Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

KEWARGANEGARAAN

KEBAKARAN HUTAN

KELOMPOK 2 (KONSTITUSI)

Anggita Ariesta (1162005010)


Dwiany Mustika S (1162005006)
Lingga Damarmeru (1162005008)
Novita Indry P (1162005007)
Tricahyo Firdaus (1162005009)

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER
UNIVERSITAS BAKRIE
2016

0
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................... 1
BAB I
PENDAHULUAN.................................................................................................. 2
A. Latar Belakang.................................................................................... 2
B. Rumusan Masalah............................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan................................................................................. 5
BAB II
PEMBAHASAN..................................................................................................... 6
BAB III
KESIMPULAN....................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 10

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konstitusi berasal dari kata constitution (Bhs. Inggris) – constitutie (Bhs. Belanda)
– constituer (Bhs. Perancis), yang berarti membentuk, menyusun, menyatakan. Dalam bahasa
Indonesia, konstitusi diterjemahkan atau disamakan artinya dengan UUD. Konstitusi menurut
makna katanya berarti dasar susunan suatu badan politik yang disebut negara. Konstitusi
menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara, yaitu berupa kumpulan
peraturan untuk membentuk, mengatur, atau memerintah negara. Peraturan-peraturan tersebut
ada yang tertulis sebagai keputusan badan yang berwenang, dan ada yang tidak tertulis berupa
konvensi. Dalam terminilogi hukum islam (Fiqh Siyasah) konstitusi dikenal dengan sebutan
DUSTUS yang berati kumpulan faedah yang mengatur dasar dan kerja sama antar sesame
anggota masyarakat dalam sebuah Negara.

Menurut pendapat James Bryce, mendefinisikan konstitusi sebagai suatu kerangka


masyarakat politik (Negara yang diorganisir dengan dan melalui hokum. Dengan kata lain
konstitusi dikatakan sebagai kumpulan prinsip-prinsip yang mengatur kekuasaan
pemerintahan, hak-hak rakyat dan hubungan diantara keduanya.

Dalam perkembangannya, istilah konstitusi mempunyai dua pengertian, yaitu:


Dalam pengertian luas (dikemukakan oleh Bolingbroke), konstitusi berarti keseluruhan
dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar. Seperti halnya hukum pada umumnya,
hukum dasar tidak selalu merupakan dokumen tertulis atau tidak tertulis atau dapat pula
campuran dari dua unsur tersebut. Sebagai hukum dasar yang tertulis atau undang-undang
Dasar dan hukum dasar yang tidak tertulis / Konvensi.
Dalam arti sempit (dikemukakan oleh Lord Bryce), konstitusi berarti piagam dasar atau
UUD, yaitu suatu dokumen lengkap mengenai peraturan-peraturan dasar negara. Contohnya
adalah UUD 1945.

2
Sesungguhnya pengertian konstitusi berbeda dengan Undang Undang Dasar, hal tersebut
dapat dikaji dari pendapat L.J. Apeldorn dan Herman Heller. Menurut Apeldorn, konstitusi
tidaklah sama dengan UUD. Undang-Undang Dasar hanyalah sebatas hukum yang tertulis,
sedangkan konstitusi di samping memuat hukum dasar yang tertulis juga mencakup hukum
dasar yang tidak tertulis.
Adapun menurut Herman Heller, konstitusi mencakup tiga pengertian, yaitu:
· Die politische verfassung als gesselchaffliche wirklichkeit, yaitu konstitusi yang
mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kewajiban.
· Die verselbstandigte rechtverfassung, yaitu mencari unsur-unsur hukum dari konstitusi
yang hidup dalam masyarakat tersebut untuk dihadirkan sebagai suatu kaidah hukum.
· Die geschriebene verfassung, yaitu menuliskan konstitusi dalam suatu naskah sebagai
peraturan perundangan yang tertinggi derajatnya dan berlaku dalam suatu negara.
Konstitusi sebagai hukum dasar berisi aturan-aturan dasar atau pokok-pokok
penyelenggaraan negara. Aturan-aturan itu masih bersifat umum.

