Anda di halaman 1dari 51

PRESENTASI KASUS

STROKE KARDIOEMBOLI

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan


Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Saraf di
RSUD Kota Salatiga

Disusun oleh:
Silka Reslia Riswanto
1813020010

Pembimbing:
dr. Dony Ardianto., Sp.S

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
RSUD KOTA SALATIGA
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan presentasi kasus dengan judul


STROKE KARDIOEMBOLI

Disusun oleh:
Silka Reslia Riswanto
1813020010

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal: 1 November 2019

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

dr. Dony Ardianto., Sp.S

BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. N

Umur : 61 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

2
Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Swasta

Alamat : Gedongan Kec. Tingkir, Salatiga

Tanggal Masuk : 4 September 2019

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Rujukan dari RSPA dengan penurunan kesadaran
2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan penurunan kesadaran, ±
12 jam sebelumnya pasien mengeluhkan anggota gerak kanan lemah.
Paginya pasien sekitar 05.00 tiba-tiba pelo, kelemahan anggota gerak
kanan, mual (+), muntah (+).
Keluhan lain seperti demam, mual, muntah dan penglihatan kabur
disangkal. Riwayat adanya penurunan kesadaran dan kejang juga
disangkal. BAB dan BAK dalam batas normal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat keluhan yang sama
sebelumnya. Adanya riwayat penyakit hipertensi, kolesterol tinggi,
diabetes mellitus, stroke, jantung, asma, batuk lama dan alergi terhadap
obat-obatan disangkal oleh pasien. Riwayat trauma kepala juga disangkal.

4. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)


Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan yang sama seperti
pasien. Riwayat penyakit DM, hipertensi, stroke, alergi, dan sakit jantung
pada keluarga disangkal.
5. Riwayat Personal Sosial (RPSos)
Pasien adalah seorang pekerja swasta dan tinggal bersama dengan istri
dan anaknya. Riwayat merokok disangkal, riwayat konsumsi alkohol dan
penggunaan obat – obatan terlarang disangkal. Pasien dirawat di rumah
sakit dengan menggunakan BPJS kesehatan.
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalisata

3
Kesan Umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos Mentis (GCS : E4V5M6) (IGD)
GCS : E3M4V4-5 (HCU)
Vital Signs / IGD HCU
Tanda-Tanda TD: 157/85 mmhg TD: 114/85 mmhg
Vital HR : 130x/menit HR: 90x/menit
RR : 38x/menit RR: 25x/menit
S : 36, 6oC S: 36, 5oC
SpO2: 98 % SpO2: 98 %
Kepala dan Leher
Inspeksi Normocepal, wajah terlihat simetris, tak tampak
adanya jejas, conjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik
(-/-)
Palpasi Pembesaran limfonodi (-), trakea teraba di garis
tengah.
Thorax
Inspeksi Bentuk dada simetris, tidak terdapat jejas dan kelainan
bentuk, tidak terdapat deformitas.
Palpasi Pulmo : Tidak ada ketertinggalan gerak dan vokal
fremitus tidak ada peningkatan maupun penurunan
Perkusi Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi Pulmo : Suara vesikular dasar (SDV) : +/+ (positif di
lapang paru kanan dan kiri)
Suara ronkhi: -/-
Wheezing : -/-
Cor : Suara S1 dan S2 terdengar regular dan tidak ada
bising ataupun suara tambahan jantung
Abdomen
Inspeksi Abdomen terlihat datar, tidak ada kelainan bentuk
abdomen, jejas (-)
Auskultasi Bising usus (+)
Perkusi Timpani pada semua kuadran abdomen, area traube
timpani
Palpasi Defens muskular (-), nyeri tekan (-), ginjal, hepar dan
lien tidak teraba
Genitalia

4
Inspeksi Tidak dilakukan pemeriksaan
Palpasi Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas
Inspeksi Edema (-), jejas (-), keterbatasan gerak pada sendi
panggul.
Palpasi Pitting edema (-), akral hangat, CRT < 2 detik

2. Status Neurologis
a. Kesadaran : Somnolen (GCS E3M4V3-4)
b. Pemeriksaan Nervus Kranialis
Nervus Kanan Kiri
Kranialis
N.I Daya penghidu Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N.II Daya penglihatan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Penglihatan warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Lapang pandang Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N.III Ptosis Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Gerakan mata ke medial Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Gerakan mata ke atas Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Gerakan mata ke bawah Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Reflek cahaya langsung Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Reflek cahaya Tidak dilakukan Tidak dilakukan


konsensuil
Strabismus divergen Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N.IV Gerakan mata ke lateral Tidak dilakukan Tidak dilakukan


bawah
Strabismus konvergen Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N.V Menggigit Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Membuka mulut Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Sensibilitas muka Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Refleks kornea Tidak dilakukan Tidak dilakukan

5
Trismus Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N.VI Gerakan mata ke lateral Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N.VII Kedipan mata Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Lipatan nasolabial Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Mengerutkan dahi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Menutup mata Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Meringis Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Menggembungkan pipi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Daya kecap lidah 2/3 Tidak dilakukan Tidak dilakukan


depan
N.VIII Mendengar suara Tidak dilakukan Tidak dilakukan
berbisik
Mendengar detik arloji Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Schwabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Weber Tidak dilakukan

N.IX Arkus faring Tidak dilakukan

Daya kecap lidah 1/3 Tidak dilakukan Tidak dilakukan


belakang
Refleks muntah Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Sengau Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tersedak Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N.X Denyut nadi 90x/menit, 90x/menit, reguler


regular
Arkus faring Tidak dinilai
Bersuara Normal
Menelan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N.XI Memalingkan kepala Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Sikap bahu Tidak dilakukan Tidak dilakukan

6
Mengangkat bahu Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Trofi otot bahu Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N.XII Sikap lidah Tidak dilakukan

Artikulasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tremor lidah Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Menjulurkan lidah Tidak dilakukan

Trofi otot lidah Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Fasikulasi lidah Tidak dilakukan Tidak dilakukan

c. Pemeriksaan Ekstremitas
- Pemeriksaan ekstremitas atas
Pemeriksaan Kanan Kiri
Motorik
 Pergerakan
 Kekuatan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Tonus
Sensibilitas
 Taktil
 Nyeri Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Gerakan Involunteer
 Tremor
 Atetosis Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Chorea
 Tics
Refleks fisiologis
 Biseps (++) (++)
 Triseps
(++) (++)
 Brachioradialis
(++) (++)
Refleks patologis
 Tromner (-) (-)
 Hoffman
(-) (-)

7
- Pemeriksaan ekstremitas bawah
Pemeriksaan Kanan Kiri
Motorik
 Pergerakan (+) (+)
 Kekuatan Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
 Tonus
Normal Normal
Sensibilitas
 Taktil (raba) (-) (-)
 Nyeri
(-) (-)
Refleks fisiologis
 Patella (++) (++)
 Achilles
(++) (++)
Refleks patologis
 Babinski (-) (-)
 Chaddock
(-) (-)
 Schaefer
 Oppenheim (-) (-)
 Rossolimo
(-) (-)
 Mendel-Bechterew
 Bing (-) (-)
 Gordon
(-) (-)
(-) (-)
(-) (-)
Tes lasiegue (-) (-)
Tes patrick (-) (-)
Tes kontrapatik (-) (-)

3. Sensibilitas
a. Eksteroseptif / rasa permukaan
- Rasa raba : Tidak dilakukan
- Rasa nyeri : Tidak dilakukan
- Rasa suhu panas : Tidak dilakukan
- Rasa suhu dingin : Tidak dilakukan

8
b. Proprioseptif / rasa dalam
- Rasa sikap : (-)
- Rasa getar : (-)
- Rasa nyeri dalam : (-)
4. Vegetatif: Terpasang DC

5. Meningeal Sign
Kaku kuduk (-)

Kernig sign (-)

Lasseque sign (-)

Brudzinski I (-)
Brudzinski II (-)
Brudzinski III (-)
Brudziinski IV (-)

6. Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (05 September 2019)

9
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Leukosit 16,05 4,5 – 11 ribu/ul
Eritrosit 4,73 3,8 – 5,8 juta/ul
Hemoglobin 15,1 11,5 – 16,5 gr/dL
Hematokrit 43,7 40 – 52 vol%
MCV 92,3 80 – 96 Fl
MCH 31,9 28 – 33 Pg
MCHC 34,6 33 – 36 gr/dL
Trombosit 189 150 – 450 ribu/ul
Golongan darah B
Hitung Jenis
Eosinophil 0,6 2–4 %
Basophil 0,1 0–1 %
7. Limfosit 7,4 20 – 45 % EKG
Monosit 5,3 2–8 %
Neutrofil 86,6 40 – 75 %
Kimia
GDS 290 < 140 mg/dL
Ureum 97 10 – 50 mg/dL
Creatinin 1,4 0,6 – 1,1 mg/dL
SGOT 147 < 37 U/L
SGPT 81 < 42 U/L
HBsAg Negatif Negatif

Cholesterol mg/dl
217 < 200
Total
Trigliserida 144 < 150 mg/dl
HDL 52 > 45 mg/dl
LDL 156 <100 mg/dl
Asam Urat 11,9 3,4 – 7 mg/dl
Elektrolit
Natrium 140 136 -145 mmol/L
Kalium 5,1 3,7 – 5,5 mmol/L
Chlorida 107 98 - 107 mmol/L
Calsium 9,0 8,6 - 10 mg/dl
Magnesium 1,7 1,9 – 2,5 mg/dl
Hasil : STEMI anteroseptal

10
8. Pemeriksaan CT-Scan tanpa kontras

Gambar 1. CT Scan
Hasil :
- Tak tampak soft tissue swellin extracranial
- Sisterna tulang yang tervisualisasi tampak intact
- Sulci dan fissure silvii tak tampak prominent
- Batas grey matter dan whit matter relative tegas
- Ampak lesi hipodens di cortex lobus parietalis sinistra dan lesi hipodens di
corona radiate dextra dan crus anterior et posterior capsula interna dextra.
- Sisterna ventrikel dalam batas normal
- Tak tampak pergeseran linea mediana
- Air cellulae mastodea dalam batas normal

Kesan :
-Gambaran infark di corona radiate dextr dan crus anterior et posterior
capsula interna dextra dengan cortical infark lobus parietalis sinistra

11
-Tak tampak gambaran intracerebral hemorrhage
D. ASSESSMENT
Stroke Non Hemorrhage Cardioemboli

