Anda di halaman 1dari 24

=TUTORIAL KLINIK

STRUMA NON TOXIC

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Bedah di RSUD Salatiga

Disusun Oleh :

Nadya Ratu Aziza Fuady

1413010031

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan presentasi kasus dengan judul


Struma Non-Toxic

Disusun oleh:
Nadya Ratu Aziza Fuady
1413010031

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:
Selasa, 23 April 2019

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

dr. Ahmad Daenuri, Sp.B

2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tiritosikosis


atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tyroid
noduler.
Struma adalah pembesaran pada kelenjar tiroid. Biasanya dianggap
membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal. Pembesaran kelenjar
tiroid sangat bervariasi dari tidak terlihat sampai besar sekali dan mengadakan
penekanan pada trakea, membuat dilatasi sistem vena serta pembentukan vena
kolateral.2
B. Embriologi, Anatomi, dan Histologi Kelenjar Tiroid

Embriologi
Kelenjar tyroid berkembang dari endoderm. Kelenjar tyroid mulai terlihat
terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada akhir bulan pertama
kehamilan. Kelenjar tyroid berasal dari lekukan faring antara branchial pouch
pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul divertikulum, yang kemudian
membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami desensus dan akhirnya melepaskan
diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk sebagai duktus tyroglossus yang
berawal dari foramen sekum di basis lidah.
Duktus ini akan menghilang setelah dewasa, tetapi pada keadaan tertentu
masih menetap. Dan akan ada kemungkinan terbentuk kelenjar tyroid yang
letaknya abnormal, seperti persisten duktud tyroglossus, tyroid servikal, tyroid
lingual, sedangkan desensus yang terlalu jauh akan membentuk tyroid substernal.
Branchial pouch keempat ikut membentuk kelenjar tyroid, merupakan asal sel-sel
parafolikular atau sel C, yang memproduksi kalsitonin. Kelenjar tyroid janin
secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin.
2,3

3
Anatomi
Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan
fascia prevertebralis. Didalam ruang yang sama terletak trakhea, esofagus,
pembuluh darah besar, dan saraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil
melingkarinya dua pertiga sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar
paratyroid umumnya terletak pada permukaan belakang.

Gambar 1. Anatomi Kelenjar Tiroid

Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup
cincin trakhea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia
pretrakhea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan
terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat ini digunakan dalam klinik untuk
menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tyroid
atau tidak. 3
Pada sebelah anterior kelenjar tiroid menempel otot pretrakealis (m.
sternotiroid dan m. sternohioid) kanan dan kiri yang bertemu pada midline. Pada
sebelah yang lebih superficial dan sedikit lateral ditutupi oleh fasia kolli profunda

4
dan superfisialis yang membungkus m. sternokleidomastoideus dan vena jugularis
eksterna. Sisi lateral berbatasan dengan a. karotis komunis, v. jugularis interna,
trunkus simpatikus dan arteri tiroidea inferior. Posterior dari sisi medialnya
terdapat kelenjar paratiroid, n. laringeus rekuren dan esophagus. Esofagus terletak
di belakang trakea dan laring, sedangkan n.laringeus rekuren terletak pada sulkus
trakeoesofagikus.
Vaskularisasi kelenjar tiroid termasuk amat baik. A.tiroidea superior
berasal dari a.karotis kommunis atau a.karotis eksterna, a.tiroidea inferior dari
a.subklavia, dan a.tiroidea ima berasala dari a.brakhiosefalik salah sau cabang
arkus aorta
Aliran darah dalam kelenjar tiroid berkisar 4-6 ml/gram/menit, kira-kira 50
kali lebih banyak dibanding aliran darah di bagian tubuh lainnya. Pada keadaan
hipertiroidisme, aliran darah ini akan meningkat sehingga dengan stetoskop
terdengar bising aliran darah dengan jelas di ujung bawah kelenjar. 3
Setiap folikel tiroid diselubungi oleh jala-jala kapiler dan limfatik,
sedangkan system venanya berasal dari pleksus parafolikuler yang menyatu di
permukaan membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior. Secara
anatomis dari dua pasang kelenjar paratiroid, sepasang kelenjar paratiroid
menempel di belakang lobus superior tiroid dan sepasang lagi di lobus medius.3
Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus
trakhealis yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan
ke nl. Pretrakhealis dan nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl.
Brakhiosefalika dan ada yang langsung ke duktus thoraksikus. Hubungan ini
penting untuk menduga penyebaran keganasan.3

