Anda di halaman 1dari 6

A.

Pengertian
HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus%.HIV adalah
suatu virus yang dapat menyebabkan penyakit AIDS. Virus ini menyerang manusia dan
menyerang sistem kekebaban (imunitas) tubuh,sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan
infeksi. Dengan kata lain,kehadiran virus ini dalam tubuh akan menyebabkan defisiensi
(kekurangan) sistem imun.
AIDS merupakan bentuk terparah akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus yang
biasanya menyerang organ vital sistem kekebalan manusia seperti sel T CD4+ (sejenis sel +),
mikrofag, dan sel dendritik. HIV secara langsung dan tidak langsung merusak sel T CD4+,
padahal sel tersebut dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh berfungsi baik. Jika HIV
membunuh sel T CD4+ sampai terdapat kurang dari 200 sel T CD4+ per mikroliter darah,
kekebalan selular hilang dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS.
Penurunan kekebalan menyebabkan infeksi oportunistik dan kanker tertentu. Infeksi
oportunistik disebabkan oleh organisme yang tidak menyebabkan infeksi pada individu yang
sehat. HIV juga langsung merusak organ-organ tertentu seperti otak.

B. Gejala Klinis
Sebagian orang yang terinfeksi HIV berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50%
berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hamper semua orang yang
terinfeksi HIV menunjukan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Gejala yang terjadi
adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare atau batuk.
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala
tersebut umumnya berlangsung selama 8-10 tahun (Djoerban, 2006).

Stadium WHO Infeksi HIV


a. Stadium 1
Pasien sindrom serokonversi akut. Limfadenopati persisten generalisata: munculnya
nodul-nodul tanpa rasa sakit, pada 2 atau lebih lokasi yang tidak berdampingan
dengan jarak lebih dari 1 cm dan lebih dari 3 bulan

Pasien dalam fase ini dapat tetap asimtomatik selama berbulan-bulan sampai
bertahun-tahun tergantung pada pengobatan

Status performa 1 - aktif penuh dan asimtomatik

b. Stadium 2
Pasien dapat kehilangan berat badan kurang dari 10% massa tubuh. Risiko penyakit
infeksi antara lain:

 Herpes Zoster

 Maninfestasi minor mukokutan


 Infeksi saluran pernafasan atas rekuren

Status performa 2 - simtomatik namun hampir aktif penuh

c. Stadium 3
Pasien dapat kehilangan berat badan lebih dari 10% massa tubuh. Memiliki beberapa
infeksi atau gejala antara lain:

 Diare Kronik lebih dari 1 bulan

 Demam Prolong lebih dari 1 bulan

 Kandidosis oral, kandidiasis vagina kronik

 Oral Hairy Leukoplakia

 Infeksi bakteri parah

 TB Paru

Status performa 3 - berada di tempat tidur lebih dari 50% dalam satu bulan terakhir

d. Stadium 4
Pasien memiliki infeksi oportunistik yang juga dikenal sebagai AIDS defining
infections, antara lain:
 TB Ekstrapulmoner
 Pneumonia e.c Pheumocystis Jirovecii
 Meningitis Kriptokokal
 Infeksi HSV (Herpes Simplex Virus) lebih dari 1 bulan
 Kandidiasis Pulmoner dan Esofageal
 Toksoplasmosis
 Kriptosporidiosis
 CMV (Cytomegalovirus)
 HIV Wasting syndrome
 Ensefalopati HIV
 Sarkoma Kaposi
 Limfoma
 Pneumonia Rekuren
Status performa 4 - hanya dapat beraktivitas diatas tempat tidur lebih dari 50% waktu keseharian

