Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk mensucikan jiwa sesuci
mungkin dalam berusaha mendekatkan diri kepada Allah sehinnga kehadiran-Nya senantiasa
dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Ibn Al-Khaldun pernah menyatakan bahwa tassawuf
para sahabat bukanlah pola ketasawufan yang menghendaki kasfy al-hijab (penyingkapan
tabir antara tuhan dengan mahluk) atau hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para sufi di masa
belakangan. Corak sufisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba’ dan iqtida’ (kesetiaan
meneladani) perilaku hidup Nabi Muhammad SAW. Islam sekalipun mengajarkan tentang
ketaqwaan, qana’ah, keutamaan akhlaq dan juga keadilan, tetapi sama sekali tidak pernah
mengajarkan hidup keharibaan, pertapaan atau uzlah sebagaimana akrab dalam tradisi
mistisisme agama-agama lainya. Abdul Qadir Mahmud menyatakan bahwa pola hidup sufistk
yang diteladankan oleh sirah hidup nabi dan para sahabat-Nya masih dalam kerangka zuhud.
Kata Ahmad Sirhindi, tujuan tassawuf bukanlah untuk mendapatkan pengetahuan intuitif,
melainkan untuk menjadi hamba Allah yang bertaqwa.
Melalui studi tassawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan
pembersihan jiwa serta mengamalkanya dengan benar. Dari pengetahuan ini diharapkan
seseorang akan menampakkan diri sebagai orang yang mampu mengendalikan jiwanya pada
saat berinteraksi dengan orang lain, atau pada saat melakukan aktivitas dunia yang menuntut
kejujuran, keikhlasan, tanggung jawab, kepercayaan dan sebagainya. Dari suasana yang
demikian itu, tassawuf diharapkan dapat mengatasi berbagai penyimpangan moral yang
mengambil bentuk seperti manipulasi, korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan dan
kesempatan, penindasan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tasawuf ?
2. Apa tujuan tasawuf ?
3. Bagaimanakah sejarah pertumbuhan dan perkembangan tasawuf ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengartian Tasawuf
Istilah tasawuf berasal dari bahasa Arab dari kata “tashawwafa-yatshawwafu-
tashawufan” mengandung makna (menjadi) berbulu yang banyak, yakni menjadi seorang sufi
atau menyerupainya dengan ciri khas pakaianya menggunakkan wol. Menurut sebagian
pendapat menyatakan bahwa para sufi diberi nama sufi karena kesucian (shafa) hati mereka
dan kebersihan tindakan mereka. Di sisi yang lain menyebutkan bahwa seseorang disebut sufi
karena mereka berada dibaris terdepan (shaff) di hadapan Allah, melalui pengangkatan
keinginan mereka kepada-Nya. Bahkan ada juga yang mengambil dari istilah ash-hab al-
shuffah, yaitu para sahabat Nabi SAW yang tinggal dikamar atau serambi-serambi masjid
(mereka meninggalkan dunia dan rumah mereka untuk berkonsentrasi beribadah dan dekat
dengan Rasullah SAW).
Pada intinya tasawuf merupakkan suatu usaha dan upaya dalam rangka mensucikkan
jiwa (tazkiyyatunnafs) dengan cara menjauhkan dari pengaruh kehidupan dunia yang
menyebabkan lalai dari Allah SWT untuk kemudian memusatkan perhatianya hanya
ditujukkan kepada Allah SWT. Menurut Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi bahwa tasawuf
adalah ilmu yang menerangkan tentang keadaan-keadaan jiwa (nafs) yang denganya
diketahui hal-ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkanya dari (sifat-sifat)
yang buruk dan mengisinya dengan (sifat-sifat) yang terpuji.