5
Histologi
Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Secara mikroskopis
terdiri atas banyak folikel yang berbentuk bundar dengan diameter antara 50-500
µm. Dinding folikel terdiri dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak
menghadap ke dalam lumen, sedangkan basisnya menghadap ke arah membran
basalis. Folikel ini berkelompok sebanyak kira-kira 40 buah untuk membentuk
lobulus yang mendapat vaskularisasi dari end entry. Setiap folikel berisi cairan
pekat, koloid sebagian besar terdiri atas protein, khususnya protein tyroglobulin
(BM 650.000). 3

Secara histologi, parenkim kelenjar ini terdiri atas:


1. Folikel-folikel dengan epithetlium simplex kuboideum yang mengelilingi suatu
massa koloid. Sel epitel tersebut akan berkembang menjadi bentuk kolumner
katika folikel lebih aktif (seperti perkembangan otot yang terus dilatih).
2. Cellula perifolliculares (sel C) yang terletak di antara beberapa folikel yang
berjauhan.

Gambar 2. Histologi Kelenjar Tiroid

6
C. Fisiologi Hormon Tyroid
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama, yaitu tiroksin (T4).
Bentuk aktif ini adalah triyodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari
konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar
tiroid. Yodida anorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku
hormon tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya menjadi 30-40 kali yang afinitasnya
sangat tinggi di jaringan tiroid. Yodida anorganik mengalami oksidasi menjadi
bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tirosin yang terdapat dalam
tiroglobulin sebagai monoyodotirosin (MIT) atau diyodotirosin (DIT). Senyawa
atau konjugasi DIT dengan MIT atau dengan DIT yang lain akan menghasilkan
T3 atau T4, yang disimpan dalam koloid kelenjar tiroid. Sebagian besar T4
dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar yang kemudian
mengalami deyodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi,
hormon tiroid terikat pada protein, yaitu globulin pengikat tiroid (thyroid binding
globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (thyroxine binding
prealbumine, TBPA). 2
Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh suatu hormon stimulator tiroid
(thyroid stimulating hormone, TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar
hipofisis. Kelenjar hipofisis secara langsung dipengaruhi dan diatur aktivitasnya
oleh kadar hormon tiroid dalam sirkulasi yang bertindak sebagai negative
feedback terhadap lobus anterior hipofisis, dan terhadap sekresi thyrotropine
releasing hormone (TRH) dari hipotalamus. 2
Pada kelenjar tiroid juga didapatkan sel parafolikuler, yang menghasilkan
kalsitonin. Kalsitonin adalah suatu polipeptida yang turut mengatur metabolisme
kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum, melalui pengaruhnya terhadap
tulang.

7
Pengaturan faal tiroid : 3
Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid :

1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)

Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis


mensekresi TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar
tiroid teransang menjadi hiperplasi dan hiperfungsi
2. TSH (thyroid stimulating hormone)
Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta).
Dalam sirkulasi akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid
(TSH-reseptor-TSH-R) dan terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon
meningkat
3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).
Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat
hipofisis. Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis
juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan
hipifisis terhadap rangsangan TSH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.
Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid

Jadi, kesimpulan pembentukan hormon tiroksin melalui beberapa langkah1,


yaitu:
1. Iodide Trapping, yaitu pejeratan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.
2. Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar
tiroid merupakan satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I
hingga mencapai status valensi yang lebih tinggi. Tahap ini melibatkan
enzim peroksidase.
3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi
dengan residu tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin
pula melibatkan enzim tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).

8
4. Perangkaian iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT
(diiodotirosin) menjadi T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian
MIT (monoiodotirosin) dan DIT menjadi T3 (triiodotirosin). reaksi ini
diperkirakan juga dipengaruhi oleh enzim tiroperoksidase.
5. Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone)
tetapi dihambat oleh I, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan
tetap berada dalam sel folikel.
6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam
darah. Proses ini dibantu oleh TSH.
7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami
deiodinasi, dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim
deiodinase sangat berperan dalam proses ini.
8. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma
dan kompleks golgi.

