Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Koping
1. Pengertian Koping
Koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan
masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, respon terhadap situasi
yang mengancam. Upaya individu dapat berupa perubahan cara berfikir
(kognitif), perubahan perilaku atau perubahan lingkungan yang bertujuan
untuk meyelesaikan stres yang dihadapi. Koping yang efektif akan
menghasilkan adaptasi. Koping dapat diidentifikasi melalui respon,
manifestasi (tanda dan gejala) dan pertanyaan klien dalam wawancara
(Keliat, 1999). Koping adalah cara yang dilakukan individu, dalam
menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan keinginan yang akan
dicapai, dan respons terhadap situasi yang menjadi ancaman bagi diri
individu (Nurhaeni, 1998). Berdasarkan definisi di atas maka yang
dimaksud koping adalah cara yang digunakan individu dalam
menyelesaikan masalah, mengatasi perubahan yang terjadi dan situasi
yang mengancam baik secara kognitif maupun perilaku.
Koping dibagi menjadi dua bagian, yaitu memfokuskan pada
pemecahan masalah dan memfokuskan pada emosi.
Jenis-jenis koping yang memfokuskan pada masalah berupa :
a. Keaktifan diri, adalah suatu tindakan yang mencoba menghilangkan
atau mengelabuhi penyebab stres atau untuk memperbaiki akibat yang
ditimbulkan, dengan kata lain bertambahnya usaha seseorang untuk
melakukan koping, antara lain dengan bertindak langsung.
b. Perencanaan, adalah memikirkan tentang bagaimana mengatasi
penyebab stres, contohnya dengan membuat strategi untuk bertindak,
memikirkan tentang langkah apa yang perlu diambil dalam
menangani suatu masalah.

6
  7

c. Kontrol diri, adalah individu membatasi keterlibatannya dalam


aktivitas kompetensi atau persaingan dan tidak bertindak terburu-buru,
menunggu sehingga layak untuk melakukan suatu tindakan dengan
mencari alternative lain.
d. Mencari dukungan sosial, adalah mencari nasehat, pertolongan,
informasi, dukungan moral, empati, dan pengertian.
Sedangkan koping yang memfokuskan pada emosi, yaitu berupa :
a. Mengingkari, adalah suatu tindakan atau pengingkaran terhadap
suatu masalah.
b. Penerimaan diri, adalah suatu situasi yang penuh dengan tekanan
sehingga keadaan ini memaksanya untuk mengatasi masalah tersebut.
c. Religius, adalah sikap individu untuk menenangkan dan
menyelesaikan masalah-masalah secara keagamaan.

2. Aspek-Aspek Koping
Koping dapat dikaji melalui berbagai aspek, salah satunya adalah aspek
psikososial (Keliat, 1999) yaitu :
a. Reaksi Orientasi Tugas
Berorientasi terhadap tindakan untuk memenuhi tuntunan dan situasi
stres secara realistis, dapat berupa konstruktif atau destruktif. Misal :
1) Perilaku menyerang (agresif) biasanya untuk menghilangkan atau
mengatasi rintangan untuk memuaskan kebutuhan.
2) Perilaku menarik diri digunakan untuk menghilangkan sumber-
sumber ancaman baik secara fisik atau psikologis.
3) Perilaku kompromi digunakan untuk merubah cara melakukan,
merubah tujuan atau memuaskan aspek kebutuhan pribadi
seseorang.
b. Mekanisme Pertahanan Diri
Sering disebut sebagai mekanisme pertahanan mental. Adapun
mekanisme pertahanan diri adalah sebagai berikut (Mustikasari, 2006):
  8