Beberapa penulis mengira bahwa ada hubungan antara tasawuf dengan zuhud. Oleh
karenanya, setiap orang yang diketahui hidup zuhud dan mengonsentrasikan diri kepada
Allah di nisbatkan kepada Allah, seperti Fudhayl ‘Iyadh, Abdullah bin Mubarak, Ibrahim bin
Adam, dan ahli-ahli zuhud lainya seperti mereka.
Pada kenyataanya, ada pendapat lain yang membedakan antara zuhud dan tasawuf.
Zuhud di dunia adalah sebuah keutamaan dan amalan yang disyariatkan dan disunnahkan,
serta merupakkan akhlak para nabi, wali, dan hamba-hamba yang shalih yang mnegutamakan
apa yang disisi Allah di atas kenikmatan duniawi dan keterlenaan pada yang mubah. 1

1
Kiai asrori RA mendefinisikan zuhud dengan menjaga dan menegasikan semual hal yang menghalangi dari
Allah. Definisi ini berangkat dari hadits Rasullah yang memerintahkan agar umatnya mengosongkan hatinya
dari keprihatinan kepada dunia, sebab siapapun yang perhatianya terhadap urusan dunia lebih besar dari peda
perhatianya urusan dunia lebih besar dari pada perhatianya terhadap urusan akhirat, maka ia akan selalu
dihantui ketakutan akan kemiskinan. Oleh karena itu zuhud harus disertai keyakinan dan kemantapan hati
bahwa segala sesuatu yng berasal dari Allah itu lebih bisa diandalkan, lebih baik dan lebih abadi dibandingkan
dengan janji manusia. Lihat Rosidi, Jurnal Konsep Maqamat Dalam Tradisi Sufistik K.H. Ahma Asrori Al-Ishaqy.
Sedangkan tasawuf adalah konsep yang berbeda, karena jika seorang sufi mantap dalam
kesufianya, maka zuhud baginya adalah sesuatu yang tidak bermakna. Ia terkadang
membutuhkan zuhud pada permulaan tarikat sufistik yang pada akhirnya ia harus mencela
apa yang dibebankan padanya.
Dengan demikian tasawuf atau sufisme adalah suatu istilah yang lazim dipergunakkan
untuk mistisisme dalam islam dengan tujuan pokok memperoleh hubungan langsung dengan
Tuhan. Dalam hal ini pokok-pokok ajaranya tersirat dari Nabi Muhammad SAW yang
didiskusikan dengan para sahabat-Nya tentang apa-apa yang diperolehnya dari malaikat jibril
berkenaan dengan pokok-pokok ajaran islam yakni iman, islam, dan ihsan.2 Ketiga sendi ini
diimplementasikan dalam pelaksanaan tasawuf.3
B. Tujuan Tasawuf
Para sufi menekuni tasawuf dengan tujuan membersihkan jiwa dan hati agar
mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah). Tujuan ini bisa dilihat dari perkataan
para sufi awal tentang hakikat dan tujuan tasawuf. Husain ibn ‘Ali berkata “tasawuf adalah
kebaikan budi pekerti. Ia yang memiliki budi pekerti yang lebih baik adalah sufi”. 4 Al-Syibli
berkata bahwa “tasawuf adalah syirik, karena ia menjaga hati dari pandangan terhadap yang
lain dan yang lain tidaklah ada. Al-Syibli berkata juga “tasawuf adalah duduk bersama Allah
tanpa merasa sedih sedikitpun. Ahmad Al-Jariri berkata bahwa “ tasawuf adalah memasuki
dalam semua akhlak nabi dan keluar dari semua akhlak yang tidak terpuji.” Ahmad An-Nuri
berkata “tasawuf adalah akhlak, maka barang siapa yang bertambah akhlaknya, maka akan
bertambah mantap tasawufnya.” Ahmad ibn Muhammad al-ruzabi berkata bahwa “ tasawauf
adalah menetap di pintu kekasih (Allah), walaupun ia terusir (karena dosanya), dan
kebersihan hati yang dekat dengan Allah yakni setelah jauh dari Allah karena kotoran dosa”.