E. PENATALAKSANAAN/PLANNING
1. Umum
- Stabilisasi airway, breathing, circulation
- Observasi tanda-tanda vital
- Head up 20 - 30˚
2. Non Medikamentosa
- Konsul Spesialis Penyakit Dalam
- Konsul Spesialis Bedah Saraf
3. Medikamentosa
Spesialis Saraf
- IVFD Asering 20 tpm
- Injeksi Citicolin 2 x 1 gram
- NB 2 x 1 drip
- Manitol
- CPG (tunggu hasil Ct-Scan)
4. Operatif
Biopsi otak merupakan pilihan terakhir (Tidak dilakukan)
F. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : Dubia ad malam
- Quo ad functionam : Dubia ad malam
- Quo ad sanationam : Dubia ad malam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI OTAK

12
Otak manusia kira-kira merupakan 2% dari berat badan orang
dewasa atau sekitar 3 pon (Price&Wilson, 2005). Otak terdiri dari empat
bagian besar yaitu serebrum (otak besar), serebelum (otak kecil),
brainstem (batang otak), dan diensefalon (Black, 2005). Serebrum
terdiri dari dua hemisfer serebri, korpus kolosum dan korteks serebri.
Masing-masing hemisfer serebri terdiri dari lobus frontalis yang
merupakan area motorik primer yang bertanggung jawab untuk gerakan-
gerakan voluntar, lobur parietalis yang berperanan pada kegiatan
memproses dan mengintegrasi informasi sensorik yang lebih tinggi
tingkatnya, lobus temporalis yang merupakan area sensorik untuk impuls
pendengaran dan lobus oksipitalis yang mengandung korteks penglihatan
primer, menerima informasi penglihatan dan menyadari sensasi warna
(Price & Wilson, 2005).
Serebelum terletak di dalam fosa kranii posterior dan
ditutupi oleh duramater yang menyerupai atap tenda yaitu tentorium,
yang memisahkannya dari bagian posterior serebrum. Fungsi utamanya
adalah sebagai pusat refleks yang mengkoordinasi dan memperhalus
gerakan otot, serta mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk
mempertahankan keseimbangan sikap tubuh (Price &Wilson, 2005).
Bagian-bagian batang otak dari bawah ke atas adalah medula
oblongata, pons dan mesensefalon (otak tengah). Medula oblongata
merupakan pusat reflex yang penting untuk jantung, vasokonstriktor,
pernafasan, bersin, batuk, menelan, pengeluaran air liur dan muntah. Pons
merupakan mata rantai penghubung yang penting pada jaras
kortikosereberalis yang menyatukan hemisfer serebri danserebelum.
Mesensefalon merupakan bagian pendek dari batang otak yang berisi
aquedikus sylvius, beberapa traktus serabut saraf asenden dan desenden
dan pusat stimulus saraf pendengaran dan penglihatan (Price & Wilson,
2005). Diensefalon di bagi empat wilayah yaitu talamus, subtalamus,
epitalamusdan hipotalamus. Talamus merupakan stasiun penerima
dan pengintegrasi subkortikal yang penting. Subtalamus fungsinya

13
belum dapat dimengerti sepenuhnya, tetapi lesi pada subtalamus akan
menimbulkan hemibalismus yang ditandai dengan gerakan kaki atau
tangan yang terhempas kuat pada satu sisi tubuh. Epitalamus
berperanan pada beberapa dorongan emosi dasar seseorang.Hipotalamus
berkaitan dengan pengaturan rangsangan dari sistem susunan saraf otonom
perifer yang menyertai ekspresi tingkah dan emosi (Price &
Wilson, 2005).
Otak menerima sekitar 20% curah jantung dan memerlukan
20% pemakaian oksigen tubuh dan sekitar 400 kilokalori energi
setiap harinya (Price&Wilson, 2005). Otak diperdarahi oleh dua pasang
arteri yaitu arteri karotis interna dan arteri vertebralis. Dari dalam
rongga kranium, keempat arteri ini saling berhubungan dan
membentuk sistem anastomosis, yaitu sirkulus Willisi.

Gambar 2.1. Sirkulus Willisi


Sirkulasi Willisi adalah area dimana percabangan arteri basilar dan
karotis internal bersatu. Sirkulus Willisi terdiri atas dua arteri serebral,
arteri komunikans anterior, kedua arteri serebral posterior dan
kedua arteri komunikans anterior. Jaringan sirkulasi ini
memungkinkan darah bersirkulasi dari satu hemisfer ke hemisfer
yang lain dan dari bagian anterior ke posterior otak. Ini
merupakan sistem yang memungkinkan sirkulasi kolateral jika satu
pembuluh darah arteri mengalami penyumbatan. Darah vena dialirkan dari

14
otak melalui dua sistem: kelompok vena interna yang mengumpulkan
darah ke vena galen dan sinus rektus, dan kelompok vena eksterna yang
terletak di permukaan hemisfer otak yang mencurahkan darah kesinus
sagitalis superior dan sinus-sinus basalis lateralis, dan seterusnya ke vena-
vena jugularis, dicurahkan menuju ke jantung.
B. STROKE
1. Definisi
Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut,
lebih dari 24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan
bukan disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak sepintas, tumor
otak, stroke sekunder karena trauma maupun infeksi (WHO MONICA,
1986). Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba
dapat disebabkan olehiskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik
disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh darah otak yang menyebabkan
turunnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak yang mengalami
oklusi (Hacke, 2003).
Stroke adalah suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara
mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam)
dengan tanda dan gejala klinis baik fokal maupun global yang berlangsung
lebih dari 24 jam, disebabkan oleh terhambatnya aliran darah ke otak
karena perdarahan (stroke hemoragik) ataupun sumbatan (stroke iskemik)
dengan gejala dan tanda sesuai bagian otak yang terkena, yang dapat
sembuh sempurna, sembuh dengan cacat, atau kematian (Junaidi, 2011).
Munculnya tanda dan gejala fokal atau global pada stroke
disebabkan oleh penurunan aliran darah otak. Oklusi dapat
berupa thrombus (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak
atau leher, contohnya arterisklerosis), embolus (bekuan darah atau
material lain yang dibawa ke otak dari bagian tubuh yang lain, contohnya
kardioemboli, atau tromboembolus) menyebabkan hipoksia sampai
anoksia pada salah satu daerah percabangan pembuluh darah di otak

15
tersebut. Stroke hemoragik dapat berupa perdarahan intraserebral atau
perdarahan subrakhnoid (Bruno etal., 2000).
2. Epidemiologi
Stroke penyebab kematian ketiga di dunia setelah penyakit jantung
koroner dan kanker baik di negara maju maupun negara berkembang. Satu
dari 10 kematian disebabkan oleh stroke (American Heart Association,
2014; Stroke forum, 2015). Secara global, 15 juta orang terserang stroke
setiap tahunnya, satu pertiga meninggal dan sisanya mengalami kecacatan
permanen (Stroke forum, 2015). Stroke merupakan penyebab utama
kecacatan yang dapat dicegah (Ralph et all, 2013).
Data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
memperlihatkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian nomor satu
pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Menurut Yayasan Stroke
Indonesia, setiap tahun diperkirakan 500.000 penduduk mengalami
serangan stroke dan 25% di antaranya (125.000 penduduk) meninggal,
sisanya mengalami cacat ringan maupun berat. Di Indonesia,
kecenderungan prevalensi stroke per 1000 orang mencapai 12,1 dan setiap
7 orang yang meninggal, 1 diantaranya terkena stroke (Depkes, 2013).
Pada suatu survei di RS Vermont, stroke pada usia muda
merupakan 8,5% dari seluruh pasien rawat; stroke perdarahan intraserebral
didapatkan pada 41% pasien, dengan penyebab tersering adalah
aneurisma, AVM (arteriovenous malformation), hipertensi, dan tumor.
Perdarahan subaraknoid didapatkan pada 17% pasien, dan stroke iskemik
terjadi pada 42% pasien. Angka kejadian stroke iskemik pada usia di
bawah 45 tahun hanya sekitar 5% dari seluruh kejadian dari stroke iskemik
(Primara & Amalia, 2015).

3. Klasifikasi
a. Stroke Iskemik (Stroke Non Hemorrhage)

16
Stroke iskemik terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak
tibatiba terganggu oleh oklusi. Penyakit serebrovaskular iskemik
terutama disebabkan oleh trombosis, emboli dan hipoperfusi fokal,
yang semuanya dapat menyebabkan penurunan atau gangguan dalam
aliran darah otak (CBF) yang mempengaruhi fungsi neurologis akibat
perampasan glukosa dan oksigen. Sekitar 45% dari stroke iskemik
disebabkan oleh trombus arteri kecil atau besar, 20% adalah emboli
berasal, dan lain-lain memiliki penyebab yang tidak diketahui. Stroke
iskemik fokal disebabkan oleh gangguan aliran darah arteri ke daerah
tergantung dari parenkim otak oleh trombus atau embolus. Dengan kata
lain, stroke iskemik didefinisikan sebagai onset akut, (menit atau jam),
dari defisit neurologis fokal konsisten dengan lesi vaskular yang
berlangsung selama lebih dari 24 jam.
Stroke iskemik adalah penyakit yang kompleks dengan beberapa
etiologi dan manifestasi klinis. Dalam waktu 10 detik setelah tidak ada
aliran darah ke otak, maka akan terjadi kegagalan metabolisme jaringan
otak. EEG menunjukkan penurunan aktivitas listrik dan seacara klinis
otak mengalami disfungsi (Nemaa, 2015). Bila aliran darah jaringan
otak berhenti maka oksigen dan glukosa yang diperlukan untuk
pembentukan ATP akan menurun, akan terjadi penurunan Na+ K+ ATP-
ase, sehingga membran potensial akan menurun.13 K+ berpindah ke
ruang ekstraselular, sementara ion Na dan Ca berkumpul di dalam sel.
Hal ini menyebabkan permukaan sel menjadi lebih negatif (Wijaya,
2012). Sehingga terjadi membran depolarisasi. Saat awal depolarisasi
membran sel masih reversibel, tetapi bila menetap terjadi perubahan
struktural ruang menyebabkan kematian jaringan otak. Keadaan ini
terjadi segera apabila perfusi menurun dibawah ambang batas kematian
jaringan, yaitu bila aliran darah berkurang hingga dibawah 10 ml / 100
gram / menit. Akibat kekurangan oksigen terjadi asidosis yang
menyebabkan gangguan fungsi enzim-enzim, karena tingginya ion H.
Selanjutnya asidosis menimbulkan edema serebral yang ditandai