1) Penyangkalan (denial)
Menyatakan ketidak setujuan terhadap realitas dengan
mengingkari realitas tersebut. Mekanisme pertahanan ini adalah
paling sederhana dan primitive.
2) Pemindahan (displecement)
Pengalihan emosi yang semula ditunjukkan pada
seseorang/benda lain yang biasanya netral atau lebih sedikit
mengancam dirinya.
3) Disosiasi
Pemisahan suatu kelompok proses mental atau perilaku dari
kesadaran atau identitas.
4) Identifikasi (Identification)
Proses dimana seseorang untuk menjadi seseorang yang ia
kagumi berupaya dengan mengambil/menirukan pikiran-pikiran,
perilaku dan selera orang tersebut.
5) Intelektualisasi (Intelectualization)
Penggunaan logika dan alasan yang berlebihan untuk
menghindari pengalaman yang mengganggu perasaannya.
6) Rasionalisasi
Mengemukakan penjelasan yang tampak logis dan dapat
diterima masyarakat untuk menghalalkan/membenarkan impuls,
perasaan, perilaku, dan motif yang tidak dapat diterima.
7) Sublimasi
Penerimaan suatu sasaran pengganti yang mulia artinya dimata
masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami halangan
dalam penyalurannya secara normal.
8) Supresi
Suatu proses yang digolongkan sebagai mekanisme pertahanan
tetapi sebetulnya merupakan analog represi yang didasari atau
pengesampingan yang disengaja tentang suatu bahan dari
  9

kesadaran seseorang, kadang-kadang dapat mengarah pada represi


yang berikutnya.
9) Represi
Pengesampingan secara tidak sadar tentang pikiran, impuls atau
ingatan yang meyakitkan atau bertentangan, dari kesadaran
seseorang, merupakan pertahan ego yang primer yang cenderung
diperkuat oleh mekanisme lain.

3. Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Koping Individu


Faktor-faktor yang mempengaruhi mekanisme koping individu antara lain
(Handayani, 2000):
a. Umur
Dalam penelitian Suprapto (2002) tentang koping pada kecemasan,
dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa umur usia muda
lebih mudah mengalami peningkatan stres dibandingkan dengan
umur usia dewasa. Lazarus (Suprapto, 2002) mengatakan bahwa
struktur psikologis individu yang komplek dan sumber koping yang
berubah sesuai dengan tingkat usianya akan menghasilkan reaksi
yang berbeda dalam menghadapi situasi yang menekan.
b. Jenis Kelamin
Pria dan wanita mempunyai koping yang berbeda dalam menghadapi
masalah. Perilaku koping wanita biasanya lebih ditekankan pada
usaha untuk mencari dukungan sosial dan lebih menekankan pada
relegius, sedangkan pria lebih menekankan pada tindakan langsung
untuk menyelesaikan pokok permasalahan.
c. Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan proses hasil belajar yang berlangsung di
suatu lembaga pendidikan atau instusi dengan berbagai jenjang.
Individu yang mempunyai pendidikan tinggi akan tinggi pula
perkembangan kognitifnya yaitu dengan adanya pengalaman-
  10

pengalaman bersama dan pengembangan cara-cara pemikiran baru


mengenai masalah umur atau kelompok diri sendiri yang dilakukan
dengan penelitian yang lebih realistis dan efektif. Hal ini dapat
meningkatkan ketrampilan koping individu sehingga mampu
menggunakan koping adaptif.
d. Status Sosial Ekonomi
Individu yang mempunyai status sosial ekonomi rendah lebih sering
mendapat akibat negatif dari stress sehingga mereka akrab dengan
kriminalitas, sakit mental, dan minum yang mengandung alkohol. Hal
ini terjadai karena kontrol atas hidupnya tidak begitu kuat, mereka
biasanya kurang pendidikan sehingga mereka kurang mampu untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan proses
perawatan di rumah sakit secara tepat.
e. Dukungan Sosial
Dengan adanya dukungan sosial atau pemberian bantuan kepada orang
tua pasien dari keluarga, teman dan masyarakat dapat menimbulkan
perasaan diperhatikan, disenangi dan dihargai sehingga dapat merubah
mekanisme koping individu. Bentuk dukungan sosial antara lain:
dukungan emosional, dukungan instrumen (finansial), dukungan
informasi, dukungan penilaian berupa komunikasi yang relevan untuk
evaluasi diri.

