Anda di halaman 1dari 36

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Syok merupakan suatu keadaan patofisiologik dinamik yang
t e r j a d i b i l a oxygen delivery ke mitokondria sel di seluruh tubuh tidak mampu
memenuhi kebutuhan oxygen consumption. Sebagai respon terhadap pasokan
oksigen yang tidak c u k u p i n i , metabolisme energi sel menjadi anaerobik.
Keadaan ini hanya dapatditoleransi tubuh untuk waktu yang terbatas, selanjutnya
dapat timbul kerusakan irreversible pada organ vital.1
P a d a tingkat multiseluler, tidak semua jaringan dan organ secara klinis
terganggu akibat kurangnya oksigen pada saat syok. Alfred Blalock membagi
jenis syok menjadi 4 antara lain syok hipovolemik, syok kardiogenik, syok septik,
syok neurogenik.
Diseluruh dunia terdapat 6-20 juta kematian akibat syok tiap tahun,
meskipun penyebabnya berbeda tiap-tiap negara.4 Diagnosa adanya syok
harus didasarkan pada data-data baik klinis maupun laboratorium yang
jelas, yang merupakan akibat dari kurangnya perfusi jaringan. S y o k
bersifat progresif dan terus memburuk jika tidak segera
ditangani.1
Penatalaksanaan syok dilakukan seperti pada penderita t r a u m a
umumnya yaitu primary survey ABCDE. Ta t a l a k s a n a syok
bertujuan memperbaiki gangguan fisiologik dan menghilangkan faktor
penyebab.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Syok


Syok merupakan keadaan darurat yang disebabkan oleh kegagalan
perfusi darah ke jaringan, sehingga mengakibatkan gangguan
metabolisme sel. Kematian karena syok terjadi bila keadaan ini
menyebabkan gangguan nutrisi dan metabolism sel. Terapi syok
bertujuan memperbaiki gangguan fisiologik dan menghilangkan faktor
penyebab. Syok sirkulasi dianggap sebagai rangsang paling hebat dari hipofisis
adrenalin sehingga menimbulkan akibat fisiologi dan metabolism yang besar.
Syok didefinisikan juga sebagai volume darah sirkulasi tidak adekuat
yang mengurangi p e r f u s i , p e r t a m a p a d a j a r i n g a n n o n v i t a l ( k u l i t ,
j a r i n g a n i k a t , t u l a n g , o t o t ) d a n kemudian ke organ vital (otak,
jantung, paru- paru, dan ginjal). Syok atau renjatan m e r u p a k a n s u a t u
keadaan patofisiologis dinamik yang mengakibatkan
h i p o k s i a jaringan dan sel.2
2.2 Etiologi dan klasifikasi
1. Syok hipovolemik, syok yang disebabkan karena tubuh kehilangan darah/syok
hemoragik. Hemoragik eksternal : trauma, perdarahan gastrointestinal.
Hemoragik internal : hematoma, hematotoraks Kehilangan plasma : luka
bakar Kehilangan cairan dan elektrolit. Eksternal : muntah, diare, keringat
yang berlebih. Internal : asites, obstruksi usus
2. Syok kardiogenik, kegagalan kerja jantung. Gangguan perfusi jaringan yang
disebabkan karena disfungsi jantung misalnya : aritmia, AMI (Infark Miokard
Akut)
3. Syok septik, terjadi karena penyebaran atau invasi kuman dan toksinnya
didalam tubuh yang berakibat vasodilatasi.

2
4. Syok anafilaktif, gangguan perfusi jaringan akibat adanya reaksi
antigen antibody yang mengeluarkan histamine dengan akibat peningkatan
permeabilitas membrane kapiler dan terjadi dilates arteriola sehingga
venous return menurun. Misalnya: reaksi tranfusi, sengatan serangga,
gigitan ular berbisa.
5. Syok neurogenik, terjadi gangguan perfusi jaringan yang disebabkn
karena disfungsi sistem saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi.
Misalnya : trauma pada tulang belakang, spinal syok.
2.3 Patofisiologi
Syok menunjukkan perfusi jaringan yang tidak adekuat. Hasil
akhirnya berupa l e m a h n y a aliran darah yang merupakan
petunjuk yang umum, walaupun a d a bermacam-macam
penyebab. Syok dihasilkan oleh disfungsi tiga system yang t e r p i s a h
namun saling berkaitan yaitu: jantung, pembuluh darah, dan
d a r a h . Jika salah satu faktor ini bermasalah dan faktor lain tidak dapat
melakukan kompensasi maka akan terjadi syok. Awalnya tekanan darah
arteri mungkin normal sebagai kompensasi peningkatan isi
sekuncup dan curah jantung. Jika syok berlanjut, curah jantung
menurun dan vasokontriksi p e r i f e r meningkat. Menurut
patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase yaitu:2
Fase Kompensasi
Penurunan curah jantung (cardiac output ) terjadi sedemikian rupa sehingga
timbul gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk menimbulkan gangguan
seluler. Mekanisme kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi untuk
menaikkan aliran darah ke jantung, otak dan otot skelet dan penurunan aliran
darah ke tempat yang kurang vital. Faktor humoral dilepaskan
untuk menimbulkan vasokonstriksi dan menaikkan volume darah dengan
konservasi air. Ventilasi meningkat untuk mengatasi adanya penurunan kadar
oksigen didaerah arteri. Jadi pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan

3
frekuensi dan kontraktilitas otot jantung untuk menaikkan curah jantung dan
peningkatan respirasi untuk memperbaiki ventilasi alveolar. Walau aliran darah ke
ginjal menurun, tetapi ginjal mempunyai cara regulasi sendiri
untuk mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan tetapi jika tekanan darah
menurun, maka filtrasi glomeruler juga menurun.3
Fase Progresif
Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi
kebutuhan tubuh. Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung
tidak lagi mencukupi sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada
saat tekanan darah arteri menurun, aliran darah menurun, hipoksia
jaringan bertambah nyata, gangguan seluler, metabolisme, produk metabolisme
menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian sel. Dinding pembuluh darah menjadi
lemah, tak mampu berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena, venous
return menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler d2kuti dengan aliran
darah kejaringan tetapi tidak dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini
dapat menyebabkan trombosis luas (DIC =Disseminated
Intravascular Coagulation). Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan
kerusakan pusat vasomotor dan r e s p i r a s i di otak. Keadaan ini
m e n a m b a h h i p o k s i a jaringan. Hipoksia dan anoksia menyebabkan
terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan (histamin dan
bridikinin) yang ikut memperburuk syok (vasodilatasi dan
memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia usus menimbulkan
penurunan integritas mukosa usus pelepasan toksin dan invasi bakteri
usus ke sirkulasi. Invasi bakteri dan penurunan fungsi detoksifikasi
hepar memperburuk keadaan. Timbul sepsis, DIC bertambah nyata, integritas
system retikulo endotelial rusak, integritas mikrosirkulasi juga rusak.
Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan metabolisme dari aerobik
menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik, terjadi
peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.3