C. Patofisiologi AIDS
1. Pathogenesis
Awalnya terjadi perlekatan antara gp 120 dan reseptor sel CD4, yang memicu
perubahan konformasi pada gp 120 sehingga memungkinkan pengikatan dengan
koreseptor kemokin (biasanya CCR5 atau CXCR4). Setelah itu terjadi penyatuan pori
yang dimediasi oleh gp41 (Mandal, 2008).
Setelah dalam CD4, Salinan DNA ditranskripsi dari genom RNA oleh enzim
reverse transcriptase (RT) yang dibawa oleh virus. Hal tersebut merupakan proses
yang sangat berpotensi mengalami kesalahan, selanjutnya DNA ditransfor ke dalam
nucleus dan terintegrasi secara acak didalam genom sel pejamu. Virus yang
terintegrasi diketahui sebagai DNA provirus. Pada aktivasi sel pejamu, RNA
ditranskripsikan dari cetakan DNA tersebut dan selanjutnya ditranslasi menyebabkan
produksi protein virus. Polyprotein prekusor dipecah oleh protease virus menjadi
enzim dan protein structural. Hasil pecahan tersebut kemudian digunakan untuk
menghasilkan partikel virus infeksius yang keluar dari permukaan sel dan bersatu
dengan membaran sel pejamu. Virus infeksius baru (virion) selanjutnya dapat
menginfeksi sel yang belum terinfeksi mengulang proses tersebut. Terdapat tiga grup
hamper semua infeksi adalah grup M dan subtype (grup B dominan di eropa) untuk
HIV-1 (Mandal, 2008)
2. Paofisiologis
HIV ditransmisikan melalui cairan tubuh dari orang yang terinfeksi HIV, seperti
darah, ASI, semen dan sekret vagina. Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui port
d’entrée yang terdapat pada tubuh, umumnya kemungkinan ini meningkat melalui
perilaku berisiko yang dilakukan.
Peran penting sel T dalam ‘MENYALAKAN’ semua kekuatan limfosit dan
mkrofag, sel T penolong dapat dianggap sebagai ‘tombol utama’ sistem imun. Virus
AIDS secara selektif menginvasi sel T penolong, menghancurkan atau melumpuhkan sel
yang biasa mengatur sebagai besar respon imun. Virus juga menyerang makrofag, yang
semakin melumpukan sistem imun, dan kadang juga masuk ke sel otak, sehingga timbul
dimensia yang dijumpai pada sebagian pasien AIDS (Sherwood, 2001)
Virus masuk ke dalam sel dengan menempel pada reseptor CD4 melalui
pembungkus glikoprotein. Sebagai Retrovirus, HIV menggunakan enzim reverse-
transcriptase, memungkinkan terbentuknya DNA-copy, untuk terbentuk dari RNA-virus.
Virus menempel dan merusak CD4, sehingga terjadi deplesi nilai CD4 dalam darah,
seiring dengan terjadinya peningkatan replikasi virus yang direfleksikan dari hasil
nilai viral load yang tinggi, menandakan tingkat virulensi yang tinggi.
Partikel virus dalam tubuh ODHA akan bergbung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.
Waktu pertama kali terinfeksi umumnya pasien tidak menunjukan gejala klinis,
pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Bersamaan
dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh
masih mengkompesasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 setiap hari.
Fase Infeksi HIV
a. Serokonversi
Terjadi di masa awal infeksi HIV, terjadi viremia plasma dengan penyebaran yang
luas dalam tubuh, selama 4-11 hari setelah virus masuk emlalui mukosa tubuh.
Kondisi ini dapat bertahan selama beberapa minggu, dengan gejala yang cukup
ringan dan tidak spesifik, umumnya berupa demam, flu-like syndrome, limfadenopati
dan ruam-ruam.
Kemudian keluhan akan berkurang dan bertahan tanpa gejala mengganggu. Pada
masa ini, umumnya akan mulai terjadi penurunan nilai CD4, dan peningkatan viral-
load.
b. Fase Asimtomatik
 HIV sudah dapat terdeteksi melalui pemeriksaan darah
 Penderita infeksi HIV (tanpa intervensi pengobatan), dapat hidup bebas gejala
hingga 5-10 tahun
 Replikasi virus terus berjalan, virulensi tinggi
 Viral-load stabil tinggi, CD4 menurun secara konstan
c. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)
Umumnya viral-load tetap berada dalam kadar yang tinggi, CD4 dapat menurun
hingga lebih rendah dari 200/µl.
Muncul infeksi oportunistik secara signifikan. Infeksi oportunistik bersifat berat,
meliputi dan mengganggu berbagai fungsi organ dan sistem dalam tubuh.
Menurunnya CD4 mempermudah infeksi dan perubahan seluler menjadi keganasan.
Infeksi oportunistik berupa:

 Demam > 2 minggu,


 tuberkulosis paru,
 tuberkulosis ekstra paru,
 sarkoma kaposi,
 herpes rekuren,
 limfadenopati,
 kandidosis orofaring,
 wasting-syndrome.

