Anda di halaman 1dari 24

PELAYANAN NARAPIDANA : STUDI KASUS PADA

LEMBAGA PEMASYARAKATAN
KLAS I CIPINANG
JAKARTA

JURNAL TESIS

Disusun Oleh:
FAJAR TEGUH WIBOWO
MIA: 1401010188
Konsentrasi : Administrasi Publik

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU ADMINISTRASI


INSTITUT ILMU SOSIAL DAN MANAJEMEN STIAMI
JAKARTA
2016

0
PELAYANAN NARAPIDANA : STUDI KASUS PADA
LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS I CIPINANG
JAKARTA

Fajar Teguh Wibowo


fajarteguhwibowo@gmail.com

Setiap manusia harus dijamin hak asasinya, tidak terkecuali


narapidana sekalipun. Sebagai manusia, narapidana juga mempunyai
hak-hak yang dijamin oleh Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai tempat menjalanan
fungsi pelayanan pembinaan narapidana mempunyai peranan penting
dalam melaksanakan hak-hak narapidana seperti yang diatur oleh
Undang-Undang tersebut. Jika Undang-Undang yang mengatur tentang
hak-hak narapidana dalam pelaksanaannya didukung oleh petugas Lapas
sebagai aparaturnya dan narapidana sebagai masyarakatnya maka
jaminan perlindungan hak asasi manusia untuk narapidana akan
terlaksana dengan baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan
pelaksanaan hak-hak narapidana di Lapas Kelas I Cipinang Jakarta dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya serta upaya Lapas terhadap
narapidana dalam perlindungan Hak Asasi Manusia.
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara, angket,
pengamatan dan studi dokumentasi, selanjutnya dianalisis secara
kuantitatif.
Dari Hasil penelitian diketahui bahwa dari tiga belas hak
narapidana yang ada, sepuluh hak diantaranya pelaksanaannya sudah
berjalan dengan baik dan tiga hak lainnya belum berjalan dengan baik.
Hal itu dipengaruhi oleh Faktor Internal dan Faktor Eksternal. Faktor
Internal yaitu Sumber daya manusia dan integritas moral petugas yang

1
baik dan juga dukungan narapidana dalam pemenuhan hak-hak mereka.
Faktor Eksternal yaitu adanya Undang-Undang yang telah menjamin hak-
hak narapidana dan fasilitas Lapas yang mendukung pelaksanaan hak-
hak narapidana. Sebagai solusi untuk pelaksanaan hak-hak narapidana
yang belum berjalan dengan baik perlu dilakukan pengawasan dari Kepala
Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) untuk pelaksanaan Pembebasan
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Pelayanan kesehatan dan makanan
yang layak bagi narapidana sehingga sesuai dengan aturan yang berlaku.
Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan hak-hak narapidana dalam upaya
perwujudan hak asasi manusia pada Lapas Kelas I Cipinang Jakarta
sudah berjalan dengan baik.
Kata Kunci : Kualitas Pelayanan Publik ; Hak-hak Narapidana.