4
Fase Irrevesibel/Refrakter
Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak dapat
diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya irreversibilitas
syok.Gagal sistem kardiorespirasi, jantung tidak mampu lagi memompa darah
yang cukup, paru menjadi kaku, timbul edema interstisial, daya respirasi
menurun, dan akhirnya anoksia dan hiperkapnea.3
2.4 Syok Hipovolemik
2.4.1 Definisi
Syok hipovolemik yang paling umum disebabkan oleh perdarahan
mukosa saluran pencernaan dan trauma berat. Penyebab perdarahan
terselubung antara lain adalah trauma abdomen dengan ruptur
aneurisma aorta, ruptur limpa atau ileus obstruksi, dan peritonitis.4
2.4.2 Gejala Klinis
Secara klinis syok hipovolemik ditandai oleh volume cairan intravaskuler
yang berkurang bersama-sama penurunan tekanan vena sentral, hipotensi arterial,
dan peningkatan tahanan vaskular sistemik. Respon jantung yang umum
adalah berupa takikardia, Respon ini dapat minimal pada orang tua atau
karena pengaruh obat-obatan. Gejala yang ditimbulkan bergantung pada
tingkat kegawatan syok.4
2.4.3 Diagnosis
Syok hipovolemik dapat didiagnosis dari anamnesa berupa riwayat
penyakit penting untuk menentukan penyebab yang mungkin dan untuk
penanganan lansung. Syok hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar
biasanya nyata dan mudah di diagnosis. Perdarahan dalam kemungkinan tidak
nyata, seperti pasien hanya mengeluhkan kelemahan, letargi, atau perubahan
status mental. Gejala-gejala syok seperti kelemahan, penglihatan kabur, dan
kebingungan, sebaiknya dinilai pada semua pasien. Pada pasien trauma,
menentukan mekanisme cedera dan beberapa informasi lain akan memperkuat
kecurigaan terhadap cedera tertentu (misalnya, cedera akibat tertumbuk

5
kemudian kendaraan, gangguan kompartemen pada pengemudi akibat kecelakaan
kendaraan bermotor). Jika sadar, pasien mungkin dapat menunjukkan lokasi
nyeri. Tanda vital, sebelum dibawa ke unit gawat darurat sebaiknya dicatat. Nyeri
dada, perut, atau punggung mungkin menunjukkan gangguan pada pembuluh
darah. Tanda klasik pada aneurisma arteri torakalis adalah nyeri yang
menjalar ke punggung. Aneurisma aorta abdominalis biasanya
menyebabkan nyeri perut, nyeri punggung, atau nyeri panggul.5
Pemeriksaan fisik seharusnya selalu dimulai dengan penanganan jalan
napas, pernapasan, dan sirkulasi. Ketiganya dievaluasi dan distabilkan secara
bersamaan,sistem sirkulasi harus dievaluasi untuk tanda-tanda dan gejala-gejala
syok. Jangan hanya berpatokan pada tekanan darah sistolik sebagai indikator
utama syok; hal ini m e n y e b a b k a n d i a g n o s i s l a m b a t . M e k a n i s m e
kompensasi mencegah penurunan tekanan darah sistolik secara
signifikan hingga pasien kehilangan 30% dari volume darah. Sebaiknya nadi,
frekuensi pernapasan, dan perfusi kulit lebih diperhatikan. Juga, pasien yang
mengkonsumsi beta bloker mungkin tidak mengalami takikardi, tanpa
memperhatikan derajat syoknya.5
Klasifikasi perdarahan telah ditetapkan, berdasarkan persentase volume darah
yang hilang. Namun, perbedaan antara klasifikasi tersebut pada pasien
hipovolemik sering tidak nyata. Penanganan sebaiknya agresif dan langsung lebih
berkaitan pada respon terapi dibandingkan klasifikasi awal.
Pada pasien dengan trauma, perdarahan biasanya dicurigai sebagai penyebab
dari syok. Namun, hal ini harus dibedakan dengan penyebab syok yang lain.
Diantaranya tamponade jantung (bunyi jantung melemah, distensi vena leher),
tension pneumothorax (deviasi trakea, suara napas melemah unilateral), dan
trauma medulla spinalis (kulit hangat, jarang takikardi, dan defisit neurologis).
Ada empat daerah perdarahan yang mengancam jiwa meliputi: dada,
perut, paha, dan bagian luar tubuh.

6
1. Dada sebaiknya diauskultasi untuk mendengar bunyi pernapasan yang
melemah, karena perdarahan yang mengancam hidup dapat berasal dari
miokard, pembuluh darah, atau laserasi paru.
2. Abdomen seharusnya diperiksa untuk menemukan jika ada nyeri atau distensi,
yang menunjukkan cedera intraabdominal.
3. Kedua paha harus diperiksa jika terjadi deformitas atau pembesaran (tanda-
tanda fraktur femur dan perdarahan dalam paha).
4. Seluruh tubuh pasien seharusnya diperiksa untuk melihat jika ada perdarahan
luar. Pada pasien tanpa trauma, sebagian besar perdarahan berasal dari
abdomen. Abdomen harus diperiksa untuk mengetahui adanya nyeri, distensi,
atau bruit. Mencari bukti adanya aneurisma aorta, ulkus peptikum, atau
kongesti hepar. Juga periksa tanda-tanda memar atau perdarahan.
Pada pasien hamil, dilakukan pemeriksaan dengan speculum steril.
Meskipun, pada perdarahan trimester ketiga, pemeriksaan harus dilakukan
sebagai double set up di ruang operasi. Periksa abdomen, uterus, atau adneksa.
Penyebab-penyebab syok hemoragik adalah trauma, pembuluh darah,
gastrointestinal, atau berhubungan dengan kehamilan.
1. Penyebab trauma dapat terjadi oleh karena trauma tembus atau trauma
bendatumpul. Trauma yang sering menyebabkan syok hemoragik adalah
sebagai berikut: laserasi dan ruptur miokard, laserasi pembuluh darah besar,
dan perlukaan organ padat abdomen, fraktur pelvis dan femur, dan laserasi
pada tengkorak.
2. Kelainan pada pembuluh darah yang mengakibatkan banyak
kehilangan darah antara lain aneurisma, diseksi, dan malformasi arteri
vena.
3. Kelainan pada gastrointestinal yang dapat menyebabkan syok
hemoragik antara lain: perdarahan varises oesofagus, perdarahan ulkus
peptikum, Mallory Weiss tears, dan fistula aorta intestinal.

7
4. Kelainan yang berhubungan dengan kehamilan, yaitu kehamilan
ektopik terganggu, plasenta previa, dan solutio plasenta. Syok hipovolemik
akibat kehamilan ektopik umum terjadi. Syok hipovolemik akibat kehamilan
ektopik pada pasien dengan tes kehamilan negatif jarang terjadi, tetapi
pernahdilaporkan.
Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisis dilakukan, langkah diagnosis
selanjutnya tergantung dari penyebab yang mungkin pada hipovolemik, dan
stabilitas dari kondisi pasien. Pemeriksaan penunjang awal yang sebaiknya
dilakukan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi antara lain:
1. Hemoglobin dan hematokrit. Pada fase awal renjatan syok karena perdarahan
kadar Hb dan hematokrit masih tidak berubah, kadar Hb dan hematokrit akan
menurun sesudah perdarahan berlangsung lama, karena proses autotransfusi.
Hal ini tergantung dari kecepatan hilangnya darah yang terjadi. Pada syok
karena kehilangan plasma atau cairan tubuh seperti pada dengue fever atau
diare dengan dehidrasi akan terjadi haemokonsentrasi.
2. Urin. Produksi urin akan menurun, lebih gelap dan pekat. Berat jenis
urinmenigkat >1,020. Sering didapat adanya proteinuria.
3. Pemeriksaan analisa gas darah pH, PaO2, PaCO2 dan HCO3 darah menurun.
Bila proses berlangsung terus maka proses kompensasi tidak mampu lagi dan
akan mulai tampak tanda-tanda kegagalan dengan makin menurunnya pH dan
PaO2 dan meningkatnya PaCO2 dan HCO3. Terdapat perbedaan yang jelas
antara PO2 dan PCO2 arterial dan vena.
4. Pemeriksaan elektrolit serum. Pada renjatan sering kali didapat adanya
gangguan keseimbangan elektrolit seperti hiponatremi, hiperkalemia, dan
hipokalsemia terutama pada penderita dengan asidosis.
5. Pemeriksaan fungsi ginjal pemeriksaan BUN (Blood urea nitrogen) dan serum
kreatinin penting pada renjatan terutama bila ada tanda-tanda gagal ginjal.
6. Pemeriksaan faal hemostasis.