17
pembengkakan sel, terutama jaringan glia, dan berakibat terhadap
mikrosirkulasi (Trent MW, 2011). Oleh karena itu terjadi peningkatan
resistensi vaskuler dan kemudian penurunan dari tekanan perfusi
sehingga terjadi perluasan daerah iskemik. Terdapat dua patologi utama
stroke iskemik adalah :
a) Trombosis
Aterosklerosis adalah salah satu obstruksi vaskular yang terjadi
akibat perubahan patologis pada pembuluh darah, seperti hilangnya
elastisitas dan menyempitnya lumen pembuluh darah. Aterosklerosis ini
merupakan respon normal terhadap injury yang terjadi pada lapisan
endotel pembuluh darah arteri. Proses aterosklerosis ini lebih mudah
terjadi pada pembuluh darah arteri karena arteri lebih banyak memiliki
sel otot polos dibandingkan vena. Proses aterosklerosis ditandai oleh
penimbunan lemak yang terjadi secara lambat pada dinding-dinding
arteri yang disebut plak, sehingga dapat memblokir atau menghalangi
sama sekali aliran pembuluh darah ke otak. Akibat terjadinya
aterosklerosis ini bisa juga disebabkan oleh terbentuknya bekuan darah
atau trombus yang teragregasi platelet pada dinding pembuluh darah
dan akan membentuk fibrin kecil ya ng menjadikan sumbatan atau plak
pada pembuluh darah, ketika arteri dalam otak buntu akibat plak
tersebut, menjadikan kompensasi sirkulasi dalam otak akan gagal dan
perfusi terganggu, sehingga akan mengakibatkan kematian sel dan
mengaktifkan banyak enzim fosfolipase yang akan memacu mikroglia
memproduksi Nitrit Oxide secara banyak dan pelepasan sitokin pada
daerah iskemik yang akan menyebabkan kerusakan atau kematian sel
( Lakhan et al, 2009). Apabila bagian trombus tadi terlepas dari dinding
arteri dan ikut terbawa aliran darah menuju ke arteri yang lebih kecil,
maka hal ini dapat menyebabkan sumbatan pada arteri tersebut, bagian
dari trombus yang terlepas tadi disebut emboil.
b) Emboli

18
Hampir 20%, stroke iskemik disebabkan emboli yang berasal
dari jantung. Sekali stroke emboli dari jantung terjadi, maka
kemungkinan untuk rekuren relatif tinggi. Resiko stroke emboli dari
jantung meningkat dengan bertambahnya umur, karena meningkatnya
prevelansi fibrilasi atrial pada lansia. Umumnya prognosis stroke
kardioemboli buruk dan menyebabkan kecacatan yang lebih besar.
Timbulnya perdarahan otak tanpa tanda-tanda klinis memburuk dan
terjadi 12-48 jam setelah onset stroke emboli yang disertai infark besar.
Stroke infark terjadi akibat kurangnya aliran darah ke otak. Aliran
darah ke otak normalnya adalah 58 mL/100 gram jaringan otak per
menit; jika turun hingga 18 mL/100 gram jaringan otak per menit,
aktivitas listrik neuron akan terhenti meskipun struktur sel masih baik,
sehingga gejala klinis masih reversibel. Jika aliran darah ke otak turun
sampai <10 mL/100 gram jaringan otak per menit, akan terjadi
rangkaian perubahan biokimiawi sel dan membran yang ireversibel
membentuk daerah infark.
b. Stroke Perdarahan (Stroke Hemorrhage)
Stroke perdarahan atau stroke hemoragik adalah perdarahan yang
tidak terkontrol di otak. Perdarahan tersebut dapat mengenai dan
membunuh sel otak, sekitar 20% stroke adalah stroke hemoragik. Jenis
perdarahan (stroke hemoragik), disebabkan pecahnya pembuluh darah
otak, baik intrakranial maupun subarakhnoid. Pada perdarahan
intrakranial, pecahnya pembuluh darah otak dapat karena berry
aneurysm akibat hipertensi tak terkontrol yang mengubah morfologi
arteriol otak atau pecahnya pembuluh darah otak karena kelainan
kongenital pada pembuluh darah otak tersebut. Perdarahan
subarakhnoid disebabkan pecahnya aneurysma congenital pembuluh
arteri otak di ruang subarakhnoidal (Misbach, 2007)
Perdarahan Intraserebral (PIS) Kira-kira 10% stroke disebabkan
oleh perdarahan intraserebral. Hipertensi, khususnya yang tidak
terkontrol, merupakan penyebab utama. Penyebab lain adalah

19
pecahnya aneurisma, malformasi arterivena, angioma kavernosa,
alkoholisme, diskrasia darah, terapi antikoagulan, dan angiopati
amiloid. Perdarahan Subaraknoid (PSA) Sebagian besar kasus
disebabkan oleh pecahnya aneurisma pada percabangan arteri-arteri
besar. Penyebab lain adalah malformasi arterivena (MAV) atau
tumor.
a. Perdarahan Intraserebral (PIS)
Kira-kira 10% stroke disebabkan oleh perdarahan
intraserebral. Hipertensi, khususnya yang tidak terkontrol,
merupakan penyebab utama. Penyebab lain adalah pecahnya
aneurisma, malformasi arterivena, angioma kavernosa,
alkoholisme, diskrasia darah, terapi antikoagulan, dan angiopati
amiloid.
b. Perdarahan Subaraknoid (PSA)
Sebagian besar kasus disebabkan oleh pecahnya aneurisma pada
percabangan arteri-arteri besar. Penyebab lain adalah
malformasi arterivena (MAV) atau tumor.
Tingkatan PSA berdasarkan skala berikut:
- Grade I : nyeri kepala ringan dengan atau tanpa rangsang
meningeal
- Grade II : nyeri kepala hebat dan pemeriksaan non-fokal, dengan
atau tanpa midriasis
- Grade III : perubahan ringan pada pemeriksaan neurologis, termasuk
status mental
- Grade IV : pastinya penekanan tingkat kesadaran atau deficit fokal
- Grade V : posturisasi pasien atau koma
 Derajat Perdarahan Subarakhnoid (Hunt dan Hess)
o Derajat 0 : tidak ada gejala dan aneurisma belum ruptur
o Derajat 1 : sakit kepala ringan
o Derajat 2 : sakit kepala hebat, tanda rangsang meningeal, dan
kemungkinan adanya defisit saraf kranialis

20
 Derajat 3: kesadaran menurun, defisit fokal neurologi ringan
 Derajat 4: stupor, hemiparesis sedang samapai berat, awal
Deserebrasi
 Derajat 5 : koma dalam, deserebrasi
4. Faktor risiko
Faktor resiko untuk terjadinya stroke, antara lain sebagai berikut
(Brunner & Suddarth, 2001).
a. Hipertensi
Dapat disebabkan oleh aterosklerosis atau sebaliknya. Proses ini
dapat menimbulkan pecahnya pembuluh darah atau timbulnya
thrombus sehingga dapat mengganggu aliran darah cerebral.
b. Aneurisma pembuluh darah cerebral
Adanya kelainan pembuluh darah yakni berupa penebalan pada
satu tempat yang diikuti oleh penipisan di tempat lain. Pada daerah
penipisan dengan maneuver tertentu dapat menimbulkan perdarahan.
c. Kelainan jantung / penyakit jantung
Paling banyak dijumpai pada pasien post MCI, atrial fibrilasi dan
endokarditis. Kerusakan kerja jantung akan menurunkan kardiak
output dan menurunkan aliran darah ke otak. Ddisamping itu dapat
terjadi proses embolisasi yang bersumber pada kelainan jantung dan
pembuluh darah. Penyakit atau kelainan jantung dapat
mengakibatkan iskemia pada otak. Ini disebabkan karena denyut
jantung yang tidak teratur dapat menurunkan total curah jantung
yang mengakibatkan aliran darah di otak berkurang (iskemia). Selain
itu terjadi pelepasan embolus yang kemudian dapat menyumbat
pembuluh darah otak. Ini disebut dengan stroke iskemik akibat
trombosis. Seseorang dengan penyakit atau kelainan jantung
beresiko terkena atroke 3 kali lipat dari yang tidak memiliki penyaki
atau kelainan jantung. (Hull, 1993)
d. Diabetes mellitus (DM)

21
Penderita DM berpotensi mengalami stroke karena 2 alasan,
yaitu terjadinya peningkatan viskositas darah sehingga
memperlambat aliran darah khususnya serebral dan adanya kelainan
microvaskuler sehingga berdampak juga terhadap kelainan yang
terjadi pada pembuluh darah serebral.
e. Usia lanjut
Pada usia lanjut terjadi proses kalsifikasi pembuluh darah, termasuk
pembuluh darah otak.
f. Polocitemia
Pada policitemia viskositas darah meningkat dan aliran darah
menjadi lambat sehingga perfusi otak menurun.
g. Peningkatan kolesterol (lipid total)
Kolesterol tubuh yang tinggi dapat menyebabkan aterosklerosis
dan terbentuknya embolus dari lemak
h. Obesitas
Pada obesitas dapat terjadi hipertensi dan peningkatan kadar
kolesterol sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada
pembuluh darah, salah satunyapembuluh darah otak.
i. Perokok
Pada perokok akan timbul plaque pada pembuluh darah oleh
nikotin sehingga terjadi aterosklerosis.
j. Kurang aktivitas fisik
Kurang aktivitas fisik dapat juga mengurangi kelenturan fisik
termasuk kelenturan pembuluh darah (embuluh darah menjadi kaku),
salah satunya pembuluh darah otak.

22
5. Gejala klinis
Tanda dan gejala dari stroke adalah hilangnya kekuatan salah satu
bagian tubuh, terutama di satu sisi, termasuk wajah, lengan atau
tungkai, hilangnya sensasi disuatu bagian tubuh, terutama disatu sisi,
hilangnya penglihatan total, tidak mampu berbicara dengan benar,
hilangnya keseimbangan, serangan sementara jenis lain, seperti vertigo,
pusing, kesulitan menelan, kebingungan, gangguan daya ingat, nyeri
kepala yang terlalu parah dan perubahan kesadaran yang tidak dapat
dijelaskan atau kejang (Soeharto 2007). Gejala-gejala neurologi yang
timbul biasanya bergantung pada arteri yang tersumbat.
6. Penegakkan diagnosis
Pemeriksaan diagnostik Menurut Smeltzer & Bare, (2008); Black
& Hawks, (2005), pemeriksaan diagnostik yang sering dilakukan pada
pasien strok antara lain:
1. CT Scan. Pemeriksaan awal untuk nenentukan apakah pasien
termasuk stroke hemoragik atau non hemoragik. Pemeriksaan ini
dapat melihat adanya edema, hematoma, iskemia dan infark.

