Anda di halaman 1dari 20

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran Desember 2019


Universitas Halu oleo

DEMAM TIFOID

Oleh :

Fahd Asy’ary

Pembimbing :

dr. Mustaring, Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2019
BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Ramadhan
Tanggal Lahir : Dana, 16 juni 2017
Umur : 2 tahun 6 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
BB : 10 kg
Agama : Islam
Alamat : Dana, Kab. Muna
No. RM : 030981
B. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan Ibu pasien
Keluhan utama : Demam
Anamnesis terpimpin :
Pasien baru masuk dengan keluhan demam tinggi sejak 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit. Demam terus menerus, bersifat naik turun dan
demam mulai meninggi ketika sore menjelang malam hari. Demam tidak
disertai menggigil (-) kejang (-). Keluhan lain : batuk (+) berdahak warna
putih, sesak (-), mual (-), muntah (-), nafsu makan menurun (+), lemas (+),
mimisan (-), gusi berdarah (-). BAK (+) kesan normal, BAB tidak pernah
sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit, flatus (+). Riwayat keluhan demam
yang sama sebelumnya (-). Riwayat keluhan demam yang sama dalam
keluarga (-). Riwayat alergi obat (-), riwayat alergi makanan (-), riwayat
berpergian keluar kota (-), riwayat konsumsi jajanan (-), riwayat pengobatan
(+) diklinik bidan dan berikan obat kloramfenikol dan PCT diminum 2x.
C. PEMERIKSAAN FISIK
KU : Sakit Sedang/CM/Gizi cukup
Pucat : (-) Sianosis : (-) Tonus : Baik
Ikterus : (-) Turgor : Baik
Antropometri : BB : 10 kg │ TB :90 cm │LILA : 13 cm│LK : 50 cm
│LD : 52 cm │LP : 50 cm
Tanda Vital
TD : 90/60 mmHg P : 34 x/menit
N : 144 x/menit S : 39,90C
Kepala : Normocephal
Muka : Simetris kanan dan kiri
Rambut : Berwarna hitam, lurus, tidak mudah dicabut
Ubun-ubun besar : Tertutup
Telinga : Otorhea (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-) │Sklera ikterik (-)
Hidung : Rinorhea (-) │pernapasan cuping hidung (-)│epistaksis (-)
Bibir : Sianosis(-), kering (+)
Lidah : kotor (+), tremor (-), hiperemis (-)
Sel Mulut : Somatitis (-), mulut berbau (+)
Leher : Pembesaran Kelenjar Getah Bening (-)
Bentuk dada : Simetris Kiri dan Kanan
Paru :
PP : Simetris kiri dan kanan │ retraksi subcostal (-)
PR : Massa (-) | Nyeri Tekan (-) | Krepitasi (-)
PK : Sonor kedua lapangan paru
PD : Vesikuler +/+ │Rhonki -/- │ Wheezing -/-
Jantung
PP : Ictus cordis tidak tampak
PR : Ictus cordis tidak teraba
PK : Pekak
PD : BJ I/II murni regular, bunyi tambahan (-)
Batas kiri : ICS IV Linea midclavicularis (S)
Batas kanan : ICS V Linea parasternalis (D)
Irama : BJ I/II murni regular
Souffle : -
Thrill : -
Abdomen
PP : Cembung, ikut gerak nafas, distensi abdomen (-)
PD : Peristaltik (+) kesan menurun
PK : Tympani (+), pekak hepar (+)
PR : Massa (-) asites (-) nyeri tekan (-), hepatosplenomegali (-)

Kulit : peteki (-), kering (-)

Gigi : 221 122 Caries: (-)

221 122

Tenggorok : hiperemis (-)

Tonsil : T1/T1

Limpa : Tidak teraba pembesaran

Hati : Tidak teraba pembesaran

Konsistensi : (-) Pinggir : (-)

Permukaan : (-) Nyeri tekan : (-)

KelenjarLimfe : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Alat kelamin : Tidak ditemukan adanya kelainan

Anggota Gerak : edema (-) deformitas (-) akral hangat (+/+)

Tasbeh : (-)

Col. Vertebralis : spondilitis (-) skoliosis (-)

KPR : +/+

APR : +/+

Refleks Patologis : (-)


D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah Rutin (tanggal 23/12/2019)
PARAMETER NILAI RUJUKAN
WBC 5,59 [10^3/uL] 4.00 – 10.00
HGB 10,4 [g/dL] 12.0 – 16.0