4. Mekanisme Koping
a. Pengertian Mekanisme Koping
Koping didefinisikan sebagai strategi untuk memanajemen
tingkah laku kepada pemecahan masalah yang paling sederhana dan
realistis, berfungsi untuk membebaskan diri dari masalah yang nyata
maupun tidak nyata, dan koping merupakan semua usaha secara
kognitif dan perilaku untuk mengatasi, mengurangi, dan tahan terhadap
tuntutan-tuntutan Lazarus, 1984 dalam Safaria, Triantoro, 2009.
Koping adalah proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan
  11

situasi stresfull (Rasmun, 2004). Strategi koping menunjuk pada


berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai,
mentoleransi, mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi atau
kejadian yang penuh tekanan.
Strategi koping merupakan suatu proses dimana individu
berusaha untuk menanggani dan menguasai situasi stres yang menekan
akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan
perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman
dalam dirinya (Mu’tadin, 2002).
Proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan situasi
stres. Koping tersebut merupakan respon individu terhadap situasi
yang mengancam dirinya baik fisik maupun psikologik (Rasmun,
2004). Secara alamiah baik disadari ataupun tidak, individu
sesungguhnya telah menggunakan strategi koping dalam menghadapi
stress. Strategi koping adalah cara yang dilakukan untuk merubah
lingkungan atau situasi atau menyelesaikan masalah yang sedang
dirasakan atau dihadapi. Koping diartikan sebagai usaha perubahan
kognitif dan prilaku secara konstan untuk menyelesaikan stress yang
dihadapi.
Koping yang efektif menghasilkan adaptasi yang menetap yang
merupakan kebiasaan baru dan perbaikan dari situasi yang lama,
sedangkan koping yang tidak efektif berakhir dengan maladaptif yaitu
prilaku yang menyimpang dari keinginan normatif dan dapat
merugikan diri sendiri maupun orang lain dan lingkungan. Setiap
individu dalam melakukan koping tidak sendiri dan tidak hanya
menggunakan satu strategi tetapi dapat melakukannya bervariasi, hal
ini tergantung dari kemampuan dan kondisi individu (Rasmun, 2004).
Menurut Suryani & Widyasih (2008) secara garis besar
mekanisme koping terdiri dari mekanisme koping adaptif dan
maladaptif:
  12

1) Mekanisme koping adaptif


Penggunaan koping yang adaptif membantu individu dalam
beradaptasi untuk menghadapi keseimbangan. Adaptasi individu
yang baik muncul reaksi untuk menyelesaikan masalah dengan
melibatkan proses kognitif, efektif dan psikomotor (bicara dengan
orang lain untuk mencari jalan keluar suatu masalah, membuat
berbagai tindakan dalam menangani situasi dan belajar dari
pengalaman masa lalu). Kegunaan koping adaptif membuat
individu akan mencapai keadaan yang seimbang antara tingkat
fungsi dalam memelihara dan memperkuat kesehatan fisik dan
psikologi. Kompromi merupakan tindakan adaptif yang dilakukan
oleh individu untuk menyelesaikan masalah, lazimnya kompromi
dilakukan dengan cara bermusyawarah atau negosiasi untuk
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi, secara umum
kompromi dapat mengurangi ketegangan dan masalah dapat
diselesaikan. Mekanisme koping adaptif yang lain adalah berbicara
dengan orang lain tentang masalah yang sedang dihadapi, mencoba
mencari informasi lebih banyak tentang masalah yang sedang
dihadapi, berdoa, melakukan latihan fisik untuk mengurangi
ketegangan masalah, membuat berbagai alternatif tindakan untuk
mengurangi situasi, dan merasa yakin bahwa semua akan kembali
stabil, mengambil pelajaran dari peristiwa atau pengalaman masa
lalu.
2) Mekanisme koping maladaptif
Penggunaan koping yang maladaptif dapat menimbulkan respon
negatif dengan munculnya reaksi mekanisme pertahanan tubuh dan
respon verbal. Perilaku mekanisme koping maladaptif antara lain
perilaku agresi dan menarik diri. Perilaku agresi dimana individu
menyerang obyek, apabila dengan ini individu mendapat
kepuasan, maka individu akan menggunakan agresi. Perilaku agresi
(menyerang) terhadap sasaran atau obyek dapat merupakan benda,
  13