9
Gambar 3. Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid

Efek metabolisme Hormon Tyroid : 3

1. Kalorigenik
2. Termoregulasi
3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik,
tetapi dalam dosis besar bersifat katabolik
4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal
meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot
menipis pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.
5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses
degradasi kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih
cepat, sehingga pada hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah.
Sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester dan
fosfolipid meningkat.
6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan
hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.
7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati,
tonus traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi
diare, gangguan faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme.

10
D. Klasifikasi Struma.4,5

Pembesaran kelenjar tiroid atau struma diklasifikasikan berdasarkan efek


fisiologisnya, klinis, dan perubahan bentuk yang terjadi. Struma dapat dibagi
menjadi :
1) Struma Toksik, yaitu struma yang menimbulkan gejala klinis pada
tubuh, berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi

a. Diffusa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid meliputi seluruh


lobus, seperti yang ditemukan pada Grave’s disease.
b. Nodosa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid hanya mengenai
salah satu lobus, seperti yang ditemukan pada Plummer’s
disease.

2) Struma Nontoksik, yaitu struma yang tidak menimbulkan gejala klinis


pada tubuh, berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi
menjadi

a. Diffusa, seperti yang ditemukan pada endemik goiter


b. Nodosa, seperti yang ditemukan pada keganasan tiroid

Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh :


1) Hiperplasia dan Hipertrofi
Setiap organ apabila dipicu untuk bekerja akan mengalami
kompensasi dengan cara memperbesar dan memperbanyak jumlah
selnya. Demikian juga dengan kelenjar tiroid pada saat
pertumnuhan akan dipacu untuk bekerja memproduksi hormon
tiroksin sehingga lama kelamaan akan membesar, misalnya saat
pubertas dan kehamilan.
2) Inflamasi atau Infeksi
Proses peradangan pada kelenjar tiroid seperti pada
tiroiditis akut, tiroiditis subakut (de Quervain) dan tiroiditis kronis
(Hashimoto).

11
3) Neoplasma

E. Struma Non Toksik1,6


1. Etiologi
Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-
gejala hipertiroid. Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah
kekurangan iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang
sporadis, penyebabnya belum diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu :
1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang
yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium
adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan
cretinism.
2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting
penyakit tiroid autoimun
3. Goitrogen :
 Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide,
expectorants yang mengandung yodium
 Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol
berasal dari tambang batu dan batubara.
 Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina,
brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam
rumput liar.
4. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar
tiroid
5. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak
mengakibatkan nodul benigna dan maligna.

12
2. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik yang seksama sering sudah cukup
mendukung dalam menegakkan diagnosis kerja yang tajam untuk penderita
struma.
Selain hal-hal yang mendukung terjadinya struma akibat keradangan atau
hiperplasi dan hipertrofi, maka perlu juga ditanyakan hal-hal yang diduga ada
kaitannya dengan keganasan pada kelenjar tiroid, terutama pada struma uninodusa
nontoksika antara lain:
1. Umur < 20 tahun atau > 50 tahun
2. Riwayat terpapar radiasi leher waktu kanak-kanak
3. Pembesaran kelenjar tiroid yang cepat
4. Disertai suara parau
5. Disertai disfagia
6. Disertai nyeri
7. Riwayat keluarga yang menderita kanker
8. Penderita struma hiperplasi, diterapi dengan hormone tiroksin tetap
membesar
9. Disertai sesak nafas