Dzu Nun al-Mishri berkata “para sufi adalah orang-orang yang mengutamakan Allah
daripada lainya, sehingga Allah lebih mengutamakan mereka daripada lainya”.5 Al-Junaid
berkata “ tasawuf adalah memurnikan hati dari berhubungan dengan makhluk lain,
meninggalkan sifat-sifat alamiah, menekan sifat-sifat manusiawi, menghindari godaan
jasmani, mengambil pelbagi sifat ruh, mengikatkan diri kepada ilmu-ilmu hakikat,

2
Tiga segi ajaran ini sesuai dengan petunjuk hadits riwayat Bukhari dan Muslim, untuk mengetahui iman atau
rukun iman pelajarilah Ushuluddin, untuk mengetahui islam atau rukun islam pelajarilah Ilmu Fiqh, dan untuk
mengetahui ihsan pelajarilah Ilmu Tasawuf. Lihat K. Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Rineka Cipta,
2004), cet. II, hlm. 4.
3
Dr. H. Badrudin, M.Ag, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Serang: Puri Kartika Banjasari, 2015), cet I, hlm I.
4
Al-Hujwiri, The Kashf al-Mahjub, terj. R.A. Nicholson (New Delhi: Adam Publishers and Distribusor, 2006),
hlm. 38-39.
5
Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyyah: sumber kajian Ilmu Tasawuf, terj. Umar Faruq (Jakarta Pustaka Amani,
1998), hlm. 417-425.
mengumpulkan segala sesuatu untuk masa yang kekal, sungguh-sungguh beriman kepada
Allah dan mengikuti syariat Nabi Muhamad SAW”. Sahl Abdullah al-Tustari berkata bahwa
“ para sufi adalah orang yang bersih dari ketidakmurnian dan selalu merenung, memutuskan
hubungan dengan manusia lain demi mendekatkan diri kepada Allah”. Abu Yazid al-Bustomi
berkata “ para sufi adalah anak-anak yang duduk di pangkuan Tuhan”.6 Ibn Sina berkata
bahwa “ tasawuf adalah memisahkan diri dari semua kesibukan kepada selain Allah SWT,
dari dimensi asma’, sifat dan tajalli-Nya, dan ilmu tentang usaha melepaskan diri dari segala
keterikatan meateri yang membelenggu seorang salik saat menyatu dengan Allah SWT, dan
ilmu tentang berperilaku sesuai dengan sifat-sifat-Nya”.7
Berdasarkan pernyataan para sufi ini, para sarjana merumusukan tujuan seorang sufi
dalam menekuni tasawuf. Menurut Harun Nasution, tujuan tasawuf adalah memperoleh
hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadar benar bahwa seorang yang
berada di hadirat Tuhan. Karena itu, intisari dari tasawuf adalah kesadran akan adanya
komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri
(khalwat) dan berkontemplasi. Lalu, kesadaran ini mengambil bentuk rasa dekat sekali
dengan-Nya.8 Mendukung Harun, Mulyadhi Kertanegara menyatakan bahwa tujuan tasawuf
adalah pendekatan dengan sumber dan tujuan hidup manusia yakni Tuhan.9 Sedangkan
Ahmad Rivai siregar menyatakan bahwa tujuan dari tasawuf adalah agar berada sedekat
mungkin dengan Allah SWT. Secara khusus, ada tiga sasaran tasawuf, yaitu pembinaan
aspek moral untuk ma’rifat kepada Allah melalui penyingkapan langsung (al-kasfy al-hijab),
dan untuk membahas sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah SWT. Secara
mistis filosofis dan pengkajian garis hubungan antara tuhan dengan mahkluk.10 Dengan
demikian, tujuan tasawuf adalah membina diri dengan berbagai amal ibadah, sehingga
menjadi berakhlak, dan dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dengan demikian, setidaknya ada empat tujuan tasawuf bagi seorang sufi yaitu:
pertama, untuk membersihkan hati agar dapat mendekatkan diri kepada Allah. Kedua, untuk
membina akhlak mulia (akhlak al-karimah). Ketiga, untuk memperoleh ma’rifat
(pengetahuan sejati tentang Tuhan). Ke-empat, untuk memperoleh ilmu-ilmu hakikat (ilm al-

6
Al-kalabadzi, Ajaran Kaun Sufi, terj. Rahmani Astuti (bandung: Mizan, 1985), hlm. 31, 30, 122.