2. Widal Test
Nilai Rujukan
S.Typhi O Positif (+) 1/320 Negatif (-)
S.Typhi AH Negatif (-) Negatif (-)
S.Typhi BH Negatif (-) Negatif (-)
S.Typhi H Positif (+) 1/160 Negatif (-)

E. DIAGNOSA KERJA

Suspek Demam Tifoid

F. DIAGNOSA BANDING
Malaria

G. ANJURAN PEMERIKSAAN
- Tes tubex
- Pemeriksaan biakan salmonella (Mc Konkey dan SS agar)
- PCR
- DDR
- Tes Widal

H. RESUME
Pasien baru masuk dengan keluhan demam tinggi sejak 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit. Demam terus menerus, bersifat naik turun dan
demam mulai meninggi ketika sore menjelang malam hari. Demam tidak
disertai menggigil (-) kejang (-). Keluhan lain : batuk (+) berdahak warna
putih, sesak (-), mual (-), muntah (-), nafsu makan menurun (+), lemas (+),
mimisan (-), gusi berdarah (-). BAK (+) kesan normal, BAB tidak pernah sejak
7 hari sebelum masuk rumah sakit, flatus (+). Riwayat keluhan demam yang
sama sebelumnya (-). Riwayat keluhan demam yang sama dalam keluarga (-).
Riwayat alergi obat (-), riwayat alergi makanan (-), riwayat berpergian keluar
kota (-), riwayat konsumsi jajanan (-), riwayat pengobatan (+) diklinik bidan
dan berikan obat kloramfenikol dan PCT diminum 2x.
Pada pemeriksaan fisik didapatkankeadaan umum sakit sedang, status
gizi cukup, TD: 90/60mmHg, P: 34x/menit, N : 144x/menit, S: 39,90C. Mulut
berbau (+), lidah yang kotor (+), akral hangat (+/+). Pemeriksaan abdomen :
inspeksi : distensi abdomen (-), auskultasi : peristaltic (+) menurun, perkusi :
pekak hepar (+), palpasi : hepatosplenomegali (-)

I. PENATALAKSANAAN
Non farmakologi :
- Bedrest total
- Diet bergizi seimbang, konsistensi lunak, cukup kalori dan protein,
rendah serat.

Farmakologi :

- IVFD kaen 3B 13 TPM makro


- Inj. Paracetamol 100 mg/4jam/iv (jikalau suhu >38)
- Cefotaxim inj. 200mg/x pemberian

J. FOLLOW UP

Tanggal Keluhan Instruksi Dokter


23/12/2019 S:Demam (+), belum BAB  IVFD kaen 3B 13 TPM
sejak 7 hari yang lalu Kebutuhan cairan :
H1 O: KU : lemah, sakit sedang, 10 kg x 100 = 1000,
sadar, gizi cukup =1000 ml/hari
TD : 90/60mmHg 1000 x 20
N :144 x/m 24 x 60
P : 34 x/m = 13 TPM
S : 39,9°C  Paracetamol inf 100
BB : 10 kg mg/iv/4 jam (jika suhu >38)
Lidah kotor (+) Dosis 10 mg/kgBB/x
Akral hangat (+/+) = 100 mg/x pemberian
Pulmo : vesikuler (+/+) = 100 mg/iv/4jam
 Cefotaxim inj. 200mg/x
A: Susp. Demam tifoid pemberian
Dosis 50-100mg/kgBB/x
= 60x 10 kg
=600mg/hari (dibagi dalam
3x pemberian)
=200mg/xpemberian
 Lactulosa syr 2x1/2 CTH
 Bedrest total
24/12/2019 S: demam (+), muntah (-)  IVFD KAEN 3B 13 TPM
O: KU : lemah, sakit sedang,  Paracetamol inf 100
H2 sadar, gizi cukup mg/iv/4 jam
TD : 100/60 mmHg  Cefotaxim inj. 200mg/x
N : 130 x/m pemberian
P : 32 x/m  Lactulosa syr 2x1/2 CTH
S : 38,4 °C  Bedrest total
BB : 10 kg
Lidah kotor (+)
Akral hangat (+/+)
Pulmo : vesikuler (+/+)
A: Demam tifoid
25/12/2019 S: Demam (-), sudah BAB  Aff infus
O: KU : lemah, sakit sedang,  Boleh Pulang
H3 sadar, gizi cukup  Ceftriaxon
TD : 100/70 mmHg Dosis 100mg/kgBB/HR
N : 130 x/m 100x 10 = 1000 mg/hari
P : 31 x/m = 500/12 jam
S : 37,4 °C = 2x500mg
BB : 10 kg  Lanjutkan dalam 7 hari
Lidah kotor (-)
Akral hangat (+/+)
Pulmo : vesikuler (+/+)