23
2. Angiografi Serebral. Membantu menentukan penyebab stroke secara
spesifik, seperti perdarahan atau obstruksi arteri, ada tidaknya oklusi
atau rupture.
3. Pungsi Lumbal. Menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya
ada trombosisi, emboli serebral, TIA.
4. MRI. Menunjukkan daerah yang mengalami infakr, hemoragik,
kelainan bentuk arteri-vena.
5. EEG. Mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak
dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
Pemeriksaan CT scan kepala merupakan pemeriksaan gold standar
untuk menegakkan diagnosis stroke (Rumantir, 2007). Untuk
membedakan stroke iskemik karena trombosis atau emboli memang
sulit dibedakan dari gejala klinis saja. Diagnosis stroke emboli biasanya
ditegakkan secara inferensi. Pada beberapa kasus ditemukan adanya
obstruksi arteri melalui pemeriksaan arteriografi. Penemuan yang
mendukung ke arah diagnosis stroke emboli adalah awitan yang akut
dan ditemukannya sumber emboli (Harsono, 2005).
Diagnosis stroke iskemik ditegakkan apabila ditemukan defisit
fokal dan ditemukan gambaran infark pada CT scan atau tidak
ditemukan adanya perdarahan pada CT scan kepala selama observasi,
misalnya pasien dengan gambaran klinik stroke tetapi menunjukkan
gambaran CT scan yang normal. Untuk menegakkan diagnosis stroke,
terlebih dahulu harus dilakukan anamnesis mengenai gejala awal,
perkembangan gejala, riwayat penyakit sebelumnya, faktor risiko yang
ada, dan pengobatan yang sedang dijalani. Berikutnya adalah
melakukan pemeriksaan neurologis lengkap untuk mengetahui
kemungkinan letaknya lesi. Untuk membedakan diagnosis stroke itu
merupakan infark / hemoragik dapat dilakukan konfirmasi dengan
melakukan CT scan (Roger, et al., 2009). Menurut bachrudin Saat ini
telah ada beberapa model skoring diagnostik stroke seperti siriraj score,
juniadi score, dan algorritma gajahmada untuk menggantikan CT scan
(gold standar, apabila alat ini tidak bisa digunakan karena beberapa hal

24
seperti alat tidak ada, terlalu mahal, kondisi pasien tidak
memungkinkan.
7. Terapi
Waktu merupakan hal terpenting dalam penatalaksanaan stroke
non hemoragik yang diperlukan pengobatan sedini mungkin, karena
jeda terapi dari stroke hanya 3-6 jam.
1. Prinsip penatalaksanaan stroke non hemoragik
a. Memulihkan iskemik akut yang sedang berlangsung (3-6 jam
pertama) menggunakan trombolisis dengan rt-PA (recombinan
tissue-plasminogen activator). Ini hanya boleh di berikan dengan
waktu onset <3 jam dan hasil CT scan normal, tetapi obat ini sangat
mahal dan hanya dapat di lakukan di rumah sakit yang fasilitasnya
lengkap.
b. Mencegah perburukan neurologis dengan jeda waktu sampai 72 jam
yang diantaranya yaitu :
1) Edema yang progresif dan pembengkakan akibat infark. Terapi
dengan manitol dan hindari cairan hipotonik.
2) Ekstensi teritori infark, terapinya dengan heparin yang dapat
mencegah trombosis yang progresif dan optimalisasi volume dan
tekanan darah yang dapat menyerupai kegagalan perfusi.
3) Konversi hemoragis, msalah ini dapat di lihat dari CT scan, tiga
faktor utama adalah usia lanjut, ukuran infark yang besar, dan
hipertensi akut, ini tak boleh di beri antikoagulan selama 43-72 jam
pertama, bila ada hipertensi beri obat antihipertensi.
c. Mencegah stroke berulang dini dalam 30 hari sejak onset gejala
stroke terapi dengan heparin.
2. Protokol penatalaksanaan stroke non hemoragik akut
a. Pertimbangan rt-PA intravena 0,9 mg/kgBB (dosis maksimum 90
mg) 10% di berikan bolus intravena sisanya diberikan per drip dalam
waktu 1 jam jika onset di pastikan <3 jam dan hasil CT scan tidak
memperlihatkan infrak yang luas.
b. Pemantauan irama jantung untuk pasien dengan aritmia jantung atau
iskemia miokard, bila terdapat fibrilasi atrium respons cepat maka

25
dapat diberikan digoksin 0,125-0,5 mg intravena atau verapamil 5-10
mg intravena atau amiodaron 200 mg drips dalam 12 jam.
c. Tekanan darah tidak boleh cepat-cepat diturunkan sebab dapat
memperluas infrak dan perburukan neurologis. Pedoman
penatalaksanaan hipertensi bila terdapat salah satu hal berikut :
1) Hipertensi diobati jika terdapat kegawat daruratan hipertensi
neurologis seperti, iskemia miokard akut, edema paru kardiogenik,
hipertensi maligna (retinopati), nefropati hipertensif, diseksi aorta.
2) Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada tiga kali
pengukuran selang 15 menit dimana sistolik >220 mmHg, diastolik
>120 mmHg, tekanan arteri rata-rata >140 mmHg.
d. Pertimbangkan observasi di unit rawat intensif pada pasien dengan
tanda klinis atau radiologis adanya infrak yang masif, kesadaran
menurun, gangguan pernafasan atau stroke dalam evolusi.
e. Pertimbangkan konsul ke bedah saraf untuk infrak yang luas.
f. Pertimbangkan sken resonasi magnetik pada pasien dengan stroke
vetebrobasiler atau sirkulasi posterior atau infrak yang tidak nyata
pada CT scan.
g. Pertimbangkan pemberian heparin intravena di mulai dosis 800
unit/jam, 20.000 unit dalam 500 ml salin normal dengan kecepatan
20 ml/jam, sampai masa tromboplastin parsial mendekati 1,5 kontrol
pada kondisi:
1) Kemungkinan besar stroke kardioemboli
2) TIA atau infrak karena stenosis arteri karotis
3) Stroke dalam evolusi
4) Diseksi arteri
5) Trombosis sinus dura
8. Prognosis
Prognosis stroke dapat dilihat dari 6 aspek yakni: death, disease,
disability, discomfort, dissatisfaction, dan destitution. Keenam aspek
prognosis tersebut terjadi pada stroke fase awal atau pasca stroke.
Untuk mencegah agar aspek tersebut tidak menjadi lebih buruk maka
semua penderita stroke akut harus dimonitor dengan hati-hati terhadap
keadaan umum, fungsi otak, EKG, saturasi oksigen, tekanan darah dan
suhu tubuh secara terus-menerus selama 24 jam setelah serangan stroke.

26
Stroke Infark memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan pasien
yang mengalami stroke Hemoragik (Junaidi, 2011).
9. Komplikasi
Menurut Pudiastuti (2011) pada pasien stroke yang berbaring lama
dapat terjadi masalah fisik dan emosional diantaranya:
1. Bekuan darah (Trombosis) Mudah terbentuk pada kaki yang lumpuh
menyebabkan penimbunan cairan, pembengkakan (edema) selain itu
juga dapat menyebabkan embolisme paru yaitu sebuah bekuan yang
terbentuk dalam satu arteri yang mengalirkan darah ke paru.
2. Dekubitus Bagian tubuh yang sering mengalami memar adalah
pinggul, pantat, sendi kaki dan tumit. Bila memar ini tidak dirawat
dengan baik maka akan terjadi ulkus dekubitus dan infeksi.
3. Pneumonia Pasien stroke tidak bisa batuk dan menelan dengan
sempurna, hal ini menyebabkan cairan terkumpul di paruparu dan
selanjutnya menimbulkan pneumoni.
4. Atrofi dan kekakuan sendi (Kontraktur) Hal ini disebabkan karena
kurang gerak dan immobilisasi.
5. Depresi dan kecemasan Gangguan perasaan sering terjadi pada
stroke dan menyebabkan reaksi emosional dan fisik yang tidak
diinginkan karena terjadi perubahan dan kehilangan fungsi tubuh.

C. STROKE KARDIOEMBOLI
Meningkatnya usia harapan hidup di Indonesia yang
diperkirakan akan menempati posisi keenam tertinggi di dunia pada
tahun 2020 cenderung meningkatkan risiko terjadinya penyakit vaskuler.
Salah satu penyakit vaskuler berbahaya adalah stroke. Stroke merupakan
gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat gangguan aliran darah
karena sumbatan atau pecahnya pembuluh darah di otak. Stroke adalah
penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit jantung koroner dan
kanker, selain itu stroke juga merupakan penyebab kecacatan
tertinggi pada dewasa di dunia. Stroke non hemoragik merupakan
jenis tersering yaitu sebesar 80% hingga 90% dari total kasus stroke.

27
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 melaporkan angka
kejadian stroke di Indonesia adalah 7 per 1.000 penduduk. Klasifikasi
stroke dibagi ke dalam stroke hemoragik dan stroke iskemik. Stroke
hemoragik memiliki angka kejadian sebanyak 15% dari seluruh stroke,
terbagi merata antara jenis stroke perdarahan intraserebral dan stroke
perdarahan subaraknoid. Stroke iskemik memiliki angka kejadian 85%
terhadap seluruh stroke dan terdiri dari 80% stroke aterotrombotik dan
20% stroke kardioemboli. Stroke aterotrombotik dapat dibedakan dengan
stroke kardioemboli dari sumber embolinya. Dimana stroke aterotrombotik
memiliki sumber aterogenik emboli dari plak karotis. Selain itu
aterotrombotik juga dapat dihasilkan dari suatu stenosis carotis yang
mengakibatkan penurunan aliran darah ke otak. Aterosklerotik
pada pembuluh darah intrakranial dan arteri penetran juga merupakan
penyebab dari stroke jenis ini. Stroke kardioemboli diakibatkan dari
emboli yang berasal dari jantung. Sebab tersering timbulnya
emboli ini adalah fibrilasi atrium (AF; Atrial Fibrillation) atau
terdapat kelainan pada katup jantung.