Gambar 4. Pasien penderita struma multinodusa

13
Pada anamnesis dan pemerikasaan fisik untuk mengetahui adanya
gangguan fungsi pada penderita struma, maka harus ditanyakan dan diperikasa
hal-hal yang mendukung adanya hipertiroid, antara lain:
1. Berat badan turun, makannya banyak akan tetapi badan tetap kurus
(Paradoxa Muller)
2. Kulit basah (hiperhidrosis), telapak tangan terasa
hangat/panas/lembab dan kulit telapak tangan terasa halus akibat
hipermetabolisme dan hiperhidrosis pada kelenjar keringat. Penderita
tidak tahan terhadap hawa panas lebih tahan terhadap hawa dingin.
3. Takikardia, bila tidur nadinya tetap cepat, waspada ancaman atrial
fibrilasi
4. Tremor, gejala ini hamper selalu ada. Suruh penderita meluruskan
lengannya ke depan dan merentangkan jari-jarinya, sambil
memejamkan mata, diletakkan sehelai kertas diatas jari-jarinya, maka
akan terlihat ada atau tidak tremor
5. Eksoptalmus, hampir 50% penderita, bisa bilateral atau unilateral.
Patofisiologi belum jelas. Diduga akibat penambahan lemak dan
infiltrasi limfosit retrobulbar
a. Eksoptalmus ringan: melebarnya fisura palpebra superior
(Steilwag’s sign) akibat retraksi otot palpebra superior. Apabila
penderita kita suruh mengikuti gerakan tangan ke atas dan ke
bawah dengan agak cepat tampak palpebra superior ketinggalan
gerak.
b. Eksoptalmus sedang: bila penderita menundukkan kepala
kemudian kita suruh melirik ke atas, maka kerutan di dahi akan
tampak sedikit sekali, bahkan tidak ada (Joffroy’s sign)
c. Eksoptalmus berat: lemak retrobulber sudah menumpuk,
ditambah edema retrobulber, sehingga dijumpai gejala
kongestif itraorbital. Optamoplegia, kelemahan otot mata

14
akibat protusi bola mata, sehingga bisa strabismus atau
diplopia. Pada fase lanjut geraka konvergensi bola mata
terganggu (Mobius’s sign)
6. Gelisah, hipermetabolisme system saraf membuat niali ambang saraf
menurun, sehingga penderita menjadi iritabel, timbul tremor halus,
depresi
7. Diare, hipereristaltik pada sitem pencernaan, mengakibatkan absorbsi
tidak sempurna, dengan gejala akibatnya antara lain kekurangan
vitamin dan mineral
8. Thyroid thrill, hipervaskular pada tiroid
9. Gangguan keseimbangan hormonal lain, gangguan pola menstruasi
10. Kelainan kulit, karena hipermetabolisme kulit, maka kulit hangat dan
halus (fine texture) dan karena vasodilatasi, bila digores akan
membekas (dermografi).
11. Basal Metabolisme Rate (BMR). Pengukuran mengguanakan
Spirometri (Oxygen consumption rate) atau secara klinis kita bisa
mengukur dengan rumus empiris: % BMR = 0,75 {0,74(s-d)+n}-72
s = sistole, d = diatole, n = nadi
tensi dan nadi diukur pada keadaan basal
harga normal (-)10% sampai (+)10%

Biasanya penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena tidak


ada hipo atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi kebanyakan
berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan
menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering berangsur-
angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. 1
Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan
strumanya tanpa keluhan. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu
pernafasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan
penyempitan trakea bila pembesarannya bilateral. Struma nodosa unilateral dapat
menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah kontra lateral. Pendorongan

