila hal itu berkaitan dengan sistem


17

keamanan. Namun penggunaan seragam yang bertujuan menghukum

tidak dibenarkan. Karena itu, penjara dan rumah tahanan harus

menyediakan fasilitas mencuci dan seragam pengganti yang

memadai. Seragam juga tidak boleh merendahkan martabat tahanan

atau narapidana.Hak narapidana untuk melaksanakan ibadah harus

juga diberikan. Tak seorang pun narapidana dilarang beribadah.

Fasilitas ibadah juga harus disediakan, termasuk bagi penganut

agama minoritas.

Pasal 10 Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik:

“Semua orang yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan


secara manusiawi dan dengan tetap menghormati martabatnya
sebagai manusia.”

Prinsip-Prinsip Dasar Penanganan Narapidana (Prinsip I):

“Semua narapidana harus diperlakukan dengan menghormati martabat


mereka dan menghargai mereka sebagai manusia.”

Prinsip-Prinsip Perlindungan Semua Orang yang Berada dalam

Tahanan dan Penjara (Prinsip I):

“Semua orang yang berada dalam penjara atau tahanan apa pun
harus diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghargai
martabat mereka sebagai manusia.”

Deklarasi Umum HAM (Pasal 5):

“Tak seorang pun boleh disiksa atau mendapat hukuman yang keji,
tidak manusiawi, atau merendahkan martabat mereka.”

Konvensi Anti Penyiksaan (Pasal 1.1):

“Istilah ‘penyiksaan’ berarti semua tindakan yang menyebabkan rasa


sakit atau ketakutan yang luar biasa, baik secara fisik maupun mental,
yang ditujukan kepada seseorang, misalnya dalam rangka mendapat
informasi dari dia atau mengenai orang lain atau pengakuan bersalah,
18

atau sebagai hukuman atas perbuatan yang ia atau orang lain lakukan,
atau yang disangkakan dia lakukan, atau untuk mengintimidasi atau
memaksa dia atau orang lain, untuk alasan apa pun juga, dengan
didasari berbagai bentuk diskriminasi, yang dilakukan oleh pejabat
publik atau orang lain yang bertindak sebagai pejabat publik. Namun
hal ini tidak meliputi luka atau penderitaan yang lahir dari, merupakan
bagian, atau terjadi dalam rangka hukuman yang sah.

Selain instrumen-instrumen hak asasi manusia, Indonesia juga

memiliki Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan. Undang-Undang ini juga mengatur hak-hak

narapidana dan tahanan, termasuk hak atas kesehatan, hak atas

makanan, sampai hak melaksanakan ibadah.

C. Fokus Penelitian.

Dengan berdasarkan kepada identifikasi masalah maka

ditentukan fokus penelitian terhadap Pelayanan Narapidana : Studi

kasus Lapas Kelas I Cipinang Jakarta.

D. Pertanyaan Penelitian.

Dari uraian latar belakang penelitian tersebut diatas, maka

diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kualitas pelayanan narapidana di Lapas Kelas I

Cipinang Jakarta dalam upaya perwujudan perlindungan hak asasi

manusia?

2. Faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas pelayanan terhadap

hak-hak narapidana di Lapas Kelas I Cipinang Jakarta?


19

E. Tujuan Penelitian.

Berdasarkan pertanyaan penelitian tersebut diatas, maka

tujuan penelitian karya ilmiah (tesis) ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisa bagaimana kualitas

pelaksanaan pelayanan bagi narapidana di Lapas Kelas I Cipinang

Jakarta dalam upaya perwujudan perlindungan hak asasi manusia.

2. Untuk mengetahui dan menganalisa faktor yang mempengaruhi

kualitas pelayanan bagi narapidana di Lapas Kelas I Cipinang

Jakarta.

F. Manfaat Penelitian.

Penulis mengharapkan penelitian ini akan memberikan manfaat

antara lain :

1. Secara Teori dan Praktik.

Untuk membandingkan teori-teori dan ketentuan-ketentuan

perundang-undangan dengan kondisi yang sesungguhnya terhadap

kualitas pelayanan narapidana guna mengetahui sejauh mana

penerapan/aplikasinya dalam pelayanan hak-hak narapidana dalam

sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I

Cipinang Jakarta.
20

2. Kepentingan Institusi Pemasyarakatan.

Hasil penelitian ini dapat dijadikan perbandingan untuk Lembaga

Pemasyarakatan yang lainnya di Indonesia dalam konteks

pelayanan narapidana.

3. Kepentingan Masyarakat.

Sebagai bahan bacaan yang dapat memberikan informasi tentang

perlakuan terhadap narapidana khususnya dalam konteks

pelayanan hak-hak narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.

Anda mungkin juga menyukai