8
7. Pemeriksaan Radiologi, foto rontgen, ultrasonografi dan CT-scane.
2.4.4 Penatalaksanaan
Keadaan syok hipovolemia biasanya terjadi bersamaan dengan kecelakaan
sehingga diperlukan tatalaksana prehospital untuk mencegah timbulnya
komplikasi, transfer pasien ke rumah sakit harus cepat, tatalaksana awal di
tempat kejadian harus segera dikerjakan. Pada perdarahan eksternal yang jelas,
dapat dilakukan penekanan langsung untuk mencegah kehilangan darah yang
lebih banyak lagi. 6
Prinsip pengelolaan dasar adalah menghentikan perdarahan dan mengganti
kehilangan volume.
I. Penatalaksanaan awal
A. Pemeriksaan jasmani
Meliputi penilaian ABCDE, serta respon penderita terhadap terapi, yakni
melalui tanda-tanda vital, produksi urin dan tingkat kesadaran.
1. Airway dan Breathing
Tujuan: membebaskan jalan nafas dan oksigenasi. Diberikan tambahan
oksigen untuk mempertahankan saturasi >95%. Pada pasien cedera
servikal p e r l u dilakukan imobilisasi. Pada pasien dengan syok
hipovolemik memberikan ventilasi tekanan positif dapat mengakibatkan
terjadinya penurunan aliran balik vena, cardiac output, dan
memperburuk syok. Untuk memfasilitasi ventilasi maka dapat
diberikan oksigen yang sifat alirannya high flow. Dapat diberikan
dengan menggunakan non rebreathing mask sebanyak 10-12 L/menit.
2. Sirkulasi
Kontrol pendarahan dengan, mengendalikan pendarahan dan memperoleh
akses intravena yang cukup, kemudian menilai perfusi jaringan.
Pengendalian pendarahan, dari luka luar tekanan langsung pada tempat
pendarahan (bebat tekan). Pada pasien dengan hipotensi dengan
menaikkan kakinya lebih tinggi dari kepala dan badannya akan

9
meningkatkan venous return. Pada pasien hipotensi yang hamil dengan
cara memiringkan posisinya ke sebelah kiri juga meningkatkan aliran
darah balik ke jantung.
3. Disability
Pemeriksaan neurologi. Menentukan tingkat kesadaran, pergerakan mata
dan respon pupil, fungsi motorik dan sensorik. Manfaat: menilai perfusi
otak, mengikuti perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan
pemulihan.
4. Exposure
Pemeriksaan lengkap terhadap cedera lain yang mengancam jiwa
serta pencegahan terjadi hipotermi pada penderita.
5. Dilatasi Lambung: dekompresi Dilatasi lambung pada penderita trauma,
terutama anak-anak mengakibatkan terjadinya hipotensi dan disritmia
jantung yang tidak dapat diterangkan. Distensi lambung menyebabkan
terapi syok menjadi sulit. Pada penderita yang tidak sadar, distensi
lambung menyebabkan resiko aspirasi isi lambung. Dekompresi dilakukan
dengan memasukkan selang melalui mulut atau hidung dan memasangnya
untuk mengeluarkan isi lambung.
6. Pemasangan kateter urin memudahkan penilaian adanya hematuria dan
evaluasi perfusi ginjal dengan memantau produksi urin. Kontraindikasi:
darah pada uretra, prostat letak tinggi, mudah bergerak.
B. Akses pembuluh darah
Harus segera didapatkan akses ke pembuluh darah. Paling baik dengan 2
kateter intravena ukuran besar, sebelum jalur vena sentral. Kateter yang
digunakan adalah kateter pendek dan kaliber besar agar dapat
memasukkan cairan dalam jumlah besar. Tempat terbaik jalur intravena
orang dewasa adalah lengan bawah. Bila tidak
m e m u n g k i n k a n d i g u n a k a n a k s e s pembuluh sentral atau melakukan
venaseksi. Pada anak-anak < 6 tahun, teknik penempatan jarum intraosseus

10
harus dicoba sebelum menggunakan jalur vena sentral. Selain itu, teknik
intraoseus juga dapat dilakukan pada pasien dewasa dengan hipotensi.
Jika kateter vena telah terpasang, diambil darah untuk crossmatc,
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan toksikologi, serta tes
kehamilan pada wanita subur serta analisis gas darah arteri.7
C. Terapi Awal Cairan
Larutan elektrolit isotonik digunakan sebagai terapi cairan awal. Jenis
cairan ini mengisi intravaskuler dalam waktu singkat dan juga
menstabilkan volume vaskuler dengan mengganti volume darah
yang hilang berikutnya kedalam ruang intersisial dan intraseluler.
Larutan Ringer Laktat adalah cairan pilihan pertama sedangkan NaCl
fisologis adalah pilihan kedua. Jumlah cairan yang diberikan adalah
berdasarkan hukum 3 untuk 1, yaitu memerlukan sebanyak 300 ml larutan
elektrolit untuk 100 ml darah yang hilang. Sebagai contoh, pasien dewasa
dengan berat badan 70 kg dengan derajat perdarahan 2I membutuhkan
jumlah cairan sebanyak 4.410 cairan kristaloid. Hal ini didapat dari
perhitungan [(BB x % darah untuk masing-masing usia x
% perdarahan) x 3], yaitu [70 x 7% x 30% x 3]. 13 Jumlah darah pada
dewasa adalah sekitar 7% dari berat badan, anak-anak sekitar 8-9% dari
berat badan. Bayi sekitar 9-10% dari berat badan. 16 Pemberian cairan ini
tidak bersifat mutlak, sehingga perlu dinilai respon penderita
untuk mencegah kelebihan atau kekurangan cairan. 13,17 B i l a
s e w a k t u r e s u s i t a s i , j u m l a h c a i r a n y a n g diperlukan melebihi
perkiraan, maka diperlukan penilaian ulang yang teliti dan perlu
mencari cedera yang belum diketahui atau penyebab syok yang lain.
Singkatnya untuk bolus cairan inisial dapat diberikan 1-2 L cairan
kristaloid, pada pasien anak diberikan 20 cc/kg BB 2. Evaluasi Resusitasi
Cairan dan Perfusi Organ.