A. PENDAHULUAN
Berbagai persoalan yang terjadi dalam hal pelayanan dan
perawatan terhadap narapidana tidak mudah begitu saja ditangani oleh
pihak Lembaga Permasyarakatan. Terlalu lemah pengamanan bisa
menyebabkan narapidana kabur, namun terlalu ketat akan dimaknai
sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia untuk mendapatkan hidup yang
layak. Persoalan ini akan semakin bertambah rumit bila melihat ruang bagi
narapidana yang tidak memperhitungkan kepadatan (density), satu ruang
tahanan diisi lebih dari 5 orang. Padahal situasi yang padat dan crowded
akan meningkatkan agresivitas yang mengarah pada violence atau
kekerasan antara sesama tahanan. Apalagi sebagian besar Rutan atau
Lapas tidak memiliki jumlah petugas yang memadai sesuai dengan
kuantitas penghuninya, sehingga akan menyulitkan dalam proses
pengawasan pada persoalan masing-masing narapidana. Keterbatasan
petugas dibandingkan penghuninya akan menyulitkan untuk
mengendalikan proses interaksi negative dari para narapidana, seperti
2
konflik antar penghuni, relasi seksual yang negative
(homoseksual/lesbian), dan permasalahan lainnya.
Kondisi di dalam Lembaga Pemasyarakatan yang serba terbatas
tersebut memang bisa memberikan efek jera bagi para penghuninya.
Namun demikian di sisi lain akan memberi dampak psikologis yang berat
pula bagi mereka. Para penghuni tentu berharap setelah mereka keluar
dari kawah Candradimuka tersebut akan mendapatkan kebebasan dan
merasakan kembali sebagai manusia yang penuh dengan harap akan
diterima di lingkungannya kembali. Namun demikian tidak semua harapan
akan sesuai dengan realitas yang diinginkan. Para mantan narapidana
lebih banyak mendapatkan reaksi negative dari lingkungan sekitarnya.
Padahal dukungan sosial dari teman dan keluarga mutlak dibutuhkan
mereka. Empati dan memberi dukungan emosional, arahan untuk tidak
putus asa, penerimaan yang menyenangkan, dukungan informasi tentang
lahan pekerjaan, dukungan materi, tidak memandang dengan rasa
kasihan, memberikan peran yang sama di dalam lingkungan tempat
tinggal, akan menjadi obat mujarab yang bisa menyembuhkan para
mantan narapidana untuk berperilaku normal seperti masyarakat pada
umumnya, yang patuh dan taat akan norma yang melingkupinya.
Lembaga Pemasyarakatan sebagai salah satu institusi pemerintah
yang memiliki tugas dan fungsi dibidang pelayanan publik kepada
masyarakat merupakan implikasi dari fungsi aparat negara sebagai
pelayan masyarakat sehingga kedudukan aparatur pemerintah dalam
pelayanan umum (public services) sangat strategis karena akan
menentukan sejauhmana pemerintah mampu memberikan pelayanan
yang sebaik-baiknya bagi masyarakat dan sejauhmana negara telah
menjalankan perannya dengan baik sesuai dengan tujuan pendiriannya.
Perkembangan kehidupan masyarakat yang sangat dinamis
seiring dengan tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik,
merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat. Hal
ini berarti masyarakat semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan
3
kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengajukan
tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah. Masyarakat
semakin kritis dan semakin berani untuk melakukan kontrol terhadap apa
yang dilakukan oleh pemerintahnya. Kesadaran akan hak-hak sipil yang
terjadi di masyarakat tidak lepas dari pendidikan politik yang terjadi
selama ini.
Pelayanan publik oleh aparatur pemerintah dewasa ini masih
banyak dijumpai kelemahan sehingga belum dapat memenuhi kualitas
yang diharapkan masyarakat. Hal ini ditandai dengan masih adanya
berbagai keluhan masyarakat yang disampaikan melalui media massa,
sehingga dapat menimbulkan citra yang kurang baik terhadap aparatur
pemerintah. Mengingat fungsi utama pemerintah adalah melayani
masyarakat maka pemerintah perlu terus berupaya meningkatkan kualitas
pelayanannya.
Narapidana merupakan manusia ciptaan Tuhan memiliki
kedudukan tertinggi yang mempunyai akal dan pikiran. Narapidana
menerima pembinaan dan bimbingan agar ia dapat menyesali segala
perbuatan yang dilakukan, sehingga bisa merubah diri dan dapat diterima
kembali dalam masyarakat (reintegrasi). Untuk itu petugas
Pemasyarakatan harus memiliki tahapan pembinaan yang benar-benar
tepat terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Ketidaktepatan
pembinaan yang dilakukan kepada narapidana mengakibatkan
ketidakefektifan dalam proses pembinaan dan bimbingan.
Akibat-akibat yang timbul apabila salah dalam menerapkan
tahapan pembinaan mengakibatkan narapidana mengalami gangguan
jiwa atau depresi,sikap atau perilaku narapidana yang menjadi lebih buruk
dari sebelumnya sehingga dapat mengakibatkan adanya pengulangan
tindak pidana (recidive), narapidana tidak dapat berintegrasi dengan
masyarakat.

4
Masalah hak asasi manusia belakangan ini menjadi sesuatu yang
hangat dibicarakan. Hal ini berkaitan dengan semakin menguatnya
tuntutan perlindungan hak-hak asasi dari warga masyarakat yang
menyangkut berbagai kepentingan mereka. Menguatnya tuntutan akan
perlindungan hak asasi manusia itu tidak terlepas dari pengaruh
perkembangan global, yaitu dengan munculnya berbagai kesepakatan-
kesepakatan internasional yang menjamin perlindungan dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam berbagai dimensi.
Seiring dengan hangatnya masalah-masalah yang menyangkut
hak asasi manusia di Indonesia, masyarakat kita semakin kritis dalam
melihat pelaksanaan hak asasi manusia di negara kita, termasuk
perlakuan terhadap narapidana dan pelayanan hak-hak narapidana.
Masyarakat telah mengetahui dan menyadari bahwa keadaan dan
masalah yang menyangkut perlakuan terhadap narapidana merupakan
salah satu pencerminan tingkat peradaban manusia serta martabat suatu
bangsa.Setiap manusia harus dijamin hak asasi manusianya karena hak
asasi manusia merupakan hak dasar yang melekat pada diri manusia
yang sifatnya kodrati dan universal sebagai anugerah Tuhan Yang Maha
Esa sejak manusia dilahirkan. Pernyataan ini sesuai dengan ungkapan
yang menjadi dasar dari isu tentang hak asasi manusia, yaitu “All Men Are
Born Free and Equal “, yang artinya bahwa setiap manusia sejak ia
dilahirkan memiliki kebebasan dan hak untuk diperlakukuan sama tanpa
diskriminasi apapun.
Jaminan hak asasi manusia di Indonesia secara yuridis telah
diatur dalam peraturan perundang-undangan No. 39 Tahun 1999. Dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 telah memuat pernyataan-pernyataan dan pengakuan yang
menjunjung tinggi harkat dan martabat serta nilai-nilai kemanusiaan yang
sangat luhur dan asasi. Antara lain ditegaskan hak setiap bangsa akan
kemerdekaan, yang artinya setiap bangsa bebas untuk memilih hidup dan
menentukan nasib sendiri tanpa tekanan dan penjajahan dari negara lain.
5
Lebih jelas lagi dalam Pasal 28A sampai 28J Undang-Undang Dasar 1945
hasil amandemen telah memuat jaminan tentang hak dan kewajiban
dalam hak asasi manusia. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945
ditegaskan bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum.
Menurut Subekti (1984:10) hal ini berarti :
“Negara Republik Indonesia menjunjung tinggi hak asasi manusia
dan menjamin segala warga negaranya bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung tinggi
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Suatu negara dikatakan sebagai negara hukum apabila negara