D. Penyebaran dan tanda-tanda HIV/AIDS
Virus HIV menular melalui enam cara penularan, yaitu :
1. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS
Hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV tanpa
perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsung, air
mani, cairan vaginal, cairan seviks, dan darah dpaat mengenai selaput lendir
vagina, penis, dubur, atau mulut sehingga HIV yang terdapat dalam cairan
tersebut masuk ke aliran darah (PELKESI, 1995). Selama berhubungan juga bisa
terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang bisa menjadi jalan
HIV untuk masuk kealiran darah pasangan seksual. (Syaiful, 2000).
2. Transmisi secara vertical
Transmisi secara vertical dapat terjadi dari ibu yang terinfeksi HIV kepada
janinnya sewaktu hamil, persalinan, dan setelah melahirkan melalui pemberian
ASI. Angka penularan selama kehamilan sekitar 5-10%, sewaktu persalinan 10-
20%, dan saat pemberian ASI 10-20% (Nasronudin, 2007). Penularan HIV dari
ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in untero). Berdasarkan laporan CDC
Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01% sampai 0,7%
bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi
terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas
pada ibu kemungkinannya mencapai 50% (PELKESI, 1995). Penularan juga
terjadi selama proses persalinan melalui transfusi fetomaternal atau kontak antara
kulit atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat
melahirkan (Lily V, 2004). Semakin lama proses melahirkan, semakin besar
resiko penularan. Oleh karena itu, lama persalinan bisa dipersingkat dengan
operasi sectio caesaria (HIS dan STB, 2000). Transmisi lain terjadi selama
periode post partum melalui ASI. Resiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang
positif sekitar 10% (Lily V, 2004)

3. Potensi Transmisi melalui cairan tubuh


Untuk darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS sangat cepat menularkan
HIV karena virus angsung masuk ke pembuluh darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Transmisi dapat melalui hubungan seksual (terutama homoseksual) dan
dari suntikan darah yang terinfeksi atau produk darah (Asjo, 2002). Diperkirakan
bahwa 90 hingga 100% orang yang mendapat transfusi darah yang tercemar HIV
akan mengalami infeksi. Suatu penelitian di A merika Serikat melaporkan risiko
infeksi HIV-1 melalui transfusi darah dari donor darah yang terinfeksi HIV
berkisar antara 1 per 750.000 hingga 1 per 835.000 (Nasronudin,2007).
Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril
Walaupun HIV pernah ditemukan dalam air liur pada sebagian kecil orang yang
terinfeksi, tidak ada bukti yang membuktikan bahwa air liur dapat menularkan
infeksi HIV baik melalui ciuman biasa maupun paparan lainnya. Demikian juga
belum ada bukti bahwa cairan tubuh lain misalnya air mata, keringat dan urin
dapat merupakan media transimi HIV (Nasronudin, 2007).
4. Transmisi pada alat-alat kesehatan dan tajam
 Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan alat-alat lain
yang menyentuh darah, cairan vagina atau cairan mani yang terinfeksi HIV,
dan langusng digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi bisa
menularkan HIV (PELKESI, 1995)
 Alat-alat untuk menoreh kulit Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau,
silet, menyunat seseorang, membuat tato, memotong rambut, dan sebagian
bisa menularkan HIV sebab alat tersebut mungkin di pakai tanpa disterilkan
terlebih dahulu.
 Menggunakan jarum suntik secara bergantian. Jarum suntik yang digunakan
fasilitas kesehatan, maupun yang di gunakan oleh para pengguna
narkoba(Injecting Drug User-IDU) sangat berpotensi menularkan HIV ,
selain jarum suntik, pada para pemakaian IDU secara bersama-sama juga
menggunakan tempat penyampu, penganduk, dan gelas pengoplos obat,
sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan HIV.

Anda mungkin juga menyukai