7
Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, ‘Irfan, dan Kebatinan (Jakarta: lentera, 2005), hlm. 33.
8
Harun Nasution, Islam ditijau dari berbagai Aspeknya, Jilid II (Jakarta: UIP, 1985), hlm. 71.
9
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami lubuk tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 4.
10
A. Rivai Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: raja Grafindo Persada, 2000), hlm.
57.
laduni). Karena tujuan inilah, para sufi melakukan sejumlah praktek atau perjalanan
spiritual.11
C. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Tasawuf
Istilah tasawuf dimasa Nabi SAW tidak ada, demikian pula dimasa para sahabat Nabi
SAW dan tabi’in belum ada istilah itu.12Dalam masalah ini belum ada seorang pun pengkaji
masalah tasawuf yang sampai dalam batasan ilmiah untuk mengetahui tokoh sufi pertama
dalam islam dan siapa yang meletakkan batu pertama bagi pemikiran tasawuf ini.
Tasawuf merupakan sebuah konsep yang tumbuh sebelum Nabi SAW lahir, baik dalam
segi wacana, perilaku, maupun akidah. Tasawuf terjadi pada setiap umat dan agama-agama,
khususnya brahmana Hinduisme, Filsafat Iluminasi Yunani, Majusi Persia, dan Nasrani
Awal. Lalu pemikiran itu menyelinap kedalam pemikiran islam melalui zindik Majusi.
Kemudian menemukan jalanya dalam realitas umat islam dan berkembang hingga mencapai
tujuan akhirnya, disusun kitab-kitab referesinya, dan telah diletakkan dasa-dasar dan kaidah-
kaidahnya pada abad ke-empat dan kelima hijriyyah.
Tasawuf sebagai sebuah ilmu pengetahuan baru muncul setelah masa sahabat dan
tabi’in. Nabi SAW dan para sahabat pada hakikatnya sudah sufi, mereka mempraktekkan
selalu terhadap hal-hal yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak
meremehkanya.
Pada masa Rasullah SAW islam tidak mengenal aliran tasawuf, demikian juga pada
masa sahabat dan tabi’in. Kemudian datang setelah masa tabi’in suatu kaum yang mengaku
zuhud yang berpakain shuf (pakaian dari bulu domba), maka karena pakaian inilah mereka
mendapat julukan sebagai nama bagi mereka yaitu sufi dengan nama tarekatnya tasawuf.
Ilmu Tasawuf datang belakangan sebagaimana ilmu yang lain.
Dimasa awalnya, embiro tasawuf ada dalam bentuk perilaku tertentu. Ketika kekuasaan
islam makin meluas dan terjadi perubahan sejarah yang fenomenal pasca Nabi SAW dan
sahabat, ketika itu pula kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan, mulailah orang-orang
lalai pada sisi ruhaninya. Budaya hedinisme pun menjadi fenomena umum saat itulah timbul
gerakan tasawuf sekitar abad ke-2 hijriyyah. Menurut pengarang Kasyf Al-Dzunu, orang
yang pertama kali diberi julukan Al-Sufi adalah Abu Hasyim Al-Sufi (Wafat. 150 H).

11
Dr. Ja’far, MA, Orisinalitas Tasawuf, (medan: State Islamic University of sumatera utara, 2013), hlm. 11-13.