tersebut memberikan jaminan perlindungan dan penghargan terhadap
hak-hak asasi manusia, karena salah satu ciri negara hukum menurut
H.A. Abu Ayyub Saleh (2006:72) ialah adanya pengakuan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia yang merupakan hak dasar
(natural right) bagi setiap orang.
Menempatkan pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi
manusia sebagai ciri negara hukum, menunjukkan bahwa di dalam negara
hukum, hak-hak asasi manusia harus diberikan prioritas utama. Dalam
penjelasan Butir dua KUHAP ditegaskan bahwa penghayatan,
pengamalan dan pelayanan hak-hak asasi manusia maupun hak lainnya
serta kewajiban negara untuk menegakkan keadilan tidak boleh
ditinggalkan oleh setiap warga negara, setiap penyelenggara negara,
setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan.
Dari hal-hal tersebut diatas jelas bahwa hak asasi manusia
berlaku secara universal dan setiap orang harus dijamin hak asasinya
sebagai warga negara, tidak terkecuali narapidana sekalipun yang sedang
menjalani hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan. Sebagai orang
yang sedang menjalani pidana, bukan berarti narapidana kehilangan
semua hak-haknya sebagai manusia atau bahkan tidak mempunyai hak
apapun. Dalam menjalani pidananya, hak dan kewajiban narapidana telah

6
diatur dalam Sistem Pemasyarakatan, yaitu suatu sistem pemidanaan
baru yang menggantikan sistem kepenjaraan.Perubahan sistem
kepada sistem pemasyarakatan pertama kali dicetuskan oleh
Sahardjo pada tanggal 27 April 1964. Perubahan ini merupakan suatu
karya besar dalam memperlakukan narapidana. Kepenjaraan yang identik
dengan penjeraan dan prinsip balas dendam (retribution) telah digantikan
dengan cara-cara pembinaan (treatment) dalam proses pengintegrasian
narapidana ke masyarakat.
Pada awal perubahan sistem tersebut pemasyarakatan belum
mempunyai Peraturan Perundang-undangan sebagai dasar hukum dalam
pelaksanaan sistem tersebut. Saat itu dasar hukum yang digunakan ialah
Reglement Penjara yang merupakan peraturan peninggalan pemerintah
Hindia Belanda. Selain itu untuk membantu pelaksanaannya digunakan
Surat Edaran dari Direktorat Bina Tuna Warga, yaitu nama untuk
direktorat pemasyarakatan saat itu, dan Keputusan Menteri Kehakiman
serta Peraturan Menteri Kehakiman. Setelah tiga puluh satu tahun
kemudian secara yuridis formal pemasyarakatan mempunyai Undang-
Undang sendiri, sesudah disahkannya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU No.12
tahun 1995), yang diundangkan pada tanggal 30 Desember 1995,
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 13641.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 Pasal 1 butir 2
dikatakan bahwa sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai
arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan
berdasarkan Pancasila dan dilaksanakan secara terpadu antara pembina,
yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan
pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak
mengulangi kejahatan yang telah dilakukannya sehingga dapat diterima
kembali dalam masyarakat (reintegrasi), dapat berperan aktif dalam
pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang
baik dan bertanggung jawab.
7
Pernyataan diatas telah menempatkan narapidana bukan hanya
sebagai obyek pembinaan tetapi juga sebagai subyek pembinaan selain
masyarakat dan pembina yang dalam hal ini adalah petugas
pemasyarakatan. Bahkan disini narapidana mendapatkan perhalusan
istilah dengan disebutkannya narapidana sebagai warga binaan
pemasyarakatan. Hal tersebut menunjukan kemajuan yang cukup berarti
dalam perlakuan terhadap narapidana. Perubahan sistem pidana penjara
kepada sistem pemasyarakatan membawa tujuan yang lebih baik dari
tujuan pidana penjara itu sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Sahardjo
(1963:21) :
“Tujuan pidana penjara kami rumuskan disamping menimbulkan rasa
derita pada terpidana karena dihilangkannnya kemerdekaan
bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia
menjadi anggota masyarakat Indonesia yang berguna”.

Pendapat diatas mengandung makna bahwa narapidana juga


merupakan anggota masyarakat yang harus dibimbing, dididik, dibina dan
hanya dicabut kebebasan bergeraknya, atau dibatasi ruang geraknya.
Selain sebagai anggota masyarakat, secara pribadi narapidana
merupakan manusia yang harus diperlakukan manusiawi seperti yang
dikatakan oleh Sahardjo (1963:22) :
“Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai
manusia, meskipun ia telah tersesat ; tidak boleh selalu ditujukan
pada narapidana bahwa ia itu penjahat, sebaliknya ia harus selalu
merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia”.