barang atau orang atau bahkan terhadap dirinya sendiri. Adapun


perilaku menarik diri dimana perilaku yang menunjukan
pengasingan diri dari lingkungan dan orang lain, jadi secara fisik
dan psikologis individu secara sadar pergi meninggalkan
lingkungan yang menjadi sumber stressor misalnya: individu
melarikan diri dari sumber stress. Sedangkan reaksi psikologis
individu menampilkan diri seperti apatis, pendiam dan munculnya
perasaan tidak berminat yang menetap pada individu. Perilaku
yang dapat dilakukan adalah menggunakan alkohol atau obat-
obatan, melamun dan fantasi, banyak tidur, menangis, beralih pada
aktifitas lain agar dapat melupakan masalah.

5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Strategi Koping


Menurut Keliat (2006), disebutkan mekanisme koping dapat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, konsep diri, rasa aman nyaman,
pengalaman masa lalu dan tingkat pengetahuan seseorang.
Faktor yang mempengaruhi strategi koping individu meliputi usia,
jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan, kesehatan
fisik/energi, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial dan
dukungan sosial dan materi (Suwitra, 2007).
a. Usia
Usia berhubungan dengan toleransi seseorang terhadap stres dan jenis
stresor yang paling mengganggu. Usia dewasa lebih mampu
mengontrol stress dibanding dengan usia anak-anak dan usia lanjut
(Siswanto, 2007). Indonesiannursing (2008) memaparkan usia
berpengaruh terhadap cara pandang seseorang dalam kehidupan,
masa depan dan pengambilan keputusan.
b. Jenis kelamin
Wanita biasanya mempunyai daya tahan yang lebih baik terhadap
stressor dibanding dengan pria, secara biologis kelenturan tubuh
wanita akan mentoleransi terhadap stres menjadi baik dibanding pria
  14

(Siswanto, 2007). Jenis kelamin sangat mempengaruhi dalam berespon


terhadap penyakit, stres, serta penggunaan koping dalam menghadapi
masalah.
c. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan mempengaruhi seseorang mudah terkena stres atau
tidak. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka toleransi dan
pengontrolan terhadap stressor lebih baik (Siswanto, 2007). Pendidikan
dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan
pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta
dalam pembangunan kesehatan. Makin tinggi tingkat pendidikan
seseorang, makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak
pula pengetahuan yang dimiliki.
d. Status Perkawinan
Yosep (2007) menjelaskan salah satu penyebab stress psikososial yaitu
status perkawinan dimana berbagai permasalahan perkawinan
merupakan sumber stres yang dialami seseorang, misalnya
pertengkaran, perpisahan, perceraian, kematian pasangan, dan lain
sebagainya. Stressor ini dapat menyebabkan seseorang jatuh dalam
depresi dan kecemasan.
e. Kesehatan Fisik
Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha
mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang
cukup besar.
f. Keyakinan atau Pandangan Positif
Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting,
seperti keyakinan akan nasib (eksternal locus of control) yang
mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness)
yang akan menurunkan kemampuan strategi coping tipe : problem-
solving focused coping.
g. Keterampilan Memecahkan Masalah
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi,
  15

menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk


menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan
alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan
pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu
tindakan yang tepat.
h. Keterampilan Sosial
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan
bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial
yang berlaku dimasyarakat.
i. Dukungan Sosial
Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan
emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota
keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya.
j. Materi
Dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang barang atau
layanan yang biasanya dapat dibeli.

B. Orang Tua
1. Pengertian Orang Tua
Orang tua didalam kehidupan keluarga mempunyai posisi sebagai
kepala keluarga atau pemimpin rumah tangga, orang tua sebagai
pembentuk pribadi pertama dalam kehidupan anak, kepribadian orang tua,
sikap dan cara hidup mereka merupakan unsur-unsur pendidikan yang
tidak langsung, yang dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak
yang sedang tumbuh.
Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan
ibu dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang
dapat membentuk sebuah keluarga (Habibi, 2008). Ayah dan Ibu
ditambah dengan anak akan membentuk sebuah unit terkecil dalam
masyarakat yang disebut dengan keluarga (Soetjiningsih, 1995).
  16