11
Gambar 1. Bagan Penatalaksanaan Syok Hipovolemik.

Keberhasilan manajemen syok hemoragik atau lebih khusus lagi resusitasi


cairan bisa dinilai dari parameter-parameter berikut: Capilary refill time < 2
detik, MAP 65-70 mmHg, saturasi O2 >95%, Urine output >0.5 ml/kg/jam
(dewasa) ; > 1 ml/kg/jam (anak), Shock index = HR/SBP (normal 0.5-0.7),CVP
8 to12 mm Hg, ScvO2 > 70%IV.8

12
1. Pemberian cairan :
a. Cairan diberikan sebanyak mungkin dalam waktu singkat ( dengan
pengawasan tanda vital).
b. Sebelum darah tersedia atau pada syok yang bukan disebabkan oleh
perdarahan, dapat di berikan cairan : plasmanate, plasma fusin (maximum
20ml/kgBB), dextra 70 (maximum 15ml/kgBB), periston, subtosan,
hemasel plasma expander dalam jumlah besar dapat mengganggu
mekanisme pembentukan darah ; cairan lain: RL, Nacl 0,9%. Harus
dikombinasi dengan cairan lain karena cepat keluar keruang extra vaskuler
c. Untuk memperoleh hasil yang optimal letakan botol infus setinggi
mungkin dan gunakan jarum yang besar; bila perlu gunalan beberapa vena
sekaligus dan lakukan vena seksi
d. Pengawasan yang perlu : auskultasi paru untuk mencari tau tanda over
hidrasi berupa ronkhi basah halus dibasal akibat edema paru, cvp (bila
mungkin) dipertahankan pada 16-19 cm H2o, pengukuran diuresis melalui
pemasangan kateter pertahankan sekitar 30ml/jm.
e. Kecuali pada syok ireversibel, perbaikan keadaan biasanya tercapai
setelah pemberian kurang lebih 3000ml cairan koloid
(plasma/plasmaexander), bila digunakan cairan non koloid bisa sampai
8000 ml

Tabel 1. Klasifikasi syok hemoragik

% Blood Volume loss < 15% 15 – 30% 30 – 40% >40%


HR <100 >100 >120 >140
SBP N N, ↓ DBP, ↓ ↓
postural drop

13
Pulse Pressure N or ↓ ↓ ↓
Cap Refill < 3 sec > 3 sec >3 sec or absent
absent
Resp 14 – 20 20 - 30 30 - 40 >35
CNS Anxious v. anxious confused lethargic
Treatment 1 – 2 L 2 L crystalloid, 2 L crystalloid, re-
crystalloid, + re-evaluate evaluate, replace blood
maintenance loss 1:3 crystalloid, 1:1
colloid or blood products.
Urine output >0.5
mL/kg/hr
TTrans

Tranfusi Darah
Tujuan utama transfusi darah adalah memperbaiki kemampuan mengangkut
oksigen dari volume darah. Pemberian darah juga tergantung respon penderita
terhadap pemberian cairan.
a. Pemberian darah packed cell vs darah biasa. Tujuan utama transfusi darah:
memperbaiki kemampuan mengangkut oksigen dari volume darah. Dapat
diberikan darah biasa maupun packed cell. Pemberian cairan adekuat
dapat memperbaiki cardiac output tetapi tidak memperbaiki

14
oksigensi sebab tidak ada penambahan jumlah dari media transport
oksigen yaitu hemoglobin. Pada keadaan tersebut perlu dilakukan
tranfusi. Beberapa indikasi pemberian tranfusi PRC adalah:16
1. Jumlah perdarahan diperkirakan >30% dari volume total atau perdarahan
derajat 2I
2. Pasien hipotensi yang tidak berespon terhadap 2L kristaloid
3. Memperbaiki delivery oksigen
4. Pasien kritis dengan kadar hemoglobin 6 -8 gr/dl. Fresh frozen plasma
diberikan apabia terjadi kehilangan darah lebih dari 20-25% atau terdapat
koagulopati dan dianjurkan pada pasien yang telah mendapatkan 2-10 unit
PRC. Transfusi platelet diberikan apabila keadaan trombositopenia
(trombosit <20.000-50.000/mm) dan perdarahan yang terus menerus.
Komplikasi paling umum pada syok hemoragik adalah penggantian volume
yang tidak adekuat :
1. Pendarahan yang berlanjut, perdarahan yang tidak terlihat adalah penyebab
paling umum dari respon buruk penderita terhadap cairan, dan termasuk
kategori respon sementara.
2. Kebanyakan cairan (overload ) dan pemantauan CVP (central
venous pressure). Setelah penilaian penderita dan pengelolaan awal, resiko
kebanyakan cairan diperkecil dengan memantau respon penderita terhadap
resusitasi, salah satunya dengan CVP. CVP merupakan pedoman standar
untuk menilai kemampuan sisi kanan jantung untuk menerima beban
cairan.
3. Menilai masalah lain. Jika penderita tidak memberi respon terhadap terapi,
maka perlu dipertimbangkan adanya tamponade jantung, penumothoraks,
masalah ventilator, kehilangan cairan yang tidak diketahui, distensi akut
lambung, infark miokard, asidosis diabetikum, hipoadrenalisme dan
syok neurogenik. Beberapa medikasi lain yang diperlukan adalah

15
pemberian antibiotik dan antasida atau H2 blocker. Pasien syok perdarahan
memiliki resiko terjadinya sepsis akibat iskemi pada sistem saluran cerna.
Pemberi anantasida atau H2 blocker bertujuan untuk mengurangi stress
ulcer 18
4. Sekuele neurologis
5. Kematian
Pemberian obat-obat suportif :
a. Vasolidator
Dapat diberikan setelah terdapat perbaikan umum, sambil terus diberikan
cairan, dengan tujuan :
- Diagnostik : bila terjadi penurunan tekanan darah berarti tubuh masih
kekurangan cairan
- Terapeutik : untuk memperbaiki perfusi organ penting dengan
membuka pre dan post capilary sphinctr
- Isoproterenol (isuprel)
 Dosis 2 ml dalam 500 ml glukosa 5-10 %
 Tetesan disesuaikan untuk mempertahankan tekanan sistolik
disekitar 60 mmHg
 Tidak dapat diberikan bila frekuensi jantung lebih basar
120/menit atau diketahui mempunyai kelainan jantung karena
mempunyai kelainan efek memperbesar kebutuhan oksigen
jantung dan mempertinggi iritabilitas miokardium
 Hentikan pengobatan bila frekuensi janting lebih besar atau
150/menit atau aritmik
- Dopamin
 Dosis 200ml dalam 200 ml glukosa 5-10%
 Jumlah tetesan mula-mula 2 mcg/kgBB/menit kemudian
disesuikan dengan tekanan darah
 Dapat digunakan sebagai pengganti isoproterenol
- Alfa adrenergic blockers
 Venoksibenzamin ( dibenzyline) 1 mg/kgBB dalam 250-500 ml
glukosa 5% atau Nacl 0,9%/drip, atau
 Klorpromazin (largactil) ¼-1 mg/kgBB iv lambat

16
b. Vasokonstriktor (norepineprn,aramine EF-fortil) tidak dianjurkan karena
dapat memperburuk sirkulasi organ penting
c. Kortikosteroid
Bila secara klinik derajat syok tidak sesuai dengn perdarahan atau bila
dengan pergantian cairan yang adekuat tidak terlihat perbaikan, fikirkan
kemungkinan insufisiensi korteks adrenal. Untuk itu berikan kortiko dosis
besar, misalkan hidrokortisol 300mb iv lambat (dalam 30 detik), dapat diulang
sampai mencapai dosis total 2-6gr/24jm.
Dapat juga digunakan preparat lain dengan perbandingan dosis : kortison
25, hidrokortison 20, metilprednisolon 4 dan dexametason 0,75. Sering
memberikan efek yang memuaskan terutama pada syok hipopolemik dan syok
septik
d. Koreksi asidosis
Diberikan NA-bikarbonat dengan dosis ( 0,3xBBxbaseexcess) meq iv.
Pada kasus asidosis yang nyata baseexcess dianggap 20meq. Bila mungkin,
gunakan pemeriksaan gas darah (astruk) sebagai pedoman
e. Diuretik
Bila tekanan darah dan cvp telah membaik tetapi diuresis tetap ≤ 30
ml/jm, berikan manitol 20% 100ml/drip dalam waktu 1 jm :
- Bisa setelah itu diuresis >40ml/jm, pertahankan dengan dosis manitol
ulangan sampai mencapai dosis maksimul 100gr/24 jm
- Bila tetap <40ml/jm, berikan asametakrinat (edrecine) 50-100 mg iv : bila
diuresis membaik (>40ml/jm) pertahankan dengan kombinasi manitol dan
asametakrinat, bila tetap <40ml/jm dianggap telah terjadi payah ginjal
akut.