Pendapat diatas yang mengatakan bahwa narapidana juga


merupakan manusia dan harus diperlakukan manusiawi mengandung
konsekuensi logis bahwa narapidana juga masih mempunyai hak-hak lain
yang harus diberikan kepadanya sebagaimana mestinya seperti manusia
lainnya. Pendapat tersebut sejalan dengan isi Pasal 10 Konvensi
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yaitu :
“Semua orang yang kehilangan kebebasannya diperlakukan secara
berperikemanusiaan dan dengan rasa hormat mengenai martabat

8
perasaan insani bawaannya. Sistem penjara harus didasarkan pada
perlakuan tahanan-tahanan yang esensiilnya adalah reformasi dan
rehabilitasi sosial”.

Menurut prinsip-prinsip untuk perlindungan orang yang berada


dibawah bentuk apapun dari penahanan dan pemenjaraan (Body of
Principles For The Protection of All Persons Unders Any Form of
Detention or Imprisonment) yang dikeluarkan oleh Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 9 Desember 1988 dengan
Resolusi 43/173, mengatakan tidak boleh ada pembatasan atau
pelanggaran terhadap setiap hak-hak asasi manusia dari orang-orang
yang berada dibawah bentuk penahanan atau pemenjaraan harus
dilakukan secara manusiawi dengan menghormati martabat pribadi
manusia yang melekat.
Mengenai hal tentang perlakuan terhadap narapidana termasuk
hak-haknya, pada bulan November 1993 di Universitas Indonesia telah
diadakan Seminar Nasional mengenai Pemasyarakatan Terpidana II yang
membahas tentang hak-hak terpidana saat menjalani pidana di Lembaga
Pemasyarakatan. Kaitannya dengan itu, Dr. Petrus Panjaitan dan
Simorangkir (1995:73) mengatakan :
“Perlunya dipermasalahkan hak-hak narapidana ini merupakan hal
yang penting bagi negara hukum seperti Indonesia yang menjunjung
dan menghargai hak asasi manusia. Narapidana sebagai warga
masyarakat harus diayomi walau telah melanggar hukum”.

Narapidana mempunyai hak yang sama dengan masyarakat diluar


Lapas, terkecuali hak kebebasan bergerak, atau menurut istilah
pemasyarakatan dikatakan hilang kemerdekaannya untuk sementara.
Karena narapidana adalah orang yang sedang menjalani pidana hilang
kemerdekaannya di Lapas, maka hak-haknya perlu dibatasi dan
disesuaikan dengan pola-pola pembinaan yang ada di Lapas. Hak-hak
narapidana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995
tentang pemasyarakatan dan pelaksanaannya didasarkan pada Peraturan

9
Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 (PP Nomor 32 tahun 1999) tentang
Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Hak-hak narapidana secara jelas diatur dalam Pasal 14 Undang-
Undang Nomor 12 tahun 1995. Hak-hak narapidana secara garis besar
dapat dibagi menjadi dua. Pertama yaitu hak-hak umum yang secara
langsung dapat diberikan kepada narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan tanpa syarat-syarat tertentu yang bersifat khusus. Kedua
yaitu hak-hak khusus yang hanya diberikan kepada narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan tertentu
yang bersifat khusus yakni persyaratan substantif dan administratif.
Adapun hak-hak yang bersifat umum tersebut ialah hak
melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya, hak
mendapatkan bimbingan rohani dan jasmani, hak mendapatkan
pendidikan dan pengajaran, hak mendapatkan pelayanan kesehatan dan
makanan yang layak, hak menyampaikan keluhan, hak mendapatkan
bahan bacaan dan siaran media massa yang tidak dilarang, hak
mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan, hak
menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu
lainnya. Hak-haknya yang khusus ialah hak mendapatkan pengurangan
masa pidana (remisi), hak mendapatkan kesempatan berasimilasi
termasuk cuti mengunjungi keluarga, hak mendapatkan pembebasan
bersayarat, dan hak mendapatkan cuti menjelang bebas.
Selain memaparkan hak-hak narapidana, sebagai penyeimbang
bahwa narapidana juga mempunyai kewajiban seperti yang terdapat
dalam Pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan yaitu bahwa narapidana wajib mengikuti secara tertib
program pembinaan dan kegiatan tertentu. Mengenai pelaksanaannya
didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
Terlaksananya hak-hak narapidana dalam sistem pemasyarakatan
merupakan suatu implementasi dari penegakan hukum yang menjunjung
10
tinggi dan menghormati hak asasi manusia. Selain itu, dengan
terlaksananya hak-hak narapidana akan membantu menciptakan situasi
dan suasana yang kondusif di Lembaga Pemasyarakatan dalam
melaksanakan serangkaian proses pembinaan narapidana yang
berdasarkan sistem pemasyarakatan. Sebaliknya jika hak-hak narapidana
diabaikan dan tidak dilakukan dengan baik, maka kemungkinan yang akan
muncul ialah gejolak para narapidana di Lapas yang cenderung kearah
pemberontakan. Tentu saja hal ini menimbulkan gangguan keamanan dan
ketertiban di Lapas yang pada akhirnya menjadi penghambat dalam
proses pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan.
Secara normatif, hak-hak narapidana memang telah ada di dalam
sistem pemasyarakatan dan berlaku sama pada setiap Unit Pelaksana
Teknis (UPT) pemasyarakatan yang dalam hal ini Lembaga
Pemasyarakatan namun pada kenyataannya pelaksanaannya tidak
selamanya sesuai dengan harapan. Di Indonesia terdapat lebih dari 400
UPT pemasyarakatan dan setiap Lembaga Pemasyarakatan tidaklah
sama secara kualitas dalam pelaksanaannya walaupun secara umum
Lapas diseluruh Indonesia telah melaksanakannya. Untuk itulah penulis
ingin mengetahui sejauh mana hak-hak narapidana yang ada dalam Pasal
14 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 dilaksanakan pada salah satu
UPT pemasyarakatan diwilayah DKI Jakarta yaitu Lembaga
Pemasyarakatan Kelas I Cipinang Jakarta.