2. Peran Orang Tua


Peran orang tua dalam keluarga yang ideal maka ada 2 individu
yang memainkan peranan penting yaitu peran ayah dan ibu, secara
umum peran kedua individu tersebut adalah :
a. Peranan ibu adalah :
1) Memenuhi kebutuhan biologis dan fisik.
2) Merawat dan mengurus keluarga dengan sabar, penuh kasih
sayang dan konsisten.
3) Mendidik, mengatur dan mengendalikan anak.
4) Menjadi contoh yang teladan bagi anak.
b. Peran ayah adalah :
1) Ayah sebagai pencari nafkah.
2) Ayah sebagai suami yang penuh pengertian dan pemberi rasa
aman.
3) Ayah berpartisipasi dalam pendidikan anak.
4) Ayah sebagai pelindungan atau tokoh yang tegas, bijaksana dan
mengasihi.

C. Hospitalisasi
1. Pengertian
Hospitalisasi adalah suatu proses karena suatu alasan darurat atau
berencana yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit
menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah
(Dachi, 2006).
Hospitalisasi merupakan bentuk stressor individu yang berlangsung
selama individu tersebut dirawat di rumah sakit. Hospitalisasi merupakan
pengalaman yang mengancam bagi individu karena stressor yang
dihadapi dapat menimbulkan perasaan tidak aman (Muhaj, 2009).
Pemahaman anak tentang hospitalisasi akan tergantung dari usia
anak. Jika anak yang dirawat di rumah sakit mempunyai kakak atau adik,
orang tua harus menjelaskan apa yang akan terjadi pada saudaranya.
  17

Hospitalisasi berpengaruh pada seluruh keluarga sehingga saudara


kandung dapat dipersiapkan untuk berpartisipasi dalam perawatan anak
yang sakit (Yale-New Haven Children’s Hospital, 2007).

2. Reaksi Hospitalisasi
Reaksi anak terhadap sakit dan hospitalisasi dipengaruhi oleh tingkat
perkembangan usia, pengalaman sebelumnya, support system dalam
keluarga, keterampilan koping, dan berat ringannya penyakit (Alawi,
2006).
Anak-anak mempunyai reaksi dalam menghadapi hospitalisasi
dimulai saat sebelum masuk rumah sakit, selama hospitalisasi, dan
setelah pulang dari rumah sakit. Perubahan perilaku temporer dapat
terjadi selama anak dirawat di rumah sakit sampai pulang dari rumah
sakit. Perubahan ini disebabkan oleh perpisahan dari orang-orang
terdekat, hilangnya kesempatan untuk membentuk hubungan baru, dan
lingkungan yang asing (Wong, 2007).
Menurut Dachi (2006), reaksi anak terhadap hospitalisasi sesuai
dengan tahap usianya adalah:
a. Masa bayi (0-1 tahun)
Usia anak lebih dari 6 bulan terjadi stanger anxiety, dengan
menunjukkan reaksi seperti menangis keras, pergerakan tubuh yang
banyak, dan ekspresi wajah yang tidak menyenangkan.
b. Masa toddler (1-3 tahun)
Sunber utama adalah cemas akibat perpisahan. Respon perilaku anak
terhadap perpisahan dengan tahap sebagai berikut:
1) Tahap protes menangis, menjerit, menolak perhatian orang lain.
2) Menangis berkurang, anak tidak aktif, kurang menunjukkan
minat bermain, sedih, apatis.
3) Pengingkaran/denial
4) Mulai menerima perpisahan
5) Membina hubungan secara dangkal
  18

6) Anak mulai menyukai lingkungannya.


c. Masa prasekolah (3-5 tahun)
Anak prasekolah seringkali mempersepsikan sakit sebagai hukuman,
sehingga menimbulkan reaksi agresif seperti menolak makan, sering
bertanya, menangis perlahan, tidak kooperatif terhadap petugas
kesehatan.
d. Masa sekolah (6-12 tahun)
Perawatan di rumah sakit memaksa anak meninggalkan lingkungan
yang dicintai, meninggalkan keluarga, dan kehilangan kelompok
sosial sehingga menimbulkan kecemasan.
e. Masa remaja (12-18 tahun)
Anak remaja sangat terpengaruh oleh lingkungan sebayanya. Reaksi
yang muncul seperti menolak perawatan atau tindakan yang
dilakukan, tidak kooperatif dengan petugas, bertanya-tanya, menarik
diri, menolak kehadiran orang lain.