Menurut paham Herman Heller, konstitusi mempunyai arti yang lebih luas dari undang-
undang. Dia membagi konstitusi dalam tiga pengertian antara lain:
a. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan (Die
Polotiche Verfasung Als Gesellchaftliche)
b. Unsur-unsur hukum dari konstitusi yang hidup dalam masyarakat dijadikan sebagai suatu
kesatuan hukum dan tugas mencari unsur-unsur hukum ” Abstraksi ”.
c. Ditulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi dan berlaku dalam suatu
negara.

Menurut Lord Bryce, terdapat empat motif timbulnya konstitusi :


1. Adanya keinginan anggota warga negara untuk menjamin hak-haknya yang mungkin terancam
dan sekaligus membatasi tindakan-tindakan penguasa;
2. Adanya keinginan dari pihak yang diperintah atau yang memerintah dengan harapan untuk
menjamin rakyatnya dengan menentukan bentuk suatu sistem ketatanegaraan tertentu;
3. Adanya keinginan dari pembentuk negara yang baru untuk menjamin tata cara
penyelenggaraan ketatanegaraan;
4. Adanya keinginan untuk menjamin kerja sama yang efektif antar negara bagian.

3
Sifat pokok konstitusi negara adalah fleksibel (luwes) dan rigit (kaku). Konstitusi negara
memiliki sifat fleksibel / luwes apabila konstitusi itu memungkinkan adanya perubahan
sewaktu-waktu sesuai perkembangan jaman /dinamika masyarakatnya. Sedangkan konstitusi
negara dikatakan rigit / kaku apabila konstitusi itu sulit untuk diubah kapanpun.

Fungsi pokok konstitusi adalah membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa


sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Pemerintah sebagai
suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, terkait oleh
beberapa pembatasan dalam konstitusi negara sehigga menjamin bahwa kekuasaan yang
dipergunakan untuk memerintah itu tidak disalahgunakan.

Tujuan konstitusi adalah membatasi tindakan sewenang-wanang pemerintah dan menjamin


hak-hak rakyat yang diperintah, dan menetapkan pelaksanaan kekuasan yang berdaulat.
Menurut Bagir Manan, hakekat dari konstitusi merupakan perwujudan paham tentang
konstitusi atau konstitusionalisme, yaitu pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah di satu
pihak dan jaminan terhadap hak-hak warga negara maupun setiap penduduk di pihak lain.
Secara garis besar konstitusi bertujuan untuk membatasi tindakan sewenang-wenang
pemerintah, menjamin hak-hak pihak yang diperintah (rakyat) dan menetapkan pelaksanaan
kekuasaan yang berdaulat.

Dalam makalah ini, penulis megangkat kasus tentang kebakaran hutan yang terjadi
disebagian wilayah Sumatera dan Kalimantan. Pembakaran identik dengan kejadian yang disengaja
pada satu lokasi dan luasan yang telah ditentukan. Gunanya untuk membuka lahan, meremajakan hutan
atau mengendalikan hama. Sedangkan kebakaran hutan lebih pada kejadian yang tidak disengaja dan
tak terkendali. Kebakaran hutan umumnya terjadi karena faktor alam seperti terjadinya kemarau
panjang yang dapat memicu munculnya percikan api yang akhirnya mebakar semua lahan disekitarnya.
Pada prakteknya proses pembakaran bisa menjadi tidak terkendali dan memicu kebakaran. Penulis lebih
menitik beratkan pembahasan dalam masalah pembakaran hutan yang dilakukan dengan sengaja dengan
tujuan tertentu. Dari pembakaran yang tidak dapat dikendalikan menyebabkan lahan yang
disekitarnya yang seharusnya tidak dibakar malah ikut terbakar dan kebanyakan dari
pembakaran yang terjadi pelakunya melarikan diri.

4
B. Rumusan Masalah

1. Undang-undang apa yang dilanggar dalam kasus pembakaran hutan ?


2. Mengapa pembakaran hutan masih terjadi ?
3. Apa dampak dari pembakaran hutan bagi mahluk hidup ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Undang- Undang apa yang dilanggar dari kasus pembakaran
hutan
2. Untuk mengetahui peyebab dari pembakaran hutan yang masih sering terjadi
3. Untuk mengetahui dampak dari pembakaran hutan yang terjadi

5
BAB II

PEMBAHASAN

Kasus pembakaran hutan baik perorangan maupun perusahaan di sejumlah wilayah


Sumatera dan Kalimantan telah merampas hak konstitusi masyarakat. Kasus kebakaran hutan
melanggar hak konstitusi yang tertuang dalam UUD 1945, sebagaimana dijelaskan dibawah
ini.