2.5 Syok Anafilaktik


2.5.1 Definisi

17
Syok anafilaktik merupakan suatu reaksi anafilaksis berat yang disertai
dengan insufisiensi sirkulasi. Anafilaksis merupakan kondisi alergi dimana
curah jantung dan tekanan arteri menurun dengan hebat.8
2.6.2 Etiologi
1. Makanan : kacang, telur, susu, ikan laut, buah.
2. Allergen immunotherapy
3. Gigitan atau sengatan serangga
4. Obat-obat : penicillin, sulpha, immunoglobin (IVIG), serum, NSAID
5. Latex
6. Vaksin
7. Exercise induce
8. Anafilaksis idiopatik: anafilaksis yang terjadi berulang tapa diketahui
penyebabnya meskipun sudah dilakukan evaluasi/observasi dan challenge
test, diduga karena kelainan pada sel mast yang menyebabkan
pengeluaran histamine.
2.5.3 Patofisiologi
Anafilaksis adalah reaksi sistemik yang disebabkan oleh antigen khusus
yang bereaksi dengan molekul IgE pada permukaan sel mast dan basofil yang
menyebabkan pengeluaran segera beberapa mediator yang kuat. Salah satu
efek utamanya adalah menyebabkan basofil dalam darah dan sel mast dalam
jaringan prekapiler melepaskan histamin atau bahan seperti histamin.
Histamin selanjutnya menyebabkan:
(1) Kenaikan kapasitas vaskular akibat dilatasi vena,
(2) Dilatasi arteriol yang mengakibatkan tekanan arteri menjadi sangat
menurun, dan
(3) Kenaikan luar biasa pada permeabilitas kapiler dengan hilangnya
cairan dan protein kedalam ruang jaringan secara cepat. Hasil akhirnya
merupakan suatu penurunan yang luar biasa pada aliran balik vena dan
seringkali menimbulkan syok serius sehingga pasien meninggal dalam
beberapa menit.
Mediator ini menyebabkan timbulnya gejala-gejala urtikaria, angioedema,
spasme bronkus, spasme laring, meningkatnya permeabilitas pembuluh darah,
vasodilatasi, dan nyeri/ kolik abdomen.

18
Jika seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak
lagi terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas. Antigen
yang bersangkutan terikat pada antibodi dipermukaan sel mast sehingga
terjadi degranulasi, pengeluaran histamin, dan zat vasoaktif lain. Keadaan ini
menyebabkan peningkatan permeabilitas dan dilatasi kapiler menyeluruh.
Terjadi hipovolemia relatif karena vasodilatasi yang mengakibatkan syok,
sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan edem. Pada syok
anafilaktik, bias terjadi bronkospasme yang menurunkan ventilasi. Mekanisme
anafilaksis melalui beberapa fase :
a. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E
sampai d2katnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan
basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau
saluran makan di tangkap oleh makrofag. Makrofag segera mempresen-
tasikan antigen tersebut pada Limfosit T, dimana akan mensekresikan
sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi
menjadisel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin
E (Ig E) spesifik untuk antigen tersebut. Ig E ini kemudian terikat pada
receptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
b. Fase Aktivasi, yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan
antigen yang sama. Mastosit dan Basofil melepaskan isinya yang berupa
granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan
lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi
akan d2kat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu
pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin
dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan
istilah preformed mediators. Ikatan antigen-antibodi merangsang
degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan
Leukotrien (LT) dan Prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu
setelah degranulasi yang disebut Newly formed mediators.

19
c. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas
farmakologik pada organ- organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mukus dan vasodilatasi. Serotonin
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan bradikinin menyebabkan
kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronchospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan
aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan
neutrofil. Prostaglandin yang dihasilkan menyebabkan bronchokonstriksi,
demikian juga dengan Leukotrien.

Gambar 2. Fase- fase Mekanisme Syok Anafilaktik

20
Gambar 3. Bagan Patogenesis Syok Anafilaktik
2.5.4 Manifestasi Klinis
Reaksi timbul dalam beberapa detik atau menit sesudah paparan allergen.
Gejala kardiovaskular :hipotensi/renjatan
Gejala saluran nafas :sekret hidung enter, hidung gatal, udema
hipopharing/laring, gejala asma.
Kulit : pruritus, erithema, urtikaria dan angioedema.
Gejala Intestinal :kolik abdomen, kadang-kadang disertai muntah
dan diare.

21
Gejala SSP :pusing, sincope, gangguan kesadaran sampai
koma.
2.5.5 Diagnosis
a. Anamnesis: mencari zat penyebab anafilaksis (injeksi, minum obat,
disengat hewan, makan sesuatu atau setelah test kulit ), timbul biduran
mendadak, gatal dikulit, suara parau sesak ,sukar nafas, lemas, pusing,
mual, muntah sakit perut setelah terpapar sesuatu.
b. Fisik diagnostik
 Keadaan umum : baik sampai buruk
 Kesadaran : Composmentis sampai Koma
 Tensi : Hipotensi,
 Nadi :Tachycardi,
 Kepala dan leher :cyanosis, dispneu, conjunctivitis, lacrimasi,
edema periorbita, perioral, rhinitis
 Thorax aritmia sampai arrest Pulmo Bronkospasme, stridor, rhonki
dan wheezing,Abdomen: Nyeri tekan, BU meningkat
 Ekstremitas : Urticaria, edema
d. Pemeriksaan Tambahan Hematologi: Pemeriksaan darah menunjukkan
jumlah sel darah putih yang banyak atau sedikit, dan jumlah faktor
pembekuan yang menurun. Jika terjadigagal ginjal, kadar hasil buangan
metabolik (seperti urea nitrogen) dalam darah akanmeningkat. Hitung sel
meningkat hemokonsentrasi, trombositopenia eosinophilia naik/normal /
turun. Biakan darah dibuat untuk menentukan bakteri penyebab infeksi.
e. Foto rontgen: Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mukus
plug.
f. EKG: Gangguan konduksi, atrial dan ventrikular disritmia atau
menunjukkanketidakteraturan irama jantung, menunjukkan suplai darah
yang tidak memadai ke otot jantung.
g. Analisa gas darah menunjukkan adanyaasidosis dan rendahnya
konsentrasi oksigen
2.5.6 Penatalaksanaan
Penanggulangan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab
penderita berada pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok

22
anafilaktik tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat emergensi dan alat bantu
resusitasi gawat darurat serta.
1. Resusitasi (A B C)
2. Adrenalin 1%: 0,01m1/kgBB diberikan intramuskular. Bila tidak ada
perbaikan, diulang10-15 menit kemudian (maksimal 3 kali).
3. Infus RL/NaCL 0,9% atau cairan kolloid 20 ml/kg/10 menit bila dengan
adrenalin belum menunjukkan perbaikan perfusi jaringan.
4. Bronkodilator pada penderita yang menunjukkan gejala seperti asma.
Aminophylline intravena atau α adrenergic bronkodilator (albuterol,
terbutalin) parenteral atau nebulizer.
5. Antihistamin :
 Diphenhydramine 2 mg/kg BB i.m atau i.v atau 5 mg/kgBB per oral.
 Chlortrimeton untuk gejala-gejala kulit seperti urtikaria, angioedema
pruritus.
6. Kortikosteroid : Hydrocortisone 6- 8 mg/kg BB/ 6-8 jamKortikosteroid
hanya diberikan pada renjatan refrakter, urtikaria persisten, atauangioedema
yang masih menetap setelah fase akut teratasi.