Gambar 2.2 kelainan jantung


Kejadian penyakit stroke yang dapat dimodifikasi salah satunya
yaitu penyakit jantung. Penyakit jantung yang dapat menjadi

28
faktor risiko tinggi stroke diantaranya fibrilasi atrium. Penyakit
jantung yang dapat menyebabkan stroke terdapat sekitar 15% atau satu
dari enam kasus stroke non hemoragik yang biasanya
merupakan emboli jantung. Fibrilasi atrium merupakan penyakit
jantung yang paling sering ditemukan dalam praktik klinik
sehari-hari dan merupakan aritmia menetap paling sering
dibandingkan tipe aritmia lainnya. Fibrilasi atrium dialami sekitar 1-2%
populasi dan meningkat kejadiannya seiring dengan pertambahan
usia. Insidensi fibrilasi atrium di Indonesia memperlihatkan suatu
pola peningkatan signifikan dari tahun ke tahun

Data yang diperoleh dari Pusat Jantung Nasional Harapan


Kita Jakarta menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah penderita
fibrilasi atrium di Indonesia, yaitu 7,1% pada tahun 2010; 9,0% pada tahun
2011; 9,3% pada tahun 2012 dan meningkat menjadi 9,8% pada tahun
201310. Fibrilasi atrium adalah penyakit jantung yang paling sering
berkaitan dengan emboli serebral. Di Amerika Serikat hampir setengah
dari emboli kardiogenik terjadi pada pasien dengan fibrilasi atrium.
Menurut Framingham (2007), insidensi stroke non hemoragik ditemukan
lima kali lebih tinggi pada pasien fibrilasi atrium dibandingkan pasien non

29
fibrilasi atrium. Pembentukan trombus atau emboli dari jantung
sepenuhnya belum diketahui, terdapat beberapa faktor prediktif pada
kelainan jantung yang berperan dalam proses emboli, yaitu faktor
mekanik, stasis aliran darah di atrium, dan proses trombolisis di
endokardium. Upaya pencegahan terhadap penyakit stroke perlu
dilakukan sedini mungkin. Hal ini dapat dilakukan dengan memodifikasi
faktor risiko yang dapat dimodifikasi salah satunya yaitu fibrilasi atrium.
Stroke kardioemboli adalah suatu gangguan neurologis akut yang
disebabkan oleh gangguan pembuluh darah, dimana secara mendadak atau
cepat timbul gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah, fokal di otak,
akibat suatu emboli yang berasal dari jantung Stroke kardioemboli
awitannya dimulai dengan defisit neurologik fokal yang dapat
menjadi lebih berat, dasar diagnosa klinik dibuktikan dengan adanya
sumber emboli dari jantung dan tidak ditemukannya penyebab lain dari
strokenya.
Prevalensi stroke kardioemboli lebih tinggi pada usia dibawah 45
tahun, antara 23-36%, walaupun pada kenyataannya penyakit jantung
mayor yang mendasarinya lebih banyak pada usia yang lebih tua.
Kardioemboli merupakan salah satu dari 3 penyebab stroke paling sering
pada dewasa muda. Penyakit jantung sering menjadi sumber emboli
tergantung dari suatu daerah, misalnya untuk negara berkembang
penyakit jantung rematik merupakan yang paling sering menajdi
sumber emboli sedangkan untuk negara Eropa dan Amerika Utara
prolaps katup mitral dan paten foramen ovale.
Frekuensi terjadinya tipe emboli yang berbeda bervariasi,
tergantung dari umur penderita, emboli yang berasal dari penyakit katup
jantung rematik terdapat pada usia muda, emboli yang berasal dari
atherosklerosis lebih banyak ditemukan pada usia yang lebih tua. Hal
ini perlu diketahui karena penyakit jantung dan atherosklerotik
dapat timbul bersama-sama, sehingga walupun sumber potensial untuk
terjadinya kardioemboli ada, tidak berarti penyebab infark serebri adalah

30
kardioemboli. Diagnosa kardioemboli adalah sangat penting untuk
ditegakkan sebab evaluasi dan terapinya berbeda dari penyakit
pembuluh darah otak. Pembentukan emboli yang menoklusi arteri di otak
bisa bersumber dari jantung sendiri atau berasal dari luar jantung, tetapi
pada perjalanannya melalui jatung, misalnya sel tumor, udara dan lemak
pada trauma, parasit dan telurnya. Yang sering terjadi adalah emboli dari
bekuan daran (clots) karena penyakit jantungnya sendiri. Trombus
intracardiak di atrium ventrikel kiri paling sering menyebabkan emboli,
walaupun trombus di atrium, ventrikel kanan dan ekstremitas dapat
menyebabkan emboli otak melalui septal defek di jantung. Trombus di
ventrikel kiri dapat pula terjadi karena proses koagulopati trombosik tanpa
disertai kelainan jantung.
Caplan LR (1991) membagi berbagai tipe dari bahan emboli
yang berasal dari jantung, yaitu :
1. Trombus merah, trombus terutama mengandung fibrin (aneurisma
ventrikel)
2. Trombus putih, aggregasi pletelet – fibrin (Infark miokard)
3. Vegetasi endocarditis marantik
4. Bakteri dan debris dari vegetasi endocarditis
5. Kalsium (kalsifikasi dari katup dan anulus mitral)
6. Myxoma dan framen fibroelastoma
a. Patogenesis
Proses pembentukan emboli
Pembentukan trombus atau emboli dari jantung belum
sepenuhnya diketahui, tetapi ada beberapa faktor prediktif pada
kelainan jantung yang berperan dalam proses pembentukan emboli,
yaitu
a) Faktor mekanis
Perubahan fungsi mekanik pada atrium setelah gangguan
irama (atrial fibrilasi), mungkin mempunyai korelasi erat dengan

31
timbulnya emboli. Terjadinya emboli di serebri setelah terjadi kardioversi
elektrik pada pasien atrial fibrilasi.
Endokardium mengontrol jantung dengan mengatur
kontraksi dan relaksasi miokardium, walaupun rangsangan tersebut
berkurang pada endokardium yang intak. Trombus yang menempel
pada endokardium yang rusak (oleh sebab apapun), akan
menyebabkan reaksi inotropik lokal pada miokardium yang
mendasarinya, yang selanjutnya akan menyebabkan kontraksi
dinding jantung yang tidak merata, sehingga akan melepaskan material
emboli. Luasnya perlekatan trombus berpengaruh terahadap
terjadinya emboli. Perlekatan trombus yang luas seperti pada aneurisma
ventrikel mempunyai resiko (kemungkinan) yang lebih rendah untuk
terjadi emboli dibandingkan dengan trombus yang melekat pada
permukaan sempit seperti pada kardiomiopati dilatasi, karena trombus
yang melekat pada oermukaan sempit mudah lepas.
Trombus yang mobile, berdekatan dengan daerah yang
hiperkinesis, menonjol dan mengalami pencairan di tengahnya
serta rapuh seperti pada endokarditis trombotik non bakterial
cenderung menyebabkan emboli.
b) Faktor aliran darah
Pada aliran laminer dengan shear rate yang tinggi akan terbentuk
thrombus yang terutama mengandung trombosit, karena pada shear rate
yang tinggi adesi trombosit dan pembentukan trombus di
subendotelial tidak tergantung pada fibrinogen, pada shear rate
yang tinggi terjadi penurunan deposit fibrin, sedangkan aggregasi
trombosit meningkat. Sebaliknya pada shear rate yang rendah
seperti pada stasis aliran darah atau resirkulasi akan terbentuk thrombus
yang terutama mengandung fibrin, karena pada shear rate yang
rendah pembentukan trombus tergantung atau membutuhkan fibrinogen.
Stasis aliran darah di atrium, merupakan faktor prediktif terjadinya emboli

32
pada penderita fibrilasi atrium, fraksi ejeksi yang rendah, gagal jantung,
infark miokardium, kardiomiopati dilatasi.
c) Proses trombolisis di endokardium
Pemecahan trombus oleh enzim trombolitik endokardium berperan
untuk terjadinya emboli, walupun pemecahan trombus ini tidak
selalu menimbulkan emboli secara klinik. Hal ini telah dibuktikan bahwa
bekuan (clot) setelah Infark miocard, menghilang dari ventrikel kiri tanpa
gejala emboli dengan pemeriksaan ekhokardiografi. Keadaan kondisi
aliran lokal yang menentukan kecepatan pembentukan deposit platelet
disertai dengan kerusakan endotelium yang merusak proses litik, kedua hal
ini akan menyebabkan trombus menajdi lebih stabil.

Perjalanan emboli dari jantung


Emboli yang keluar dari ventrikel kiri, akan mengikuti aliran darah
dan masuk ke arkus aorta, 90% akan menuju ke otak, melalui
a.karotis komunis (90%) dan a.veterbalis (10%). Emboli melalui
a.karotis jauh lebih banyak dibandingkan dengan a.veterbalis karena
penampang a.karotis lebih besar dan perjalanannya lebih lurus, tidak
berkelok-kelok, sehingga jumlah darah yang melalui a.karotis jauh lebih
banyak (300 ml/menit), dibandingkan dengan a.veterbalis (100 ml/menit).
Emboli mempunyai predileksi pada bifurkatio arteri, karena
diameter arteri dibagian distal bifurkasio lebih kecil dibandingkan
bagian proksitelnya, terutama pada cabang a.serebrimedia bagian distal
a.basilaris dan a.serebri posterior. Emboli kebanyakan terdapat di a.serebri
media, bahkan emboli ulang pun memilih arteri ini juga, hal ini
disebabkan a.serebri media merupakan percabangan langsung dari a.
karotis interna, dan akan menerima darah 80% darah yang masuk a.karotis
interna.
Emboli tidak menyumbat cabang terminal korteks ditempat
watershead pembuluh darah intrakranial, karena ukurannya lebih
besar dari diameter pembuluh darah ditempat itu. Berdasarkan