Pelaku pembakaran hutan baik perorangan maupun perusahaan melanggar hak


konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28H ayat 1 UUD 1945 berbunyi, “Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Dalam kasus ini, masyarakat di wilayah Sumatera dan Kalimantan yang terkena
dampak dari pembakaran hutan, hak mereka untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat tidak dari pasal tersebut belum dapat dirasakan.

Aturan yang mengatur larangan membakar hutan untuk membuka lahan dinilai masih
longgar. Salah satu sebab sulitnya menghapus praktek pembukaan lahan dengan membakar
adalah masih adanya peraturan yang mengizinkan teknik membakar. Ditingkat pusat ada
undang-undang lingkungan hidup yang membuat semakin sulitnya menghapus praktek
pembukaan lahan dengan cara dibakar, karena telah tertuang dalam UU No 32 tahun 2009 Pasal
69 ayat 1 (h) dan ayat 2

Setiap orang dilarang : H. Melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.

Ayat 2

“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf H memperhatikan dengan sungguh-


sungguh kearifan lokal di Daerah masing-masing”.

Dalam pasal 69 ayat 1(H) diperbolehkan membuka lahan dengan cara dibakar
sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat 2 yang dimana hanya masyarakat lokal
diperbolehkan untuk membuka lahan dengan cara dibakar karena masyarakat lokal memiliki
kearifan lokal yang dari nenek moyang mereka secara turun temurun membuka suatu lahan
dengab cara dibakar. Namun kelonggaran dalam aturan ini membuka peluang bagi oknum-

6
oknum tidak bertanggung jawab untuk memanfaatkan kearifan lokal masyarakat setempat
untuk membuka lahan dengan cara dibakar dengan demikian aktor utama dibalik pembakaran
lahan tersebut tidak akan dikenakan sanksi karena yang melakukan pembakaran adalah
masyarakat lokal yang tidak akan terkena sanksi.

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 tahun 2010 tentang mekanisme
pencegahan pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan/atau lahan pasal 4

(1) Masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimum 2 (dua)
hektar per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal wajib memberitahukan kepada kepala
desa.

(2) Kepala desa menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada instansi
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup kabupaten/kota.

(3) Pembakaran lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada kondisi curah hujan di
bawah normal, kemarau panjang, dan/atau iklim kering.

(4) Kondisi curah hujan di bawah normal, kemarau panjang, dan/atau iklim kering sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan publikasi dari lembaga non kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang meteorologi klimatologi dan geofisika.

Dalam aturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 tahun 2010 dengan jelas
bahwa dilarang melakukan pembukaan hutan dengan cara dibakar saat terjadi kemarau panjang. Dan
tahun itu (saat terjadi pembakaran hutan) Indonesia sedang mengalami musim kemarau dan para pelaku
pembakar hutan memanfaatkan kondisi tersebut untuk membuka lahan karena hal ini dapat
meminimalkan pengeluaran dana untuk membuka lahan sehingga lahan akan cepat terbuka dan
lahan akan cepat dimanfaatkan.

Bukan Cuma itu praktik ini semakin sulit di cegah karena ditambah dengan Perubahan
Peraturan Gubernur Kalimantan tengah Nomor 52 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pembukaan
Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan tengah, berbunyi;

(1) Setiap orang yang mekukan pembukaan lahan dan pekarangan dengan cara
pembakaran terbatas dan terkendali harus mendapatkan izin dari pejabat yang
berwenang sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Gubernur ini.
(2) Pejabat yang berwenang memberikan izin adalah Bupati/Walikota.