23
Gambar 4. Prinsip Penanganan Syok Anafilaktik

2.6 Syok Kardiogenik


2.6.1 Definisi dan Etiologi
Syok kardiogenik dapat didiagnosa dengan mengetahui adanya tanda-tanda
syok dan dijumpai adanya penyakit jantung, seperti infark miokard yang
luas,gangguan irama jantung, rasa nyeri daerah torak, atau adanya emboli
p a r u , tamponade jantung, kelainan katub atau sekat jantung.
2.6.2 Patogenesis
Patofisiologi yang mendasari syok kardiogenik adalah depresi kontraktilitas
miokard yang mengakibatkan lingkaran setan penurunan curah jantung, tekanan
darah rendah, insufisiensi koroner, dan selanjutnya terjadi penurunan
kontraktilitas dan curah jantung. Syok kardiogenik ditandai dengan gangguan
fungsi ventrikel kiri, yang mengakibatkan gangguan berat pada pefusi jaringan

24
dan penghantaran oksigen ke jaringan. Yang khas pada syok kardiogenik oleh
infark miokardium akut adalah hilangnya 40% atau lebih jaringan otot pada
ventrikel kiri. Selain dari kehilangan masif jaringan otot ventrikel kiri juga
ditemukan daerah-daerah nekrosis fokal diseluruh ventrikel. Nekrosis fokal
diduga merupakan kibat dari ketidak seimbangan yang terus-menerus antara
kebutuhan dan suplai oksigen miokardium. Pembuluh koroner yang
terserang juga tidak mampu meningkatkan alira darah secara memadai sebagai
respon terhadap peningkatan beban kerja dan kebutuhan oksigen jantung
olehaktivitas respon kompensatorik seperti perangsangan simpatik.
Sebagai akibat dari proses infark, kontraktilitas ventrikel kiri dan kinerjanya
menjadi sangat terganggu.Ventrikel kiri gagal bekerja sebagai pompa dan tidak
mampu menyediakancurah jantung yang memadai untuk mempertahankan
perfusi jaringan. M a k a dimulailah siklus berulang. Siklus dimulai
dengan terjadinya infark yang berlanjut dengan gangguan fungsi
miokardium. Gangguan fungsi miokardium yang berat akan menyebabkan
menurunnya curah jantung dan hipotensi arteria. Akibatnya terjadinya asidosis
metabolik dan menurunnya perfusi koroner, yang lebih lanjut mengganggu
fungsi ventrikel dan menyebabkan terjadinya aritmia.
2.6.3 Gejala Klinis
Syok kardiogenik ditandai dengan tekanan sistolik rendah (kurang
dari 90mmHg), d2kuti menurunnya aliran darah ke organ vital
1. Produksi urin kurang dari 20 ml/jam
2. Gangguan mental, gelisah, sopourus
3. Akral dingin
4. Aritmia yang serius, berkurangnya aliran darah koroner, meningkatnya
laktat kardial.
5. Meningkatnya adrenalin, glukosa, free fatty acid cortisol , rennin,
angiotensin plasma serta menurunnya kadar insulin plasma. Pada keadaan
lanjut akan d2kuti hipoksemia primer ataupun sekunder, terjadi karena

25
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, hipovolemia, dan asidosis
metabolic. Hipovolemia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
syok kardiogenik, disebabkan oleh meningkatnya redistribusi cairan dari
intravaskular ke interstitiel, stres akut, ataupun penggunaan diuretika.
Kriteria hemodiamik syok kardiogenik adalah hipotensi terus menerus
(tekanan darah sistolik < 90 mmHg lebih dari 90 menit) dan bekurangnya
cardiac index (<2,2/menit per m2) dan meningginya tekanan kapiler paru (>15
mmHg).
Diagnosis dapat juga ditegakkan sebagai berikut:
1. Tensi turun: sistolik < 90 mmHg atau menurun lebih dari 30-60
mmHg darisemula, sedangkan tekanan nadi < 30 mmHg.
2. Curah jantung, indeks jantung < 2,1 liter/menit/m2.
3. Tekanan di atrium kanan (tekanan vena sentral) biasanya tidak turun,
normal,rendah sampai meninggi.
4. Tekanan di atrium kiri (tekanan kapiler baji paru) rendah sampai
meninggi.
5. Resistensi sistemis.
6. Asidosis.
2.6.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang segera dilakukan :
1. Serum elektrolit, fungsi ginjal dan fungsi hepar.
2. Jumlah sel darah merah, leukosit (infeksi), trombosit (koagulopati)
3. Enzim Jantung (Creatinine Kinase, troponin, myoglobin, LDH)
4. Analisa gas darah arteri, dapat menggambarkan keseimbangan asam-
basa dan k a d a r o k s i g e n .
5. .Pemeriksaan serial kadar laktat, menggambarkan hipoperfusi dan
prognosis.
6. Pemeriksaan yang harus direncanakan adalah EKG, ekokardiografi. foto
polos dada.

26
2.6.5 Penatalaksanaan
Prehospital care: bertujuan untuk meminimalisir iskemik
d a n s y o k y a n g sedang terjadi. Pasien dipasang akses intravena,
oksigen h i g h f l o w, d a n m o n i t o r jantung/ EKG. Dengan EKG dapat
segera dideteksi terjadinya ST elevasi yang terjadi pada infark miokard.
Obat-obatan inortropik sebaiknya dipersiapkan. Bila perlu, dapat
dilakukan pemberian ventilasi tekanan positif dan intubasi. Pemasangan CPAP
(Continuous positive airway pressure) atau BIPAP (bilevel positive airway
pressure) dapat dipertimbangkan.
Berdasarkan penelitian yang terdahulu, terapi pilihan
u n t u k s y o k t i p e i n i adalah percutaneus coronary intervention (PCI)
atau bypass arteri koroner. Dengan t e r a p i i n i m a k a a n g k a k e m a t i a n
d a p a t t u r u n d a l a m 1 t a h u n p e r t a m a . P C I t e r b a i k dilakukan saat
onset dengan kejadian infark sekitar 90 menit sampai 12 jam pertama. Jika
fasilitas seperti ini tidak ada, maka terapi dengan trombolitik dapat
dipertimbangkan. Beberapa penelitian menunjukkan pemberian trombolitik
pada tekanan darah yang rendah tidak dapat mengakibatkan lisis thrombus di
pembuluh darah.
Tatalaksana dimulai dengan manajemen ABC. Pada pasien yang sangat
sesak dapat dipertimbangkan intubasi dan ventilasi mekanik. P e m b e r i a n
vasopresor intravena baik untuk meningkatkan inortropik dan
m e m a k s i m a l k a n p e r f u s i k e miokardium yang iskemik. Yang perlu
diperhatikan, pemberian vasopresor itu sendiri dapat berakibat peningkatan
denyut jantung yang pada akhirnya akan memperluas infark yang
telah terjadi. Sehingga penggunaan vasopresor disini harus digunakan
secara hati-hati. Beberapa vasopresor yang dapat diberikan seperti:
(Patrick,2003)
1. Dopamin, dengan dosis tinggi mengakibatkan peningkatan konsumsi
oksigen miokard, dosis yang digunakan 5-10 mcg/kg/min.