B. KERANGKA PEMIKIRAN
Kepuasan masyarakat merupakan faktor yang sangat penting dan
menentukan keberhasilan penyelenggaraan pelayanan publik karena
masyarakat adalah konsumen dari produk layanan yang dihasilkannya.
Hal ini didukung oleh pernyataan Hoffman dan Beteson (1997, p.270),
yaitu: "without costumers, the service firm has no reason to exist". Definisi
kepuasan masyarakat menurut Mowen (1995, p.511): "Costumers

11
satisfaction is defined as the overall attitudes regarding goods or services
after its acquisition and uses".
Oleh karena itu, penyelenggara pelayanan publik harus dapat
memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat sehingga mencapai
kepuasan masyarakat dan lebih jauh lagi kedepannya dapat dicapai
kesetiaan masyarakat. Sebab, bila tidak dapat memenuhi kebutuhan dan
kepuasan masyarakat sehingga menyebabkan ketidakpuasan masyarakat
mengakibatkan kesetiaan masyarakat akan suatu produk menjadi luntur
dan beralih ke produk atau layanan yang disediakan oleh badan usaha
yang lain.
Untuk mengukur kepuasan masyarakat digunakan atribut yang
berisi tentang bagaimana masyarakat menilai suatu produk atau layanan
yang ditinjau dari sudut pandang pelanggan. Menurut Dulka (1994, p.41),
kepuasan masyarakat dapat diukur melalui atribut-atribut pembentuk
kepuasan yang terdiri atas :
a. Value to price relationship. Hubungan antara harga yang ditetapkan oleh
badan usaha untuk dibayar dengan nilai/manfaat yang diperoleh masyarakat.
b. Product value adalah penilaian dari kualitas produk atau layanan yang
dihasilkan suatu badan usaha.
c. Product benefit adalah manfaat yang diperoleh masyarakat dari mengkosumsi
produk yang dihasilkan oleh badan usaha.
d. Product feature adalah ciri-ciri atau karakteristik tertentu yang mendukung
fungsi dasar dari suatu produk sehingga berbeda dengan produk yang
ditawarkan pesaing.
e. Product design adalah proses untuk merancang tampilan dan fungsi produk.
f. Product reliability and consistency adalah kekakuratan dan keandalan produk
yang dihasilkan oleh suatu badan usaha.
g. Range of product at services adalah macam dari produk atau layanan yang
ditawarkan oleh suatu badan usaha.
Kemudian attribute related to service meliputi :
a. Guarantee or waranty adalah jaminan atau garansi yang diberikan oleh badan
usaha dan diharapkan dapat memuaskan masyarakat.

12
b. Delivery communication adalah pesan atau informasi yang disampaikan oleh
badan usaha kepada masyarakatnya.
c. Complain handling adalah sikap badan usaha dalam menangani keluhan-
keluhan atau pengaduan.
d. Resolution of problem adalah tanggapan yang diberkan badan usaha dalam
membantu memecahkan masalah masyarakat yang berkaitan dengan layanan
yang diterimanya.
Selanjutnya attributes related to the purchase meliput :
a. Courtesy adalah kesopanan, perhatian dan keramahan pegawai.
b. Communication adalah kemampuan pegawai dalam melakukan komunikasi
dengan masyarakat pelanggan.
c. Ease or convinience of acquisition adalah kemudahan yang diberikan oleh
badan usaha untuk mendapatkan produk atau layanan yang ditawarkan.
d. Company reputation adalah baik tidaknya reputasi yang dimiliki oleh badan
usaha dalam melayani masyarakat.
e. Company competence adalah baik tidaknya kemampuan badan usaha dalam
melayani masyarakat.
Hidup manusia dan martabat manusia telah diabaikan dan
dilanggar sepanjang sejarah dan tetap dilanggar sampai sekarang, namun
demikian cita-cita akan tidak adanya diskriminasi sudah ada sejak
beberapa abad yang lalu. Hal ini sering disebut “hukum alam” yang
didalamnya tercantum paham suatu peraturan yang harus ada dalam
suatu masyarakat. Asas persamaan hak yang dianut dalam hukum alam
sudah lama diterima sebagai sumber dan ukuran dari hak-hak politik,
tetapi dapat dikemukakan beberapa pembelaan dalam membedakan
antara hak manusia yang berdasarkan anggapan yang salah bahwa
beberapa orang kurang pandai dibandingkan yang lain atau bahkan lebih
rendah derajatnya menurut ilmu keturunan.
Alasan seperti ini dipakai untuk membenarkan perbudakan
sebelum abad kesembilan belas dan untuk membenarkan diskriminasi
terhadap wanita (sexism) maupun terhadap bangsa karena perbedaan
warna kulitnya (racism), sepanjang sejarah dan sampai sekarang.