A: Demam tifoid
BAB II

ANALISA KASUS

Pasien baru masuk dengan keluhan demam tinggi sejak 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit. Demam terus menerus, bersifat naik turun dan demam mulai
meninggi ketika sore menjelang malam hari. Demam tidak disertai menggigil (-)
kejang (-). Keluhan lain : batuk (+) berdahak warna putih, sesak (-), mual (-),
muntah (-), nafsu makan menurun (+), lemas (+), mimisan (-), gusi berdarah (-).
BAK (+) kesan normal, BAB tidak pernah sejak 7 hari sebelum masuk rumah
sakit, flatus (+). Riwayat keluhan demam yang sama sebelumnya (-). Riwayat
keluhan demam yang sama dalam keluarga (-). Riwayat alergi obat (-), riwayat
alergi makanan (-), riwayat berpergian keluar kota (-), riwayat konsumsi jajanan (-
), riwayat pengobatan (+) diklinik bidan dan berikan obat kloramfenikol dan PCT
diminum 2x.
Pada pemeriksaan fisik didapatkankeadaan umum sakit sedang, status gizi
cukup, TD: 90/60mmHg, P: 34x/menit, N : 144x/menit, S: 39,90C. Mulut berbau
(+), lidah yang kotor (+), akral hangat (+/+). Pemeriksaan abdomen : inspeksi :
distensi abdomen (-), auskultasi : peristaltic (+) menurun, perkusi : pekak hepar
(+), palpasi : hepatosplenomegali (-)

PEMBAHASAN
Pada kasus ini didiagnosis sebagai demam tifoid. Demam tifoid

merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica serovar

typhi (S typhi). Salmonella enterica serovar paratyphi A, B, dan C juga dapat

menyebabkan infeksi yang disebut demam paratifoid. Demam tifoid dan

paratifoid termasuk ke dalam demam enterik. Pada daerah endemik, sekitar 90%

dari demam enterik adalah demam tifoid.

Pada kasus, kejadian demam tifoid di Indonesia memiliki insiden yang

cukup tinggi tercatat insidens demam tifoid tinggi (>100 kasus per 100.000
populasi per tahun) dicatat di Asia Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan

kemungkinan Afrika Selatan;

Kasus ini terjadi pada anak laki-laki dengan usia 2 tahun 6 bulan.Di

Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang berusia 3-

19 tahun. Untuk perempuan dan laki-laki memiliki kejadian dengan perbandingan

yang sama. Penyebab demam tifoid adalah salmonella typhi yang merupakan

bakteri gram negatif, mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk

spora dan fakultatif anaerob. Terjadinya penularan salmonella typhi sebagian

besar melalui minuman/ makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari

penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama-sama dengan tinja. Pada

kasus ini diduga karena makanan yang dikonsumsi oleh anak bukan saja berasal

dari masakan rumah jadi terdapat kemungkinan penularan didapat dari makanan

jajanan di luar rumah.

Patogenesis

Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui

beberapa tahapan. Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat

bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus

pada ileum terminalis.Di usus, bakteri melekat pada mikrovili, kemudian melalui

barier usus yang melibatkan mekanisme membrane ruffl ing, actin rearrangement,

dan internalisasi dalam vakuola intraseluler. Kemudian Salmonella typhi

menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan masuk ke dalam pembuluh darah

melalui sistem limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya
tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang

negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari.

Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan

berkolonisasi dalam organ-organ sistem retikuloendotelial, yakni di hati, limpa,

dan sumsum tulang. Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam makrofag.

Setelah periode replikasi, kuman akan disebarkan kembali ke dalam sistem

peredaran darah dan menyebabkan bakteremia sekunder sekaligus menandai

berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia sekunder menimbulkan gejala klinis

seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen.

Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak diobati

dengan antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum

tulang, kandung empedu, dan Peyer’s patches di mukosa ileum terminal. Ulserasi

pada Peyer’s patches dapat terjadi melalui proses infl amasi yang meng-akibatkan

nekrosis dan iskemia. Komplikasi perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul

ulserasi.

Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ

sistem retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali.

Menetapnya Salmonella dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai pembawa

kuman atau carrier.

Manifestasi Klinis

Untuk menifestasi klinis sendiri yang didapatkan adalah demam yang

tidak tinggi dan berlangsung selama 7 hari demam terutama pada sore menjelang
malam hari yang disertai dengan adanya malaise, konstipasi dan nafsu makan

menurun. Berdasarkan teori, keluhan atau gejala pada demam tifoid dapat

bervariasi mulai dari yang ringan dengan demam yang tidak tinggi, malaise, dan

batuk kering sampai dengan gejala yang berat dengan demam yang berangsur

makin tinggi setiap harinya, rasa tidak nyaman di perut, serta beraneka ragam

keluhan lainnya.

Gejala yang biasanya dijumpai adalah demam sore hari dengan

serangkaian keluhan klinis, seperti anoreksia, mialgia, nyeri abdomen, dan

obstipasi. Dapat disertai dengan lidah kotor, nyeri tekan perut, dan pembengkakan

pada stadium lebih lanjut dari hati atau limpa atau kedua-duanya. Pada anak, diare

sering dijumpai pada awal gejala yang baru, kemudian dilanjutkan dengan

konstipasi. Konstipasi pada permulaan sering dijumpai pada orang dewasa.

Penegakan diagnosis

Penegakan diagnosis pada kasus ini didapatkan dari anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis telah dijelaskan di atas,

untuk pemeriksaan fisik sendiri didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal

pada awal pemeriksaan namun terjadi peningkatan nadi dan pernapasan pada saat

demam kembali tinggi. Secara fisiologis peningkatan nadi dan pernapasan akan

terjadi bila suhu juga mengalami peningkatan. Untuk pemeriksaan fisik lainnya

pada teori untuk demam tifoid dapat terjadi penurunan kesadaran, lidah kotor,

meteorismus, hepatomegali dan rose spot. Namun pada kasus ini hanya

didapatkan lidah kotor.


Pada pemeriksaan penunjang, pada pasien ini dilakukan pemeriksaan

darah rutin dan dilakukan Pemeriksaan Test widal, pada kasus ini didapatkan : S

thypi O positif (+) 1/320, S thypi AH positif H (-), S thypi BH positif (-), S thypi

H positif (+) 1/160 yang dimana mengalami peningkatan Titer O menjadi 1/320.

Pada kasus tidak didapatkan adanya trombositopeni maupun leukopeni.

Berdasarkan teori pada demam tifoid biasanya dijumpai leukopeni dan

trombositopeni. Trombositopeni dapat terjadi akibat destruksi sel trombosit

karena proses infeksi namun trombositopeni dapat terjadi karena berbagai faktor

lain. Trombositopeni dapat biasanya berlangsung cepat dan dapat segera kembali

normal. Kemudian pada kasus ini dilakukan pemeriksaan widal tes. Pemeriksaan

yang paling sering dilakukan di Indonesia sampai saat ini adalah pemeriksaan

widal. Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H

dari S. Typhidan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal

memiliki sensitivitas danspesifisitas yang rendah, sehingga penggunaannya

sebagai satu-satunya pemeriksaanpenunjang di daerah endemis dapat

mengakibatkan overdiagnosis. Pada umumnya antibodi Omeningkat di hari ke-6-

8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak awal penyakit.Interpretasi pemeriksaan

Widal harus dilakukan secara hati-hati karena dipengaruhi beberapa faktor yaitu

stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik laboratorium,endemisitas dan

riwayat imunisasi demam tifoid. Sensitifitas dan spesifisitas Widal

rendahtergantung, kualitas antigen yang digunakan, bahkan dapat memberikan

hasil negatif hingga30% dari sampel biakan positif demam tifoid. Pemeriksaan

Widal memiliki sensitivitas 69%, spesifisitas 83%.Hasil negatif palsu dapat terjadi
karena teknikpemeriksaan tidak benar, penggunaan antibiotik sebelumnya, atau

produksi antibodi tidakadekuat.Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja

tidak mempunyai arti penting dansebaiknya dihindari. Diagnosis demam tifoid

baru dapat ditegakkan jika pada ulanganpemeriksaan Widal selang 1-2 minggu

terdapat kenaikan titer agglutinin O sebesar 4 kali. UjiWidal memiliki beberapa

keterbatasan sehingga tidak dapat dipercaya sebagai uji diagnostiktunggal.