7
(3) Kewenangan pemberian izin sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2) dengan luas
lahan dibawah 5 Ha, dilimpahkan kepada :
a. Camat, untuk luas lahan diatas 2 Ha sampai dengan 5 Ha;
b. Lurah/Kepala Desa, untuk luas lahan diatas 1 ha sampai dengan 2 Ha;
c. Ketua RT, untuk luas lahan sampai dengan 1 Ha.
(4) Pemberian izin untuk pembakaran secara komutatif pada wilayah dan hari yang
sama :
a. Tingkat Kecamatan maksimal 100 Ha atau;
b. Tingkat Kelurahan/Desa maksimal 25 Ha.
(5) Permohonan perizinan dilengkapi dengan persyaratan sebagai berikut:
a. Foto Copy Kartu Tanda Penduduk;
b. Mengisi formulir permohonan izin sebagaimanatercantum dalam Lampiran I
Peraturan Gubernur ini
(6) Dalam pemberian izin, pejabat yang berwenang harus memperhatikan data Indeks
resiko kebakaran dan hotspot (titik panas), Indeks Peringakat Numerik Cuaca
kebakaran atau Fire Weather Index (FWI) dan ataujarak peringkat Numerik Potensi
Kekeringan dan Asap atau Drought Code (DC); dan atau jarak pandang yang berada
di wilayahnya berdasarkan data dari instansi lingkungan Hidup Kabupaten/Kota.
(7) Semua perizinan pembakaran terbatas dan terkendali dinyatakan tidak berlaku
apabila gubernur mengumumkan status “BERBAHAYA”berdasarkan Indeks
Kebakaran dan atau Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) sampai tingkat
kebakaran dan atau keadaan darurat pencemaran udara dinyatakan berhenti.

Aturan ini sangat kontroversi bagi masyarakat sekitar, walaupun tidak se terkontroversi aturan
sebelumnya. Aturan ini mengizinkan membuka lahan dengan cara dibakar dengan beberapa
aturan. Namun aturan ini dinilai terlalu mudah dan peluang adanya tindakan kecurangan
dalam proses memperoleh izin sangat besar. Pengawasan ditingkat RT misalnya masih sangat
rendah.

8
BAB III

KESIMPULAN
Hukum yang mengatur pembukaan lahan dengan cara dibakar dinilai masih longgar.
Dalam kasus pembakaran hutan melanggar hak konstistusi dan beberapa undang-undang
diantaranya UUD 1945 Pasal 28H ayat 1, UU N0 32 tahun 2009 pasal 69 ayat 1(H) dan ayat 2,
PP Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 tahun 2010 pasal 4, Perubahan Peraturan
Gubernur Kalimantan tengah Nomor 52 Tahun 2010. Ditambah lagi dengan kurangnya
kesadaraan masyarakat lokal akan pentinganya keberlangsungan ekosistem.

Entah disadari atau tidak dari para pelaku pembakaran hutan atas dampak dari yang
mereka lakukan yang ditimbulkan dari pembakaran hutan dari sisi kesehatan menimbulkan
penyakit ISPA dan menyebabkan korban jiwa. Dari sisi ekonomi aktifitas masyarakat
terganggu sehingga pendapatan mereka menjadi menurun. Dari segi politik/ hubungan
diplomat menganggu hubungan bilateral antara Indonesia dan Singapura akibat asap kiriman
sehingga ada beberapa produk Indonesia yang diboikot akibat dari asap yang ditimbulkan dari
pembakaran hutan. Dari segi lingkungan turut menyumbang meningkatnya global warming
yang akhirnya menyebabkan perubahan cuaca ekstrem sehingga di Indonesia mengalami
anomali cuaca.

9
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Chairul. 1999. Konstitusi dan kelembagaan Negara. Jakarta: CV. Novindo Pustaka
Mandiri.

Daud, Abu Busroh dan Abubakar Busro. 1983. Asas-asas Hukum Tata Negara. Jakarta: Ghalia
Indonesia.

Kusnardi, Moh. et.ai., 2000. Ilmu Negara. Jakarta:Gaya Media Pratama.

Lubis, M. Solly. 1982. Asas-asas Hukum Tata Negara. Bandung: Alumni.

Thaib, Dahlan,et.al. 2001. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Ubaidillah, Ahmad, et.al. 2000. Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HAM
dan Masyarakat Madani. Jakarta: IAIN Jakarta Press.

10

Anda mungkin juga menyukai