12
Istilah tasawuf itu muncul setelah banyaknya buku-buku pengetahuan yang diterjemahkan dari bahasa yunani
ke dalam bahasa Arab. Dan sebenarnya istilah ini berasal dari kata sufia (sophia), dalam istilah bahasa berarti
kelompok ahli ibadah untuk menyatukan batinya hanya kepada Allah semata, sebab tujuan semata untuk
mengadakan hubungan dengan yang maha benar (Haqiqatul Haqaid), lihat Edit. Husaein Bahreis, Tasawuf
Murni, (Surabaya: Al-Ihsan, tt.), hlm. I.
Dalam sejarahnya, bahwa dakwah Nabi SAW di Makkah tidaklah semulus yang
diharapkan. Kemudian Nabi melakukan tahannus di guwa Hiro sebelum turunya wahyu
pertama. Kegiatan ini dalam rangka menenangkan jiwa, menyucikan diri. Dalam proses ini
Rasullah melakukan riyadhah dengan bekal makanan secukupnya, pakaian sederhana yang
jauh dari kemewahan dunia. Dengan demikian setelah menjalani proses-proses tersebut
Rasullah SAW telah mencapai tingkatan spiritual tertemtu sehimgga benar-benar siap
menerima wahyu melalui Malaikat Jibril AS. Dengan memperhatikan praktek-praktek Nabi
SAW di atas menunjukkan islan merupakkan agama yang memiliki akar tradisi spiritual yang
tinggi.
Pada prinsipnya perkembangan tasawuf itu ada tiga tahapan, pertama pembentukkan
dengan menonjolkan gerakan-gerakan zuhud sebagai fenomena sosial. Periode ini
berlangsung selama abad pertama dan kedua hijriyyah yang dipelopori oleh para sahabat,
tabi’in, dan tabi’in tabi’in. Pada masa ini fenomena yang terjadi adalah semangat untuk
beribadah dengan prinsip-prinsip yang telah diajarkan oleh Nabi SAW, untuk kemudian
mereka mencoba menjalani hidup zuhud. Tokoh-tokoh sufi pada periode ini adalah Hasan Al-
Bashri (110 H) dengan konsep khouf dan Rabi’ah Al-Adwiyyah (185 H) dengan konsep cinta
(Al-Hubb).
Kedua, memasuki abad ketiga dan ke-empat hijriyah tasawuf kembali menjalani babak
baru. Pada abad ini tema-tema yang diangkat para sufi lebih mendalam. Berawal dari
perbincangan seputar akhlak dan budi pekerti, mereka mulai ramai membahas tetang hakikat
Tuhan, esensi manusia serta hubungan antar keduanya. Dalam hal ini kemudia muncul tema-
tema seperti ma’rifat, fana’, dzauk, dan lain sebagainya. Para tokoh pada masa ini diataranya
Imam Al-Qusyairi, Suhrawardi Al-Baghdadi, Al-Hallaj, dan Imam Al-Ghazali.
Ketiga, abad ke-enam dan ke-tujuh hijriyyah tasawuf kembali menemukan suatu
bentuk pengalaman baru. Persentuhan tasawuf dengan filsafat berhasil mencetak tasawuf
menjadi lebih filosofis yang kemudian dikenal dengan istilah teosofi. Dari sinilah kemudian
muncul dua cairan tasawuf, Sunni dengan coraknya amali dan Falsafi dengan corak
iluminatifnya. Adapun tokoh-tokoh teosofi abad ini adalah Surahwardi Al-Maqtul (549 H),
Ibnu ‘Arabi (638 H), dan Ibnu Faridh (632 H).
Jika dilacak secara cermat maka praktek-praktek zuhud yang berkembang di dua abad
pertama tersebut adalah hal yang lumrah dan dapat ditemukan kebenaraya. Dalam pandangan
islam, zuhud bukanlah upaya untuk memusuhi dunia materi dan harta. Zuhud dalam islam
tidak seperti istilah kependapatan dalam yahudi dan nasrani. Zuhud bukanlah ‘uzlah yang
dalam artian menjauh dari hiruk pikuk bumi dan berada dalam kesendirian serta tidak
menghiraukan kehidupan sosial.