15
demikian mungkin tidak mengakibatkan gangguan pernafasan. Penyempitan yang
berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea
dengan stridor inspiratoar. Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu
menelan trakea naik untuk menutup laring dan epiglotis sehingga terasa berat
karena terfiksasi pada trakea. 2
Pemeriksaan fisik pada pasien struma dilakukan secara sistematis (urut
dari atas ke bawah), simetris (bandingkan kanan dan kiri), simultan (kanan dan
kiri bersamaan). Secara rutin harus dievaluasi juga keadaan kelenjar getah bening
lehernya, adakah pembesaran, dianjurkan penderita membuka bajunya.
Pemeriksaan pasien dengan struma dilakukan dari belakang kepala
penderita sedikit fleksi sehingga muskulus sternokleidomastoidea relaksasi,
dengan demikan tiroid lebih mudah dievaluasi dengan palpasi. Gunakan kedua
tangan bersamaan dengan ibu jari posisi di tengkuk penderita sedang keempat jari
yang lain dari arah lateral mengeveluasi tiroid serta mencari pole bawah kelenjar
tiroid sewaktu penderita disuruh menelan.
Pada struma yang besar dan masuk retrosternal, maka tidak dapat diraba
trakea dan pole bawah tiroid. Kelenjar tiroid yang normal teraba sebagai bentukan
yang lunak dan ikut bergerak pada waktu menelan. Biasanya struma masih bisa
digerakkan ke arah lateral dan susah digerakkan ke arah vertikal. Struma menjadi
terfiksir apabila sangat besar, keganasan yang sudah menembus kapsul, tiroiditis
dan sudah ada jaringan fibrosis setelah operasi.
Untuk memeriksa struma yang berasal dari satu lobus (misalnya lobus kiri
penderita), maka dilakukan dengan jari tangan kiri diletakkan di medial di bawah
kartilago tiroid, lalu dorong benjolan tersebut ke kanan. Kemudian ibujari tangan
kanan diletakkan di permukaan anterior benjolan. Keempat jari lainnya diletakkan
pada tepi belakang muskulus sternokleidomastoideus untuk meraba tepi lateral
kelenjar tiroid tersebut.

16
Pada pemeriksaan fisik nodul harus dideskripsikan:
1. lokasi: lobus kanan, lobus kiri, ismus
2. ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
3. jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
4. konsistensi: kistik, lunak, kenyal, keras
5. nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
6. mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus
sternokleidomastoideus
7. pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid: ada atau tidak

3. Pemeriksaan Penunjang4,5,6
Pemerikasaan penunjang yang digunakan dalam diagnosis penyakit
tiroid terbagi atas:
1. Pemeriksaan laboratorium untuk mengukur fungsi tiroid:
Pemerikasaan hormon tiroid dan TSH paling sering menggunakan
radioimmuno-assay (RIA) dan cara enzyme-linked immuno-assay
(ELISA) dalam serum atau plasma darah. Pemeriksaan T4 total
dikerjakan pada semua penderita penyakit tiroid, kadar normal pada
orang dewasa 60-150 nmol/L atau 50-120 ng/dL; T3 sangat membantu
untuk hipertiroidisme, kadar normal pada orang dewasa antara 1,0-2,6
nmol/L atau 0,65-1,7 ng/dL; TSH sangat membantu untuk mengetahui
hipotiroidisme primer di mana basal TSH meningkat 6 mU/L. Kadang-
kadang meningkat sampai 3 kali normal.
2. Pemeriksaan laboratorium untuk menunjukkan penyebab gangguan
tiroid: Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid ditemukan pada
serum penderita dengan penyakit tiroid autoimun.
- antibodi tiroglobulin
- antibodi mikrosomal
- antibodi antigen koloid ke dua (CA2 antibodies)
- antibodi permukaan sel (cell surface antibody)

17
- thyroid stimulating hormone antibody (TSA)

3. Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dapat memperjelas adanya


deviasi trakea, atau pembesaran struma retrosternal yang pada
umumnya secara klinis pun sudah bisa diduga. Foto rontgen leher
posisi AP dan Lateral diperlukan untuk evaluasi kondisi jalan nafas
sehubungan dengan intubasi anastesinya. Bahkan tidak jarang untuk
konfirmasi diagnostik tersebut sampai memerlukan CT-scan leher.
4. USG bermanfaat pada pemeriksaan tiroid untuk:
 menentukan jumlah nodul
 membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik,
 mengukur volume dari nodul tiroid
 mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak
 Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan
dilakukan biopsi terarah
 Dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan.
5. Pemeriksaan dengan sidik tiroid sama dengan uji tangkap tiroid, yaitu
dengan prinsip daerah dengan fungsi yang lebih aktif akan menangkap
radioaktivitas yang lebih tinggi. Metabolisme hormon tiroid sangat erat
hubungannya dengan yodium, sehingga dengan yodium yang dimuati
bahan radioaktif kita bisa mengamati aktivitas kelenjar tiroid maupun
bentuk lesinya.
6. Pemeriksaan histopatologis dengan biopsi jarum halus (fine needle
aspiration biopsy FNAB) akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat agar
jangan sampai menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil
FNAB saja.
7. Pemeriksaan potong beku (VC = Vries coupe) pada operasi
tiroidektomi diperlukan untuk meyakinkan bahwa nodul yang
dioperasi tersebut suatu keganasan atau bukan. Lesi tiroid atau sisa
tiroid yang dilakukan VC dilakukan pemeriksaan patologi anatomis
untuk memastikan proses ganas atau jinak serta mengetahui jenis

18
kelainan histopatologis dari nodul tiroid dengan parafin block.