33
ukuran emboli, penyumbatan bisa terjadi di a.karotis interna,
terutama di karotis sipon. Emboli mungkin meyumbat satu atau lebih
cabang arteri.
Emboli yang terperangkan di arteri serebri akan menyebabkan
reaksi :
 endotel pembuluh darah
 permeabilitas pembuluh darah meningkat
 vaskulitis atau aneurisma pembuluh darah
 iritasi lokal, sehingga terjadi vasospasme lokal.
Selain keadaan diatas, emboli juga menyebabkan obstrupsi
aliran darah, yang dapat menimbulkan hipoksia jaringan dibagian
distalnya dan statis aliran darah, sehingga dapat membentuk formasi
rouleaux, yang akan membentuk klot pada daerah stagnasi baik distal
maupun proksimal. Gangguan fungsi neuron akan terjadi dalam beberapa
menit kemudian, jika kolateral tidak segera berfungsi dan
sumbatan menetap. Bagian distal dari obstrupsi akan terjadi
hipoksia atau anoksia, sedangkan metabolisme jaringan tetap
berlangsung, hal ini akan menyebabkan akumulasi dari karbondiaksida
(CO2) yang akan mengakibatkan dilatasi maksimal dari arteri, kapiler dan
vena regional. Akibat proses diatas dan tekananaliran darah dibagian
proksimal obstrupsi, emboli akan mengalami migrasi ke bagian distal.
Emboli dapat mengalami proses lisis, tergantung dari :
 faktor vaskuler, yaitu proses fibrinolisis endotel lokal, yang
memegang peran
dalam proses lisis emboli
 komposisi emboli, emboli yang mengandung banyak trombosit dan
sudah lama
terbentuk lebih sukar lisis, sedangkan yang terbentuk dari bekuan darah
(clot)
mudah lisis
Oedem serebri

34
Oedem serebri didefinisikan sebagai akumulasi cairan yang
abnormal di serebri, yang menyebabkan penambahan volume serebri.
Emboli yang menyumbat arteri serebri secara permanen akan
menyebabkan iskemia jaringan otak, yang menyebabkan kematian
sel otak, karena kegagalan energi. Teori ini menerangkan
kehidupan sel tergantung dari homeostasis yang utuh, termasuk
homeostasis seluler yang mempunyai aktifitas seperti pompa ion,
transport aktif, yang prosesnya tergantung dari energi. Bila ada
gangguan dari respirasi seluler, seperti iskemia,akan menyebabkan
gangguan homeostasis dan terjadi kematian sel. Tipe kematian sel ini
disebut kematian karena kegagalan energi yang mempunyai sifat
kematian pannekrosis, yaitu kematian seluruh neuron, sel glia, dan dinding
pembuluh darah.
Keadan ini akan menyebabkan gangguan dari tekanan intaseluler
atau membran sel, sehingga terjadi gangguan transport natrium-
kalium, disertai masuknya cairan kedalam intra sel. Oedem
serebri yang terjadi disebut sebagai oedem serebri sitotoksik.
Evolusi temporal dari Infark iskemik mulai dari beberapa menit sampai
beberapa jam dan kerusakan fokal hampir selalu berhubungan dengan
oedem serebri.
Selama periode iskemia dan reperfusi di pembuluh darah perifer
akan terjadi deplesi dari neutrofil, mikroglia yang reaktif, makrofag akan
mengeluarkan mediator kimia seperti bradikinin, serotonin, histamin,
dan asam arakhinoid yang menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah. Selain hal diatas peningkatan permeabilitas
pembuluh darah juga disebabkan adanya peningkatan tekanan
hidrostatik lokal. Iskemia juga meyebabkan akumulasi dari substansi
osmolal, seperti natrium, laktat dan asam organik lainnya, yang
mempermudah terjadinta oedem setelah resirkulasi. Oedem yang terjadi
karena adanya akumulasi cairan secara pasif di ruang interstitial sel
serebri. Oedem ini disebut sebagai oedem serebri vasogenik. Secara

35
teoritis oedem serebri vasogenik tidak akan terjadi selama iskemia
serebri yang komplit, tidak ada aliran, tidak ada oedem.
Oedem serebri merupakan karakteristik dari Infark karena
emboli, walaupun setiap Infark selalu ada menyebabkan oedem serebri
(kadang tidak bermanifestasi). Oedem serebri yang masif biasanya timbul
setelah infark luas yang terjadi setelah oklusi a. serebri media atau a.
karotis interna yang permanen. Hasil otopsi menunjukkan 2/3 dari Infark
serebri yang luas dengan oedem serebri berasal dari kardioemboli. Oedem
serebri iskemia mencapai volume maksimal setelah hari ke 3-4 akumulasi
cairan diresorbsi setelah hari ke 4-5.

Infark berdarah
Infark berdarah bila ditemukan sejumlah sel darah merah
diantara jaringan nekrotik. Pada otopsi ditemukan fokus berupa
perdarahan petkhial yang menyebar sampai perdarahan petkhial yang
berkumpul sehingga hampir meyerupai hematoma yang masif. Seperti
yang telah diuraikan diatas bahwa emboli yang mengoklusi arteri serebri
bisa permanen, migrasi atau lisis, bila terjadi resirkulasi karena migrasi
atau lisis setelah jaringan serebri mengalami nekrosis, tekanan darah
arterial yang normal akan memasuki kapiler yang hipoksia akan
menyebabkan diapedesis dari sel darah merah melalui dinding kapiler
yang hipoksia. Makin hebat resirkulasi dan makin berat kerusakan dinding
kapiler akan menyebabkan makin masifnya infark berdarah. Infark
berdarah ini biasanya terletak diproksimal Infark.
b. Penyakit jantung sebagai sumber emboli
1. Kardiomiopati dilatasi
Pada kardiomiopati dilatasi terjadi ganguan kontraksi ventrikel
secara menyeluruh. Manifestasi penyakit ini menjadi gagal jantung
progresif, dan aritmia. Aritmia yang timbul biasanya sebagai ventrikel
takhicardia dan 20-30% menjadi atrial fibrilasi kronik. Patogenesa
terjadinya trombus dipercaya karena adanya aliranyg statis di intrakavitas.

36
Trombus yang terjadi cendrung kecil dan menyebar diseluruh kapitas
dengan predileksi di apeks, tempat statis aliran maksima. Deteksi trombus
dengan ekhokardiografi ditemukan antara 11-58% pada penderita
kardiomiopati dilatasi, tetapi deteksi trombus ini tidak berkolerasi dengan
emboli yang terjadi.
2. Infark miokrdium
Komplikasi stroke kardioemboli pada Infark miokardim akut
(IMA) mencapai 2,5% dari pasien dalam waktu 2-4 minggu. Hasil otopsi
menunjukkan, bahwa prevalensi trombus ventrikel kiri dengan emboli
lebih tinggi dari yang bermanifestasi klinik. Faktor resiko terbentuknya
trombus ventrikel kiri adalah segmen ventrikel yang hipokinetik atau
akinetik (yang menyebabkan statis aliran darah dan kerusakan dari
permukaan endokardim (sebagai faktor trombogenik).
Pada pemeriksaan EEG pada 24 jam pertama setelah awitan dari IMA
biasanya tidak ditemukantrombus ventrikel kiri. Pembentukan trombus
mulai terjadi pada hari 1- 7, dan berkembang sampai minggu ke-2. kurang
lebih 1/3 dari thrombus akan menonjol ke dalam rongga ventrikel dan
sisanya berbentuk mural atau datar.
Trombus yang bergerak (mobil) dan/atau menonjol ke rongga
ventrikel mempunyai resiko emboli lebih tinggi dibandingkan bentuk nural
neurisma pasca Infark miokardium Pada aneurisma ventrikel terajdi stasis
sirkulasi regional yang merupakan faktor predisposisi terbentuknya
trombus di ventrikel kiri. Trombus biasanya berbentuk datar,
melekat pada permukaan yang luas dan tidak bergerak. Trombus ini jarang
menimbulkan emboli.
3. Miksoma atrium
Tumor primer jantung, jinak, biasanya di atrium kiri,
insidensi jarang, biasanya mengenai dewasa muda dan pertengahan
dan sangat jarang menyebabkan stroke. Gejala yang umum timbul
sebagai sekunder dari obstruksi aliran jantung, manifestasi emboli
hanya 20-45%, dan emboli yang ke arteri serebri sekitar 50% dari

37
kasus. Material emboli terdiri dari 2 tipe, platelet fibrin dan fragmen
tumor.
4. Defek septum
Kelainan atau defek pada septum mencakup paten foramen ovale,
defek atrio septal dan fistula pulmonal arteriovenosus, yang menyebabkan
aliran system langsung memasuki aliran arteri dengan membawa material
emboli, disebut sebagai emboli paradoksikal.
Pada otopsi didapatkan 30-35% menderita paten foramen ovale,
sedangkan pada pemeriksaan ekhocardiografi dengan kontras pada orang
normal, didapatkan 10-18%. Emboli paradoksikal sering diduga sebagai
penyebab stroke yang tidak jelas penyebabnya.
5. Kelainan katup mitral rematik
Trombus di ventrikel kiri ditemukan pada 15-17% otopsi,
yang tidak mempunyai riwayat emboli. Trombus bisa timbul pada
penderita dengan stenosis mitral sedang, dan terbentuk sebagai Jet
lession yang terbentuk di dinding ventrikel kiri,material trombus bisa
dari klot di atrium kiri, atau klot dan kalsium dari katup mitral sendiri.
Emboli berulang sering terjadi (30-75%),biasanya dalam
waktu 6-12 bulan. Timbulnya atrial fibrilasi meningkatkan resiko
emboli menjadi 4 kali. Resiko emboli juga meningkat berkolerasi
dengan lamanya senosis mitral
Katup protesis meningkatkan trombogenik, sehingga
tromboemboli menjadi komplikasi morbiditas dan mortalitas yang
utama. Rata-rata emboli penderita dengan katup protesis mitral 3-
4% pertahun, sedangkan pada katup aorta protesis lebih rendah, yaitu
1,2-2,2% pertahun. Komplikasi lain endokarditis katup protesis, yang
mempunyai insidensi 2,4% pertahun, menjadi sumber yang sangat
potensial untuk terjadi emboli.
6. Endokarditis bakterial
Insidensi endokarditis bakterial menurun sesuai dengan
penurunan dari penyakit jantung rematik,perkembangan antibiotik, dan