Pertumbuhanya tasawuf terus berkembang seiring dengan meluasnya wilayah islam
yang sebalumnya mungkin sudah mempunyai pemikiran-pemkiran mistik, seperti filsafat
yunani, Persia, India, ataupun yang lainya. Dalam perkembangannya, ajaran kaum sufi dapat
dibedakan dalam beberapa periode, yaitu :
Pertama, perkembangan tasawuf pada abad pertama dan kedua Hijriyah. Masa ini
menyangkut perkembangan tasawuf pada dekade sahabat tang dipelopori oleh Abu Bakr As-
Shidiq (Wafat 13 H), ‘Umar bin Khatab (Wafat 23 H), ‘Ustman bin ‘Affan (Wafat 35 H),
‘Ali bin Abi Thalib (Wafat 40 H), Salman Al-farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Ammar bin Yasir,
Huzaidah bin Al-Yaman, dan Miqdad bin Aswad. Dalam dekade ini juga termasuk pada masa
tabi’in tokoh-tokonya adalah Hasan Al-Bashri (22-110 H), Rabi’ah Al-Adawiyyah (96-185
H), Sufyan Ats-Tsauri (97-161 H), Daud Ath-Thaiy (Wafat 165 H), dan Syaqiq Al-balkhi
(Wafat 194 H).
Kedua, perkembangan tasawuf pada abad ketiga dan ke-empat Hijriyah. Tokoh-tokoh
yang terkenal pada abad ketiga adalah Abu Sulaiman Ad-Darani (Wfat 215 H), Ahmad bin
Al-Hawary Ad-Damasyqi (wafat 230 H), Abu Yazid al-Bustomiy (wafat 261 H), Junaid Al-
Baghdadi (Wafat 298 H), dan Al-Halajj (Lahir 244 H). Sedangkan pada abad ke-empat
hijriyah para pengembangnya adalah Musa Al-Anshari (Wafat 320 H), Abu hamid
binMuhammad Ar-Rubazy (wafat 322 h), Abu Zaid Al-Adami (Wafat 314 H), dan Abu Ali
Muhammad bin Abdil Wahhab As-Saqafi (Wafat 328 H).
Ketiga, perkembangan tasawuf pada abad kelima dan ke-enam hijriyah ditandai dengan
sosok Imam Ghazali (450 H /1058 M- 505 H / 1111M) dan syaikh Abdul Qadir Al-Jailaniy
(470 H-561H) yang mengkompromikan para ulama fiqih dengan ajara tasawuf yang
berpaham syi’ah. Pada abad ke-enam hijriyah sufi yang terkenal adalah Suhrawardi Al-
Maqtul (Wafat 587 H), dan Al-Ghaznawi (Wafat 545 H).
Ke-empat, perkembangan tasawuf pada abad ketujuh dan kedelapan hijriyah. Pada
abad ketujuh yang berpengaruh adalah Unzar Ibnu Faridh (576-632 H), Ibnu Sab’in (613-667
H), dan Jalaluddin Ar-Rumi (604-672 H), pada abad kedelapan hijriyah yang muncul adalah
pengarang kitab tasawuf, yaitu Al-Kisany (Wafat 739 H), dan Abdul Karim Al-Jily dengan
karyanya Al-Insan Al-Kamil.
Kelima, perkembangan tasawuf pada abad kesembilan dan kesepuluh hijriyah serta
masa berikutnya. Pada abad kesembilan dan kesepuluh hijriyah nasibnya kurang
menguntungkan karena dianggap sudah kehilangan kepercayaan masyarakat (penyimpangan
ajaran islam). Namun ajaran tasawuf tidak hilang begitu saja, ini terbukti masih adanya ahli
tasawuf yang memunculkan ajaranya dengan mengarang kitab dan mendirikan tarekat yang
berisikan ajaran-ajaran tasawuf, antara lain :
1. Abdul Wahhab Asy-Sya’rani (898-973 H) karyanya yang berjudul Al-Lathaiful Minan
(Ketulusan hati).