27
2. Dobutamin selain memiliki sifat inortropik tetapi juga memiliki
efek vasodilatasi sehingga dapat mengurangi preload dan afterload.
3. Norepinefrin per infus dapat diberikan pada syok kardiogenik yang
refrakter, obat ini dapat mengakibatkan peningkatan afterload, dosis yang
dapat digunakan 0.5 mcg/kg/min. Preparat nitrat atau morfin digunakan
untuk analgetik, tetapi perlu d2ngat bahwa keduanya dapat
mengakibatkan hipotensi sehingga jangan sampai memperparah keadaan
syok pasien dengan pemberian preparat ini. Alat yang dapat
membantu pasien dalam syok kardiogenik secara mekanis yakni
intraaortic balloon pump (IABP) bermanfaat terutama pada syok
kardiogenik yang sudah tidak dapat ditangani dengan obat-obatan.
Anti agregasi trombosit seperti aspirin tersedia dalam 81 mg, 325 mg,
500 mg, dapat menurunkan mortalitas akibat infark miokard.
Vasodilator yang juga dapatdigunakan adalah nitrogliserin IV
yang bekerja dengan merelaksasikan otot polos pembuluh darah
sehingga menurunkan resistensi perifer. (Patrick,2003)
2.6.6 Beberapa komplikasi syok kardiogenik:
-Henti jantung
-Disritmia
-Gagal ginjal
-Kegagalan multiorgan
-Aneurisma ventrikel
-Sekuele tromboembolik
-Stroke
-Kematian.
2.7 Syok Neurogenik
2.7.1 Definisi
Hampir sama dengan syok pada umumnya tetapi pada syok
neurogenik terdapat cedera pada sistem saraf (seperti: trauma kepala,

28
cideraspinal, atau anestesi umum yang dalam). Syok neurogenik disebut juga
syok spinal merupakan bentuk dari syok distributif.
2.7.2 Etiologi dan Patogenesis
Syok neurogenik terjadi akibat kegagalan pusat vasomotor karena hilangnya
tonus pembuluh darah secara mendadak di seluruh tubuh sehingga terjadi
hipotensi dan penimbunan darah pada pembuluh darah pada capacitance
vessels. Hasil dari perubahan resistensi pembuluh darah sistemik ini diakibatkan
oleh cidera pada sistem saraf (seperti : trauma kepala, cedera spinal atau
anestesi umum yangdalam). Syok neurogenik juga disebut sinkop. Syok
neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang mengakibatkan
terjadinya vasodilatasi menyeluruh di daerah splangnikus sehingga aliran darah
ke otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya disebabkan oleh suhu
lingkungan yang panas, terkejut, takut, atau nyeri hebat. Pasien merasa pusing
dan biasanya jatuh pingsan. Setelah pasien dibaringkan, umumnya keadaan
berubah menjadi baik kembali secara spontan. Trauma kepaa yang terisolasi
tidak akanmenyebabkan syok. Adanya syok pada trauma kepala harus dicari
penyebab yang lain. Trauma pada medulla spinalis akan menyebabkan hipotensi
akibat hilangnyatonus simpatis. Gambaran klasik dari syok neurogenik adalah
hipotensi tanpa takikardi atau vasokonstriksi perifer.
2.7.3 Gejala klinis
Pada pemeriksaan fisik terdapat tanda tekanan darah turun, nadi
tidak bertambah cepat, bahkan dapat lebih lambat (bradikardi) kadang disertai
dengan adanya defisit neurologis berupa quadriplegia atau paraplegia.
2.7.4 Diagnosis
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:
1. Darah (Hb, Ht, leukosit, golongan darah), kadar elektrolit, kadar ureum,
kreatinin, glukosa darah.
2. Analisa gas darah
3. EKG

29
2.7.5 Penatalaksanaan
Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian
vasoaktif seperti fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler
dengan penyempitan sfingter prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong
keluar darah yang berkumpul ditempat tersebut.9
1. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi
Trendelenburg).
2. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan
menggunakan masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi
yang berat, penggunaan endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat
dianjurkan. Langkah ini untuk menghindari pemasangan endotracheal
yang darurat jikaterjadi distres respirasi yang berulang. Ventilator
mekanik juga dapat menolong menstabilkan hemodinamik dengan
menurunkan penggunaan oksigen dari otot-otot respirasi.
3. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan
resusitasi cairan. Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat
sebaiknya diberikan per infus secara cepat 250-500 cc bolus dengan
pengawasan yang cermat terhadap tekanan darah, akral, turgor kulit, dan
urin output untuk menilairespon terhadap terapi
4. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih,
berikan obat-obatvasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang kontra
indikasi bila ada perdarahan seperti ruptur lien)
Dopamin Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit,
berefek serupa dengan norepinefrin. Jarang terjadi takikardi.· Norepinefrin
efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan darah.
Monitor terjadinya hipovolemi atau cardiac output yang rendah jika
norepinefrin gagal dalam menaikkan tekanan darah secara adekuat. Pada
pemberian subkutan,diserap tidak sempurna jadi sebaiknya diberikan per infus.
Obat ini merupakan obat yang terbaik karena pengaruh vasokonstriksi

30
perifernya lebih besar dari pengaruh terhadap jantung (palpitasi). Pemberian
obat ini dihentikan bila tekanan darah sudah normal kembali. Awasi pemberian
obat ini pada wanita hamil, karena dapat menimbulkan kontraksi otot-otot
uterus. Epinefrin pada pemberian subkutan atau im, diserap dengan sempurna
dan dimetabolisme cepat dalam badan. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat
dengan pengaruhnya terhadap jantung Sebelum pemberian obat ini harus
diperhatikan dulu bahwa pasien tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu
d2ngat obat yang dapat menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh diberikan
pada pasien syok neurogenik. Dobutamin Berguna jika tekanan darah rendah
yang diakibatkan oleh menurunnya cardiacoutput. Dobutamin dapat
menurunkan tekanan darah melalui vasodilatasi perifer.
2.8 Syok septik
2.8.1 Definisi
Syok septik adalah bentuk paling umum syok distributif dan disebabkan
oleh infeksi yang menyebar luas. Insiden syok septik dapat dikurangi dengan
mengendalikan infeksi, melakukan tehnik aseptik yang cermat, melakukan
debridement luka untuk membuang jaringan nekrotik, pemeliharaan dan
pembersihan peralatan secara tepat dan mencuci tangan secara menyeluruh.
2.8.2 Etiologi dan Patogenesis
Pada umumnya penyebab syok septik adalah infeksi kuman gram negatif
yang berada dalam darah/endotoksin. Jamur dan jenis bakteri juga dapat
menjadi penyebab septicemia. Syok septik sering d2kuti dengan
hipovolemia dan hipotensi. Hal ini dapat disebabkan karena penimbunan
cairan disirkulasi mikro, pembentukan pintasan arterio venus dan penurunan
tahanan vaskuler sistemik, kebocoran kapiler menyeluruh, depresi fungsi
miokardium. Beberapa faktor predisposisi syok septik adalah trauma, diabetes,
leukemia, granulositopenia berat, penyakit saluran kemih,terapi kortikosteroid
jangka panjang, imunosupresan atau radiasi. Syok septik sering terjadi pada
bayi baru lahir, usia di atas 50 tahun, dan penderita gangguan system kekebalan.