4. Diagnosis1
Dalam membuat diagnosis kerja pada penderita struma, maka hendaknya
bisa menyampaikan kondisi struma tersebut dari aspek morfologi, aspek fungsi,
dan kalau memang memungkinkan aspek histopatologinya. Dalam melakukan
diagnosis untuk penderita struma, usahakan untuk bisa mencantumkan diagnosis
mencakup ketiga aspek tersebut.
Diagnosis struma nodosa non toksik ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, penilaian resiko keganasan, dan pemeriksaan penunjang.
Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi
multinoduler pada saat dewasa. Struma multinodosa biasanya terjadi pada wanita
berusia lanjut dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasia
sampai bentuk involusi. Kebanyakan struma multinodosa dapat dihambat oleh
tiroksin. Sekitar 5 % dari struma nodosa mengalami keganasan. Tanda keganasan
ialah setiap perubahan bentuk, perdarahan lokal dan tanda penyusupan di kulit, n.
rekurens, trakea atau esofagus

5. Penatalaksanaan1,2,6
Pilihan terapi nodul tiroid:
a. Terapi supresi dengan hormon levotirosin
b. Pembedahan

A. Terapi Supresi dengan Hormon Levothyroxine


Terapi dengan Levothyroxine (LT4) kombinasi dengan serum TSH (<0.1
µIU/mL) masih dalam kontroversi. Tujuannya adalah untuk mengecilkan
nodul tiroid dan mencegah kembali munculnya nodul baru atau pertumbuhan
kecil massa yang serupa dengan nodul awal. 1
Beberapa laporan menyebutkan bahwa pengecilan nodul tiroid lebih sering
terjadi pada penderita dengan kombinasi terapi long-term-TSH di banding
dengan penderita yang tanpa kombinasi TSH. Lebih dari 50% kasus nodul
dapat mengecil, tetapi jika hanya dengan terapi Levothyroxine (LT4) saja

19
maka persentase keberhasilannya hanya 20%.1
Pemberian Levothyroxine (LT4) hendaknya setengah sampai satu jam
sebelum makan (kondisi lambung kosong) agar absorbsinya maksimal.
Disarankan agar minum tablet Levothyroxine (LT4) dengan menggunan
segelas air agar tablet lebih mudah larut dan mudah terserap. Jangan
mengkonsumsi tablet calcium, iron supplements, dan antasida karena akan
menghambat absorbsi obat Levothyroxine (LT4). Dosis maksimum yang
diberikan adalah 400 microgram per hari.
Saat ini, pengobatan Levothyroxine (LT4) secara rutin pada penderita
dengan nodule tiroid tidak direkomendasikan. Pengunaan Levothyroxine (LT4)
harus dihindari pada penderita: (1) dengan nodule yang besar (large nodule),
(2) pada kasus long-standing goiter, (3) jika level TSH <1 µIU/mL, (4) wanita
post-menopause, (5) penderita usia lebih dari 60 tahun, (6) penderita dengan
osteoporosis, (7) penderita dengan penyakit kardiovaskuler, dan (8) penderita
dengan systemic illness. 1
Berikut ini adalah hal-hal penting lain yang perlu diperhatikan
terhadap penggunaan Levothyroxine (LT4), antara lain: Pengobatan dengan
Levothyroxine (LT4) hanya menunjukkan hasil klinis yang signifikan pada
minoritas jumlah penderita dan variasi respons-nya belum diketahui dengan
baik. Pengobatan dengan Levothyroxine (LT4) hendaknya tidak boleh terlalu
suppressive karena akan menimbulkan adverse effect. Jika nodul tiroid tidak
mengecil dengan pemberian Levothyroxine (LT4), tindakan reaspiration harus
segera dilakukan. Pengobatan dengan Levothyroxine (LT4) tidaklah berguna
untuk tindakan pencegahan recurrent goiter pasca tindakan lobectomy. 1