Pemeriksaan serologis test cepat antibodi S.Typhi saat ini merupakan

diagnostik bantuyang paling banyak dilaporkan dan dikembangkan.

Alatdiagnostik seperti Typhidot dan Tubex mendeteksi antibodi IgM terhadap

antigen spesifikoutermembrane protein (OMP) dan O9 lipopolisakarida dari S.

Typhi. Telah banyakpenelitianyang membuktikan bahwa pemeriksaan ini

memiliki sensitivitas spesifisitas hampir 100% padapasien demam tifoid dengan

biakan darah positif S. Typhi. Pemeriksaan antibodi IgM terhadapantigen O9

lipopolisakarida S. Typhi (Tubex)memilikisensitivitas dan spesifisitas berkisar

70% dan 80%dan IgM terhadap S. Typhi (Typhidot). Mengingat pada kasus ini

masih fase akut sehingga pertimbangan untuk pemeriksaan ini dapat dilakukan.

Penelitian diPalembang (2014), menunjukan bahwa pemeriksaan Tubex-TF untuk

deteksi antibodi IgM S.Typhi pada anak demam hari ke-4 dengan nested PCR

positif S. Typhi mendapatkan sensitivitas63% dan spesifisitas 69%, nilai duga

positif 43% dan nilai duga negatif 83%, sehinggapemeriksaan ini tidak dianjurkan

pada anak dengan demam < 5 hari.Pemeriksaan serologi dengan nilai = 6

dianggap sebagai positif kuat dan untuk skor 4 positif lemah yang menunjukan

infeksi awal atau sedang terjadi. Namun,interpretasi hasil serologi yang positif
harus berhati-hati pada kasus tersangka demam tifoidyang tinggal di daerah

endemis. IgM anti Salmonella dapat bertahan sampai 3 bulan dalamdarah. Positif

palsu pada pemeriksaan TUBEX bisa terjadi pada pasien dengan

infeksiSalmonellaEnteridis, sedangkan hasil negatif palsu didapatkan bila

pemeriksaandilakukan terlalu cepat.

Sampai saat ini baku emas diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan

kultur. Pemilihan spesimen untuk kultur sebagai penunjang diagnosis pada

demam minggu pertama dan awal minggu kedua adalah darah, karena masih

terjadi bakteremia. Hasil kultur darah positif sekitar 40%-60%. Sedangkan pada

minggu kedua dan ketiga spesimen sebaiknya diambil dari kultur tinja

(sensitivitas <50%) dan urin (sensitivitas 20-30%). Sampel biakan sumsum tulang

lebih sensitif, sensitivitas pada minggu pertama 90% namun invasif dan sulit

dilakukan dalam praktek.

Diagnosis banding

Pada stadium dini demam tifoid beberapa penyakit kadang-kadang secara

klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis,

bronchitis dan brokopneumonia. Beberapa penyakit yang dapat disebabkan oleh

mikroorganisme intraselular seperti tuberculosis, infeksi jamur sistemik,

bruselosis, tularemia, shigelosis, dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam

tifoid yang berat, sepsis, leukemia, limfoma dan penyakit Hodgkin dapat sebagai

diagnosis banding.
Komplikasi

Pada kasus ini tidak ditemukan adanya penyulit atau komplikasi selama

perawatan. Pada teori sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami komplikasi,

terutama pada yang sudah sakit selama lebih dari 2 minggu. Komplikasi yang

sering dijumpai adalah reaktif hepatitis, perdarahan gastrointestinal, perforasi

usus, ensefalopati tifosa, serta gangguan pada sistem tubuh lainnya mengingat

penyebaran kuman adalah secara hematogen.1

Komplikasi biasanya terjadi pada minggu kedua dan ketiga demam.