13
Prinsip persamaan hak untuk semua umat manusia seperti
banyak prinsip lainnya, yang menjadi dasar apa yang disebut hak-hak
asasi manusia dewasa ini, dapat ditemukan sebenarnya pada setiap
kebudayaan dan peradaban, agama dan tradisi yang berdasarkan filsafat.
Salah satu dari tradisi ini adalah hukum alam. Hal ini sejalan dengan
konsep hak asasi manusia dari sudut pandang bangsa Indonesia. Hak
asasi manusia bagi bangsa Indonesia telah berakar dalam berbagai
ajaran agama yang hidup di Indonesia serta bersumber pada Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai produk hukum lainnya.
Jaminan HAM dalam proses perkara pidana dan pemidanaan,
yang dalam hal ini pemenjaraan, sudah diatur secara universal oleh PBB.
Dalam Pasal 9 Universal Declaration of Human Rights, mengatakan
bahwa “ Tidak seorang jua pun boleh ditangkap, ditahan, atau dibuang
secara sewenang-wenang ”. Kemudian International Convenant on Civil
and Political Rights, atau Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil
dan Politik, dalam Pasal 10 (1) : “ Setiap orang yang dirampas
kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan
menghormati martabatnya yang melekat pada diri manusia ” dan Pasal
10 (2) : “ Sistem pemasyarakatan narapidana harus memiliki tujuan utama
memperbaiki dan melakukan rehabilitasI.
Setelah adanya konvenan tentang hak sipil dan politik , kemudian
ada International Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment atau Konvensi Internasional
Menentang Penyiksaan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak
Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia, yang bedasarkan
Resolusi Majelis Umum Nomor 39/46, tanggal 10 Desember 1984, yang
dalam Pasal 11 nya mengatakan: “ Setiap Negara Pihak harus senantiasa
mengawasi secara sistematik peraturan-peraturan tentang interogasi,
instruksi, metode, kebiasaan-kebiasaan dan peraturan untuk melakukan
penahanan serta perlakuan terhadap orang-orang yang tertangkap,
ditahan, atau penjara dalam setiap wilayah kewenangan hukumnya
14
dengan maksud untuk mencegah terjadinya kasus penyiksaan (Instrumen
HAM Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik , 2002:49).
Indonesia sebagai salah satu negara yang telah ikut meratifikasi
beberapa instrumen HAM internasional tersebut mempunyai konsekuensi
untuk memberlakukannya secara domestik. Adapun instrumen-instrumen
internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia adalah sebagai berikut
(Mastra Liba, 2002 : 23) :
1. Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman
yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manuisa.
2. Konvensi Internasional penghapusan segala bentuk diskriminsai rasial.
3. Konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan.
4. Konvensi tentang hak-hak anak.

C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada salah satu Unit Pelaksana Teknis
(UPT) Pemasyarakatan di wilayah DKI Jakarta, yaitu Lapas Kelas I
Cipinang, dengan pertimbangan bahwa Lapas tersebut merupakan Lapas
terbesar di DKI Jakarta. Dengan demikian diharapkan dari Lapas tersebut
akan diperoleh informasi yang cukup representatif mengenai pelayanan
hak-hak narapidana.
Penelitian ini bermaksud menggambarkan keadaan
sesungguhnya yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti, yaitu
pelayanan narapidana sebagai perwujudan hak asasi manusia dalam
sistem pemasyarakatan. Menurut Faisal (1999:18) Penelitian deskriptif
bermaksud melukiskan variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit
yang diteliti, tanpa melihat atau mempersoalkan hubungan antar variabel.
Pendekatan yang digunakan dalam penellitian ini adalah sosio
yuridis, dengan menelaah ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pelayanan hak-hak narapidana di Lapas berdasarkan
sistem pemasyarakatan dan pelayanannya.

15
D. HASIL PENELITIAN
Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang adalah Unit
Pelaksana Teknis di bidang Pemasyarakatan yang berada dibawah
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia cq. Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan dan bertanggung jawab langsung kepada Kantor
Wilayah Kementerian Hukum dan HAM RI. Lembaga Pemasyarakatan
Kelas I Cipinang didirikan pada Tahun 1912 oleh Pemerintah Hindia
Belanda, seiring dengan perkembangan zaman dan lahirnya sistem
pemasyarakatan di Indonesia pada tahun 1964, bangunan yang dulunya
digunakan sebagai penjara bagi kaum pribumi dirubah fungsinya sebagai
Lembaga Pemasyarakatan.
Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang dibentuk berdasarkan
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No.M.01.PR.07.03
Tahun 1985 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemayarakatan
yang beralamat di Jl.Bekasi Timur No.170 Jakarta Timur. Bagunannya
mengalami beberapa kali perubahan, hingga akhirnya perubahan dan
renovasi total dilakukan pada Tahun 2006. Kini Lembaga Pemasyarakatan
Kelas I Cipinang berkapasitas 902 orang terdiri dari 3 Blok Hunian yang
mencakup 208 kamar. Sebagai Unit Pelaksana Teknis, Lembaga
Pemasyarakatan Kelas I Cipinang saat ini harus melayani Warga Binaan
Pemasyarakatan dengan jumlah lebih kurang tiga kali lipat dari jumlah
ideal berdasarkan jumlah dan Klasifikasi kamar. Data per-Desember 2015,
tercatat jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan berjumlah 2955 yang
terdiri dari 2901 orang narapidana dan 54 orang tahanan jumlah Pegawai
yang bertugas melayani Warga Binaan Pemasyarakatan dan masyarakat
hanya berjumlah 304 orang. Lapas ini juga memiliki 3 blok narapidana
dengan sifat dan karakter serta kapasitas yang berbeda. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :

16
TABEL I
Jumlah Blok dan Kamar Narapidana
Lapas Kelas I Cipinang
Blok A Blok B Blok C
Model Medium Maksimum Maksimum
Security Security Security

80 Kamar 56 Kamar 48 Kamar


Kamar Hunian
Hunian Hunian Hunian

16 Blok
12 kamar
Staff Sel - Terpidana
Isolasi
Teroris
Sumber : Urusan Umum Lapas Kelas I Cipinang, Desember 2015

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa dari 3 blok yang ada di


Lapas ini, 2 diantaranya bersifat maximum security, yang berarti Lembaga
Pemasyarakatan ini lebih memprioritaskan keamanan dalam hal keadaan
kamar hunian narapidana.
Sebagai representatif pembinaan, Lembaga Pemasyarakatan ini
memiliki sarana-sarana fisik yang menunjang pelaksanaan pembinaan
narapidana, seperti tempat ibadah, ruang pendidikan, sarana olahraga
dan sarana kegiatan bimbingan kerja untuk narapidana. Sarana
pembinaan tersebut diharapkan dapat menunjang pelaksanaan hak-hak
narapidana selama menjalani pidananya di Lapas ini. Untuk lebih jelasnya
sarana pembinan yang ada di lapas ini dapat dilihat pada tabel berikut :

17
TABEL II
Sarana Pembinaan Lapas Kelas I Cipinang
No. Sarana Fisik Ada/Tidak ada Keterangan
1. Masjid Ada Baik
2. Gereja Ada Baik
3. Ruang pendidikan Ada Baik
4. Ruang pertemuan Ada Baik
5. Ruangan perpustakaan Ada Stok buku kurang
6. Ruang rawat pasien Ada Baik
7. Poliklinik Ada Alat tidak lengkap
8. Bengkel kerja Ada Baik
9. Lapangan sepak bola Ada Baik
10. Lapangan volly Ada Baik
11. Tennis meja Ada Baik
12. Lap. Badminton Ada Baik
13. Alat musik band Ada Baik
14. Lapangan Basket Ada Baik
Sumber : Urusan Umum Lapas KelasI Cipinang, Desember 2015
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa Lembaga
Pemasyarakatan ini sudah menyediakan sarana pembinaan yang dapat
menunjang pelaksanaan hak-hak narapidana dan berdasarkan
pengamatan langsung, data yang ada pada tabel di atassesuai dengan
keadaan dilapangan.
Aparat penegak hukum mempunyai pengaruh dalam penegakan
hukum. Menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan, bahwa Petugas Lapas adalah aparat penegak hukum.
Dengan demikian petugas pemasyarakatan berperan dalam menerapkan
hukum, yang dalam hal ini ialah penegakan hak-hak narapidana di Lapas
seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Pemasyarakatan. Menurut
Undang-Undang Pemasyarakatan, Pemasyarakatan adalah suatu proses
pembinaan yang melibatkan 3 komponen secara terpadu, yakni petugas
18
Lapas, narapidana dan masyarakat. Dengan pertimbangan bahwa hak-
hak narapidana ini adanya di dalam Lapas, maka yang paling penting
ialah keterpaduan antara petugas dan narapidana dalam pemenuhan hak-
hak tersebut.
Faktor aparat penegak hukum yang dimaksud dalam hal ini terdiri
atas kualitas dan kuantitas petugas Lapas. Di Lapas ini, petugasnya
berjumlah 304 orang yang memiliki tupoksinya masing – masing. Dari 304
petugas, terdapat 107 orang petugas pengamanan. Data tersebut
menunjukkan bahwa Lapas ini tetap mendahulukan pengamanan, yaitu
dengan personil terbanyak. Namun, pembinaan juga tetap merupakan hal
yang penting karena sistem pemasyarakatan ini menggunakan
pendekatan pengamanan (security approach) dan pendekatan pembinaan
(treatment approach) yang dalam pelaksanaannya selalu bersamaan.