38
tindakan operatif, tetapi insidensi stroke karena endokarditis bakterial (15-
20%) tidak menurun. Keadaan ini dapat diterangkan bahwa mayoritas
stroke timbul setelah 48 jam terjadinya endokarditis bakterial, dan
resiko serta berat emboli lebih tinggi pada infeksi stabilacoccus
aureus atau epidermidis dengan katup protesis. Stroke dapat pula terjadi
tanpa manifestasi endokarditis bakterial. Komplikasi neurologis ke
susunan saraf pusat bisa menajdi beberapa bentuk, yaitu iskemia,
hemorrhage, ensefalopati toksik, meningitis, arteritis, biogenik,
aneurisma mikotik, dan perdarahan subarakhnoid, tergantung dari
bagian dan ukuran dari emboliseptik. Prediktif resiko emboli dari deteksi
vegetasi katup dengan echocardiografi tidak sepenuhnya berkorelasi,
untuk mengurangi resiko stroke hanya dengan secepat mungkin
menanggulangi infeksi dengan pemberian antibiotik.
7. Endokarditis trombotik nonbakterial (ETN)
Emboli terjadi dari vegetasi steril yang tumbuh pada katup,
biasanya penderita dengan adenocarsinoma paru, pankreas, prostat
dan paling banyak malignansi hematologi. Disebut juga sebagai
marantic, terminal, dan verrukosa endokarditis. ETN tipe non infeksi
endokarditis, pada katup jantung yang normal, vegetasinya biasanya
kecil terdiri dari platelet dan deposit fibrin, patogenesanya masih belum
pasti, tetapi diperkirakan karena perubahan permukaan katup, dan
keaadaan hiperkoagulasi (DIC, tumor mucin, procoagulan).
8. Porlaps katup mitral (PKM)
PKM merupakan kelainan katup yang terjadi pada 5% populasi umum
dan lebih sering pada wanita muda. Barnett (1980) menemukan 4,7%
penderita stroke dibawah umur 45 tahun disebabkan PKM, dengan
pemeriksaan ekhokardiografi dengan kontras, ditemukan 40% penderita
TIA/stroke dibawah umur 45 tahun disebabkan PKM. PKM dalam
pemeriksaan ekhokardiografi terlihat pergerakan yang sangat berlebih dari
daun katup ke arah atrium. Secara patologi terlihat daun katup dan korda
tendinae mengalami degenerasi musinous dan fibromatous. Gejala dari

39
PKM tidak spesifik. Beberapa komplikasi dari PKM adalah, endokarditis
bakterial, mitral regurgasi, arritmia, kematian mendadak,
endocarditis trombotik non bakterial, serebral dan retinal iskemia.
Trombus bisa terdapat pada katup mitral yang miksomatus, posterior katup
sitral, posterior dinding atrium, bahkan pada daun katup yang bergerak.
Trombus berasal dari daun katup yang berdegenerasi dan dari fibrin dan
platelet. Kalsifikasi annulus mitral (KAM).
KAM merupakan proses kalsifikasi pada orang tua, yang sesuai
dengan proses degerasi. Berhubungan erat dengan aterosklerosis
koroner, gangguan konduksi jantung, atrial fibrilasi kronis,
kardiomegali, gagal jantung, dan aterosklerosis a.karotis.
9. Atrial fibrilasi (AF)
Trombus ventrikel kiri pada penderita AF ditemukan 15,8%,
sedangkan pada kontrol hanya 1,7%. Infark serebri 32,2% pada AF,
sedangkan pada control 11%. Frekuensi Infark serebri meningkat sesuai
dengan lamanya AF. Penyebab AF yang paling sering adalah
penyakit jantung rematik dan penyakit jantung iskemik. Resiko
emboli pada AF paling tinggi setelah terjadi kardioversi elektikal atau
reversi spontan keritme sinus. Trombus terbentuk di atrium kanan karena
stasis dari aliran darah. Non valvular atrial fibrilase (NVAF) berinsidensi
2-5% dari populasi umur 60 tahun, dan prevalensi meningkat sesuai
dengan penambahan usia. NVAF merupakan penyebab mayor
stroke kardioemboli dengan Infark serebri masif. Valvular atrial
fibrilasi mempunyai resiko stroke 17 kali daeri kontrol.
10. Sindrom Sick Sinus (SSS)
SSS merupakan terminologi disfungsi sinoatrial (SA), yang
bermanifestasi bradikardia (kurang dari 50 denyut permenit), sinus arrest
atau sinoatrial block. SSS bisa timbul pada setiap usia tetapi sering pada
orang tua dan berhubungan dengan penyakit jantung iskemik,
kardiomiopati, hipertensi, penyakit jantung rematik. Terjadinya
bradikardi berhubungan dengan supraventrikuler takhikardi dan atrial

40
flutter atau fibrilasi. Patofisiologi terjadinya emboli sama dengan atrial
fibrilasi.
Caplan (1994) mengelompokkan penyakit jantung sebagai
sumber emboli menjadi 3 :
a) kelaianan dinding jantung, seperti kardiomiopati, hipokinesis dan
akinesis dinding ventrikel pasca Infark miocard,aneurisma atrium,
aneurisma ventrikel, miksoma atrium dan tumor lainnya, defek
septum dan paten foramen ovale
b) kelaianan katup, seperti kelainan katup mitral rematik,
penyakit aorta, katup protesis, endokarditis bakterial,
endokarditis trombotik non bakterial, prolapse katup mitral dan
kalsifikasi annulus mitral
c) kelaianan irama, terutama fibrilasi atrium dan sindrom sick sinus
Diagnosis stroke kardioemboli

41
42
c. Penatalaksanaan
(PERDOSSI, 2007)
1) Stadium Hiperakut
Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan
merupakan tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar
kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien
diberi oksigen 2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid; hindari
pemberian cairan dekstrosa atau salin dalam H2O. Dilakukan
pemeriksaan CT-scan otak, elektrokardiografi, foto toraks, darah
perifer lengkap dan jumlah trombosit, protrombin time/INR, APTT,
glukosa darah, kimia darah (termasuk elektrolit); jika hipoksia, dilakukan
analisis gas darah. Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat adalah
memberikan dukungan mental kepada pasien serta memberikan
penjelasan pada keluarganya agar tetap tenang
2) Stadium Akut
Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktor-faktor etiologik
maupun penyulit. Juga dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara
dan psikologis serta telaah social untuk membantu pemulihan pasien.
Penjelasan dan edukasi kepada keluarga pasien perlu, menyangkut
dampak stroke terhadap pasien dan keluarga serta tata cara
perawatan pasien yang dapat dilakukan keluarga.
a. Stroke Iskemik
Terapi umum :Letakkan kepala pasien pada posisi 300, kepala
dan dada pada satu bidang; ubah posisi tidur setiap 2 jam;
mobilisasi dimulai bertahap bila hemodinamik sudah stabil.
Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit sampai
didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan intubasi.
Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian dicari

43
penyebabnya; jika kandung kemih penuh, dikosongkan (sebaiknya
dengan kateter intermiten).
Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-
2000 mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung
glukosa atau salin isotonik. Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi
menelannya baik. jika didapatkan gangguan menelan atau kesadaran
menurun, dianjurkan melalui slang nasogastrik. Kadar gula darah
>150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu 150
mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari
pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah <60 mg% atau <80 mg% dengan
gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan
harus dicari penyebabnya. Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi
dengan pemberian obat-obatan sesuai gejala. Tekanan darah tidak
perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik ≥220 mmHg,
diastolik ≥120 mmHg, Mean Arterial Blood
Pressure (MAP) ≥130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang
waktu 30 menit), atau didapatkan infark miokard akut, gagal jantung
kongestif serta gagal ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal adalah
20%, dan obat yang direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat
reseptor alfa-beta, penyekat ACE, atau antagonis kalsium. Jika terjadi
hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤90 mm Hg, diastolik ≤70 mmHg, diberi
NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan
500 mL selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum
terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih <90 mmHg, dapat
diberi dopamin 2-20 μg/kg/menit sampai tekanan darah sistolik ≥110
mmHg. Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan
selama 3 menit, maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan
pemberian antikonvulsan per oral (fenitoin, karbamazepin). Jika
kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan peroral
jangka panjang. Jika didapatkan tekanan intracranial meningkat,
diberi manitol bolus intravena 0,25 sampai 1 g/kgBB per 30 menit, dan

44
jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum memburuk,
dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari.
Harus dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai
alternatif, dapat diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.
Terapi khusus :
Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet
seperti aspirin dan anti koagulan, atau yang dianjurkan dengan
trombolitik rt-PA (recombinant tissue Plasminogen Activator). Dapat
juga diberi agen neuroproteksi, yaitu sitikolin atau pirasetam (jika
didapatkan afasia).
b. Stroke Perdarahan
Terapi umum
Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume hematoma
>30 mL, perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan
keadaan klinis cenderung memburuk. Tekanan darah harus diturunkan
sampai tekanan darah premorbid atau 15- 20% bila tekanan sistolik >180
mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130 mmHg, dan volume
hematoma bertambah. Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah
harus segera diturunkan dengan labetalol iv 10 mg (pemberian dalam 2
menit) sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum 300 mg;
enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per oral.
Jika didapatkan tanda tekanan intrakranialmeningkat, posisi kepala
dinaikkan 300, posisi kepala dan dada di satu bidang, pemberian manitol
(lihat penanganan stroke iskemik), dan hiperventilasi (pCO2 20-35
mmHg).
Penatalaksanaan umum sama dengan pada stroke iskemik,
tukak lambung diatasi dengan antagonis H2 parenteral, sukralfat,
atau inhibitor pompa proton; komplikasi saluran napas dicegah
dengan fisioterapi dan diobatidengan antibiotik spektrum luas.
Terapi khusus :

45
Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat
vasodilator. Tindakan bedah mempertimbangkan usia dan letak
perdarahan yaitu pada pasien yang kondisinya kian memburuk
dengan perdarahan serebelum berdiameter >3 cm 3, hidrosefalus akut
akibat perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan VP-shunting,
dan perdarahan lobar >60 mL dengan tanda peningkatan tekanan
intrakranial akut dan ancaman herniasi. Pada perdarahan subaraknoid,
dapat digunakan antagonis Kalsium (nimodipin) atau tindakan
bedah (ligasi, embolisasi, ekstirpasi, maupun gamma knife ) jika
penyebabnya adalah aneurisma atau malformasi arteri-vena ( arteriovenous
malformation, AVM).
3) Stadium Subakut
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku,
menelan, terapi wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik).
Mengingat perjalanan penyakit yang panjang, dibutuhkan
penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke di rumah sakit
dengan tujuan kemandirian pasien, mengerti, memahami dan
melaksanakan program preventif primer dan sekunder.
Terapi fase subakut:
a. Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya,
b. Penatalaksanaan komplikasi,
c. Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi,
terapi wicara, terapi kognitif, dan terapi okupasi,
d. Prevensi sekunder
e. Edukasi keluarga dan Discharge Planning