Komplikasi antara lain perdarahan, perforasi usus, sepsis, ensefalopati, dan infeksi

organ lain.3

a. Tifoid toksik (Tifoid ensefalopati)

Penderita dengan sindrom demam tifoid dengan panas tinggi yang disertai

dengan kekacauan mental hebat, kesadaran menurun, mulai dari delirium

sampai koma.

b. Syok septic

Penderita dengan demam tifoid, panas tinggi serta gejala-gejala toksemia yang

berat. Selain itu, terdapat gejala gangguan hemodinamik seperti tekanan darah

turun, nadi halus dan cepat, keringat dingin dan akral dingin.

c. Perdarahan dan perforasi intestinal (peritonitis)

Komplikasi perdarahan ditandai dengan hematoschezia. Dapat juga diketahui

dengan pemeriksaan feses (occult blood test). Komplikasi ini ditandai dengan
gejala akut abdomen dan peritonitis. Pada foto polos abdomen 3 posisi dan

pemeriksaan klinis bedah didapatkan gas bebas dalam rongga perut.

d. Hepatitis tifosa

Kelainan berupa ikterus, hepatomegali, dan kelainan tes fungsi hati.

e. Pankreatitis tifosa

Terdapat tanda pankreatitis akut dengan peningkatan enzim lipase dan

amilase. Tanda ini dapat dibantu dengan USG atau CT Scan.

f. Pneumonia

Didapatkan tanda pneumonia yang diagnosisnya dibantu dengan foto polos

toraks

Managemen Penatalaksanaan

a. Terapi suportif dapat dilakukan dengan:

(1) Istirahat tirah baring dan mengatur tahapan mobilisasi

(2) Menjaga kecukupan asupan cairan, yang dapat diberikan secara oral

maupun parenteral.

(3) Diet bergizi seimbang, konsistensi lunak, cukup kalori dan protein, rendah

serat.

(4) Konsumsi obat-obatan secara rutin dan tuntas

(5) Kontrol dan monitor tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, kesadaran),

kemudian dicatat dengan baik di rekam medik pasien


b. Terapi simptomatik untuk menurunkan demam (antipiretik) dan mengurangi

keluhan gastrointestinal. Pada kasus ini telah diberikan obat paracetamol

selama perawatan.

c. Terapi definitif dengan pemberian antibiotik. Antibiotik lini pertama untuk

demam tifoid adalah Kloramfenikol, Ampisilin atau Amoksisilin (aman untuk

penderita yang sedang hamil). Namun antibiotik alternatif lain yang dapat

diberikan adalah antibiotik sefalosporin generasi ketiga. Namun pada beberapa

Negara telah dilaporkan adanya resistensi ganda terhadap kloramfenikol,

ampisilin dan TMP-SMZ, sehingga dipertimbangkan untuk pemberian

antibiotik alternative lain yaitu sefalosporin generasi ketiga.

(1) Kloramfenikol (drug of choice) 100 mg/kgBB/hari oral atau iv dibagi

dalam 4 dosis selama 10-14 hari.

(2) Ampisilin 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis intravena

(3) Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam4 kali pemberian per oral

(4) Kombinasi trimetropimsulfametoksazol (TMP-SMZ) dosis yang

dianjurkan adalah TMP 10 mg/kgBB/hari atau SMZ 50 mg/kgBB/hari

dibagi dalam 2 dosis

(5) Sefriakson 100 mg/kgBB/hari selama 7 hari

(6) Sefotaxim 50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 kali pemberian

intravena

(7) Sefiksim 10-15 mg/kgBB/hari secara oral selama 10 hari


Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran.

Deksametason 3 mg/kgBB/hari iv diberikan dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan dengan 1mg/kgBB per 6 jam sampai 48 jam.

Prognosis

Untuk kasus ini prognosis dubia at bonam karena tidak adanya penyulit

atau komplikasi yang terjadi serta perkembangan pasien selama perawatan

berangsur membaik dan responsif terhadap pengobatan yang diberikan. Prognosis

yang buruk dapat saja terjadi bila terjadi keterlambatan diagnosis, perawatan dan

pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau

perdarahan hebat, meningitis, endokarditis dan pneumonia mengakibatkan

morbiditas dan mortalitas yang tinggi.


DAFTAR PUSTAKA

1. Nelwan, RHH. 2012. tatalaksana terkini demam tifoid Departemen Ilmu

Penyakit Dalam, FKUI/RSCM Jakarta.

2. Rekomendasi IDAI. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik Demam Tifoid.

3. Panduan Praktis Klinis bagi dokter difasilitas pelayanan kesehatan primer.

IDI : Edisi revisi tahun 2014.

4. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku ajar ilmu kesehatan anak

infeksi dan penyakit tropis., ed 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.

5. IDAI. 2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Jakarta

Anda mungkin juga menyukai