3. Reaksi Hospitalisasi Pada Anak Prasekolah


Anak prasekolah mempersepsikan sakit sebagai suatu hukuman
untuk perilaku buruk, hal ini terjadi karena anak masih mempunyai
keterbatasan tentang dunia sekitar mereka. Anak mempunyai kesulitan
dalam pemahaman mengapa mereka sakit, tidak bisa bermain dengan
temannya, mengapa mereka terluka dan nyeri sehingga membuat mereka
harus pergi ke rumah sakit dan harus mengalami hospitalisasi. Reaksi
anak terhadap hukuman yang diterimanya dapat bersifat passive,
cooperative, membantu, anak mencoba menghindar dari orang tua, dan
anak menjadi marah (Alawi, 2008).
Anak prasekolah mengalami hospitalisasi dengan bermacam-macam
sebab, seperti cedera, penyakit infeksi, pembedahan, dan penyakit kronik.
Anak prasekolah sesuai dengan tahap perkembangannya sudah
mempunyai sifat bertanya-tanya tentang suatu hal, kemampuan bahasa
yang cukup baik, dan menikmati awal kemandirian mereka, tetapi anak
  19

prasekolah juga membutuhkan kehadiran dan dukungan orang tua


dalam hidup mereka (Potts, 2007).
Pengalaman hospitalisasi lebih mudah diterima oleh anak-anak
prasekolah yang sudah mempunyai kontak dengan lingkungan luar
(playgroup dan taman kanak-kanak) daripada anak-anak prasekolah yang
tidak pernah terpisah dari orang tuanya. Anak pada usia ini sudah dapat
berpikir konkrit, mereka dapat lebih memahami dan mereka dapat
dipersiapkan untuk hospitalisasi. Penjelasan tentang prosedur yang
dilakukan harus diberikan secara realistik, karena anak prasekolah tidak
dapat memahami penjelasan secara abstrak. Mereka menyadari bahwa
hospitalisasi bukan merupakan hukuman untuk sesuatu yang salah mereka
lakukan ( Leifer, 2003).
Bentuk ketakutan pada anak prasekolah saat hospitalisasi ada dua hal
yaitu takut pada ketidaktahuan dan takut pada keadaan ditinggalkan oleh
orang tua. Kelompok usia ini lebih memerlukan persiapan untuk
hospitalisasi daripada kelompok usia lain. Hospitalisasi harus disiapkan
dengan baik untuk mengurangi dua ketakutan utama yang telah
disebutkan.
Anak-anak prasekolah mempunyai imajinasi pada titik tertingginya,
“bermain dokter-dokteran” merupakan cara yang efektif untuk
mempersiapkan anak prasekolah untuk memulai pengalaman baru di
rumah sakit. Anak-anak prasekolah dapat ikut membereskan baju-baju
yang akan dibawa ke rumah sakit karena anak akan merasa seperti
di rumah dengan baju yang biasa dia pakai di rumah.
Anak-anak prasekolah sangat dipengaruhi perpisahan pada saat
hospitalisasi. Mereka mengekspresikan perasaan mereka dengan
menangis kencang dan lebih lama dari bayi. Anak prasekolah menangis
memanggil ibunya berulang kali. Anak mungkin menghisap jempolnya,
memukul kepalanya ke tempat tidur, memeluk selimutnya, atau
masturbasi untuk mendapatkan kenyamanan dari rasa kehilangan. Ibu
menjadi cemas karena anak mereka selalu menangis setiap mereka
  20

berkunjung. Anak menangis saat melihat ibunya karena dengan melihat


ibu mengingatkan anak akan kerinduan mereka pada ibunya. Orang tua
merasa khawatir dengan tangisan yang menyambut mereka setiap mereka
berkunjung, padahal tangisan itu menunjukkan emosi anak mereka masih
sangat aktif dan menunjukkan anak tersebut merasa cemas.