B. Pembedahan1,2
Operasi tiroid (tiroidektomi) merupaka operasi bersih dan tergolong
operasi besar. Berapa luas kelenjar tiroid yang akan diambil tergantung
patologiya serta ada tidaknya penyebaran dari karsinomanya. Ada 6 macam
operasi, yaitu:

20
1. Lobektomi subtotal; pengangkatan sebagian lobus tiroid yang
mengandung jaringan patologis
2. Lobektomi total (Hemitiroidektomi, ismolobektomi); pengangkatan
satu sisi lobus tiroid
3. Tiroidektomi subtotal; pengangkatan sebagian kelenjar tiroid yang
mengandung jaringan patologis,meliputi kedua lobus tiroid
4. Tiroidektomi near total; pengangkatan seluruh lobus tiroid yang
patologis berikut sebagian besar lobus kontralateralnya.
5. Tiroidektomi total; pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
6. Operasi yang sifatnya ”extended”:
a. Tiroidektomi total + laringektomi total
b. Tiroidektomi total + reseksi trakea
c. Tiroidektomi total + sternotomi
d. Tiroidektomi total + FND atau RND
Indikasi operasi pada struma adalah:
a. struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
b. struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
c. struma dengan gangguan tekanan
d. kosmetik.
Kontraindikasi operasi pada struma:
a. struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya
b. struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik yang lain
yang belum terkontrol
c. struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit
digerakkan yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang
demikian biasanya sering dari tipe anaplastik yang jelek prognosanya.
Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat sekaligus dilakukan
reseksi trakea atau laringektomi, tetapi perlekatan dengan jaringan
lunak leher yang luas sulit dilakukan eksisi yang baik.
d. struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya
karena metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah

21
dilakukan sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan
mortalitas yang tinggi dan sering hasilnya tidak radikal

6. Komplikasi
Pada tindakan operasi tiroidektomi, bisa dijumpai komplikasi awal dan
lanjut. Disamping itu ada pula yang membagi komplikasi yang terjadi
dalam metabolik dan non metabolik. Komplikasi awal antara lain:
a. perdarahan
b. paralise n. laringeus rekuren, paralise n. rekuren superior
c. trakeomalasia
d. infeksi
e. tetani hipokalsemia
f. krisis tiroid (thyroid storm)
Sedangkan komplikasi lanjut berupa:
a. keloid;
b. hipotiroiditi;
c. hipertiroiditi yang kambuh

7. Diagnosis Banding
a. Colloid goiter
b. Tiroiditispenyakit autoimun misal Tiroiditis Hashimoto
c. Dishormogenetik Goiterdefisiensi enzim kongenital
d. Struma Reidelidiopatik
e. Neoplasma

22
DAFTAR PUSTAKA

1. AME/AACE Guideline.2006. American Association of Clinical

Endocrinologists and Association Medici Endocrinologi, Medical

Guidelines For Clinical Practice for the diagnosis and management of

thyroid nodule. ENDOCRINE PRACTICE Vol 12 No. 1.

January/February2006. http://www.aace.com/pub/pdf/guidelines/thyroid_

nodule.pdf.

2. De Jong. W, Sjamsuhidajat. R., 2004., Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi

Revisi., EGC., Jakarta.

3. Djokomoeljanto, 2001., Kelenjar Tiroid Embriologi, Anatomi dan

Faalnya., Dalam : Suyono, Slamet (Editor)., 2001., Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam.,FKUI., Jakarta.

4. Lee, Stephanie L., 2004., Goiter, Non Toxic., eMedicine.,

http://www.emedicine.com/med/topic919.htm

5. Mulinda, James R., 2005., Goiter., eMedicine.,

http://www.emedicine.com/MED/topic916.htm

6. Mansjoer A et al (editor) 2001., Struma Nodusa Non Toksik., Kapita

Selekta Kedokteran., Jilid 1, Edisi III., Media Esculapius., FKUI., Jakarta

23
24

Anda mungkin juga menyukai