46
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
a. Pembahasan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisisk dan pemeriksaan
penunjag, pasien Tn. N didiagnosis mengalami stroke non hemorrhage.
Stroke non hemorrhage merupakan sebagai suatu disfungsi neurologis
fokal akut yang terjadi akibat infark fokal pada satu atau beberapa
bagian dalam otak. Stroke iskemik terjadi akibat adanya sumbatan
pada pembuluh darah otak, sehingga aliran darah ke otak menjadi
terhenti. Penyumbatan ini disebabkan oleh adanya thrombus atau
embolus sehingga dapat menyebabkan gejala klinis. Gejala-gejala yang
timbul kemungkinan bervariasi, bergantung pada penyebabnya, akibat
pengentalan darah atau perdarahan. Selain itu lokasi pengentalan darah
atau perdarahan serta luas kerusakan area otak juga mempengaruhi
gejala.
Dari hasil anamnesis pasien mengeluhkan pusing berputar
sejak tadi pagi disertai dengan mual dan muntah sebanyak 5 kali. tidak
ada keluhan yang lainnya seperti nyerikepala, muntah, kehilangan
kesadaran, dll. Pasien memiliki riwayat hipertensi 3 tahun namun tidak
terkontrol.
Dari hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan didapatkan hasil
pemeriksaan fisik motorik tidak dapat dinilai, refleks fisiologis
menunjukan nilai normal, serta tidak didapatkan adanya reflex
patologis, tidak didapatkan adanya refleks meningeal, pemeriksaan
nervus cranialis tidak dapat dinilai, pada pemeriksaan test koordinasi
menunjukan hasil yang kurang.
Berdasarkan gejala klinis yang muncul kita dapat menentukan
diagnosis pada pasien dengan menunggu hasil CT-Scan. Berdasarkan
algoritma gajah mada gejala klinis pada pasien: penurunan kesadaran
(-), nyeri kepala (-), refleks babinski (-) menunjukan diagnosis stroke
non hemoragik.
Dari hasil pemeriksaan penunjang berupa laboratorium normal,
dari pemeriksaan EKG menunjukan terdapat STEMI anteroseptal, dan

47
dari pemeriksaan CT scan ditemukan adanya infark di corona radiate
dextr dan crus anterior et posterior capsula interna dextra dengan
cortical infark lobus parietalis sinistra sehingga hal ini memastikan
diagnosis pada Tn. N adalah stroke non hemorrhage.
Dalam penetalaksanaan stroke hal terpenting dalam
penatalaksanaan stroke non hemoragik adalah waktu karena
diperlukan pengobatan sedini mungkin, karena jeda terapi dari stroke
hanya 3-6 jam. Prinsip penatalaksanaan stroke non hemoragic terdiri
dari: Memulihkan iskemik akut yang sedang berlangsung (3-6 jam
pertama) menggunakan trombolisis dengan rt-PA, Mencegah
perburukan neurologis dengan jeda waktu sampai 72 jam yang
diantaranya yaitu, mencegah stroke berulang dini dalam 30 hari. Terapi
yang diberikan pada pasien Infus asering + drip NB 2 amp 20 tpm,
Injeksi citicolin, Infus manitol.
b. Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, pasien didiagnosis mengalami stroke. Stroke yang dialami
pasien merupakan jenis Stroke non hemoragic.

DAFTAR PUSTAKA

Aliah A, Kuswara FF, Limoa RA, Wuysang G. (2005). Gambaran umum tentang
gangguan peredaran darah otak. Dalam: eds. Harsono. Kapita Selekta
Neurologi. Edisi ke-2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; hlm.
81-82.
American Heart Association (AHA), 2011, Management of Patients with Atrial
Fibrillations, Update, AHA, Dallas, American College of Cardiology
Foundations.

48
American Heart Association. (2015). Heart disease and stroke-2015 update: A
report from American Heart Association. Circulation. 2015 January 21;
129(3), e28–e292. doi:10.1161/01.cir.0000441139.02102.80
Arya W. (2011). Strategi mengatasi dan bangkit dari stroke. Yogyakarta: pustaka
pelajar
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (BPPK Depkes RI), 2013, Laporan Nasional Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas), Depkes RI, Jakarta, xiv-111.
Black,J.M., dan Hawks,J.H. (2005). Medical Surgical Nursing. New York. Elsevie
Bradley, Walter G. 2000. Neuro-Oncology in Pocket Companion to Neurology in
Clinical Practice edisi 3. Butterworth. Botson.
Brown, 2006, Penyakit Aterosklerotik Koroner. Di Dalam: Price and Wilson,
2006, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Ed ke-6, vol 1,
EGC, Jakarta, 576-612.
Bruno A, Kaelin DL, Yilmaz EY. The subacute stroke patient: hours 6 to 72 after
stroke onset. In Cohen SN. Management of Ischemic Stroke. McGraw-
Hill. 2000. pp. 53-87.
Castillo L.R., Gopinath. S., Robertson. C.S. Management of Intracranial
Hypertension. Neurol Clin. May 2008; 26(2): 521-541.
Cohen SN. The subacute stroke patient: Preventing recurrent stroke. In Cohen SN.
Management mof Ischemic Stroke. Mc Graw Hill. 2000. pp. 89-109.
Corwin, EJ. (2009). Buku saku patofisiologi, 3 edn, EGC, Jakarta.
Currie CJ, Morgan CL, Gill L, Stott NCH, Peters A. Epidemiology and costs of
acute hospital care for cerebrovascular disease in diabetic and non
diabetic populations. Stroke 1997;28: 1142-6.
De Freitas GR, Christoph DDH, Bogousslavsky J. Topographic classification of
ischemic stroke, in Fisher M. (ed). Handbook of Clinical Neurology, Vol.
93 (3rd series). Elsevier BV, 2009.
Dewanto, G. 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Fisher M and Norrving B, 2011, The International Agenda for Stroke.
Go AS; Hylek EM; Phillips KA; Chang Y, Henault LE; Selby JV, et.al., 2011,
Prevalence of Diagnosed Atrial Fibrillation in Adults, National
Implications for Rhythm Management and Stroke Prevention,the
AnTicoagulation and Risk Factors in Atrial Fibrillation (ATRIA) Study,
JAMA; 285(18):2370-2375.
Gofir, A., 2009, Manajemen Strok: Evidence Based Medicine, Cetakan ke-1,
Pustaka Cendikia Press, Yogyakarta.
Hacke W, Kaste M, Bogousslavsky J, Brainin M, Chamorro A, Lees K et al..
Ischemic Stroke Prophylaxis and Treatment - European Stroke Initiative
Recommendations 2003.
Harsono. (2005). Kapita Skeletal Neurologi. Edisi ke-2. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Hartwig, MS. (2012). Penyakit Serebrovaskular. Dalam: Price SA, Wilson LM,
penyunting. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke-

49
6. (diterjemahkan oleh: Pendit B.U., Hartanto, H., Wulansari P., Mahanani,
D.A.). Jakarta: EGC. hlm. 1105-32
International Classification of Diseases (ICD)-11. (2013). International
Classification of Diseases (ICD-11) and neurologic disorders
Japardi, 2002, Patogenesis Strok Kardioemboli, Jurnal Kardiologi FK USU.
Junaidi, I. (2011). Stroke waspadai ancamannya. Yogyakarta : ANDI.
Mardjono M, Sidharta P. 2007. Dalam: Neurologi klinis dasar. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universtas Indonesia.
National Strok Association (NSA), 2009, Strok Risk Factors, Tersedia pada:
http://www.stroke.org/site/PageServer?pagename=RISK.
National Stroke Association. (2009). Risk factor of stroke; Available from: URL:
HIPERLINK http://www.stroke.org/site/PageServer?pagename=risk
PERDOSSI. Pedoman penatalaksanaan stroke. Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia (PERDOSSI), 2007.
Price, S. A. dan Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Edisi 6, Volume 1. Jakarta: EGC.
Pudiastuti. (2011). Penyakit pemicu stroke . Yogyakarta: Nuha Medika
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). (2013). Balitbang Kemenkes RI. 2013. Riset
Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI
Robbins, S. L. Kumar, V., Contran, R. S., Robbins, S. L. (2005). Robbins Buku
Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC. 369-377
Roger P. Simon, et al. (2009). Lange Clinical Neurology 7th Ed. San fransisco :
McGraw HillStroke Association
Satyanegara. 2014. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Jakarta: Percetakan PT
Gramedia.
Sembiring K., 2010, Hubungan Kelainan Jantung dengan Strok Iskemik pada
Pasien Rawat Inap di Bagian Neurologi FK USU/RSUP Haji Adam Malik
Medan, [25 agustus 2013].
Shafi’i, J. Sukiandra, R., Mukhyarjon. (2016). Correlation of stress
hyperglycemia with barthel index in acute non-hemorrhagic stroke patients
at neurology ward of rsud arifin achmad pekanbaru. JOM Volume.3 No. 1.
Smeltzer & Bare. (2008). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC
Smith SD, English JD, Johnston, SC. (2012). Cerebrovascular Disease. Dalam
Longo, et al, penyunting. Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th.
Edisi ke-18. New York: The McGraw-Hill Companies. hlm. 3270- 99
Soeharto, I. (2007). Pencegahan dan Penyembuhan Penyakit Jantung Koroner.
Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Statistical, 2012, Age Distribution by Country or Area, US Cencus Bureau,
Tersedia pada: http: //www.census.gov/compendia/statab/cats
/international_stasistics/population_households (diunduh 9 september
2013).

50
WHO. MONICA. Manual Version 1: 1. 1986.
Wilkinson, Iain. 2005. Brain Tumour. Essential Neurology, 4th Edition. Page 50-
52.
World Health Organization (WHO), 2011, Global Atlas on Cardiovascular Disease
Prevention and Control, WHO, Press.Geneva; 1: 1-120.
Wulandari. (2007). Dalam Robbins. Buku Ajar Patologi. Volume 2 Ed/7. Hartanto
H, Darmaniah N, Wulandari N, editor. Jakarta: EGC; BAB 23, Sistem
Saraf; hal. 908- 909.

51

Anda mungkin juga menyukai