2. Abdul Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar At-Tijaniy (1150-1230 H), ia
mendirikan tarekat tijaniyah.
3. Muhammad bin ‘Ali As-Sanusiy (Lahir 1206 H), beliau adalah pendiri tarekat
Sanusiyah.
4. Syeihk Muhammad Amin Al-Kurdiy (Wafat 1322 H), seorang penulis kitab Tanwirul
Qulub fi Mu’amalah Alamil Ghuyub dan termasuk pengikut tarekat Naqsabandiyah.
BAB III

KESIMPULAN
A. Tasawuf atau Sufisme adalah suatu istilah yang lazim dipergunakkan untuk mistisisme dalam
islam dengan tujuan pokok memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan. Dalam hal ini
pokok-pokok ajaranya tersirat dari Nabi Muhammad SAW yang didiskusikan dengan para
sahabat-Nya tentang apa-apa yang diperolehnya dari malaikat jibril berkenaan dengan pokok-
pokok ajaran islam yakni iman, islam, dan ihsan. Ketiga sendi ini diimplementasikan dalam
pelaksanaan tasawuf.
B. Sekiranya ada empat tujuan tasawuf bagi seorang sufi yaitu: pertama, untuk membersihkan
hati agar dapat mendekatkan diri kepada Allah. Kedua, untuk membina akhlak mulia (akhlak
al-karimah). Ketiga, untuk memperoleh ma’rifat (pengetahuan sejati tentan Tuhan). Ke-
empat, untuk memperoleh ilmu-ilmu hakikat (ilm al-laduni). Karena tujuan inilah, para sufi
melakukan sejumlah praktek atau perjalanan spiritual.
C. Bahwa dakwah Nabi SAW di Makkah tidaklah semulus yang diharapkan. Kemudian Nabi
melakukan tahannus di guwa Hiro sebelum turunya wahyu pertama. Kegiatan ini dalam
rangka menenangkan jiwa, menyucikan diri. Dalam proses ini Rasullah melakukan riyadhah
dengan bekal makanan secukupnya, pakaian sederhana yang jauh dari kemewahan dunia.
Dengan demikian setelah menjalani proses-proses tersebut Rasullah SAW telah mencapai
tingkatan spiritual tertentu sehingga benar-benar siap menerima wahyu melalui Malaikat
Jibril AS. Dengan memperhatikan praktek-praktek Nabi SAW di atas menunjukkan islam
merupakkan agama yang memiliki akar tradisi spiritual yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
A. Rivai Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: raja Grafindo
Persada, 2000).

Al-Hujwiri, The Kashf al-Mahjub, terj. R.A. Nicholson (New Delhi: Adam Publishers and
Distribusor, 2006).
Al-kalabadzi, Ajaran Kaun Sufi, terj. Rahmani Astuti (bandung: Mizan, 1985).

Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyyah: sumber kajian Ilmu Tasawuf, terj. Umar Faruq
(Jakarta Pustaka Amani, 1998).
Dr. H. Badrudin, M.Ag, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Serang: Puri Kartika Banjasari, 2015), cet
I.
Dr. Ja’far, MA, Orisinalitas Tasawuf, (medan: State Islamic University of sumatera utara,
2013).
Harun Nasution, Islam ditijau dari berbagai Aspeknya, Jilid II (Jakarta: UIP, 1985).

K. Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), cet. II.

Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, ‘Irfan, dan Kebatinan (Jakarta: lentera, 2005).

Mulyadhi Kartanegara, Menyelami lubuk tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2006).

Anda mungkin juga menyukai