E. KESIMPULAN DAN SARAN


1) Kesimpulan
1. Pelayanan terhadap narapidana di Lapas Kelas I Cipinang Jakarta
dalam upaya perwujudan hak-hak asasi manusia sudah berjalan
dengan cukup baik. Hal tersebut berdasarkan hasil penelitian dari
pelayanan hak-hak narapidana di Lapas Kelas I Cipinang Jakarta
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 14 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan. Dari tiga belas hak narapidana yang
pelaksanaannya kurang baik hanya ada tiga hak, yaitu hak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak, hak
untuk mendapatkan Pembebasan Bersyarat dan hak untuk
mendapatkan Cuti Menjelang Bebas.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelayanan narapidana di Lapas
Kelas I Cipinang Jakarta yaitu :

19
a. Faktor Internal.
1) Petugas.
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) petugas Lapas
yang ada dan ditunjang dengan integritas moral yang baik
dari petugas Lapas secara keseluruhan membawa
pengaruh yang baik terhadap pelayanan narapidana di
Lapas.
2) Narapidana.
Sikap narapidana yang sebagian besar mendukung
pelaksanaan pembinaan yang menyangkut pemenuhan
hak-hak mereka dalam wujud mengikuti kegiatan
pembinaan, tidak melanggar tata tertib dan tidak
menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban di
Lapas.
b. Faktor Eksternal.
- Adanya Undang-Undang yang menjamin hak-hak
narapidana yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
Tentang Pemasyarakatan.
- Adanya fasilitas pendukung pelayanan hak-hak
narapidana di Lapas Kelas I Cipinang Jakarta.

2) Saran
Bertolak dari kesimpulan tersebut diatas, maka penulis
mengajukan saran sebagai berikut :
1. Mempertahankan pelayanan terhadap narapidana yang sudah
berjalan dengan baik.
2. Perlu peningkatan pelayanan terhadap narapidana yang belum
berjalan dengan baik melalui pengawasan yang baik secara
sistematis mulai dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sampai
Lembaga Pemasyarakatan dalam hal pelaksanaan hak
mendapatkan Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas
20
dan Pelayanan Kesehatan dan Makanan Yang Layak bagi
narapidana agar pelaksanaannya sesuai dengan aturan yang
berlaku.
3. Perlu terus meningkatkan SDM petugas Lapas dalam bidang
HAM.
4. Melakukan pendekatan persuasif kepada narapidana sebagai
suatu bentuk komunikasi antara pembina dan yang dibina
sehingga tercipta hubungan yang harmonis dalam pelaksanaan
pembinaan.

F. DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku :
1. Davidson, Scott, 1994, Hak Asasi Manusia (Terjemahan A. Hadyana P.),
Pustaka Utama Graviti, Jakarta.
2. Sinambela, Lijan Poltak, 2010, Reformasi Pelayanan Publik Teori, Kebijakan,
dan Implementasi, PT. Bumi Aksara, Jakarta.
3. Suyanto, Bagong, Sutinah, 2005, Metode Penelitian Sosial Berbagai
Alternatif Pendekatan Edisi Ketiga, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta.
4. Bakhri Syaiful, 2009, Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, Total Media,
Yogyakarta.
5. Istianto Bambang, 2011, Manajemen Pemerintahan Dalam Perspektif
Pelayanan Publik, Mitra Wacana Media, Jakarta.
6. Basuki Yohanes, 2012, Budaya Pelayanan Publik Suatu Telaah Teoritis,
Hartomo Media Pustaka, Jakarta.
7. Muladi, 2009, Hak Asasi Manusia - Hakekat, Konsep, & Implikasinya dalam
Persfektif Hukum & Masyarakat, PT. Rafika Aditama, Bandung.
8. Syafiie, Inu Kencana, 2011, Etika Pemerintahan, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
9. Samosir, Djisman, 2012, Sekelumit Tentang Penologi dan Pemasyarakatan,
Penerbit Nuansa Aulia, Bandung.
10. Taufiq Ahmad, 2010, Penjara The Untold Story Kisah Nyata Mantan Napi
yang Menguak Skandal Penyimpangan dalam Penjara, UFUK PRESS,
Jakarta.
21
11. Hardjowirogo, Marbangun, 1979, HAM Dalam Mekanisme-Mekanisme
Perintis Nasional, Regional dan Internasional, Fatma, Bandung.
12. Laquer, Walter and Barry, Rubin, 1979, Human Rights Reader, New
American Library, New York.
13. Liba, Mastra, 2002, Pikiran, Pandangan dan Pantauan Mengenai HAM
Menuju Good Governance, Yayasan Annisa.
14. Naning, Ramdlon, 1983, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi di Indonesia,
Lembaga Kriminologi, Universitas Indonesia, Jakarta.
15. Panjaitan, P., dan Simorangkir, 1995, Kinerja Pemasyarakatan Dalam
Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
16. Poernomo, Bambang, 1986, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem
Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta.
17. Sahardjo, 1963, Pohon Beringin Pengayoman, Rumah Pengayoman
Sukamiskin, Bandung.
18. Soemadipraja, A., R., dan Romli Atmasasmita, 1979, Sistem
Pemasyarakatan di Indonesia, BPHN, Binacipta, Bandung.
19. Subekti, R., 1984, Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia Dalam KUHAP,
Pradnya Paramita, Bandung.

Peraturan Perundang-Undangan :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 tentang
Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 174 Tahun 1999 tentang
Remisi.

22
6. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04-10
Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang
Bebas.

23

Anda mungkin juga menyukai