31
2.8.3 Diagnosis
Pada anamnesis sering didapatkan riwayat demam tinggi
yang berkepanjangan, sering berkeringat dan menggigil, menilai faktor resiko
menderita 23 penyakit menahun, mengkonsumsi antibiotik jangka panjang,
pernah mendapatkan tindakan medis/pemebedahan.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan demam tinggi, akral dingin,
tekanandarah turun < 80 mmHg dan disertai penurunan kesadaran.
Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah sel
darah putih yang banyak atau sedikit, dan jumlah faktor pembekuan yang
menurun. Jika terjadi gagal ginjal, kadar hasil buangan metabolik (seperti urea
nitrogen) dalam darah akan meningkat. Analisa gas darah menunjukkan adanya
asidosis dan rendahnya konsentrasi oksigen.Pemeriksaan EKG jantung
menunjukkan ketidakteraturan irama jantung, menunjukkan suplai darah yang
tidak memadai ke otot jantung. Biakan darah dibuat untuk menentukan bakteri
penyebab infeksi.
Disfungsi organ dapat diidentifikasi sebagai perubahan akut skor total SOFA
(Sequential (Sepsis-related) Organ Failure Assessment) ≥2 sebagai konsekuensi
dari adanya infeksi.2-5 Skor SOFA meliputi 6 fungsi organ, yaitu respirasi,
koagulasi, hepar, kardiovaskular, sistem saraf pusat, dan ginjal dipilih
berdasarkan telaah literatur, masing-masing memiliki nilai 0 (fungsi normal)
sampai 4 (sangat abnormal) yang memberikan kemungkinan nilai dari 0 sampai
24 (Tabel 2).2-5 Skoring SOFA tidak hanya dinilai pada satu saat saja, namun
dapat dinilai berkala dengan melihat peningkatan atau penurunan skornya. 2,3
Variabel parameter penilaian dikatakan ideal untuk menggambarkan disfungsi
atau kegagalan organ. 2-5
Perubahan skor SOFA memberikan nilai prediktif yang tinggi. 3,6-9 Pada studi
prospektif 352 pasien ICU, peningkatan skor SOFA 48 jam pertama perawatan
memberikan mortalitas paling sedikit 50%, sementara penurunan skor SOFA
memberikan mortalitas hanya 27%.2,10 Tujuan utama skoring kegagalan fungsi

32
organ adalah untuk menggambarkan urutan komplikasi, bukan untuk
memprediksi mortalitas. Meskipun demikian, ada hubungan antara kegagalan
fungsi organ dan kematian.
Menurut panduan Surviving Sepsis Campaign (SSC) 2017, identifikasi
sepsis segera tanpa menunggu hasil pemeriksaan darah dapat menggunakan
skoring qSOFA.6,7 Sistem skoring ini merupakan modifikasi Sequential (Sepsis-
related) Organ Failure Assessment (SOFA). qSOFA hanya terdapat tiga
komponen penilaian yang masing-masing bernilai satu (Tabel 3).2-5 Skor qSOFA
≥2 mengindikasikan terdapat disfungsi organ. Skor qSOFA direkomendasikan
untuk identifikasi pasien berisiko tinggi mengalami perburukan dan
memprediksi lama pasien dirawat baik di ICU atau non-ICU. 2,10 Pasien
diasumsikan berisiko tinggi mengalami perburukan jika terdapat dua atau lebih
dari 3 kriteria klinis. Untuk mendeteksi kecenderungan sepsis dapat dilakukan
uji qSOFA yang dilanjutkan dengan SOFA.

33
2.8.4 Penatalaksanaan
Prinsip utama semua s y o k t e t a p A B C . P e n g o b a t a n b e r u p a
r e s u s i t a s i c a i r a n s e g e r a d a n s e t e l a h k o n d i s i cairan terkoreksi, dapat
diberikan vasopressor untuk mencapai MAP optimal. Perfusi jaringan dan
oksigenasi sel tidak akan optimal kecuali bila ada perbaikan preload.
Dapat dipakai dopamin, norepinephrine dan vasopressin. Untuk
menurunkan suhu tubuh yang hiperpireksia dapat diberikan
antipiretik. Pengobatan lainnya bersifat simtomatik. Pengobatan kausal
dari sepsis. Pemilihan antibiotik untuk sepsis biasanya secara empiris dapat
digunakan :vankomisin, ceftazidim, cefepime, ticarcilin, pipercilin, imipenem,
meropenem, cefotaxim, klindamisin, metronidazol.

34
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Syok bukan merupakan suatu diagnosis, syok merupakan suatu
sindrom klinis yang mencakup sekelompok keadaan dengan manifestasi
hemodinamik yang bervariasi tetapi petunjuk yang umum adalah tidak
adekuatnya perfusi jaringan. Syok terdiri dari beberapa tahapan,
diantaranya tahapan kompensasi, tahapan dekompensasi, dan tahapan
irreversible. Berdasarkan etiologinya, syok terdiri dari, syok
hipovolemik, syok kardiogenik, dan syok distributif. Syok distributif
meliputi syok anafilaktik, syok neurogenik, dan syok sepsis.
Penanganan syok berbeda-beda sesuai dengan kelainan atau penyebab
syok tersebut. Adapun gejala dari syok adalah pucat (pallor ),hipotensi
(tekanan sistol < 90 mmHg), kadang- kadang tekanan darah tidak terdeteksi,
takikardi (frekuensi jantung > 100x/menit), takipneu (nafas cepat), berkeringat,
Akral dingin, dan Oliguria.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidayat, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC;


2005. 119-24.
2. Udeani J. Shock, Hemorrhagic. 2008 [cited November 26
Th 2011].http://emedicine.medscape.com/article/432650-overview
3. Krausz. Initial Resuscitation Of Hemorrhagic Shock. World Jurnal
of Emergency Surgery. 2006. 1-144.
4. Anderson SP, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit
jilid 1, edisi 4.1995. Jakarta: EGC.
5. Stern SA. Low-volume fluid resuscitation for presumed hemorrhagic
shock:Helpful or harmful Curr Opin Crit Care 7:422, 2001
6. Patrick D. At a Glance Medicine, Norththampon : Blackwell Science
Ltd,2003
7. Krausz. Initial Resuscitation Of Hemorrhagic Shock. World Jurnal
of Emergency Surgery. 2006. 1-141 6 .
8. Martel MJ. Hemorrhagic shock. J Obstet Gynaecol Can. Vol 24 (6). 2002.504-
11
9. Suryono B. Diagnosis dan pengelolaan syok pada dewasa. [Clinical
updatesemergency case]. FK UGM: RSUP dr. Sadjito, 2008

36

Anda mungkin juga menyukai