4. Dampak Hospitalisasi
Sakit dan hospitalisasi sering menjadi krisis pertama pada anak-anak
yang harus dihadapi. Konsep anak-anak terhadap sakit bahkan lebih
penting daripada usia dan intelektual untuk memprediksi tingkat
adjustment sebelum hospitalisasi. Hal tersebut mungkin atau mungkin
tidak dipengaruhi oleh lamanya kondisi penyakit atau hospitalisasi
(Wong, 2003).
Dampak hospitalisasi yang dialami bagi anak dan keluarga akan
menimbulka stress dan tidak merasa aman. Jumlah dan efek stress
tergantung pada persepsi anak dan keluarga terhadap kerusakan penyakit
dan pengobatan. Selama proses tersebut, bukan saja anak tetapi orang tua
juga mengalami kebiasaan yang asing, lingkungan yang asing, orang tua
yang kurang mendapat dukungan emosi akan menunjukkan rasa cemas.
Rasa cemas pada orang tua membuat stress anak meningkat (Dachi,
2006).
Hospitalisasi merupakan kondisi yang stressful bagi anak, tetapi
dapat juga memberi manfaat. Manfaat yang paling terlihat adalah proses
penyembuhan anak dari sakit dan hospitalisasi juga akan memberikan
kesempatan pada anak untuk mengendalikan stress dan mampu untuk
menggunakan kemampuan koping mereka. Lingkungan rumah sakit
membuat anak mempunyai pengalaman sosial baru yang dapat
memperluas hubungan interpersonal mereka (Wong, 2007).
Hospitalisasi menyebabkan kecemasan dan stress pada semua usia.
Ketakutan pada hal-hal yang tidak diketahui selalu menjadi ancaman bagi
anak. Anak-anak masih terlalu muda untuk untuk memahami apa yang
  21

sedang terjadi atau takut bertanya pada perawat atau dokter. Lama rawat
yang singkat di rumah sakit lebih sering muncul ketakutan dibandingkan
dengan hospitalisasi yang panjang (Klossner, 2006).
Perawatan di rumah sakit merupakan saat yang menakutkan bagi
anak dan keluarganya. Hal yang paling dikhawatirkan oleh anak-anak
adalah mereka merasa akan disakiti dan asing dengan tenaga kesehatan
yang ada di rumah sakit. Perawatan di rumah sakit akan menjadi lebih
mudah bagi anak dan keluarganya dengan beberapa persiapan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hospitalisasi pada anak adalah
berpisah dengan orang tua dan saudara kandung, fantasi-fantasi dan
unrealistic anxietas, gangguan kontak sosial jika pengunjung tidak
diizinkan menjenguk, nyeri dan komplikasi akibat pembedahan atau
penyakit, prosedur yang menyakitkan, takut akan cacat dan kematian
(Alawi, 2008).
Faktor-faktor yang mempengaruhi hospitalisasi pada anak adalah
berpisah dengan orang tua dan saudara kandung, fantasi-fantasi dan
unrealistic anxietas, gangguan kontak sosial jika pengunjung tidak
diizinkan menjenguk, nyeri dan komplikasi akibat pembedahan atau
penyakit, prosedur yang menyakitkan, takut akan cacat dan kematian
(Alawi, 2008).
  22

D. Kerangka Teori

Aspek-aspek Koping :

A. Reaksi orientasi tugas


Faktor-faktor yang
• Perilaku menyerang mempengaruhi mekanisme
koping :
• Perilaku menarik diri
• Umur Mekanisme koping
• Perilaku kompromi
• Jenis kelamin
B. Mekanisme pertahanan diri
• Tingkat pendidikan
• Penyangkalan

• Pemindahan

• Disosiasi

Adaptif Maladaptif

Gambar 2.1
Kerangka Teori

E. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah mekanisme koping orang tua dalam
menghadapi anak yang pertama kali dirawat di RSJD Dr.Amino
Gondhohutomo Semarang.
 

Anda mungkin juga menyukai